Orang yang berbuat kebaikan karena Allah SWT adalah orang yang

PENUHI HARI DENGAN BERBUAT KEBAIKAN

Oleh Indra Nurdianto

“Dan infaqkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

(QS. Al-Baqarah, 2:195)

Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah SWT untuk senantiasa memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, suka berderma, suka menghargai, dan sebagainya). Di dalam berkehidupan sosial, berbuat baik merupakan tolak ukur kebermanfaatan seseorang dalam hal berinteraksi kepada sesama. Ihsan adalah bentuk mashdar dari kata ‘ahsana – yuhsinu – ihsaanan’ yang berarti memberikan manfaat pada orang lain. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW yang artinya, “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberikan manfaat kepada orang lain.” Hal ini tergambar jelas bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya mengajarkan dan menganjurkan kita semua untuk selalu berbuat kebaikan kepada siapapun, apapun, dan dimanapun berada.

Perintah berbuat kebaikan yang datangnya dari Allah SWT memiliki banyak makna, salah satunya bermakna wajib. Aktivitas dalam melakukan perbuatan baik ini, misalnya berbuat baik kepada kedua orang tua, sanak saudara, dan atau kerabat sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan bakti dan silaturahim kita. Selain itu, kita dapat berbuat baik kepada tamu “Idholus surur” sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan jamuan untuknya yang mana perbuatan baik ini juga bermakna wajib. Adakalanya perintah berbuat baik bisa bermakna sunnah (dianjurkan), seperti shodaqoh jariyah, tidak menyakiti hati orang lain, bertutur kata yang santun serta berperilaku yang sopan pada sesama, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sebagai manusia seharusnya kita berusaha untuk selalu mengisi hari demi hari yang ada atau sepanjang hayat ini dengan segala bentuk kebaikan.

Perintah berbuat baik pada diri sendiri maupun orang lain tak jarang kita lupakan ketika terlalu sibuk dalam menjalankan aktivitas sehari-hari yang padat. Padahal Allah SWT dan Rasul-Nya sudah jelas memerintahkan dan menganjurkan kita semua untuk selalu berbuat kebaikan kapanpun dan dimanapun. Salah satu perintah Allah SWT dalam hal kebaikan, yakni sebagai hamba yang taat harusnya selalu menghormati kedua orang tua dan tidak menyakiti hati mereka. Faktanya, jikalau ditelusuri lebih jauh lagi dalam kehidupan sekarang ini tampaknya semua itu serba terbalik. Seseorang justru kadang tidak patuh dengan perintah kedua orang tuanya dan kadang sering pula menyakiti hati mereka.

Hal tersebut sudah dijelaskan dalam hadist Nabi SAW yang berbunyi, “Ridhollahu fii ridho walidain wa suhtullahu fii suhti walidain.”Artinya, ridho Allah SWT terletak pada ridho kedua orang tua dan murka Allah SWT terletak pada murka kedua orang tua. Bahkan, saat ini sering kita jumpai ketika hubungan anak dengan orang tua sudah mulai pudar tata kramanya atau bergesernya nilai kesopansantunanya. Mayoritas anak menganggap bahwa hubungan pergaulan mereka dengan orang tua sama dengan hubungan mereka dengan teman sejawat. Alhasil, banyak dari mereka yang tidak bisa atau enggan berbahasa santun (krama inggil) dengan orang tuanya sendiri ataupun dengan orang yang berusia lebih dewasa dari mereka. Oleh karena itu, tampak jelas bahwa sudah mulai terjadi pergeseran nilai kebaikan terhadap orang lain, khususnya dengan orang tua kita sendiri.

Salah satu perhatian besar agama Islam mengenai al-ihsan dan tingginya kedudukan amalan ini, yakni bahwa Allah SWT mencintai kaum muhsinin (orang-orang yang berbuat baik) dan akan selalu bersama mereka. Hal ini sesuai dengan firman-Nya di dalam surat An-Nahl (16:128) yang artinya, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” Dengan kedudukannya seperti ini, maka cukuplah bagi mereka untuk mendapatkan kemuliaan dan keutamaan (fadhilah) di hadapan-Nya. Allah SWT menjanjikan balasan pahala yang tidak tanggung-tanggung besarnya bagi semua orang yang mau berbuat baik setiap harinya. Sesuai dengan firman-Nya di dalam QS. Yunus (10:26) yang artinya, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak akan ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka pun akan kekal di dalamnya.”

Di dalam kita menjalani hidup, sejatinya manusia harus banyak belajar mengambil hikmah atas segala sesuatu yang telah terjadi. Salah satunya yakni kita bisa belajar mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma. Kedua sahabat Nabi tersebut senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot) dalam menjalani kehidupan setiap harinya. Dikisahkan pada masa Khulafaur Rasyidin radhiallahu ‘anhum, para sahabat Rasulullah SAW dan para tabi’in selalu berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan dengan membantu orang yang membutuhkan pertolongan atau menolong orang-orang yang teraniaya. Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq dan sahabat Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma termasuk orang yang gigih bersaing di dalam melakukan amal kebaikan ini, yang mana Alllah SWT telah menjanjikan bahwa pelaku kebaikan akan mendapatkan balasan mulia di dunia maupun kelak di akhirat.

Ada sebuah kisah yang terjadi pada masa hidup kedua sahabat Nabi tersebut, yakni ketika sahabat Umar bin Khattab selalu mengawasi segala sesuatu kebaikan yang dilakukan oleh sahabatnya Abu Bakar. Lalu, dia (sahabat Umar bin Khattab) pasti melakukannya sebanyak dua kali lipat dari apa yang telah dilakukan oleh sahabat Abu Bakar tersebut. Suatu hari, ketika waktu fajar sahabat Umar bin Khattab mengawasi sahabat Abu Bakar. Sesuatu hal telah menarik perhatian sahabat Umar bin Khattab. Saat itu, sahabat Abu Bakar pergi ke pinggiran Kota Madinah setelah mendirikan shalat shubuh. Sahabat Abu Bakar mendatangi sebuah gubuk kecil beberapa saat, lalu dia pulang kembali ke rumahnya. Sahabat Umar bin Khattab pun tidak mengetahui apa yang terjadi di sana. Sahabat Umar bin Khattab selalu mengikuti segala kebaikan yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar kecuali rahasia urusan gubuk kecil tersebut.

Hari pun berganti, sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq tetap mengujungi gubuk kecil di pinggiran Kota Madinah tadi. Sahabat Umar bin Khattab masih belum mengetahui apa yang dilakukan oleh sahabatnya Abu Bakar di sana. Sampai akhirnya sahabat Umar bin Khattab memutuskan untuk masuk ke dalam gubuk kecil itu sesaat setelah sahabat Abu Bakar meninggalkannya. Sahabat Umar bin Khattab ingin melihat apa yang ada di dalam gubuk itu dengan mata kepalanya sendiri. Dia ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh sahabatnya di dalam gubuk tersebut. Manakala sahabat Umar bin Khattab masuk ke dalam gubuk kecil itu, beliau mendapati seorang nenek tua yang lemah yang sudah tidak bisa bergerak. Ternyata nenek itu kedua penglihatanya buta dan tidak ada pula sesuatupun di dalam gubuk kecil itu kecuali dia. Sahabat Umar bin Khattab seketika itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Dia penasaran dan ingin mengetahui hubungan antara nenek tua itu dengan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Sahabat Umar bin Khattab bertanya pada nenek tua itu, “Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?” Nenek menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengetahui, wahai anakku. Setiap pagi dia datang, membersihkan rumahku ini, dan menyapunya. Dia menyiapkan makanan untukku. Kemudian, dia pergi tanpa berbicara apapun denganku.” Sahabat Umar bin Khattab menekuk kedua lututnya dan kedua matanya basah oleh air mata. Dia mengucapkan kalimatnya yang masyhur, “Sungguh, engkau telah membuat lelah khalifah sesudahmu wahai sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq.” Dari kisah kedua sahabat tersebut, kita bisa mengambil sebuah hikmah bahwasannya tidak ada waktu yang terbuang sia-sia untuk tidak berbuat kebaikan. Bahkan, kita justru dianjurkan untuk selalu berlomba-lomba dalam melakukan segala bentuk kebaikan.

Orang-orang yang senantiasa berbuat baik atau beramal sholeh dengan penuh keimanan, Allah SWT akan memberikan kabar gembira kepada orang tersebut bahwa perbuatan baik mereka akan menjadi jaminan yang sangat berguna di akhirat kelak. Kabar gembira ini merupakan salah satu bentuk motivasi bagi seorang muslim bahwa sebagai pelaku kebaikan dengan waktu yang sudah mereka korbankan, fisik yang sudah kepayahan, pikiran yang sudah terkuras, dan harta yang sudah terpakai di jalan Allah SWT, kelak akan membuahkan hasil yang menyenangkan. Selain limpahan nikmat yang tidak terkira di dalam surga, mereka (orang-orang yang gemar berbuat kebaikan) juga akan memperoleh nikmat, seperti yang terkandung dalam kata az-ziyadah (tambahan).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa tambahan yang dimaksud, yaitu pelipatgandaaan pahala semua amalan kebaikan yang dilakukan oleh seorang muslim menjadi sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Termasuk nikmat lainnya bahwa Allah SWT akan menempatkan mereka (orang-orang yang gemar berbuat baik) di surga, kelak juga akan dibangunkan istana, diberikan keridhaan, serta segala yang belum disebutkan-Nya. Semua kenikmatan tersebut akan menjadi sumber penyenjuk mata sekaligus sumber penenang hati. Sungguh sangat banyak nikmat Allah yang akan diberikan kepada hamba-Nya yang senang dan gemar berbuat kebaikan.

Manfaat Berbuat Kebaikan

Setiap amal kebaikan tentunya mengandung banyak manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Setiap kebaikan yang dilakukan oleh seseorang pastilah kebaikan itu akan kembali kepadanya. Apabila ada seseorang yang suka menolong pada orang lain pastilah pula akan ditolong kembali. Apabila ada seseorang yang suka memaafkan pastilah akan dimaafkan ketika ia berbuat kesalahan. Apabila ada seseorang yang memudahkan urusan orang lain, maka ketika orang tersebut mendapatkan kesulitan pastilah akan ada seorang yang menolongnya. Begitupun seterusnya jika kita berbuat baik pastilah kebaikan itu akan kembali kepadanya. Allah SWT berfirman di dalam Kitab Suci-Nya yang berbunyi, “In ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asa’tum falahaa.” Artinya, jika kamu berbuat baik (berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat buruk, maka (keburukan) itu bagi dirimu sendiri.

Semua orang yang beriman sangatlah dianjurkan oleh Allah SWT untuk senantiasa berbuat kebaikan di setiap hari-harinya. Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Rahman ayat 60 yang berbunyi, “Hal jaza’ul ihsan illal ihsan” yang artinya tidak ada balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan (pula). Selain kita dianjurkan untuk senantiasa berbuat kebaikan, sabaliknya kita tidak dianjurkan untuk berbuat keburukan terhadap orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Al-muslimu man salimal muslimuuna min lisaanihi wa yadihi.” Artinya, seorang muslim itu merupakan orang yang selamat atas orang muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya sendiri.

Seseorang yang melakukan kebaikan diharapkan berniat semata-mata karena Allah SWT dengan niatan ikhlas dan hanya mengharap ridho-Nya. Hal ini akan memunculkan kualitas amal kebaikan kita disamping kuantitas amal yang kita kerjakan. Apabila seseorang mengharap balasan dari seseorang justru nanti yang didapatkan hanyalah sebuah kekecewaan karena kemampuan manusia untuk membalas kebaikan itu sangatlah terbatas. Sebuah ungkapan menyatakan bahwa apabila kita telah melakukan kebaikan, maka buanglah jauh-jauh rasa pamrih (rasa yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi). Maksudnya, jikalau kita berbuat baik tidak perlulah disebut-sebut, diungkit-ungkit, tetapi justru dianjurkan untuk dilupakan saja. InsyaAllah kebaikan itu akan tetap ada pada catatan amal kita dan akan kita tuai besok di akhirat kelak. Oleh karena itu, kita harus memohon kepada Allah SWT agar senantiasa diberi kemampuan dan kekuatan untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bermanfaat bagi orang lain. Hamba yang mampu untuk berbuat baik kepada orang lain dengan penuh keikhlasan atau tanpa pamrih.

Mutiara Hadist:

(1) Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

(2) Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang mengajak kepada kebenaran, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa seperti dosa orang yang mengerjakan tanpa dikurangi sedikitpun.” (HR. Muslim)

(3) Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kamu membunuh (dengan hak), maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya serta melegakan sembelihannya.” (HR. Muslim)