Pernyataan diatas yang bukan program kerja dari Indische Partij ditunjukkan oleh nomor

tirto.id - Indische Partij (IP) merupakan salah satu organisasi yang berdiri pada era pergerakan nasional di Indonesia pada awal abad ke-20. Sejarah perjuangan perhimpunan berhaluan politik yang cukup keras ini digagas oleh Tiga Serangkai.

Tiga Serangkai terdiri dari Ernest Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Mereka mendirikan Indische Partij di Bandung, Jawa Barat, tanggal 25 Desember 1912.

IP cukup berani melancarkan kritikan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, termasuk melalui artikel berjudul “Als ik een Nederlander was" atau "Seandainya Aku Seorang Belanda" yang ditulis oleh Soewardi.

Akibatnya, Tiga Serangkai ditangkap dan diasingkan ke negeri Belanda. Indische Partij pun dibubarkan paksa pada 4 Maret 1913. Nantinya, para mantan aktivis IP mendirikan organisasi baru bernama Insulinde.

Berdirinya Indische Partij (IP)

Nyoman Dekker dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1993) menyebutkan bahwa Indische Partij adalah organisasi kebangsaan di era pergerakan nasional yang memiliki program jelas untuk menegakkan semangat nasionalisme.

Hal ini berbeda dengan perhimpunan sebelumnya yakni Boedi Oetomo (BO). BO, yang didirikan pada 20 Mei 1908 dan disebut-sebut sebagai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia dan diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, lebih berfokus dalam bidang kebudayaan serta pendidikan.

Pendirian Indische Partij digagas oleh seorang jurnalis berdarah campuran yakni Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Ia mengelola surat kabar De Expres yang nantinya menjadi media propaganda IP.

Pada 1912, Douwes Dekker mengajak Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang saat itu tercatat sebagai anggota Boedi Oetomo (BO).

Lantaran berbeda pandangan dengan angkatan tua di BO, Soewardi dan Tjipto memutuskan keluar, lalu bersama Douwes Dekker membentuk Indische Partij pada 25 Desember 1912. Tiga tokoh pendiri IP ini kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai.

Baca juga:

  • Sang Manusia Buangan Tjipto Mangoenkoesoemo
  • Ernest Douwes Dekker, Minoritas Indo yang Memuliakan Pribumi
  • Andai Ki Hadjar Seorang Belanda: Sejarah Radikal Begawan Pendidikan

Pemikiran Douwes Dekker

Robert Elson dalam The Idea of Indonesia: A History (2008) menyebut bahwa Douwes Dekker merupakan pemikir nasionalis.

Menurutnya, gagasan bangsa Indonesia bukan kesatuan yang dibangun atas solidaritas etnis atau ras, keagamaan, atau kedekatan geografis, tetapi karena rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus.

Pandangan politik Douwes Dekker juga dipengaruhi oleh prinsipnya yang lebih mengutamakan propaganda politik daripada ideologi politik.

Ini mendapat kritik dari Sneevliet (tokoh komunis asal Belanda di Indonesia) yang mengatakan bahwa Dekker membuat gerakan politik tanpa teori, atau teorinya bersifat samar.

Baca juga:

  • Hari Guru Nasional & Sejarah Perjuangan Ki Hajar Dewantara
  • Sejarah Hidup H.O.S. Tjokroaminoto: Pemimpin Abadi Sarekat Islam
  • Kapan Boedi Oetomo Didirikan, Latar Belakang Sejarah, & Tujuannya?

Pemikiran Tjipto Mangoenkoesoemo

Secara umum, pandangan Tjipto Mangoenkoesoemo mengenai persatuan Indonesia masih selaras dengan pemikiran Douwes Dekker.

Namun, dikutip dari tulisan "Nasionalisme dan Gagasan Kebangsaan Indonesia Awal: Pemikiran Soewardi Suryaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker 1912-1914" karya Wildan Seno Utomo dalam Lembaran Sejarah (2014), Tjipto menganggap bahwa persatuan antara kaum pribumi dengan Belanda adalah suatu hal yang membawa kemajuan.

Tjipto beranggapan penggabungan unsur-unsur Barat dan Timur sebagai faktor penting dalam menjamin pertumbuhan subur bagi negara dan rakyat, termasuk bagi kaum bumiputera di Hindia atau Indonesia.

Selain dikenal sebagai aktivis pergerakan nasional dan jurnalis, Tjipto Mangoenkoesoemo juga berprofesi sebagai seorang dokter. Namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit besar di Jakarta.

Baca juga:

  • Biografi WR Supratman: Cikal-Bakal Sejarah Hari Musik Nasional
  • Mengenal Sejarah, Isi, dan Tokoh-tokoh Sumpah Pemuda 1928
  • Pemberontakan DI-TII Kahar Muzakkar: Sejarah, Kronologi, Penumpasan

Pemikiran Soewardi Soerjaningrat

Soewardi Soerjaningrat merupakan pangeran dari Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Walaupun keturunan bangsawan, ia tidak terlalu menikmati kehidupan di istana. Nantinya, seiring berdirinya Taman Siswa pada 1922, Soewardi dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Bagi Soewardi Soerjaningrat, tujuan nasionalisme adalah menghapuskan dominasi kolonial dan menyadarkan kaum peranakan, indo, dan bumiputera harus bersatu menghadapi musuh yang sama, yaitu pemerintah kolonial.

Soewardi Soerjaningrat pada masa muda adalah sosok yang keras dan berani mengkritik kebijakan kolonial. Ia pun harus menjalani pengasingan serta berkali-kali masuk penjara sebelum memutuskan berjuang melalui kancah pendidikan bersama Taman Siswa.

Baca juga:

  • Sejarah Palagan Ambarawa: Latar Belakang & Tokoh Pertempuran
  • Penyebab Sejarah Pemberontakan DI-TII Daud Beureueh di Aceh
  • Sejarah Pertempuran Surabaya: Latar Belakang, Kronologi, & Dampak

Bubarnya Indische Partij

Dikutip dari Nyoman Dekker dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1993), pada 1913 pemerintah Belanda akan mengadakan peringatan 100 tahun kemerdekaan dari Perancis.

Untuk itu, seluruh wilayah jajahan Belanda, termasuk Hindia atau Indonesia, diminta menyumbang demi membantu pelaksanaan peringatan tersebut.

Hal itu tentunya ditentang oleh para tokoh Indische Partij, termasuk Tiga Serangkai. Bahkan, Soewardi Soerjaningrat dengan berani menulis artikel berjudul “Als ik een Nederlander was" atau "Seandainya Aku Seorang Belanda" untuk menyindir perayaan itu.

Baca juga:

  • Sejarah Pemberontakan RMS & Aksi Tokohnya
  • Sejarah Pemberontakan Andi Azis: Penyebab, Tujuan, Dampak
  • Sejarah Pemberontakan DI/TII Amir Fatah di Jawa Tengah

Tulisan satir yang dimuat di surat kabar De Expres itu sontak menuai kontroversi. Pemerintah kolonial pun turun tangan dan menuding bahwa tulisan Soewardi Soerjaningrat telah menghasut rakyat.

Maka, para tokoh IP terutama Tiga Serangkai, diseret ke pengadilan kolonial. Diputuskan bahwa mereka harus menjalani hukuman pengasingan ke Belanda.

Sepeninggal Tiga Serangkai, IP dibubarkan paksa oleh pemerintah kolonial. Namun, nantinya beberapa bekas tokoh IP mendirikan organisasi baru bernama Insulinde. Soewardi Soerjaningrat sempat bergabung dengan Insulide setelah pulang dari pengasingan

Baca juga:

  • Fosil Pithecanthropus Mojokertensis: Sejarah, Arti, Penemu, & Ciri
  • Arti Meganthropus Paleojavanicus: Sejarah, Penemu, Ciri, & Karakter
  • Sejarah Pithecanthropus Erectus: Penemu, Ciri, & Lokasi Ditemukan

Baca juga artikel terkait SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL atau tulisan menarik lainnya Alhidayath Parinduri
(tirto.id - hdy/isw)


Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Alhidayath Parinduri

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Indische Partij (Partai Hindia) adalah partai politik pertama di Hindia Belanda. Berdiri tanggal 25 Desember 1912 oleh tiga serangkai, yaitu E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara. Partai ini menjadi organisasi orang-orang pribumi dan campuran di Hindia-Belanda[1].

Pernyataan diatas yang bukan program kerja dari Indische Partij ditunjukkan oleh nomor

Indische Partij

Partai Hindia

Logo dari Indische Partij

Ketua umumE.F.E Douwes DekkerPendiriE.F.E Douwes Dekker
Suwardi Suryaningrat
Tjipto Mangoenkoesoemo
Dibentuk25 Desember 1912Dibubarkan4 Maret 1913Dipisah dariIndische BondDiteruskan olehInsulindeKantor pusatBandoeng, Hindia BelandaSurat kabarDe Express
Het TijdschrifcKeanggotaan (1913)7.000IdeologiNasionalisme Hindia
Nasionalisme Indonesia
IndependencePosisi politikTenda besarSloganIndie voor Indiers
"Hindia untuk orang Hindia"
Indische los van Holland
"Indonesia bebas dari Belanda"

  • Politik Indonesia
  • Partai politik
  • Pemilihan umum

Pernyataan diatas yang bukan program kerja dari Indische Partij ditunjukkan oleh nomor

Anggota Partai Indische: (duduk dari kiri) Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dr. E.F.E. Douwes Dekker, R.M. Soewardi Soerjaningrat; (berdiri dari kiri): F. Berding, G.L. Topée, dan J. Vermaesen.

Sebagai seorang Indo, Douwes Dekker merasa terjadinya diskriminasi yang membeda-bedakan status sosial antara Belanda totok (asli), Indo (campuran), dan Bumiputera (pribumi) oleh pemerintah Hindia-Belanda. Kedudukan dan nasib para Indo tidak jauh berbeda dengan Bumiputera. Indo yang melarat banyak ditemui di Jakarta (Kemayoran), Semarang (Karangbidara), dan Surabaya (Kerambangan). Belanda totok memandang para Indo lebih rendah dari pada mereka. Pandangan ini pernah diungkapkan dalam buletin "Bond van geneesheeren" (Ikatan para dokter) pada September 1912. Dalam buletin tersebut, para dokter Belanda asli mencela pemerintah yang bermaksud untuk mendirikan Sekolah Dokter kedua (NIAS) di Surabaya yang terbuka untuk segala bangsa. Mereka menganggap kaum Indo yang hina tidak pantas menjadi dokter. [2]

Menurut Dekker, jika kaum Indo ingin merubah nasib, maka mereka harus bekerjasama dengan Bumiputera untuk mengadakan perubahan. Hindia bukan hanya diperuntukkan untuk Belanda totok, namun untuk semua orang yang merasa dirinya seorang Hindia. Pandangan ini menjadi dasar dari ideologi nasionalisme yang di usung oleh Indische Partij.[3]

Kritikan terhadap kehidupan kolonial telah ada sejak awal abad 20. Seperti yang dilakukan oleh Tjipto Mangunkusumo yang mengkritisi melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di surat kabar De Locomotief. Menurutnya, masyarakat Jawa sulit untuk maju karena dikungkung oleh foedalisme serta masyarakat secara keseluruhan mengalami eksploitasi yang berlebihan. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan dan keterbelakangan sehingga ia berpikir kolonialisme harus di akhiri. Menurutnya, cara untuk mengakhiri kolonialisme ialah dengan perjuangan politik. Hal inilah yang menyebabkan Tjipto Mangunkusumo keluar dari Budi Utomo yang tidak sepemikiran dengannya. Kemudian ia bertemu dengan Dekker dan Suwardi Suryaningrat yang sepemikiran dan membentuk Indische Partij.[3]

Sedangkan Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara mengkritik pemerintah Hindia-Belanda dalam tulisan-tulisannya. Berbagai tulisan yang memuat pandangan-pandangannya tentang kehidupan masyarakat kolonial yang timpang dimuat dalam koran dan majalah seperti Het Tijdschrift dan De Expres. Suwardi berpandangan bahwa dominasi golongan Belanda totok terhadap orang Indo dan Bumiputera harus diakhiri karena dilandasi oleh kesewenang-wenangan pemerintah kolonial. Dalam tulisannya tersebut, Suwardi menekankan pentingnya nasionalisme Hindia dalam setiap perjuangan politik sehingga dapat mengakhiri eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah.[3]

Di Bandung, sudah sejak lama terdapat organisasi Indo-Eropa seperti organisasi Indische Bond yang berdiri tahun 1899 (1898) dan organisasi Insulinde yang berdiri tahun 1907. Kedua organisasi tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat kaum Indo dalam bidang sosial-ekonomi dan menjalin perserikatan dengan Belanda tanpa memisahkan diri dari negara induk. Pemikiran ini tentu saja bertolak belakang dengan Dekker. Dalam pidatonya di hadapan anggota Indische Bond tanggal 12 Desember 1911 yang berjudul "Aansluiting tussen blank en bruin" (Gabungan kulit putih dengan kulit sawo), Dekker membangkitkan semangat kaum Indo untuk memberontak dan melepaskan diri dari pemerintah kolonial. Dan karena jumlah kaum Indo yang sedikit, maka mereka harus bersama-sama dengan kaum Bumiputera berjuang dengan kaum Indo menjadi pelopor.[2]

Pidatonya tersebut dapat mempengaruhi beberapa anggota Indische Bond sehingga terbentuk Panitia Tujuh yang bertugas mempersiapkan pembentukan organisasi baru. Panitia Tujuh tersebut terdiri dari J. R. Agerbeek, J. D. Brunveld van Hulten, G. P. Charli, E. C. I. Couvreur, E. V. E. Douwes Dekker, J van der Poel, dan R. H. Teuscher. Pada tanggal 6 September 1912, Panitia Tujuh melakukan suatu rapat di bawah pimpinan Dekker di Bandung dan hasilnya terbentuk perhimpunan baru bernama Indische Partij. Pada tanggal 15 September 1912, tiga tokoh penting Indische Partij (E. V. E. Douwes Dekker, J van der Poel, dan J. D. Brunveld van Hulten) bergerak mendatangi kota-kota Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Semarang, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Di setiap kota yang dikunjungi dilakukan rapat-rapat yang dihadiri oleh berbagai perhimpunan seperti Insulinde Sarekat Islam, Budi Utomo, Kartini Club, Mangunhardjo dan perhimpunan Tiong Hoa Hwee Koan serta mendirikan cabang partai.[2]

Cipto Mangunkusumo bergabung di Surabaya bersama 70 orang lainnya. Ia jauh-jauh dari Malang menemui kawan lamanya karena melihat kesamaan visi politiknya dengan Dekker. Sedangkan Suwardi bergabung karena Dekker kagum dengan tulisan-tulisannya di De Expres dan Oetoesan Hindia. Pada November 1912, keduanya ditarik ke Bandung untuk menjadi direktur harian De Expres.

Dekker memberikan pidato di vergadering untuk menarik massa dan ini merupakan hal baru di Hindia-Belanda. Pada vergadering di Bandung, Dekker mengatakan bahwa berdirinya Indische Partij merupakan pernyataan perang, yaitu sinar yang terang melawan kegelapan; peradaban melawan tirani; kebaikan melawan kejahatan; budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak, Belanda. Pidatonya yang menggebu dengan mudah menarik banyak massa. Dalam vergadering di Semarang 18 September 1912, sekitar 300 orang datang mendengarkan pidato Dekker.[4] Bagi orang-orang yang tidak dapat bergabung Budi Utomo karena bukan orang Jawa, dapat diterima di Indische Partij; orang non-muslim yang segan bergabung dengan Sarekat Islam, dapat dengan leluasa bergerak di Indische Partij; begitu pula golongan progresif Budi Utomo yang tidak puas dengan organisasinya, dengan mudah mencari kepuasan politik di Indische Partij; dan orang-orang Sarekat Islam yang revolusioner, terpenuhi kehendaknya bila masuk Indische Partij.[2]

Karena besarnya antusiasme masyarakat Hindia-Belanda terhadap Indische Partij, dalam waktu empat bulan saja mereka telah memiliki 25 cabang dengan jumlah anggota 5,775 orang. Indische Partij cabang Surabaya saat itu memiliki anggota 827, Semarang 1.375, Jakarta 809, dan Bandung 740 orang.[2] Indische Partij dapat menjaring anggota hingga 7000-an orang dan sekitar 1000-an di antaranya kaum Bumiputera. Indische Partij juga memiliki 30 cabang di seluruh Hindia-Belanda. Tidak hanya itu, Indische Partij juga menerima anggota dari keturunan China, Arab, dan lainnya.[5][4]

Indische Partij melakukan beberapa usaha agar terjadi kerja sama antara orang Indo dan Bumiputera. Usaha tersebut diantaranya:

  • Menyerap cita-cita nasional Hindia (Indonesia)
  • Memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik dalam bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan
  • Memberantas berbagai usaha yang mengakibatkan kebencian antaragama
  • Memperbesar pengaruh pro-Hindia di pemerintahan
  • Berusaha mendapatkan hak bagi semua orang Hindia
  • Dalam pengajaran, harus bertujuan bagi kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat ekonomi mereka yang lemah.

Setelah perjalanan propaganda berakhir, pada tanggal 25 Desember 1912 diadakan permusyawaratan wakil-wakil Indische Partij. Dalam permusyawaratan tersebut tersusunlah Anggaran Dasar dan pengurus partai. Susunan pengurusnya sebagai berikut:

  • Ketua: E.F.E Douwes Dekker
  • Wakil: dr. Tjipto Mangunkusumo
  • Panitia: J.G van Ham
  • Bendahara: G.P Charli
  • Pembantu: J.R Agerbeek dan J.D Brunveld van Hulten

Bendera hitam dijadikan sebagai bendera partai. Warna hitam tersebut ada yang menafsirkan sebagai identik warna kulit indier. Ada juga yang menafsirkan sebagai warna berkabung karena belum merdekanya tanah air. Pada pojok kanan, terdapat jalur-jalur triwarna yaitu hijau-merah-biru. Warna hijau melambangkan tujuan yang akan dicapai yakni kemakmuran, warna merah melambangkan semangat keberanian partai, dan warna biru melambangkan kesetiaan indier terhadap tanah airnya.[2]

Indische Partij merupakan partai pertama Indonesia yang menggaungkan kebebasan Hindia dengan semboyan “indie untuk indier”. Hindia merupakan rumah nasional (national home) bagi semua orang baik keturunan Bumiputera, Belanda, China, Arab, dan lainnya yang mengakui Hindia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini dikenal dengan Indisch Nationalisme yang kemudian melalui Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional Indonesia menjadi Indonesisch Nationalisme atau Nasionalisme Indonesia.[2]

Pada tahun 1913 diumumkan rencana pemerintah untuk pembentukan Dewan Perwakilan di Hindia Belanda dengan nama Koloniale Raad atau Dewan Jajahan. Baik nama maupun susunan pengurus dewan tidak disetujui oleh masyarakat Bumiputra karena nama Koloniale Raad merupakan hinaan terhadapan pergerakan nasional. Sudah dapat dipastikan akan membela kaum penjajah dan mengabaikan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, sudah sewajarnya Koloniale Raad ditentang para nasionalis. Kaum nasionalis yang tergabung dari berbagai perhimpuan menolak Koloniale Raad dan menuntut agar Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih oleh pemerintah Hindia Belanda seimbang, antara penduduk asing dan penduduk pribumi. Beberapa pengurus Serikat Islam cabang Bandung seperti Soewardi Surjaningrat, Abdoel Moeis, dan Akhmad Hassan Wignjadisastra yang ikut terlibat aktif dalam Indische Partij dan mungkin akan mempengaruhi penduduk Bumiputra untuk melawan penjajah sehingga pemerintah harus berhati-hati.

Pada tanggal 25 Desember 1912, para pemimpin Indische Partij menuju Istana Bogor untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini penting agar Indische Partij tidak dianggap sebagai perkumpulan liar dan meresahkan. Ketika melihat permohonan Dekker untuk pengakuan badan hukum atas Indische Partij, pemerintah menugaskan penasihat urusan pribumi yaitu Dr. G.H.J Hazeu untuk menyelidiki Dekker. Pada 13 Januari 1913, laporan tentang Dekker yang berisi tentang latar belakang pribadi, gagasan dan cita-cita serta pengaruh dari propaganda terhadap masyarakat Hindia-Belanda diserahkan pada Gubernur Jenderal Idenburg.

Pada tanggal 4 Maret 1913, Gubernur Jenderal Idenburg secara resmi menolak permohonan pengurus Indische Partij untuk memperoleh status badan hukum dengan mengacu pada pasal 111 Regerings-Reglement atau Peraturan Pemerintah tahun 1854. Penggunaan pasal itu sendiri cukup membuat pengurus Indische Partij terkejut karena sudah lama pemerintah Hindia-Belanda bermaksud meninggalkan pasal tersebut.

Setelah mengetahui putusan penolakan, tanggal 5 Maret, Dekker dan pengurus lainnya mengadakan pembicaraan mengenai langkah selanjutnya. Rapat tersebut menghasilkan putusan untuk mengubah bunyi pasal 2 tentang tujuan Indische Partij. Setelah itu, Dekker kembali menghadap Idenburg, namun kembali ditolak pada surat keputusan tanggal 11 Maret 1913 dengan alasan walaupun bunyi pasal 2 diubah, tidak sama sekali bermaksud merubah dasar dan jiwa organisasi. Pada tanggal 13 Maret, Dekker mencoba ke tiga kalinya namun tetap ditolak. Saat itu Dekker mempertanyakan tentang apakah pemerintah kelak akan memberikan kemerdekaan pada tanah jajahan. Idenburg menggelengkan kepala dan menyatakan bahwa masalah kemerdekaan Hindia-Belanda tidak menjadi soal.[6][7]

Karena telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang, pimpinan partai memutuskan untuk membubarkan Indische Partij pada 31 Maret 1913. Pesan terakhir Dekker untuk para anggotanya supaya mereka pindah ke dalam perkumpulan Insulinde yang diakui pemerintah dengan berbekal jiwa Indische Partij. Kegiatan-kegiatannya diteruskan oleh Insulinde yang berpusat di Semarang. Tanggal 6 September dimana Indische Partij terbentuk diperingati sebagai hari Indische Partij. Walaupun tindak tegas pemerintah membuahkan hasil sehingga banyak anggota Indische Partij menciut nyalinya, namun De Expres tetap bertahan. Pada tahun 1914, kartu nama, kertas, dan sejenisnya dengan warna-warni Indische Partij masih diiklankan di De Expres. [8]

Tiga serangkai terus menyuarakan kritikan mereka terhadap pemerintah melalui De Expres. Seperti ketika pemerintah Hindia-Belanda bermaksud merayakan ulang tahun ke-100 tahun kemerdekaan Belanda dari Napoleon Bonaparte di Hindia-Belanda dengan menarik biaya dari rakyat, mereka membentuk “Komite Bumiputera”. Komite ini nantinya memberikan ucapan selamat kepada ratu dan memintanya untuk mencabut pasal 111 R.R. dan segera mengadakan suatu Parlemen Hindia.[2]

Sedangkan Suwardi Suryaningrat membuat tulisan yang menyindir pemerintah Hindia-Belanda yang berjudul Als ik eens nederlander Was atau “Andai aku seorang Belanda”. Isi tulisan Suwardi tersebut diantaranya:

... Seandainya aku seorang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan itu. Aku akan peringatkan kawan-kawan penjajah, bahwa sesungguhnya sangat berbahaya pada saat itu mengadakan perayaan peringatan kemerdekaan. Aku akan peringatkan semua bangsa Belanda, jangan menyinggung peradaban bangsa Indonesia yang baru bangun dan menjadi berani. Sungguh aku akan protes sekeras-kerasnya...[5]

Kemudian Tjipto Mangunkusumo juga menulis sebuah tulisan berjudul Kracht of Vrees? yang berarti “Kekuatan atau Ketakutan?”. Akibatnya, mereka berdua ditangkap oleh Belanda dan diasingkan. Kemudian Dekker memprotes penangkapan kedua temannya dan menulis Onze Helden: Tjipto Mangunkusumo en R.M. Suwardi Suryaningrat (Pahlawan kita: Tjipto Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat).

Kegiatan komite yang diprakarsai oleh tiga serangkai ini dianggap berbahaya oleh pemerintah sehingga berdasarkan pasal 48 R.R, Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan hukuman pengasingan pada mereka. Awalnya 18 Agustus 1913 pengasingan dalam negeri dan kemudian diubah jadi pengasingan luar negeri pada 27 Agustus, ke Belanda.[2] Dengan diasingkannya para tokoh Indische Partij, berakhirlah kiprah Indische Partij di Indonesia. Van Deventer mengibaratkan organisasi ini sebagai bayi yang gugur sebelum lahir. Artinya, Indische Partij belum dapat membuktikan kebesarannya di tengah-tengah organisasi pergerakan nasional karena pemerintah Hindia-Belanda sudah membubarkannya.[5]

Pengasingan E.F.E. Douwes Dekker dicabut pada Agustus 1917, Suwardi Suryaningrat pada Juli 1918, dan dr. Tjipto Mangunkusumo pada Juli 1914. Setibanya di Hindia-Belanda, dr. Tjipto Mangunkusumo bergerak di bidang politik yang kemudian menjadi anggota PNI. Sedangkan Dekker dan Suwardi terjun ke bidang pendidikan. Mereka masing-masing mendirikan sekolah “Ksatrian Instituut” dan sekolah Taman Siswa yang berarti memperkuat barisan sekolah swasta yang telah dirintis oleh sekolah Muhammadiyah.[2]

  1. ^ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977) Sedjarah Islam di Sumatera Yogyakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan. hal 55-56
  2. ^ a b c d e f g h i j Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1977). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur. Jawa Timur: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Hal 57-65.
  3. ^ a b c "Kaum nasionalis dalam dunia pergerakan" (Pdf). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Diakses tanggal 15 Februari 2022. 
  4. ^ a b "Nasionalisme dan Gagasan Kebangsaan Indonesia Awal: Pemikiran Soewardi Suryaningrat, Tjiptomangoenkusumo dan Douwes Dekker 1912-1914" (Pdf). jurnal.ugm.ac.id. Diakses tanggal 15 Februari 2022. 
  5. ^ a b c Slamet Muljana (2007) Sejarah. Sumatera Barat: Yudhistira Ghalia Indonesia. Hal 37-38. ISBN 9790191391
  6. ^ Slamet Muljana (2008) ‘’Kesadaran Nasional ; Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (Jilid 1) Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara. Hal 97-98. ISBN 9791283559
  7. ^ "PERJUANGAN ERNEST FRANCOIS EUGENE DOUWES DEKKER DARI POLITIK MENUJU PENDIDIKAN 1913-1941" (Pdf). AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. Diakses tanggal 3 Maret 2022. 
  8. ^ Kees Van Dijk (2020) ‘’‘’Hindia Belanda dan Perang Dunia 1, 1914 – 1918’’ Jakarta: Banana. ISBN 979107934X

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=National_Indische_Partij&oldid=21067901"