Pertanyaan tentang kompetensi absolut dan relatif

Redaksi DuniaHR.com kali ini akan menjawab pertanyaan dari pembaca terkait dengan Kompetensi Relatif (Kewenangan Mengadili) dari Pengadilan Hubungan Industrial, karena selama ini banyak yang belum memahami terkait dengan Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di daerah yang mana yang berwenang mengadili gugatan perselisihan hubungan industrial yang diajukan oleh Penggugat.

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 definisi Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan Pasal 56 UU No.2 Tahun 2004 Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

  1. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
  2. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
  3. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
  4. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Berdasarkan Pasal 59 ayat 1 dan 2 UU No.2 Tahun 2004 Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan. Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat .

Kompetensi Relatif

Kompetensi Relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan untuk menangani/mengadili suatu sengketa/perkara didasarkan pada tempat/lokasi/domisili para pihak yang bersengketa atau didasarkan pada dimana objek yang disengketakan berada. Atau dengan kata lain, kompetenasi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk menangani perkara sesuai dengan wilayah hukum (yurisdiksi) yang dimilikinya. Oleh karena itu, para pihak dalam mengajukan gugatan untuk memperhatikan dimana tempat/lokasi/domisili para pihak serta objek yang disengketakan, dengan tujuan kompentesi relatif dari gugatan yang diajukan dapat diterima, diperiksa serta diadili oleh Hakim.

Baca Juga : UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja : Ketentuan Sanksi dan Penegakan Hukumnya

Berikut adalah 4 (empat) asas hukum perdata yang selama ini digunakan untuk menentukan kompetensi relatif suatu Pengadilan:

  1. Gugatan diajukan di Pengadilan dimana Tergugat berdomisili (Actor sequitur forum rei).
  2. Gugatan diajukan di mana benda tetap yang menjadi objek sengketa itu berada (Forum rei sitae). 
  3.  Gugatan diajukan di salah satu pengadilan tempat tinggal Tergugat jika Tergugat lebih dari satu orang.
  4. Gugatan diajukan di salah satu pengadilan yang dipilih/disepakati.

Pengaturan mengenai kewenangan relatif dalam HIR diatur pada Pasal 118, Kewenangan relatif ini menggunakan asas actor sequitor forum rei yang berarti yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.

Pertanyaan tentang kompetensi absolut dan relatif

football wife from Pexels

Sementara berdasarkan ketentuan Pasal 81 Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (”UU No. 2/2004”), menyatakan sebagai berikut:

”Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja”.

Berdasarkan Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut :

”Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004 secara hukum telah meniadakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/ Hukum Acara Perdata karena Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004 telah mengatur secara khusus mengenai kewenangan relatif dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Pasal 81 UU No.2 Tahun 2004 bersifat limitatif dan khusus. Dengan demikian Kompetensi Relatif dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)  yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu gugatan perselisihan hubungan industrial saat ini terbatas pada wilayah tempat dimana pekerja/buruh bekerja, bukan lagi berdasarkan pada wilayah dimana Tergugat bertempat tinggal/ berdomisili sebagaimana sebelumnya diatur dalam ketentuan pasal 118 HIR.

Konsekuensi hukum apabila Penggugat salah dalam menentukan kompetensi relatif dalam gugatan perselisihan hubungan industrial adalah gugatan Penggugat akan diputus Niet Onvantkelijk Verklaard/NO atau dengan kata lain gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut.

Demikian penjelasan yang dapat Redaksi DuniaHR.com berikan, semoga dapat menjawab pertanyaan dari pembaca.

 Salam,

Redaksi DuniaHR.com

[YAP]

Ingin bertanya seputar dunia kerja dan permasalahan praktis yang ditemui silahkan klik link dibawah ini “GRATIS” :

https://duniahr.com/ruang-konsultasi/

Jangan lupa follow sosial media kami :

https://www.instagram.com/duniahrcom/

https://www.linkedin.com/company/duniahr-com/

Mitra Kolaborasi :

Pasang Lowongan Kerja Gratis 100% tanpa syarat hanya di Bankloker.com

Eksepsi Kewenangan Absolut

Dikutip dari artikel Apa Saja yang Harus Dimasukkan dalam Jawaban Gugatan?, eksepsi kewenangan absolut adalah bantahan tergugat mengenai penggugat yang dinilai salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Ini berkaitan dengan pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus.

Masih bersumber dari artikel yang sama, misalnya dalam kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam sebab itu berada dalam yurisdiksi pengadilan agama.

Disarikan dari buku M. Yahya Harahap yang berjudul Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, eksepsi kewenangan absolut menurut Pasal 134 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechtsvorderin (“Rv”) dapat diajukan kapan saja, sebelum putusan dijatuhkan. Pengajuannya tidak dibatasi hanya pada sidang pertama, tetapi terbuka dalam segala tahap proses pemeriksaan (hal. 420).

Pasal 134 HIR sendiri memungkinkan hakim secara ex-officio menyatakan diri tidak berwenang mengadili:

Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, dapat di minta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib pula mengakuinya karena jabatannya.

Masih dari buku yang sama, M. Yahya Harahap menjelaskan hakim wajib menyatakan tidak berwenang mengadili secara absolut terhadap perkara yang sedang diperiksanya bersifat imperatif, meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi mengenai hal itu (hal. 421).

Dengan demikian, dengan ada atau tidaknya eksepsi, hakim wajib menyatakan diri tidak berwenang apabila cukup alasan objektif bahwa perkara yang dikemukakan dalam gugatan penggugat, termasuk dalam yurisdiksi absolut lingkungan peradilan lain (hal. 421).

Eksepsi Kewenangan Absolut dalam Gugatan Sederhana

Perlu Anda ketahui, hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap materi gugatan sederhana berdasarkan syarat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Perma 4/2019. Hakim menilai sederhana atau tidaknya pembuktian.[1]

Apabila dalam pemeriksaan, hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat.[2]

Menjawab pertanyaan Anda, dalam proses pemeriksaan gugatan sederhana, memang tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan.[3]

Adapun putusan gugatan sederhana terdiri dari:[4]

  1. kepala putusan dengan irah-irah yang berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";

  2. identitas para pihak;

  3. uraian singkat mengenai duduk perkara;

  4. pertimbangan hukum; dan

  5. amar putusan.

Sehingga bila ada kondisi putusan atas gugatan sederhana yang menerima eksepsi yang diajukan tergugat, hal ini dapat menimbulkan putusan yang cacat hukum.

Namun bila hakim menyatakan diri secara ex-officio tidak berwenang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ini bukanlah suatu putusan yang cacat hukum.

Ini dikarenakan apa yang diputus hakim justru berdasar pada ketentuan hukum acara perdata yang tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Perma 2/2015 dan Perma 4/2019.

Sehingga menurut hemat kami, perlu ditelisik lebih mendalam proses persidangan, muatan jawaban tergugat, pertimbangan hukum, dan amar dari putusan gugatan sederhana, hingga berujung pada pernyataan hakim tidak berwenang mengadili tersebut.

Upaya Hukum Keberatan

Adapun apabila penggugat tidak menerima putusan gugatan sederhana dengan dalih adanya cacat hukum seperti yang dimaksud di atas, penggugat bisa mengajukan upaya hukum keberatan.[5]

Keberatan diajukan kepada ketua pengadilan dengan menandatangani akta pernyataan keberatan di hadapan panitera disertai alasan-alasannya.[6]

Permohonan keberatan diajukan paling lambat tujuh hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan.[7]

Kepaniteraan menerima dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan keberatan disertai dengan memori keberatan.[8]

Permohonan keberatan yang diajukan melampaui batas waktu pengajuan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan berdasarkan surat keterangan panitera.[9]

Putusan terhadap permohonan keberatan diucapkan paling lambat tujuh hari setelah tanggal penetapan majelis hakim.[10] Putusan keberatan merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.[11]

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

[1] Pasal 11 ayat (1) dan (2) Perma 2/2015

[2] Pasal 11 ayat (3) Perma 2/2015

[3] Pasal 17 Perma 2/2015

[4] Pasal 20 ayat (1) Perma 2/2015

[5] Pasal 21 ayat (1) Perma 2/2015

[6] Pasal 21 ayat (2) Perma 2/2015

[7] Pasal 22 ayat (1) Perma 2/2015

[8] Pasal 23 ayat (1) Perma 2/2015

[9] Pasal 22 ayat (3) Perma 2/2015

[10] Pasal 27 Perma 2/2015

[11] Pasal 30 Perma 2/2015