Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan pengahabisan menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang pengahabisan hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama nyaris 3 ratus tahun Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber kekuatan maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten kesudahan runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa kesudahan pemerintanannya, para Sultan Banten tidak semakin dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3]

Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang adalah bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Pengahabisan dipicu oleh keadaan kerjasama Sunda-Portugal dalam bagian ekonomi dan politik, hal ini dianggap mampu membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melaksanakan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu sedang adalah pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Dia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu dia juga telah melaksanakan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Pengahabisan dia dialihkan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit sikap yang dibuat Portugal di nusantara, namun gagal karena dia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, dia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Sisa dari pembakaran al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melaksanakan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang hadir pada waktu itu, salah satu dikenal surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]

Puncak kejayaan

Kesultanan Banten adalah kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, meletakkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten mengembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut mengembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Ditolong orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[10]

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[11] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[12] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[13] Pada masa ini Banten juga berupaya keluar dari tekanan yang diterapkan VOC, yang sebelumnya telah melaksanakan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[12]

Perang saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, dampak perebutan kekuasaan dan pertentangan selang Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak mampu dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Sisa dari pembakaran Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang dinamakan dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya lainnya Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap pengahabisan ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang sedang berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara setelah terdesak kesudahannya Pangeran Purbaya mencetuskan menyerahkan diri. Pengahabisan Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di selang mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[15]

Penurunan

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di selangnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu pengahabisan dikuatkan dengan surat akad tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu berlandaskan akad tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian dampak perang tersebut kepada VOC.[17]

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Sisa dari pembakaran Fadhl Muhammad Yahya ditinggikan mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, pengahabisan dialihkan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan pengahabisan dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlaku di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik selang keturunan penguasa Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan penduduk Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa kesudahan pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di selangnya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Dampak konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali rindu bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.[13]

Penghapusan kesultanan

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari agresi Inggris.[19] Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan pengahabisan dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin pengahabisan diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.[20]

Kesultanan Banten resmi dicerai-beraikan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[21] Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini adalah pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Lukisan litograf Masjid Mulia Banten pada kurun 1882-1889.

Berlandaskan data arkeologis, masa awal penduduk Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melaksanakan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa kisah mistis juga mengiringi babak islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan meletakkan para ulama memiliki pengaruh yang mulia dalam kehidupan penduduknya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga mengembang di Banten. Sementara budaya penduduk menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang hadir dipengaruhi oleh perkembangan Islam di penduduk, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]

Toleransi umat beragama di Banten, mengembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

Kependudukan

Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kumpulan etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan selang lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa diceritakan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat selang 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk bertempur, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten mampu direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang sangat mampu diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang diterapkan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika semuanya penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.[23]

Sekitar tahun 1676 ribuan penduduk Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini dampak berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Penduduk ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan penduduk India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kumpulan penduduk Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

Perekonomian

Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bagian perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai dikenalkan. Asumsi ini mengembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian penduduknya ditopang oleh perkara perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan keadaan istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas semakin kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng selang 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan mulia diterapkan untuk mengembangkan pertanian. Selang 30 dan 40 kilometer kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, selang 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.[13]

Tak mampu dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di alam pada masa tersebut.[23]

Pemerintahan

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada penduduk Banten terdapat kumpulan bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada selang dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Mulia Banten dengan menara berwujud mercusuar yang probabilitas dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.

Berlandaskan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada selang Masjid Mulia Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang dipergunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara semuanya rancangan kota Banten berwujud sisi empat yang dpengaruhi oleh pemikiran Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.[13] Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.

Kesultanan Banten telah melaksanakan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini diterapkan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.

Daftar penguasa Banten

Warisan sejarah

Setelah dicerai-beraikannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten menjadi keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan penduduknya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang pengahabisan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.

Selain itu penduduk Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah hadir pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan penduduk Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.

Rujukan

  1. ^ a b c Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
  2. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
  3. ^ From Valentijn, Beschrijving van Groot Djava, ofte Java Major, Amsterdam, 1796. Ludwig Bachhofer, India Antiqua (1947:280) notes that Valentijn had been in Banten in 1694.
  4. ^ Sejarah Cirebon, PT. Balai Pustaka.
  5. ^ Titik Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat.
  6. ^ Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), The travels of Mendes Pinto, University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.
  7. ^ Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
  8. ^ Keat Gin Ooi, (2004), Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.
  9. ^ Heriyanti Ongkodharma Untoro, (2007), Kapitalisme pribumi awal kesultanan Banten, 1522-1684: kajian arkeologi-ekonomi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, ISBN 979-8184-85-8.
  10. ^ Yoneo Ishii, (1998), The junk trade from Southeast Asia: translations from the Tôsen fusetsu-gaki, 1674-1723, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 981-230-022-8.
  11. ^ Nana Supriatna, Sejarah, PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-601-4.
  12. ^ a b Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
  13. ^ a b c d Atsushi Ota, (2006), Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830, BRILL, ISBN 90-04-15091-9.
  14. ^ Azyumardi Azra, (2004), The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.
  15. ^ Ann Kumar, (1976), Surapati: man and legend : a study of three Babad traditions, Brill Archive, ISBN 90-04-04364-0.
  16. ^ Amir Hendarsah, Kisah Kerajaan Nusantara, Great! Publisher, ISBN 602-8696-14-5.
  17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8
  18. ^ Atsushi Ota, Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the Mass Participation, Modern Asian Studies (2003), 37: 613-651, DOI: 10.1017/S0026749X03003044.
  19. ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. 2008 November. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4. 
  20. ^ Sartono Kartodirdjo, (1966), The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and sequel. A case study of social movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.
  21. ^ R. B. Cribb, A. Kahin, (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-8108-4935-6.
  22. ^ Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press, ISBN 90-8964-088-6.
  23. ^ a b Claude Guillot, Banten in 1678, Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.

Perpustakaan

  • Hussein Jayadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Disertasi Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Leiden.
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Banten avant l'Islam - Etude archéologique de Banten Girang (Java Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten sebelum Islam - Studi arkeologis tentang Banten Girang 932 (?)-1526"), École française d'Extrême-Orient, 1994, ISBN 2-85539-773-1
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume 50, halaman 13-24
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, 2008 (terbitan ke-4)

Tautan luar


edunitas.com


Page 2

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan pengahabisan menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang pengahabisan hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama nyaris 3 ratus tahun Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan sampai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber kekuatan maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten kesudahan runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa kesudahan pemerintanannya, para Sultan Banten tidak semakin dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3]

Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang adalah bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain sebagai perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Pengahabisan dipicu oleh keadaan kerjasama Sunda-Portugal dalam bagian ekonomi dan politik, hal ini diasumsikan mampu membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melaksanakan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang saat itu sedang adalah pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke kawasan penghasil lada di Lampung. Dia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu dia juga telah melaksanakan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Pengahabisan dia dialihkan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit sikap yang dibuat Portugal di nusantara, namun gagal karena dia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, dia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Sisa dari pembakaran al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melaksanakan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang hadir pada saat itu, salah satu dikenal surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]

Puncak kejayaan

Kesultanan Banten adalah kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, meletak penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten mengembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut mengembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Ditolong orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten jualan dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[10]

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[11] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa memainkan pekerjaan pada Kesultanan Banten.[12] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[13] Pada masa ini Banten juga berupaya keluar dari tekanan yang diterapkan VOC, yang sebelumnya telah melaksanakan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[12]

Perang saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, dampak perebutan kekuasaan dan pertentangan selang Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak mampu dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Sisa dari pembakaran Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 sebagai memperoleh dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang dinamakan dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya lainnya Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap pengahabisan ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang sedang berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka sukses menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara setelah terdesak kesudahannya Pangeran Purbaya mencetuskan menyerahkan diri. Pengahabisan Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj sebagai menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di selang mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[15]

Penurunan

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di selangnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu pengahabisan dikuatkan dengan surat akad tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu berlandaskan akad tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian dampak perang tersebut kepada VOC.[17]

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Sisa dari pembakaran Fadhl Muhammad Yahya ditinggikan mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, pengahabisan dialihkan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan pengahabisan dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlaku di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik selang keturunan penguasa Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan penduduk Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa kesudahan pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di selangnya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Dampak konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali rindu bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.[13]

Penghapusan kesultanan

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos sebagai mempertahankan pulau Jawa dari agresi Inggris.[19] Daendels memerintahkan Sultan Banten sebagai memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja sebagai membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan pengahabisan dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin pengahabisan diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.[20]

Kesultanan Banten resmi dicerai-beraikan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[21] Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini adalah pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Lukisan litograf Masjid Mulia Banten pada kurun 1882-1889.

Berlandaskan data arkeologis, masa awal penduduk Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melaksanakan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa kisah mistis juga mengiringi babak islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan meletak para ulama memiliki pengaruh yang mulia dalam kehidupan penduduknya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga mengembang di Banten. Sementara budaya penduduk menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang hadir dipengaruhi oleh perkembangan Islam di penduduk, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]

Toleransi umat beragama di Banten, mengembang dengan adil. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

Kependudukan

Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara himpunan etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan selang lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa diceritakan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat selang 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap sebagai bertempur, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten mampu direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang sangat mampu diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang diterapkan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika semuanya penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.[23]

Sekitar tahun 1676 ribuan penduduk Cina mencari suaka dan memainkan pekerjaan di Banten. Gelombang migrasi ini dampak berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Penduduk ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan penduduk India dan Arab. Sementara di Banten beberapa himpunan penduduk Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

Perekonomian

Dalam meletakan landasan pembangunan ekonomi Banten, selain di bagian perdagangan sebagai kawasan pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai dikenalkan. Asumsi ini mengembang karena pada saat itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian penduduknya ditopang oleh perkara perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan keadaan istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas semakin kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng selang 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan mulia diterapkan sebagai mengembangkan pertanian. Selang 30 dan 40 kilometer kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, selang 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani diletakkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.[13]

Tak mampu dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di alam pada masa tersebut.[23]

Pemerintahan

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada penduduk Banten terdapat himpunan bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada selang dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Mulia Banten dengan menara berwujud mercusuar yang probabilitas dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas sebagai melihat kedatangan kapal di Banten.

Berlandaskan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada selang Masjid Mulia Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang dipergunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat sebagai menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara semuanya rancangan kota Banten berwujud sisi empat yang dpengaruhi oleh pemikiran Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.[13] Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.

Kesultanan Banten telah melaksanakan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini diterapkan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.

Daftar penguasa Banten

Warisan sejarah

Setelah dicerai-beraikannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten menjadi keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan penduduknya sebagai menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang pengahabisan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.

Selain itu penduduk Banten telah menjadi satu himpunan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah hadir pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan penduduk Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.

Rujukan

  1. ^ a b c Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
  2. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
  3. ^ From Valentijn, Beschrijving van Groot Djava, ofte Java Major, Amsterdam, 1796. Ludwig Bachhofer, India Antiqua (1947:280) notes that Valentijn had been in Banten in 1694.
  4. ^ Sejarah Cirebon, PT. Balai Pustaka.
  5. ^ Titik Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan didampingi tinjauan aksara dan amanat.
  6. ^ Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), The travels of Mendes Pinto, University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.
  7. ^ Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
  8. ^ Keat Gin Ooi, (2004), Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.
  9. ^ Heriyanti Ongkodharma Untoro, (2007), Kapitalisme pribumi awal kesultanan Banten, 1522-1684: kajian arkeologi-ekonomi, Fakultas Ilmu Ilmu Budaya UI, ISBN 979-8184-85-8.
  10. ^ Yoneo Ishii, (1998), The junk trade from Southeast Asia: translations from the Tôsen fusetsu-gaki, 1674-1723, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 981-230-022-8.
  11. ^ Nana Supriatna, Sejarah, PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-601-4.
  12. ^ a b Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
  13. ^ a b c d Atsushi Ota, (2006), Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830, BRILL, ISBN 90-04-15091-9.
  14. ^ Azyumardi Azra, (2004), The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.
  15. ^ Ann Kumar, (1976), Surapati: man and legend : a study of three Babad traditions, Brill Archive, ISBN 90-04-04364-0.
  16. ^ Amir Hendarsah, Kisah Kerajaan Nusantara, Great! Publisher, ISBN 602-8696-14-5.
  17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8
  18. ^ Atsushi Ota, Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the Mass Participation, Modern Asian Studies (2003), 37: 613-651, DOI: 10.1017/S0026749X03003044.
  19. ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. 2008 November. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4. 
  20. ^ Sartono Kartodirdjo, (1966), The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and sequel. A case study of social movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.
  21. ^ R. B. Cribb, A. Kahin, (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-8108-4935-6.
  22. ^ Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press, ISBN 90-8964-088-6.
  23. ^ a b Claude Guillot, Banten in 1678, Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.

Perpustakaan

  • Hussein Jayadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Disertasi Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Leiden.
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Banten avant l'Islam - Etude archéologique de Banten Girang (Java Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten sebelum Islam - Studi arkeologis tentang Banten Girang 932 (?)-1526"), École française d'Extrême-Orient, 1994, ISBN 2-85539-773-1
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume 50, halaman 13-24
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, 2008 (terbitan ke-4)

Tautan luar


edunitas.com


Page 3

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan pengahabisan menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang pengahabisan hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama nyaris 3 ratus tahun Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan sampai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber kekuatan maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten kesudahan runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa kesudahan pemerintanannya, para Sultan Banten tidak semakin dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3]

Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang adalah bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain sebagai perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Pengahabisan dipicu oleh keadaan kerjasama Sunda-Portugal dalam bagian ekonomi dan politik, hal ini diasumsikan mampu membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melaksanakan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang saat itu sedang adalah pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke kawasan penghasil lada di Lampung. Dia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu dia juga telah melaksanakan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Pengahabisan dia dialihkan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit sikap yang dibuat Portugal di nusantara, namun gagal karena dia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, dia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Sisa dari pembakaran al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melaksanakan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang hadir pada saat itu, salah satu dikenal surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]

Puncak kejayaan

Kesultanan Banten adalah kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, meletak penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten mengembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut mengembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Ditolong orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten jualan dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[10]

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[11] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa memainkan pekerjaan pada Kesultanan Banten.[12] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[13] Pada masa ini Banten juga berupaya keluar dari tekanan yang diterapkan VOC, yang sebelumnya telah melaksanakan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[12]

Perang saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, dampak perebutan kekuasaan dan pertentangan selang Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak mampu dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Sisa dari pembakaran Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 sebagai memperoleh dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang dinamakan dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya lainnya Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap pengahabisan ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang sedang berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka sukses menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara setelah terdesak kesudahannya Pangeran Purbaya mencetuskan menyerahkan diri. Pengahabisan Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj sebagai menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di selang mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[15]

Penurunan

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di selangnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu pengahabisan dikuatkan dengan surat akad tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu berlandaskan akad tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian dampak perang tersebut kepada VOC.[17]

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Sisa dari pembakaran Fadhl Muhammad Yahya ditinggikan mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, pengahabisan dialihkan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan pengahabisan dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlaku di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik selang keturunan penguasa Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan penduduk Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa kesudahan pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di selangnya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Dampak konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali rindu bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.[13]

Penghapusan kesultanan

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos sebagai mempertahankan pulau Jawa dari agresi Inggris.[19] Daendels memerintahkan Sultan Banten sebagai memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja sebagai membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan pengahabisan dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin pengahabisan diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.[20]

Kesultanan Banten resmi dicerai-beraikan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[21] Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini adalah pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Lukisan litograf Masjid Mulia Banten pada kurun 1882-1889.

Berlandaskan data arkeologis, masa awal penduduk Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melaksanakan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa kisah mistis juga mengiringi babak islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan meletak para ulama memiliki pengaruh yang mulia dalam kehidupan penduduknya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga mengembang di Banten. Sementara budaya penduduk menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang hadir dipengaruhi oleh perkembangan Islam di penduduk, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]

Toleransi umat beragama di Banten, mengembang dengan adil. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

Kependudukan

Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara himpunan etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan selang lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa diceritakan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat selang 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap sebagai bertempur, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten mampu direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang sangat mampu diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang diterapkan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika semuanya penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.[23]

Sekitar tahun 1676 ribuan penduduk Cina mencari suaka dan memainkan pekerjaan di Banten. Gelombang migrasi ini dampak berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Penduduk ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan penduduk India dan Arab. Sementara di Banten beberapa himpunan penduduk Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

Perekonomian

Dalam meletakan landasan pembangunan ekonomi Banten, selain di bagian perdagangan sebagai kawasan pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai dikenalkan. Asumsi ini mengembang karena pada saat itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian penduduknya ditopang oleh perkara perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan keadaan istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas semakin kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng selang 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan mulia diterapkan sebagai mengembangkan pertanian. Selang 30 dan 40 kilometer kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, selang 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani diletakkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.[13]

Tak mampu dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di alam pada masa tersebut.[23]

Pemerintahan

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada penduduk Banten terdapat himpunan bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada selang dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Mulia Banten dengan menara berwujud mercusuar yang probabilitas dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas sebagai melihat kedatangan kapal di Banten.

Berlandaskan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada selang Masjid Mulia Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang dipergunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat sebagai menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara semuanya rancangan kota Banten berwujud sisi empat yang dpengaruhi oleh pemikiran Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.[13] Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.

Kesultanan Banten telah melaksanakan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini diterapkan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.

Daftar penguasa Banten

Warisan sejarah

Setelah dicerai-beraikannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten menjadi keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan penduduknya sebagai menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang pengahabisan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.

Selain itu penduduk Banten telah menjadi satu himpunan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah hadir pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan penduduk Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.

Rujukan

  1. ^ a b c Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
  2. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
  3. ^ From Valentijn, Beschrijving van Groot Djava, ofte Java Major, Amsterdam, 1796. Ludwig Bachhofer, India Antiqua (1947:280) notes that Valentijn had been in Banten in 1694.
  4. ^ Sejarah Cirebon, PT. Balai Pustaka.
  5. ^ Titik Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan didampingi tinjauan aksara dan amanat.
  6. ^ Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), The travels of Mendes Pinto, University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.
  7. ^ Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
  8. ^ Keat Gin Ooi, (2004), Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.
  9. ^ Heriyanti Ongkodharma Untoro, (2007), Kapitalisme pribumi awal kesultanan Banten, 1522-1684: kajian arkeologi-ekonomi, Fakultas Ilmu Ilmu Budaya UI, ISBN 979-8184-85-8.
  10. ^ Yoneo Ishii, (1998), The junk trade from Southeast Asia: translations from the Tôsen fusetsu-gaki, 1674-1723, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 981-230-022-8.
  11. ^ Nana Supriatna, Sejarah, PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-601-4.
  12. ^ a b Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
  13. ^ a b c d Atsushi Ota, (2006), Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830, BRILL, ISBN 90-04-15091-9.
  14. ^ Azyumardi Azra, (2004), The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.
  15. ^ Ann Kumar, (1976), Surapati: man and legend : a study of three Babad traditions, Brill Archive, ISBN 90-04-04364-0.
  16. ^ Amir Hendarsah, Kisah Kerajaan Nusantara, Great! Publisher, ISBN 602-8696-14-5.
  17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8
  18. ^ Atsushi Ota, Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the Mass Participation, Modern Asian Studies (2003), 37: 613-651, DOI: 10.1017/S0026749X03003044.
  19. ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. 2008 November. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4. 
  20. ^ Sartono Kartodirdjo, (1966), The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and sequel. A case study of social movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.
  21. ^ R. B. Cribb, A. Kahin, (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-8108-4935-6.
  22. ^ Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press, ISBN 90-8964-088-6.
  23. ^ a b Claude Guillot, Banten in 1678, Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.

Perpustakaan

  • Hussein Jayadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Disertasi Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Leiden.
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Banten avant l'Islam - Etude archéologique de Banten Girang (Java Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten sebelum Islam - Studi arkeologis tentang Banten Girang 932 (?)-1526"), École française d'Extrême-Orient, 1994, ISBN 2-85539-773-1
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume 50, halaman 13-24
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, 2008 (terbitan ke-4)

Tautan luar


edunitas.com


Page 4

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan pengahabisan menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang pengahabisan hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama nyaris 3 ratus tahun Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber kekuatan maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten kesudahan runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa kesudahan pemerintanannya, para Sultan Banten tidak semakin dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3]

Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang adalah bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Pengahabisan dipicu oleh keadaan kerjasama Sunda-Portugal dalam bagian ekonomi dan politik, hal ini dianggap mampu membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melaksanakan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu sedang adalah pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Dia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu dia juga telah melaksanakan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Pengahabisan dia dialihkan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit sikap yang dibuat Portugal di nusantara, namun gagal karena dia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, dia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Sisa dari pembakaran al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melaksanakan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang hadir pada waktu itu, salah satu dikenal surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]

Puncak kejayaan

Kesultanan Banten adalah kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, meletakkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten mengembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut mengembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Ditolong orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[10]

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[11] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[12] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[13] Pada masa ini Banten juga berupaya keluar dari tekanan yang diterapkan VOC, yang sebelumnya telah melaksanakan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[12]

Perang saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, dampak perebutan kekuasaan dan pertentangan selang Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak mampu dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Sisa dari pembakaran Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang dinamakan dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya lainnya Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap pengahabisan ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang sedang berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara setelah terdesak kesudahannya Pangeran Purbaya mencetuskan menyerahkan diri. Pengahabisan Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di selang mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[15]

Penurunan

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di selangnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu pengahabisan dikuatkan dengan surat akad tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu berlandaskan akad tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian dampak perang tersebut kepada VOC.[17]

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Sisa dari pembakaran Fadhl Muhammad Yahya ditinggikan mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, pengahabisan dialihkan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan pengahabisan dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlaku di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik selang keturunan penguasa Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan penduduk Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa kesudahan pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di selangnya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Dampak konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali rindu bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.[13]

Penghapusan kesultanan

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari agresi Inggris.[19] Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan pengahabisan dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin pengahabisan diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.[20]

Kesultanan Banten resmi dicerai-beraikan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[21] Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini adalah pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Lukisan litograf Masjid Mulia Banten pada kurun 1882-1889.

Berlandaskan data arkeologis, masa awal penduduk Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melaksanakan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa kisah mistis juga mengiringi babak islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan meletakkan para ulama memiliki pengaruh yang mulia dalam kehidupan penduduknya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga mengembang di Banten. Sementara budaya penduduk menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang hadir dipengaruhi oleh perkembangan Islam di penduduk, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]

Toleransi umat beragama di Banten, mengembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

Kependudukan

Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kumpulan etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan selang lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa diceritakan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat selang 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk bertempur, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten mampu direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang sangat mampu diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang diterapkan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika semuanya penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.[23]

Sekitar tahun 1676 ribuan penduduk Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini dampak berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Penduduk ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan penduduk India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kumpulan penduduk Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

Perekonomian

Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bagian perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai dikenalkan. Asumsi ini mengembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian penduduknya ditopang oleh perkara perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan keadaan istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas semakin kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng selang 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan mulia diterapkan untuk mengembangkan pertanian. Selang 30 dan 40 kilometer kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, selang 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.[13]

Tak mampu dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di alam pada masa tersebut.[23]

Pemerintahan

Menjadikan banten sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di jawa barat

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada penduduk Banten terdapat kumpulan bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada selang dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Mulia Banten dengan menara berwujud mercusuar yang probabilitas dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.

Berlandaskan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada selang Masjid Mulia Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang dipergunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara semuanya rancangan kota Banten berwujud sisi empat yang dpengaruhi oleh pemikiran Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.[13] Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.

Kesultanan Banten telah melaksanakan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini diterapkan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.

Daftar penguasa Banten

Warisan sejarah

Setelah dicerai-beraikannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten menjadi keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan penduduknya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang pengahabisan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.

Selain itu penduduk Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah hadir pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan penduduk Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.

Rujukan

  1. ^ a b c Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
  2. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
  3. ^ From Valentijn, Beschrijving van Groot Djava, ofte Java Major, Amsterdam, 1796. Ludwig Bachhofer, India Antiqua (1947:280) notes that Valentijn had been in Banten in 1694.
  4. ^ Sejarah Cirebon, PT. Balai Pustaka.
  5. ^ Titik Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat.
  6. ^ Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), The travels of Mendes Pinto, University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.
  7. ^ Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
  8. ^ Keat Gin Ooi, (2004), Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.
  9. ^ Heriyanti Ongkodharma Untoro, (2007), Kapitalisme pribumi awal kesultanan Banten, 1522-1684: kajian arkeologi-ekonomi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, ISBN 979-8184-85-8.
  10. ^ Yoneo Ishii, (1998), The junk trade from Southeast Asia: translations from the Tôsen fusetsu-gaki, 1674-1723, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 981-230-022-8.
  11. ^ Nana Supriatna, Sejarah, PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-601-4.
  12. ^ a b Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
  13. ^ a b c d Atsushi Ota, (2006), Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830, BRILL, ISBN 90-04-15091-9.
  14. ^ Azyumardi Azra, (2004), The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.
  15. ^ Ann Kumar, (1976), Surapati: man and legend : a study of three Babad traditions, Brill Archive, ISBN 90-04-04364-0.
  16. ^ Amir Hendarsah, Kisah Kerajaan Nusantara, Great! Publisher, ISBN 602-8696-14-5.
  17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8
  18. ^ Atsushi Ota, Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the Mass Participation, Modern Asian Studies (2003), 37: 613-651, DOI: 10.1017/S0026749X03003044.
  19. ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. 2008 November. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4. 
  20. ^ Sartono Kartodirdjo, (1966), The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and sequel. A case study of social movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.
  21. ^ R. B. Cribb, A. Kahin, (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-8108-4935-6.
  22. ^ Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press, ISBN 90-8964-088-6.
  23. ^ a b Claude Guillot, Banten in 1678, Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.

Perpustakaan

  • Hussein Jayadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Disertasi Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Leiden.
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Banten avant l'Islam - Etude archéologique de Banten Girang (Java Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten sebelum Islam - Studi arkeologis tentang Banten Girang 932 (?)-1526"), École française d'Extrême-Orient, 1994, ISBN 2-85539-773-1
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume 50, halaman 13-24
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, 2008 (terbitan ke-4)

Tautan luar


edunitas.com


Page 5

Tags (tagged): the, world, encyclopedia, of, contents, unkris, geography, portal, africa, south, america, north, kalimantan, nusa, tenggara, islands, bali, west, sri, lanka, syria, taiwan, tajikistan, thailand, timor, leste, burundi, djibouti, eritrea, ethiopia, kenya, comoros, center, studies, formula, 1, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian


Page 6

Tags (tagged): the, world, encyclopedia, of, contents, unkris, sumatra, jabodetabek, borneo, kalimantan, puppet, wayang, java, west, papua, countries, in, europe, albanian, andorra, armenia, peru, suriname, uruguay, venezuela, state, and, territory, regional, dependency, melilla, reunion, western, sahara, saint, center, studies, portal, japan, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian


Page 7

Tags (tagged): daftar, isi, pusat, ilmu, pengetahuan, unkris, portal, utama, agama, astronomi, bahasa, biografi, biologi, budaya, bengkulu, jambi, kepulauan, bangka, belitung, riau, kong, india, indonesia, iran, iraq, israel, jepang, kamboja, tunisia, afrika, barat, benin, burkina, faso, gambia, ghana, asia, ateisme, atheis, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, ensiklopedia


Page 8

Tags (tagged): daftar, isi, pusat, ilmu, pengetahuan, unkris, portal, indonesia, sumatera, jabodetabek, kalimantan, wayang, maluku, utara, papua, barat, negara, peru, suriname, uruguay, venezuela, wilayah, lesotho, namibia, swaziland, territorial, islam, jawa, jepang, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, ensiklopedia


Page 9

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM, Judul Topik (Artikel) 3, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) 3, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 10

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM, Judul Topik (Artikel) 3, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) 3, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 11

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan, Judul Topik (Artikel) A, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) A, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 12

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan, Judul Topik (Artikel) A, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) A, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 13

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) B, B17, B20, B22, B25, Babirik, Beruntung Baru, Banjar, Babirik, Hulu Sungai Utara, Babirusa, Babirusa Buru, Badan Liga Indonesia, Badan Meteorologi Australia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Jepang, Bagik Payung, Suralaga, Lombok Timur, Bagik Polak, Labu Api, Lombok Barat, Baginda, Sumedang Selatan, Sumedang, Bagindo Aziz Chan, Bahasa Bawean, Bahasa Belanda, Bahasa Belanda di Indonesia, Bahasa Belarus, Judul Topik (Artikel) B, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) B, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 14

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) B, B17, B20, B22, B25, Babirik, Beruntung Baru, Banjar, Babirik, Hulu Sungai Utara, Babirusa, Babirusa Buru, Badan Liga Indonesia, Badan Meteorologi Australia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Jepang, Bagik Payung, Suralaga, Lombok Timur, Bagik Polak, Labu Api, Lombok Barat, Baginda, Sumedang Selatan, Sumedang, Bagindo Aziz Chan, Bahasa Bawean, Bahasa Belanda, Bahasa Belanda di Indonesia, Bahasa Belarus, Judul Topik (Artikel) B, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) B, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 15

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Cairate, Cairina scutulata, Cairn Terrier, Cairns, Calung, Calungbungur, Sajira, Lebak, Caluso, Caluya, Antique, Canadian dollar, Canadian Football League, Canadian Grand Prix, Canadian Hot 100, Cane Toa, Rikit Gaib, Gayo Lues, Cane Uken, Rikit Gaib, Gayo Lues, Canellales, Canero, Judul Topik (Artikel) C, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) C, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 16

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Cairate, Cairina scutulata, Cairn Terrier, Cairns, Calung, Calungbungur, Sajira, Lebak, Caluso, Caluya, Antique, Canadian dollar, Canadian Football League, Canadian Grand Prix, Canadian Hot 100, Cane Toa, Rikit Gaib, Gayo Lues, Cane Uken, Rikit Gaib, Gayo Lues, Canellales, Canero, Judul Topik (Artikel) C, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) C, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 17

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) H, H.H.H. Tower, H.M.A. Tihami, H.O.S. Tjokroaminoto, H.O.T., Hak LGBT di Oseania, Hak LGBT di Pakistan, Hak LGBT di Republik Tiongkok, Hak LGBT di Rumania, Halte Cinango, Halte Cisomang, Halte Cisomang layout, Halte Citaliktik, Handil Labuan Amas, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Maluka, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Negara, Kurau, Tanah Laut, Handil Purai, Beruntung Baru, Banjar, Harapan, Tanah Pinem, Dairi, Harapankarya, Pagelaran, Pandeglang, Harappa, Harara, Dusun Timur, Barito Timur, Judul Topik (Artikel) H, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) H, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 18

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) H, H.H.H. Tower, H.M.A. Tihami, H.O.S. Tjokroaminoto, H.O.T., Hak LGBT di Oseania, Hak LGBT di Pakistan, Hak LGBT di Republik Tiongkok, Hak LGBT di Rumania, Halte Cinango, Halte Cisomang, Halte Cisomang layout, Halte Citaliktik, Handil Labuan Amas, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Maluka, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Negara, Kurau, Tanah Laut, Handil Purai, Beruntung Baru, Banjar, Harapan, Tanah Pinem, Dairi, Harapankarya, Pagelaran, Pandeglang, Harappa, Harara, Dusun Timur, Barito Timur, Judul Topik (Artikel) H, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) H, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 19

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) I, I Got a Boy, I Got a Boy (lagu), I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, I Gusti Ketut Jelantik, Ibrahim al-Imam, Ibrahim al-Jaafari, Ibrahim al-Maimuni, Ibrahim al-Marhumi, Ie Mirah, Pasie Raja, Aceh Selatan, Ie Relop, Pegasing, Aceh Tengah, Ie Rhob Babah Lueng, Simpang Mamplam, Bireuen, Ie Rhob Barat, Simpang Mamplam, Bireuen, Ikatan non kovalen, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Pencak Silat Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Ilyas, Ilyas Karim, Ilyas Ruhiat, Ilyas Ya'kub, Judul Topik (Artikel) I, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) I, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 20

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) I, I Got a Boy, I Got a Boy (lagu), I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, I Gusti Ketut Jelantik, Ibrahim al-Imam, Ibrahim al-Jaafari, Ibrahim al-Maimuni, Ibrahim al-Marhumi, Ie Mirah, Pasie Raja, Aceh Selatan, Ie Relop, Pegasing, Aceh Tengah, Ie Rhob Babah Lueng, Simpang Mamplam, Bireuen, Ie Rhob Barat, Simpang Mamplam, Bireuen, Ikatan non kovalen, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Pencak Silat Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Ilyas, Ilyas Karim, Ilyas Ruhiat, Ilyas Ya'kub, Judul Topik (Artikel) I, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) I, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 21

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) J, J. Willard Marriott, J.A.K.Q. Dengekitai, J.A.K.Q. Dengekitai vs. Goranger, J.B. Jeyaretnam, Jagson Airlines, Jaguar, Jaguar (perusahaan otomotif), Jaguar Cars, Jalan Dago, Jalan dan Jembatan, Jalan dan Jembatan Kelok Sembilan, Jalan di Kota Surakarta, Jalur kereta api di Indonesia, Jalur kereta api di Sydney, Jalur kereta api Duri-Tanahabang, Jalur kereta api Eritrea, Jambu Kulon, Ceper, Klaten, Jambu Luwuk, Ciawi, Bogor, Jambu mawar, Jambu mede, Judul Topik (Artikel) J, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) J, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 22

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) J, J. Willard Marriott, J.A.K.Q. Dengekitai, J.A.K.Q. Dengekitai vs. Goranger, J.B. Jeyaretnam, Jagson Airlines, Jaguar, Jaguar (perusahaan otomotif), Jaguar Cars, Jalan Dago, Jalan dan Jembatan, Jalan dan Jembatan Kelok Sembilan, Jalan di Kota Surakarta, Jalur kereta api di Indonesia, Jalur kereta api di Sydney, Jalur kereta api Duri-Tanahabang, Jalur kereta api Eritrea, Jambu Kulon, Ceper, Klaten, Jambu Luwuk, Ciawi, Bogor, Jambu mawar, Jambu mede, Judul Topik (Artikel) J, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) J, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 23

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) O, OB Shift 2, Oba Selatan, Tidore Kepulauan, Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Oba Utara, Tidore, Oda Nobunaga, Odair Fortes, Odalengo Grande, Odalengo Piccolo, Oktaf, Oktaf Paskah, Oktal, Oktan, Olivia Dewi, Olivia Lubis Jensen, Olivia Newton John, Olivia Newton-John, Onozalukhu You, Moro O, Nias Barat, Onozalukhu, Lahewa, Nias Utara, Onozitoli Sawo, Sawo, Nias Utara, Onta, Judul Topik (Artikel) O, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) O, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 24

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) O, OB Shift 2, Oba Selatan, Tidore Kepulauan, Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Oba Utara, Tidore, Oda Nobunaga, Odair Fortes, Odalengo Grande, Odalengo Piccolo, Oktaf, Oktaf Paskah, Oktal, Oktan, Olivia Dewi, Olivia Lubis Jensen, Olivia Newton John, Olivia Newton-John, Onozalukhu You, Moro O, Nias Barat, Onozalukhu, Lahewa, Nias Utara, Onozitoli Sawo, Sawo, Nias Utara, Onta, Judul Topik (Artikel) O, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) O, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 25

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) P, Pa Padi, Krayan, Nunukan, Pa Pala, Krayan, Nunukan, Pa' Amai, Krayan Selatan, Nunukan, Pa' Dalan, Krayan Selatan, Nunukan, Padang Barat, Bintauna, Bolaang Mongondow Utara, Padang Barat, Padang, Padang Baru, Labuhan Haji, Aceh Selatan, Padang Baru, Merapi Selatan, Lahat, Padi (band), Padi (disambiguasi), Padi (grup musik), Padi emas, Pahae Julu, Pahae Julu, Tapanuli Utara, Pahala, Pahala Tambunan, Pakpahan, Onan Runggu, Samosir, Pakpahan, Pangaribuan, Tapanuli Utara, Pakpak, Pakpak Bharat, Judul Topik (Artikel) P, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) P, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id


Page 26

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) P, Pa Padi, Krayan, Nunukan, Pa Pala, Krayan, Nunukan, Pa' Amai, Krayan Selatan, Nunukan, Pa' Dalan, Krayan Selatan, Nunukan, Padang Barat, Bintauna, Bolaang Mongondow Utara, Padang Barat, Padang, Padang Baru, Labuhan Haji, Aceh Selatan, Padang Baru, Merapi Selatan, Lahat, Padi (band), Padi (disambiguasi), Padi (grup musik), Padi emas, Pahae Julu, Pahae Julu, Tapanuli Utara, Pahala, Pahala Tambunan, Pakpahan, Onan Runggu, Samosir, Pakpahan, Pangaribuan, Tapanuli Utara, Pakpak, Pakpak Bharat, Judul Topik (Artikel) P, p2k.unkris.ac.id Program Kuliah Pegawai, Kelas Weekend, Judul Topik (Artikel) P, Unkris, Pusat Ilmu Pengetahuan, Kelas Eksekutif, Ensiklopedi Bahasa Indonesia, ensiklopedia dunia p2k.unkris.ac.id