Pokok pokok ajaran Al qur an yang menjelaskan tata cara pengabdian seorang hamba kepada Allah adalah

Dalam beribadah kepada Allah SWT maupun menjalankan kehidupan, niat menjadi hal utama

Republika/Putra M. Akbar

Umat Islam saat beribadah di Masjid Lautze, Sawah Besar, Jakarta (ilustrasi)

Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam beribadah kepada Allah SWT maupun menjalankan kehidupan, niat menjadi hal utama. Selain niat, keikhlasan juga diperlukan agar segala usaha yang di lakukan menjadi lebih baik. Keberadaan niat harus disertai pembebasan dari segala keburukan, nafsu, dan keduniaan; harus ikhlas karena Allah. Dalam kitab Tazkiyatun Nafs yang dikutip Ustaz Ali Akhmadi, hal pertama yang dibahas adalah perihal ikhlas.

Ikhlas artinya memurnikan tujuan ber-taqarrub kepada Allah SWT dari hal-hal yang mengotorinya. Arti lainnya: menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan. Ikhlas adalah syarat diterimanya amal saleh yang dilaksanakan sesuai dengan sunah Rasulullah SAW.

Dalam QS al-Bayyinah ayat 5, Allah SWT berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan ke pada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka men dirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus."

Ustaz Ali Akhmadi menyebutkan, agama Islam merupakan agama yang bersih dari kesyirikan dan ria. Ikhlas menjadi kunci utama dalam menjalankan segala ibadah dan ketentuan yang diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan an-Nasai dituliskan, "Sesungguhnya Allah Subha nahu Wata'ala tidak menerima suatu amal kecuali jika dikerjakan murni ka rena-Nya dan mengharapkan wajah-Nya."

Keikhlasan juga disebut banyak dibahas dalam Alquran. Dalam QS al- An'am ayat 162, Nabi Muhammad SAW berkata, "Katakanlah sesungguhnya sha latku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam." Ini menunjukkan keikhlasan dan kepasrahan yang dilakukan Rasulullah dalam menjalankan kehidupannya.

"Seluruh kehidupan ini adalah ibadah. Kegiatan amal itu ada macam-macamnya, tapi jika dikelompokkan berda sarkan niat maka menjadi dua. Ada yang karena Allah dan Rasul dan ada yang ditambah dengan tujuan lainnya," ujar Ustaz Ali.

Suatu kelompok amal juga diawali dari niat. Siapa pun yang perbuatan hijrahnya betul-betul semata-mata karena Allah SWT dan Rasulnya, maka semua ibadah itu diterima oleh Allah SWT. Seseorang itu juga akan menda patkan kenikmatan di dunia maupun akhirat. Namun, jika seseorang mela kukan sesuatu karena dunia, ia akan mendapatkan dunia tanpa mendapatkan akhirat.

Dalam QS an-Nisa ayat 134 Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi) karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Men dengar lagi Maha Melihat."

Dalam QS as-Syura ayat 20 juga dituliskan, "Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan ba rang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat."

Dalam surah lainnya, yakni QS Hud ayat 15, Allah SWT kembali menegaskan akan kenikmatan dunia dan akhirat dari munculnya niat dan keikhlasan. Dalam ayat tersebut Allah berfirman, "Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan."

Ustaz Ali menyebut semua tentang niat dan keikhlasan serta nikmat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya telah dituliskan dengan gamblang dalam Alquran. Jika ada orang yang sibuk de ngan urusan kepada Allah SWT, dalam Al quran dijamin meski ia tidak meminta kenikmatan di dunia akan tetap diberi kan. Namun, bagi seorang hamba yang hanya berorientasi pada dunia, ia mendapatkan dunia tanpa mendapatkan akhirat.

"Catatan rezeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sudah diberikan 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan alam semesta," ujarnya. Ia pun menyebutkan, meski rezeki seseorang sudah dijamin, ikhtiar tetap diperlukan untuk menunjukkan kesungguhan dan ditujukan karena Allah SWT.

Kata ikhlas memang gampang untuk diucapkan, tetapi susah untuk dilaksa nakan. Terkadang sudah merasa ikhlas, tapi beberapa menit kemudian bisa jadi ada masalah sehingga niat ikhlas tadi men jadi batal. Kalau ikhlas yang dira sakan karena Allah, tidak akan ada omong an di belakang.

QS Fatir ayat 10 menegaskan tentang apa yang didapatkan seorang hamba adalah sama dengan apa yang ia ucap kan. Dalam ayat tersebut Allah SWT ber firman, "Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur."

Dari Abu Sa'id ra dalam HR Muslim disebutkan, Rasulullah bersabda, "Pada hari kiamat kelak setiap pengkhianat akan membawa bendera yang dikibar kan nya tinggi-tinggi sesuai dengan peng khianatannya. Ketahuilah, tak ada peng khianatan yang lebih besar daripada pengkhianatan seorang penguasa terhadap rakyatnya."

"Ikhlas ini memang tidak mudah, apalagi untuk Allah SWT. Ciri-ciri orang yang ikhlas, dia tidak banyak bicara ketika melakukan suatu hal dan niat dari awal ditujukan kepada Allah. Sikapnya juga sama ketika mendapatkan pujian atau celaan," ujar Ustaz Ali. 

Pokok pokok ajaran Al qur an yang menjelaskan tata cara pengabdian seorang hamba kepada Allah adalah

Antara/Yudhi Mahatma

Presiden ke-3 RI BJ Habibie menyampaikan pidato kepemimpinan

Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Dudung Abdul Rohman *)Tugas utama manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah. Karena itu segala aktivitas kita di dunia harus didedikasikan dan diorientasikan untuk ibadah dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]:56).Apapun status dan kedudukan manusia, apakah pejabat, konglomerat, maupun rakyat memiliki tugas mulia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah. Jangan mentang-mentang jadi pejabat, memiliki kekuasaan dan bergelimang dengan kekayaan, berbuat dan berulah sesuka nafsunya dengan meninggalkan kewajiban pokoknya untuk beribadah. Sehingga akan mendatangkan murka dari Allah dan dijauhkan dari kebarakahan dan keridhaan. Maka orang yang tidak mau beribadah dikategorikan sombong dan angkuh, karena tidak menyadari akan eksistensi dan tugasnya di dunia. Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu’. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS. Al-Mu’min [40]:60).Ibadah secara bahasa artinya tunduk dan patuh. Sedangkan secara istilah, banyak definisi yang dikemukakan para ulama mengenai pengertian ibadah. Misalnya  ada yang mendefinisikan, bahwa “Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta beramal sesuai dengan kewenangan syara’ (agama)”. Dalam kitab lain dikemukakan, bahwa “Ibadah adalah nama yang mencakup segala bentuk yang dicintai serta diridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatan, yang nyata atau yang tersembunyi” (A. Zakaria, 2006:4). Mengingat luasnya cakupan ibadah, maka para ulama membaginya menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdhah (khusus) yang kaitannya langsung dengan Allah (habl min Allah) dan ibadah ghair mahdhah (umum) yang kaitannya antar sesame manusia dan lingkungan (habl mi al-naas). Dalam melaksanakan ibadah harus didasarkan dan diniatkan ikhlas semata-mata mengharap keridhaan dan pahala dari Allah SWT Sehingga ibadah yang kita lakukan benar-benar dapat difokuskan pada pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah SWT Dalam Al-Qur’an diungkapkan: Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah [98]:5).Kemudian tujuan utama dari pelaksanaan ibadah itu adalah membentuk jiwa-jiwa yang bertakwa kepada Allah SWT. Misalnya tujuan dari ibadah shaum supaya menjadi orang yang bertakwa, begitu pula ibadah-ibadah yang lainnya. Karena takwa itu merupakan derajat yang paling tinggi sehingga manusia dapat mencapai puncak kemuliaan hidup di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman:Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]:21).

Karena tugas ibadah itu melekat pada perjalanan hidup manusia, maka tugas ibadah itu berlaku sepanjang hayat. Selama kita masih dapat menghirup udara segar di dunia, maka sepanjang itu pula kita tetap memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada Allah. Pada konteks perjalanan hidup ini, maka menjadi pemimpin pun merupakan lahan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan jalan pengabdian kepada masyarakat. Sehingga para pemimpin benar-benar dapat mencurahkan perhatian dan kemampuannya, dan berusaha untuk menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji karena khawatir mengotori niat suci untuk beribadah kepada Allah SWT melalui kepemimpinan dan kebijakan yang dikeluarkan. Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS. Al-Hijr [15]:99). Wallahu A’lam Bish-Shawaab.

*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung

  • kepemimpinan dan pengabdian
  • umat manusia
  • kepada allah

Pokok pokok ajaran Al qur an yang menjelaskan tata cara pengabdian seorang hamba kepada Allah adalah