Masalah-masalah yang terjadi dalam penerapan sistem informasi kesehatan

A. KELEMAHAN SISTEM INFORMASI KESEHATAN

   Dalam pelaksanaannya sistem informasi kesehatan di Indonesia memiliki permasalahan yang cukup kompleks, Permasalahan mendasar Sistem Informasi Kesehatan di Indonesia saat ini antara lain :

  1. Faktor Pemerintah
    • Standar SIK belum ada sampai saat
    • Pedoman SIK sudah ada tapi belum seragam
    • Belum ada rencana kerja SIK nasional
    • Pengembangan SIK di kabupaten atau kota tidak seragam
  2. Fragmentasi
    • Terlalu banyak sistem yang berbeda-beda di semua jenjang administasi (kabupaten atau kota, provinsi dan pusat), sehingga terjadi duplikasi data, data tidak lengkap, tidak valid dan tidak conect dengan pusat.
    • Kesenjangan aliran data (terfragmentasi, banyak hambatan dan tidak tepat waktu)
    • Hasil penelitian di NTB membuktikan bahwa : Puskesmas harus mengirim lebih dari 300 laporan dan ada 8 macam software sehingga beban administrasi dan beban petugas terlalu tinggi. Hal ini dianggap tidak efektif dan tidak efisien.
    • Format pencatatan dan pelaporan masih berbeda-beda dan belum standar secara nasional.
  3. Sumber daya masih minim

           Faktor kelemahan juga merupakan faktor internal sistem informasi kesehatan nasional. Faktor ini jika tidak diintervensi akan berdampak negatif pada keberlangsungan sistem informasi kesehatan. Sehingga sedapat mungkin faktor ini harus diminimalisasi atau diintervensi. Faktor kelemahan kritis yang diidentifikasi secara garis besar adalah sebagai berikut:

  1. Aspek legal masih lemah. Adanya landasan hukum untuk mendukung keberhasilan berjalannya sebuah sistem informasi mutlak diperlukan. Hal ini juga merupakan bentuk komitmen dari seluruh komponen yang terlibat dalam suatu sistem informasi. Peraturan perundang-undangan untuk penyelenggaraan sistem informasi kesehatan baik di tingkat transaksi layanan kesehatan maupun di tingkat pelaporan dirasa masih lemah. Peraturan perundang-undangan yang ada juga belum secara spesifik menjawab kebutuhan integrasi sistem informasi kesehatan. Di beberapa kabupaten/kota belum ada landasan hukum yang cukup kuat untuk mengimplementasi sistem informasi kesehatan di daerah yang seharusnya berlaku secara terintegrasi. Walaupun beberapa peraturan perundangundangan yang ada seperti UU ITE, UU KIP, PP PSTE, PP SIK, dan lain-lain dapat dijadikan acuan. Namun peraturan perundang-undangan yang spesifik mengatur secara teknis penyelenggaraan sistem informasi kesehatan perlu disiapkan seperti peraturan perundang-undangan terkait rekam medis/kesehatan elektronik.
  2. Sistem informasi kesehatan masih terfragmentasi. Sebagaimana diketahui bahwa di bidang kesehatan telah berkembang berbagai sistem informasi sejak lama tetapi satu sama lain kurang terintegrasi. Setiap sistem informasi tersebut cenderung untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dan langsung dari fasilitas pelayanan kesehatan yang paling bawah dengan menggunakan cara dan format pelaporan sendiri. Akibatnya setiap operasional seperti Puskesmas dan Rumah Sakit yang harus mencatat data dan melaporkannya sehingga Puskesmas dan Rumah Sakit menjadi sangat terbebani. Dampak negatifnya adalah berupa kurang akuratnya data dan lambatnya pengiriman laporan.
  3. Pendanaan untuk sistem informasi kesehatan di daerah masih terbatas. Aspek pendanaan dapat dinilai sebagai faktor kekuatan, namun terdapat beberapa hal yang dapat pula dikategorikan sebagai faktor kelemahan. Alokasi dana untuk operasional, pemeliharaan, dan peremajaan sistem informasi baik di pusat maupun di daerah, belum menjadi prioritas penganggaran rutin sehingga dapat mengakibatkan operasional dan pemeliharaan sistem tidak dapat dilakukan secara baik untuk menjaga kesinambungan sistem informasi. Kemampuan pendanaan daerah yang bervariasi dalam memperkuat sistem informasi kesehatan di daerah berdampak pula pada keberhasilan penguatan sistem informasi kesehatan secara keseluruhan.
  4. Kemampuan daerah dalam pengembangan sistem informasi kesehatan dan pengelolaan data/informasi yang bervariasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota dan provinsi belum memiliki kemampuan yang memadai dalam mengembangkan sistem informasi kesehatannya, sehingga perlu dilakukan fasilitasi. Untuk sebagian daerah yang telah memiliki kemampuanpun tampaknya pengembangan yang dilakukan masih kurang mendasar dan komprehensif serta belum mengatasi masalah-masalah mendasar dalam sistem informasi kesehatan. Setiap upaya pengembangan cenderung menciptakan sistem informasi kesehatan sendiri dan kurang memperhatikan keberlangsungan sistem dan konsep integrasi sistem untuk efisiensi. Kondisi geografis, khususnya pada daerah terpencil dan perbatasan juga berdampak pada kemampuan untuk membangun sistem informasi kesehatan daerah serta optimalisasi pemanfaatan infrastruktur teknologi informasi dan kemampuan sumberdaya lainnya. Sementara itu, kemampuan untuk melakukan manajemen data mulai dari pengumpulan, pengolahan, dan analisis data serta penyajian dan diseminasi informasi baik di pusat dan daerah masih belum optimal. Kemampuan untuk menghasilkan indikator dan informasi kesehatan yang valid dan reliabel juga masih perlu ditingkatkan.
  5. Pemanfaatan TIK dalam penyelenggaraan sistem informasi kesehatan dan pengelolaan data yang belum optimal. Hampir sebagian besar daerah dan pusat telah memiliki infrastruktur TIK untuk mendukung pelaksanaan sistem informasi kesehatan, namun fasilitas TIK tersebut belum secara optimal dimanfaatkan. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor, seperti kemampuan sumber daya manusia yang masih terbatas, tidak berfungsinya perangkat keras dan perangkat lunak aplikasi pengelolaan data kesehatan, tidak tersedianya prosedur pengoperasian (SOP) atau petunjuk manual untuk mengoperasikan perangkat keras maupun perangkat lunak aplikasi pengolahan data. Banyak pula fasilitas komputer dan infrastruktur TIK yang akhirnya kadaluarsa atau rusak sebelum SIK diimplementasikan. Fasilitas yang digunakan pada umumnya tidak mempunyai standar minimum kebutuhan dan cenderung bervariasi baik dalam spesifikasi perangkat keras maupun perangkat lunaknya. Hal ini dapat mengakibatkan ketidaksesuaian ketika akan dilakukan integrasi.
  6. Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia masih rendah. Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam keberhasilan implementasi sistem informasi kesehatan. Namun kondisi saat ini baik di pusat maupun daerah masih terdapat keterbatasan baik dalam hal kuantitas maupun kualitas tenaga pengelola sistem informasi kesehatan. Selama ini, di beberapa daerah, pengelola data dan informasi umumnya adalah tenaga yang merangkap jabatan atau tugas lain, yang dalam kenyataannya mereka tidak dapat sepenuhnya bekerja mengelola data dan informasi karena insentif yang tidak sesuai sehingga mereka memilih pekerjaan paruh waktu di tempat lain. Kelemahan ini masih ditambah lagi dengan kurangnya keterampilan dan pengetahuan mereka di bidang informasi, khususnya teknologi informasidan pemanfaatannya. Selama ini sudah terdapat jabatan-jabatan fungsional untuk para pengelola data dan informasi, seperti pranata komputer, statistisi, epidemiolog, keamanan informasi, dan seterusnya. Namun belum dimanfaatkan betul.
  7. Mekanisme monitoring dan evaluasi masih lemah. Kelemahan-kelemahan dan berbagai permasalahan pada penyelenggaraan sistem informasi kesehatan tentunya dapat diidentifikasi dengan mekanisme monitoring dan evaluasi serta audit sistem informasi kesehatan. Sayangnya, mekanisme monitoring dan evaluasi belum ditata dan dilaksanakan dengan baik.

Pada tinjauan teori yang ada, pengembangan sistem informasi administrasi rumah sakit diperlukan karena :

  1. Keterbatasan sistem
    Sistem informasi administrasi yang menggunakan komputer, harus secara jelas di dasari oleh manual. Jadi manualnya harus dirapikan terlebih dahulu, kemudian barulah sistem komputerisasi dikembangkan.
  2. Keterbatasan perangkat system
    Perangkat yang digunakan mempunyai keterbatasan memory dan kecepatan sehingga beban kerja computer harus disesuaikan, maka dianjurkan pengembangan sistem yang bertahap.
  3. Keterbatasan operator
    Penggunaan sistem harus terlatih, karena bila salah mengisi maka akibatnya hasil yang jerjadi akan salah juga. Pelatihan untuk operator sangat diperlukan agar terampil dan dapat memecahkan masalah yang akan terjadi dan menyediakan cadangan petugas yang dapat menggantikan bilan operator yang lain berhalangan. Bila hal ini tidak disiapkan akan terjadi kelumpuhan bila salah seorang operator berhalangan

      Kekurangan pada sistem informasi administrasi rumah sakit berbasis komputer yang Kekurangan tersebut antara lain :

  1. Terdapat pekerjaan yang sama dikerjakan dua kali yaitu entry data pasien yang akan rawat inap. Entry data tersebut menggunakan Billing System kemudian dilakukan pula mencatat data tersebut pada buku.
  2. Terkadang komputer tiba–tiba macet atau hang. Dalam kondisi tersebut pegawai harus mematikan komputer dan menyalakannya lagi, sehingga pekerjaan yang belum disimpan di lakukan kembali dari awal.
  3. Terjadi pemadaman komputer oleh bagian TI untuk dilakukan maintanance rutin. Pada situasi tersebut kegiatan entry data dilakukan secara manual yaitu pada kertas kerja atau buku.
  4. Lambatnya pelayanan pada saat terjadi pemadaman komputer untuk dilakukan maintanance rutin, hal ini menyebabkan terjadinya antrian pasien yang memerlukan tindakan medis dengan segera.
  5. Terjadi Nomor Billing atau BRM ganda pasien di karenakan pasien menghilangkan kartu berobat atau lupa sudah pernah MRS atau tidak.
    Berdasarkan

Sistem informasi yang ada saat ini dapat digambarkan sebagai berikut:

  1. Masing-masing program memiliki sistem informasi sendiri yang belum terintegrasi. Sehingga bila diperlukan informasi yang menyeluruh diperlukan waktu yang cukup lama.
  2. Terbatasnya perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) di berbagai jenjang, padahal kapabilitas untuk itu dirasa memadai.
  3. Terbatasnya kemampuan dan kemauan sumber daya manusia untuk mengelola dan mengembangkan sistem informasi
  4. Masih belum membudayanya pengambilan keputusan berdasarkan data/informasi.
  5. Belum adanya sistem pengembangan karir bagi pengelola sistem informasi, sehingga seringkali timbul keengganan bagi petugas untuk memasuki atau dipromosikan menjadi pengelola sistem informasi.

B. TANTANGAN SISTEM INFORMASI KESEHATAN

    Faktor ancaman merupakan faktor eksternal atau lingkungan dari sistem informasi kesehatan nasional. Faktor ini akan menghambat implementasi sistem jika tidak disikapi dengan baik. Dengan perspektif lain sebuah ancaman dapat juga dipandang sebagai sebuah tantangan di masa depan yang harus bisa dihadapi. Beberapa faktor eksternal yang menjadi ancaman atau tantangan yang mungkin muncul dalam pengembangan sistem informasi kesehatan antara lain:

a. Tantangan Globalisasi

Era globalisasi menyebabkan bebasnya pertukaran berbagai hal antar negara seperti sumber daya manusia, IPTEK, dan lain-lain. Di bidang kesehatan, hal ini akan dapat menimbulkan dampak negatif apabila tidak dikelola dengan baik. Beberapa dampak negatif tersebut antara lain adanya penyakit-penyakit serta gangguan kesehatan baru, masuknya investasi dan teknologi kesehatan yang dapat meningkatkan tingginya biaya kesehatan, serta masuknya tenaga-tenaga kesehatan asing yang menjadi kompetitor tenaga kesehatan dalam negeri. Untuk menghadapi kemungkinan dampak negatif yang terjadi seiring era globalisasi maka dukungan sistem informasi sangatlah diperlukan. Sistem kewaspadaan dini untuk mengintervensi permasalahan kesehatan sangatlah bergantung pada pasokan data dan informasi yang akurat, cepat, dan tepat. Apabila era globalisasi datang pada saat sistem informasi kesehatan nasional kita belum kuat, maka dikhawatirkan akan membawa dampak-dampak negatif yang merugikan.

b. Tantangan Otonomi Daerah

Otonomi daerah saat ini menyebabkan masing-masing daerah sibuk mengerjakan urusannya sendiri, termasuk dalam menyusun prioritas untuk pengembangan dan pengelolaan sistem informasi kesehatannya. Hal ini tentu saja akan berdampak pada kelancaran integrasi sistem informasi kesehatan yang diharapkan salah satunya dibangun dengan penguatan SIKDA. Kondisi tersebut akan menyulitkan Pemerintah (dhi. Kementerian Kesehatan) dalam memfasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan di daerah, implementasi standarisasi dan pembenahan tata kelola. Pembandingan dengan daerah lain (benchmarking) pun akan mengalami kesulitan karena tidak adanya standar.

c. Tantangan Ekonomi Global dan Kemampuan Keuangan Pemerintah

Kondisi ekonomi global dan kemampuan keuangan pemerintah sangat berpengaruh dalam implementasi teknologi informasi dan komunikasi, karena perangkat teknologi informasi dan komunikasi sebagian besar berasal dari impor. Setiap perubahan kondisi ekonomi global akan berpengaruh kepada ekonomi dalam negeri. Kondisi ekonomi dalam negeri yang memburuk tentunya dapat mempengaruhi kemampuan keuangan pemerintah. Oleh karena itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat harus disikapi dengan cerdas dalam memanfaatkannya untuk penyelenggaraan sistem informasi kesehatan. Salahnya adalah bagaimana memilih teknologi tepat yang mampu
beradaptasi dengan perkembangan teknologi untuk beberapa tahun ke depan (tidak cepat usang). Langkah lain yang penting adalah melakukan analisis biaya manfaat.

d. Tantangan Untuk Membangun Jejaring Lintas Unit dan Lintas Sektor

Adanya kebijakan pemerintah dalam memperkuat e-government akan sangat bergantung pada interoperabilitas seluruh komponen sistem. Tidak tersedianya standar dan protokol dalam penyelenggaraan sistem informasi di setiap kementerian/lembaga mengakibatkan ketidakjelasan “aturan main”. Akses data dan informasi dari lintas unit di Kementerian Kesehatan dan lintas sektor masih sulit dilakukan. Hal ini karena jejaring untuk memperkuat ketersediaan data yang valid dan akurat tidak dapat dilakukan dengan optimal. Kebutuhan untuk menghitung indikator kesehatan tidak hanya berasal dari satusumber data saja melainkan dari beberapa sumber data. Sebagai contoh untuk melakukan pengukuran atau penghitungan cakupan keberhasilan program kesehatan diperlukan data diluar sektor kesehatan, seperti data penduduk sebagai denumerator yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dari kondisi tersebut maka dapat terlihat bahwa ketersediaan protokol untuk membangun jejaring serta menetapkan standarisasi

yang didukung oleh aspek legal merupakan salah satu tantangan yang harus segera diintervensi.