Mengapa agama buddha adalah agama yang sejalan dengan ilmu pengetahuan modern berikan komentar kamu

Hubungan Agama Buddha dengan Ilmu Pengetahuan Modern

Novita Sari

Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Jinarakkhita

Bandar Lampung

Abstrak

Agama Buddha merupakan agama yang memiliki ajaran kebenaran yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gautama. Sedangkan ilmu pengetahuan modern merupakan pada jaman modern yang menampilkan penemuan-penemuan dengan landasan teori modern pula dan analisis bersistem terhadap data lapangan tertentu. Ilmu pengetahuan modern dengan agama Buddha memiliki hubungan yang khas. Hubungan ini terlihat pada relevansinya antara ilmu pengetahuan dengan ajaran Buddha, yang dapat dilihat dari tiga wilayah yaitu mengenai astrofisika mengenai perkembangan alam semesta, ilmu fisika serta cara kerja otak/ilmu syaraf, yang berdasarkan analisa dan penelitian. Selain itu, berbagai relevansi terlihat dari segi sumber dari ilmu serta ajaran Buddha itu sendiri.

Kata kunci : Agama Buddha, Ilmu pengetahuan Modern.

A.       Sejarah Agama Buddha dan Ajarannya

Berkembangnya agama Buddha di awali dari guru Agung Buddha Gautama. Beliau yang lahir dalam keluarga Suku Sakya menjadi Buddha demi membantu semua makhluk untuk mencapai pencerahan, yang diawali dari beliau sendiri. Beliau mengajarkan ajaran yang didapat, yang diketahui melalui praktik yang di lalui dalam meditasi-Nya. Beliau mengajarkan ajaran tersebut kepada para siswa-Nya untuk membantu mencapai pencerahan, dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kondisi pribadi masing-masing orang. Karena Sang Buddha mampu mengetahui kondisi pikiran yang sedang dialami oleh para siswa-Nya, dan mampu melihat kapan tiba saatnya beliau memberi ajaran dan tercapainya pencerahan bagi siswa-Nya.

Pencapaian pencerahan dapat diperoleh bila benar-benar mampu memahami isi ajaran yang Sang Buddha sampaikan. Buddha menguraikan kebenaran-kebenaran (Dhamma) tentang perubahan (Anicca), dukkha dan tanpa jiwa (Anatta) lebih dari 2500 tahun yang lalu. Selain itu, Sang Buddha memberikan ajaran yaitu tidak melakukan kejahatan, perbanyaklah perbuatan bajik, sucikan hati dan pikiran, inilah ajaran para Buddha (Dhp. XIV:183). Ajaran ini menjadi inti sari dari ajaran Buddha.

Ajaran ini bersifat universal yaitu setiap orang boleh mempelajari ajaran Buddha, tidak melihat ras, sistem kepercayaan lain, tidak memihak kepada siapa pun dan benar-benar bersifat universal. Ajaran Buddha adalah ajaran yang tinggi, telah sempurna dibabarkan oleh Bhagava, harus dibuktikan, diselami oleh para bijaksana, dan mampu menuntun ke arah pembebasan. Selain itu, ajaran Sang Buddha merupakan ajaran yang mengandung kebijaksanaan yang harus dibuktikan dengan cara ehipasiko (datang, lihat dan buktikan).

Melalui praktik inilah, ajaran Buddha mampu memberikan bukti akan kebenaran ajaran Buddha. Bukti nyata yang mampu diterima dalam ajaran Buddha ini dapat berupa ajaran pembebasan dari dukkha. Dimana, dalam kehidupan setiap manusia terdapat sebuah penderitaan, untuk itu dengan upaya melakukan pembuktian secara langsung, maka akan mampu mengetahui secara jelas akan kebenaran dari ajaran Buddha.

B.       Pengertian Ilmu Pengetahuan Modern

Ilmu pengetahuan menurut KBBI (2003:372), yaitu gabungan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab dan akibat; ilmu pengetahuan adalah ilmu yang berhubungan dengan biologi, fisika dan kimia. Sedangkan ilmu pengetahuan modern menurut KKBI (2003:372) adalah ilmu pengetahuan pada jaman modern yang menampilkan penemuan-penemuan dengan landasan teori modern pula dan analisis bersistem terhadap data lapangan tertentu. Jadi, ilmu pengetahuan modern lebih mengkaji terhadap penemuan baru dan menekankan pada penelitian dan analisa.

Terdapat bidang-bidang ilmu pengetahuan yaitu bidang ilmu biologi memperlajari tentang ilmu perkembangan makhluk hidup, ilmu fisika mempelajari tentang bumi misalnya grafitasi bumi sedangkan ilmu kimia mempelajari tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah benda misalnya perubahan sumbu lilin yang telah di bakar.

Ilmu pengetahuan dapat diartikan secara luas sebagai sebuah ilmu yang mempelajari alam semesta beserta isinya serta kasus atau peristiwa yang terjadi di alam semesta ini dengan berbagai kejadian-kejadian yang di atur oleh alam. Bekerjanya ilmu pengetahuan di dasari oleh suatu analisa, yaitu penyelidikan secara teliti terhadap setiap gejala dan mengkaji setiap bagiannya, serta berusaha untuk menemukan bagaimana timbulnya gejala itu.

C.      Hubungan Agama Buddha dengan Ilmu Pengetahuan Modern

Agama Buddha dan ilmu pengetahuan telah dikemukakan banyak ahli memiliki hubungan yang erat. Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan merupakan bagian dari agama dan agama bagian dari ilmu pengetahuan. Terdapat banyak ilmu pengetahuan yang sepadan dengan agama Buddha.

Kesepadanan tersebut dapat dilihat dari perkembangan iptek, ilmu biologi, ilmu fisika serta dalam kaitannya dengan alam semesta in. Namun, adanya kesepadanan tersebut, terdapat pula perbedaannya. Jose Ignacio Cabezon, seorang profesor pakar Buddhisme Tibetan dan Cultural Studies dari University of California (Cabezon, dalam artikel yang ditulis oleh Willy) pernah mengemukakan bahwa Buddhisme dan ilmu pengetahuan memang tidak serupa, tidak mirip, namun keduanya saling melengkapi.

Menurut Cabezon, ilmu pengetahuan berkenaan dengan dunia eksterior, sementara Buddhisme dengan dunia interior. Ilmu pengetahuan berurusan dengan materi, sedangkan Buddhisme dengan batin. Ilmu pengetahuan adalah perangkat keras, sedangkan Buddhisme adalah perangkat lunaknya. Ilmu pengetahuan bersifat rasional, sedangkan Buddhisme bersifat eksperiansial, ilmu pengetahuan bersifat kuantitatif, sedangkan Buddhisme kualitatif.

Berdasarkan adanya perbedaan tersebut tidak menjadi pertentangan, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan bagian dari ajaran Buddhisme. Seperti yang dikatakan oleh Eisntein bahwa meskipun ranah agama dan ilmu dalam dirinya memisahkan diri satu sama lain, namun diantara keduanya ada hubugan timbal balik serta ketergantungan yang benar. Situasi itu dapat diungkap melalui suatu gambaran bahwa ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta (Einstein, 2004:177). Jadi, dengan demikian setiap agama memiliki kesesuain dengan ilmu pengetahuan termasuk agama Buddha itu sendiri.

D.      Relevansi Agama Buddha dengan Ilmu Pengetahuan Modern

Agama Buddha menjadi salah satu agama yang memiliki kesamaan dengan ilmu pengetahuan. Percakapan yang dilakukan oleh filsuf dan penanya mengenai relevansi agama Buddha dan ilmu pengetahuan dari arsip buddhis Berzin, (1988, ia menjelaskan bahwa hubungan yang khas selama ini berpusat pada tiga wilayah. Pertama, astrofisika yang utamanya berkenaan dengan bagaimana semesta berkembang. Topik lainnya adalah fisika partikel, yang berhubungan dengan bangunan atom dan zat. Ketiga, ilmu-ilmu saraf, yakni tentang cara otak bekerja. Ketiganya adalah wilayah-wilayah utama.

Wilayah astrofisika merupakan penjelasan berkenaan dengan bagaimana alam semesta berkembang. Pendapat fisikawan terkemuka Profesor Stephen Hawking (Stephen Hawkings, 2012 dalam artikel yang diterbitkan oleh Hernawan) menyatakan bahwa tidak diperlukan sesosok Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Alam semesta tercipta karena adanya proses tersendiri. Proses terciptanya alam semesta dijelaskan dalam banyak teori. Teori yang telah diterima oleh masyarakat dan ilmu pengetahuan ialah teori Big Bang.

Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya bumi berawal dari puluhan milyar tahun lalu yang diawali dengan adanya gumpalan kabut raksasa yang meledak keluar angkasa sehingga membentuk galaksi dan nebula. Nebula-nebula ini yang kemudian membeku sehingga membentuk sebuah galaksi yaitu galaksi Bima Sakti dan terbentuknya sistem tata surya. Bagian ledakan kecil yang keluar tadi mengalami kondensasi yang mendingin dan membentuk bumi dan planet lainnya. Hal ini jelas bahwa alam semesta ini tercipta karena suatu proses bukan diciptakan oleh Tuhan.

Penciptaan yang dikemukakan dalam teori Big Bang memiliki relevansi dengan Buddhisme. Proses ini dijelaskan dalam Agañña Sutta bahwa bumi tercipta dengan rentang waktu yang sangat lama. Diawali dengan adanya makhuk-makhluk di alam abhasara yang kemudian mencicipi sari tanah, dan tumbuh-tumbuhan yang muncul dalam waktu yang lama sehingga tubuh menjadi padat, terlihat bentuk jenis kelamin, dan saat itu pula terlihat cahaya matahari, bulan, dan bintang. Muncul pergantian waktu siang dan malam serta pergantian musim. Sejak saat itulah bumi dan seluruh isinya terbentuk (D. III:27).

Selain dari wilayah astrofisika, wilayah pengetahuan fisika mengenai partikel atom yang berhubungan dengan konsep anatta dalam ajaran Buddha juga menunjukkan bahwa segala sesuatu tidak mempunyai inti yang kekal. Sama seperti partikel atom bahwa tidak dapat dikatakan bahwa atom adalah sebuah yang tampak terlihat jelas dalam kasat mata. Atom membentuk partikel-partikel elementer, membentuk suatu dunia potensialitas atau kemungkinan-kemungkinan ketimbang dunia benda-benda atau fakta-fakta kita (Heinsberg, dalam McFarlane, 2004: 123). Jadi, dengan demikian jelas bahwa atom tidak memiliki inti yang jelas seperti konsep anatta, bahwa atom ini yang mampu membentuk partikel lain. Konsep ini jelas memiliki kesamaan dalam konsep anatta.

Konsep atom tersebut bila dianalisa kembali memiliki keterkaitan dengan konsep paticcasamuppada yaitu memiliki hubungan satu sama lain. Artinya, dari contoh tersebut adanya atom akan menjadi partikel lain yang terbentuk, sehingga dari setiap atom itu menjadi sebab adanya partikel lain. Seperti yang dikatakan oleh Heinsberg bahwa setiap partikel terdiri dari semua partikel lain. Dikatakan bahwa proton terdiri dari tiga partikel kecil. Dapat dikatakan pada suatu saat bahwa ia untuk sementara waktu terdiri dari tiga kuark, dan menjadi empat kuark, dan satu antikuark, atau lima kuark dan seterusnya (Heinsberg, dalam McFarlane, 2004: 136).

Lebih dijelaskan oleh Cheng Chien bahwa setiap fenomena memuat fenomena lainnya dan setiap fenomena memuat keseluruhan segenap fenomena lainnya. Artinya, segala sesuatu itu memiliki hubungan saling ketergantuangan satu sama lain. Hal ini yang sesuai dengan ajaran Buddha dalam paticcasamupada.

Wilayah ketiga yaitu mengenai ilmu syaraf yang mempelajari mengenai cara kerja otak. Ahli saraf dan pengikut Buddha mencatat adanya hubungan kemunculan yang bertalian di antara berbagai hal. Sesuatu itu ada (exist) bergantung pada si pengamat dan kerangka pola pikir yang digunakan oleh orang tersebut untuk melihatnya. Terutama dalam pikiran seseorang.

Sebagai contoh, ketika ahli saraf meneliti otak dalam usaha menemukan apa yang menentukan keputusan kita, mereka menemukan tidak ada “pembuat keputusan” yang terpisah di dalam otak. Tidak ada orang kecil bernama “aku” yang duduk di dalam kepala, yang menerima informasi dari mata, telinga, dan seterusnya seperti yang ada di layar komputer, dan membuat keputusan dengan menekan sebuah tombol sehingga lengan melakukan ini dan kaki melakukan itu. Melainkan, keputusan adalah hasil dari hubungan-hubungan berseluk-beluk dari jejaring daya gerak saraf dan proses kimia serta listrik yang sangat besar.

Bersama-sama, mereka membawa hasil yaitu sebuah keputusan. Hal ini terjadi tanpa adanya suatu kesatuan yang terpisah yang disebut pembuat keputusan. Ajaran Buddha menekankan hal yang sama yaitu tidak ada “aku” yang tetap dan kokoh duduk di dalam kepala yang membuat segala keputusan. Ketika hati berkata, “Aku mengalami ini, aku melakukan itu,” tapi kenyataannya yang terjadi adalah hasil dari hubungan rumit di antara banyak unsur berbeda. Ilmu pengetahuan dan ajaran Buddha sangat dekat dalam hal ini.

Psikologi modern juga mengindikasikan bahwa pikiran atau kesadaran sama seperti tubuh jasmani yang berkerja berdasarkan hukum alamiah dan sebab akibat tanpa disertai roh permanen yang berdiri sendiri menguasai semua aktifitasnya (Sandi Setiawan dalam Wijaya Mukti, 2003:291). Artinya, pikiran atau kesadaran seseorang bekerja tidak diatur oleh apapun, pikiran bekerja berdasarkan alur pikiran itu sendiri. Contohnya, ketika seseorang memiliki kesadaran yang baik untuk bekerja, maka secara alamiah badan jasmani ini akan mengikuti alur kesadaran yang ada yaitu bekerja.

Hal demikian selaras dengan ajaran Buddha yang dijelaskan dalam kitab Abhidhamatasanggaha bahwa kesadaran disebut sebagai citta. Citta merupakan kesadaran/pikiran yang memegang objek (Kaharudin, 2005:7). Sedangkan objek dari citta adalah cetasika. Cetasika mengkondisikan seseorang melaksanakan aktifitas sesuai dengan yang dikehendaki. Misalnya, dalam pikiran terdapat cetasika yaitu viriya (semangat), maka kesadaran/pikiran mengkondisikan diri untuk bersemangat dalam melakukan perbuatan yang dikehendaki (Kaharudin, 2005:130). Jadi, antara citta dan cetasika mengkondisikan jasmani ini untuk melakukan tindakan yang dikehendaki.

Selain dari ketiga wilayah tersebut, masih banyak aspek ilmu pengetahuan yang memiliki kesesuian dengan ajaran Buddha, misalnya epistemologi. Epistemologi menekankan pada sikap menghargai kebebasan berpikir dalam menyelidiki asal, sumber-sumber, metode dan keabsahan pengetahuan (Wijaya Mukti, 2003:9). Sumber ilmu dalam aliran epistemologi terdapat tiga jenis aliran yaitu aliran rasionalis, empiris dan kritis.

Aliran rasionalis menyandarkan diri bahwa pengetahuan bersumber dari akal atau rasio dan metodologinya menekankan pada pembuktian suatu ilmu pengetahuan. Aliran empiris menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sejati merupakan pengalaman. Aliran ini menggunakan metodologi dengan jalan deduksi dan pengamatan. Kemudian, aliran kritis berupaya mendamaikan pendirian rasionalisme dan empirisme. Jadi, dari ketiga aliran ini dapat disumpulkan bahwa epistemologi mendorong seseorang untuk mampu melakukan pembuktian dan pengamatan terhadap ilmu pengetahuan, tidak hanya diterima begitu saja. Harus diteliti terlebih dahulu sumber asal dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.

Berdasarkan ketiga aliran ini memiliki relevansi dengan aliran para pemikir di India sebelum adanya Sang Buddha, yaitu adanya aliran eksperiensialis yang menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan berdasarkan pengetahuan serta pengalaman secara langsung (Wijaya Mukti, 2003:10). Aliran ini sesuai dengan Sang Buddha, karena beliau merupakan kaum atau aliran eksperiensialis yaitu mengetahui secara langsung ajaran berdasarkan pengalaman yang dirasakan. Artinya, pengetahuan tersebut diamati dan dibuktikan secara langsung.

Hal ini juga sesuai dengan epistemologi Buddhis yang dijelaskan oleh Sariputra bahwa sumber ilmu diperoleh (pengertian yang benar) diperoleh dari kesaksian orang lain dan perenungan secara bijaksana (M. I, 294 dalam Wijaya Mukti:17). Artinya untuk memperoleh pengetahuan yang baik perlu menekankan pola berpikir secara kritis terhadap suatu pengetahuan untuk melakukan analisa terhadap pengetahuan yang diperoleh.

Analisa itu dilakukan dengan melakukan perbandingan antara ilmu pengetahuan dengan yang dialami dalam kehidupan sehari- hari (sesuai dengan aliran ekspriensialis). Contohnya analisa mengenai asumsi bahwa terdapat dukkha (penderitaan) yang terdiri dari rasa sakit, kesusahan dan kesengsaraan, dan asumsi bahwa segala sesuatu tidak memandang apa yang sedang kita bicarakan, yang semua itu memiliki sebab. Sebab dari dukkha yang dialami oleh seseorang diteliti sendiri dengan melakukan analisa dengan menanyakan apa yang menyebabkan menderita. Sehingga akhirnya, seseorang mengetahui sebab penderitaan yang dirasakan.

Contoh lain hubungan yang telah di teliti berdasarakan riset yang dilakukan oleh Ormond McGill bersama Irvin Mordes spesialis di bidang hipnoterapi kehidupan lampau ( Past Life Hynotherapy), bahwa tumimbal lahir benar –benar ada dengan melakukan hipnosis. Riset ini dilakukan di Maryland Psychiatric Center pada tahun 1974. Riset ini tertulis dalam buku yang berjudul “The Many Lives of Alan Lee” (Hendra, 2009 dalam //hendrath-jmr.blogspot.co.id/2009/12/filosofi-ajaran-buddha.html), dan berisikan tentang 16 kehidupan lampau dari Alan Lee. Saat diregresi ke kehidupan lampaunya dalam kondisi hipnosis, subjek mampu menulis dan berbicara dengan sangat fasih sesuai dengan bahasa pada kehidupan lampaunya, dan bukti-bukti autentik telah di validasi oleh tim riset.

Berdasarkan hal demikian, jelas bahwa ajaran Buddha mengajarkan untuk melakukan analisa terhadap segala ajaran yang ada dalam kehidupan. Hal ini nampak seperti yang dijelaskan dalam Kalama Sutta. Sang Buddha menjelaskan pada kaum Kalama untuk tidak percaya begitu saja terhadap berita yang didengar, tradisi, kebiasaan turun temurun, ucapan yang dikatakan oleh orang ahli, terhadap mitos-mitos, terhadap para guru bahkan Sang Tatagata sekalipun, melainkan harus di uji terlebih dahulu kebenaran dari ajaran tersebut. Seperti yang dikatakan pula oleh Ven. Rahula yaitu:

Agama Buddha adalah selalu merupakan pertanyaan tentang pengetahuan dan pembuktian; bukan tentang kepercayaan. Ajaran Sang Buddha memenuhi syarat sebagai Ehi-Passiko, mengundang anda untuk datang dan membuktikan, bukannya datang dan percaya” (Ven. Dr. W. Rahula, dalam Dhammananda, 1992).

Inilah keistimewaan agama Buddha yang mampu memiliki kesesuaian dengan ilmu pengetahuan modern dan menjadi agama yang besar dalam dunia modern. Albert Einsten juga menegaskan bahwa agama yang mampu mengatasi kebutuhan ilmiah modern merupakan agama Buddha. Selain itu, agama masa depan adalah agama Buddha, agama kosmis yang mampu melampaui sesosok Tuhan personal serta menghindari dogmatisme, teologi, mencangkup alam dan spiritual (Einstein, dalam Dhammananda, 1992).  ).

Selain pendapat Einstein, terdapat seorang intelek dunia  mengatakan dalam buku yang dikomplikasi oleh Ven. Sri Dhammananda yang diterbitkan oleh Mutiara Dhamma, yaitu :

“Dokrin Buddha Dhamma yang ada dewasa ini tidak terpengaruh oleh perjalanan waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan, dan masih tetap seperti ketika petama kali Ia ucapkan. Tidak peduli seberapa jauh pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala mental seseorang, di dalam kerangka kerja Dhamma terdapatlah ruang untuk penerimaan dan asimilasi terhadap penemuan yang lebih jauh / baru. Ia tidak bergantung kepada konsep – konsep terbatas dari pikiran – pikiran yang primitif / kuno juga tidak pada kekuatan pikiran yang negatif” (Francis story, “Buddhisme as World Religion” dalam  Dhammananda, K. 1992 ).

E.       Pengaruh memiliki Pengetahuan tentang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Modern terhadap Sikap Seorang Buddhisme

Semakin banyaknya ilmu pengetahuan yang dimiliki, maka semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang. Semakin banyak ilmu yang dimiliki, semakin baik tingkat kecerdasan seseorang. Dengan kecerdasan yang dimiliki, maka akan lebih mudah memahami ajaran Buddha. Dengan mampu memahami ajaran Buddha, maka akan semakin mengerti dan mempraktikannya. Praktik inilah yang memberi sumbangsih besar terhadap pengaruhnya bagi seorang buddhisme.

Pengaruh ilmu pengetahuan terhadap sikap seorang Buddhime lebih menyumbangkan pada sikap menghargai terhadap kehidupan. Karena, pada dasarnya ajaran Buddha menekankan pada sikap welas asih dan kasih kasih terhadap semua makhluk. Seseorang yang belajar ilmu mengenai perkembangan makhluk hidup dimana terdapat sel-sel dalam tubuh berkembang dan pasti akan mati, maka ia akan menghargai adanya perubahan yang terjadi dalam jasmani (Anicca).

Kemudian, bila mempelajari ilmu mengenai pembuahan dan kromoson, maka akan menghargai antara laki-laki dan perempuan serta akan berusaha untuk tidak melanggar sila buddhis. Pengaruh yang paling penting ialah dengan ilmu pengetahuan yang ada mampu menuntun setiap manusia untuk hidup lebih baik (Wijaya Mukti, 2003:294).

Daftar Rujukan

Berzin, Alexander dan Chodron, Thubten. 1999. Ajaran Buddha dan Ilmu Pengetahuan. Dalam artikel yang dimuat dalam arsip Buddhis Berzin dalam //www.berzinarchives.com/web/id/archives/approaching_buddhism/world_today/buddhism_science.html. Diakses pada 22 September 2015, pada pukul 14.00 PM. Singapura: Amitabha Buddhist Centre.

Dhammananda, Sri. 1992. Agama Buddha di Mata Para Intelek Dunia. Pada  Mutiara Dhamma edisi ulang tahun ke tiga dalam bentuk Pdf. Di akses pada 01 Oktober 2014 pada pukul 18:36 WIB.

Hendra. 2009. Pada makalah yang berjudul Filosofi Ajaran Buddha dalam //hendrath-jmr.blogspot.co.id/2009/12/filosofi-ajaran-buddha.html. di akses pada 23 November 2015 pada pukul 10.00 WIB.

Kaharudin, Jinaratana. 2005. Abhidhammattasangaha. Jakarta: CV. Yanwreko Wahana Karya.

Kirthisinghe, Buddhadasa. 2004. Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta:BPB Arya Suryacandra.

McFarlane, Thomas J. 2004. Einstein dan Buddha. Yogyakarta:Pohon Sukma.

Tim penyusun. 2012. Buddhisme dan Sains. Dalam buku kumpulan perlombaan penulisan artikel yang ditulis oleh Willy Yandi Wijaya. Dalam bentuk pdf  di akses pada 01 Oktober 2014 pada pukul 18:36 WIB. Bandung: Pemuda Vihara Vimala Dharma.

Tim penyusun. 2013. Dhammapada. Jakarta : Ehipasiko Foundation.

Wijaya Mukti, K. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA