Salah satu bentuk produk hukum internasional adalah resolusi apa yang dimaksud dengan resolusi?

Perlu disusun formulasi khusus yang ideal untuk menyusun Resolusi DK-PBB dalam regulasi nasional.

Oleh:

Bacaan 2 Menit

Salah satu bentuk produk hukum internasional adalah resolusi apa yang dimaksud dengan resolusi?

Sakafa Guraba. Foto: Istimewa

Resolusi Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) merupakan pernyataan resmi dari keputusan Dewan Keamanan PBB sangat berbeda dengan resolusi yang dikeluarkan oleh badan-badan utama lainnya seperti Majelis Umum PBB (MU-PBB), The Economic and Social Council (ECOSOC) dan Dewan Perwalian. Keputusan-keputusan dari ketiga badan utama tersebut bersifat resolusi yang mempunyai dua ciri yaitu bersifat mengikat atau tidak rekomendatif (interna corporis) dan bersifat rekomendatif atau tidak rekomendatif (externa corporis).

Berbeda dengan badan utama lainnya Keputusan Dewan Keamanan PBB pada dasarnya bersifat mengikat secara hukum, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 25 Piagam PBB yang mengatur bahwa negara anggota menerima dan melaksanakan keputusan Keputusan Dewan Keamanan PBB sesuai dengan Piagam (Legally Binding).

Keputusan Dewan Keamanan PBB yang bersifat  mengikat secara hukum kepada anggotanya, sering diperdebatkan dalam berbagai forum karena dirasa tidak bersesuaian dengan prinsip hukum perjanjian internasional yakni prinsip pacta tertiis nee nocent nee prosunt karena semua keputusan-keputusan itu bisa mengikat kepada negara-negara yang bukan merupakan anggota PBB (negara yang tidak meratifikasi Piagam dan Statutanya) seperti tersebut dalam Pasal 2 ayat (6) Piagam dan Pasal 49 Piagam.

Piagam PBB sebagai konstitusi PBB juga telah mengatur mengenai sanksi terhadap pelanggaran Keputusan Dewan Keamanan PBB yang dilakukan negara anggota terhadap Keputusan Dewan Keamanan PBB, antara lain Penangguhan Hak-Hak Istimewa Sebagai Anggota PBB (Pasal 5 Piagam PBB), Pengusiran Suatu Negara dari Ke-Anggotaan PBB (Pasal 5 Piagam PBB), Pengenaan Embargo Ekonomi (Pasal 41 Piagam PBB), dan Pengenaan Sanksi Militer (Pasal 42 Piagam PBB).

Konsep Monisme dan Dualisme

Konsep monisme dan dualisme sering digunakan dalam menggambarkan dua teori berbeda tentang hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan terkait aliran sistem hukum nasional yang menganut Konsep Monisme atau Konsep Dualisme.

Secara umum sistem hukum nasional menganut konsep Hukum Dualisme yang keberlakuan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional harus melalui transformasi dan adopsi, Hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan yang dapat dilihat perlu dilakukan transformasi hukum internasional dalam produk hukum nasional.

Pemberlakukan hukum internasional dalam hal ini Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam produk legislasi nasional tidak dapat dimaknai hanya sebatas peralihan bentuk keputusan organisasi internasional dalam bentuk perundang-undang nasional, namun diperlukan formulasi khusus untuk mentransformasikan Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam hukum nasional.


Page 2

Perlu disusun formulasi khusus yang ideal untuk menyusun Resolusi DK-PBB dalam regulasi nasional.

Oleh:

Bacaan 2 Menit

Hingga saat ini telah terbit 2538 Resolusi Dewan Keamanan PBB yang selanjutnya apakah dikodifikasi dalam satu produk legislasi nasional atau beberapa produk legislasi nasional sehingga transformasi Resolusi Dewan Keamanan PBB membutuhkan formulasi khusus dalam perundang-undangan nasional.

Komitmen Sistem Hukum Nasional Terhadap Berbagai Konvensi Internasional

Konvensi internasional dapat ditransformasi menjadi bagian dari hukum nasional baik berbentuk undang-undang maupun pengesahan menggunakan keputusan presiden, namun hingga saat ini belum ada regulasi nasional yang mengatur sejauhmana sebuah konvensi tersebut harus diadopsi maupun ditransformasi menjadi hukum nasional. Terkait materi muatan selama ini perubahan terhadap undang-undang ratifikasi dari konvensi aslinya adalah tergantung dari materi yang terdapat dalam perubahan konvensi tersebut.

Konvensi internasional PBB tentang Antikorupsi (UNCAC/United Nations Convention against Corruption) adalah salah satu konvensi yang telah ditransformasi dalam sistem hukum Indonesia, disahkan melalui UU No. 7/2006 yang meratifikasi Konvensi PBB tersebut. Namun komitmen terhadap konvensi tersebut masih perlu dipertanyakan terkait hilang beberapa delik kejahatan yang terdapat dalam konvensi aslinya yakni korupsi sektor swasta dan penjualan efek.

Selain UU No. 7/2006 yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Antikorupsi, perubahan dari konvensi asli juga terlihat dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Ham yang diadopsi dari Statuta Roma dimana konsep Proprio Motu (“by one's own motion; on one's own initiative”) yang merupakan Trigger dalam pelaksanaan penyelidikan Kejahatan Hak Asasi Manusia tidak dimuat dalam UU Pengadilan HAM.

Resolusi Dewan Keamanan PBB

Sejarah mencatat Indonesia pernah menjadi Anggota Tidak Tetap DK-PBB sebanyak 4 kali yakni pada tahun 1974-1975, 1995-1996, 2007-2008, 2019-2020. Hal tersebut menunjukan Indonesia turut andil dalam memperkuat ekosistem perdamaian dan stabilitas global, Namun sangat disayangkan hingga saat ini Indonesia belum memiliki regulasi nasional yang mengatur terkait pelaksanaan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB khususnya dalam rangka Pro Justicia.

Hingga Saat inibanyak negara yang sudah mengatur Resolusi DK-PBB dalam Regulasi nasional dan konstitusi negaranya. Konstitusi Belanda dalam Pasal 93 sampai dengan Pasal 95 menyebutkan terkait resolusi lembaga internasional yang dapat mengikat semua orang berdasarkan isinya setelah diterbitkan. Negara tetangga seperti Singapura juga memiliki United Nations Act Singapore yang secara langsung menyebutkan Singapura memenuhi kewajibannya dengan menghormati Pasal 41 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kasus MV Wise Honest

Pada tanggal 5 agustus tahun 2017 akibat serangkaian uji misil balistik yang tetap dilakukan Korea Utara, Dewan Keamanan PBB memberikan sanksi kepada Korea Utara dengan mengeluarkan Resolusi Dewan Kemanan PBB Nomor 2371 yang berisi: “Korea utara tidak diperbolehkan menyuplai, menjual, atau memindahkan secara langsung, atau tidak langsung, dari wilayahnya atau menggunakan kapal atau pesawat berbendera negaranya berupa batubara, besi dan biji besi”.


Page 3

Perlu disusun formulasi khusus yang ideal untuk menyusun Resolusi DK-PBB dalam regulasi nasional.

Oleh:

Bacaan 2 Menit

Pada bulan April tahun 2018 Kapal MV Wise Honest yang berasal dari Korea Utara diamankan Lanal Balikpapan. Kapal kargo curah kering bermuatan 26.500 metrik ton batu bara tersebut tersebut dinakhodai Kim Chung Son, dan 24 anak buah kapal (ABK) yang seluruhnya berkewarganegaraan Korea Utara. Mereka mengaku berlayar dari membawa batubara dari salah satu pelabuhan di Rusia dengan tujuan Samarinda. Lalu, bongkar muat di dengan kapal sejenis menuju Tiongkok dan berencana ini melakukan over ship di perairan Balikpapan.

Pada Kasus tersebut  Nakhoda kapal dikenakan empat pasal di antaranya kesatu yakni memasuki Indonesia lebih dari 2x24 jam tanpa melapor ke imigrasi Balikpapan, dan melanggar pasal 114 (1) Undang-undang nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian. Kedua, memasuki wilayah otoritas pelabuhan dengan muara khusus batu bara tanpa laporan Syahbandar, dan melanggar pasal 295 Jo pasal 47 undang-undang nomor 17 tahun 2018 tentang Pelayaran. Ketiga, tidak memiliki sertifikat/surat pencegahan pencemaran dari kapal, melanggar pasal 302 (1) Jo pasal 117 (2) undang-undang no 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Putusan Incrahct dalam kasus tersebut adalah Nakhoda Kapal M/V Wise Honest membayar denda sebesar Rp400 juta kepada Jaksa Eksekutor. Kemudian Kapal M/V Wise Honest dan dokumen-dokumen kapal dikembalikan kepada Nakhoda Kapal M/V Wise Honest, sementara batubara sebanyak 26,500 MT dan dokumen-dokumennya dikembalikan kepada pemiliknya. Namun setelah eksekusi putusan dilaksanakan pemerintah Amerika Serikat mengajukan permonohan permintaan Bantuan Hukum Timbal Balik/MLA kepada Pemerintah RI dalam hal ini melalui Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan penyitaan terhadap Kapal M/V Wise Honest.

Dari serangkaian tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia antara lain Kejaksaan Republik Indonesia melaksanakan Penuntutan dan Eksekusi terhadap perkara MV Wise Honset dan Kepolisian Republik Indonesia yang menerima permohonan Bantuan Hukum Timbal Balik/MLA untuk melakukan penyitaan terhadap Kapal M/V Wise Honest, serangkaian tindakan tersebut bukanlah Pro Justicia dari pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Resolusi Dewan Keamanan PBB sangat krusial untuk ditransformasi ataupun diadopsi dalam hukum nasional karena merupakan landas pijak bagi penegak hukum untuk melaksanakan Pro Justicia dari Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, Sehingga perlu disusun formulasi khusus yang ideal untuk menyusun Resolusi DK-PBB dalam regulasi nasional. Selanjutnya tidak kalah pentingnya perlu dilakukan pertimbangan secara utuh terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB yang bersifat politis dan dapat merugikan kepentingan nasional.

*) SAKAFA GURABA SH.,MH., adalah Jaksa Fungsional Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri pada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Kejaksaan Agung. Tulisan ini pendapat pribadi tidak mewakili institusi tempat Penulis bekerja.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.