KOMPAS.com - Kerja sama atau gotong royong dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana bentuk kerja sama dalam berbagai bidang kehidupan? Bentuk kerja sama atau gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat terlihat dari:
Dikutip dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, berikut ini penjelasannya:
Landasan kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia adalah Pancasila sila ke-4 yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Pancasila sila ke-4 menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan:
Pangkal tolak pelaksanaan kehidupan sosial politik bangsa Indonesia adalah gotong royong. Tercermin dalam proses pengambilan keputusan di lembaga-lembaga negara dan organisasi kemasyarakatan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Baca juga: Musyawarah Mufakat Bagian dari Kehidupan Berdemokrasi
Dalam kehidupan ekonomi kerja sama digambarkan pada UUD 1945 pasal 23A yang berbunyi "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan perundang-undangan". Pembangunan nasional untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dibiayai dari pajak. Setiap wajib pajak gotong royong membiayai pembangunan nasional melalui pembayaran pajak. Landasan lain adalah UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan". Menurut Moh. Hatta, UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 merupakan soko guru sistem perekonomian di Indonesia. Artinya kegiatan usaha ekonomi menggunakan prinsip kerja sama, saling membantu dalam suasana demokrasi ekonomi untuk mencapai kesejahteraan bersama secara adil. Wujud badan usaha yang dimaksud pasal itu adalah koperasi yang berlandaskan prinsip kerja sama dan kekeluargaan. Salah satu asas koperasi adalah gotong royong dan kekeluargaan. Keunggulan koperasi dibandingkan badan usaha lainnya adalah:
Baca juga: Modernisasi Koperasi, Pemerintah Perlu Gandeng Milenial
Pasal 30 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan "Tiap-tiap negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara". Selain itu, pasal 27 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara". Kerja sama warga negara untuk mewujudkan pertahanan dan keamanan negara merupakan contoh sikap bela negara. Bela negara adalah sikap mental seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta dalam usaha melindungi dan mempertahankan keberadaan bangsa dan negara. Bagi bangsa Indonesia, bela negara adalah hak dan kehormatan sebagai warga negara sekaligus kewajiban hukum yang harus dijalani oleh setiap warga negara. Kesadaran bela negara mengembangkan nilai kenegaraan yang diperuntukkan pada pembangunan Sistem Pertahanan Negara terdiri dari lima nilai dasar bela negara yaitu:
Keamanan dan pertahanan negara menjadi tanggung jawab seluruh komponen negara. Sesuai doktrin pertahanan negara Indonesia yang menganut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Artinya menjadikan rakyat sebagai komponen pendukung bersama-sama TNI dan POLRI berperan penting dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, keselamatan bangsa dari ancaman dan gangguan. Baca juga: Indahnya Toleransi Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu". Kerja sama antarumat beragama dalam berbagai bidang kehidupan dilakukan untuk mewujudkan kerukunan hidup. Kerja sama ini bukan dalam hal keyakinan agama tetapi pada upaya menciptakan kerukunan hidup antarpemeluk agama melalui sikap saling menghormati dan toleransi. Kerja sama antarumat beragama ditandai dengan sikap-sikap sebagai berikut:
Untuk mengembangkan sikap kerja sama antarumat beragama, setiap warga negara harus menghindari sikap tidak terpuji seperti:
Ponorogo (ponorogo.bawaslu.go.id) Mohammad Ihsan, Tim Asistensi Bawaslu Republik Indonesia memaparkan setidaknya ada 4 elemen penting dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Keempat elemen tersebut yakni pertama terkait regulasi, kedua pemilihan, ketiga penyelenggara, dan keempat peserta Pemilihan. “Berbicara mengenai regulasi tidak hanya mengenai regulasi teknis, hal lain yang penting yakni melihat kembali perdebatan dalam pelaksanaan Pemilu menjadi bagian rezim Pemilu atau pemerintahan daerah bagi Pilkada.” Ungkapnya saat menjadi narasumber Tadarus Pengawasan Pemilu edisi-24 via online, Rabu (20/5). Rujukan utamanya atas regulasi tersebut yakni UU Dasar 1945, Pasal 22E UUD 1945, Pasal 18 Ayat 4, Undang-undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Masih kata Mohammad Ihsan, terkait elemen penyelenggara ada 3 lembaga penting dalam Pemilihan dengan peran dan fungsinya masing-masing, pertama yaitu KPU sebagai pelaksana tahapan penyelenggaraan Pemilu, kedua Bawaslu sebagai lembaga yang bertugas melakukan pencegahan, pengawasan dan penindakan, serta yang ketiga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai penegak kode etik. Indeks Kerawanan Pemilu dan Pilkada Sementara dikesempatan yang sama Tim Asistensi Bawaslu RI, Masmulyadi menyatakan bahwa Kerawanan Pemilu adalah sesuatu yang menimbulkan kegawatan atau bahaya. Pada penyelenggaraan Pemilu Bawaslu secara konseptual mencoba merumuskan kerawanan, sebagai upaya untuk memetakan berbagai hal yang menimbulkan gangguan yang berpotensi menghambat proses pemilihan umum maupun pemilihan Kepala Daerah yang inklusif dan benar. “Dari segala hal itu sangat untuk lebih mudah kita bagai dalam 4 dimensi yaitu yang pertama dimenasi konteks sosial politik, kedua pemilihan yang adil dan bebas, ketiga dimensi kontestasi dan keempat atau yang terakhir yaitu dimensi partisipasi.” Paparnya. Lebih lanjut dirinya menerangkan dari dimensi-dimensi tersebut selanjutnya di turunan menjadi beberapa variabel, dengan rincian dimensi konteks sosial politik ada 4 variabel, dimensi kedua ada 5 variabel, dimensi kontestasi ada 3 variabel ukur, sedangkan yang ke 4 yaitu dimensi partisipasi sebagai dimensi yang cukup penting karena menyangkut legitimasi, dimana semakin besar nilai dari dimensi tersebut, semakin besar pula legitimasi penyelenggran Pemilu, ada 3 hal variable. “Dalam konteks Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah ukuran partisipatif sangat penting guna melihat seberapa besar kontribusinya pada peta kerawanan.” Pungkasnya. Selain Mohammad Ihsan dan Masmulyadi, Tim Asistensi Bawaslu RI yang menjadi narasumber Tadarus Pengawasan Pemilu edisi-24 yakni M.Zaid dan Deytri Aritonang, kesemuanya membahas tema besar terkait standar tata laksana pengawasan dan sosislisasi Pemilu dan Pilkada yang juga disiarkan secara online melalui channel youtube Bawaslu RI. Editor : Nanda, Foto : Muchtar. |