Mengapa Sebagai bangsa Indonesia kita wajib melestarikan Pancasila?

"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke". Ungkapan Presiden Sukarno ini sangat relevan untuk digelorakan setiap saat, terutama akhir-akhir ini, sadar atau tidak sadar, sedang berkembang primodialisme, dan radikalisme. Di samping itu, bangsa Indonesia dan dunia sedang manghadapi bencana kesehatan Covid-19.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, dan budaya. Disamping itu, penduduk Indonesia menyebar di ribuan pulau. Menurut data Kementerian Dalam Negeri (Buku Statistik Indonesia 2018), pada tahun 2017, Indonesia terdiri dari 16.056 pulau. Di satu sisi, keberagaman di atas merupakan anugerah yang harus disyukuri. Namun di sisi lain, terdapat risiko bawaan (inherent risk) untuk tetap bisa menjaga kesatuan dan persatuan.

Pancasila Lahir dari Bumi Pertiwi

Kemerdekaan bangsa Indonesia, yang diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, merupakan hasil perjuangan panjang dan penuh pengorbanan dari bangsa Indonesia. Pergerakan nasionalisme Indonesia dimulai ketika lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908. Kemudian muncul organisasi yang bersifat keagamaan, nasionalis dan kepemudaan misalnya Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia dan Jong Ambon. Meski organisasi tersebut memiliki corak yang berbeda, namun memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu Indonesia merdeka.

Selanjutnya, semangat nasionalisme mencapai titik kulminasi pada saat Sumpah Pemuda tahun 1928, yang mengilhami lahirnya konsep bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menandakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat dan menjunjung tinggi nilai nasionalisme.

Perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya semakin dekat ketika dibentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai). BPUPKI dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang mencakup bentuk, konstitusi dan dasar negara Indonesia.

Untuk membahas ketiga pondasi bangsa Indonesai tersebut, BPUPKI menyelenggaran sidang, mulai tangal 29 Mei -1 Juni 1945. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan rumusan lima sila dasar negara Indonesia, yang dinamakan Pancasila. Ir. Soekarno mengatakan bahwa Pancasila adalah nilai-nilai luhur bangsa Indonesa yang dapat mempersatukan Bangsa Indonesia. “Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah”.

Untuk menindaklanjuti Pancasila yang disampaikan Ir. Soekarno, dibentuklah Panitia Sembilan yang merumuskan Lima Sila dalam Pancasila menjadi 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. 3) Persatuan Indonesia. 4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan 5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Lima Sila tersebut disepakati secara mufakat, dengan semangat nasionalisme dan penuh kebijaksanaan.

Strategi Mananamkan Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa

Menghadapi tantangan baik yang berasal dari dalam (radikalisme) maupun luar (pengaruh globalisasi) maka bangsa Indonesia harus meningkatkan nasionalisme. Nasionalisme akan menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Ernest Renan, nasionalisme adalah suatu keinginan besar untuk mewujudkan persatuan dalam bernegara.

Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan nasionalisme adalah menanamkan nilai-nilai Pancasila dengan TSM (terstruktur, sistemik dan massif) secara konkrit. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia harus “dibumikan kembali” kepada seluruh rakyat Indonesia. Terdapat 3 (tiga) pendekatan yang dapat dilakukan agar Pancasila menjadi habitus dalam kehidupan berbangsa yaitu pendekatan Kelembagaan, Sistem, dan Fungsional.

Pendekatan Kelembagaan dilakukan dengan melibatkan seluruh lembaga pemerintahan, keagamaan, kemasyarakatan, kepemudaan dan partai politik untuk berperan aktif menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat Indonesia. Pendekatan ini dapat dilakukan secara formal dan informal.

Pendekatan sistem dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai Pancasila dalam sistem berbangsa dan bernegara. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai Pancasila dalam sistem pendidikan pada semua jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi); sistem rekruitmen dan pengembangan SDM ASN, TNI/Polri dan pegawai BUMN; sistem pengkaderan pada partai politik dan kepemudaan.

Pendekatan fungsional dilakukan dengan memaksimalkan sarana prasarana, teknologi informasi, media massa, dan media sosial dalam memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, Pemerintah harus secara massif dan terstruktur menyampaikan konten nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat.

Seluruh bangsa Indonesia harus menyadari, Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa, mengandung norma-norma yang menjadi kompas dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Dengan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita menegakkan berdirinya NKRI dan terwujudnya tujuan berbangsa dan bernegara. Amalkan Pancasila, Jayalah Indonesiaku, Indonesiamu dan Indonesia kita.

(Kakanwil DJKN Kalbar, Edward Nainggolan)

“Ketahanan ideologi Pancasila kembali diuji ketika dunia masuk pada era globalisasi di mana banyaknya ideologi alternatif merasuki ke dalam segenap sendi-sendi bangsa melalui media informasi yang dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa,” kata Deputi Bidang Pengkajian Strategik Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. membuka Focus Group Discussion (FGD) tentang Mencari Bentuk Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Era Globalisasi bertempat di Ruang Gatot Kaca, Senin, 9 Maret 2020.

Reni menjelaskan bahwa Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka, yakni ideologi yang terbuka dalam menyerap nilai-nilai baru yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup bangsa. Namun, di sisi lain diharuskan adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru. Apabila Indonesia tidak cermat, maka masyarakat akan cenderung ikut arus ideologi luar tersebut, sedangkan ideologi asli bangsa Indonesia sendiri yakni Pancasila malah terlupakan baik nilai-nilainya maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono, M.E., menjelaskan mengenai tantangan yang dihadapi saat ini. Tantangan pertama adalah banyaknya ideologi alternatif melalui media informasi yang mudah dijangkau oleh seluruh anak bangsa seperti radikalisme, ekstremisme, konsumerisme. Hal tersebut juga membuat masyarakat mengalami penurunan intensitas pembelajaran Pancasila dan juga kurangnya efektivitas serta daya tarik pembelajaran Pancasila.

Kemudian tantangan selanjutnya adalah eksklusivisme sosial yang terkait derasnya arus globalisasi yang mengarah kepada menguatnya kecenderungan politisasi identitas, gejala polarisasi dan fragmentasi sosial yang berbasis SARA. Bonus demografi yang akan segera dinikmati Bangsa Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda di tengah arus globalisasi.

Pada kesempatan tersebut Dave juga memberikan rekomendasi implementasi nilai-nilai Pancasila di era globalisasi. Pertama, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang menarik bagi generasi muda dan masyarakat.

Rekomendasi selanjutnya adalah membumikan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan dan/atau pembelajaran berkesinambungan yang berkelanjutan di semua lini dan wilayah. Oleh karena itu, Dave menganggap perlu ada kurikulum di satuan pendidikan dan perguruan tinggi yaitu Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (P3KN). 

Menanggapi pernyataan Dave, Analis Kebijakan Direktorat Sekolah Menengah Atas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) Dr. Juandanilsyah, S.E., M.A., menjelaskan bahwa Pancasila saat ini diajarkan dan diperkuat melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dengan penekanan pada teori dan praktik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh perkembangan global juga berdampak pada anak-anak. 

Menurut Juan, Pancasila di masa mendatang akan mempertahankan otoritas negara dan penegakan hukum serta menjadi pelindung hak-hak dasar warga negara sebagai manusia. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanamkan kesadaran terhadap potensi bahaya gangguan dari luar yang dapat merusak dan mengajak siswa untuk mempertahankan identitas bangsa serta meningkatkan ketahanan mental dan ideologi bangsa.

“Seharusnya representasi sosial tentang Pancasila yang diingat orang adalah Pancasila ideologi toleransi, Pancasila ideologi pluralisme, dan Pancasila ideologi multikulturalisme,” kata Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi Moeloek.

Representasi sosial tentang Pancasila yang dimaksud adalah kerangka acuan nilai bernegara dan berbangsa yang menjadi identitas Bangsa Indonesia. Hamdi menjelaskan bahwa jika Pancasila menjadi acuan, maka implementasi nilai-nilai Pancasila akan lebih mudah terlihat dalam praktik bernegara, misalnya saat pengambilan kebijakan-kebijakan politik. Selanjutnya Hamdi menjelaskan bahwa terlihat Pancasila bisa memberikan solusi di tengah adanya beragam ideologi seperti sosialis dan liberal serta di tengah usaha politik identitas oleh agama, etnik, dan kepentingan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA