Nama raja yang termuat dalam Pararaton namun tidak dimuat dalam Negarakertagama adalah

Arca Harihara dari kompleks percandian Singhasari yang diduga sebagai arca perwujudan Ken Angrok. (Koleksi Museum Leiden).

PENUTURANNYA yang penuh mitos membuat Serat Pararaton banyak yang menyangsikan sebagai sumber sejarah. Namun, sejauh ini Pararaton masih belum tergantikan sebagai sumber penting yang mengungkap kondisi sosial, teruatama era Ken Angrok.

Di samping Kakawin Nagarakrtagama yang ditulis Mpu Prapanca, Pararaton yang tak diketahui siapa penulis juga meriwayatkan era Singhasari hingga Majapahit. Tepatnya dimulai pada masa Ken Angrok, abad ke-13 sampai ke-14. Bahasannya, Jawa Madya.

Baca juga: Prapanca, pujangga Majapahit yang diasingkan

Advertising

Advertising

Sejarawan R. Pitono Hardjowardoyo mengatakan jika dibandingkan dengan Nagarakrtagama, maka isi Pararaton lebih beragam terutama ditinjau dari sudut sejarah kebudayaan.

“Lazimnya, oleh para ahli sejarah, Nagarakrtagama lebih bisa dipercaya daripada Pararaton,” katanya.

Peneliti sejarah Jawa Kuno asal Belanda, C.C. Berg salah satu yang skeptis pada Pararaton. Terutama pada bagian awalnya yang tak jelas mana yang fakta dan mana yang khayalan. Dia berpendapat teks Pararaton secara keseluruhan lebih bersifat supranatural dan bukan berdasarkan kejadian sejarah.

Sedangkan Bernard H.M.Vlekke menyebut kisah Pararaton menunjukkan konsep mitologis dan fakta historis terjalin, tak terpisahkan dalam kitab sejarah Jawa ini. “Sebagian pencampuradukan fakta dan fantasi tersebut, yang bagi sejarawan didikan Barat modern sangat menjengkelkan, memang disengaja,” tulisnya dalam Nusantara.

Maksud disengaja bahwa penulis Jawa Kuno punya tujuan yang bukan sekadar mendokumentasikan suatu peristiwa. “Tugas mereka juga untuk memperkokoh raja yang tenaga dalamnya menjadi saka guru kerajaan dan kesejahteraan rakyatnya,” kata Vlekke.

Pitono pun mengatakan perlu diwaspadai jika Pararaton hanya dilihat dari sudut pandang politik. “Keterangan dalam Pararaton tak diketahui dengan jelas asal-usulnya,” ujarnya yang pernah membuat tafsiran Serat Pararaton.

Kendati begitu, kata Pitono, di Katuturanira Ken Angrok banyak unsur mitos yang sebenarnya punya latar belakang politis. Di dalamnya juga bisa didapat latar belakang sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari peristiwa sejarah pada abad ke 13-15. Pararaton juga bisa dijadikan sebagai sumber pembanding.

Baca juga: Melacak jejak Ken Angrok

Pada 1897, penelitian pertama tentang Pararaton oleh filolog Belanda, J.L.A Brandes, diterbitkan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia) di Batavia. Penerbitan ini meliputi transliterasi naskah lontar Pararaton disertai terjemahan dan pembahasannya dalam bahasa Belanda.

Hasan Djafar mengatakan penerbitan itu membuat sumber penelitian sejarah Singhasari dan Majapahit bertambah. “Walaupun pemberitaan Serat Pararaton tidak dapat seluruhnya diterima, dengan sumber lain sebagai bahan pembanding dan pelengkap, Pararaton ternyata sangat berguna,” ujarnya. Khususnya periode Majapahit akhir yang menurutnya sangat gelap dan sedikit sumbernya. Pasalnya, Pararaton juga memberitakan raja-raja Majapahit akhir meski sangat berbelit. 

“Genealogi dan urutannya sukar diikuti. Namun, dengan bantuan beberapa buah prasasti dan sumber sejarah Majapahit lainnya, kami coba susun,” kata Hasan. 

Menurut Pitono, Pararaton dihasilkan di Pulau Bali pada abad ke-16. Sedangkan menurut Hasan Pararaton berasal dari masa Majapahit akhir.

Petunjuknya, kata Hasan, pada bagian akhir diketahui peristiwa yang disebutkan adalah gunung meletus pada 1403 Saka (1481 M). Tahun ini bisa jadi pegangan menetapkan waktu penulisan  Pararaton. 

“Serat Pararaton ditulis tak lama setelah 1403 Saka, yaitu periode Majapahit akhir, pada masa pemerintahan Raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya,” tulis Hasan dalam Masa Akhir Majapahit.

Baca juga: Ken Angrok, ksatria yang terkalahkan

Lebih jauh lagi, sejarawan Warsito S. menilai kalau Pararaton adalah manifesto politik dari Maharaja Majapahit keturunan Ken Angrok, yaitu Girindrawardhana. 

“Jadi Maharaja Majapahit, yang menyusun Pararaton itu, mengesahkan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Ken Angrok terhadap Tunggul Ametung, karena Ken Angrok adalah ahli waris yang berhak atas takhta Tumapel,” tulis Warsito dalam “Benarkah Ken Arok Anak Desa?” termuat di Madjalah Bulanan Pusara Djilid XXVII No. 3-4 Maret-April 1966.

Baca juga: Inilah asal usul Ken Angrok

Terlepas dari itu, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menilai kalau Pararaton tetaplah memuat informasi penting. Sejauh ini Pararaton memuat info terlengkap mengenai sosok Angrok.

“Bahkan bisa dibilang sebagai balada Angrok. Dari sebelum lahir sampai meninggal sampai beberapa penguasa pengganti,” kata arkeolog itu.

Hikayat Hang Tuah Bab 4

sahabat nabi yang pernah memenggal syaiton​

Apa saja yang menyebabkan Ilmu Kalam Modern bisa hadir di tengah-tengah masyarakat Islam? sebutkan dan jelaskan

7. 8. هدى للمتقي lafal di samping من بعدهم i súš lafal di samping mengandung hukum bacaan.….….... lafal di samping mengandung hukum bacaan​

Sebutkan 4 berita dari luar negeri tentang kedatangan islam ke Indonesia

a. بأن ربك أوحى لها .14 Kata yang bergaris bawah artinya .... a. mewahyukan b. mengabarkan c. mendengarkan d. memperlihatkan​

kondisi Indonesian sebelum dan sesudah perang dunia kedua​

Quizz Time!! Nama-nama anggota ASEAN berikut tanggal masuk dan nama ibu kota, mata pencaharian, mata uang, bentuk negara, nama presiden, tanggal kemer … dekaan, dan dijajah oleh siapa.... JAWABNYA JANGAN NGASAL YAA, BOLEH LIAT GOOGLE. NNTI AKU FOLLOW​

bandingkan kabinet saat ini dengan kabinet pertama Indonesia​

Dampak semboyan Revolusi Prancis, Liberte, Egaliter, Fraternite, antara lain.... A. berakhirnya sistem demokrasi B. lenyapnya feodalisme C. kerajaan l … enyap D. paham fasis berkembang E. sistem kekaisaran dipertahankan​

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kitab "Pararaton" atau kitab Pustaka Raja adalah sebuah kitab yang memuat tulisan tentang perjalanan Ken Arok dalam membangun kerajaan Singasari dan tentang silsilah Raja-raja selanjutnya termasuk Kertanegara yang diceritakan dalam kitab tersebut, dia dibunuh oleh Jayakatwang, Raja gelang-gelang -- keturunan Kertajaya Raja Kediri terakhir yang dibunuh oleh Ken Arok -- juga memuat silsilah Raja-raja Majapahit yang merupakan suksesi kepemimpinan lanjutannya dari Singasari. Tapi, Kitab ini ditulis pada tahun 1613 yang merupakan masa kerajaan Mataram islam; (perlu diketahui tahun 1613 adalah masa berahirnya kepemimpinan Raja kedua Mataram yang bernama Mas Jolang atau yang bergelar Hanyokrowati yang meninggal pada tahun itu ketika sedang berburu di hutan Krapyak. Makanya, ia disebut Pangeran Sedho ing Krapyak kemudian digantikan oleh anak ke 3 dari istr pertama yaitu Pangeran Martapura) artinya, bisa dikatakan kalau si-penulis kitab ini bukanlah si-pelaku sejarah yang sebenarnya. Meski disitu disebutkan dengan jelas jika Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit adalah masih keturunan Ken Arok dan Ken Dedes, dari Mahisa Wong Ateling yang merupakan putra kedua Kendedes --- karena putra pertama Kendedes yakni Anusapati adalah anaknya Ken Dedes dengan Tunggulametung. Sebab, Kendedes waktu dikawini Ken Arok masih hamil 3 bulan -- dan Mahisa Wong Ateling punya anak Mahisa Cempaka atau yang bergelar Narasinga. kemudian, Mahisa Cempaka mempunyai putra Dyah Lembu Tal yang merupakan ayahnya Raden Wijaya. Sedangkan Kertanegara sendiri Raja terakhir Singasari itu adalah anak dari Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana. Rangga wuni sendiri cucu Ken Dedes dan Tunggul Ametung, yang ayahnya Anusapati.
Sedangkan kemudian, tentang siapa penulis buku setebal 32 halaman dengan lebar halaman seukuran folio tersebut tidak begitu jelas.

Yang menjadi masalah adalah, Selama ini kitab tersebut sering dijadikan Referensi, rujukan mutlak bagi sebagian sejarawan ditanah air dalam mengajukan Stimulus tentang silsilah raja-raja Singasari sampai Majapahit. Lebih banyak di pakai daripada Negarakertagama. Sedangkan, kenyataannya banyak fakta yang tak ada dalam kitab Negarakertagama (yang lebih dekat dan terlibat dalam sejarahnya) tapi, dalam Pararaton justru ada. termasuk keberadaan penguasa ke 3 Singasari yaitu "Tohjaya" Raja yang diceritakan pernah mengkudeta Anusapati dan merencanakan pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tohjaya, dalam pararaton diterangkan dia merupakan anak Ken Arok dari selir bernama Ken Umang.

Selain itu, jika ditelesik kembali bahwa isi tulisan dalam kitab tersebut -- terutama bab 1 -- pun banyak mengetengahkan unsur "fiksi" yang sedikit berbau mitologi. Agar lebih jelas akan saya kutipkan beberapa bait dalam bab 1 (dan agar lebih mudah, akan saya terjemahkan dalam bahasa indonesia):

"1.

Demikian inilah kisah Ken Arok asal mulanya ia dijadikan manusia: adalah ia (Ken Arok sebelum berrenkarnasi) anak seorang Janda dari Jiput. Bertingkah laku Jahat. Selalu menerjang nilai susila. Mengganggu kesetabilitasan Para Dewa di khayangan. Ia mengungsi dari Jiput ke daerah Bulalak, sebuah daerah yang dipimpin oleh Mpu Tapa Wangkeng yang waktu itu sedang membangun pintu Gapura (sebagai pintu pemujaan). Mpu Tapa Wangkeng bingung bukan kepalang ketika Para arwah penunggu pintu Gapura meminta sesaji Kambing merah yang Jantan.

"ini adalah hal yang sangat memusingkan. Karena kambing merah jantan tak lain adalah manusia dalam kiasan para roh. Sedangkan aku sudah tak ingin lagi berbuat dosa apalagi harus membunuh" kata Mpu dalam hati.

Kemudian datang lelaki dari Jiput yang jahat itu, ia berkata, kalau dia sanggup dijadikan korban yang dimaksud sang-Mpu tersebut agar hal tersebut menjadi sarana yang membuat ia bisa naik ke surganya Dewa Wisnu. Dan, kemudian dilahirkan kembali sebagai manusia yang mulia. Demikianlah permintaannya.

Maka Mpu Tapa Wangkeng pun merestui. Dan, dipanjatkan puja-puji supaya ia menikmati tujuh daerah sesudah kematian. Dan, selanjutnya ia pun dijadikan korban. Lalu, arwah lelaki itu terbang di surga wisnu dan menemui Bhatara Brahma. Menagih janji agar diturunkan kedunia didaerah seputar Kawi. Bhatara Brahma pun berputar mencari tempat yang tepat untuk meletakkan benih tersebut.

Sampai, Tersebutlah sepasang pengantin baru yang kesehariannya sebagai petani lelakinya bernama Gajahpara dan perempuannya Ken Endok. Mereka tinggal di desa pangkur. Bhatara Brahma pun menemui ken Endok di ladang leletan dan menitipkan benih tersebut.

"Wahai wanita bestari kutitipkan kepadamu benih dari keturunan manusia. Dan, berjanjilah padaku jangan sampai benih ini, nanti bercampur dengan benih milik suamimu. Dan jika hal itu terjadi niscaya lelakimu akan binasa. Kelak benih ini bernama Ken Arok yang akan menjadi Raja besar penguasa tanah Jawa."."


Membaca kutipan naskah diatas, tentu yang tercerna dalam pikiran kita adalah justru sebuah "Mitologi" yang notabene adalah "Fiksi" belaka -- yang tentunya mengandung unsur rekayasa. Entah itu berupa pesan apa yang akan disampaikan sang penulisnya. Apakah pesan moral seperti kebanyakan kitab-kitab Hindu-Bhuda yang menyiratkan pelajaran tentang kebatinan yang sakral selayak kitab Bagawangita atau Gatotkaca Sraya. Atau, cuma rekaan semata. Yang tak ubahnya sebuah "bumbu" agar cerita menjadi seru seperti novel. Karena, jika menskripkan Hindu-Bhuda pun masalahnya pada tahun itu 1613m-red adalah tahun kebangkitan Islam ditanah Jawa pada umumnya. Dan, Khususnya jawa tengah dan Jawa timur. Sedangkan, jauh pada tahun sebelum itu, sudah pernah muncul kitab yang isinya tak jauh beda dari kitab pararaton yakni kitab Negarakertagama yang bertahunkan 1365 yang baik bahasa ataupun teks-nya begitu halus dan hati-hati. Dimana penulisnya sangat jelas, adalah Mpu Prapanca yang merupakan pelaku sejarah langsung. Mpu Prapanca merupakan pujagga kraton yang hidup dimasa Hayamwuruk. kitab Negarakertagama ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Belanda JLA Brandes pada tahun 1894 -- ia menemukan kitap tersebut ketika membantu expedisi penyerangan di Kerajaan Lombok. Kitab tersebut terdiri dari 98 pupuh dimana dalam pupuh 40 sampai 49 juga banyak menerangkan silsilah Raja-raja kerajaan Singasari yang merupakan nenek moyang Raja-raja Majapahit juga tentang silsilah Raja-raja majapahit sendiri. Namun, tak dapat disangkal jika kitab ini lebih menjadi "berbeda" dari yang tertulis di Kitab Pararaton -- disinilah kemudian timbul dugaan praktis atau Sepikulasi para Sejarawan -- karena, jika dalam Negarakertagama lebih condong "meng-istimewa-kan" Raja-raja sebelum Raden wijaya dan Kendedes yang merupakan Wanita suci, leluhurnya. Mungkin, karena sang penulis adalah pujangga kraton jadi sedikit banyak mendapat tekanan atau interfensi, baik interfensi yang bersifat moralis ata iterfensi yang sebenarnya. Paling tidak kitab tersebut sebagai persembahan buat Hayamwuruk buat leluhurnya.

akan tetapi, jika dilihat selisih tahun yang jarak rentang waktunya sampai 248-an tahun antara Negarakertagama dan kitab Pararaton. jelas di Pararaton banyak penyimpangan sejarah yang perlu diragukan. Karena 248 tahun itu sama artinya dengan 5 generasi. Itu pun jika dihitung dari kitabnya tapi jika dihitung dari Ken Arok yang menjadi Raja yakni th 1222 artinya tenggang 391 tahun tentu akan timbul presepsi lain yang artinya cerita itu lebih remang-remang dari cerita sesungguhnya jika dibanding Negarakertagama. Atau bisa juga diduga, Pararaton selayaknya rasa ketidak puasan dari naskah Negarakertagama. Makanya disini dalam susunan Raja-raja Singasari antara Pararaton versus Negarakertagama pun banyak perbedaan. Disini Raja ketiga Panji Toh Jaya yang "ada" tertuang dalam pararaton namun di Negarakertagama tidak ada nama Tohjaya.


Page 2

Kitab "Pararaton" atau kitab Pustaka Raja adalah sebuah kitab yang memuat tulisan tentang perjalanan Ken Arok dalam membangun kerajaan Singasari dan tentang silsilah Raja-raja selanjutnya termasuk Kertanegara yang diceritakan dalam kitab tersebut, dia dibunuh oleh Jayakatwang, Raja gelang-gelang -- keturunan Kertajaya Raja Kediri terakhir yang dibunuh oleh Ken Arok -- juga memuat silsilah Raja-raja Majapahit yang merupakan suksesi kepemimpinan lanjutannya dari Singasari. Tapi, Kitab ini ditulis pada tahun 1613 yang merupakan masa kerajaan Mataram islam; (perlu diketahui tahun 1613 adalah masa berahirnya kepemimpinan Raja kedua Mataram yang bernama Mas Jolang atau yang bergelar Hanyokrowati yang meninggal pada tahun itu ketika sedang berburu di hutan Krapyak. Makanya, ia disebut Pangeran Sedho ing Krapyak kemudian digantikan oleh anak ke 3 dari istr pertama yaitu Pangeran Martapura) artinya, bisa dikatakan kalau si-penulis kitab ini bukanlah si-pelaku sejarah yang sebenarnya. Meski disitu disebutkan dengan jelas jika Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit adalah masih keturunan Ken Arok dan Ken Dedes, dari Mahisa Wong Ateling yang merupakan putra kedua Kendedes --- karena putra pertama Kendedes yakni Anusapati adalah anaknya Ken Dedes dengan Tunggulametung. Sebab, Kendedes waktu dikawini Ken Arok masih hamil 3 bulan -- dan Mahisa Wong Ateling punya anak Mahisa Cempaka atau yang bergelar Narasinga. kemudian, Mahisa Cempaka mempunyai putra Dyah Lembu Tal yang merupakan ayahnya Raden Wijaya. Sedangkan Kertanegara sendiri Raja terakhir Singasari itu adalah anak dari Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana. Rangga wuni sendiri cucu Ken Dedes dan Tunggul Ametung, yang ayahnya Anusapati.
Sedangkan kemudian, tentang siapa penulis buku setebal 32 halaman dengan lebar halaman seukuran folio tersebut tidak begitu jelas.

Yang menjadi masalah adalah, Selama ini kitab tersebut sering dijadikan Referensi, rujukan mutlak bagi sebagian sejarawan ditanah air dalam mengajukan Stimulus tentang silsilah raja-raja Singasari sampai Majapahit. Lebih banyak di pakai daripada Negarakertagama. Sedangkan, kenyataannya banyak fakta yang tak ada dalam kitab Negarakertagama (yang lebih dekat dan terlibat dalam sejarahnya) tapi, dalam Pararaton justru ada. termasuk keberadaan penguasa ke 3 Singasari yaitu "Tohjaya" Raja yang diceritakan pernah mengkudeta Anusapati dan merencanakan pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tohjaya, dalam pararaton diterangkan dia merupakan anak Ken Arok dari selir bernama Ken Umang.

Selain itu, jika ditelesik kembali bahwa isi tulisan dalam kitab tersebut -- terutama bab 1 -- pun banyak mengetengahkan unsur "fiksi" yang sedikit berbau mitologi. Agar lebih jelas akan saya kutipkan beberapa bait dalam bab 1 (dan agar lebih mudah, akan saya terjemahkan dalam bahasa indonesia):

"1.

Demikian inilah kisah Ken Arok asal mulanya ia dijadikan manusia: adalah ia (Ken Arok sebelum berrenkarnasi) anak seorang Janda dari Jiput. Bertingkah laku Jahat. Selalu menerjang nilai susila. Mengganggu kesetabilitasan Para Dewa di khayangan. Ia mengungsi dari Jiput ke daerah Bulalak, sebuah daerah yang dipimpin oleh Mpu Tapa Wangkeng yang waktu itu sedang membangun pintu Gapura (sebagai pintu pemujaan). Mpu Tapa Wangkeng bingung bukan kepalang ketika Para arwah penunggu pintu Gapura meminta sesaji Kambing merah yang Jantan.

"ini adalah hal yang sangat memusingkan. Karena kambing merah jantan tak lain adalah manusia dalam kiasan para roh. Sedangkan aku sudah tak ingin lagi berbuat dosa apalagi harus membunuh" kata Mpu dalam hati.

Kemudian datang lelaki dari Jiput yang jahat itu, ia berkata, kalau dia sanggup dijadikan korban yang dimaksud sang-Mpu tersebut agar hal tersebut menjadi sarana yang membuat ia bisa naik ke surganya Dewa Wisnu. Dan, kemudian dilahirkan kembali sebagai manusia yang mulia. Demikianlah permintaannya.

Maka Mpu Tapa Wangkeng pun merestui. Dan, dipanjatkan puja-puji supaya ia menikmati tujuh daerah sesudah kematian. Dan, selanjutnya ia pun dijadikan korban. Lalu, arwah lelaki itu terbang di surga wisnu dan menemui Bhatara Brahma. Menagih janji agar diturunkan kedunia didaerah seputar Kawi. Bhatara Brahma pun berputar mencari tempat yang tepat untuk meletakkan benih tersebut.

Sampai, Tersebutlah sepasang pengantin baru yang kesehariannya sebagai petani lelakinya bernama Gajahpara dan perempuannya Ken Endok. Mereka tinggal di desa pangkur. Bhatara Brahma pun menemui ken Endok di ladang leletan dan menitipkan benih tersebut.

"Wahai wanita bestari kutitipkan kepadamu benih dari keturunan manusia. Dan, berjanjilah padaku jangan sampai benih ini, nanti bercampur dengan benih milik suamimu. Dan jika hal itu terjadi niscaya lelakimu akan binasa. Kelak benih ini bernama Ken Arok yang akan menjadi Raja besar penguasa tanah Jawa."."


Membaca kutipan naskah diatas, tentu yang tercerna dalam pikiran kita adalah justru sebuah "Mitologi" yang notabene adalah "Fiksi" belaka -- yang tentunya mengandung unsur rekayasa. Entah itu berupa pesan apa yang akan disampaikan sang penulisnya. Apakah pesan moral seperti kebanyakan kitab-kitab Hindu-Bhuda yang menyiratkan pelajaran tentang kebatinan yang sakral selayak kitab Bagawangita atau Gatotkaca Sraya. Atau, cuma rekaan semata. Yang tak ubahnya sebuah "bumbu" agar cerita menjadi seru seperti novel. Karena, jika menskripkan Hindu-Bhuda pun masalahnya pada tahun itu 1613m-red adalah tahun kebangkitan Islam ditanah Jawa pada umumnya. Dan, Khususnya jawa tengah dan Jawa timur. Sedangkan, jauh pada tahun sebelum itu, sudah pernah muncul kitab yang isinya tak jauh beda dari kitab pararaton yakni kitab Negarakertagama yang bertahunkan 1365 yang baik bahasa ataupun teks-nya begitu halus dan hati-hati. Dimana penulisnya sangat jelas, adalah Mpu Prapanca yang merupakan pelaku sejarah langsung. Mpu Prapanca merupakan pujagga kraton yang hidup dimasa Hayamwuruk. kitab Negarakertagama ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Belanda JLA Brandes pada tahun 1894 -- ia menemukan kitap tersebut ketika membantu expedisi penyerangan di Kerajaan Lombok. Kitab tersebut terdiri dari 98 pupuh dimana dalam pupuh 40 sampai 49 juga banyak menerangkan silsilah Raja-raja kerajaan Singasari yang merupakan nenek moyang Raja-raja Majapahit juga tentang silsilah Raja-raja majapahit sendiri. Namun, tak dapat disangkal jika kitab ini lebih menjadi "berbeda" dari yang tertulis di Kitab Pararaton -- disinilah kemudian timbul dugaan praktis atau Sepikulasi para Sejarawan -- karena, jika dalam Negarakertagama lebih condong "meng-istimewa-kan" Raja-raja sebelum Raden wijaya dan Kendedes yang merupakan Wanita suci, leluhurnya. Mungkin, karena sang penulis adalah pujangga kraton jadi sedikit banyak mendapat tekanan atau interfensi, baik interfensi yang bersifat moralis ata iterfensi yang sebenarnya. Paling tidak kitab tersebut sebagai persembahan buat Hayamwuruk buat leluhurnya.

akan tetapi, jika dilihat selisih tahun yang jarak rentang waktunya sampai 248-an tahun antara Negarakertagama dan kitab Pararaton. jelas di Pararaton banyak penyimpangan sejarah yang perlu diragukan. Karena 248 tahun itu sama artinya dengan 5 generasi. Itu pun jika dihitung dari kitabnya tapi jika dihitung dari Ken Arok yang menjadi Raja yakni th 1222 artinya tenggang 391 tahun tentu akan timbul presepsi lain yang artinya cerita itu lebih remang-remang dari cerita sesungguhnya jika dibanding Negarakertagama. Atau bisa juga diduga, Pararaton selayaknya rasa ketidak puasan dari naskah Negarakertagama. Makanya disini dalam susunan Raja-raja Singasari antara Pararaton versus Negarakertagama pun banyak perbedaan. Disini Raja ketiga Panji Toh Jaya yang "ada" tertuang dalam pararaton namun di Negarakertagama tidak ada nama Tohjaya.


Nama raja yang termuat dalam Pararaton namun tidak dimuat dalam Negarakertagama adalah

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 3

Kitab "Pararaton" atau kitab Pustaka Raja adalah sebuah kitab yang memuat tulisan tentang perjalanan Ken Arok dalam membangun kerajaan Singasari dan tentang silsilah Raja-raja selanjutnya termasuk Kertanegara yang diceritakan dalam kitab tersebut, dia dibunuh oleh Jayakatwang, Raja gelang-gelang -- keturunan Kertajaya Raja Kediri terakhir yang dibunuh oleh Ken Arok -- juga memuat silsilah Raja-raja Majapahit yang merupakan suksesi kepemimpinan lanjutannya dari Singasari. Tapi, Kitab ini ditulis pada tahun 1613 yang merupakan masa kerajaan Mataram islam; (perlu diketahui tahun 1613 adalah masa berahirnya kepemimpinan Raja kedua Mataram yang bernama Mas Jolang atau yang bergelar Hanyokrowati yang meninggal pada tahun itu ketika sedang berburu di hutan Krapyak. Makanya, ia disebut Pangeran Sedho ing Krapyak kemudian digantikan oleh anak ke 3 dari istr pertama yaitu Pangeran Martapura) artinya, bisa dikatakan kalau si-penulis kitab ini bukanlah si-pelaku sejarah yang sebenarnya. Meski disitu disebutkan dengan jelas jika Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit adalah masih keturunan Ken Arok dan Ken Dedes, dari Mahisa Wong Ateling yang merupakan putra kedua Kendedes --- karena putra pertama Kendedes yakni Anusapati adalah anaknya Ken Dedes dengan Tunggulametung. Sebab, Kendedes waktu dikawini Ken Arok masih hamil 3 bulan -- dan Mahisa Wong Ateling punya anak Mahisa Cempaka atau yang bergelar Narasinga. kemudian, Mahisa Cempaka mempunyai putra Dyah Lembu Tal yang merupakan ayahnya Raden Wijaya. Sedangkan Kertanegara sendiri Raja terakhir Singasari itu adalah anak dari Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana. Rangga wuni sendiri cucu Ken Dedes dan Tunggul Ametung, yang ayahnya Anusapati.
Sedangkan kemudian, tentang siapa penulis buku setebal 32 halaman dengan lebar halaman seukuran folio tersebut tidak begitu jelas.

Yang menjadi masalah adalah, Selama ini kitab tersebut sering dijadikan Referensi, rujukan mutlak bagi sebagian sejarawan ditanah air dalam mengajukan Stimulus tentang silsilah raja-raja Singasari sampai Majapahit. Lebih banyak di pakai daripada Negarakertagama. Sedangkan, kenyataannya banyak fakta yang tak ada dalam kitab Negarakertagama (yang lebih dekat dan terlibat dalam sejarahnya) tapi, dalam Pararaton justru ada. termasuk keberadaan penguasa ke 3 Singasari yaitu "Tohjaya" Raja yang diceritakan pernah mengkudeta Anusapati dan merencanakan pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tohjaya, dalam pararaton diterangkan dia merupakan anak Ken Arok dari selir bernama Ken Umang.

Selain itu, jika ditelesik kembali bahwa isi tulisan dalam kitab tersebut -- terutama bab 1 -- pun banyak mengetengahkan unsur "fiksi" yang sedikit berbau mitologi. Agar lebih jelas akan saya kutipkan beberapa bait dalam bab 1 (dan agar lebih mudah, akan saya terjemahkan dalam bahasa indonesia):

"1.

Demikian inilah kisah Ken Arok asal mulanya ia dijadikan manusia: adalah ia (Ken Arok sebelum berrenkarnasi) anak seorang Janda dari Jiput. Bertingkah laku Jahat. Selalu menerjang nilai susila. Mengganggu kesetabilitasan Para Dewa di khayangan. Ia mengungsi dari Jiput ke daerah Bulalak, sebuah daerah yang dipimpin oleh Mpu Tapa Wangkeng yang waktu itu sedang membangun pintu Gapura (sebagai pintu pemujaan). Mpu Tapa Wangkeng bingung bukan kepalang ketika Para arwah penunggu pintu Gapura meminta sesaji Kambing merah yang Jantan.

"ini adalah hal yang sangat memusingkan. Karena kambing merah jantan tak lain adalah manusia dalam kiasan para roh. Sedangkan aku sudah tak ingin lagi berbuat dosa apalagi harus membunuh" kata Mpu dalam hati.

Kemudian datang lelaki dari Jiput yang jahat itu, ia berkata, kalau dia sanggup dijadikan korban yang dimaksud sang-Mpu tersebut agar hal tersebut menjadi sarana yang membuat ia bisa naik ke surganya Dewa Wisnu. Dan, kemudian dilahirkan kembali sebagai manusia yang mulia. Demikianlah permintaannya.

Maka Mpu Tapa Wangkeng pun merestui. Dan, dipanjatkan puja-puji supaya ia menikmati tujuh daerah sesudah kematian. Dan, selanjutnya ia pun dijadikan korban. Lalu, arwah lelaki itu terbang di surga wisnu dan menemui Bhatara Brahma. Menagih janji agar diturunkan kedunia didaerah seputar Kawi. Bhatara Brahma pun berputar mencari tempat yang tepat untuk meletakkan benih tersebut.

Sampai, Tersebutlah sepasang pengantin baru yang kesehariannya sebagai petani lelakinya bernama Gajahpara dan perempuannya Ken Endok. Mereka tinggal di desa pangkur. Bhatara Brahma pun menemui ken Endok di ladang leletan dan menitipkan benih tersebut.

"Wahai wanita bestari kutitipkan kepadamu benih dari keturunan manusia. Dan, berjanjilah padaku jangan sampai benih ini, nanti bercampur dengan benih milik suamimu. Dan jika hal itu terjadi niscaya lelakimu akan binasa. Kelak benih ini bernama Ken Arok yang akan menjadi Raja besar penguasa tanah Jawa."."


Membaca kutipan naskah diatas, tentu yang tercerna dalam pikiran kita adalah justru sebuah "Mitologi" yang notabene adalah "Fiksi" belaka -- yang tentunya mengandung unsur rekayasa. Entah itu berupa pesan apa yang akan disampaikan sang penulisnya. Apakah pesan moral seperti kebanyakan kitab-kitab Hindu-Bhuda yang menyiratkan pelajaran tentang kebatinan yang sakral selayak kitab Bagawangita atau Gatotkaca Sraya. Atau, cuma rekaan semata. Yang tak ubahnya sebuah "bumbu" agar cerita menjadi seru seperti novel. Karena, jika menskripkan Hindu-Bhuda pun masalahnya pada tahun itu 1613m-red adalah tahun kebangkitan Islam ditanah Jawa pada umumnya. Dan, Khususnya jawa tengah dan Jawa timur. Sedangkan, jauh pada tahun sebelum itu, sudah pernah muncul kitab yang isinya tak jauh beda dari kitab pararaton yakni kitab Negarakertagama yang bertahunkan 1365 yang baik bahasa ataupun teks-nya begitu halus dan hati-hati. Dimana penulisnya sangat jelas, adalah Mpu Prapanca yang merupakan pelaku sejarah langsung. Mpu Prapanca merupakan pujagga kraton yang hidup dimasa Hayamwuruk. kitab Negarakertagama ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Belanda JLA Brandes pada tahun 1894 -- ia menemukan kitap tersebut ketika membantu expedisi penyerangan di Kerajaan Lombok. Kitab tersebut terdiri dari 98 pupuh dimana dalam pupuh 40 sampai 49 juga banyak menerangkan silsilah Raja-raja kerajaan Singasari yang merupakan nenek moyang Raja-raja Majapahit juga tentang silsilah Raja-raja majapahit sendiri. Namun, tak dapat disangkal jika kitab ini lebih menjadi "berbeda" dari yang tertulis di Kitab Pararaton -- disinilah kemudian timbul dugaan praktis atau Sepikulasi para Sejarawan -- karena, jika dalam Negarakertagama lebih condong "meng-istimewa-kan" Raja-raja sebelum Raden wijaya dan Kendedes yang merupakan Wanita suci, leluhurnya. Mungkin, karena sang penulis adalah pujangga kraton jadi sedikit banyak mendapat tekanan atau interfensi, baik interfensi yang bersifat moralis ata iterfensi yang sebenarnya. Paling tidak kitab tersebut sebagai persembahan buat Hayamwuruk buat leluhurnya.

akan tetapi, jika dilihat selisih tahun yang jarak rentang waktunya sampai 248-an tahun antara Negarakertagama dan kitab Pararaton. jelas di Pararaton banyak penyimpangan sejarah yang perlu diragukan. Karena 248 tahun itu sama artinya dengan 5 generasi. Itu pun jika dihitung dari kitabnya tapi jika dihitung dari Ken Arok yang menjadi Raja yakni th 1222 artinya tenggang 391 tahun tentu akan timbul presepsi lain yang artinya cerita itu lebih remang-remang dari cerita sesungguhnya jika dibanding Negarakertagama. Atau bisa juga diduga, Pararaton selayaknya rasa ketidak puasan dari naskah Negarakertagama. Makanya disini dalam susunan Raja-raja Singasari antara Pararaton versus Negarakertagama pun banyak perbedaan. Disini Raja ketiga Panji Toh Jaya yang "ada" tertuang dalam pararaton namun di Negarakertagama tidak ada nama Tohjaya.


Nama raja yang termuat dalam Pararaton namun tidak dimuat dalam Negarakertagama adalah

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 4

Kitab "Pararaton" atau kitab Pustaka Raja adalah sebuah kitab yang memuat tulisan tentang perjalanan Ken Arok dalam membangun kerajaan Singasari dan tentang silsilah Raja-raja selanjutnya termasuk Kertanegara yang diceritakan dalam kitab tersebut, dia dibunuh oleh Jayakatwang, Raja gelang-gelang -- keturunan Kertajaya Raja Kediri terakhir yang dibunuh oleh Ken Arok -- juga memuat silsilah Raja-raja Majapahit yang merupakan suksesi kepemimpinan lanjutannya dari Singasari. Tapi, Kitab ini ditulis pada tahun 1613 yang merupakan masa kerajaan Mataram islam; (perlu diketahui tahun 1613 adalah masa berahirnya kepemimpinan Raja kedua Mataram yang bernama Mas Jolang atau yang bergelar Hanyokrowati yang meninggal pada tahun itu ketika sedang berburu di hutan Krapyak. Makanya, ia disebut Pangeran Sedho ing Krapyak kemudian digantikan oleh anak ke 3 dari istr pertama yaitu Pangeran Martapura) artinya, bisa dikatakan kalau si-penulis kitab ini bukanlah si-pelaku sejarah yang sebenarnya. Meski disitu disebutkan dengan jelas jika Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit adalah masih keturunan Ken Arok dan Ken Dedes, dari Mahisa Wong Ateling yang merupakan putra kedua Kendedes --- karena putra pertama Kendedes yakni Anusapati adalah anaknya Ken Dedes dengan Tunggulametung. Sebab, Kendedes waktu dikawini Ken Arok masih hamil 3 bulan -- dan Mahisa Wong Ateling punya anak Mahisa Cempaka atau yang bergelar Narasinga. kemudian, Mahisa Cempaka mempunyai putra Dyah Lembu Tal yang merupakan ayahnya Raden Wijaya. Sedangkan Kertanegara sendiri Raja terakhir Singasari itu adalah anak dari Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana. Rangga wuni sendiri cucu Ken Dedes dan Tunggul Ametung, yang ayahnya Anusapati.
Sedangkan kemudian, tentang siapa penulis buku setebal 32 halaman dengan lebar halaman seukuran folio tersebut tidak begitu jelas.

Yang menjadi masalah adalah, Selama ini kitab tersebut sering dijadikan Referensi, rujukan mutlak bagi sebagian sejarawan ditanah air dalam mengajukan Stimulus tentang silsilah raja-raja Singasari sampai Majapahit. Lebih banyak di pakai daripada Negarakertagama. Sedangkan, kenyataannya banyak fakta yang tak ada dalam kitab Negarakertagama (yang lebih dekat dan terlibat dalam sejarahnya) tapi, dalam Pararaton justru ada. termasuk keberadaan penguasa ke 3 Singasari yaitu "Tohjaya" Raja yang diceritakan pernah mengkudeta Anusapati dan merencanakan pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tohjaya, dalam pararaton diterangkan dia merupakan anak Ken Arok dari selir bernama Ken Umang.

Selain itu, jika ditelesik kembali bahwa isi tulisan dalam kitab tersebut -- terutama bab 1 -- pun banyak mengetengahkan unsur "fiksi" yang sedikit berbau mitologi. Agar lebih jelas akan saya kutipkan beberapa bait dalam bab 1 (dan agar lebih mudah, akan saya terjemahkan dalam bahasa indonesia):

"1.

Demikian inilah kisah Ken Arok asal mulanya ia dijadikan manusia: adalah ia (Ken Arok sebelum berrenkarnasi) anak seorang Janda dari Jiput. Bertingkah laku Jahat. Selalu menerjang nilai susila. Mengganggu kesetabilitasan Para Dewa di khayangan. Ia mengungsi dari Jiput ke daerah Bulalak, sebuah daerah yang dipimpin oleh Mpu Tapa Wangkeng yang waktu itu sedang membangun pintu Gapura (sebagai pintu pemujaan). Mpu Tapa Wangkeng bingung bukan kepalang ketika Para arwah penunggu pintu Gapura meminta sesaji Kambing merah yang Jantan.

"ini adalah hal yang sangat memusingkan. Karena kambing merah jantan tak lain adalah manusia dalam kiasan para roh. Sedangkan aku sudah tak ingin lagi berbuat dosa apalagi harus membunuh" kata Mpu dalam hati.

Kemudian datang lelaki dari Jiput yang jahat itu, ia berkata, kalau dia sanggup dijadikan korban yang dimaksud sang-Mpu tersebut agar hal tersebut menjadi sarana yang membuat ia bisa naik ke surganya Dewa Wisnu. Dan, kemudian dilahirkan kembali sebagai manusia yang mulia. Demikianlah permintaannya.

Maka Mpu Tapa Wangkeng pun merestui. Dan, dipanjatkan puja-puji supaya ia menikmati tujuh daerah sesudah kematian. Dan, selanjutnya ia pun dijadikan korban. Lalu, arwah lelaki itu terbang di surga wisnu dan menemui Bhatara Brahma. Menagih janji agar diturunkan kedunia didaerah seputar Kawi. Bhatara Brahma pun berputar mencari tempat yang tepat untuk meletakkan benih tersebut.

Sampai, Tersebutlah sepasang pengantin baru yang kesehariannya sebagai petani lelakinya bernama Gajahpara dan perempuannya Ken Endok. Mereka tinggal di desa pangkur. Bhatara Brahma pun menemui ken Endok di ladang leletan dan menitipkan benih tersebut.

"Wahai wanita bestari kutitipkan kepadamu benih dari keturunan manusia. Dan, berjanjilah padaku jangan sampai benih ini, nanti bercampur dengan benih milik suamimu. Dan jika hal itu terjadi niscaya lelakimu akan binasa. Kelak benih ini bernama Ken Arok yang akan menjadi Raja besar penguasa tanah Jawa."."


Membaca kutipan naskah diatas, tentu yang tercerna dalam pikiran kita adalah justru sebuah "Mitologi" yang notabene adalah "Fiksi" belaka -- yang tentunya mengandung unsur rekayasa. Entah itu berupa pesan apa yang akan disampaikan sang penulisnya. Apakah pesan moral seperti kebanyakan kitab-kitab Hindu-Bhuda yang menyiratkan pelajaran tentang kebatinan yang sakral selayak kitab Bagawangita atau Gatotkaca Sraya. Atau, cuma rekaan semata. Yang tak ubahnya sebuah "bumbu" agar cerita menjadi seru seperti novel. Karena, jika menskripkan Hindu-Bhuda pun masalahnya pada tahun itu 1613m-red adalah tahun kebangkitan Islam ditanah Jawa pada umumnya. Dan, Khususnya jawa tengah dan Jawa timur. Sedangkan, jauh pada tahun sebelum itu, sudah pernah muncul kitab yang isinya tak jauh beda dari kitab pararaton yakni kitab Negarakertagama yang bertahunkan 1365 yang baik bahasa ataupun teks-nya begitu halus dan hati-hati. Dimana penulisnya sangat jelas, adalah Mpu Prapanca yang merupakan pelaku sejarah langsung. Mpu Prapanca merupakan pujagga kraton yang hidup dimasa Hayamwuruk. kitab Negarakertagama ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Belanda JLA Brandes pada tahun 1894 -- ia menemukan kitap tersebut ketika membantu expedisi penyerangan di Kerajaan Lombok. Kitab tersebut terdiri dari 98 pupuh dimana dalam pupuh 40 sampai 49 juga banyak menerangkan silsilah Raja-raja kerajaan Singasari yang merupakan nenek moyang Raja-raja Majapahit juga tentang silsilah Raja-raja majapahit sendiri. Namun, tak dapat disangkal jika kitab ini lebih menjadi "berbeda" dari yang tertulis di Kitab Pararaton -- disinilah kemudian timbul dugaan praktis atau Sepikulasi para Sejarawan -- karena, jika dalam Negarakertagama lebih condong "meng-istimewa-kan" Raja-raja sebelum Raden wijaya dan Kendedes yang merupakan Wanita suci, leluhurnya. Mungkin, karena sang penulis adalah pujangga kraton jadi sedikit banyak mendapat tekanan atau interfensi, baik interfensi yang bersifat moralis ata iterfensi yang sebenarnya. Paling tidak kitab tersebut sebagai persembahan buat Hayamwuruk buat leluhurnya.

akan tetapi, jika dilihat selisih tahun yang jarak rentang waktunya sampai 248-an tahun antara Negarakertagama dan kitab Pararaton. jelas di Pararaton banyak penyimpangan sejarah yang perlu diragukan. Karena 248 tahun itu sama artinya dengan 5 generasi. Itu pun jika dihitung dari kitabnya tapi jika dihitung dari Ken Arok yang menjadi Raja yakni th 1222 artinya tenggang 391 tahun tentu akan timbul presepsi lain yang artinya cerita itu lebih remang-remang dari cerita sesungguhnya jika dibanding Negarakertagama. Atau bisa juga diduga, Pararaton selayaknya rasa ketidak puasan dari naskah Negarakertagama. Makanya disini dalam susunan Raja-raja Singasari antara Pararaton versus Negarakertagama pun banyak perbedaan. Disini Raja ketiga Panji Toh Jaya yang "ada" tertuang dalam pararaton namun di Negarakertagama tidak ada nama Tohjaya.


Nama raja yang termuat dalam Pararaton namun tidak dimuat dalam Negarakertagama adalah

Lihat Humaniora Selengkapnya