Silogisme Kategoris Dasar-Dasar Logika Disusun oleh : Esyi Nurhasiyati Arista Maya
1. Definisi Silogisme adalah proses menggabungkan tiga proposisi, dua menjadi dasar penyimpulan, satu menjadi kesimpulan. Silogisme kategoris berarti argumen yang terdiri atas tiga proposisi kategoris yang saling berkaitan, dua menjadi dasar penyimpulan (premis), satu menjadi kesimpulan yang ditarik (konklusi). Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis, dan kemudian dapat dibedakan dengan Premis Mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan Premis Minor (premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan di antara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term).
Contoh : Semua tanaman membutuhkan air (Premis Mayor) ………………. M……………… Contoh : Semua tanaman membutuhkan air (Premis Mayor) ……………….M……………….P……………… Akasia adalah tanaman (Premis Minor) …S…………………….M…….. Akasia membutuhkan air (Konklusi / kesimpulan) …S……………..P……………….. (S=Subjek, P=Predikat, M=Middle Term)
2. Bentuk dan Modus Silogisme Modus silogisme, sebelum mengetahui bagaimana bentuk silogisme berdasarkan modusnya, untuk lebih jelasnya kita mengetahui jenis-jenis proposisi dahulu. Proposisi dibedakan menjadi 4 berdasarkan termnya. A : Proposisi Arifmatif Universal. Contoh : semua S adalah P E : Proposisi Negatif Universal. Contoh : semua S adalah bukan P I : Proposisi Arifmatif Pratikular. Contoh : sebagian S adalah P O : Negatif Partikular. Contoh : sebagian S bukan P Silogisme kategoris dapat dibedakan antara empat bentuk atau empat pola, yang kedudukan term pembanding (M) dalam premis pertama maupun dalam premis kedua, yakni sebagai berikut. Silogisme Sub-Pre Silogisme Bis-Pre Silogisme Bis-Sub Silogisme Pre-Sub
3. Bentuk Silogisme yang Sahih Beberapa susunan silogisme yang sahih itu diberi nama dengan menggunakan ketiga huruf yang melambangkan bentuk proposisi mayor, minor dan kesimpulan. Berikut susunan silogisme yang sahih : Bentuk silogisme Sub-Pre dengan memiliki dua ketentuan, yakni : a. Premis minor harus afirmatif b. Premis mayor harus universal Contoh : Semua hewan akan mati. Semua sapi adalah hewan. Jadi, semua sapi akan mati.
Bentuk silogisme Bis-Pre dengan memiliki ketentuan, yakni : a. Salah satu premis harus negatif b. Premis mayor harus universal Contoh : Semua manusia berakal budi. Kera tidak berakal budi. Jadi, kera bukan manusia. Bentuk silogisme Bis-Sub dengan memiliki ketentuan, yakni : a. Premis minor harus afirmatif b. Kesimpulan harus partikular Semua manusia berakal budi. Semua manusia adalah makhluk. Jadi, sebagian makhluk adalah berakal budi.
4. Hukum Dasar Penyimpulan Silogisme Kategoris Dua hal yang sama, apabila yang satu diketahui sama dengan hal ketiga, yang lain pun pasti sama. Contoh : Semua manusia berakal budi. Semua yang berakal budi berbudaya. Jadi, semua manusia berbudaya. Dua hal yang sama, apabila sebagian yang satu termasuk dalam hal ketiga, sebagian yang lain pun termasuk di dalamnya. Contoh : Semua rakyat Indonesia adalah warga negara Indonesia. Sebagian warga negara Indonesia adalah keturunan Cina. Jadi, sebagian rakyat Indonesia keturunan Cina.
5. Metode Praktif Penyimpulan Silogisme Kategoris Proposisi kategoris yang diolah secara silogistis, kalau digambar dalam diagram himpunan ada lima macam, salah satu contohnya yaitu sebagai berikut : Proposisi Universal Negatif S P (S P) Semua bangsa Indonesia tidak berhaluan komunis
6. Kaida-Kaidah Dalam Silogisme Kategoris Terdapat beberapa kaidah atau hukum yang berlaku dalam penyusunan silogisme kategoris. Masing-masing menyangkut term dan menyangkut proposisi, yaitu sebagai berikut : Term Silogalisme tidak boleh mengandung kurang atau lebih 3 term (minor, mayor, menengah) Term antara (pembanding) tidak boleh masuk dalam kesimpulan Term subjek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas dari term dalam premis. Term antara (pembanding) harus sekurang-kurangnya satu kali muncul sebagai term / pengertian universal. Proposisi Apabila kedua premis positif maka kesimpulannya harus positif Kedua premis tidak boleh negatif Kedua premis tidak boleh partikular, setidaknya salah satu harus universal Kesimpulan harus mengikuti premis yang paling lemah
7. Silogisme Tidak Beraturan Silogisme tidak beraturan dibagi dalam beberapa jenis, Yakni : Entimema Suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis atau kesimpuan saja atau keduanya tetapi ada satu premis yang tidak dinyatakan. Epikheirema Suatu bentuk logisme yang salah satu atau kedua premisnya disertai dengan alasan. Sorites Suatu bentuk silogisme yang premisnya berkaitan lebih dari dua proposisi, sehingga kesimpulannya berbentuk antara salah satu term proposisi pertama dengan salah satu term proposisi terakhir yang keduanya bukan term pembanding. Polisilogisme Suatu bentuk penyimpulan berupa perkaitan silogisme, sehingga kesimpulan silogisme sebelumnya selalu menjadi premis pada silogisme berikutnya.
Sekian dan Terima Kasih….. 8. Kesimpulan Silogisme adalah suatu cara untuk melahirkan dedukasi. Silogisme mengajarkan pada kita merumuskan, menggolongkan pikiran sehingga kita dapat melihat hubungannya dengan mudah. Dengan demikian kita belajat berfikir tertib, jelas dan tajam. Ini diperlukan karena mengajarkan kita untuk dapat melihat akibat dari suatu pendirian atau pernyataan yang telah kita lontarkan. Sekian dan Terima Kasih…..
ISIP42111 dari 1NASKAH TUGAS MATA KULIAHUNIVERSITAS TERBUKASEMESTER: 2020/21.2 (2021.1)Fakultas: FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikKode/Nama MK: ISIP4211/LogikaTugas: 3No.Soal1.Untuk menentukan ketepatan dan kepastian kesimpulan yang dihasilkan harus mengikuti aturan rumusansilogisme. Berdasarkan konotasi term dalam silogisme kategori, jelaskan tentang prinsip persamaan danprinsip perbedaan tersebut. Jelaskan tiga prinsip dasar penyimpulan yang termasuk dalam prinsipkonotasi term beserta bentuk rumusan simbolik silogismenya. Berikan contohnya.2.Sorites merupakan silogisme tidak beraturan, Jelaskan dua macam sorites yang Anda ketahui danjelaskan juga perbedaan sorites dengan epikrema.3.Dalam silogisme beraturan dengan memperhatikan kedudukan term pembanding premis pertama maupun
MAKALAH FILSAFAT ILMU
SILOGISME, HUKUM-HUKUM PENARIKAN KESIMPULAN, DEDUKTIF-NOMOLOGIKAN DAN INDUKTIF-STATISTIKAL
disusun oleh:
RIZA FIKRI ANDRIANTO (14708251096)
IKA YUNITA (14708251131)
PENDIDIKAN KONSENTRASI B
JURUSAN PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
Berpikir deduktif atau berpikir rasional merupakan sebagian dari berpikir ilmiah. Dalam penalaran deduktif, menarik suatu simpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan rasio (berpikir rasional). Aristoteles dalam bukunya Analitica Priora menyebut penalaran deduktif dengan istilah silogisme. Aristoteles membatasi silogisme sebagai argumen yang konklusinya diambil secara pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan yang berlainan.
Dalam Ilmu Logika ada yang dinamakan dengan Silogisme. Silogisme adalah suatu bentuk penarikan konklusi secara deduktif tak langsung yang konklusinya ditarik dari premis yang disediakan serentak. Oleh karena silogisme adalah penarikan konklusi yang sifatnya deduktif, maka konklusinya tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum dari pada premisnya.
Silogisme dalam logika tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran deduktif. Hanya deduksi yang dapat di kembalikan menjadi bentuk standar inilah yang dapat dibahas dalam logika tradisional. Silogisme itu terdiri atas tiga proposisi kategorik. Dua proposisi yang pertama berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga sebagai konklusi. Jumlah termnya ada tiga, yaitu term subjek, term predikat, dan term medius. Term medius berperan sebagai penghubung antara premis mayor dengan premis minor di dalam menarik konklusi, dan term medius itu tidak boleh muncul pada konklusi. Silogisme ini dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengetahui sesuatu secara logika. Misalnya :
- Semua manusia yang ada akan mati.
- Sally adalah manusia.
- Oleh karena itu, Sally akan mati.
Untuk menegaskan pernyataan pertama (disebut premis mayor), kita hanya membutuhkan keumuman dari pengalaman kita tentang kematian individu. Kita tidak pernah mempunyai pengalaman seseorang yang tidak akan mati, juga kita nyatakan bahwa semua manusia yang ada akan mati. Pernyataan kedua (disebut premis minor) sama sekali berdasarkan atas pengalaman sensoris. Kita datang dalam hubungan dengan Sally dan menggolongkan dia sebagai manusia. Kita tidak mempunyai kepercayaan pada indera kita, selanjutnya, untuk mengetahui bahwa pernyataan ketiga (disebut konklusi) harus benar. Logika mengatakan kepada kita tentang hal ini. Sepanjang dua pernyataan pertama adalah benar, pernyataan ketiga harus benar.
Term ‘manusia’ pada premis mayor dan premis minor berperan sebagai penghubung antara kedua premis tersebut untuk membentuk konklusi, dan term ‘manusia’ tidak muncul dalam konklusi. Inilah dalam silogisme dikenal dengan istilah term medius (term tengah). Term medius di samping sebagai penghubung kedua premis, dalam silogisme juga memiliki peran yang sangat vital, yaitu sebagai ‘key reason’ dari konklusi yang ditarik. Term subjek pada konklusi diambil dari premis minor dan term predikatnya diambil dari premis mayor. Hal inilah yang merupakan inti dari silogisme.
Ciri-ciri silogisme yang membedakannya dari jenis penarikan konklusi lainnya adalah:
- Konklusi dalam silogisme ditarik dari dua premis yang serentak disediakan, bukan dari salah satu premisnya saja. Konklusinya tidaklah merupakan penjumlahan premis-premis itu, tetapi merupakan sesuatu yang dapat diperoleh bila kedua premis itu diletakkan serentak. Ciri-ciri ini membedakan silogisme dari bentuk-bentuk penarikan konklusi langsung dan bentuk-bentuk penarikan konklusi tak langsung lainnya.
- Konklusi dari suatu silogisme tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum daripada premis-premisnya. Silogisme adalah suatu jenis penarikan konklusi secara deduktif dan penarikan konklusi secara deduktif konklusinya tidak ada yang lebih umum dari premis-premis yang disediakan itu.
- Konklusinya benar, bila dilengkapi dengan premis-premis yang benar. Suatu hal yang penting, pada silogisme dan pada bentuk-bentuk inferensi deduktif yang lain, persoalan kebenaran dan ketidak benaran pada premis-premis tak pernah timbul, karena premis-premis selalu diambil yang benar; akibatnya konklusi sudah diperlengkapi dengan hal-hal yang Dengan kata lain, silogisme tinggal hanya mempersoalkan kebenaran formal (kebenaran bentuk) dan tidak lagi mempersoalkan kebenaran material (kebenaran isinya).
Premis yang di dalamnya terdapat term mayor dinamai premis mayor, dan premis yang di dalamnya terdapat term minor dinamai premis minor. Dalam bentuk silogisme logika yang sesungguhnya, premis mayor diberikan mula-mula dan sudah itu diikuti oleh premis minor. Perlu diingat bahwa dalam silogisme lambang M dipakai untuk menunjukkan term penengah, S menunjukkan term minor dan P untuk term mayor. Silogisme dibedakan menurut bentuknya, berdasarkan pada kedudukan term tengah (M) di dalam proposisi. Terdapat empat bentuk silogisme, yaitu: Bentuk I, Bentuk II, Bentuk III, dan Bentuk IV.
- Bentuk I (Silogisme Sub-Pre)
Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek di dalam premis mayor, dan berkedudukan sebagai predikat dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
M – P dengan model
S – M
S – P
JIKA :
S : Term Mayor Misal : Kantor Pajak
P : Term Minor Misal : Pelayan Publik
M : Term Tengah Misal : birokrasi
Misal
Premis Mayor (M-P): Semua birokrasi adalah pelayan publik
Premis Minor (S-M): Kantor pajak adalah birokrasi
Silogisme (S-P): Kantor pajak adalah pelayan publik
- Bentuk II (Silogisme Bis-Pre)
Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat, baik di dalam premis mayor maupun di dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
P – M dengan model
S – M
S – P
Misal
Premis Mayor (P-M) : Semua pelayan publik adalah aparatur birokrat
Premis Minor (S-M) : Zahra adalah aparatur birokrat
Silogisme (S-P): Zahra adalah pelayan publik
- Bentuk III (Silogisme Bis-Sub)
Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek, baik di dalam premis mayor maupun di dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
M – S dengan model
M – P
S – P
Misal
Premis Mayor (M-S): Pembuat kebijakan adalah administrator publik
Premis Minor (M-P): Pembuat kebijakan adalah pelayan publik
Silogisme (S-P): Administrator publik adalah pelayan publik
- Bentuk IV (Silogisme Pre-Sub)
Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat di dalam premis mayor, dan berkedudukan sebagai subyek dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
S – M dengan model
M – P
S – P
Misal
Premis Mayor (S-M): semua koruptor adalah orang tidak beretika.
Premis Minor (M-P): orang yang tidak beretika adalah pelaku kejahatan publik
Silogisme (S-P) : semua koruptor adalah pelaku kejahatan publik
- Hukum-Hukum Penarikan Kesimpulan
Terdapat 8 kaidah atau hukum yang berlaku dalam penyusunan silogisme kategoris. Masing-masing 4 menyangkut term, dan 4 menyangkut proposisi. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
- Menyangkut term-term.
- Silogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari tiga term berarti tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya perbandingan. Kalaupun ada tiga term, ketiga term itu haruslah digunakan dalam arti yang sama tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari tiga term. Misalnya:
Kucing itu mengeong
Binatang itu kucing
Jadi, binatang itu mengeong
- Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini sebenarnya sudah jelas dari bagan silogisme. Selain itu, masih dapat dijelaskan bagini: term-antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term. Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis. Karena itu, term-antara (M) hanya berguna dalam premis-premis saja.
- Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis-premis. Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh universal, kalau dalam premis-premis particular. Ada bahaya ‘latius hos’. Istilah ini sebenarnya merupakan singkatan dari hukum silogisme yang berbunyi: ‘Latius hos quam praemiisae conclusion non vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja dengan ‘generalisasi’. Baik ‘Latius hos’ maupun ‘generalisasi’ menyatakan ketidakberesan atau kesalahan penyimpulan, yakni menarik kesimpulan yang terlalu luas. Menarik kesimpulan yang universal pada hal yang benar hanyalah kesimpulan dalam bentuk keputusan yang particular saja. Misalnya:
Kucing adalah makhluk hidup
Manusia bukan kucing
Jadi, manusia bukan makhluk hidup
- Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara particular baik dalam premis major maupun minor, mungkin sekali term-antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau begitu term-antara tidak lagi berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan (memisahkan) subyek dan predikat. Misalnya:
Banyak orang kaya yang kikir
Si Fulan adalah orang kaya
Jadi, Si Fulan adalah orang yang kikir.
- Menyangkut keputusan-keputusan (proposisi)
- Jika kedua premis (yakni major dan minor) afirmatif atau positif, maka kesimpulannya harus afirmatif dan positif pula.
- Kedua premis tidak boleh negatif, sebab term-antara (M) tidak lagi berfungsi sebagai penghubung atau pemisah subyek dan predikat. Dalam silogisme sekurang-kurangnya satu, yakni subyek atau predikat, harus dipersamakan dengan term-antara (M). Misalnya:
Batu bukan binatang
Kucing bukan batu
Jadi, kucing bukan binatang
- Kedua premis tidak boleh partikular. Sekurang-kurangnya satu premis harus universal. Misalnya:
Ada orang kaya yang tidak tenteram hatinya
Banyak orang yang jujur tenteram hatinya
Jadi, orang-orang kaya tidak jujur
- Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah. Keputusan particular adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang universal. Keputusan negatif adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan afirmatif atau positif. Oleh karena itu:
- Jika satu premis partikular, kesimpulan juga partikular;
- Jika salah satu premis negatif, kesimpulan juga harus negatif;
- Jika salah satu premis negatif dan partikular, kesimpulan juga harus negatif dan partikular. Kalau tidak, ada bahaya ‘latius hos’ lagi. Misalnya:
Beberapa anak puteri tidak jujur
Semua anak puteri itu manusia (orang)
Jadi, beberapa manusia (orang) itu tidak jujur
- Silogisme Tidak Beraturan / Tidak Standar
Ada silogisme yang tidak mengikuti hukum-hukum silogisme tersebut. Silogisme demikian disebut silogisme tidak beraturan atau silogisme tidak standar, yaitu sebagai berikut:
Entimema adalah suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis atau kesimpulan saja atau keduanya, tetapi ada satu premis yang tidak dinyatakan. Contoh: PKI adalah berhaluan komunis, maka PKI tidak boleh berkembang di negara Pancasila. Contoh tersebut yang tidak disebutkan adalah pada premis “Komunis tidak boleh berkembang di negara Pancasila”
Epikheirema adalah suatu bentuk silogisme yang salah satu atau kedua premisnya disertai dengan alasan. Premis yang disertai dengan alasan itu sebenarnya merupakan kesimpulan dari silogisme itu sendiri. Contoh: Semua pemimpin partai terlarang bersifat pasif, karena mereka dilarang melakukan kegiatan politik. Hasan adalah pemimpin partai terlarang. Jadi Hasan adalah bersikap pasif.
Sorites adalah suatu bentuk silogisme yang premisnya saling berkaitan lebih dari dua proposisi, sehingga kesimpulannya berbentuk hubungan antara salah satu term proposisi pertama dengan salah satu term proposisi terakhir yang keduanya bukan term pembanding. Contoh: Manusia itu berakal budi. Berakal budi itu berbudaya. Berbudaya itu perlu makan. Makan memerlukan barang. Jadi manusia memerlukan barang.
Polisilogisme adalah suatu bentuk penyimpulan berupa perkaitan silogisme, sehingga kesimpulan silogisme sebelumnya selalu menjadi premis pada silogisme berikutnya. Contoh: Jika Farhan adalah seorang raja, dan raja adalah manusia, maka Farhan adalah manusia, dan manusia adalah berakal budi, maka Farhan adalah berakal budi, dan berakal budi adalah memerlukan makan, maka Farhan memerlukan makan.
- Deductive-Nomological (DN) dan Inductive-Statistical (IS)
Teori penjelasan ilmiah adalah bentuk dari penjelasan ilmiah dalam sebuah bahasa biasa. Juga dikenal dengan nama the covering law model, the subsumtion theory. Hempel’s model, the Hempel-Oppenheim model, dan the Popper-Hempel model. Ada dua jenis penjelasan dalam teri ini yaitu “deductive-nomological” (DN) dan “inductive-statistical” (IS). Deductive-nomological (DN) berasal dari kata “deductive” yang artinya mengambil suatu kesimpulan yang hakikatnya sudah tercakup dalam satu proposisi atau lebih dan “nomological” adalah “nomos” dari bahasa Yunani yang artinya hukum.
Model DN ini telah memainkan peranan yang sangat luar biasa pentingnya dalam diskusi secara filosofis mengenai penjelasan dalam ilmu pengetahuan saat ini. Teori penjelasan ilmiah adalah sebuah teori yang mencoba menjelaskan bagaimana penjelasan ilmiah itu terjadi. Pada kali ini saya ingin membahas mengenai bagian dari Teori Penjelasan Ilmiah yaitu adalah Teori Penjelasan Ilmiah Deduktif-Nomologis. Teori ini diusulkan oleh Carl G. Hempel dan Paul Oppenheim pada1948. Teori ini terdapat pada buku Studies in the Logic of Explanation (1948). Sebuah sketsa juga bisa ditemukan di buku Karl Popper Logic of Scientific Discovery (1934).
Menurut model D-N, sebuah penjelasan kausal mengenai beberapa kejadian dapat dicapai bila kejadian itu digolongkan di bawah beberapa hukum kausal. Bentuk umum dari penjelasan model D-N adalah berikanlah sekelompok hukum kausal tertentu dan pernyataan-pernyataan yang disebut kondisi awal, sebuah pernyataan yang menggambarkan kejadian yang ada mengikuti penjelasan sebelumnya.
Hukum yang terdapat dalam penjelasan ilmiah disebut juga hukum pendukung fenomena eksplanandum dan argument penjelasannya termasuk dalam eksplanandum tersebut. Fenomena eksplanandum adalah penjelasan deductive-nomological (DN) yang dapat berupa kejadian yang terjadi pada suatu tempat dan waktu tertentu, seperti hasil dari percobaan Perier. Atau bisa juga fenomena yang terjadi di alam seperti ciri tertentu yang dilihat pada pelangi atau suatu kesamaan oleh hukum empiris seperti yang diperlihatkan pada hukum Galileo atau Keppler. Penjelasan nomological deductive-nomological (DN) syarat hubungan penjelasan dengan kemungkinan yang sangat besar, bahwa informasi penjelasan yang diberikan mempengaruhi kalimat eksplanandun secara deduktif, dengan demikian memberikan dasar kesimpulan logis mengapa sebuah fenomena diharapkan dapat terjadi.
Sedangkan inductive-statistical (IS) berasal dari kata induktif dan statistic, dimana induktif adalah suatu bentuk penalaran yang menyimpulkan suatu proposisi umum dan sejumlah proposisi khusus. Meskipun premis-premis yang digunakannya adalah benar dan prosedur yang digunakan adalah sah, maka kesimpulannya belum tentu benar. Yang dapat dikatakan adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Dapat dinyatakan bahwa dasar dari statistika adalah ilmu peluang.
Ada dua jenis penjelasan dalam teori ini yaitu ‘deductive-nomological’ (DN) dan ‘inductive-statistical’ (IS) keduanya memiliki struktur yang sama. Tiap premis memiliki struktur (1) Kondisi yang ada C, dan (2) generalisasi hukum L. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa DN merupakan generalisasi universal sedangkan IS merupakan generalisasi statistik.
Contoh DN:
C – Bayi itu memiliki tiga kromosom 21
L – Tiap bayi yang memiliki tiga kromosom 21 terkena Down Sydrom
E – Bayi itu terkena Down Syndrome
Contoh IS:
C – Otak seseorang kekurangan oksigen selama lima menit.
L – Hampir semua orang yang otaknya kekurangan oksigen selama lima menit akan
mengalami kerusakan otak.
E – orang itu mengalami kerusakan otak.
Menurut Hempel, DN lebih baik daripada IS. Ini disebabkan karena unsur prediktif dari DN lebih besar, Agar suatu penjelasan menjadi penjelasan DN maka dia hanya perlu menunjukkan struktur deductive-nomological. IS bersifat induktive artinya hubungan antara premis dan kesimpulan bisa terganggu dengan adanya informasi baru
Kelebihan Eksplanasi Deduktif-nomologisn Pertama, jelas dan sederhana. Eksplanasi deduktif-nomologis sebagaimana dikemukakan oleh Hempel dan kaum positivisme logis yang lain adalah memiliki pola yang cukup jelas dan sederhana. Eksplanasi secara baku menggunakan pola argumentasi deduktif, yang mengandung hukum umum dan fakta partikular, dan kesimpulan atas sesuatu yang dieksplanasikan kebenarannya bersifat niscaya. Kedua, menunjukkan kaitan yang jelas antara ilmu (studi) sejarah dengan ilmu alam, karena eksplanasi deduktif-nomologis memang pola eksplanasi khas ilmu alam (ilmu eksata); menurut penganjurnya eksplanasi jenis ini memungkinkan ahli sejarah untuk menggunakan generalisasi dan hukum umum dari ilmu sosial-kemanusiaan yang lain, sehingga pola eksplanasi ini dapat berperan dalam pengembangan studi interdisipliner yang melibatkan ilmu sejarah. Ketiga, eksplanasi deduktif-nomologis merupakan sumbangan pemikiran para filsuf ilmu sejarah, yang bermaksud untuk memberi jalan keluar terhadap persoalan rekonstruksi sejarah. Sejarah juga memerlukan erklären, karena sampai tingkatan tertentu fenomena historis juga mengandung unsur objektivitas. Setiap peristiwa itu terjadi bukan tanpa sebab, jika kausalitas diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, dengan demikian eksplanasi deduktif-nomologis yang juga merupakan eksplanasi kausal merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan sejarawan untuk melacak mengapa satu fenomena historis tertentu itu terjadi.
Kelemahan Eksplanasi Deduktif-nomologis, Pertama yaitu eksplanasi deduktif-nomologis tidak pernah menjelaskan peristiwa secara utuh, yaitu dengan mengabaikan kompleksitas peristiwa, sehingga senantiasa ada jarak antara eksplanans dan eksplanandum. Padahal peneliti sejarah senantiasa ingin mengetahui semua seluk beluk dari sebuah peristiwa, selalu berminat terhadap bentuk yang unik dan khas yang mewarnai kejadian historis, sehingga eksplanasi deduktif-nomologis itu kurang memuaskan bagi seorang ahli sejarah. Kedua, terlalu formal. Sebagaimana sifat argumentasi deduktif yang sangat memberikan tekanan pada aspek formal penalaran, validitas lebih diutamakan daripada kebenaran (kesesuaian pernyataandengan data empiris). Isi keterangan historis kurang diperhatikan. Padahal eksplanasi historis pada umumnya berkaitan dengan peristiwa individual yang juga berawal dari data empiris. Ketiga, sejarah adalah sejarah peradaban manusia, yang banyak diwarnai dengan nilai dan penuh dengan nuansa makna. Fenomena historis terkadang tidak dapat dipahami melulu secara harfiah. Eksplanasi deduktif-nomologis yang hanya menekankan hukum umum (pernyataan universal) tidak memberi tempat kepada interpretasi (verstehen) yang sangat berguna dalam pemahaman fenomena historis. Keempat, hukum umum yang mengandung makna universal berlaku kapan dan di mana saja dalam ilmu sejarah sulit ditemukan, karena sejarah berkaitan dengan fenomena manusiawi yang sangat rumit. Motif, tujuan, dan kehendak manusia sulit untuk diramalkan, sehingga prediksi yang diharapkan melalui eksplanasi deduktif-nomologis juga sulit direalisasikan. Kelima, kausalitas fenomena historis sulit untuk dapat dijelaskan secara memadai, karena sejarah berkaitan dengan peristiwa masa lalu dan sekali terjadi. Sejarah bukan ilmu kuantitatif yang memiliki kepastian dalam arti ilmu eksata. Eksplanasi deduktif-nomologis sulit untuk dapat menjelaskan mengapa suatu peristiwa itu terjadi atau tidak terjadi. Keenam, sejarah sebagai ekstensi memori artifisial sangat diwarnai dengan komitmen moral, agama, ideologi. Sejarah mengandung unsur yang bersifat subjektif. Eksplanasi deduktif-nomologis yang sangat menekankan objektivitas tentu akan mengabaikan unsur subjektif tersebut. Peneliti sejarah dengan seluruh pengalamannya sangat berperan dalam merekonstruksi dan menafsirkan masa lampau, dan hal ini juga tidak diberi tempat di dalam eksplanasi deduktif-nomologis
Anonim. 2014. Modul Silogisme Kategoris. Yogyakarta: Staff UNY
Kattsof, Louis A. 2004. Pengantar Filsafat (alih bahasa: Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rahman Abdul Haji A. 2005. Wacana Falsafah ilmu: analisis konsep-konsep asas dan falsafah Negara. Kuala Lumpur: Utusan Publication
Surajiyo. 2006. Dasar-Dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.