Mataram kuno mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan raja …. pada tahun 898-911 m

Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada pertengahan abad ke-8. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan dinasti Sailendra yang beragama Buddha. Kedua dinasti itu saling mengisi pemerintahan dan kadang-kadang memerintah bersama-sama. Sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno diperoleh dari prasasti peninggalannya. Prasasti tersebut diantaranya adalah prasasti Canggal, prasasti Kalasan, prasasti Ligor, prasasti Nalanda, prasasti Klurak, dan prasasti Mantyasih.

Kehidupan politik kerajaan Mataram Kuno diwarnai dengan pemerintahan dua dinasti yang silih berganti.Berdasarkan prasasti Canggal, diketahui Mataram Kuno mula-mula diperintah oleh Raja Sanna, kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Sanjaya.Raja Sanjaya memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat hidup aman dan tenteram. Hal ini terlihat dari prasasti Canggal yang menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas.Setelah Raja Sanjaya, Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Panangkaran. Dalam Prasasti Kalasan disebutkan bahwa Rakai Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha.Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan.Hal ini menunjukkan bahwa Rakai Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha.

Sepeninggal Rakai Panangkaran

Mataram Kuno terpecah menjadi dua. Satu pemerintahan dipimpin oleh keluarga Sanjaya yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian selatan. Satu pemerintahan lagi dipimpin oleh keluarga Syailendra yang menganut agama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian utara. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Adapun raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda dan prasasti Klurak.

Perpecahan tersebut tidak berlangsung lama.Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya mengadakan perkawinan dengan Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra.Melalui perkawinan ini, Mataram Kuno dapat dipersatukan kembali.Pada masa pemerintahan Pikatan-Pramodhawardani, wilayah Mataram berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur.Sepeninggal Rakai Pikatan, Mataram Kuno diperintah oleh Dyah Balitung. Ia memerintah pada tahun 898-911 M. Pada masa pemerintahannya, Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan.

Raja-raja yang memerintah Mataram Kuno selanjutnya

Yaitu Raja Daksa memerintah tahun 910–919 M, Raja Tulodong memerintah tahun 919–924 M, dan Sri Maharaja Rakai Wawa memerintah tahun 924 – 929 M. Pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Wawa terjadi bencana meletusnya Gunung Merapi yang memporak- porandakan daerah Jawa Tengah. Melihat situasi kerajaan yang tidak aman, Mpu Sindok sebagai pejabat dalam pemerintahan Sri Maharaja Rakai Wawa memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Selain terjadinya bencana alam, perpindahan ini disebabkan oleh serangan-serangan dari Sriwijaya ke Mataram. Hal ini mengakibatkan Mataram Kuno makin terdesak ke wilayah timur.

Kehidupan ekonomi masyarakat Mataram Kuno bersumber dari usaha pertanian karena letaknya di pedalaman.Selain pertanian, masyarakat Mataram Kuno juga mengembangkan kehidupan maritim dengan memanfaatkan aliran sungai Bengawan Solo.

Dalam bidang kebudayaan, Mataram kuno banyak menghasilkan karya berupa candi dan stupa. Keluarga Sanjaya yang beragama Hindu meninggalkan candi-candi seperti kompleks Candi Dieng, kompleks Candi Gedongsongo dan Candi Prambanan. Adapun keluarga Syailendra yang beragama Buddha meninggalkan stupa seperti Borobudur, Mendut, dan Pawon.

Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah dari 9 Juni 898 sampai dengan pertengahan tahun 910.[1] Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.

Analisis para sejarawan, misalnya Boechari atau Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung.

Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (Prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya Prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan Prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.

Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa.

Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.

Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah Prasasti Telahap tanggal 11 September 899. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899.

Prasasti Ayam Teas III berangka tahun 822 Śaka atau tahun 900 M, disebutkan desa Ayam Teas yang dijadikan sebagai tanah perdikan sebagai tempat pedagang.

Prasasti Taji beetarikh 823 Saka (901 M) berisi tentang peresmian tanah di wilayah Taji menjadi daerah perdikan untuk bangunan suci “kuil Dewasabhā“ dan sawah di Taji dijadikan daerah perdikan untuk kuil itu oleh Rakryān Watu Tihang Pu Sanggrāma dhurandhara atas perintah Srī Mahārāja Rake Watukura Dyah Balitung.

Prasasti Luitan 823C/901M adalah prasasti maharaja Dyah Balitung yang ditemukan pada tahun 1977 di desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah, berisi tentang persoalan pajak.

Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang dipegang oleh Mpu Daksa.

Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah dari para penyeberang.

Prasasti Rumwiga I (904 M) berisi tentang permohonan pengurangan besarnya pajak di desa Rumwiga kepada Dyah Balitung, permohonan ini di kabulkan oleh raja.

Prasasti Rumwiga II (905 M) berisi tentang aduan masyarakat di desa Rumwiga atas perkara penyelewengan pajak kepada Mpu Daksa pada saat masih menjabat sebagai Mahamantri I Hino di era Dyah Balitung.

Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung.

Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya “korban”, sedangkan Bali artinya “persembahan”.

Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 berisi tentang anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya.

Prasasti Kinewu menyebutkan bahwa pada tanggal 12 sulakpaksa (paroterang) bulan margasina tahun 829 Saka (12 November 907 M). Sri Maharaja Rake Watu Kura Dyah Balitung Sri Iswara Kesawa Samarotungga memberikan anugrah kepada ratna (kepala desa) di Desa Kinwu berupa pembebasan pajak, karena ada keluhan dari mereka, sehingga tidak sanggup lagi menggarap sawah.

Pada tahun 907 tersebut Balitung juga memberikan Prasasti Rukam di desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.

Prasasti Tulangan bertraikh 832 Saka (910 M) yang ditemukan di Jedung, Mojokerto, Jawa Timur, di perkirakan merupakan prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Dyah Balitung, dalam Prasasti Tulangan ini memakai gelar Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu.

Pengangkatan Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan besar melahirkan rasa cemburu di hati Mpu Daksa, yaitu putra raja sebelumnya yang tentunya lebih berhak atas takhta Kerajaan Medang.

Mpu Daksa yang menjabat sebagai Rakai Hino ditemukan telah mengeluarkan Prasasti Taji Gunung tanggal 21 Desember 910 tentang pembagian daerah Taji Gunung bersama Rakai Gurunwangi.

Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa, Rakai Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai maharaja pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi dan awal pemerintahan Rakai Watuhumalang. Berdasarkan Prasasti Plaosan, Rakai Gurunwangi diperkirakan adalah putra Rakai Pikatan.

Dyah Balitung berhasil naik takhta menggantikan Rakai Watuhumalang diperkirakan karena kepahlawanannya menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Mungkin Rakai Gurunwangi yang menyimpan dendam kemudian bersekutu dengan Mpu Daksa yang masih keponakannya (Rakai Gurunwangi dan Daksa masing-masing adalah anak dan cucu Rakai Pikatan).

Sejarawan Boechari yakin bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir akibat pemberontakan Mpu Daksa. Pada Prasasti Taji Gunung (910) Daksa masih menjabat sebagai Rakai Hino, sedangkan pada prasasti Timbangan Wungkal (913) ia sudah bergelar maharaja.

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kem Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh:
Rakai Watuhumalang
Raja Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah)
898–910
Diteruskan oleh:
Mpu Daksa
  1. ^ Tanggal ini berdasarkan dua sumber primer: Prasasti Wanua Tengah III yang menyebut tanggal naik tahta Balitung, dan Prasasti Watu Ridang, prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Balitung pada tanggal 22 Maret 910.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Dyah_Balitung&oldid=21225426"


Page 2

27 Juli adalah hari ke-208 (hari ke-209 dalam tahun kabisat) dalam kalender Gregorian.

1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31  
  • 879 - Kota Kediri diresmikan.
  • 1549 - Kapal misionaris Yesuit Fransiskus Xaverius tiba di Kagoshima, Jepang.
  • 1921 - Para peneliti di Universitas Toronto yang dipimpin biokimiawan Frederick Banting mengumumkan penemuan insulin hormon.
  • 1949 - Penerbangan perdana de Havilland Comet, pesawat bertenaga jet pertama.
  • 1953 - Perang Korea berakhir: Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Syngman Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut.
  • 1996 - Peristiwa 27 Juli (Sabtu Kelabu): kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat diserbu massa.
  • 2012 - Pembukaan Olimpiade London 2012.
  • 2015 - Awal kegiatan belajar-mengajar tahun ajaran 2015/2016 di Indonesia.
  • 1857 - José Celso Barbosa, dokter, sosiolog, dan pemimpin partai politik Puerto Riko (w. 1921)
  • 1945 - Megah Idawati, pemain bulu tangkis tunggal putri dari Indonesia
  • 1998 - Fahira, aktris Indonesia, mantan anggota grup idola Indonesia JKT48
  • 2016 - Piet de Jong, mantan Perdana Menteri Belanda (l. 1915)
  • Hari jadi Kota Kediri.
  • Hari Sungai Nasional
  • Hari pesta Kristen:
  • Peringatan Aurelius dan Natalia, para Martir dari Córdoba.

26 Juli - 27 Juli - 28 Juli

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=27_Juli&oldid=21341080"