Sebutkan tradisi-tradisi dalam Gereja Katolik

Apa itu tradisi Gereja Katolik?

Tradisi Gereja Katolik merupakan tradisi yang berasal dari para Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu. Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau religius, yang dalam gelindingan waktu terjadi di Gereja-gereja setempat, bersifat lain. Mereka merupakan ungkapan-ungkapan Tradisi besar yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi utama dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi-tradisi konkret itu dapat dipertahankan, diubah, atau juga dihapus. (KGK 83).

Di dalam Gereja Katolik, banyak sekali tradisi-tradisi yang kita hidupi sampai saat ini, salah satunya yaitu tentang tradisi “Devosi kepada Bunda Maria”.

Praktik devosi kepada Bunda Maria, menjadi salah satu Tradisi khas Gereja Katolik yang membedakannya dengan Gereja lain.

SEPUTAR PRAKTIK DEVOSI MARIA

            Bulan Mei dan Oktober adalah bulan yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria. Ada banyak bentuk devosi/penghormatan pada Bunda Maria, mulai dari doa Rosario, Litani Bunda Maria, berziarah dan lain sebagainya. Dalam praktik devosi Maria ini agaknya perlu diperjelas juga beberapa hal yang kadang membuat kita merasa ragu-ragu, terlebih bila mendapat “serangan” dari pihak lain.

Menyembah Patung?

Inilah salah satu tuduhan “orang luar” terhadap doa di depan patung Bunda Maria. Bukankah Dekalog melarang kita membuat patung dan menyembahnya (Kel 20:4). Tentu saja, patung Bunda Maria tidak kita maksud untuk disembah. Bukankah tanpa patung Bunda Maria pun kita masih bisa berdoa pada Bunda Maria? Hanya saja sebagai manusia, imajinasi dan konsentrasi kita akan lebih terbantu manakala ada patung. Kita akan lebih mudah membayangkan pribadi Bunda Maria.

Kenapa tidak berdoa langsung kepada Tuhan Yesus?

            Manakala mempunyai ujud/niat khusus (mau ujian, cari pekerjaan, menikah, dan sebagainya), biasanya kita meminta orang lain, entah itu teman, orang tua, nenek/kakek, bahkan leluhur, untuk turut mendoakan kita. Padahal, mereka dan kita sendiri pun masih sering berdosa yang menyebabkan suara kita tidak didengar di tempat yang mahatinggi (bdk.Yes 58:2-4).

Kalau pada mereka yang masih berdosa saja kita mohon didoakan, kenapa kita tidak memohon pada Bunda Maria juga. Memang bukan Bunda Maria yang mengabulkan doa kita, tetapi Tuhan sendiri. Dalam devosi Maria, kita meminta Bunda Maria berkenan turut mendoakan kita. Doa Bunda Maria ini seakan menggarisbawahi apa yang kita mohon. Niscaya apa yang digarisbawahi oleh Maria akan diperhatikan oleh Yesus, Puteranya sendiri, seperti dulu terjadi dalam pesta perkawinan di Kana (Yoh 2:1-11).

Novena

            Novena (Novem, Latin = Sembilan) adalah berdoa selama Sembilan hari berturut-turut untuk memohonkan suatu ujud khusus. Tradisi doa ini meniru keadaan Gereja perdana dan Bunda Maria yang berdoa Sembilan hari yang menantikan kedatangan Roh Kudus (Kis 2:12-14). Semangat dari doa Novena adalah berdoa tak kunjung putus, seperti janda miskin yang terus mengetuk pintu hakim yang tidak benar (Luk 18:1-8). Maka, yang terpenting dalam novena ini adalah sikap berdoa yang terus-menerus, bukan “takhyul” jam doa. Bukankah masih ada yang beranggapan keliru bahwa doa novena harus didoakan pada jam-jam tertentu, tidak boleh diubah-ubah. Yang terpenting bukan jam berapanya (artinya bisa diubah), melainkan semangat berdoa tak kunjung putus.

Berita Seputar Penampakan Bunda Maria

            Kerap kita mendengar kisah-kisah penampakan Bunda Maria, entah yang resmi atau pun “tren terbaru”. Tetapi sikap Gereja cenderung lamban, tidak segera mengakui dan menolaknya. Mengapa?

Untuk memberikan pernyataan resmi bahwa penampakan yang dimaksudkan itu benar-benar terjadi dan berasal dari Allah, Gereja memang sealu bersikap hati-hati sehingga terkesan lamban. Pertama, Gereja harus meniai apakah itu sungguh berasal dari Allah atau dari yang jahat. Sebab, iblis pun bisa menyamar menjadi malaikat terang (2kor 11:14). Kedua, untuk menguji berita kebenaran penampakan itu, oran yang mendapat penampakan itu sendiri harus diteliti apakah setelah mendapat penampakan itu dia semakin dipenuhi buah-buah Roh (Gal 5:22-23)atau malah menjadi sombong dan mencari keuntungan diri. Ketiga, dengan meninggalnya rasul terakhir (Rasul Yohanes), maka wahyu dari Allah sudah lengkap; tidak ada wahyu yang sama sekali baru, apalagi bertentangan dengan kabar sukacita, Injil. Maka, Maka pesan-pesan dari penampakan dari Bunda Maria itu harus dicek dengan warta Injil. Umumnya pesan Bunda Maria dalam penampakan adalah “bertobatlah dan berdoalah bagi orang berdosa”. Salah satu kebenaran penampakan Bunda Maria di Fatima (1917) adalah keruntuhan komunis di Rusia. Karena itu, entah ada penampakan atau tidak, asalkan kita terus menerus mau bertobat, hidup dalam kasih dan berkanjang dalam doa, kita akan sungguh-sungguh menjadi putera-puteri yang sejati.

oleh:  Emerensiana Jeri

Tradisi Suci adalah istilah teologis yang digunakan sebagai sebutan bagi landasan kewenangan doktrinal dan spiritual Kekristenan maupun Alkitab. Istilah ini digunakan di kalangan tradisi-tradisi Kristen arus utama, khususnya tradisi-tradisi Kristen yang mengaku masih memelihara suksesi apostolik, misalnya tradisi Kristen Katolik, tradisi Kristen Ortodoks Timur, tradisi Kristen Ortodoks Oriental, tradisi Kristen Asyur, dan tradisi Kristen Anglikan.

Umat Kristen percaya bahwa ajaran-ajaran Yesus Kristus dan rasul-rasulnya terlestarikan dalam bentuk Kitab Suci maupun ujaran-ujaran lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Keberlanjutan pewarisan ajaran-ajaran ini disebut "Tradisi Yang Hidup". Umat Kristen percaya bahwa ajaran-ajaran para rasul diwariskan dengan setia dan berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Warisan tersebut "mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya."[1] Khazanah Iman (bahasa Latin: fidei depositum) adalah istilah yang digunakan sebagai sebutan bagi keseluruhan wahyu ilahi. Menurut teologi Kristen Katolik, Kitab Suci dan Tradisi Suci merupakan satu kesatuan "Khazanah Iman", artinya Khazanah Iman atau segenap wahyu ilahi diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam wujud Kitab Suci dan Tradisi Suci, melalui kewenangan mengajar dan tafsir Magisterium Gereja, yang terdiri atas para uskup Gereja di dalam persekutuan dengan Sri Paus, dan yang lazim terselenggara di dalam sinode-sinode dan konsili-konsili ekumene.

Menurut teologi Kristen Ortodoks Timur, Tradisi Suci adalah wahyu Allah yang terilhamkan, dan merupakan ajaran katolik Gereja, bukan suatu sumber kewenangan dogmatis yang berdiri sendiri sehingga dapat dipandang sebagai pelengkap wahyu Alkitab. Tradisi Suci justru dipahami sebagai segenap kebenaran ilahi yang diwartakan di dalam Kitab Suci, dilestarikan para uskup apostolik, dan diungkapkan di dalam kehidupan Gereja melalui berbagai hal, seperti Liturgi Suci dan Misteri Suci (Ekaristi, pembaptisan, perkawinan, dst.), syahadat dan definisi-definisi doktrinal lain yang dirumuskan Tujuh Konsili Ekumene Perdana, ikonografi Kristen yang kanonik, dan kehidupan suci orang-orang saleh.

Menurut pemahaman teologis Gereja-Gereja tersebut, Kitab Suci adalah bagian tersurat dari tradisi yang lebih besar, yakni rekam penghayatan komunitas Gereja (sekalipun kadang-kadang lewat karya tulis pujangga-pujangga Gereja secara perorangan) akan Allah, khususnya Yesus. Oleh sebab itu Alkitab harus ditafsirkan di dalam konteks Tradisi Suci dan di dalam komunitas Gereja. Pemahaman semacam ini bertolak belakang dengan pemahaman banyak tradisi Kristen Protestan yang mengusung ajaran sola scriptura, yakni ajaran bahwa Alkitab saja sudah memadai dijadikan landasan seluruh ajaran Kristen.

Istilah tradisi berasal dari kata kerja Latin tradere yang berarti "memindahtangankan, menyerahterimakan, atau mewariskan".[2] Menurut teologi Kristen Katolik, Rasul Paulus, di dalam suratnya yang ke-2 kepada jemaat di Tesalonika (2 Tesalonika 2:15), mengimbau umat beriman supaya berpegang kepada "tradisi yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis." Surat-surat Paulus adalah bagian dari Kitab Suci, sementara ajaran-ajarannya yang disampaikan "secara lisan" adalah bagian dari Tradisi Suci warisan para rasul. Baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci diilhamkan Allah, dan Tradisi Suci berguna membantu orang memahami Kitab Suci, oleh karena itu Tradisi Suci mustahil bertentangan dengan Kitab Suci.[3] Umat Kristen Protestan mafhum bahwa ajaran-ajaran para rasul disampaikan "secara lisan maupun secara tertulis", tetapi bukan berarti yang satu adalah sarana untuk menafsir yang lain. Umat Kristen protestan juga menitikberatkan penggunaan kata "kami" di dalam ayat tersebut, sehingga mengartikan ajaran lisan sebagai ajaran yang langsung dilisankan para rasul.[4]

Salah satu contoh tertua penggunaan Tradisi Suci sebagai acuan teologis adalah tanggapan Kekristenan ortodoks purba terhadap Gnostisisme, sebuah gerakan keagamaan yang menggunakan beberapa Kitab Suci Kristen sebagai landasan ajaran-ajarannya.[5] Ireneus berpendirian bahwa tolok ukur iman (bahasa Yunani: κανών της πίστης, kanon tis pistis; bahasa Latin: regula fidei) dilestarikan Gereja melalui kesinambungan sejarahnya (dalam hal tafsir dan ajaran) dengan para rasul.[6] Tertulianus menandaskan bahwa sekalipun tafsir-tafsir yang didasarkan atas pembacaan keseluruhan Kitab Suci tidak akan mengarah kepada kesesatan, Tradisi Sucilah pedoman yang tepat.[7] Atanasius berpandangan bahwa Arianisme terperosok ke dalam jantung kesesatannya lantaran tidak bepegang kepada Tradisi Suci.[7]

Menurut pemahaman Gereja Ortodoks Timur, hanya ada satu Tradisi, yakni Tradisi Gereja, yang mencakup Kitab Suci maupun ajaran Bapa-Bapa Gereja. Di dalam Surat Pertama kepada Serapion, Atanasius mengimbau, "hendaklah kita memperhatikan tradisi, ajaran, dan iman Gereja katolik sejak semula, yang dikaruniakan (edoken) Sang Logos, diwartakan (ekeriksan) rasul-rasul, dan dilestarikan (efilaksan) Bapa-Bapa Gereja. Di atasnyalah Gereja didirikan (tetemeliotai)".[8]

Bagi Gereja Ortodoks Timur, Tradisi Suci adalah khazanah iman yang dikaruniakan Yesus kepada para rasul dan diwariskan di dalam Gereja dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa ditambah-tambahi, diubah-ubah, maupun dikurang-kurangi. Vladimir Lossky menyifatkan tradisi sebagai "riwayat hidup Roh Kudus di dalam Gereja."[9] Tradisi Suci bersifat dinamis dalam hal penerapan tetapi tidak berubah dalam hal dogma. Tradisi Suci bertumbuh dalam hal ekspresi tetapi senantiasa sama dalam hal esensi. Umat Kristen Otrodoks Timur percaya bahwa Tradisi Suci adalah iman yang sekali dikaruniakan sebagaimana yang dipahami di dalam konteks sejarah yang dilalui. Tradisi Suci adalah karunia Roh Kudus, suatu pengalaman hidup, yang dihidupkan dan diperbaharui kembali seiring berjalannya waktu. Padri Georges Florovsky mengemukakan di dalam tulisannya sebagai berikut:

"Tradisi bukanlah prinsip berusaha memulihkan masa lampau, menggunakan masa lampau sebagai kriteria bagi masa kini. Konsep tradisi semacam ini ditolak sejarah itu sendiri dan ditolak kesadaran Gereja Ortodoks. Tradisi adalah keberdiaman konstan Sang Roh dan bukan sekadar ingatan akan kata-kata. Tradisi adalah peristiwa karismatis, bukan peristiwa historis". (Florovsky, Georges. "The Catholicity of the Church" dalam Bible, Church, Tradition, hlm. 47)[8]

Gereja Katolik memandang Tradisi Suci dengan cara yang sama dengan Gereja Ortodoks Timur, yakni sebagai pewarisan iman apostolik yang sama. Meskipun demikian, ada perbedaan penting dengan pandangan Gereja Ortodoks Timur, yaitu Gereja Katolik berpendirian bahwa sekali iman itu dikaruniakan, pemahaman akan iman tersebut terus-menerus bertambah dalam dan matang seiring berjalannya waktu melalui karya Roh Kudus di dalam sejarah Gereja dan di dalam usaha umat Kristen untuk memahami iman tersebut, meskipun esensi dan substansinya tetap sama.[1] Selain itu, pemahaman akan iman dapat terus-menerus bertumbuh dan diperkaya pada masa-masa mendatang, bukan hanya melalui pengalaman mistik, melainkan juga melalui pengamalan ilmu filsafat dan ilmu teologi dengan tuntunan Roh Kudus, contohnya adalah para filsuf Skolastika seperti Santo Tomas Aquinas, Duns Scotus, dan Gulielmus Occamus pada Puncak Abad Pertengahan. Benih jamak digunakan sebagai metafora untuk menjelaskan pendirian ini. Benih itu sendiri tidak bercabang dan berdaun, tetapi begitu ditanam di tanah yang subur, lambat laun akan tumbuh dan berkembang menjadi sebatang pohon ek yang tinggi menjulang, tetapi sepanjang masa hidupnya pohon itu tetap merupakan jenis tumbuhan yang sama dengan benih yang dulu ditanam.

Di bidang teologi moral, Mark D. Jordan mengemukakan bahwa teks-teks Abad Pertengahan tampaknya tidak konsisten. Menurut beberapa pihak, sebelum abad ke-6, ajaran-ajaran Gereja mengenai moralitas tidak koheren.[10] Menurut John T. Noonan, "sejarah tidak memungkinkan suatu prinsip atau ajaran tak tersentuh, tiap-tiap penerapan prinsip tersebut pada suatu situasi akan mempengaruhi pemahaman kita akan prinsip tersebut."[10]

Dei Verbum

Ajaran Konsili Vatikan II mengenai Tradisi Suci, Kitab Suci, dan Magisterium tertuang dalam dokumen Dei verbum nomor 10:

Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu perbendaharaan keramat sabda Allah yang dipercayakan kepada Gereja. Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat suci bersatu dengan para Gembala mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis. 2:42). Dengan demikian dalam mempertahankan, melaksanakan dan mengakui iman yang diturunkan itu timbullah kerukunan yang khas antara para Uskup dan kaum beriman.

Adapun tugas untuk menafsirkan secara otentik sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus. Wewenang Mengajar itu tidak berada di atas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah.

Maka jelaslah Tradisi suci, Kitab Suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang Mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, di bawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa. —(Dei verbum, No. 10)

Jadi seluruh ajaran Gereja Katolik bersumber dari Tradisi Suci dan Kitab Suci, atau dari tafsir Tradisi Suci dan Kitab Suci yang dihasilkan Magisterium. Kedua sumber tersebut, yakni Tradisi Suci dan Kitab Suci, dipandang dan diperlakukan sebagai satu sumber tunggal Wahyu Allah, yang mencakup perbuatan-perbuatan Allah maupun perkataan-perkataan Allah:

Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. —(Dei verbum, No. 2)

Magisterium berperan memutuskan berdasarkan kewenangannya kebenaran-kebenaran apa saja yang merupakan bagian dari Tradisi Suci.

Kebanyakan denominasi Protestan mengklaim bahwa Alkitab sajalah satu-satunya sumber doktrin Kristen. Pendirian ini tidak memungkiri bahwa Yesus maupun para rasul berkhotbah secara langsung, bahwa kisah-kisah dan ajaran-ajaran mereka diwariskan secara lisan pada masa-masa awal sejarah Kekristenan, maupun bahwa kebenaran juga ada di luar Alkitab. Meskipun demikian, bagi umat Kristen penganut ajaran sola scriptura sekarang ini, ajaran-ajaran tersebut terlestarikan di dalam Alkitab sebagai satu-satunya medium yang diwahyukan. Karena umat Kristen penganut ajaran sola scriptura berpandangan bahwa bentuk-bentuk lain dari tradisi tidak eksis dalam bentuk tetap yang terus-menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan tidak dapat dirujuk atau dikutip dalam bentuknya yang murni, maka menurut mereka tidak ada cara untuk memastikan bagian mana dari "tradisi" yang autentik dan bagian mana yang tidak autentik.[11]

Para sarjana Alkitab seperti Craig A. Evans, James A. Sanders,[12] dan Stanley E. Porter[13] telah mempelajari tentang bagaimana Tradisi Suci di dalam Alkitab Ibrani dipahami dan digunakan para penulis Perjanjian Baru untuk menyifatkan Yesus.

Gereja Anglikan menerima tradisi apostolik, yang terdapat di dalam karya-karya tulis peninggalan bapa-bapa Gereja terdahulu, keputusan-keputusan tujuh Konsili Ekumene, syahadat-syahadat, dan ibadat liturgis Gereja.[14]

  • Prima scriptura, pandangan yang menghargai Tradisi Suci tetapi mendahulukan Alkitab
  • Taurat lisan, padanan Tradisi Suci dalam agama Yahudi
  • Hadis, padanan Tradisi Suci dalam agama Islam
  • Magisterium

  1. ^ a b Paulus VI, Paus Gereja Katolik. "Dei verbum". www.vatican.va. Diakses tanggal 5 Januari 2021. 
  2. ^ Hardon, John (12 Januari 2011). "The Catholic Catechism: A Contemporary Catechism of the Teachings of the Catholic Church". Crown Publishing Group. ISBN 9780307779588. Diakses tanggal 5 Januari 2021 – via Google Books. 
  3. ^ Hardon, John A. (5 Januari 1981). "The Question and Answer Catholic Catechism". Doubleday Religious Publishing Group. ISBN 9780385136648. Diakses tanggal 5 Januari 2021 – via Google Books. 
  4. ^ Slick, Matt (10 Juli 2010). "the New Testament and 2 Thessalonians 2:15". Carm.org. Diakses tanggal 5 Januari 2021. 
  5. ^ McGrath, Alister. 1998. Historical Theology: An Introduction to the History of Christian Thought. Oxford: Blackwell Publishers. Bab 1 'The Patristic Period, c. 100–451.'
  6. ^ McGrath. op.cit. hlmn. 29–30.
  7. ^ a b McGrath. op.cit. hlm. 30.
  8. ^ a b "Tradition in the Orthodox Church - Theology - Greek Orthodox Archdiocese of America". www.goarch.org. Diakses tanggal 5 Januari 2021. 
  9. ^ "Tradition and Traditions", dalam Leonid Ouspensky dan Vladimir Lossky, The Meaning of Icons, (Olten, Switzerland: Urs Graf-Verlag, 1952), 17, dalam edisi revisi (Crestwood, NY: St Vladimir's Seminary Press, 1982), 15.
  10. ^ a b Keenan, James F (2010-01-17). A History of Catholic Moral Theology in the Twentieth Century: From Confessing Sins to Liberating Consciences. hlm. 45. ISBN 9780826429292. 
  11. ^ "White, James. "Does The Bible Teach Sola Scriptura?", Alpha & Omega Ministeries". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-06-15. Diakses tanggal 2021-03-26. 
  12. ^ Evans, Craig A.; Sanders, James A. (4 Mei 2001). "Luke and Scripture: The Function of Sacred Tradition in Luke-Acts". Wipf and Stock Publishers. ISBN 9781579106072. Diakses tanggal 5 Januari 2021 – via Google Books. 
  13. ^ Porter, Stanley. Sacred Tradition in the New Testament, Baker Publishing Group, ISBN 9780801030772
  14. ^ Novak, Victor E. (5 Agustus 2011). "Scripture, Tradition, and the Deposit of Faith". Virtueonline. Diakses tanggal 14 Agustus 2019. 

  • Agius, George (2005). Tradition and the Church. Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers, Inc. ISBN 978-0-89555-821-3. 
  • Petley, D.A., penyunting. (1993). Tradition: Received and Handed on: [makalah yang disajikan dalam] Konferensi Teologi yang diselenggarakan di Gereja Katedral [Anglikan] Saint Peter, Charlottetown, P.E.I., 27 Juni - 01 Juli 1993. Charlottetown, P.E.I.: St. Peter Publications. ISBN 0-921747-18-7
  • WELS Topical Q&A: Tradisi Apostolik (sebuah perspektif Lutheran Konfesional)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tradisi_Suci&oldid=21039433"