author: | publisher: drg. Andreas Tjandra, Sp. Perio, FISID
Ada dua pilihan untuk prakara ini, yaitu:
Cara pertama lebih cepat tapi punya peluang sukses yang lebih rendah dibandingkan cara kedua. Penurunan peluang sukses berasal dari lubang tempat menanam implant gigi adalah lubang bekas gigi sejati sehingga berukuran jauh lebih besar daripada ukuran implant. Dokter mengandalkan benang bedah untuk menahan implant gigi agar benar-benar diam. Karena penahannya hanya ada 1 jenis, yaitu benang saja, maka ada peluang implant gigi bergerak. Implant bergerak lebih dari 100 nano meter (0,000000001 meter) sudah cukup untuk menghasilkan kegagalan. Gerakan bisa terjadi karena tersenggol lidah, makanan, goyangan kala bekerja, dsb. Ukuran lubang bekas gigi sejati yang lebih besar daripada ukuran implant gigi menghasilkan celah yang tak terhindarkan antara implant dan gusi. Celah ini bisa jadi jalan masuk bagi kuman sehingga berisiko menyebabkan infeksi pada jaringan di sekitar implan. Jika terjadi infeksi, maka implan gagal. Antisipasi prakara ini, pasien diberi antibiotik. Jika 2 prakara tersebut di atas bisa diantisipasi, maka pemasangan implant segera setelah cabut gigi lebih menguntungkan daripada pemasangan implant tunda, sesuai penelitian Pal, et al. (2011). Implan bisa langsung dipasang ke dalam lubang bekas gigi sejati yang baru dicabut dengan syarat:
Bila ada infeksi, maka infeksi perlu dirawat dengan antibiotik dan tunggu sampai sembuh dan lubang bekas gigi yang dicabut tertutup dulu. Operasi pasang implan gigi bisa dilakukan kira-kira 3 bulan kemudian setelah pencabutan. Bila tulang tidak mencukupi, maka dokter perlu memberi prosedur bone graft pada pasien. Hal ini mensyaratkan doter melakukan evaluasi radiografi apakah masih ada kemungkinan implant langsung bakal sukses. Setelah operasi bone graft selesai, dokter dan pasien tunggu sampai bone graft jadi, kira-kira 4 bulan. Jika bone graft jadi, maka tindakan bisa dilanjutkan ke pemasangan dan perawatan implan.
TRIBUNNEWS.COM - Tribunnews.com membuka kontak Konsultasi yang akan dijawab Drg Anastasia Ririen Drg R Ngt Anastasia Ririen Pramudyawati, alumnus Fakultas Kedokteran gigi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, siap menjawab segala pertanyaan seputar kesehatan gigi dan mulut di rubrik konsultasi gigi dan mulut Tribunnews.com. Selama ini, perempuan kelahiran tepian Danau Tage - Epouto (Enarotali, Paniai, Papua) ini bekerja di Permata Pamulang Hospital, dan praktek pribadi D-smile di wilayah Pondok Cabe, Selatan Jakarta. Selain itu, juga aktif menulis di www.kompasiana.com/dokteranastasiaririen dan memberikan konsultasi soal kesehatan gigi dan mulut lewat media radio, serta mengisi rubrik konsultasi di Harian Tribun Kaltim. Bagi pembaca Tribunnews.com yang ingin melakukan konsultasi masalah gigi dan mulut, silakan mengirimkan pertanyaan melalui email: . Pertanyaan Pembaca Dokter Anastasia, 1. Untuk pemasangan gigi palsu itu berapa hari sejak pencabutan ya, Dok?Kebetulan ingin memanfaatkan asuransi kesehatan (askes) dari kantor untuk pemasangan gigi palsu ini, Dok.. 2. Apakah gigi palsu yang nanti dibuat dengan memanfaatkan askes akan berbeda mutu dengan gigi palsu yang tidak menggunakan askes, Dok. (dalam hal gigi palsu itu dengan bahan yang sama dan pemasangan yang sama pada gigi)? Amankah, Dok? Terimakasih. (Ana)
Oleh: drg. Adelia Ratnadita – Rsu Harapan Ibu Purbalingga Kerapkali pasien yang datang ke Dokter Gigi meminta giginya yang sakit untuk dicabut. Padahal tidaklah semua kasus gigi yang sakit adalah indikasi pencabutan. Dalam dunia Kedokteran Gigi pencabutan sebenarnya merupakan alternatif terakhir dalam prosedur tindakan pengobatan gigi. Agar fungsi gigi di dalam rongga mulut dapat terjaga, maka prioritas tindakan perawatan gigi difokuskan untuk mempertahankan gigi yang mengalami kerusakan. Karena masing-masing gigi memiliki fungsinya masing-masing. Tindakan untuk mempertahankan gigi yang berlubang atau rusak adalah dengan penambalan, perawatan saluran akar gigi, dll. Namun jika memang gigi tersebut sudah tidak dapat dipertahankan sehingga tindakan pencabutan gigi tidak dapat dihindarkan, maka fungsi gigi tersebut seharusnya diganti dengan gigi tiruan. Gigi tiruan adalah alat untuk mengganti fungsi dari gigi asli yang telah hilang. Fungsi gigi geligi dalam rongga mulut adalah untuk pengunyahan makanan, pengucapan dan estetika. Maka jika ada gigi yang telah hilang karena dicabut atau trauma, sebaiknya diikuti dengan pemasangan gigi tiruan untuk menggantikan fungsi gigi tersebut. Mengapa pencabutan merupakan alternatif terakhir dalam prosedur tindakan pengobatan gigi? Karena setelah tindakan pencabutan gigi yang tidak diikuti pemakaian gigi tiruan akan menimbulkan banyak masalah kesehatan. Banyak pasien yang beranggapan jika gigi yang sakit sudah dicabut maka akan sembuh dan tidak akan ada masalah lagi. Padahal banyak masalah kesehatan yang dapat timbul, jika setelah pencabutan gigi tidak diikuti dengan pemakaian gigi tiruan. Masalah apa saja yang dapat timbul jika pencabutan gigi tidak segera diikuti dengan pemakaian gigi tiruan? (1). Gigi sebelahnya bergeser menempati ruang yang kosong, serta menyebabkan gigi lawannya modot. Pergeseran yang terjadi akan bertambah parah seiring dengan semakin lamanya dibiarkan atau diabaikan. Dalam jangka panjang pergeseran gigi tersebut dapat menyebabkan gangguan sendi rahang (Temporomandibular Disorders). (2). Bergesernya gigi-gigi yang masih ada ke ruang kosong bekas pencabutan dan modotnya gigi lawan pada gigi yang telah dicabut menyebabkan munculnya celah yang dapat menyebabkan makanan mudah terselip (selilitan). Makanan yang terselip tersebut seringkali sulit dibersihkan dan dapat menyebabkan gigi berlubang (caries). (3). Beban tekanan pengunyahan terlalu tinggi pada gigi-gigi yang masih ada, sehingga resiko keausan pada gigi tersebut akan lebih tinggi. Beban tekanan pengunyahan yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan tambalan pada gigi-gigi yang masih ada lebih cepat rusak atau lepas. (4). Kehilangan fungsi pengunyahan pada sisi gigi yang dicabut sehingga akan menyebabkan kebiasaan buruk mengunyah pada satu sisi (kanan atau kiri saja). Mengunyah satu sisi secara terus-menerus dapat menyebabkan penumpukan karang gigi pada sisi yang tidak pernah dipakai mengunyah. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya aliran air liur pada sisi yang tidak pernah dipakai mengunyah. Seperti telah diketahui salah satu fungsi air liur adalah untuk pembersihan alami pada rongga mulut (self cleansing). Mengunyah hanya pada satu sisi dalam jangka panjang juga dapat mengakibatkan asimetri wajah dan gangguan sendi rahang (Temporomandibular Disorders). Keluhan yang dapat terjadi jika mengalami gangguan sendi rahang (Temporomandibular Disorders), antara lain nyeri pada sendi rahang, bunyi sendi ketika berfungsi (bunyi klik atau kemeresek), buka mulut terbatas, gangguan pengunyahan, nyeri kepala yang berlangsung lama, serta sakit pada telinga. Masalah yang dapat disebabkan oleh gigi yang dicabut dan tidak diikuti dengan pemakaian gigi tiruan cukup banyak, bukan? Lalu kapan waktu yang ideal untuk melakukan pemasangan gigi tiruan setelah pencabutan gigi? Waktu yang ideal untuk melakukan pemasangan gigi tiruan setelah pencabutan gigi adalah segera setelah penyembuhan luka cukup baik dan jaringan cukup stabil, yaitu sekitar 2-4 minggu setelah pencabutan. Pemasangan gigi tiruan juga harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten di bidangnya, yaitu Dokter Gigi. Pemasangan gigi tiruan pada tenaga yang tidak berkompeten, seperti tukang gigi seringkali menimbulkan permasalahan baru dan sangat beresiko untuk kesehatan rongga mulut. Resiko pemasangan gigi tiruan yang dilakukan di tukang gigi antara lain, radang gusi hingga abses (bengkak) gusi oleh karena desain gigi tiruan yang tidak sesuai kaidah kesehatan; serta dapat juga terjadi nekrosis (matinya) jaringan lunak di rongga mulut karena menggunakan bahan gigi tiruan yang tidak biokompatibel dengan jaringan rongga mulut. Lebih baik segera memeriksakan gigi jika terasa lubang meskipun tidak ada keluhan sakit. Jika kerusakan gigi segera dirawat saat tahap awal kerusakan gigi, maka tindakan pencabutan gigi dapat dihindarkan. Selain itu juga perlu kontrol ke Dokter Gigi setiap 6 bulan sekali agar kesehatan rongga mulut dapat terpelihara dengan baik. |