Makalah tentang adanya keterlibatan Amerika Serikat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta

Keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa PRRI dan Permesta

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Suasana demokrasi liberal di tahun 1950-an telah menimbulkan kekacauan dan pergolakan-pergolakan dengan kekerasan. Pemilihan umum yang dilaksanakan tahun 1955 tidak berhasil menghilangkan ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Daerah-daerah di luar Jawa merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Pusat, sehingga di beberapa daerah muncul gerakan-gerakan menuntut otonomi luas. Di bidang ekonomi dan perdagangan hasil ekspor yang sebagian berasal dari daerah-daerah luar Jawa, pembagian penggunaan di Pulau Jawa dianggap tidak adil. Di samping kekecewaan-kekecewaan tersebut, ada suatu masalah yang cukup serius yang mendorong Letnan Kolonel Ahmad Husein di Sumatera Barat bertekad menentang pemerintah Pusat, yaitu adanya penilaian bahwa Bung Karno dianggap mulai dipengaruhi Partai Komunis Indonesia. Pada akhir bulan Desember 1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang pemerintah Pusat, di Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi. Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan Dewan Banteng di Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan pertama dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di Medan (Sumatera Utara) terbentuk Dewan Gajah, dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari hubungan dengan pemerintah Pusat. Bulan Januari 1957 Dewan Garuda mengambil alih pemerintahan dari Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan Piagam Perjoangan Semester (PERMESTA) oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat.[footnoteRef:1] [1: Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa Ke Masa: Periode 1950-1960, (Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2005), hal. 372.]

Pendirian PRRI diawali dengan reuni Dewan Banteng, organisasi yang dilahirkan dari hasil reuni militer yang dikepalai oleh Letkol Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek dan Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan" sebuah pemerintahan baru yang bernama "Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia" yang disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang sebagai "ibukota negara" dan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai "Presiden PRRI". Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil, yang tidak merasa puas dengan kepemimpinan Bung Karno, dan membawa rakyat Minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI. Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air, juga timbul satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan Letkol Ventje Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA (Pemerintah Rakyat Semesta)Melalui Operasi Militer baik dari darat, Laut dan Udara Gerekan PRRI dan Permesta dapat ditumpas oleh Pemerintah Pusat. Makalah ini membahas faktor faktor pendorong gerakan PRRI PERMESTA tersebut serta keterlibatan Amerika dalam menyokongnya.

BAB IIISI

2.1 Kondisi sosial politik dan ekonomi Indonesia menjelang PRRIMemasuki era 1950-an, sebagai bangsa yang baru merdeka, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks. Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Perubahan itu juga membawa dampak pada perubahan sistem penyelenggaraan negara, yaitu dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Sistem politik ini pada perjalanannya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Sistem parlementer telah mengakibatkan adanya polarisasi berbahaya dalam tubuh bangsa Indonesia. Polarisasi politik ini semakin tampak di Pemilihan Umum tahun 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai pemenang Pemilu 1955, mendapat dukungan terkuat di Pulau Jawa. Di lain pihak, partai-partai agama seperti Masyumi, Partai Katolik, Parkindo, PSII, dan lain-lain lebih mewakili luar Jawa. Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah tentu mengail di air keruh dan menyokong PNI. Justru ada kecenderungan PKI akan meningkat menjadi partai terkuat. Dalam situasi demikian, tampaknya kalau sistem politik tersebut tetap diteruskan, sejarah Indonesia akan berakhir dengan kehancuran bangsa Indonesia[footnoteRef:2]. [2: Leirissa R.Z PRRI PERMESTA : Stategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta : Grafiti 1997 Hlm.8]

Pada era kabinet Hatta, Natsir, Sukiman dan Wilopo, kebijakan ekonomi yang diambil relatif lebih akomodatif terhadap modal asing. Tetapi sejak kabinet Ali (1953-1954) pembangunan ekonomi meskipun tercantum dalam program kabinet namun pembangunan ekonomi lebih banyak merupakan semboyan belaka. Ini terutama karena kabinet menganggap modal asing merugikan Indonesia. Perhatian kepada administrasi negara yang sangat diutamakan Hatta pun terbengkalai. Gantinya muncul usaha usaha menggalang persatuan melalui retorika politik dan dropping pegawai dari pusat ke daerah. [footnoteRef:3] Sistem birokrasi yang diterapkan pada saat itu sangat bergantung pada partai yang tengah berkuasa dan dipolitisasi untuk kepentingan partai politik semata. Sistem politik seperti itu juga telah menimbulkan banyak praktek praktek korupsi. [3: Ibiid Hlm. 10 ]

Dalam bidang ekonomi, keadaan Indonesia pada tahun 1950 berada pada titik yang sangat rendah yaitu tidak terjadi keseimbangan pembangunan, antara Jawa dengan luar Jawa. Selama tahun 1950an tersebut, pembangunan lebih dipusatkan pada daerah Jawa, terutama Jakarta, sementara intensitas pembangunan di daerah lain sangat minim.2.2 Faktor Faktor Yang Mendorong Pemberontakan

2.2.1 Gagalnya Pembangunan EkonomiPerang selama Revolusi Kemerdekaan telah mengakibatkan kerusakan parah dalam bidang ekonomi. Untuk mensiasatinya Kabinet Natsir membentuk Rencana Urgensi Perekonomian yang disusun oleh Sumitro Djojohadikusumo. Pola kebijakan pembangunan dalam RUP berlanjut dalam program pengembangan industri di Indonesia yang disebut Rencana Urgensi Perindustrian tahun 1951-1952. Dalam rancangan tersebut dengan tegas dikemukakan bahwa dasar pokok dari kebijakan bukanlah memberikan proteksi bagi pembangunan industri Indonesia. Namun, ditujukan untuk menghapuskan proteksi yang selama ini diberikan kepada perusahaan-perusahaan Belanda.[footnoteRef:4] [4: Kanumoyoso, Bondan. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia,2001. Hlm xi.]

Program Pembangunan Ekonomi dilanjutkan pada kabinet Wilopo dan kabinet selanjutnya dengan pembentukan Biro Perancang Negara. Badan ini berhasil menyusun rencana pembangunan yang diumumkan pada tahun 1956. Implementasinya di antaranya adalah Program Benteng dan Alibaba. Namun, pada kenyataannya, Garis-Garis Besar Rancangan Pembangunan Lima Tahun itu gagal, terutama karena Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang tidak mendukung. Kabinet ini terlalu memperhatikan politik luar negeri, misalnya penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika, tanpa diimbangi dengan pembangunan dalam negeri. Bung Karno kemudian muncul dengan gagasan Demokrasi Terpimpin dan berusaha mengikutsertakan PKI dalam pemerintahan. Sebaliknya, muncul juga berbagai upaya membendung masuknya pengaruh komunisme dalam pemerintahan Indonesia, yang akhirnya menciptakan kondisi untuk timbul gerakan-gerakan daerah.[footnoteRef:5] [5: Leirissa .Op.Cit Hlm 13]

Kegagalan pembangunan ekonomi ini sangat dirasakan oleh berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat. Salah satu golongan yang merasakanya adalah prajurit. Bahkan Ulf Shandaussen menyebutkan bahwa masa kabinet Ali II sebagai Era Ketidakpuasan. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi, seperti penyalahgunaan devisa, pemberian izin istimewa kepada anggota partai penyokong, serta birokrasi perizinan yang berbelit-belit menghambat pedagang. Kalangan pemimpin pasukan pun kesal karena alokasi keuangan serta kesejahteraan prajurit tidak dihiraukan. [footnoteRef:6] [6: Ibid]

Sementara itu untuk mengatasi kesulitan ekonomi militer, di daerah lain di luar pulau Jawa dalam tahun 1954, Panglima Indonesia bagian Timur, Kolonel Warouw, dan komandan resimen di Sulawesi Utara, Mayor Worang, seorang putera Minahasa, mengizinkan penyelundupan kopra secara besar-besaran untuk dapat membiayai operasi-operasi militer dan program pemukiman kembali. Dalam bulan Februari 1955 di Minahasa, yang merupakan daerah penghasil utama kopra di Indonesia, terjadi pembangkangan terhadap Yayasan Kopra yang dipimpin dari Jakarta dan yang memagang monopoli pemasaran atas komoditi ini. Dengan dukungan garnizum tentara setempat, petani kepala dan tokoh-tokoh setempat mendirikan Yayasan Kelapa Minahasa dan menyita kekayaan Yayasan Kopra. Dalam tahun berikutnya, tindakan terhadap Yayasan Kopra meluas ke Makassar, di mana aksi itu juga mendapat dukungan dari komandan garnizum setempat, Letnan Kolonel Andi Mattalata. Perdagangan barter di Sulawesi Utara dari bulan Februari sampai Maret 1956 mencapai proporsi- proporsi yang mencemaskan pemerintah pusat. Dapat disimpulkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi telah mengakibatkan sejumlah kekecewaaan masyarakat terutama kalangan tentara. Kegagalan ekonomi pulalah yang mendorong adanya ketidakpatuhan daerah terhadap pusat. Pemberontakan juga dimudahkan terjadi terutama karena kalangan tentara mensponsorinya.

2.2.2 Kesenjangan PembangunanDari catatan Sultan Takdir Alisjahbana, pada tahun 1956 didapatkan informasi bahwa dari keseluruhan ekspor Indonesia, kira kira 71% berasal dari Pulau Sumatera, sedangkan Pulau Jawa hanya mengekspor 17%, selebihnya 12% total ekspor berasal dari pulau lainya. Jika dihitung dengan rupiah dan rata rata jumlah penduduk, maka tiap jiwa di Sumatera Selatan menghasilkan deviden sebesar Rp.1000,00, Sumatera Utara Rp.399,00, dan Sumatera Tengah Rp.373,00. Sedangkan Ja