Masalah utama apa yang dihadapi dalam pelaksanaan JKN saat ini

TEMPO.CO, Jakarta - Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Harli Muin mengatakan program Jaminan Kesehatan Nasional yang pelaksanaannya dipercayakan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih jauh dari makna keadilan. Dia menilai penerapan BPJS Kesehatan masih memiliki persoalan dalam banyak hal. Yang pertama, ucap Harli, persoalan BPJS Kesehatan sudah muncul sejak proses aktivasi kartu. BPJS menerapkan aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa aktif sepekan setelah pendaftaran diterima. "Padahal sakit menimpa tanpa terduga dan tak mungkin bisa ditunda," ujar Harli di Jakarta, Ahad, 9 Agustus 2015. Selanjutnya, rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan juga disebut Harli terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu, tutur Harli, menyulitkan orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh. Masalah lain, menurut Harli, adalah rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas. Persoalan keempat, kata Harli, banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Harli menilai, sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS seharusnya menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasar asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia. Harli mendesak pemerintah segera memperbaiki sistem dan pelaksanaan BPJS Kesehatan. "Agar pelayanan kesehatan yang layak dapat segera terpenuhi."

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

(Jakarta Humas LIPI). Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang tercakup dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) saat ini masih memerlukan perbaikan dalam berbagai lini. Sebab, banyak kendala yang dihadapi dalam penerapan JKN tersebut.

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Sri Sunarti Purwaningsih menyebutkan, kendala-kendala dalam implementasi JKN itu meliputi kepesertaan, segi pelayanan, dan pembiayaan. Berbagai kendala itu sebaiknya harus segera diselesaikan oleh pemerintah agar tujuan penyelenggaraan JKN bisa berjalan maksimal.

Dari kepesertaan, salah satu kendalanya adalah ketiadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) setempat bagi penduduk migran kurang mampu. Pada akhirnya, tidak adanya KTP menyebabkan tidak bisa menjadi peserta program JKN skema penerima bantuan iuran (PBI), jelas Sunarti saat berbicara dalam kegiatan Diskusi Publik Menelaah Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN): Manfaat dan Kendala di Media Center LIPI Jakarta, Selasa (11/8).

Dikatakannya, tim penelitian LIPI sendiri menemukan fakta bahwa pekerja sektor informal cenderung luput dari sasaran peserta JKN. Padahal, sebagian besar berada di posisi borderline (antara miskin dan tidak miskin). "Kerentangan ekonomi pada golongan borderline karena pendapatan yang tidak teratur dan tidak tetap inilah yang memerlukan perlindungan khusus, " katanya.

Terkait layanan, ia menekankan persoalan banyak muncul dari pekerja sektor informal. Mereka bermasalah dengan keterjangkauan layanan kesehatan yang masih belum diatasi sepenuhnya. "Persoalan akses tidak hanya menyangkut keterjangkauan dalam pembiayaan, tetapi kecukupan keterjangkauan, dan penerimaan pada fasilitas kesehatan yang ditunjuk, " jelasnya.

Sosialisasi

Sedangkan segi pembiayaan, Sunarti melihat permasalahan muncul ketika masyarakat masih kurang paham terhadap skema pembiayaan yang ada dalam JKN. Persoalan tersebut kuncinya ada pada sosialisasi.

Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Teddy Lesmana menambahkan masih kurangnya sosialisasi terinci kepada masyarakat dan penyedia layanan kesehatan mengakibatkan perbedaan pemahaman mengenai asuransi sosial. Apalagi di daerah persoalan sosialisasi ini sangat kurang. Kita yang tinggal di perkotaan saja, konsep asuransi itu belum menjadi bagian yang penting. Padahal kalau di negara lain asuransi itu penting, " selorohnya.

Selain itu, Teddy menyoroti pula permasalahan infrastruktur yang belum memadai untuk penyelenggaraan JKN. Dari hasil penelitiannya, seringkali masyarakat di daerah itu inginnya langsung ke tahap lanjut atau rumah sakit besar, padahal ada tingkat pertama (Puskesmas) yang mungkin bisa langsung ke situ dulu.

Jadi ada masyarakat yang langsung ke rumah sakit provinsi. Akhirnya, ada yang tidak tertampung, karena fasilitas di rumah sakit itu terbatas, sementara yang datang dari mana-mana, " tuturnya.

Keterbatasan infrastruktur itulah yang perlu segera dicarikan solusi, sambungnya. Sementara, pelayanan dan infrastruktur di Puskesmas sebagai rujukan pertama sendiri memiliki banyak keterbatasan pula, pungkasnya. (pwd/ ed: isr) Sumber : Humas LIPI

Masalah utama apa yang dihadapi dalam pelaksanaan JKN saat ini

Masalah utama apa yang dihadapi dalam pelaksanaan JKN saat ini
Lihat Foto

KOMPAS.COM/HADI MAULANA

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengunjungi mess perawat yang berada satu komplek dengan RS Khusus Infeksi Covid-19 di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri).

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, hingga saat ini masih banyak permasalahan yang sering dirasakan oleh masyakarat sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ia menyebut ada tiga hal keluhan yang paling tampak dan dirasakan oleh peserta JKN.

"Pertama yaitu masalah dalam mengakses pelayanan, kedua adalah keseteraan layanan dan ketiga adalah kualitas pelayanan. Tiga hal ini sering sekali menjadi keluhan yang dirasakan oleh masyarakat kita," ujarnya dalam peluncurkan buku Statistik JKN, Kamis (18/6/2020).

Baca juga: Jokowi: BPJS Kesehatan dan JKN akan Dibenahi Secara Total...

Muhadjir juga mengatakan saat ini banyak peserta yang seharusnya terdaftar tapi tidak memakai layanan ini.

Bukan karena tidak membutuhkan layanan JKN, tetapi karena banyak masyarakat yang masih tidak mengerti cara penggunaanya.

Oleh sebab itu, kata dia, sosialisasi dan edukasi mengenai layanan ini sangatlah penting dilakukan agar masyarakat bisa lebih memanfaatkan layanan ini lagi.

Sementara itu, mengenai permasalahan akses, ia menyebutkan masih banyak fasilitas infrastuktur di suatu daerah yang sangat minim.

Layanan kesehatan di berbagai lokasi yang jauh dari kota atau yang berada di pedalaman sangat kurang. 

"Sebenarnya masalah pemerataan dari fasilitas infrastruktur dan suprastruktur masih belum merata di Indonesia, apalagi fasilitas kesehatan," jelas dia.

Baca juga: Iuran Naik, BPJS Kesehatan Prediksi Banyak Peserta JKN Pindah Kelas

Ia juga menyarankan, sangat perlu dilakukan pendekatan-pendekatan yang sifatnya lebih ke multidisipliner yang berkaitan dengan masalah jaminan kesehatan nasional.

"Artinya apa, artinya kita masih punya pekerjaan yang sangat besar dan berat untuk kita tangani secara cepat dan tanpa banyak kompromi," ungkapnya.

Ia juga meminta kepada para stakeholder terkait baik yang berada di lapangan atau pun di tingkat atas untuk sama-sama bekerja sama dalam merealisasikan tugas dan layanan ini.

"Saya kira ini menjadi tanggung jawab kita bersama, kalau kita ingin memberikan pelayanan yang adil, setara dan bisa terealisasikan maka perlu untuk kita saling bekerja sama agar jaminan sosial ini bisa terlaksana dengan baik," ungkap dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) telah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan program JKN/KIS yang diselenggarakan BPJS Kesehatan pada semester I tahun 2016. Hasilnya, DJSN menemukan 8 masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang perlu diperbaiki.

Kedelapan masalah itulah yang selama ini dianggap sebagai bagian dari penghambat program JKN/KIS. Pertama, aspek kepesertaan, yaitu penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat pendaftaran peserta JKN/KIS. Ini diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014 dan Surat Edaran (SE) BPJS Kesehatan No. 17 Tahun 2016.

Anggota DJSN, Zaenal Abidin, melihat ada yang perlu diperbaiki dalam mekanisme pendaftaran itu karena Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016 yang telah diubah menjadi Perpres No. 28 Tahun 2016 menyebut NIK bukan syarat wajib kepesertaan. Syarat kepesertaan adalah identitas. Jika NIK belum bisa disediakan oleh instansi yang bertanggungjawab, BPJS Kesehatan mestinya menyediakan identitas sementara untuk peserta yang belum punya NIK. “Kebijakan BPJS Kesehatan yang menjadikan NIK sebagai syarat mutlak pendaftaran peserta ini dapat menghambat perluasan kepesertaan,” kata Zaenal dalam jumpa pers yang diselenggarakan DJSN di Jakarta, awal Agustus.

Kedua, soal pelayanan, menyangkut prinsip portabilitas. Prinsip portabilitas dalam program JKN/KIS yang berjalan selama ini belum optimal. Portabilitas artinya setiap peserta dapat menikmati layanan kesehatan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun seorang peserta pergi ke daerah lain, ia tetap bisa mendapatkan layanan.

Namun, dari sejumlah fasilitas kesehatan (faskes) yang ditemui DJSN menyebut ada kebijakan BPJS Kesehatan yang membatasi pelayanan bagi peserta yang berobat di luar faskes tingkat pertama (FKTP) tempat peserta terdaftar. Peserta bisa mendapat pelayanan di FKTP itu maksimal 3 kali. Ada juga FKTP menolak melayani peserta dari FKTP wilayah lain dengan alasan mekanisme pembayaran untuk portabilitas belum jelas. Jika tetap ingin dilayani, ia harus menghubungi layanan di daerah asal.

Pemantauan DJSN menunjukan portabilitas pada kasus darurat relatif berjalan. Tapi hal serupa tidak ditemui dalam portabilitas pelayanan non darurat. DJSN merekomendasikan agar pembatasan pelayanan sebanyak 3 kali itu ditujukan kepada peserta yang terdaftar di faskes yang masih dalam satu kabupaten/kota; menyediakan petugas call center di daerah untuk pelayanan portabilitas; dan  mengembangkan pola pembayaran khusus kepada FKTP yang memberi pelayanan kepada peserta yang berasal dari FKTP daerah lain.

Ketiga, menyangkut regionalisasi rujukan. Pelayanan dalam program JKN/KIS dilaksanakan secara berjenjang mulai dari FKTP sampai faskes rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). Beberapa provinsi seperti Sumatera Selatan dan Jakarta mengatur rujukan itu berdasarkan wilayah administratif pemerintan daerah. DJSN menilai regionalisasi rujukan tidak tepat karena menyebabkan peserta terhambat untuk mengakses pelayanan kesehatan. Peserta harus menempuh jarak yang jauh dengan biaya yang besar untuk mencapai sebuah faskes.

Masalah rujukan juga dialami peserta karena FKTP hanya boleh merujuk ke RS tipe C terlebih dulu. Padahal, tidak semua RS tipe C punya fasilitas dan SDM yang bisa melayani peserta sesuai diagnosa rujukan. Itu menimbulkan kesan pelayanan terhadap peserta diperlambat atau dipersulit. Bahkan bisa menyebabkan kondisi penyakit yang diderita peserta lebih parah dan meningkatkan biaya transportasi rujukan yang ditanggung BPJS Kesehatan. Untuk mengatasi masalah rujukan itu DJSN mengusulkan agar regionalisasi rujukan diatur berdasarkan ‘konsep jangkauan’ dan ‘kemampuan’ faskes.

Keempat, soal kriteria gawat darurat (emergency). Selama dua tahun program JKN/KIS berjalan, kriteria gawat darurat jadi kendala pelaksanaan pelayanan kesehatan di lapangan. Belum ada regulasi yang detail mengelompokkan kondisi-kondisi yang tergolong gawat darurat atau bukan.

Penjaminan BPJS Kesehatan dalam kasus gawat darurat di faskes yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan hanya mengacu diganosa, bukan kriteria yang dimaksud darurat. “Misalnya, kasus stroke dianggap darurat, kondisi apa yang dianggap masih darurat? Kriteria stabil, seperti apa dianggap stroke stabil? Apakah penurunan kesadaran dianggap stabil?,” urai Zaenal. DJSN merekomendasikan BPJS Kesehatan, IDI dan perhimpunan profesi untuk menetapkan kriteria darurat dan stabil. BPJS Kesehatan dituntut mampu mengumpulkan informasi tentang kemampuan dan ketersediaan tempat tidur di faskes yang bekerjasama. Sehingga pasien darurat dapat dipindahkan ke RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Kelima, perihal pembagian kelas perawatan. Pembagian kelas perawatan rawat inap yang ada saat ini dinilai DJSN tidak sesuai dengan amanat UU SJSN dan UU BPJS. Regulasi itu jelas menyebut kelas perawatan bagi peserta yang membutuhkan rawat inap menggunakan kelas standar tanpa ada pembagian kelas.

Pembagian kelas I, II dan III sebagaimana berlangsung saat ini berdampak terhadap diskriminasi pelayanan karena tarif yang dibayar berbeda, tergantung kelas perawatannya. Diskriminasi ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan sebagaimana amanat UU SJSN dan UU BPJS.

Keenam, menyoal pengadaan obat-obatan. DJSN berpendapat item obat dalam e-catalog tidak dapat memenuhi kebutuhan. Karena itu e-catalog bukan satu-satunya cara untuk pengadaan obat dalam program JKN/KIS. Item obat yang tidak ada di e-catalog dapat mengacu harga pasar. Tetapi terkendala Permenkes No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Beleid ini menyebut pengajuan klaim atas obat program rujuk balik, obat penyakit kronis dan kemoterapi serta biaya pelayanan kefarmasian mengacu pada harga dasar obat sesuai e-catalog. DJSN merekomendasikan agar Permenkes itu ditinjau ulang.

Ketujuh, terkait klasifikasi tarif INA-CBGs. Pasal 24 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi faskes di wilayah tersebut. Zaenal mengatakan ketentuan itu tidak terpenuhi karena tarif INA-CBGs sudah ditetapkan berdasarkan regional sehingga menutup ruang kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes untuk menentukan tarif.

DJSN menilai pembagian tarif INA-CBGs berdasarkan tipe RS berdampak pada mutu pelayanan di daerah terpencil sehingga tidak terwujud prinsip ekuitas sebagaimana amanat UU SJSN. Padahal RS tipe paling rendah sampai tinggi memberikan standar pelayanan yang sama. Pembayaran berdasarkan kelas di RS itu dianggap DJSN bertentangan dengan pasal 19 ayat (1) UU SJSN. Untuk membenahi masalah klasifikasi tarif INA-CBGs itu DJSN merekomendasikan Kementerian Kesehatan membuat kisaran tarif sebagai ruang untuk kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes. Kemudian, membuat tarif yang acuannya bukan tipe kelas RS tapi kemampuan RS. BPJS Kesehatan perlu menegosiasikan tarif kepada setiap faskes berdasarkan nilai kredensialing.

Kedelapan, pembagian jasa medis di RS pemerintah. Selama ini pengaturan pembagian jasa medis di RS pemerintah berstatus badan layanan umum (BLU) hanya mencantumkan presentase maksimal. Dikhawatirkan ini disalahgunakan manajemen RS dan merugikan tenaga medis. Sementara RS atau faskes pemerintah daerah yang belum BLUD pembagian remunerasinya dapat tertunda dan tidak pasti. Jelas kondisi tersebut menurunkan motivasi tenaga pelaksana, sehingga berpengaruh terhadap mutu pelayanan peserta JKN/KIS.

Terpisah, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi mengatakan intinya BPJS Kesehatan menerima masukan dari berbagai pihak termasuk DJSN. Namun, ada beberapa hal yang menurutnya perlu ditanggapi dari hasil monitoring dan evaluasi DJSN pada semester I tahun 2016 itu. Diantaranya, soal NIK, BPJS Kesehatan menerima peserta yang sudah ataupun belum memiliki NIK. Menurut Irfan, mengacu peraturan perundang-undangan, BPJS Kesehatan bisa menerbitkan identitas kepesertaan. Itu diterbitkan bagi peserta yang sudah punya NIK atau belum. Bagi peserta yang sudah punya NIK, keuntungannya ketika kartu kepesertaannya hilang dan ingin mendapat pelayanan kesehatan, dia hanya perlu menunjukan KTP nya ke faskes. Ia menyebut BPJS Kesehatan sudah melakukan sinkronisasi data kepesertaan JKN/KIS dengan database NIK yang dikelola Kementerian Dalam Negeri. Dengan sistem penomoran kepesertaan yang digunakan BPJS Kesehatan, Irfan yakin tidak akan ada orang yang bisa memiliki kartu kepesertaan ganda karena ada perangkat pencegahnya. Irfan menjelaskan peserta yang berpergian ke daerah lain tidak perlu khawatir untuk mendapat pelayanan kesehatan yang dijamin BPJS Kesehatan. Jika di daerah tujuan butuh pelayanan kesehatan, peserta hanya perlu menyambangi kantor cabang BPJS Kesehatan terdekat untuk mencari informasi FKTP yang bisa melakukan pelayanan. Ini bakal mempermudah petugas BPJS Kesehatan berkomunikasi dengan FKTP yang dimaksud untuk menjamin pelayanan terhadap peserta.

“Dulu memang ada aturan yang membatasi pelayanan kesehatan bagi peserta yang pergi ke daerah lain. Tapi sekarang peraturan itu tidak ada lagi,” pungkasnya kepada hukumonline lewat telepon, Senin (22/08).