Memaksakan suatu agama kepada orang lain termasuk perbuatan melanggar titik-titik yang paling hakiki

Memaksakan suatu agama kepada orang lain termasuk perbuatan melanggar titik-titik yang paling hakiki
Memaksakan Agama

BincangSyariah.Com – Larangan memaksakan agama pada orang lain erat kaitannya dengan konsep hak asasi manusia di mana dalam ajaran islam, nilai-nilai tersebut sangat dijunjung tinggi. Hak Asasi Manusia (HAM) bisa diartikan sebagai suatu konsep etika politik modern yang mengandung gagasan tentang pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan tersebut sejatinya mengandung konsekuensi tuntutan moral bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya.

Tuntutan moral tersebutlah yang kemudian disadari ada dalam setiap ajaran inti dari semua agama. Kita tahu bersama, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau dilemahkan (al mustad’afin) dari tindakan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa.

Kesadaran tentang pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran tentang pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan atau human centred development yang mesti dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, dan agamanya.

Kebebasan Beragama

Larangan memaksakan agama pada orang lain termasuk dalam isu kebebasan beragama. Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) juga bisa ditemukan dalam banyak dokumen sejarah tentang HAM, seperti dokumen International Bill of Rights (1966), Rights of Man France (1789), dan Bill of Rights of USA (1791).

Pasal 2 DUHAM menyatakan: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”

Musdah Mulia dalam Ensiklopedi Muslimah Reformis (2010) mencatat bahwa pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melalui UU No 12/2005. Pasal 18 ayat 1 Kovenan Internasional Sipil-Politik yang melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, termasuk hak untuk memeluk kepercayaan. Hak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan tidak dapat dikurangi.

Kebebasan beragama di Indonesia sendiri mengacu pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Musdah juga mencatat bahwa dalam Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua mengakui adanya hak setiap warga negara atas kebebasan beragama atau kepercayaan, demikian juga Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua, menjelaskan hak beragama dan berkepercayaan adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi dalam kondisi apapun. Bahkan Pasal 28 ayat 4 UUD 1945 perubahan kedua, mempertegas kewajiban negara terutama pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM.

Kewajiban negara melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan memiliki makna bahwa negara tidak mempunyai wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan setiap warga negaranya. Justru negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara untuk melaksanakan ibadah keagamaan atau kepercayaan.

Dari segi etimologi, kebebasan beragama berasal dari dua kata, yaitu ‘bebas’ yang artinya merdeka, tidak terikat, tidak terpaksa dan dapat melakukan keinginannya, dan ‘beragama’ yaitu memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Kebebasan beragama juga bisa diartikan sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk sesuatu agama atau keyakinan yang diinginkan.

Sementara jika dikulik secara istilah, kebebasan beragama menunjukkan bahwa kebebasan beragama yang mencakup sikap larangan memaksakan agama pada orang lain adalah paham keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai agama yang harus dihormati dan dihargai. Hal tersebut juga akan menunjukkan sikap kesadaran yang dalam akan adanya kemajemukan.

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, etnis dan ras yang majemuk. Ada banyak agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Ada agama Islam, Kristen Hindu, Buddha Konghucu, Baha’i, dan lain-lain. Selain agama, ada juga penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME yang tak terhitung jumlahnya.

Agar tidak terjadi konflik berarti antara pemeluk agama atau penghayat kepercayaan yang satu dengan lainnya dan terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama, maka diperlukan sikap terbuka dan menerima keberadaan keyakinan agama dan kepercayaan lain.

Maka, tidak bisa tidak, kebebasan beragama adalah unsur yang sama sekali tidak lepas dari kehidupan dan sistem budaya umat manusia. Kebebasan beragama berada di atas Sunnah adanya kemajemukan dalam sebuah kerangka kesatuan dan keseimbangan. Kebebasan beragama harus menjadi prinsip dan sikap seseorang dalam menghormati dan menghargai orang lain untuk memeluk sesuatu agama apa pun dengan pilihannya sendiri.

Apa alasan untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan agama seseorang kepada yang lain?

Alasannya sangat sederhana. Keberadaan agama yang dianut sama halnya dengan orang lain yang sama-sama memiliki truth claim atau klaim kebenaran. Hal yang perlu digarisbawahi adalah keyakinan setiap orang terhadap agama atau kepercayaannya adalah bagian yang paling personal, individual, eksklusif, tersembunyi dari manusia. Hal tersebut membuat kita sebagai manusia biasa tidak memiliki kekuatan apa pun, selain kekuasaan Tuhan yang bisa memaksa suatu keyakinan.

(Baca: Potret Kebebasan Beragama di Masa Rasulullah)

Menjadi Toleran dan Moderat

Islam senantiasa mengajarkan agar menjadi ummat al-wasatha. Umat Islam sudah semestinya memiliki sifat toleran dan moderat dalam menyikapi setiap persoalan dalam hidup , termasuk dalam menyikapi perbedaan agama yang ada di lingkungan sekitar.

Saat ini, sudah ada banyak bukti yang menunjukkan terjadinya konflik, friksi, ketegangan dan bahkan peperangan antar agama. Sebagai umat Islam kita mesti menyadari bahwa konflik, friksi, ketegangan, dan peperangan yang terjadi sering sekali diwarnai dengan sentimen keagamaan bahkan selalu dinisbahkan kepada ajaran agama. Konflik yang terjadi terkadang sangat sulit untuk diselesaikan sebab identitas keagamaan sering mengakar dan menjadi identitas kepribadian seseorang.

Tentang kebebasan beragama dan larangan memaksakan agama pada orang lain, Allah Swt. berfirman dalam beberapa ayat sebagai berikut:

Quran Surat Al-Ghasyiyah Ayat 22

 لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ

Lasta ‘alaihim bimuṣaiṭir

Artinya: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,”

Lalu, ada juga Q.S. Yûnus (10) ayat 99

 وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَءَامَنَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا۟ مُؤْمِنِينَ

Walau syāa rabbuka laāmana man fil-arḍi kulluhum jamī’ā, a fa anta tukrihun-nāsa ḥattā yakụnụ mu`minīn

Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”

Dalam ayat di bawah ini, Allah Swt. melarang umat Islam mencaci maki sesembahan pemeluk agama lain:

Q.S. al-An‘âm/6: 108

 وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Wa lā tasubbullażīna yad’ụna min dụnillāhi fa yasubbullāha ‘adwam bigairi ‘ilm, każālika zayyannā likulli ummatin ‘amalahum ṡumma ilā rabbihim marji’uhum fa yunabbi`uhum bimā kānụ ya’malụn

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa paradigma al-Qur’an tentang keyakinan dan kepemelukan agama sejatinya memiliki sifat personal-privat dan tidak dapat dipaksakan kepada siapa pun. Poin tersebut menjadi salah satu inti ajaran Islam yang luhur dalam membina hubungan harmonis dan rukun antar sesama manusia di atas bumi ini. Tegas Allah Swt. menyebutkan “Tidak ada paksaan dalam memasuki agama” dalam Q.S. al-Baqarah/2: 256 sebagai berikut:

 لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Lā ikrāha fid-dīn, qat tabayyanar-rusydu minal-gayy, fa may yakfur biṭ-ṭāgụti wa yu`mim billāhi fa qadistamsaka bil-‘urwatil-wuṡqā lanfiṣāma lahā, wallāhu samī’un ‘alīm

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kebebasan beragama yang dimaksud di sini adalah bebas melaksanakan hubungan baik serta berbuat adil terhadap sesama manusia. Maknanya adalah bahwa hubungan baik tersebut seyogiyanya dilakukan terhadap siapa saja meskipun menganut agama yang berbeda.

Hal tersebut adalah perwujudan dari toleransi dan hubungan yang terjadi sebatas hubungan muamalat, bukan akidah maupun ibadah. Sebab, Islam telah mengatur tentang bagaimana seharusnya berhubungan dengan orang lain baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang selalu disebut dengan hablumminannas.

Pemaksaan soal memeluk agama sama sekali tidak boleh terjadi sekalipun ibu kandung yang melarang beribadah kepada Allah Swt. dan memerintah agar beriman kepada selain Allah Swt., maka tidak perlu dipatuhi dengan tetap melakukan hubungan baik. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Luqmân/31:15.

 وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Wa in jāhadāka ‘alā an tusyrika bī mā laisa laka bihī ‘ilmun fa lā tuṭi’humā wa ṣāḥib-humā fid-dun-yā ma’rụfaw wattabi’ sabīla man anāba ilayy, ṡumma ilayya marji’ukum fa unabbi`ukum bimā kuntum ta’malụn

Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Luqmân/31:15).

Dalam kitab Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’an, ayat tersebut tercatat berkaitan erat dengan peristiwa masuk Islamnya seorang anak yang menyebabkan ibunya marah. Alkisah, seorang anak bernama Sa’ad ibn Malik bersitegang dengan ibunya lantaran ia masuk Islam. Sang ibu mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum selama tiga hari tiga malam.

Sa’ad kokoh dengan pendiriannya meskipun sang ibu tidak makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sa’ad berkata kepada ibunya, “Ibu, demi Allah, seandainya engkau mempunyai seratus nyawa yang engkau keluarkan satu demi satu, niscaya aku tidak akan keluar dari agamaku. Kalau ibu mau makan atau tidak silahkan.” Menghadapi keteguhan iman anaknya, akhirnya sang ibu lulu dan makan juga.

Kebebasan beragama dengan wujud sikap tidak memaksakan agama pada orang lain yang dimaksud di sini bukan bukan berarti mengakui kebenaran agama orang lain. Apa yang dimaksud adalah kebebasan bagi setiap penganut agama untuk menilai dan menganggap bahwa agama yang dianutnya atau kepercayaan yang dihayatinya adalah ajaran yang paling benar dan melaksanakan ajaran sesuai dengan agamanya masing-masing.

Jika saja larangan memaksakan agama pada orang lain dipraktikkan oleh semua orang, tentu akan terjadi hubungan yang harmonis antar umat beragama dan intern umat beragama. Penerimaan tersebut adalah kunci hidup damai dalam perbedaan dengan wujud berlaku baik dan bersifat adil serta memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mengamalkan ajaran agamanya, dengan tujuan mewujudkan kerukunan beragama.[]