Salah satu penyebab lunturnya gotong royong adalah kemajuan teknologi

Istilah gotong royong berasal dari bahasa Jawa. Gotong berarti pikul atau angkat, sedangkan royong berarti bersama-sama. Jika diartikan secara harfiah, gotong royong berarti mengangkat secara bersama-sama atau mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Gotong royong dapat dipahami pula sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai positif dari setiap obyek, permasalahan, atau kebutuhan orang-orang di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, keterampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.

Menurut Koentjaraningrat, budaya gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti. Budaya gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa bencana atau kematian. Sedangkan budaya gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum, entah yang terjadi atas inisiatif warga atau gotong royong yang dipaksakan.

Dalam perspektif sosiologi budaya, nilai gotong royong adalah semangat yang diwujudkan dalam bentuk perilaku atau tindakan individu yang dilakukan tanpa mengharap balasan untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu. Gotong royong menjadikan kehidupan manusia Indonesia lebih berdaya dan sejahtera. Dengan gotong royong, berbagai permasalahan kehidupan bersama bisa terpecahkan secara mudah dan murah, demikian halnya dengan kegiatan pembangunan masyarakat.

Budaya gotong royong dapat tumbuh di mana saja, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan sekolah. Contoh gotong royong dalam masyarakat di antaranya adalah membersihkan jalan kampung dan selokan, membangun poskampling dengan swadaya masyarakat sekitar dan membersihkan gorong-gorong di lingkungan dusun. Adapun contoh gotong royong di sekolah dapat kita lihat dalam kegiatan siswa dan guru, di antaranya membersihkan lingkungan kelas dan lingkungan sekolah, mengecat pagar sekolah, mserta embersihkan dan menanam tanaman di taman dan kebun sekolah.

Gotong royong yang dilakukan masyarakat Indonesia di masa lalu telah memberikan banyak manfaat. Melakukan setiap pekerjaan dengan cara bergotong royong dapat meringankan dan mempercepat penyelesaian pekerjaan. Dengan bergotong royong, rasa persatuan dan kesatuan juga menjadi semakin erat. Gotong royong bahkan dapat menghemat pengeluaran kegiatan. Sayangnya, pada zaman modern ini penerapan nilai-nilai gotong royong mulai menurun. Orang–orang sudah memikirkan kebutuhan mereka sendiri tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Padahal, setiap manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain.

Sikap budaya gotong royong yang semula menjadi sikap hidup bangsa telah mengalami banyak gempuran yang terutama bersumber pada budaya Barat yang agresif dan dinamis, mementingkan kebebasan individu. Dengan memanfaatkan keberhasilannya di berbagai bidang kehidupan serta kekuatannya di bidang fisik dan militer, Barat cukup mendominasi dunia dan umat manusia. Dampak globalisasi ini telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan yang ada di masyarakat, salah satunya adalah aspek budaya gotong royong Indonesia.

Masa sekarang ini, dampak globalisasi telah mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia tentang hakikat budaya gotong royong. Masyarakat lebih suka membeli barang-barang mewah yang sarat dengan pemborosan daripada menyisihkan hartanya untuk membantu orang fakir dan miskin. Masyarakat menjadi cenderung individualis, konsumtif, dan kapitalis sehingga rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan senasib sepenanggungan antarsesama manusia mulai hilang tergerus ganasnya badai globalisasi yang mempunyai dampak negatif serta dampak positif tanpa difilter terlebih dahulu oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Arus globalisasi dalam bidang sosial budaya begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama kalangan muda.

Pengaruh globalisasi telah membuat banyak anak muda seakan kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Dari cara berpakaian misalnya, banyak remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat, berpakaian minim dan bahan yang digunakan memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak terlihat. Dari cara berperilaku, remaja cenderung mencoba sesuatu yang baru yang tidak mempedulikan dampaknya dan akibat yang ditimbulkannya. Ada juga budaya “gotong royong” yang diterapkan pada kondisi yang salah. Misalnya, sikap terlalu “setia kawan” pada kawan yang justru sudah jelas kesalahannya dalam suatu hal, tetapi tetap saja didukung dengan setia.

Salah satu upaya untuk membangkitkan kembali budaya gotong royong yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Haryono Suyono melalui Yayasan Damandiri di antaranya dengan pembentukan dan pembangunan pos pemberdayaan keluarga (Posdaya) di setiap desa atau pedukuhan. Strategi yang ditempuh adalah pembangunan berbasis masyarakat dengan menempatkan manusia atau penduduk sebagai titik sentral pemberdayaan dan prioritas pembangunan. Di sini manusia diberikan peran yang cukup strategis dan diberikan kesempatan untuk membangun dirinya dan orang-orang di sekitarnya melalui kegiatan yang sifatnya bisa meningkatkan dan menghidupkan kembali semangat gotong-royong, yang akhir-akhir ini mulai mengendor.

Perlu ada dukungan dari berbagai pihak, terutama dari instansi dan lembaga sosial kemasyarakat, untuk bersama-sama membangun kebersamaan dan menciptakan sesuatu yang berharga yang sebelumnya tidak atau belum terpikirkan. Mengobarkan semangat yang tinggi dan berusaha mewujudkan adanya budaya kerja keras yang ada manfaatnya dan mempunyai dampak nyata bagi masyarakat, bukan hanya dengan berbicara saja, tetapi ada buktinya di lapangan.

Bila dimungkinkan, berbagai pihak mau terjun ke lapangan untuk mengembangkan masyarakat yang berbudaya belajar, budaya membangun dan budaya kerja keras dalam bidang usaha dan akhirnya akan terbentuk budaya gotong royong dan peningkatan kehidupan yang lebih sejahtera. Dengan bahasa yang agak keren, kita bisa menyebutnya “Prosperous Workfare Community”  atau masyarakat pekerja keras yang mengupayakan sendiri kesejahteraannya, bukan dengan pemberian bantuan langsung tunai atau BLT. Hilangnya semangat gotong royong ini bisa dikurangi bila semangat kerja keras ini bisa dikembangkan dengan lebih baik.

Bahan bacaan:

Penulis:
Hanafi, Pegawai IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten. Kontak: hanafihanafi87(at)yahoo(dot)com.

Semarang -Gotong Royong merupakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang mulai luntur terkikis moderisasi. Jika tidak dilestarikan sejak sekarang, budaya yang mengutamakan kebersamaan dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat tersebut akan hilang. 

Hal itu disampaikan Sidiq, salah seorang pendengar radio di Kota Semarang melalui telepon saat dialog interaktif “Mas Ganjar Menyapa” di rumah dinas Gubernur (Puri Gedeh), Kota Semarang, Selasa (9/5). Dalam dialog dengan narasumber Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP bertajuk ” Gotong Royong” itu, terungkap bahwa budaya warisan leluhur berupa gotong royong baik di kota maupun di desa telah memudar. Partisipasi masyarakat untuk kerja bakti bersih-bersih jalan, ronda malam, gugur gunung, kerik desa, membantu warga punya hajatan sudah mulai ditinggalkan.

“Saya sebagai pengurus RT, dari 63 warga hanya sekitar 20 warga yang mau ikut kerja bakti dan rapat RT. Kalau di desa orang punya hajatan mungkin masih banyak warga yang membantu memasak, sedangkan di kota sudah tidak ada karena lebih banyak yang memilih pesan katering,” ujar Mulyo, penelepon lainnya asal Kota Semarang.

Sementara itu Gubernur Jateng H Ganjar Pranowo SH MIP megatakan, pemerintah dan semua komponen masyarakat harus menggelorakan semangat gotong royong yang semakin hari kian menghilang dalam kehidupan masyarakat. Semua terlibat dan ikut bersama-sama menyelesaikan beragam persoalan sehingga semua beban maupun masalah di masyarakat menjadi ringan.

“Tepa slira atau tenggang rasa, relasi masyarakat, dan kebersamaan antarwarga yang mulai hilang harus kita bangkitkan kembali. Gotong royong ini akan menjadi kekuatan bersama sehingga masyarakat bisa menyelesaikan persoalan dan berkontribusi untuk kebaikan bersama,” bebernya.

Ganjar mencontohkan gotong royong warga Karangdowo Kabupaten Klaten untuk mengatasi masalah jalan rusak. Tanpa melihat latar belakang agama, profesi, maupun perbedaan lainnya, masyarakat yang menamakan diri “Karangdowo Raya Bersatu” bekerja bakti menambal jalan yang berlubang di sekitar kantor kecamatan, gereja, puskesmas, dan jalan desa.

Aksi bersana yang berupakan bentuk kepedulian masyarakat untuk kepentingan bersama itu digerakkan secara beramai-ramai. Keluarga gereja, Banser, dan masyarakat umum terlibat bersama menambal jalan sebagai upaya mengurangi risiko kecelakaan kendaraan yang melintas di wilayah Karangdowo.

Selain itu, lanjut dia, bentuk gotong royong yang masih ada yakni gerakan Sekolah Sungai yang digagas sekelompok masyarakat di Klaten. Gerakan Sekolah Sungai berawal dari gotong royong warga membersihkan sungai dari sampah yang kemudian menjadi kegiatan rutin warga. Partisipasi masyarakat tidak hanya tenaga melainkan juga makanan, uang, serta benih ikan yang ditebar di sungai.

“Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Contoh gampangnya masalah selokan di sekitar rumah yang mampet. Jika diatasi dengan kerja bakti secara rutin maka selokan akan selalu bersih,” terangnya.

Ia menambahkan, gotong royong merupakan bagian dari revolusi mental. Banyak faktor penyebab lunturnya kegotongroyongan dalam kehidupan di desa maupun kota. Antara lain karena arus perkembangan zaman, kesibukan masing-masing individu, malas atau enggan berperan aktif dalam kegiatan masyarakat, serta egoisme.

Kondisi tersebut terlihat kentara di perkotaan, seperti bentuk bangunan rumah dengan pagar tinggi menjulang, terhadap tetangga tidak saling kenal, mencerminkan individualisme yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal.

“Dulu di desa kalau tanaman di kebun rumah berbuah dan panen, tetangga tidak dilupakan karena merasa bersaudara dan saling membutuhkan. Bawang habis bisa minta tetangga, bahkan ada kebiasaan mencicipi masakan tetangga. Tradisi-tradisi seperti itu sangat jarang ditemui di kota,” pungkasnya.

Penulis : Mn, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng