Gharim adalah orang yang berhak atas zakat fitrah. Siapa mereka? Simak di sini. Show Menunaikan zakat fitrah adalah wajib bagi umat Islam, kecuali 8 orang yang termasuk dalam mustahik. Salah satu dari golongan tersebut, yaitu gharim. Golongan gharim adalah mereka yang memiliki hutang sehingga tidak mampu menunaikan zakat. Oleh karena itu, mereka berhak menerima zakat. Namun, tidak semua umat Islam yang memiliki hutang disebut gharim. Ada beberapa kriteria untuk menentukan gharim berdasarkan tujuan berhutang. Lalu sebenarnya, apa itu gharim dan bagaimana ketentuan zakat gharim? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini. Pengertian gharimGharim adalah salah satu kelompok orang yang berhak menerima zakat sesuai dengan perintah di Q.S. At Taubah ayat 60. Alasan mereka gugur untuk menunaikan bayar zakat disebabkan oleh adanya hutang yang belum mampu melunasi kewajiban hutangnya. Dengan kata lain, gharim adalah debitur yang kesulitan melunasi utang. Namun, utang yang dimaksud dengan gharim adalah sesuatu yang ia pinjam untuk kepentingan dan kebaikan orang lain serta bukan untuk hal buruk. Menanggapi hal ini, sejumlah pendapat muncul untuk menentukan apa itu gharim dan bagaimana seseorang bisa disebut sebagai penerima zakat gharim. Berikut beberapa pendapat mengenai apa itu gharim. Sejatinya, seseorang yang dimaksud dengan gharim adalah mereka yang berhutang untuk hal kebaikan dan bukan hanya kepentingan pribadi. Selain itu, adanya musibah atau bencana alam juga merupakan alasan pasti seseorang disebut sebagai gharim Pengertian gharim menurut ulama madzhabDefinisi apa itu gharim menurut ulama madzhab terbagi menjadi 2, yaitu: Menurut Madzhab Syafi'i dan HambaliBerdasarkan kedua madzhab ini, apa yang dimaksud gharim adalah seseorang yang berutang untuk kepentingan kelompok atau keluarga dan kebaikan dirinya (bukan hal yang haram). Berikut penjelasan lengkapnya:
Menurut Madzhab Maliki dan HanafiGharim adalah seseorang yang memiliki utang dan tidak memiliki cukup harta untuk melunasinya. Kondisi ini membuat seseorang tersebut menjadi fakir dan merupakan syarat penerima zakat. Hal inilah yang menjadi syarat bagi seseorang untuk disebut sebagai gharim menurut Madzhab Maliki dan Hanafi. Pengertian gharim menurut ulama tafsirDefinisi apa itu gharim menurut ulama tafsir terbagi menjadi 2, yaitu: Al-QurtubiMenurut pendapat ini, gharim adalah seseorang yang memiliki utang dan tidak memiliki kemampuan lebih untuk membayar atau melunasinya. Al-TabariSerupa dengan pendapat sebelumnya, gharim adalah orang yang memiliki utang namun tidak mempunyai harta benda. Umumnya, hal ini terjadi ketika seseorang tertimpa musibah bencana alam yang mengakibatkan kehilangan sejumlah harta benda. Jadi, pada dasarnya mereka berutang karena terpaksa dengan keadaan bukan karena pemborosan atau hal duniawi lainnya. Syarat seseorang disebut gharimMengacu pada sejumlah pendapat di atas, terdapat beberapa hal untuk dijadikan acuan bagi seseorang yang berhak atas zakat gharim. Syarat seseorang bisa dikatakan sebagai gharim adalah:
Kedudukan gharim dalam fikihZakat merupakan cara umat Islam dan ibadah untuk semakin merekatkan hubungan antar sesama dengan membantu kesulitan orang lain, termasuk mereka yang tidak mampu membayar utang. Menurut fikih, membantu orang yang berutang dengan harta zakat, berarti telah mencapai dua tujuan utama, yaitu:
Di sisi lain, tujuan zakat gharim adalah menghilangkan riba dari seseorang yang berutang. Dengan demikian, ia tidak perlu menjual barang kebutuhan primernya yang akan mengakibatkan hidupnya lebih kesusahan. Dalam Islam, kedudukan gharim adalah penting untuk diperhatikan. Sebab, dampak dari adanya utang bukan hanya menyangkut ketentraman pribadi saja, namun juga perjalanan akhlak dan hidupnya. Terlepas dari hal tersebut, Islam selalu menganjurkan untuk menghindari utang, seperti melakukan beberapa hal berikut:
Pada intinya, gharim adalah seseorang yang belum mampu menunaikan kewajiban membayar zakat karena hutang yang dimilikinya. Oleh karena itu, mereka berhak atas zakat gharim. Meski demikian, tidak semua kasus hutang bagi umat Islam bisa termasuk dalam golongan ini. Pada intinya, gharim adalah seseorang yang belum mampu menunaikan kewajiban membayar zakat karena hutang yang dimilikinya. Oleh karena itu, mereka berhak atas zakat gharim. Meski demikian, tidak semua kasus hutang bagi umat Islam bisa termasuk dalam golongan ini. Baca Juga:
Apa itu gharim? Gharim adalah orang yang berhutang namun tak sanggup membayarnya sehingga gharim artinya debitur. KOMPAS.com - Gharim adalah sebutan untuk salah satu golongan yang berhak menerima zakat. Istilah ini merujuk pada Alquran yakni surat At-taubah ayat 60. Lalu apa itu gharim? Dikutip dari laman Islamic Market, gharim adalah orang yang memiliki utang namun tidak sanggup untuk melunasinya. Dengan kata lain, gharim artinya debitur yang kesulitan membayar utangnya. Setiap madzhab dalam Islam sendiri memiliki pengertian yang berbeda-beda dalam menentukan apakah seseorang disebut gharim atau tidak sehingga bisa menerima zakat. Dalam madzhab Hanafi dan Maliki disebutkan, gharim adalah orang yang berhutang di mana jumlah hartanya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah utangnya. Baca juga: Berapa Liter Beras untuk Zakat Fitrah? Sementara menurut pendapat madzhab Syafi'i dan Hambali, seseorang bisa dikatakan gharim artinya apabila dia berhutang untuk kebaikan, baik keluarga atau dirinya sendiri. Seseorang bisa saja menjadi gharim adalah misalnya karena tertimpa musibah seperti kebakaran, banjir, dan sebagainya. Sementara mereka yang berhutang karena sifat boros tidak termasuk dalam kategori apa itu gharim. Simak artikel terkait zakat dalam tautan berikut ini, baik zakat fitrah maupun zakat mal. Baca juga: Mengenal Zakat Mal: Pengertian, Hukum, dan Cara Menghitungnya Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Baca berikutnya “Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga”. (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih) Risalah kali ini adalah lanjutan dari risalah sebelumnya. Pada risalah sebelumnya, kami telah menjelaskan mengenai keutamaan orang yang memberi pinjaman, keutamaan memberi tenggang waktu pelunasan dan keutamaan orang yang membebaskan sebagian atau keseluruhan hutangnya. Pada risalah kali ini agar terjadi keseimbangan pembahasan, kami akan menjelaskan beberapa hal mengenai bahaya orang yang enggan melunasi hutangnya. Semoga bermanfaat. Keutamaan Orang yang Terbebas dari HutangDari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ “Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.” Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.” Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut. Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142) Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih) Masih Ada Hutang, Enggan Disholati Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”. Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut. Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289) Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati SyahidDari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886) Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » . “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).” Orang-orang semacam inilah yang apabila berhutang lalu berjanji ingin melunasinya, namun dia mengingkari janji tersebut. Dan orang-orang semacam inilah yang ketika berkata akan berdusta. (Syarh Ibnu Baththol, 12/38) Itulah sikap jelek orang yang berhutang sering berbohong dan berdusta. Semoga kita dijauhkan dari sikap jelek ini. Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berlindung dari hutang ketika shalat? Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah. كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ». Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2399. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih kecuali kalimat fid dunya –di dunia-) Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas. Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ “Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih) Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً “Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393) Ya Allah, lindungilah kami dari berbuat dosa dan beratnya hutang, mudahkanlah kami untuk melunasinya. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. *** Yogyakarta, 6 Shofar 1430 H Penulis: Muhammad Abduh TuasikalArtikel https://rumaysho.com |