Mengapa hadist maudhu disebut hadist

Definisi Hadits Palsu (Maudhu’) secara etimologi merupakan bentuk isim maf’ul, wadha’a, yadha’u yang bermakna yang disusun, dusta yang diada-adakan, dan yang diletakkan. Sedangkan dari segi terminologi ulama hadits mengartikan hadits maudhu’ yaitu sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan, dan beliau taqrirkan.

Hadits maudhu’ atau hadits palsu ialah hadits yang di dalam sanadnya ada seorang atau beberapa orang rawi yang pendusta. Sedangkan hadits yang tidak ada asalnya ialah hadits yang tidak mempunyai sanad untuk diperiksa. Yakni, perkataan yang beredar dari mulut ke mulut atau dari tulisan ke tulisan yang tidak ada asal usulnya yang disandarkan kepada Nabi Saw.

Hadits maudu’ adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukanlah perkataan, perbuatan, atau takrir Nabi SAW. Lalu sejak kapan muncul hadits palsu di tengah-tengah umat Islam? Mengenai awal mula munculnya hadits palsu, terdapat beberapa pendapat di kalangan para ahli hadits.

Ada yang berpendapat bahwa hadits palsu yang beredar di tengah-tengah umat Islam sudah muncul sejak masa Rasulullah SAW.
Pemalsuan hadits atas nama Nabi Muhammad yang artinya “Setiap Nabi memiliki penerima wasiat, dan penerima wasiatku adalah Ali”.

Dia beserta pengikutnyalah yang kemudian hari menjelma menjadi sebuah mazhab teologi yang kita kenal dengan Syi’ah, yaitu sebuah sekte dalam Islam yang selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw (ahlu al-bait). Di sinilah keterkaitan Syi’ah dengan awal kemunculan hadits palsu. Dalam bukunya al-Wad’u fi al-Hadits.

Baca juga : //sabyan.org/tata-cara-berwudu-pada-anak-usia-dini/

Umar Fallatah menjelaskan secara detail sebab-sebab terjadinya pemalsuan hadits.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sebab-sebab tersebut adalah;

1. Orang-orang zindiq yang ingin merusak agama Islam dari dalam. 2. Melegitimasi mazhab, keyakinan, atau kelompok tertentu, seperti paham politik, mazhab fikih, maupun mazhab teologi (akidah). 3. Memotivasi orang awam guna melakukan kebaikan, akan tetapi cara ini salah karena memalsukan hadits yang begitu sakral dalam Islam.

4. Untuk mendapatkan keuntungan duniawi, seperti untuk melariskan dagangan, mendapatkan upah, dll. Syi’ah Bikin Ulah Melihat sebab-sebab pemalsuan diatas, maka pemalsuan hadits pertama kali oleh ibnu Saba’ (syi’ah) merupakan cara untuk membenarkan mazhab keyakinannya itu.

JAKARTA- Di era digital banyak sekali berseliweran hadis-hadis yang disampaikan sebagai dalil atau pijakan atas suatu hukum agama. Namun, tahukah Anda apakah hadis yang dibaca tersebut adalah hadis yang sahih (benar) atau hadis palsu. Nah, begini cara mengidentifikasinya.

Hadis secara terminologi adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir dari Nabi Muhammas SAW, yang menjadi patokan sebagai hukum agama Islam setelah Alquran. Demikian para ahli ushul fiqih dalam mendefinisikan Hadis.

Namun, banyak sekali orang atau pihak-pihak yang menyebarkan hadis yang lemah sanad-nya (silsilah periwayat hadis) atau bahkan hadis palsu yaitu sebuah hadis yang bukan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.

Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya berjudul Hadis- Hadis Bermasalah, telah menghimpun tiga puluh hadis yang dapat dikatakan dipermasalahkan oleh kaum muslim. Dari tiga puluh Hadis itu, yang dinyatakan palsu atau semi palsu hanya dua puluh enam, itu adalah hadis-hadis yang berkembang di masyarakat.

Dalam buku tersebut disebutkan jika kenyataan ini membuktikan bahwa dibanding dengan Hadis-hadis yang shahih, Hadis-hadis palsu yang beredar di masyarakat jumlahnya jauh lebih kecil.

Akan tetapi apabila jumlah hadis yang sangat kecil ini dibiarkan, dapat mengotori jumlah yang sangat besar.

Misalnya saja ada hadis yang beredar, hadis tersebut berbunyi,اطلبوا العلم ولو بالصين فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم

Artinya: Carilah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim.

Baca Juga  Ketum MUI: Kesehatan adalah Nikmat Allah SWT yang Harus Dijaga

Seperti yang kita tahu, hadis tersebut lumayan populer dan bahkan digunakan untuk berdakwah oleh beberapa da’i. Padahal hadis itu disebut KH. Ali sebagai hadis yang palsu.

Dalam bukunya terdapat perkataan Imam Ibn Hibban yang mengatakan, Hadis ini ‘bathil la ashia lahu’ (batil, palsu, tidak ada dasamya). Pernyataan ibn Hibban ini diulang kembali aleh al-Sekhawi dalam kitabnya al-Maghasid al-Hasanah. Sumber kepalsuan Hadis ini adalah perawi (periwayat) yang bemama Abu Atikah Tanif bin Sulaiman (dalam sumber lain tertulis Salmani). Menurut para ulama Hadis seperti al-Ugaili, al-Bukhari, al-Nasal, dan Abu Hatim, mereka sepakat bahwa Alu Aukah Tarif bin Sulaiman tidak memiliki kredibillas sebagai rawi Hadis. Bahkan menurut al-Sulaimani Abu Atikah dikenal sebagai pemalsu Hadis.

Sebenarnya masih ada banyak hadis yang dibahas dalam buku ini, seperti ‘hadis tidak makan kecuali lapar’, ‘menyombongi orang sombong adalah sedekah’, dll. Namun sekarang saya tidak akan membahas hal tersebut, karena mungkin butuh narasi yang lebih banyak dan panjang lagi. Bagi yang masih penasaran silahkan untuk membaca buku beliau, atau mungkin akan dibahas di lain kesempatan.

Hingga kini, banyak hadis-hadis palsu yang beredar, populer, dan bahkan menjadi pegangan sebagian umat muslim. Keberadaan hadis-hadis palsu ini bisa berpotensi untuk membuat umat tergelincir dan jatuh dalam kesesatan.

Para ulama sebenarnya telah merumuskan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan untuk mengetahui hadis sahih, hasan ataupun dhaif, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudhuan (kepalsuan) suatu hadis. Ciri-ciri ini dapat diketahui melalui sanad atau matan.

Baca Juga  4 Kedudukan Anak yang Disebutkan dalam Alquran

Dalam jurnal karya Abd. Wahid berjudul Strategi Ulama Mengantisipasi Penyebaran Hadis Maudhu, disebutkan ciri-ciri hadis yang palsu atau maudhu:

a. Ciri-ciri hadis maudhu (lemah) pada sanad (silsilah periwayat)
Berhubungan dengan masalah ini, ulama telah mengemukakan beberapa cara untuk mengetahui hadis maudhu berdasarkan pada perawi-perawinya:

  1. Melalui pengakuan dari perawi (periwayat) tersebut yang menyatakan bahwa dia telah membuathadis-hadis tertentu. Ini adalah bukti yang paling kuat untuk menilai suatu hadis.

    Hal ini dilihat pada pengakuan yang dibuat oleh beberapa individu yang mengaku telah menciptakan hadis.

  2. Melihat tanda-tanda atau bukti yang dianggap seperti pengakuan dan pemalsu hadis. Cara ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui tahun lahir dan kematian perawi, serta melacak negeri-negeri yang pernah dikunjunginya. Oleh sebab itu, ulama hadis membagi perawi kepada beberapa peringkat dan mengenali mereka dari semua sudut sehingga tidak tersembunyi sesuatupun keadaan perawi tersebut.
  3. Dengan melihat pada perawi yang telah dikenal dan dinyatakan sebagai pendusta.
  4. Baik melalui suatu riwayat yang berbeda dengan riwayat yang sahih, dan tidak ada perawi tsiqah yang meriwayatkannya.

b. Ciri-ciri hadis maudhu pada matan

Selain berdasarkan kepada kedudukan seorang perawi, hadist maudhu juga bisa dilihat berdasarkan matan hadist. Ibnu Qayyim pernah ditanya apakah bisa mengenali suatu hadist maudhu berdasarkan tanda-tanda tanpa melihat pada sanad. Ibn Qayyim mengatakan bahwa masalah ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai penguasaan yang mendalam ketika mengenali hadis yang sahih.

Ada beberapa kaidah yang dihimpunkan oleh ulama yang dijadikan sebagai tanda
untuk mengetahui kepalsuan suatu hadis berdasarkan pada matan, di antaranya:

  1. Bertentangan dengan nash al-Qur’an. Contohnya hadis yang berkenaan dengan umur dunia hanya tujuh ribu tahun, hadis ini merupakan suatu kedustaan karena seandainya hadis tersebut sahih pasti setiap orang akan mengetahui jarak waktu saat ini hingga hari kiamat. Hal ini bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang
    menyebutkan bahwa hari kiamat adalah hal gaib yang hanya diketahui oleh Allah.
  2. Bertentangan dengan Sunnah. Setiap hadis yang memberi makna kepada kerusakan, kezaliman, sia-sia, pujian yang batil, celaan yang benar, semuanya tidak berhubungan dengan Nabi. Contohnya hadis tentang orang yang bernama Muhammad dan Ahmad tidak akan masuk Neraka, hadis ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena orang tidak dapat diselamatkan dari Neraka hanya karena nama atau gelar, akan tetapi diperoleh melalui iman dan amal salih.
  3. Bertentangan dengan ijma. Setiap hadis yang menyebutkan dengan jelas tentang wasiat Nabi kepada Ali bin Abi Thalib atau pemerintahannya adalah maudhu. Karena pada dasarnya Nabi tidak pernah menyebut tentang seorangpun sebagai khalifah setelah wafat.
  4. Kandungan hadis yang mengada-ada dalam pemberian pahala terhadap sesuatu amalan kecil dan ancaman yang besar terhadap perbuatan yang buruk.
  5. Kandungan hadis yang tidak dapat diterima oleh akal.

Baca Juga  Imam Asy Syathibi, Pakar Alquran yang Tunanetra Sejak Kecil

Inilah cara yang dilakukan oleh ulama dalam menentukan suatu matan hadis benar-benar seperti yang diucapkan oleh Nabi, yaitu dengan membandingkan riwayat-riwayat yang diterima dengan al-Qur’n dan hadist-hadist yang sahih. Jika riwayat tersebut menyalahi al-Qur’an dan hadis yang sahih, dan tidak dapat ditakwilkan, maka akan dinilai sebagai hadis yang lemah atau maudhu.
(Muhamad Saepudin/Syukri

Hadis Maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w samaada perbuatannya, perkataannya, taqrirnya, sifat akhlaqnya atau sifat semulajadinya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Di dalam penggunaan masyarakat Islam di negara kita, hadis maudhu’ disebut juga dengan nama hadis palsu. Kajian ini bertujuan untuk melihat apakah faktor kemunculan hadis maudhu’ serta kesannya terhadap amalan beribadah umat Islam sekarang ini. Kajian ini merupakan kajian kualitatif melalui temu bual serta pengumpulan dokumen berupa kitab-kitab hadis. Hasil kajian menunjukkan bahawa faktor kemunculan hadis maudu’ adalah adanya musuh Islam yang ingin merosakkan hadis yang betul, sikap fanatik terhadap kumpulan, sikap ambil mudah dalam meriwayatkan hadith, sikap kepentingan diri dan mencari kemasyhuran orang ramai, Kejahilan tentang ajaran Islam yang sebenar. Kesan hadis maudhu’ merosakkan akidah umat Islam, Merosakkan amalan syariah umat Islam, Merosakkan akhlak umat Islam, Merosakkan pendirian umat Islam, Mengabaikan hadith sahih. Untuk itu pengkaji mencadangkan supaya umat Islam lebih berhati-hati dalam memahami sesuatu hadis serta mengamalkannya, kerana ditakutkan ianya merupakan hadis maudu’ atau hadis palsu.



Hadith Maudhu' 'is something that is attributed to Prophet Muhammad s.a.w whether it is his actions, his words, his taqrir, his morality or his natural state, falsely or simply. In the use of the Muslim community in our country, the hadith maudhu 'is also called a false hadith. The purpose of this study is to see what is the origin of the hadith of maudhu 'and its effect on the worship practices of Muslims today. This study is a qualitative study through interviews and document collection in the form of hadith books. The results show that the factor of the emergence of the maudu hadith 'is the presence of the Muslim enemy who wants to destroy the hadith, the fanatical attitude towards the group, the easy attitude towards narrating the hadith, the attitude of the self and seeking public fame, ignorance of the true teachings of Islam. The effect of hadith maudhu 'is damaging to the faith of Muslims, it is damaging to the shariah practice of Muslims, it is damaging to the morals of Muslims, it is damaging to Muslims, it is disregarding authentic hadiths. Therefore, researchers suggest that Muslims should be more careful in understanding a hadith and practicing it, because it is feared that it is a maudu 'or false hadith.

Marpuah, Siti, and Farah Darwisyah Ahmad Zamree. “KESAN HADIS MAUDHU’ DALAM AMALAN UMAT ISLAM”. PERADA 2, no. 1 (June 28, 2019): 25-33. Accessed May 27, 2022. //ejournal.stainkepri.ac.id/index.php/perada/article/view/27.

Asqalani, Ahmad bin Hajar al-, Syarh Nukhbah Al-Fikar Fi Musthalah Ilm al-Atsar (Bairut: Dar al-Fikr) As-Siba’i, Mushthafa, As-Sunnah Wa Makanatuha Fi At-Tasyri’ Al-Islami (Al- Maktabah Al-’Ashriyah, 1985) Buti, Said Ramadhan al-, Fiqh Al-Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, 1980) Deraman, Fauzi, Ulum Al-Hadith (Selangor: Open University Malaysia, 2009) Fayyid, Abdul Wahhab, Al-Dakhiil Fi Tafsir al-Qur’an. (Kairo: Matba’ah al-Hadirah al-Alarabiyah, 1980) Ghauri, Syed Abdul Majid, Pengenalan Ilmu Musthalah Hadits (Malaysia: Darel Syakir, 2011) Khaliq, Abdurrahman Abdul, Bahaya Hadis Dhaif Dan Maudhu’ Dalam Aqidah (Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 2003) Khatib, Ijaj al-, Ushul Al-Hadist Ulumuhu Wa Mushtalahuhu (Beirut, 1981) Qari, Ali al, Al-Mashnu’ Fi Ma’rifat al Hadith al Maudhu’ (Aleppo: Maktab al-Mathbu’at al Islamiyyah) Qasimi, Jamaluddin al-, Qaqaid Al-Tahdist Min Funun Mushthalah AlHadits Beirut: Dar Al-Nafa’is, 1993) (Beirut: Dar al-Nafa’is, 1993)

Redaksi, ‘Bahana Hadis Palsu’, Utusan Online (Malaysia) Suki, Mustafar Mohd, 40 Kisah Palsu Tetapi Masyhur (Selangor: PTS Publishing House, 2015) Syahbah, Muhammad bin Muhammad Abu, Al-Israiliyyat Wa al-Maudhuat Fi Kutub al-Tafsir (Maktabah al-Sunnah, 1426)

Tahhan, Mahmud al-, Taisir Mushtalah Al-Hadist (Beirut: Dar Al-Quran al-Karim, 1979)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA