Ketika di hadapan guru hendaknya bersikap taj alul artinya

www.bacaan-indo.blogspot.com www.bacaan-indo.blogspot.com www.bacaan-indo.blogspot.com H o t e l PRO DEO REMY SYLADO www.bacaan-indo.blogspot.com Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). PRO DEO H o t e l www.bacaan-indo.blogspot.com REMY SYLADO Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Hotel Pro Deo © Remy Sylado, 2010 KPG 895 04 10 0350 Cetakan Pertama, Juli 2010 Perancang Sampul Rully Susanto Illustrator Isi Wayan Nadendra Penataletak Fernandus Antonius www.bacaan-indo.blogspot.com SYLADO, Remy Hotel Pro Deo Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2010 vi + 1016 hlm.; 13,5 cm x 20 cm ISBN-13: 978-979-91-0256-0 Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta. Isi di luar tanggung jawab percetakan. Kiranya telah diketahui umum, awam dan am, bahwa iksi adalah sebuah karya imaginatif: sesuatu yang merupakan pretensi dalam tidak merepresentasi aktualitas menyangkut faktualitas atas kehidupan, melainkan sebuah realitas yang diinvensi dengan cara bebas. Dengan demikian semua karakter yang hadir dalam iksi ini harus dikatakan tidak ada dalam dunia yang sesungguhnya, dan seluruh kejadian www.bacaan-indo.blogspot.com yang direka di sini pun tidak boleh pula dianggap benar. www.bacaan-indo.blogspot.com www.bacaan-indo.blogspot.com PROLOG PIKIRAN cemar Dharsana terhadap Marcel—di luar kelazim­ an disingkat menjadi Marc—kian mengental. Pangkal persoal­ annya dimulai dari hubungan tiri keduanya: Dharsana adalah ayah tiri Marc, dan Marc adalah anak tiri Dharsana. Seakan sudah menjadi pembenaran matra alam di semua tarikh, bahwa hubungan tiri selalu membawa masalah pelik yang mendorong orang gandrung memelihara syakwasangka dan kemudian mengabaikan welasasih. Sekarang, di pekan­pekan terakhir ini ada rasa penyesalan yang mengganggu pikiran Intan, ibu kandung Marc, melihat keadaan yang pelik ini, tapi bersamaan dengan itu dia pun bim­ bang, tidak punya cara bertindak yang pas, paling tidak melalui dialog, sebab dia kuatir pada dirinya sendiri, bahwa jika dia ke­ liru bicara dalam kemauannya untuk bertindak, bisa­bisa itu akan menambah keruh keadaan. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Tapi, dalam hari­hari terakhir ini Intan menyerana se­ orang diri: andai saja jarum waktu bisa direka untuk mundur kembali ke belakang pada dua tahun yang lalu, harusnya saat itu dia tidak terlalu cepat memutuskan bilang ya kepada Dharsana, ketika pria berpangkat komisaris besar polisi, yang sama dengan kolonel dalam angkatan darat ini, menyampaikan keinginan untuk menikahinya. Di saat dia menyerana begini, dia menyadari pula, betapa tidak gampangnya berpikir rasional pada dua tahun yang lalu itu, ketika dia tahu benar ada perasaan terombang­ambing dalam dirinya yang begitu sulit dielak, melihat kenyataan dirinya sebagai seorang janda—dan kata ‘janda’ baginya merupakan suatu azab yang ditentukan takdir—berbareng juga tumbuhnya di lubuk hati suatu rasa pengharapan yang demikian mendadak dan demikian kuat pula jika dia bisa memiliki seorang suami lagi. Pada dua tahun yang lalu itu Intan menikah dengan Dharsana, setelah empat tahun menjanda dengan nama Nyo­ nya Margaux. Suaminya yang pertama, André Margaux, ayah Marc, adalah diplomat Prancis yang tewas terbunuh dalam huruhara pemberontak komunis dukungan Cina di Angola. Ingatan buruk atas pembunuhan itu masih mempengaruhi jiwanya. Setelah kejadian itu, apabila dia duduk melamun membayangkannya, tiba­tiba dia seperti berada kembali disana, dan tiba­tiba pula dia merasa seperti ditindih batu gunung, tersengal­sengal, susah bernafas. Karenanya, sekarang ini dia harus selalu membawa di dalam tasnya obat semprot nafas Ventolin, supaya sewaktu­waktu bilamana dia terserang sesak nafas disebabkan oleh rasa getir, cemas, dan gangguan­ gangguan psikis lainnya, maka dia langsung menyemprotkan inhaler Ventolin itu ke dalam mulutnya. Keluarga marhum suaminya sebetulnya sudah menyaran­ kan Intan, demi masa depan Marc, supaya dia dan putranya ini 2 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado tinggal saja di Lyon, kampunghalaman André, ikut mengurus bisnis anggur milik keluarga di sana, tapi Intan tidak mau mengecewakan kemauan Marc yang malah memilih tinggal di Jakarta. Begitu akhirnya, sebagai orang Indonesia, Intan pulang ke tanahair, membangun rumah baru bercitra tradisional pesisir utara Jawa Tengah dari bahan seluruhnya kayu dan papan, dan gerangan harus dikatakan sebagai rumah kayu­papan yang barangkali paling mahal di antero Jakarta. Kedengarannya itu aneh, rumah kayu­papan bisa mahal. Tapi, kalau orang sudah datang ke rumahnya ini, tahulah orang itu bahwa rumah kayu­papan milik Intan memang adalah rumah yang tidak boleh dibilang murah. Coba saja periksa. Rumah ini terdiri dari delapan kamar. Masing­masing kamar berukuran 7x7 meter dengan tinggi ke plafon 5 meter, adalah kayu jati berketebalan 10 sentimeter yang seluruhnya diukir mewakili cerita­cerita tertentu, antara cerita wayang serta cerita rakyat. Harga satu dinding berukir ini dipesan dari Jepara mencapai Rp150.000.000,00. Lalu kalikan delapan kamar. Satu­satunya bagian rumah kayu­papan ini yang terbuat dari bahan semen, batu, pasir, dan keramik, hanya kamarmandi dan WC yang justru berada di depan: jadi menyimpang dari kebiasaan umum menyebut WC sebagai kamar belakang. Jika mesti dirinci pula biaya WC di rumah Intan ini, maka harus dikatakan juga, ini barangkali WC paling eksklusif di antero Jakarta, sebab di dindingnya yang marmer ukuran 6x6 meter, terpajang empat lukisan cat minyak yang dibeli dari lelang Masterpiece, masing­masing karya Lee Man Fong 1,4 milyar rupiah, Affandi 1,3 milyar, Srihadi 1,2 milyar, Djoko Pekik 1 milyar. Di rumah yang luar biasa—artinya di luar dari kebiasaan umum—asalnya Intan berharap memperoleh kedamaian dengan 3 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo seorang suami yang dapat mencintainya dan menyayangi putra­ nya, tapi kenyataannya, semakin dipikir semakin tidak ditemu­ kannya anganan itu dalam wujud. Sekarang dia terlambat me­ nyalahkan sikapnya yang terlalu cepat bilang ya. Dalam perkenalan pertama dengan Dharsana, lengkapnya Kombes D.B. Dharsana, Intan terkesan pada penampilannya yang jentel, galan, dan gagah. Mereka berkenalan di pesta ulangtahun putra Jendral Rachmat Wirjono, teman sekelas Marc, di mana sang jendral menyuruh Dharsana menyanyi, dan Dharsana pun menyanyi lagu lama selera Angkatan 45, mula­ mula Sepasang mata bola, kemudian Autumn leaves (drift by the window). Dharsana menyanyikannya sambil merem­ melek, memang khas jadul. Selain itu, penampilan Dharsana pun di mata Intan sangat dendi: baju safarinya rapi—hal itu beda dengan sejarah baju safari yang sebenarnya di Afrika di mana Intan pernah tinggal sebagai istri diplomat Prancis tersebut—tersetrika licin, sepatu­ nya mengkilap, dan rambutnya klimis meling­meling, sehingga boleh jadi lalat pun yang berani hinggap di rambutnya itu bisa tergelincir lantas jatuh semaput. Tak banyak orang tahu singkatan DB­nya Dharsana. Orang percaya pada gunjingan yang berasal dari teman­teman seang­ katan di akademi, khususnya oleh Rachmat Wirjono, bahwa DB itu berarti ‘doyan banget’. Itu dihubungkan dengan reputasinya dulu, sebelum menjadi perwira, dan masih berlangsung hingga kini setelah duduk sebagai Fraksi ABRI, yang doyan banget ter­ hadap angpau, gebug, dan wanita. Mestinya dengan pangkat kombes dia tidak duduk di DPRRI, tapi dalam cerita ini Rachmat Wirjono yang seangkat­ annya dulu, menunjuk sebagai wakilnya di lembaga legislatif ini. Sebagai perwira di lembaga ini, dalam kedudukannya melaksanakan Dwifungsi ABRI, orang akan segera mengetahui 4 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado latarbelakang keabrian Dharsana berdasarkan ucapan terima­ kasihnya dalam menerima persen mulai dari angpau sampai wanita. Manakala Dharsana menerima itu, maka ucapannya adalah, “Terimakasih sebesar­besarnya.” Itu di luar kelaziman pula. Sebab, Dharsana polisi, dan di zaman Orde Baru ini, terimakasih yang biasa diucapkan oleh se­ orang ABRI dari anggota angkatan kepolisian adalah “Terimakasih sebanyak­banyaknya.” Sebab, di lapangan, di pinggiran jalan misalnya, polisi yang menilang tidak mau dikasih sedikit, mau­ nya banyak. Sementara terimakasih yang selalu diucapnya lebih pas untuk Angkatan Darat, sebab porsi Angkatan Darat dalam Dwifungsi ABRI memang lebih besar dari angkatan­angkatan yang lain. Angkatan Laut, karena biasa menyelam ke dalam laut, maka terimakasihnya pun adalah “terimakasih sedalam­ dalamnya,” dan Angkatan Udara yang biasa terbang tinggi di langit, maka terimakasihnya pun adalah “terimakasih setinggi­ tingginya.” Sekarang, setelah Dharsana beristrikan Intan, lantas seenak udel meninggalkan istri tuanya yang lumpuh, dan awalnya Intan tidak mengetahui itu sampai waktunya nanti Rachmat Wirjono yang mengatakannya, ternyata kedoyanan Dharsana terhadap wanita di luar istri, tetap berlanjut dengan gairah yang mirip sebagai kutukan. Padahal tampangnya, amit­amit jabang bayi, kayak bekicot, bertolak­belakang dengan Intan yang ayu, anggun, luwes. Maka pas kalau disebut pasangan ini sebagai “the beauty and the beast”. Malang, tak dinyana, tabiat buruk Dharsana itu yang me­ runcingkan hubungan tirinya dengan Marc, dan darinya timbul ilham kejahatan di kepala Dharsana untuk bertindak curang terhadap anak tirinya itu. Halnya makin buruk setelah nanti, tanpa sengaja Marc melihat Dharsana berada di kamar Retno. Retno adalah istri Sukandar—belakangan sebagai direktur 5 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo bank mengubah nama menjadi Iskandardinata—beranak satu­ satunya putri, namanya Mayang. Dan, Mayang, gadis lugu dan cantik, adalah pacar Marc sejak mereka sama­sama siswa SMA Bulungan. Iskandar sekarang di Nusakambangan, dibuktikan melalui pengadilan yang curang, sebagai koruptor, sesuatu yang aneh di kuping pada zaman Orde Baru. Sementara, bukan lantaran suaminya dipenjarakan di Hotel Pro Deo warisan Belanda di Pulau Nusakambangan itu, maka Retno—yang selalu bersungut jika orang menyapanya ‘Bu Retno’ atau ‘Tante Retno’, dan mesti menyuruh orang memanggilnya ‘Jeng Retno’—menjadi liar se­ perti kuda gatal, tapi memang karena bawaannya yang asli maniak seks. Untuk hal itu belum pernah Retno diperiksa secara kesehatan maupun secara kejiwaan, mengapa dia begitu panas di ranjang. Panasnya Jeng Retno mungkin boleh diperbandingkan de­ ngan panasnya kuali. Padahal, jika lelaki memegang kuali—yang biasanya terbuat dari bahan logam—dan kuali itu panas, maka lelaki akan segera melepaskannya, tapi jika lelaki memegang perempuan yang panas di atas ranjang, pasti lelaki itu tidak pernah mau melepaskannya. Siasat Jeng Retno memikat perhatian lelaki biasanya de­ ngan penampilan yang seronok dan heboh, ditambah dengan wangi­wangian yang semerbak tajam melebihi imajinasi jin malam Jumat: parfum Yves Saint Laurent ‘Jazz’ disemprot di kuping kiri, dan Yves Saint Laurent ‘Kouros’ disemprotnya di kuping kanan. Di ketiak kanan ditaruhnya wangian ‘Trueste’ dari Tiffany, dan di ketiak kiri ditaruhnya wangian ‘Champs­ Elysées’ dari Guerlain. Dari leher sampai payudara—yang di­ katakannya seperti pantat bayi—dilulurnya dengan wangian ‘Yellow Jeans’ dari Versace. Dan, khusus di puser diberinya tetesan ‘Trésor’ dari Lancôme. Lalu, jika dia merasa pening dan 6 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado pusing­pusing karena pelbagai alasan, maka biasa di sekitar tengkuknya digosoknya dengan minyak kayu putih campur gondopuro. Bukan hanya dalam penampilan dengan parfum­parfum itu saja Jeng Retno seronok dan heboh, tapi juga dalam bicara bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Jika dia bicara dengan siapapun, tutur bahasanya selalu genit dan ganjen, sebab pasti dicampur­campur dengan kata­kata atau kalimat­kalimat baha­ sa Inggris. Kalimat bahasa Inggris yang paling digandrungnya, dan menjadi ciri khas kemayunya adalah “Oh my God.” Kalimat “Oh my God” ini bisa diucapnya ketika dia riang ataupun sedih, dan bisa juga seperti kemarin di mal Kelapa Gading, ketika dia panik sebab ujug­ujug seekor semut menggigit sekitar selangkangnya yang entah bagaimana sejarahnya kok bisa nyasar di situ. Dharsana sekarang sedang tergoda pada seronok dan he­ bohnya Jeng Retno. Tak heran jika akibatnya di hatinya ber­ susun gagasan­gagasan lancung. Itu lumrah kiranya, bahwa diawali dari bicara yang tidak jujur, lahir selingkuh. Getahnya menimpa anak tiri. Sayang, Dharsana tidak menyadari, bahwa anak tirinya ini bukanlah dari golongan remaja sekadar gaul dan tampil beda untuk menarik perhatian. Marc anak tirinya ini adalah remaja yang cerdas, menyukai fisika, belajar musik klasik, tapi cenderung memainkan musik country rock. Jika di dalam usia remaja begini Marc rentan terhadap narkoba, dan teman­ teman di kampusnya juga sama, apakah kesalahan itu tidak boleh ditafsir sebagai bagian dari tanggungjawab Dharsana? Jangan­jangan Dharsana justru berada di belakang kejahatan itu. Waktu yang berjalan akan menunjukkan segala kemung­ kinan yang dikira tidak mungkin terjadi. 7 www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 1 HARI ini Intan menerima surat dari Prancis, sejam setelah Dharsana keluar rumah dengan membawa alat­alat golf menuju ke padang golf di Tangerang disertai dengan sun pipi alakadar yang terasa cemplang. Dalam surat yang dikirim oleh Jean­Pierre Margaux dari Lyon, isinya, kedua orang adik marhum suaminya, yaitu Jean­ Pierre sendiri dan Edith, berharap Marcel dan Intan bisa ke Prancis pada bulan depan untuk membahas hal­hal keluarga se­ peninggal ayah mereka di kota besar kedua Prancis itu. Kedua adik marhum suami Intan—yang oleh Marc dipang­ gil Oncle Jean dan Tante Edith—tahu bahwa Intan sekarang su­ dah menjadi istri Dharsana, dan di pikiran mereka, mereka juga tahu, tapi mereka keliru, bahwa tanggungjawab asuh Marc sudah dengan sendirinya beralih ke ayah tirinya. Kendatipun begitu, kedua adik kandung André suami Intan yang marhum itu, memang tidak meremehkan keberadaan Marc 9 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo sebagai keponakan mereka, berkaitan dengan hak­hak Marc da­ lam keluarga Margaux. Mendapat surat dari Prancis ini, sertamerta membuat Intan tercenung dan merasa dirinya seakan­akan terasing da­ lam belantara yang hirukpikuk tapi hatinya sunyi. Perasaan yang ada dalam dirinya selama ini, pada pekan­ pekan terakhir, ketika hubungan tiri antara suaminya dan putra­ nya makin tidak tertolong untuk semacam pencapaian damai, dan dengan itu Intan merasa seperti diimbau­imbau kesa­ daran, bahwa sudah terjadi kesalahan langkah pada awal per­ temuan dengan Dharsana, betapa terlalu cepat hatinya terbuka menerima lelaki rombengan hanya dalam sekali pandang disertai dengan kata­kata elok yang membumbung harapan palsu. Dengan membaca surat dari Jean ini, Intan semakin yakin bagaimana pikiran adik­adik marhum suaminya di Prancis yang sungguh peduli pada putranya Marc, dan berharap Marc bisa datang ke Prancis bersama Intan, untuk mengurus hak­ haknya dalam keluarga Margaux sehubungan dengan telah tiadanya André dan ayah mereka. Kesungguhan adik­adik marhum suaminya itu, seperti yang terbaca di surat Jean, mendadak membuat Intan merasa kian terasing di rumahnya sendiri. Agaknya inilah hari di tengah kegelisahannya pada pekan­pekan terakhir ini yang paling haru membuat cairan asin dari belakang kelopak matanya meleleh ke pipi, dan dia membiarkan itu berlangsung beberapa detik sebe­ lum menyekanya dengan selampek yang diulurkan kepadanya. Pembantunya, Hutami—yang pribadinya menyenangkan de­ ngan kebiasaan menghafal­hafal peribahasa dengan terbalik susunan kata­katanya—yang memberikan selampek itu kepadanya. Dalam tercenung begini, dia melihat dengan terang, se­ 10 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado perti menyaksikan sebuah pertunjukan panggung, keadaan dirinya pada babak kejadian­kejadian masa lalu, dimulai dari kesukaan yang berangsur­angsur berubah menjadi kosokbali atas kesukaan. Kemudian dia melihat gambaran dirinya di sana menjadi biru abu­abu seperti kabut di lereng pegunungan. Dengannya dia segera memahami, dan dia tahu betul dengan nalarnya yang tangkas akan sesuatu yang mestinya sudah disa­ dari sejak awal, bahwa cinta sering terlalu cepat berpikir tentang kesenangan dan terlalu lambat berpikir tentang kesusahan. Ketika dalam biru haru melihat dirinya di bagian hari­hari kemarin yang sudah berlalu, dan tak mungkin direka ulang un­ tuk membuat semacam ralat, maka dia merasa seperti tidak pu­ nya pegangan dengan dua tangan yang dipunyainya dan dua kaki yang dimilikinya untuk berdiri mewakili hatinya. Di saat dia mengingat masa lalu itu, ketika pertama kali berkenalan de­ ngan Dharsana di rumah Rachmat Wirjono, mengantar Marc untuk pesta ulangtahun anaknya, Intan menggerutu lebih dari mengeluh pada dirinya sendiri. “Kalau saja aku tidak datang ke pesta ulangtahun putra Rachmat Wirjono, tentu aku tidak perlu berkenalan dengan Dharsana,” kata Intan sendiri dalam diam tercenungnya. Demi mengingat peristiwa awal itu, perhatian Intan pun sekarang beralih ke Rachmat Wirjono, jendral seangkatan Dharsana di akademi dulu yang menjadi saksi dalam perni­ kahan Intan dengan Dharsana. Merasa tidak mampu berpikir tenang menghadapi keadaan hatinya yang centang­perenang saat ini, Intan pun mengangkat telefon, menghubungi Rachmat Wirjono di rumahnya wilayah Bogor. Dia merasa bisa berdialog dengan Rachmat Wirjono, menyampaikan seluruh bagian dari ceruk batinnya yang terasa teraniaya, walaupun dia tahu pula waktunya sudah seperti yang diungkapkan peribahasa ‘nasi sudah menjadi bubur’. Dia biasa menyapa Rachmat sebagai Mas, dan Rachmat 11 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo pun biasa pula menyapanya Mbakyu, sama halnya dengan Intan memanggil istri Rachmat juga Mbakyu. Di telefon yang sudah tersambung dengan Rachmat di Bogor sana, Intan berkata, “Saya Intan, Mas. Apa Mas ada wak­ tu untuk saya siang ini?” “O, ya, bagaimana, Mbakyu?” jawab Rachmat dengan kali­ mat tanya pula. “Begini, Mas, kalau Mas dan Mbakyu ada waktu siang ini, saya ingin kita makansiang bareng,” kata Intan. “Kita bertiga, saya, Mas Rachmat, dan Mbakyu.” “Bertiga?” tanya Rachmat, merasa ganjil, sebab Intan ti­ dak menyebut berempat bersama suaminya Dharsana. “Tidak bersama dengan Dharsana?” Jawab Intan cepat, “Tidak, Mas. Justru saya ingin bicara sama Mas dan Mbakyu menyangkut Dharsana.” Rachmat segera bisa meraba­raba sesuatu yang tidak har­ monis di balik pernyataan Intan. “Oh, begitu?” tanyanya. “Ada soal?” “Iya, Mas,” jawab Intan. “Sebetulnya hanya uneg­uneg, tapi saya rasa, kok makin hari makin pincang, sampai­sampai saya jadi takut menghadapi besok,” “Lo! Itu serius.” “Begitulah, Mas,” kata Intan. “Saya tidak punya orang lain yang bisa saya ungkapkan hal ini selain pada Mas dan Mbakyu. Sambil makansiang hari ini, saya ingin bicarakan itu kepada Mas, barangkali Mas bisa bantu saya.” “Baik. Tentu.” “Kita makansiang di mana ya, Mas?” “Terserah Mbakyu saja.” “Oke. Mungkin Mbakyu Rachmat punya pilihan, Eropa, Cina, Jepang, Thai?” “Mbakyu saja yang tentukan.” 12 Remy Sylado “Oke,” kata Intan. “Kita coba masakan Itali yang di Third Floor Mandarin Oriental Hotel. Di situ ada Zigoloni. Kalau Mas dan Mbakyu tidak cocok, mau masakan Cina, di lantai sama itu ada juga restoran Cina, Xin Hwa.” “Oke saja semua, Mbakyu,” kata Rachmat. “Terserah Mbakyu saja, kami manut, Italia oke, Cina juga oke.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sejam kemudian, melewati jalanan Jakarta yang tidak terlalu macet pada hari Sabtu, akhirnya mereka bertemu di res­ toran Italia. Di sini mereka ditawari mencoba menu khasnya Beef Carpaccio yang dihidangkan dengan jamur Portobello serta Risotto Zigolini berupa campur­aduk ikan dan kerang. Sebelum menyantap, selagi masih menunggu makanan siap dihidangkan di atas meja, Intan mulai membuka pembicaraan. “Terimakasih Mas dan Mbakyu bisa jumpa di sini.” Rachmat langsung menanyakan hal yang disampaikan Intan di dalam percakapan telefonnya tadi pagi. “Ada masalah apa Mbakyu dengan Dharsana?” “Iya, Mas, ini menyangkut hubungan tiri antara Marc dan Mas Dhar. Saya takut, hubungannya makin buruk, sebab Dharsana tidak bisa memomong, malah sebaliknya sudah me­ nanam permusuhan yang sulit didamaikan. Tadi pagi Mas Dhar mencekik kemudian memukul Marc.” “Wah.” Pelayan datang membawa anggur di cawan ukuran piccolo yang 280 ml. Intan menjemput cawannya lantas mengangkat ke atas sebagai tanda sulang. Setelah meminum anggurnya, Rachmat berkata menang­ gapi cerita Intan, “Itu serius sekali.” “Ya, Mas,” sahut Intan. “Justru itu. Itu yang membuat saya 13 takut melihat ke hari­hari besok.” Pelayan membawa makanan, menaruhnya di meja. “Kira­kira, menurut Mbakyu, apa yang bisa saya lakukan?” tanya Rachmat. Intan bingung. “Terusterang saya tidak tahu,” katanya. “Ternyata saya tidak mengenal tabiat Mas Dhar. Saya yang se­ lalu mencoba menyesuaikan diri dengannya, dan saya merasa usaha saya ini hanya berjalan satu pihak.” Rachmat prihatin. “Dharsana itu memang ‘selfish’,” kata­ nya, lantas termangu. Intan memindahkan perhatian. “Mari, Mas, Mbakyu, sila­ kan makan, bon appétit!” Rachmat menarik piring ke depannya, dan sebelum me­ mulai makan dia berkata sesuatu yang memberi harapan kepada Intan, “Nanti saya coba bicara dengan Dharsana.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 2 DI saat sama, di Padang Golf Damai Permai, Tangerang, Dharsana menceritakan masalahnya pada James Winata, peng­ usaha properti yang sedang dibujuknya untuk membeli tanah di Jepara. Di padang golf ini mereka dilayani oleh caddy yang imut­imut. “Susah sekali meluruskan pikiran anak remaja yang ke­ palang bengkong,” kata Dharsana kepada Winata sembari me­ naruh bola ukuran standar Inggris, bukan Amerika,1 ke garis segiempat yang disebut ‘starting play’. Winata, terlahir Oey Eng Koen, mendengarkan omongan Dharsana dengan mengangguk­angguk. Di zaman akhir Orde Baru, awal 1998, orang­orang Cina hidup tertekan, terteror, dan takut sekali pada ABRI, sehingga tak heran omongan ABRI, 1 Inggris: 1,62 in, Amerika: 1,68 in. 15 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo apalagi perwira, terpaksa disambut dengan mengangguk­angguk setuju. “Ya, Pak Dhar, memang begitulah anak remaja,” kata Winata membenarkan. Selalu penampilan remaja ingin heboh. Itu namanya Sturm und Drang,2 Pak.” Dharsana meringis. “Tepat sekali,” katanya seraya menga­ yun jenis stik yang disebut ‘wood’, khusus untuk pukulan yang disebut ‘long shots’. Lalu tanyanya, “Apa anak­anak Pak Winata sudah remaja juga?” “Oh, belum, Pak,” sahut Winata sambil berjalan ke arah bagian lapangan yang disebut ‘water hazard’. “Kebetulan, Pak, anak­anak saya masih kecil­kecil.” “Ah, untunglah,” kata Dharsana sambil berjalan juga ke depan sana. “Dengan begitu Pak Winata tidak pusing seperti saya ini. Lebih pusing lagi, Pak, anak yang saya bilang bengkong itu adalah anak tiri.” Winata kembali mengangguk basabasi dengan tidak me­ libatkan perasaan apa­apa di hatinya. Seperti tadi, atau kapan­ pun, dia melakukan gerakan di kepalanya ini semata sebagai pilihan tanpa pilihan. Maksudnya, walaupun dia bisa melihat di wajah Dharsana, bagaimana perasaan dengki begitu jelas menguasai sukma sang kombes, toh dia tidak mau ambil bagian di dalamnya. Setiba di dekat yang disebut ‘water hazard’ itu, berkata Dharsana sambil melap keringat di lehernya, “Celakanya, anak tiri saya itu tidak pernah kapok.” Ketika Dharsana berkata begitu, dia tahu betul arti kata yang dipilihnya itu. Artinya, dia sudah melakukan tindakan tertentu kepada Marc, yaitu sesuatu yang buatnya tegas, dan ketegasan baginya diartikan juga sebagai kekerasan, namun dia menyadari pula—demikian makna tersembunyi 2 Sturm und Drang (Jer.), artinya masa akilbalig yang serba ribut dan heboh. 16 Remy Sylado yang diucapkannya dalam kata­kata “tidak pernah kapok”— bahwa tindakan kekerasan yang sudah dilakukannya itu tidak mempan mengubah sikap Marc kepadanya. Tak heran, bahwa dalam perasaan dengki yang terbaca lewat wajahnya itu, tidak dikatakannya ada kemauan­kemauan tersembunyi untuk bertindak lagi yang lebih keras supaya anak tirinya itu kapok. Memangnya apa yang dilakukan Dharsana dan tidak di­ ceritakannya kepada Winata di padang golf ini? Pendeknya se­ suatu yang tidak bisa dikatakan baik dan benar. Paling tidak, itu yang dikatakan Intan. Dalam sebulan ini memang Dharsana merasa kepalanya berasap dan hatinya membara, berlanjut dengan pikiran­ pikiran khas ketentaraan, yaitu bertempur untuk mengalahkan musuh. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Muasalnya, Dharsana tersinggung berat karena Marc me­ manggilnya, “Hei, DB!” Walaupun tersinggung, di depan istrinya Intan yang ibu­ kandung Marc, Dharsana berlagak bisa memahami, bahwa mungkin saja anak tirinya itu sedang dalam keadaan sakau akibat pil­pil haram narkoba yang telah setahun ini menawan jiwa­raganya, sehingga galib saja kalau omongan Marc jadi ngawur dan ngaco. Tapi, setelah itu Marc memanggil lagi Dharsana dengan se­ butan yang sama ketika dia meminta Dharsana memundurkan mobilnya karena menghalang mobil Marc yang akan keluar. “Hei, DB, pinggirin mobil lu itu,” kata Marc sambil berjalan hendak masuk ke dalam mobilnya. Intan sang ibu yang berdiri di tengahnya, menegur Marc untuk tidak bicara begitu. Katanya, “Kok kamu omong begitu sih sama Papa?” 17 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Jawab Marc ketus, “DB bukan papa gua.” Lalu, dia beralih kembali kepada Dharsana. “Hei, DB, pinggirin dong itu mobil.” Dan, belum sempat seluruh huruf dari kata terakhir dalam kalimat Marc terucapkan, Dharsana telah melompat seperti hewan karnivora tertentu ke arah Marc lantas mencekik leher­ nya. “Kurangajar kamu,” kata Dharsana mengguncang­guncang cekikannya. “Didiami malah tambah kurangajar. Kamu kira sia­ pa saya, heh? Bangsat kamu! Kurangajar!” Marc mengaduh­aduh, sulit bernafas karena cekikan itu. Dharsana tidak peduli, terus mencekik, emosinya tak ter­ bendung. Melihat itu Intan menjerit­jerit panik, nafas terasa sesak. “Lepaskan dia! Lepaskan!” serunya, tersengal­sengal. Namun Dharsana tak hirau. “Anak ini sudah kelewatan ku­ rangajarnya,” katanya tetap mencekik. “Dia harus diajar sopan!” “Tapi Papa menyiksanya, bukan mengajarnya,” kata Intan memarahi Dharsana sembari menarik­narik bajunya. Karena Dharsana tidak juga melepas cekikannya, dan keli­ hatannya Marc makin tidak berdaya, maka Intan pun menjerit sehabisnya. Jeritannya mengundang Lukman sang sopir, Hutami sang pembantu, dan Ujang sang tukang kebun, datang berbareng ke situ. Semuanya berteriak, meminta Dharsana melepaskan cekikannya, bukan dengan kalimat yang utuh tapi hanya dengan satu kata yang terdiri dari tiga huruf, diulang tiga kali: “Pak! Pak! Pak!” Akhirnya Dharsana meninju Marc, dan Marc tersungkur. Dan, Intan menyemprot inhaler di mulutnya. Nafasnya sesak. *** Dalam ceritanya kepada Winata tentang kejadian itu, 18 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dharsana mempersalahkan cara Intan mendidik anaknya. Katanya, “Saya mengajar anak supaya sopan, istri saya menongkat anak menjadi kurangajar. Susah deh.” “Aneh,” kata Winata, seakan tak yakin. “Mestinya seorang ibu yang paling serius berpikir bagi masadepan anaknya.” “Ah, istri saya ini lain, Pak Winata,” kata Dharsana menam­ pik sok tahu. Dan apabila dia bicara tentang alasan yang mem­ bedakan istrinya sebagai perempuan yang lain, maka dia me­ nempatkan dirinya seolah­olah sebagai seseorang yang serba pintar untuk segala hal menyangkut ilmu­ilmu masyarakat. “Istri saya itu terlalu lama hidup dengan orang Prancis. Anda tahu kan: orang­orang di Eropa Barat sana sudah tidak peduli lagi pada ada atau tidaknya generasi penerus yang harus men­ jadi pewaris nilai­nilai budaya luhur bangsa. Itu beda dengan kita di Timur sini.” Winata mengangguk­angguk dengan sikap yang awet se­ bagai golongan etnis yang tertekan. Katanya, “Ya, itu betul. Untung kita ini bangsa Timur.” “Yang paling memusingkan, Pak Winata, realitas kita seba­ gai bangsa Timur, lengkap dengan ciri­ciri antropologis yang berbeda dengan bangsa Barat, tapi dalam faktanya banyak di antara kita yang mengabaikan, atau lebih kena dikatakan: mem­ berontak diri dari realitas itu, dan bermain pura­pura sebagai bangsa Barat. Ini terutama terlihat di kalangan generasi muda kita. Generasi muda kita sekarang ini benar­benar merupakan generasi mengambang, generasi mengapung, generasi halai­ balai, karena semuanya teracuni oleh produk­produk budaya Amerika lewat film dan musiknya.” Winata mengangguk­angguk lagi. “Betul itu, Pak Dhar,” katanya sambil he­he­he. Padahal ketika Dharsana bicara begitu, sebetulnya yang dipikirkannya adalah rasa jengkelnya kepada Marc, sekaligus perasaan yang tersembunyi terhadap jurang generasinya 19 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dengan generasi anak tirinya itu. Sebab, siapa pula bangsa bekas jajahan Belanda ini yang bebas dari pengaruh budaya Amerika? Siapa pula yang ingat, bahwa di masa muda Dharsana, di Jepara, sosok pop Amerika Elvis Presley be­ gitu kuat mempengaruhinya: jambul Elvis, sepatu Elvis, baju Elvis, semuanya? Memang, persoalannya adalah tiri yang dipertajam oleh gap generasi. Perhatikan saja omongan Dharsana berikut ini. Seluruhnya bersifat prasangka. Katanya, “Saya benar­benar dibikin pusing oleh ulah anak istri saya itu. Bayangkan saja, Pak Winata, betapa pecahnya kepribadiannya itu. Celana jins yang tidak sobek malah disobek di bagian dengkul. Rambut yang holfen malah direndem lerak supaya jadi kaku seperti landak, dan katanya itu model punk. Lidah yang mestinya lentur, malah dipasangi tindik seperti paku payung. Saya tidak mengerti, di mana letak bagusnya mode gila seperti itu. Buat saya, itu ya gila, gendeng, sinting...” Winata tertawa, sekadar memberi kesan laras dengan frus­ trasinya Dharsana. Kata Winata, “Ya, barangkali itulah model Sturm und Drang generasi sekarang, Pak Dhar.” “Gila,” kata Dharsana. “Itu gila. Celakanya, yang jelas­jelas gila ini malah diberi tongkat oleh istri saya.” Lalu dia melihat arloji. “O, ya, saya masih ada rapat.” Winata mengacungkan tangan kepada pelayan, meminta bil, membayari minum. Dharsana menjabat tangan sebelum meninggalkan kafe di padang golf ini. Tak lupa dia mengucapkan terimakasihnya. “Terimakasih untuk kopinya, Pak Winata,” katanya. “Terima­ kasih sebesar­besarnya.” Setelah itu, dengan mobil yang distir oleh sopirnya, Lukman, Dharsana tidak pulang ke rumah kayu­papan, tapi langsung ke pertemuan yang biasa diselenggarakan pada Sabtu 20 malam di rumah Rachmat, membahas hal­hal terakhir yang terjadi di dalam negeri, menyangkut perkembangan politik dan soal­soal yang berhubungan dengan Kamtibmas. Dengan tidak memacu kencang mobilnya di atas tol Jago­ rawi, maka menjelang magrib Dharsana akan tiba di rumah Rachmat di wilayah Bogor. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 3 MAUNYA setelah Intan mengeluhkan masalah sukmanya ke­ pada Rachmat, maka yang disebut ini menanyakan dengan caranya, katakanlah dengan istilah populer zaman itu “cek & ricek” terhadap Dharsana—di luar rapat yang digagasnya untuk membahas persoalan­persoalan negeri dalam dua bulan terak­ hir ini, yaitu sebelum SU­MPR 1­11 Maret 1998—tapi keadaan yang genting, yang dikatakan sebagai “gangguan Kamtibmas”, lebih menyita perhatiannya. Dua hal yang disadari betul oleh Rachmat menyangkut keadaan sekarang, dan itu dikatakannya secara empat mata de­ ngan Dharsana sebelum rapat dimulai, adalah tentang kenya­ taan yang ditutup­tutup di depan umum, bahwa di kalangan perwira telah terjadi perpecahan akibat kepentingan politik yang berbeda antara yang disebut­sebut sebagai “ABRI Merah Putih” dan “ABRI Hijau”; dan di luar tren perlawanan terhadap pemerintah oleh kelompok­kelompok yang menyebut diri pro­ 22 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado demokrasi, mulai dari yang menamakan diri sebagai aliansi maupun forum solidaritas, serta LSM, yang terlihat makin garang. Sejak bulan pertama tahun ini, 1998, terjadi demonstrasi mahasiswa, pelajar, pemuda, dan LSM di beberapa kota di luar Jakarta yang menuntut reformasi. Kemudian pada bulan kedua, Februari, demonstrasi yang lebih besar meluas ke Bandung, Yogyakarta, Medan, dan lain­lain, di depan kantor­kantor ter­ tentu, antaralain di kantor CSIS, Kejaksaan Agung, DPRD II, DPRD I, termasuk kedubes Spanyol. Kelak pada Maret, jumlah demonstrasi mahasiswa dengan alasan ‘people power’, serem­ pak bergerak di 22 kota di Indonesia, menuntut lengsernya Soeharto. Tampaknya Rachmat awas tapi sekaligus waswas mengha­ dapi keadaan yang tengah berubah ini. Inilah yang membuat dia tidak sempat berpikir untuk menyampaikan kegundahan Intan kepada Dharsana dalam pertemuan muka dengan muka ini. Barangkali nanti, jika keadaannya terbuka. Mula­mula dengan suara agak parau, niscaya karena ku­ rang tidur, Rachmat berkata kepada Dharsana tentang masalah negeri ini, “Kamtibmas kita diganggu dari semua arah.” Dharsana mengangguk tanpa melisan. “Apa kamu sudah baca serangan­serangan di internet?” Jawaban Dharsana menunjukkan bahwa dia tahu apa yang dimaksudkan Rachmat. “Bagian yang mananya?” “Bagian yang mengganggu Kamtibmas, tentu,” sahut Rachmat kecewa. “Bayangkan, informasi­informasi alternatif ini mulai garang menghantam Indonesia. Celakanya semua han­ taman itu diakses masyarakat luas dan diedarkan dari tangan ke tangan berupa hardcopy.” “Oh.” Dharsana mafhum. “Yang itu? Ya. Saya tahu.” “Nah, Dhar, sebelum rapat kita mulai, saya ingin tanya ke­ pada kamu sekarang...” 23 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Soal apa?” “Begini, Dhar. Saya kenal kamu. Kamu juga tahu, saya yang mereferensi kamu untuk duduk di kursi legislatif yang mestinya untuk jendral. Soalnya sekarang, dalam peta yang sudah ter­ beber di internet—tentang beberapa kutub di tubuh kita— saya merasa perlu bertanya untuk yakin: di mana sebenarnya hatimu?” Dharsana tertawa. “Serius,” kata Rachmat. “Hatiku Indonesia Raya.” “Kita memang semua harus berkata begitu. Tapi, yang lebih khusus, dalam hubungan ini saya ingin mendengar pengakuan­ mu menyangkut hardcopy yang beredar di masyarakat luas itu. Di situ disebutkan: Jendral W sedang mengumpulkan kekuatan dan mengatur strategi untuk suatu kekuasaan tinggi yang su­ dah dijanjikan kepadanya oleh Jendral FT. Beberapa nama Jendral dari beberapa angkatan Akabri yang disebut­sebut di kutub ini adalah antaralain BP, AW, dan menantu SEW, semua jelas orientasi politiknya. Di kutub seberangnya disebut­sebut lawannya yang terdiri dari Jendral H dan Jendral PS. Tapi, di luar itu disebut­sebut juga Jendral BM yang konon berada di belakang aksi­aksi demonstrasi anti­Soeharto.” “Ya, saya tahu itu.” “Nah, yang ingin saya dengar dari mulutmu sendiri seka­ rang: di mana hatimu di antara kutub­kutub yang disebut itu.” “Apa saya dicurigai?” “Tidak. Sekadar bertanya untuk yakin.” “Astaga.” Dharsana ketawa, seakan yang dipertanyakan Rachmat itu sepele, bukan masalah besar. Maka katanya, “Saya tetap seperti dulu...” Pernyataan Dharsana malah membuka jalan untuk meng­ ganti topik pembicaraan. Secepat itu gambaran­gambaran 24 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado peristiwa masa lalu melintas dalam ingatan. Yang paling tajam, tentu saja, singkatan nama DB­nya Dharsana. Maka, demi mengingat hal itu, meluncur pertanyaan di mulut Rachmat: “Apa ada perempuan lain lagi dalam hidupmu?” Dharsana tak siap menghadapi pertanyaan itu. Dia plegak­ pleguk. Tak urung dia bertanya, “Kenapa ini ditanyakan?” “Ya, Dhar, seperti saya bilang tadi, saya kenal betul dirimu,” kata Rachmat. “Perempuan memang selalu menarik,” kata Dharsana. “Yang jadi masalah, kamu gampang tertarik pada semua perempuan.” Dharsana ketawa. “Tidak juga.” Bersamaan dengan itu Rachmat ingat akan keluhan Intan. “Lalu bagaimana dengan Intan?” tanyanya. “Sejauh ini baik,” jawab Dharsana. “Benar?” “Ya, begitulah, plus­minus.” Langsung Rachmat mencecar. “Tapi, saya dengar kamu punya masalah dengan anak tirimu.” Meletup hati Dharsana. “Ya, memang,” katanya seadanya. “Lebih pas lagi pertanyaannya: apakah saya marah pada anak tiri saya; maka jawabannya: ya, saya marah sekali pada bajingan singkong itu.” “Marah?” “Ya. Marah terhadap anak singkong yang sok jagoan, tidak punya sopansantun, tidak punya unggahungguh, kurangajar.” “Begitu?” Rachmat menyerap omongan Dharsana itu de­ ngan tidak menjadikan dirinya sebagai keranjang sampah pem­ buangan frustrasi. “Karena dia kurangajar, saya terpaksa harus mengajarnya,” kata Dharsana. “Orang yang kurangajar harus diajar dengan cara dihajar.” 25 Rachmat mendengus. “Itu masalahmu.” “Memang.” Tak urung Rachmat berprasangka. “Tapi, di dalam masalah itu, tidak ada perempuan lain yang kamu lirik lagi kan?” Kini Dharsana yang mendengus. Dia kagok. Dia memilih tidak menjawab. Barangkali sebab gaung yang diam di dalam sukmanya memang membenarkan pertanyaan Rachmat. Justru diamnya Dharsana itu membuat Rachmat menyim­ pulkan sesuatu dengan ganjil. “Ah, kamu, Dhar. Orang lain cenderung memecahkan masalah supaya merdeka, kamu malah beternak masalah dan membiarkan dirimu terjajah olehnya.” “Soalnya, di mana masalah dihayati, di situ masalah lain berkembang. Itu hidup.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 4 DI hari lain: inilah yang memicu kejahatan. Tak akan Dharsana menceritakan keadaan sebenarnya ini. Mula­mula, pada jam 13.00 Marc berpisah dengan Mayang di kampus mereka Atma Jaya. Marc memberi kecupan di pipi Mayang pas di bawah patung bertuliskan doa St. Francis Assisi. “Aku pulang jam lima,” kata Mayang. “Dijemput nggak?” tanya Marc. “Nggak usah deh. Kamu langsung saja ke rumah aku.” “Jam enam?” “He’eh.” Dan Mayang bergegas masuk ke kelas, mengikuti kuliah tentang kepribadian, salahsatu ilmu tidak pasti yang disukainya di Fakultas Psikologi. Lalu Marc melangkah ke gedung parkir lantai 8, mengambil 27 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo mobilnya, lalu memacunya ke arah timur, ke Jl. Matraman, tiba di sini jam 14.00, mencari buku tentang undang­undang agraria yang diperlukannya di Fakultas Hukum, tapi ujug­ujug terpikat melihat gitar Dobro yang dijual di toko buku ini. Dia coba memetik gitar itu. Dari wajahnya terlihat rasa se­ nangnya. Setelah itu dia menelefon ibunya. “Ma, ternyata gitar Dobro ada juga di Indonesia,” katanya kepada ibunya. Lalu, “Beliin buat Marc ya, Ma? Buat hari ulang­ tahun Marc.” “Ulangtahunmu kan masih dua minggu lagi,” kata Intan sang Ibu. “Hadiahnya kan sudah bisa ditalang dari sekarang.” “Lo? Bukannya kamu bilang nanti Mama beli gitar Dobro itu di Paris saja?” “Iya, tapi ternyata gitar itu ada di sini sekarang. Lagian ka­ pan Mama ke Prancisnya. Kan belum pasti. Sekarang Dobro itu ada di sini. Beli saja sekarang di sini.” “Alah! Kamu tuh, kalau sudah ingin sesuatu, maunya ‘sak deg sak nyet’.”1 “Mumpung, Ma.” “Ya, ya.” Marc senang mendengar jawaban ibunya. Dia lihat arloji. Sekarang jam 14.20. Kalau dia pulang ke rumah, melalui jalan tol yang belum tersambung, dia akan tiba di rumah kayu­papan di wilayah Pondok Aren sana sekitar jam 17.00. Sementara, kata Mayang tadi, pacarnya ini akan pulang jam 17.00. Dia pikir­pikir, tidak usah pulang dulu. Terbayang tempat beli narkoba yang dekat. Dengan me­ macu mobilnya ke arah utara, di jalan lurus Matraman, Salem­ ba, dan Kramat, dia bisa berbelok ke kiri, dari Kernolong masuk ke Kalipasir. Di sini dia memarkir mobil di tengah permukiman 1 Istilah bahasa Jawa untuk mengartikan: “Secepat kata diucapkan, secepat itu pula yang dimaui sudah ada di depan mata.” 28 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado yang padat, dan para pengedar narkoba langsung mendatangi­ nya, masuk ke dalam mobilnya, memberi barang dan dia memberi uang. Setelah itu dia meninggalkan Kalipasir ke Cikini, masuk ke daerah Menteng, tembus ke Jl. Sudirman. Kepalang berada di jalan ini, maka dia belokkan kembali mobilnya ke kampusnya, masuk gedung parkir di bagian belakang, lantas nongkrong di kantin. Sekarang jam 16.00. Sejam kemudian Mayang keluar dari kelas, tapi dia bilang kuliahnya belum selesai, masih berlanjut sampai sekitar dua jam lagi. Jika begitu, dia baru pulang pada jam 19.00, ketika matahari sudah tenggelam, dan biasanya jalanan macet, pe­ numpang bus berjejal­jejal pating klumpruk seperti ikan asin. Maka, Marc bilang kepada Mayang, dia akan menunggu, supaya mereka bisa pulang bersama. Tapi kata Mayang dengan gaya bahasa capcay yang campur­campur antara ‘kamu’, ‘lu’, ‘gua’ ‘gue’, ‘aku’: “Lu nggak usah tunggu aku deh. Kamu ke rumah aku aja. Kasih tau nyak gue, gua telat, gitu.” Marc angkat bahu. “Oke.” Ada kecup pipi lagi sebelum mereka pisah. Marc kembali ke tempat parkir, mengambil mobilnya di lantai 6, memacu santai menuju ke rumah Jeng Retno di bi­ langan Ciganjur, tiba di sana pada jam 18.00. Dia parkir mobil­ nya di luar, di pinggir jalan, lalu masuk ke pekarangan rumah tanpa memencet bel. Dia tahu cara membuka pintu pagar dari luar. Yayu pembantu Jeng Retno terkejut melihat Marc sudah berada di dalam rumah. Seperti gugup dan gagu, dia berdiri di hadapan Marc, berkata dengan kalimat patah­patah: “Ad­da bap­pak did­da­lam.” Berkerut dahi Marc, tak paham. 29 “Ada bapak? Bapak apa?” “Bapak, bapak.” “Omong apa sih kamu?” Marc memang tidak mengerti maksud omongan Yayu. Dia masuk saja ke dalam rumah. Tak terlihat siapa­siapa di situ, mulai dari ruang depan sampai ruang tengah. Dia terus ke belakang, ke kamarmakan, berharap akan berjumpa Jeng Retno di situ. Untuk ke kamarmakan di belakang, dia mesti melewati kamartidur Jeng Retno, pas di muka tangga yang menuju ke lantai dua. Dia terhenti di situ. Pintu kamartidur Jeng Retno agak ter­ buka. Dia menoleh ke situ, dan, astaga, tuang­ampung, dada­ nya terguncang kencang. Jelas sekali dia melihat Dharsana di dalam kamar ini sedang memakai celana dengan dada masih telanjang, dan Jeng Retno merangkul perutnya. “DB!?” katanya keras tapi tertelan ludah. Dharsana terkinjat mendengar itu. Dia mengegah ke bela­ kang pintu, maunya bersembunyi di situ, tapi yang dilakukan­ nya ini siasia, sementara Marc sudah meloncat keluar ke luar, ke mobilnya, lalu menancap gas meninggalkan rumah, bersamaan dengan tibanya di jalan itu mobil Dharsana yang dibawa oleh Lukman sopirnya. Marc pulang. Mukanya muram. Hatinya hangus. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 5 SAMBIL memegang amplop berperangko Prancis, Intan ber­ gegas menyusuli Marc yang baru masuk ke kamarnya dengan muka masam dicekami marah dan teruk. Sebagai Ibu yang melahirkan Marc, Intan segera melihat adanya sesuatu di hati putranya itu yang membuat wajahnya begitu kusam. Walau begitu dia memilih untuk tidak bertanya, gerangan apa yang terjadi di dalam diri putranya itu. Dia masuk ke kamar Marc untuk menunjukkan surat yang dipegangnya itu, dari Jean Margaux, adik kandung mendiang suaminya yang tinggal di Lyon, kota besar kedua di Prancis, arah tenggara Paris. “Ada surat dari Oncle Jean buat kita, Marc,” kata Intan, ceria, sembari mengeluarkan surat yang dimaksud dari dalam amplopnya, dan duduk di ranjang Marc. “Nih, coba kamu baca deh.” 31 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Marc menjatuhkan badan di atas ranjangnya, menyelon­ jorkan kaki, lantas berkata alakadar, “Mama saja yang baca.” “Mama sudah baca,” kata Intan, mendesak, merayu. “Kamu harus baca sendiri juga.” “Ya, nanti,” kata Marc, bergeming. Intan berusaha menggelitikkan perhatian Marc supaya pu­ tranya mau segera membaca surat itu. “Ini berita bagus buatmu lo, Marc.” “Ya, ya,” kata Marc, jublek, kering gairah. Intan terus mendesak, mencoba membangkitkan gairah yang kering itu. “Dengar, Marc, Oncle Jean dan Tante Edith meminta kita bisa datang ke Lyon pada 1 April. April itu mulainya musim semi. Mereka minta kita, khususnya kamu, bisa hadir dalam per­ ingatan seratus hari wafatnya Grand­père kamu. Sekalian di situ nanti Oncle Jean mau membicarakan soal warisan dari Grand­ père kamu yang menjadi milik papamu. Nah, ini baca sendiri suratnya.” Toh gairah Marc tidak terbit. Jawabnya seadanya, “Nanti saja, Ma.” Intan getun. Tapi bersamaan pula timbul rasa penasaran di benaknya. Tadinya dia berpikir: tidak perlu bertanya apa yang terjadi dalam diri Marc sehingga bukan saja mukanya yang belel seperti kain poplin tapi juga sikapnya yang dingin kaku, toh akhirnya dia mengubah pikiran. Dia terdorong untuk mesti bertanya. Sikap Marc yang tumben ini, yang seakan­akan tidak hirau padanya, membuat Intan tidak lagi bertanya­tanya dalam pikiran, tapi segera bertanya dalam lisan. “Kamu kenapa sih, Marc?” Sementara, rasanya sulit bagi Marc menjawab pertanya­ an ibunya selagi pikirannya ruwet begini. Ingatannya pada apa yang dilihatnya tadi sungguh mengguncang kestabilan pendiri­ annya menyangkut kemestiannya untuk hidup dengan denyut di jantung dan nafas di paruparu. Dia marah pada dirinya sendiri. 32 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dia benci pada Dharsana. Dia kecewa pada Jeng Retno. Tapi dia tetap cinta pada Mayang. Dan, tentu dia sayang pada ibunya. Namun, wai, dia tak punya kata­kata yang sempurna mewakili simpangsiur alat­alat indranya antara pikiran dan perasaan yang bisa diungkapkannya sebagai kalimat melalui mulutnya. Karena tidak memiliki kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan sederhana ibunya itu, Marc menghindar dengan ca­ ra tengkurap di atas ranjangnya. Sambil memutar badan, wajah menempel ke bantal, Marc mengeluarkan suara jangar, meng­ ubah jalannya percakapan. “Ma, biarkan aku sendiri.” Intan menyesal. Tapi mau­tak­mau dia mesti mendengar kemauan Marc. Kemauannya sendiri untuk mendapat jawaban atas pertanyaannya tadi, terpaksa harus dia tangguhkan. Dia tak mau memaksa kemauan anaknya. Dia mengelus punggung Marc, lantas berdiri dari ranjang. Setelah itu dia tinggalkan ka­ mar ini. Sebelum keluar, di pintu dia masih sempat mengingat­ kan kepada Marc soal surat yang tadi dibawanya ke sini. “Surat dari Oncle Jean itu Mama taruh di mejamu,” kata Intan, lantas mundur. “Mm.” Jawaban Marc ini tidak utuh, tapi sama­sama dipa­ hami sebagai tanda sepakat. Intan ke serambi depan. Pikirannya judeg. Katanya dalam hati, “Ada apa sebenarnya. Ini tidak biasa. Aku kenal betul perangai Marcel sepanjang 18 tahun ini—ulangtahunnya yang ke­19 bulan depan—dan selama tahun­tahun yang sudah berlalu Marc tidak pernah bersikap seperti ini...” Dia hidupkan TV di serambi depan ini. Lalu dia duduk me­ nontonnya. Kebetulan, yang tersaji di TV­nya itu adalah film India, pas adegan Govinda sedang sedih tapi menyanyi dan me­ nari kejet­kejet dipeluk oleh Karisma Kapoor. Intan sadar, adegan melodramatis seperti itu memang merupakan kepandaian tipikal India. Dia tersenyum menontonnya. 33 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Kemudian, sebelum adegan itu selesai, Hutami, pembantu Intan yang paling peduli dan setia, datang membawa secangkir teh panas, lantas duduk di bawah lantai berpermadani (bukan karpet), ndeprok di situ sambil memijat­mijat kaki Intan, dan Intan menikmatinya. Melihat adegan yang sedih tapi dibawa dengan menyanyi­ menari dalam film TV itu, Hutami berkata naif, “Bu, eta teh kunaon nya, film India kok selalu nyanyi­nyanyi dan nari­nari dalam semua adegan: ya jengkel, ya marah, ya sedih. Lantas, mesti ada pohon untuk dipegang waktu menyanyi sedih begini.” Jawab Intan sekenanya dan tidak serius, “O, ya, Tami, itulah ciri kepandaian bintang film India. Bintang film India harus bisa menari­menyanyi. Bintang film Cina Hongkong harus bisa silat. Bintang film Hollywood harus bisa naik kuda...” “Kalau bintang film Indonesia bagaimana, Bu?” “Oh, bintang film Indonesia itu lebih sulit lagi. Bintang film Indonesia harus bisa jadi kuntilanak.” Keduanya ketawa. Setelah itu diam. Sambil terus menonton, pikiran Intan mundur kembali ke ingatan soal Marc yang kusam dan tiba­tiba dingin. Karuan dia bertanya­tanya lagi dalam diri: “Apakah ini ada hubungannya dengan merajuk? Tapi mera­ juk karena alasan apa? Apa itu soal gitar Dobro? Lo! Bukankah aku tadi sudah bilang ‘ya’ akan membelikan Dobro itu di Jakarta sini?” Intan benar­benar ingin tahu. Dia merasa terbeban kalau sekiranya Marc berubah begitu karena kesalahannya. Dia citra ibu yang modern: kalau dia merasa bersalah kepada anak, maka dia harus tulus menyatakan maafnya. Dia berdiri dari kursinya. Dia ke kamar Marc. Dia berpikir akan memulai percakapannya dengan menyinggung soal Dobro. Dengannya dia yakin komunikasi dengan putranya akan 34 segera encer dan pulih dari kekakuan. Ternyata ketika dia tiba di kamar Marc, putranya ini se­ dang membaca surat dari Oncle Jean. Maka, melihat itu, Intan pun menunda percakapan yang sudah dirancangnya tentang Dobro, dan sebaliknya tentang surat yang sedang dipegang Marc. “Kamu sudah baca kan: Oncle Jean dan Tante Edith minta kamu harus hadir,” kata Intan. Jawab Marc teduh, “Ya. Aku ingin. Tapi aku tidak bisa.” “Kenapa?” tanya Intan. “Pada waktu­waktu itu aku ada ujian­ujian semester.” “Jadi bagaimana?” “Mama saja sendiri yang berangkat.” “Oncle Jean dan Tante Edith akan kecewa.” “Mereka pasti mengerti.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 6 DHARSANA kelimpungan. Dia menunda waktu untuk tidak pulang cepat­cepat. Dengannya dia repot mengajak Jeng Retno berpikir soal langkah­langkah ke depan yang semestinya, sebagusnya, setepatnya mereka perhitungkan dalam tindakan mereka: bersenang­senang di atas kenyataan tersembunyi berlancung­ lancung. Jika begitu, harusnya Dharsana tak perlu gamang. Begitu kesimpulan yang dipahami juga oleh Jeng Retno menghadapi kenyataan tak terlawankan atas jalannya sang waktu yang ber­ gerak dengan pasti, dan di situ mereka memainkan perannya masing­masing. Pada bagiannya, Dharsana tegang. Dia coba mengalirkan frustrasinya kepada Jeng Retno. Hebatnya, Jeng Retno memandang itu dengan enteng. Dia 36 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado pikir harus mengendorkan ketegangan Dharsana itu. Padahal, aslinya, dia sendiri pun tak tahu, apakah ikhtiarnya ini mengena atau justru meleset. Berkata Jeng Retno dengan gaya bahasa berdikau­dikau terhadap Dharsana, “Aku kira dikau sudah punya reserve untuk menghadapi risiko paling dramatis di panggung ini untuk me­ lambaikan tangan farewell­sayonara­wassalam.” Dharsana memicing mata, menengadah ke langit­langit, rasa­rasanya tak punya cadangan kata­kata bagus untuk me­ nanggapi pernyataan Jeng Retno yang begitu menyengat, galib­ nya bukan mengendorkan ketegangan sebagaimana dimaui, sebaliknya menegangkan pikiran. “Huh!” Ini bunyi sentakan nafas keluh yang terpaksa ke­ luar dari mulut Dharsana. “Rileks, darling Mas,” kata Jeng Retno, menepuk­nepuk paha Dharsana, dan siap mendayu dengan omongan yang khas—kegilaan mencampur­campur kalimatnya dengan kata­ kata bahasa Inggris disertai dengan hobi menyeru­nyeru ‘oh my god’—sebagai gambaran tipikal kepribadian orang Indonesia umumnya yang mengambang, kurang percayadiri pada bahasa kebangsaannya. Kata Jeng Retno, “Oh my God. Aku kira you knew the reason you came in here today, darling Mas.” Jawab Dharsana kabur bagi siapapun, kecuali bagi Jeng Retno mitra lancungnya dan mitra senangnya, “Ini berjalan bu­ kan seperti yang aku kira.” “Whatever will be, will be, darling Mas,” kata Jeng Retno sesambarnya. “Belajarlah dari aktor Yunani klasik. Aku baca, di zaman klasik Yunani para aktor—semuanya lelaki—memakai topeng­topeng.” Pertanyaan Dharsana naif. “Apa kita perlu topeng?” Jawaban Jeng Retno lihai. “Zaman sekarang topeng bisa 37 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo digantikan dengan make­up.” “?” Apa sebenarnya yang mereka cakapkan itu? Naga­naganya itu seperti sandi. Benarkah begitu? Sebetulnya tidak. Niscaya rinciannya akan bisa disimpulkan di bagian per­ cakapan selanjutnya. Itu dengan catatan, bahwa orang harus mengerti perasaan tersembunyi di balik bahasa­bahasa kabur yang mereka pakai di dalam bersenang­senang dan berlancung­ lancung. Berkata Jeng Retno dengan teguh dan hebatnya Dharsana tertawan dengan gampang, “Dalam bisnis seperti yang kita mainkan, selalu ada suspensi­suspensi yang membuat kita deg­degan. Itu lumrah dalam adegan dramatis yang kita ba­ ngun, darling Mas. Buat kita: bermain adalah bekerja, bekerja adalah bermain. So, take it easy. Just work out calmly and rationally.” Dharsana berkelit. Dia membayangkan kejadian tadi. Apa­ bila dia bicara, nadanya tergondel rasa tenahak. “Sudah ter­ buka. Marc sudah melihat.” “What’s wrong?” Jeng Retno tidak merasa bersalah, sebaliknya seperti menang. “I was just teaching him.” “Tidak.” Dharsana tak sepaham. “Dikau mengundang ma­ salah.” “So?” Jeng Retno tak acuh. “That’s very hard for you.” “Yang aku persoalkan, kenapa dikau buru­buru buka pin­ tu?” “I didn’t plan itu,” kata Jeng Retno sengit. “It’s only a co­ incidence.” “Tidak,” bantah Dharsana, getir, tapi selekasnya mengalir di kepalanya sebuah pikiran cerdik untuk mengantisipasi ma­ 38 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado salah. “Harus ada cara yang masuk akal.” “Tunggu,” kata Jeng Retno, tersenyum lebar. “What we’re talking about is tactics, isn’t it?” Dharsana mencoba melegakan hati, tapi katanya, “Aku pusing.” “Oh my God! Weren’t you mad? Aku kira dikau siap meng­ hadapi adegan ujung episode Intan menyemprot inhaler di mulutnya.” “Tidak seserampangan itu.” “Jadi?” “Ingat, Intan istriku.” ”Tapi, dia sainganku.” “Aku nikah dengannya dengan surat secara militer.” “Dikau kawin denganku dengan urat secara teater.” Dharsana ketawa kecut. Katanya, “Dikau selalu punya tameng yang bikin kaget­kaget,” “Kalau dikau tidak kaget, dikau bisa lupa komitmen kita: berbisnis dan bersenang­senang.” “Ya,” Dharsana mengakui, “Yang jadi soal: Marc.” “Lo? Itu bukan soal, darling Mas,” kata Jeng Retno me­ megang dagu Dharsana. “Justru itu merupakan pemicu untuk mempercepat adegan permainan kita.” “Pemicu?” “Oh my God. Dikau pura­pura bloon. Listen to me, darling Mas. Kalau terjadi apa­apa pada Marc, otomatis Intan perlu satu tabung Ventolin ukuran elpiji untuk nafasnya.” Dharsana terdiam sejenak. Lalu dia mengerling dengan tersenyum cemplang ke arah Jeng Retno. Kata dia, “Dikau me­ mang ular Taman Firdaus.” Jeng Retno ketawa ngakak dan liar. Katanya, “Aku belajar darimu, darling Mas.” Dharsana ketawa juga. Dirangkulnya leher Jeng Retno sambil menciumnya. Lalu terucapkan kata­katanya yang khas, 39 www.bacaan-indo.blogspot.com “Terimakasih sebesar­besarnya.” Nah, pertanyaan yang tadi muncul lagi. Apa sebenarnya yang mereka cakapkan itu? Dharsana menyodorkan tangan untuk dijabat oleh Jeng Retno sambil berkata sesuatu yang mestinya memperjelas per­ tanyaan di atas, namun kata demi kata yang meluncur dari mulut mereka masing­masing berkualitas kabur, hanya mereka berdua yang paham arahnya. “Janji?” kata Dharsana, mengencangkan jabatan tangan­ nya. “Ya, janji,” sahut Jeng Retno mengurai ketawa yang sama. “Bersenang dalam bekerja?” tanya Dharsana. Jawab Jeng Retno, “Juga bisa dibalik: bekerja dalam ber­ senang­senang.” “Terserah.” Naga­naganya percakapan yang kabur ini kini sedang me­ nuju ke kesimpulan yang rumit. “Tidak usah tegang, darling Mas,” kata Jeng Retno, meng­ gosok­gosokkan telapak tangannya di paha Dharsana. “Nanti aku yang bermain.” “Bagaimana?” “It depends. Aku bisa ‘tidak main­main’, dan bisa juga ‘ma­ in tidak­tidak’.” Dharsana terkesima. Pangkal alisnya mengencang. Kata yang baru diucapkannya sebagai tanda ingin tahu, diucapnya lagi dengan memandang lurus muka Jeng Retno. “Bagaimana?” “Oh my God. Apa dikau lupa, aku Mayang’s mom?” *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 7 MAYANG tiba di rumah dalam keadaan kucel, berbau asap rokok, karena duduk berdempet­dempet di bus Jakarta yang tak pernah bisa dijaga keindahannya. Ketika dia masuk ke halaman rumah, tidak dilihatnya di situ mobil Marc, padahal janjiannya Marc akan menunggunya di rumah. Yang ada di halaman rumah adalah mobil Dharsana, ditunggui sopirnya Lukman yang tiduran di dalamnya. Begitu memasuki rumah, Mayang memanggil ibunya, “Mother!” Biasa dia memanggil Jeng Retno begitu. Nada panggilannya meniru lagu John Lennon yang terkenal sebelum dia lahir. Jeng Retno tidak mendengar panggilan Mayang, sebab ibunya sedang lena melendot di dada Dharsana. Yayu, sang pembantu, yang menyampaikan kepada Jeng Retno, katanya, “Neng Mayang pulang, Bu.” 41 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Maka Jeng Retno girang, cepat­cepat bangkit dari kursi, menyambut Mayang. Tiba­tiba saja pikiran cerdik—atau juga licik—mengental di otaknya untuk menjadikan Mayang sebagai ujung tombak bagi langkah ke depan yang mesti dipunyainya untuk bertindak dengan bagus. Langkah yang dimaksudkan itu, seperti yang baru diucap­ kannya, berkaitan dengan kebolehannya berbuat ‘tidak main­ main’ dan ‘main tidak­tidak’. Untuk itu, seperti permainan judi, dia merasa harus menang, harus untung, tidak pernah berpikir kalah, tidak pernah berpikir rugi. Maka katanya kepada Mayang, “Tadi Marc sudah ke sini, tapi dia buru­buru pulang, sebab ada sedikit salah pengertian dengan Om Dhar.” Mayang heran, bukan sebab cerita ibunya itu, tapi serasa seperti tidak diberi kesempatan bernafas, sebab ketika Jeng Retno berkata begitu, dia menarik lengan Mayang ke ruang te­ ngah, dituntun duduk di sofa samping meja telefon, memelan­ kan volume suara, nyaris seperti bisik­bisik, namun dengan intonasi yang mengingatkan bunyi mesin pembuat tahu. “Nah, sekarang kamu harus minta Marc ke sini,” kata Jeng Retno sembari melihat kanan­kiri dengan pandangan mata yang tajam. “Cuma kamu yang bisa minta Marc datang ke sini, kembali ke sini. Ayo, Sayang.” Dari tajamnya melihat kanan­kiri, sekejap saja mata Jeng Retno tertawan pada warna merah jok sofanya. Apabila dia melihat warna itu, maka otaknya pun segera mengingat benda yang disebut ‘heating pad’, alat mirip bantal ukuran sekitar 20 sentimeter bikinan Cina yang biasa dicolokkan di listrik, dan dipakai di atas tubuh sebagai mikstur herbal untuk mengobati gangguan­gangguan saraf, lesu, varises, encok, pundak kaku, sakit kepala, dan lain­lain. 42 Remy Sylado “Nah, telefon Marc sekarang juga, Sayang,” kata Jeng Retno, berdiri ke meja telefon, mengangkatnya, lantas memberikannya kepada Mayang. Mayang menuruti kemauan ibunya. Dia ambil gagang te­ lefon yang diajukan Jeng Retno kepadanya, lalu memencet no­ mer­nomer ponsel Marc. Kebetulan Marc sedang berada di Bulungan sekarang. Dia ke sini sebab pusing berada di rumah memikirkan apa yang tadi dilihatnya di kamar Jeng Retno. Dia duduk santai di ‘Wapres’, singkatan populer untuk nama ‘warung apresiasi’, tempat ka­ langan remaja bermain musik eksperimental—yaitu musik bi­ ngung pada identitas antara istilah konon kontemporer dan konon tradisional dipaksa kawin—mengiring pembacaan puisi. Puisi­puisi yang dibaca adalah karya penyair­penyair mapan mulai dari Ajip Rosidi sampai Sapardi Djoko Damono. Begitu ponselnya berbunyi, Marc langsung membukanya, dan “Hallo.” Tanpa basabasi Mayang berkata, “Lu ke rumah gua deh sekarang, Marc. Ini penting banget.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Marc tiba di rumah Mayang setelah Dharsana pergi. Jeng Retno kelihatan sibuk menyongsong Marc. Dia ber­ gegas mengambil ‘heating pad’ berwarna merah tersebut sambil menunjukkannya kepada Marc. “Ini lo, Marc, kamu harus coba pakai ini juga,” kata Jeng Retno sambil menarik tangan Marc ke dalam kamarnya. “Ayo, coba kamu pakai. Bantal ini bisa menyembuhkan segala macam gangguan kesehatan, termasuk pegal­pegal, sakit pinggang, masuk angin, capek­capek, dan banyak lagi...” Marc menganga, merasa didaulat untuk percaya pada se­ suatu yang tidak dimengertinya. “Apa sih itu?” 43 “Sudah, tengkurap saja dulu,” kata Jeng Retno, sigap me­ nengkurapkan Marc di atas ranjangnya. Mayang sendiri bengong, bertanya­tanya dalam diri, me­ lihat ibunya berlagak seperti petugas rumahsakit. Kepada Mayang yang bengong di hadapannya, Jeng Retno berkata, “Ini lo, Yang, bantal pengobatan yang tadi dicoba juga oleh Om Dhar di sini.” Marc tertengkurap di ranjang, dan Jeng Retno menying­ kapkan bajunya, menaruh ‘heating pad’ itu ke atas pinggang Marc, lantas mencolokkan kabelnya ke listrik. Katanya repot, “Nah, tadi Om Dhar juga memakai ini di sini.” Marc terpaksa menuruti yang dilakukan Jeng Retno di hadapan Mayang. Jeng Retno berlagak serius, mengarang­ ngarang cerita bohong, pokoknya tujuannya supaya Marc tidak berprasangka atas apa yang dilihatnya tadi di kamar ini. “Nah, bagaimana rasanya, Marc?” tanya Jeng Retno. “Bantalnya mulai panas,” jawab Marc. Jeng Retno melirik ke Mayang. Hatinya berbunga. Dia telah berhasil memanfaatkan Mayang sebagai ujung tombak. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 8 MASALAH yang tak dipikirkan Jeng Retno, adakah Marc punya cukup alasan untuk percaya pada cerita bohongnya? Rasanya Marc mencurigai usaha Jeng Retno itu sebagai cara menegakkan benang basah. Dia tetap berprasangka buruk terhadap ayah tirinya. Lantas bagaimana pula sikap Dharsana menghadapi benci Marc jika anak tirinya ini mengata­ngatainya di hadapan Intan? Belum terpikirkan oleh Dharsana. Terserah nasib apa yang akan terjadi dalam waktu yang berputar. Walakin begitu, toh Dharsana yakin dapat memainkan pe­ ran apapun dalam keadaan darurat yang paling rumpil sekali­ pun. Dia memiliki naluri yang bisa disesuaikan antara kepeka­ an sekaligus kekebalan rasa. Pada keesokan harinya, di mejamakan rumah kayu­papan, 45 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo baik Dharsana maupun Marc sama­sama duduk di kursimakan yang biasa untuk sarapan, dan setelah itu nanti keduanya ber­ angkat ke tujuan masing­masing di sekitar Semanggi­Senayan yang jaraknya di sana termasuk berdekatan: sang ayah tiri ke kantornya di gedung DPRRI, dan sang anak tiri ke kampusnya di Atma Jaya. Di mejamakan ini mereka duduk bertiga dilayani oleh Hutami, pembantu yang dianggap teman oleh Intan, dan pem­ bantu asli Sunda yang paling senang bicara menghafal­hafal peribahasa sambil terbalik­terbalik mengucapkannya (misal­ nya “sedia payung sebelum hujan” diucapkannya menjadi “se­ dia hujan sebelum payung”). Tumben wajah Dharsana pagi ini kelihatan tegang, tidak seperti biasanya kelihatan tegar. Intan dapat merasakan suasana yang tidak biasa ini, tapi dia tidak merasa perlu bertanya. Intan lebih tertarik mewanti­wanti Marc—sebagaimana selalu dikatakannya kepada putranya ini—karena dia tahu Marc suka ngebut, dan alpa berpikir bahaya yang dapat saja terjadi sewaktu­waktu tanpa diharap. Sambil menuang kopi dari teko ke cangkirnya sendiri, ber­ katalah Intan kepada Marc: “Marc, jangan lupa, hatihati di jalan.” Jawab Marc segera dan sangat hafalan, “Ya, jangan kuatir.” Dan bertanya Intan dalam pertanyaan khas seorang ibu yang mencintai putranya, “Kamu pulang jam berapa?” “O, ya,” jawab Marc memanfaatkan pertanyaan ibunya itu dengan pernyataan yang arahnya menyindir Dharsana. “Kalau aku terlambat pulang nanti, aku akan latihan sandiwara dulu.” Dharsana merengut mendengar itu. Sebaliknya Intan takjub. Pertanyaannya berikut ini dilatari rasa aneh, bangga, tapi juga ragu. “Maksudmu, kamu mau berlatih teater? Kok Mama tidak 46 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado tahu?” “Terang aja Mama tidak tahu. Soalnya Mama di rumah melulu.” Intan ketawa. Pertanyaannya berikut ini naif. “Jadi kamu berlatih jadi aktor?” “Ya, Ma. Aktor sandiwara. Hidup di kulit bumi ini memang sarat dengan permainan sandiwara. Masing­masing orang ber­ main menurut bakatnya yang tersembunyi.” Dharsana mengerling sambil menghirup kopinya. Lanjut Marc, “Supaya Mama tahu, sandiwara itu adalah rahasia­rahasia yang terjaga rapi.” “Apa itu?” tanya Intan. “Ya, sesuai dengan istilahnya sendiri: sandiwara berarti perbuatan yang dirahasiakan. Semua orang berbakat memain­ kan peran begitu. Ya, nggak, DB?” Dharsana cemberut. Ada sedikit gempa di dadanya. Intan cepat memotong omongan Marc. “Emangnya kamu bermain sandiwara apa?” tanyanya. “Sandiwara tentang anjing kampung,” jawab Marc. “Apa?” Intan geli. “Sandiwara apa itu? Apa ada cerita seperti itu?” “Ada, Ma.” “Pengarangnya siapa?” “Pengarangnya juga anjing.” “Ah, ngaco kamu.” “Eh, betul, Ma. Coba saja Mama tanya sama DB.” Dharsana memerah. Intan menoleh ke Dharsana, lalu kembali mencibir Marc dengan kata­kata yang baru diucapkannya. “Ah, ngaco kamu.” “Betul, Ma,” kata Marc menekan. “Yang namanya anjing, apa lagi anjing­anjing kampung, walaupun di dalam rumah dikasih makan yang baik­baik, tapi selalu, begitu lepas di luar 47 Hotel Pro deo rumah, pasti saja cari tai lantas makan tai.” “Ah, kamu nih,” kata Intan mencela. “Bicara yang men­ jijikkan begitu kok pas di mejamakan,” “Realitasnya memang begitu, Ma,” kata Marc. “Di kamar­ makan ini ada anjing kampung yang doyan banget tai. Tuh, DB Dharsana.” Intan berteriak memarahi Marc. “Marc! Stop!” “Tidak, Ma,” kata Marc, berdiri dari kursinya. “Marc pengen lihat, apa DB mau mencekik lagi Marc seperti minggu lalu.” Dharsana bangkit dari kursinya lantas cepat­cepat pergi meninggalkan rumah, duduk di belakang mobil yang distiri oleh Lukman sopirnya. Wajahnya kaku sepanjang perjalanan. Lukman bisa me­ lihat lewat cermin, tapi tidak tahu perasaan dan pikiran apa yang sekarang sedang menyala­nyala dalam dirinya. Tapi, ketika ban mobil masuk ke dalam jeglongan, Lukman bisa mendengar serapah Dharsana. “Kamu harus mampus!” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ketika Dharsana berkata begitu, sambil duduk depan me­ ja di kantornya, yang segera terbayang dalam pikirannya ada­ lah Todung: manusia kardus, yang barangkali punya hati tapi tak punya perasaan, punya kepala tapi tak punya otak, atau manusia kelas zindik yang mengabdi kepada Dharsana dalam rasa takut mati, tapi tanpa alasan mengapa memanjangkan umur jika arti kehidupan hanya sekadar makan untuk berak, dan mengabaikan hakikat baik­buruk dan salah­benar sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Todung, anak kolong kelahiran Baros, Cimahi, 30 tahun yang lalu. Punya istri tapi sangat melecehkan perempuan. Sudah lebih setahun ini—sejak “Peristiwa 27 Juli”—Todung 48 mengabdi pada Dharsana. Sikap mengabdinya pada Dharsana melebihi manutnya seekor herder Deutscher Schäferhund. Yang menonjol dari Todung adalah, dia bisa melakukan kejahatan apa saja dengan upah rupiah yang jumlahnya bahkan tidak masuk akal bagi sebuah ukuran keringat. “Cari Todung,” kata Dharsana kepada Lukman sang sopir. “Bawa dia menghadap saya sekarang juga. Barangkali dia ada di tempat bilyar di Cikini. Langsung saja ke situ.” “Baik, Pak,” kata Lukman, memberi tabik menurut cara tentara, yaitu menaruh telapak tangan di depan mata kanan, lalu mundur setapak, berputar kaki, kemudian pergi. Sejam kemudian Lukman datang melapor kepada Dharsana, “Todung tidak ada di Cikini, Pak.” “Ketemu temannya yang bernama Bon Jovi di situ?” “Tidak juga, Pak.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 9 SEKARANG di mana itu Todung? Dharsana tahu di mana Todung berada. Di atas mobil yang meluncur di Jl. Sudirman, Dharsana menelefon Todung di nomer kode 0251. “Hei, Monyet, kamu di Bogor?” “Ya, Pak Bos,” jawab Todung. Dia selalu memanggil Dharsana ‘Pak Bos’. Dan apabila dia menjawab omongan Dharsana lewat telefon begini, dia pun membungkuk­bungkukkan badan sembari memegang kanjut. “Kamu tunggu di situ,” kata Dharsana. ”Lukman akan jem­ put kamu.” “Ya, Pak Bos.” Todung menunggu dengan duduk dan berdiri, berdiri dan duduk, berulang kali selama dua jam, di rumah kecil daerah perkampungan padat Cangkurawok, di luar timur pagar kampus 50 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado IPB, Dramaga, di mana istrinya membuka warung dengan peng­ hasilan pas­pasan. Menjelang senja, ketika matahari tidak terlihat karena di­ halangi pohon­pohon besar di sekitar pagar itu, Lukman tiba di mulut gang rumah Todung. Lukman hanya memencet klakson, tanpa turun dari mobil, dan Todung segera keluar dari rumahnya, melangkah bergegas­ gegas, dan masuk ke dalam mobil tanpa bicara apa­apa. Sang sopir juga tidak bicara apa­apa. Lukman hanya me­ lihat saja lewat kaca di depan kepalanya, mengetahui bahwa Todung sudah duduk di dalam mobil, lantas memajukan mobil itu, meluncur ke jalanan yang agak menanjak, sampai tiba di jalan besar, jalanan provinsi yang menghubungkan Leuwiliang ke arah Bogor­kota. Setelah itu, di jalan tol Jagorawi Lukman memacu mobil­ nya ke arah Tebet, ke rumah kosong berhalaman besar, dan berpagar tembok yang tinggi, terutama di bagian belakang yang berbatasan dengan rumah orang lain, tinggi temboknya sampai empat meter. Di ruang tengah rumah itu Dharsana menunggu Todung. Kendatipun hari belum malam, tapi keadaan dalam rumah ini gelap seperti malam. Hanya satu lampu yang dipijarkan, dan lampu itu berada di atas meja bundar di tengah ruang. Di depan meja itu kini Dharsana menarik kursi untuk du­ duk menghadapi Todung yang telah duduk lebih dulu di se­ berangnya. “Ini waktunya,” kata Dharsana, lantas terjeda, menatap tajam ke muka Todung di bawah sinar lampu lima wat yang ter­ tutup topi. Todung mengerut dahi, memandang dengan pertanyaan dalam pikiran yang tidak cendekia, namun licik seperti ular. Jus­ tru sifat itu pulalah yang membuat Dharsana percaya kepadanya 51 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo untuk tugas­tugas yang berhubungan dengan perasaan marah dan benci yang sangat pribadi. “Ya, Pak Bos,” kata Todung setelah menunggu sekian detik jeda dalam kalimat Dharsana itu. “Saya ingin kamu mengirim Marc ke neraka,” kata Dharsana. “Marc anaktiri Pak Bos?” tanya Todung tanpa perasaan apa­apa, misalnya kaget, canggung, ataupun ragu. Sebaliknya Dharsana geram. “Diam kamu!” katanya me­ makah meja. “Pikir! Bukan tanya!” Todung menundukkan kepala. “Ya, Pak Bos.” “Pikir yang benar,” kata Dharsana lagi. “Coba cari wayang yang bisa kamu mainkan.” “Ya, Pak Bos,” sahut Todung, dan hebat, untuk perkara jahat dia bisa cepat berpikir yang diharapkan oleh Dharsana. “Barangkali kita bisa manfaatkan Kartini Cahyaningsih.” Dharsana tertegun. “Apa?” “Ya, Pak Bos,” kata Todung. “Kita bisa manfaatkan dia.” “Dia?” Dharsana tak paham yang dikatakan Todung. “Siapa itu?” “Dia teman saya sejak kecil,” kata Todung, “Saya bisa minta dia jadi wayang. Untuk peran apapun dia sanggup melakukan, Pak Bos.” “Yang benar?” “Benar, Pak Bos. Pokoknya Pak Bos serahkan saja semua soal itu kepada saya. Nanti saya minta dia melakukan tugas wayangnya itu dengan sempurna.” “Bukan cuma sempurna,” kata Dharsana mengingatkan dengan mata melotot. “Ini rahasia.” “Paham, Pak Bos,” kata Todung. “Saya yakin Kartini Cah­ yaningsih itu wayang yang baik.” “Apa katamu?” 52 “Ya, Pak Bos. Kartini Cahyaningsih itu wayang yang baik.” “Menurut kamu, wayang yang baik itu seperti apa?” Todung tersenyum dalam rasa takut­takut. Katanya, “Wa­ yang kan tidak sama dengan aktor, Pak Bos.” “Bedanya...?” tanya Dharsana menguji. “Aktor kan dilepas oleh sutradara untuk memainkan perannya,” kata Todung. “Kalau wayang lain: wayang memain­ kan perannya dengan tetap dipegang oleh dalang yang meng­ gerakkannya, Pak Bos.” Dharsana mengangguk. Todung meminta pembenaran. “Bagaimana, Pak Bos?” Aneh, Dharsana membenarkan. “Jalankan saja.” Aneh pula, Dharsana bahkan tidak bertanya lebih jauh dan lebih rinci siapa Kartini Cahyaningsih yang disebut Todung itu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 10 TODUNG berteman dekat dengan Kartini Cahyaningsih sejak masih duduk di bangku SD. Tak heran Todung mengetahui persis isi perut Kartini Cahyaningsih. Tak dinyana Kartini Cahyaningsih tampil sebagai kunci uta­ ma yang membuka rahasia­rahasia pelik seorang biangkerok yang membuat jalan hidupnya menjadi seru. Dia hebat dan penting diingat, tanpa dia mengetahui akan kemampuan yang dipunyai­ nya. Bilanglah: Kartini Cahyaningsih harus ada di sini supaya keberadaan yang lain­lain di luar dirinya menjadi jelas ada pula. Kartini Cahyaningsih bukan nama perempuan. Dia laki­ laki tulen, normal, maco, dan seterusnya. Di atas mulutnya ada kumis ketal model Saddam Hussein, di bawah mulutnya ada janggut carang seperti Ho Chi Minh, sementara di antero tu­ 54 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado buh: punggung, dada, perut, tangan, kaki, semuanya ditumbuhi bulu­bulu lebat, selebat di bagian yang saru. Kira­kira sosoknya hanya beda tipis dengan orangutan Borneo. Entah itu karunia Ilahi atau hanya kutukan dewata, tiada seorangpun yang ter­ panggil untuk membahasnya. Sejak kecil dia biasa diejek oleh teman­teman sekolah karena namanya itu. Dia pun telah protes berkali­kali kepada ayahnya: Kenapa Ayah memberinya nama perempuan. Namun ayahnya selalu menanggap dengan tenang: Suatu waktu nanti sang kala akan menjawab itu. Dia sudah menunggu sekian tahun tanpa bertanya tentang waktu yang disebut ayahnya, dan dia merasa jengkel sebab makin lama makin kuat dia mengira: ayahnya hanya mengada­ ada yang mustahil. Akhirnya, ketika dia duduk di kelas II SMP, dia menulis namanya dengan inisial: KC. Dengan ini dia merasa keren men­ tereng. Dan dia bisa memukul teman sekolahnya yang melafal ini secara Indonesia: ‘ka­ce’. Maunya, dengan inisial ini orang melafalnya secara Inggris: ‘kei­si’. Jadi, kalau dieja mengikuti ketentuan Inggris, lafal ini bisa berubah tulisan menjadi ‘Casey’, persis nama pengarang drama Irlandia yang komunis itu: Sean O’Casey.1 Tapi percayalah, baik ayahnya maupun kakeknya, apa lagi dirinya sendiri, pasti tidak kenal nama itu. Casey yang mungkin dikenalnya—sebagai orang Indonesia yang gandrung menjadi tawanan budaya pop Amerika yang kapitalis itu— adalah Al Casey, pemusik R&B.2 Di kelas III SMP dia berhenti sekolah. Dia dikeluarkan sebab berkelahi melulu. Ayahnya membawanya ke sasana tinju Banteng Ketaton di Kelapa Gading untuk diarahkan saja menjadi petinju bayar­ an. Hatinya girang di situ. Setelah berlatih setahun dia di­ 1 Dramanya a.l. Purple dust; Red roses for me, The silver Tassie. 2 Lagunya a.l. One sweet blues; Honky tonk train blues; One o’clock jump. 55 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo terjunkan ke arena. Kehadirannya mengejutkan. Dalam semua pertandingan dia menjadi juara. Dia puas dan bahagia, sebab dengan memukul­mukuli orang di atas ring dia mendapat uang. Rupanya masa menyenangkan hatinya itu tidak berlang­ sung langgeng. Kelak dia sadar akan kesalahannya, tapi ter­ lambat. Muasalnya, dalam pertandingan yang terakhir tiga ta­ hun lalu—dan pertandingan itu disaksikan banyak orang karena ditayangkan TV—dia begitu bernafsu kelahi, tak terkendali, terus menghajar lawannya—padahal lonceng ronde sudah di­ bunyikan—menyebabkan lawannya itu tumbang di atas ring lantas mati. Masih berulang dua kali lagi dia memukul orang sampai mati di atas ring, dan setelah itu tamat. Dia dipecat dari semua kegiatan tinju bayaran. Dia frustrasi, merasa terbuang, merana, aksi bengong: saban hari hanya menggaruk­garuk pringsilan. Justru di saat begitu dia ngotot harus kawin, dan dia pun kawin dengan Pujiastuti, gadis 20 tahun, putri pensiunan pega­ wai pos yang bekerja sebagai pramuniaga di toserba Blok M. Celaka 12, Pujiastuti kedapatan mengutil parfum yang dimasukkannya di dalam kutang, dan oleh karena itu istrinya ini kehilangan pekerjaan, dipecat pula. Melamar kerja di mana­ mana, di semua toserba, mulai dari Jakarta Barat sampai Jakarta Timur, dan dari Jakarta Utara sampai Jakarta Selatan, sudah dilakukannya, tapi sial melulu—sudah jatuh dihimpit tangga masih menginjak tahi pula—tidak ada yang mau menerima se­ seorang bercap: tukang ngutil. Satu­satunya peluang bagi Pujiastuti hanya menjadi juru pijat di panti pijat Jl. Mangga Besar. Dibilang berpeluang se­ bab kebetulan Pujiastuti tergolong wanita mollig. Payudaranya besar, berimbang dengan pinggulnya, sesuatu yang sangat me­ menuhi selera opa­opa Angkatan 45 dan om­om Angkatan 66. Syarat ini memang harus dikemukakan secara terbuka, sebab banyak orang, terutama bapak­bapak yang biasa berbaju safari 56 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado atau berjas­dasi, selalu pura­pura tidak tahu dan bahkan pura­ pura suci, seakan­akan tidak pernah mengerti bahwa juru pijat di panti pijat sangat ditentukan oleh standar­standar hiburan—untuk tidak mengatakan yang sebenarnya: standar­ standar mesum—yaitu, mula­mula si juru pijat memijat­mijat tamunya, lalu setelah itu si juru pijat menyediakan dirinya untuk dipijat­pijat oleh tamunya, diisap­isap, dimut­mut, di­ tusuk­tusuk, dan seterusnya. Begitu gerangan KC mesti merelakan istrinya menjadi sun­ dal di panti pijat kawasan Pecinan. Sebagai suami yang tidak punya kepandaian lain selain bertinju, dan kini menganggur, dia terpaksa harus menjadi benalu, bergantung penuh pada Pujiastuti: tidak peduli bahwa matapencarian istrinya itu ada­ lah semata­mata hanya urusan sewa­menyewa kelamin. Dialah contoh suami belegug—setidaknya sekarang—yang menumpang makan di meja istri. Dan, lakilaki macam begini, artinya yang kadung menjadi seperti ini, betapapun penampilan sosoknya tampak sangar, antaralain karena badannya yang ditumbuhi bulu­bulu itu, perangainya menjadi sangat absurd, manut sekali pada istrinya, melebihi dungunya seekor kerbau Celebes yang dicucuk hidungnya. Apa boleh buat, demikian inilah jalannya takdir KC, si kerbau dungu yang saban hari mesti menunduk­nunduk di hadapan Pujiastuti, mengantar dan menjemputnya dengan sepedamotor butut buatan Jepang 1970­an; pergi pada jam 10.00 pagi dan pulang pada jam 12.00 malam. Jarak rumah mereka dengan tempat kerja Pujiastuti sekitar setengah pan­ jang dari bentang garistengah Jakarta. Rumah mereka di Pasar Rebo, bukan rumah sendiri tapi rumah kontrakan, rumah khas Betawi sisa zaman kuda gigit besi: bagian depannya bukan dibatasi dengan kaca melainkan kawat anyaman yang lazim dipakai untuk kandang­kandang hewan. Biasanya perlu waktu 57 satu jam perjalanan yang kudu ditempuh KC dengan sepeda­ motornya itu dari bagian Jakarta Timur ke bagian Jakarta Barat. Lebih­lebih pada setiap malam Minggu awal bulan. Walaupun susah, terlecehkan, dan mestinya makanhati, toh KC melakoni nasib ini dengan perasaan sukarela, sukahati, sukacita, dan suka­suka. Hanya manusia­manusia kelas ra­ hib atau resi yang barangkali bisa memahami keberserahan ganjil ini sebagai pilihan yang waras, dan bukan sebaliknya keberuntungan yang sinting, yang bego, yang bebal, dan se­ terusnya. Termasuk bagian­bagian itu—yang disebut sebagai isi pe­ rut KC—diketahui dengan persis oleh Todung. Maka jangan heran bila dari pengetahuan itu akan lahir gagasan­gagasan cundang dengan upah yang tidak masuk akal. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 11 WATAK KC yang temperamental, gampang naik darah dan suka memukul orang serta pukulannya mematikan itu, kini sedang dibahas oleh Todung dengan beberapa orang berwajah rusak berat yang mau diajak melakukan kejahatan dengan upah tertentu. Katakanlah orang­orang itu para keparat yang biasa memperoleh keuntungan dari kerugian, atau yang biasa menikmati kesenangan dari kesedihan orang. Untuk dibilang menarik, tampang­tampang mereka sung­ guh jauh api dari panggang. Rata­rata tampang mereka tidak enak dipandang. Kecuali Todung yang agak gondrong, maka semua jahanam itu berambut cepak seperti model rambut tentara GI (yang pada 30 tahun lalu banyak tertular penyakit kelamin Vietnam Rose). Todung sendiri, bila ditakar dengan tampang­tampang jahanam lain yang serius mendengar omongannya tentang 59 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo KC, akhirnya harus dibilang dengan ungkapan remaja: rusak tampang luar biasa. Bayangkan saja, hidungnya boleh dibilang tidak ada. Maksudnya, hidungnya itu plat, seperti disetrika, dan itu menimbulkan daya imaginasi yang liar, seakan­akan seperti dua lubang sakelar: tinggal dicoloki kabel fan maka kipas angin pun langsung hidup. Maklum, ruang tempat mereka bertemu ini pengap. Semua jendela ditutup. Dan lampu yang berpijar, terangnya cuma pas di meja bundar. Di bagian yang gelap ada cermin transparan. Di balik cer­ min itu duduk Dharsana memperhatikan. Sekali­sekali Todung melihat ke arah itu. Tidak diragukan, pertemuan di rumah kosong ini, adalah atas gagasan Dharsana. Di rumah ini, yang halamannya lumayan luas, dan terletak di Tebet, takkan pernah diwasangkai orang sebagai rumah tempat Dharsana melakukan hal­hal yang tidak masuk akal samasekali. Sekadar memberi gambaran sederhana: Dharsana sangat percaya pada tahayul. Buat orang yang tidak percaya tahayul, maka kepercayaan tahayul menyangkut tindakan­ tindakannya dianggap berhubungan dengan karsa kegelapan, ikhtiar zindik, pekerjaan setani. Lihat saja nanti apa yang akan dikatakan Dharsana ketika dia keluar dari balik cermin transparan itu. Todung menghormatinya dengan rasam yang melebihi adat budak terhadap Belanda pada abad ke­19. Maunya, supaya jahanam­jahanam yang ada di situ melakukannya dengan cara yang sama. Dia membungkukkan badan, menekukkan lutut, sambil menyebut Dharsana sebagai “Pak Bos”. “Silakan Pak Bos sampaikan sendiri,” kata Todung. Sebelum berkata apa­apa Dharsana memandang secara khusus kepada Anto Irawan, danres di wilayah Jakarta Pusat, 60 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado dalam cerita ini dikenal sebagai aparat negara yang imannya kedodoran: biasa menjual narkoba sitaan kepada pemakai, dan juga senjata api. “Ini operasi rahasia,” kata Dharsana. “Kalau sampai bocor, saya sendiri yang akan mengeksekusi kalian.” Semua diam. Mereka menunggu lanjutan omongan Dharsana. Tapi kelihatannya Dharsana merasa kalimat yang baru dilisankannya itu sudah cukup untuk diingat sebagai isya­ rat mengancam. Dharsana mengangkat tangan kanan, mengarahkannya kepada Todung, maksudnya supaya Todung yang menyampai­ kan apa yang diinginkan Dharsana tentang ‘operasi rahasia’ tersebut. “Begini,” kata Todung. “Pak Bos ingin KC dibikin sebagai kambing hitam untuk menghabisi anak kurangajar.” Anto Irawan mengacung. “Boleh saya bertanya?” Dharsana memandang polos, tanpa kata. Todung menjawab dengan anggukan dan kata. “Silakan.” “Siapa yang dimaksud dengan anak kurangajar itu?” tanya Anto Irawan. Todung memandang dulu ke arah Dharsana, maksudnya meminta persetujuan untuk menjawab pertanyaan Anto Irawan tersebut. Dharsana kembali mengangkat tangan, dan menunjuk ke arah Todung, tanpa kata­kata. “Itu anak yang tinggal di rumah kayu­papan,” kata Todung. “Lo?” Anto Irawan kaget, dan sertamerta mengalihkan pandangannya ke arah Dharsana. “Rumah kayu­papan itu kan rumah Bapak?” Dharsana mendengus tanpa bicara, tapi kemudian ter­ senyum sebagai arti lain dari membenarkan pertanyaan Anto Irawan. 61 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Anto Irawan seperti tidak percaya melihat itu. Maka dia bertanya dalam kadar pernyataan. “Kalau begitu anak itu ada­ lah anak Bapak?” Dan, tak disangka Anto Irawan, sekonyong Dharsana ber­ diri di sebelahnya, lantas berkata dengan rasa percayadiri yang sangat tinggi, sekaligus sikap yang tinggi hati pula, “Saya tahu apa yang saya inginkan. Jangan tanya bahwa yang saya inginkan ini di luar kelaziman. Bagi saya, yang tidak lazim pun tidak berarti samasekali tidak maujud. Kita belajar hal yang maujud itu dari sejarah peradaban tentang kebajikan yang diejawantah melalui kebijakan rumit. Dalam sejarah itu, yang diyakini oleh orang­orang beragama, kita tahu bahwa Nabi Ibrahim pun dulu harus sampai pada kebijakan tentang kebajikan membunuh anaknya sendiri: Ismail dalam versi Islam dan Isak dalam versi Yahudi dan Kristen.” Semua termangu­mangu mendengar omongan Dharsana. Sempat terjadi jeda sekilas. Dharsana mengambil minuman di atas meja, entah bekas siapa, dan menenggaknya. “Nah, apa ada hal yang membingungkan dari yang saya inginkan itu?” kata Dharsana sembari menaruh gelas yang isi­ nya baru diminumnya. Todung yang lebih dulu menjawab, dan berbarengan di­ ikuti oleh mereka yang lain di situ. “Tidak ada,” kata mereka. “Boleh saya tanya,” kata Anto Irawan sambil mengacung. “Ya,” jawab Todung setelah menerima anggukan kepala dari Dharsana. “Apa ada skenarionya?” tanya Anto Irawan. “Begini,” jawab Todung. “KC dipancing supaya marah. Waktu dia marah, dia akan memukul anak kurangajar itu. Pukulannya pasti mematikan.” 62 “Kalau ternyata tidak mematikan?” “Di situlah skenarionya. Ketika KC memukul, pacar anak itu sudah lebih dulu menaruh racun boat ke tubuhnya. Artinya, dia dalam keadaan rawan. Pukulan yang selembut apapun, pasti akan membuatnya mati.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 12 KELIHATANNYA Todung paham betul arah jalan pikiran Dharsana. Dia pun sudah mengurai dengan lancar, dan kesannya pintar, soal siasat macam mana yang mesti dilaksanakan oleh nyapang­nyapang atau konco­konco premannya, pas pada wak­ tunya nanti. Kendati begitu, di keesokan harinya, di tempat bilyar Cikini, nyapang premannya yang bernama asli Anang tapi dipanggil Bon Jovi, tampak meragu lantas menakar kesungguhan Todung, dan membuat orang kepercayaan Dharsana ini—sekurangnya sekarang memang Todung diandalkan kepintarannya dalam be­ ragam main kayu—harus menjawab dengan banal pertanyaan Bon Jovi. Mulanya, karena Todung berkata, “Pak Bos ingin menjadi dalang yang lihai, dan kita jadi wayang yang mengerti arah kemauannya.” 64 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Dalang sih dalang, wayang sih wayang,” kata Bon Jovi sembari menyodok bola di atas meja bilyar. “Tapi tetap ada pertanyaan aneh.” “Anehnya bagaimana?” Jawaban Bon Jovi berikut ini adalah pertanyaan yang sepenuhnya iktirad namun tangkas: “Yang gua nggak habis pikir, Dung, kenapa Pak Bos berbelit­belit begitu? Mau menghabisi anak tiri aja kok urusannya bertele­tele. Harus pakek alasan cari kambinghitam KC. Harus menunggu waktu. Harus ini­itu. Muter­muter capek kayak film India.” “Mau lu gimana?” tanya Todung, bertanya bukan sebab tidak paham akan taswir cela yang diungkapkan Bon Jovi, tapi karena dalamnya dia sendiri mengakui adanya sisi­sisi benar dari pikiran temannya itu. “Yang praktis dong,” kata Bon Jovi. “Praktis lu itu kayak apa?” Sambil berkata begini Todung mengambil bola­bola lantas menaruhnya di tengah untuk siap disodok kembali. “Coba lu bilang, praktis lu itu gimana?” “Yang nggak tele­tele dong.” “Misalnya?” “Pokoknya bukan cara film India. Pakek cara film Holly­ wood: culik ke tempat sepi, lantas dor di kepala, buang di laut, selesai, wasalam,” “Ya, memang,” kata Todung, tampaknya terbawa dalam acuan rasa tenahak Bon Jovi. Bon Jovi mencecar. “Lo? Kenapa dong lu nggak usul begitu sama si bos?” “Nggak bisa,” jawabTodung tegas. “Lu nggak kenal Pak Bos sih. Pak Bos itu ngerti irama. Buktinya dia senang nyanyi. Lagu favoritnya Sepasang Mata Bola. Artinya, barangkali dalam ira­ ma yang sebenarnya, irama kehidupan, dia mendapatkan ke­ senangan dalam ketegangan. Jadi, dengan itu kayaknya dia 65 Hotel Pro deo ingin bermain menurut cara film Hongkong. Mati harus dibikin ruwet.” “Ah, itu sih bukan cara film Hongkong,” kata Bon Jovi, tetap dalam sikap cibir. “Itu sih cara film Indonesia.” Todung ketawa melayani cibir Bon Jovi. “Kok?” ujarnya. “Memang begitu,” jawab Bon Jovi sambil menyodok bola. “Cara film Indonesia menyelesaikan masalah kan modelnya ‘tegang­tegang nggak lucu’, ‘lucu­lucu nggak masuk akal’, ‘pin­ pin­bo: pintar­pintar bodoh’, atau malahan ‘bo­la­pin: bodoh berlagak pintar’.” “Jangan gitu dong lu,” kata Todung. “Kita ini kan alat. Untuk menyenangkan hati bos. Yang penting: hepeng.” Bon Jovi menggeleng­geleng kepala, namun tak urung me­ nerima dengan sederhana alasan yang diperkatakan Todung. “Lantas, kapan kita bikin pertunjukannya?” tanya Bon Jovi, memaksudkan pelaksanaan tugas papakerma itu dengan istilah ‘pertunjukan’. “Semuanya tergantung dari kita­kita juga,” jawab Todung, memegahkan diri. “Setelah ibunya berangkat ke Prancis.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dharsana sendiri merasa puas dengan orang­orang jaha­ nam yang bisa dibikinnya sebagai robot­robot. Dia yakin betul bahwa Todung dan nyapang­nyapang atau teman­teman pre­ mannya yang berkumpul di rumah kosong Tebet, benar­benar merupakan begundal­begundal manusia kardus yang penurut padanya. Kepada Jeng Retno di esok harinya dia memulai percakap­ an puasnya itu dengan penampilan pede yang melebihi batas lumrah. Sambil berjingkrak menggoyang­goyang pantat— tak sadar bahwa penampilan ini wagu untuk orang seusianya dengan pakaian safari pula—dia berkata, “Mereka akan main film sesuai ideku.” 66 www.bacaan-indo.blogspot.com Jeng Retno tak mengerti arah percakapan Dharsana. Maka dia bertanya, “Mereka main film apa? Mereka siapa?” Dalam hendak menjawab pertanyaan Jeng Retno, sekilas Dharsana teringat pada pelajaran bahasa Indonesia di SMP dulu, dan dia pun mengucapkan sebuah larik yang ternyata berasal dari puisi Chairil Anwar: “Kalau sampai waktuku...” Jeng Retno judeg. “Oh my God. Waktu apa? Dikau omong apa ini, darling Mas? What’s the matter?” Dharsana ketawa. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Jeng Retno, berbisik dengan gembira, “Aku sudah menugaskan cecunguk­cecunguk untuk melaksanakan bisnis kita.” Jeng Retno girang. Dia cepat tanggap. Dia segera mengerti apa yang dimaksudkan oleh Dharsana. “Really?” kata dia sembari merenggangkan jarak wajahnya dengan kepala Dharsana agar dia bisa melihat airmuka lawan bicaranya ini. “Maksud dikau Intan akan perlu menyemprot Ventolin sebanyak satu tabung elpiji untuk asmanya?” Bersamaan dengan itu Mayang hadir di situ. Melihat ibunya dan Dharsana tertawa­tawa, berkata Mayang dengan syak, “Apa kalian berdiskusi lagi soal ‘heating pad’?” Baik Jeng Retno maupun Dharsana sama­sama seperti dua pemain kartu yang buyar konsentrasinya karena digrebeg polisi. Dharsana cepat menyesuaikan irama ini dengan kelit yang cerdik. Katanya sambil menghampiri Mayang, “O, ya, Yang, Om Dhar punya sesuatu yang lupa Om bawa.” “Apa itu, Om Dhar?” “Nanti Om kasih di rumah Om.” Jeng Retno pun mengelus­elus punggung Mayang, cenge­ nges tapi juga menjeb­menjeb, seperti adegan dalam film Indo­ nesia. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo *** 68 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 13 TIDAK ada perasaan syak dalam diri Marc pada hari ini: hut­ nya yang ke­19. Tidak ada juga keceriaan yang berlebihan. Tidak pula pengharapan yang meredup. Sementara menit­menit berjalan sebagaimana kodratnya dan di dalamnya Marc mengikuti iramanya tanpa beban di kepala di hati di jiwa di raga. Padahal perasaan apapun yang ada dalam sukmanya pada hari ini, yakin, takkan ditemuinya lagi pada hut­nya yang ke­20 nanti. Sebab, pada hari­hari yang berjalan di depan, hidupnya sedang ditentukan oleh bukan Tuhan tapi Setan. Pagi­pagi, bersama ibunya Marc pergi ke beberapa tempat, mengurus beberapa hal yang berhubungan dengan hut­nya dan keberangkatan ibunya ke Prancis. Ibunya, Intan, lebih suka di­ panggil Ibu Intan, demikian tertera di kartunamanya, padahal 69 Hotel Pro deo nama asli ibunya membutuhkan 66 huruf Latin mewakili A sampai Z: Intan Çri Laxmi Qadarvati Wahyuning Fauziana Josephina Erica Karmelia Bunga. Mula­mula mereka pergi ke tempat pesan tiket untuk keberangkatan ke Prancis. Lalu ke kantor kedutaan Prancis untuk mengurus visa. Setelah itu ke toko buku di Jl. Matraman Raya, membeli gitar Dobro untuk hadiah hut Marc. Dan terakhir ke toko kue mengambil pesanan tar dengan 19 lilin yang akan diupacarakan nanti malam. Ketika berada di kantor maskapai penerbangan, Ibu Intan bertanya—dan pertanyaan ini bukan baru sekali ini—apa benar Marc tidak mau ikut ke Prancis. “Mumpung belum dibeli, Mama tanya lagi, apa kamu tidak mau ikut ke Prancis, ketemu Tante Edith dan Oncle Jean?” “Tidak deh, Ma,” kata Marc, “Mama saja.” “Kalau Tante Edith dan Oncle Jean tanya, Mama bilang apa?” “‘Marc masih ada ujian semester.” “Ya, sudah. Tapi belajar yang betul lo. Ingat: bilang tidak pada drugs, boat­boat.” “Ah, Mama.” Tentu saja yang diucapkan Marc bukan janji untuk mem­ bebaskan diri dari narkoba... www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di menit yang sama ini Mayang datang ke rumah kayu­ papan, hendak memberi kecupan hut bagi Marc. Mayang teman sekuliah, sudah berpacaran dengan Marc sejak masih di SMA, berperangai seperti bendera yang berkibar menurut kadar angin. Ayah Mayang, Sukandar yang kemudian mengeja nama menjadi Iskandar, sudah tiga tahun ini tidak pernah melihat bagaimana keadaan Mayang. Sang ibu, Jeng Retno, tidak pernah membawa Mayang bersamanya ke Nusakambangan, 70 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado menjenguk Iskandar. Kebetulan juga, setiap kali Jeng Retno hendak ke Nusakambangan, pas waktunya Mayang tidak bi­ sa meninggalkan kuliahnya. Untuk satu hal Mayang sangat bersungguh­sungguh di kampus. Itu agak berbeda dengan Marc yang santai­santai. Sampai sejauh ini Mayang tidak melihat hubungan khusus antara Dharsana dan Jeng Retno mempunyai latar negatif. Mayang hanya memandang Dharsana, yang dipanggilnya Om Dhar, semata sebagai orang tua yang orangtua. Dan karenanya sangat beralasan dia menaruh hormat dan segan terhadap Om Dhar. Lagi pula Dharsana menyambut Mayang juga dengan sikap yang sangat membapakkan diri. Mayang tidak pernah tahu, dan untuk hal ini dia sangat lugu, bahwa mata Dharsana dalam melihat dirinya bukanlah mata seorang orangtua yang orang tua. Tak diketahui Mayang, bahwa mata Dharsana tampak jelalat mewakili pikirannya yang mukah melihat payudara Mayang yang kencang tanpa beha di balik blus tipis dengan dua kancing bagian atas dilepas. “Ayo, duduk saja dulu,” kata Dharsana. “Marc dan ibunya sedang ke kedutaan dan mengambil pesanan kue tar. Sekalian Om mau omong­omong sama kamu.” “O, ya, Om,” kata Mayang sambil ke kursi ukir, duduk memangku kaki, wajah ceria. Dharsana melemparkan senyum kepada Mayang, kemu­ dian masuk ke dalam, mengambil sebuah buku kecil, lalu kem­ bali lagi ke depan, duduk di hadapan Mayang sambil menulis angka­angka tertentu di buku kecil itu. Hutami, pembantu Ibu Intan yang setia dan lucu karena bicaranya selalu disertai dengan peribahasa­peribahasa yang terbalik­terbalik ucapannya itu, sempat melihat Dharsana mengambil buku kecil tersebut. Dia melihat Dharsana, tapi 71 www.bacaan-indo.blogspot.com Dharsana tidak melihat dia. Dia tahu, buku kecil yang dipegang Dharsana itu adalah buku lembaran­lembaran cek. Di serambi depan, sehabis menulis angka­angka di cek itu, Dharsana mencabiknya lantas memberinya kepada Mayang. “Ini buat kamu,” kata Dharsana. Mayang mengambil cek itu. Dia baca yang tertera di situ: angka­angka disertai huruf­huruf yang dieja untuk menerang­ kan jumlahnya. “Lima juta, Om Dhar?” kata Mayang takjub. “Ya,” sahut Dharsana. “Buat apa ini, Om Dhar?” “Sudah Om bilang, itu buat kamu. Terserah kamu mau pa­ kai buat beli apa. Barangkali kamu ingin beli hadiah ulangtahun buat pacarmu?” “?” Tak ada kata di mulut Mayang. Yang ada kebingungan di benaknya. Dia tak tahu mesti bilang apa. Namun, jika ada rasa takzim, tentu itu menyangkut anggapan yang sertamerta timbul dalam pikirannya bahwa Dharsana sangat peduli pada dirinya dan Marc. Maka, dia berdiri dari duduknya, menghampiri Dharsana dan memberi sun sebagaimana lazimnya tanda hormat. “Terimakasih, Om Dhar,” katanya. Dharsana memanfaatkan sun hormat itu dengan gairah kelakiannya yang mukah: memeluk erat­erat tubuh Mayang dan merasakan payudara gadis itu menempel di perutnya. “Iya, sama­sama,” kata Dharsana. Mayang melepas diri dengan santun. Dan Dharsana pun pura­pura bersikap wajar, kembali se­ bagai orang tua dari orangtua pacarnya. “Nah, simpanlah cek itu,” kata Dharsana. Mayang menjadi ragu. “Tapi...” Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com “Sudahlah,” kata Dharsana membujuk. “Om senang sebab kamu menjadi pacar Marc. Nanti, kalau kamu butuh uang, bilang saja sama Om.” Mayang merasa pernyataan Dharsana itu tulus. “Ya, Om Dhar,” katanya. Sebetulnya dia sendiri seperti tersihir untuk berkata begitu. Percakapan ini seluruhnya didengar oleh Hutami yang berada di sebelah dinding papan. Dengan demikian, bolehlah dikatakan, bahwa adegan ini merupakan contoh acuan: “dinding punya telinga”. Jelas kasad ungkapan ini mengarah ke risiko­risiko fadihat. Masalahnya, sampai kapanpun Dharsana tidak menyadari dindingnya bertelinga. Rasa percayadirinya sebagai perwira dengan kekuasaan tertentu telah mengabaikan hal sepele di rumahnya. Sementara Mayang pun tidak mengerti, mengapa baru sekarang ini Dharsana menjadi seperti sinterklas, memberinya uang, dan bahkan mengimbuh omongannya dengan tawaran untuk boleh meminta lagi uang kalau dia perlu. Mayang memang terlalu lugu, kepalang percaya pada pe­ nampilan kebapakan yang ditunjukkan oleh Dharsana. Karena Mayang lugu, menerima kesan lahiriah tanpa berprasangka terhadap kebapakan Dharsana, maka tak disadarinya: dirinya telah masuk dalam permainan Dharsana sebagai peran pembantu yang menentukan jalannya antiklimaks menuju ke katastrofa di ujung cerita. *** 73 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 14 Ibu Intan meminta Dharsana mengundang kolega­koleganya datang ke rumah kayu­papan untuk merayakan hari ulangtahun Marc. Ibu Intan ingin membuat pesta yang meriah sebab usia 19 merupakan akhir dari periode belasan, memasuki akilbalig. “Terserah Papa mau undang siapa,” kata Ibu Intan. Kendati tak tulus, aras­arasen, dan ogah, Dharsana berkata menyenang­nyenangkan hati Ibu Intan, “Ya.” Yang diingat Dharsana adalah orang­orang yang dekat dengannya, sekaligus bermanfaat baginya, yaitu James Winata. Selain itu, kebetulan siang ini, sebelum pesta di malam harinya, dia jumpa Rachmat Wirjono dalam rapat kecil memba­ has keadaan negeri. Rachmat Wirjono itu teman seangkatan­ nya di Akademi Polisi, tapi sekarang menjadi atasannya karena pangkatnya sudah dipanggil jendral sementara dia masih tetap komisaris besar. 74 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dalam rapat kecil siang ini, tak urung masalah yang di­ bahas termasuk rawan, sebab ini menyangkut demonstrasi­ demonstrasi mahasiswa di kampus yang disebut­sebut sebagai ‘mimbar bebas’. Rachmat Wirjono membuka pembicaraannya dengan me­ nyebut keterangan yang baru diperolehnya hari ini. Dharsana mencamkan dengan muka kecut mecucu. “Di awal 1998 ini, demonstrasi­demonstrasi bukan lagi dari organisasi resmi seperti SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), tapi juga yang setengah resmi seperti KM (Keluarga Mahasiswa) yang menyebut demonstrasi mereka sebagai gerakan moral. Mereka menyelenggarakan aksi mimbar bebas di kampus UI Salemba.” Di dalam mecucunya sertamerta Dharsana membayang­ kan anak tirinya. “Kalau saja Marc bagian dari itu, gampang sekali menyikatnya.” Kemudian dia teringa­inga. “Marc cuma generasi mahasiswa pop sampah Amerika.” Seorang di antara perwira­perwira itu memberi informasi tentang seorang perempuan yang cantik tapi sangar. Kata dia, “Di mimbar bebas itu ada seorang mahasiswa perempuan yang bicaranya gila.” “Apa maksudnya: gila?” tanya Rachmat. “Bicaranya keras. Maksud saya semua mahasiswa yang berorasi itu bicaranya keras, tapi perempuan yang saya sebut ini bicaranya keras, karena suaranya nyaring.” “Seperti apa kerasnya?” “Suaranya seperti bunyi serutan listrik.” Beberapa orang tertawa. Rachmat melanjutkan pertanya­ annya soal mahasiswa yang bersuara keras tersebut. 75 Hotel Pro deo “Sebenarnya apa tuntutannya yang keras?” “Tadi dia masih menggaung­gaungkan pernyataan Amien Rais lima tahun lalu soal keharusan suksesi pada tahun 1998 ini.” “Sudah dicatat siapa dia?” “Sedang dikumpulkan, Pak. Teriakannya tadi yang segera memanaskan para mahasiswa adalah ‘Turunkan Soeharto’.” *** Siapa yang dimaksudkan oleh perwira itu? Dia adalah Juminah, mahasiswa pasca sarjana yang me­ mang ayu, tegas, berambut pendek, berjins, dan berkaos oblong bertuliskan beberapa larik puisi Wiji Thukul: kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan engkau harus hancur Di akhir riwayat hidup Dharsana yang pasti nanti Juminah akan mengecohkannya bersama kembarnya yang bernama Tuminah. Di sana nanti Dharsana mesti mengakui, bahwa pe­ rempuan adalah makhluk yang lembut, tapi hatinya lebih tedas dari berlian. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Juminah muncul lagi di atas mimbar bebas ini pada sore harinya, dan dia dielukan oleh teman­teman mahasiswa lainnya. Katanya sambil memegang pengeras suara, “Percayalah teman­teman, kerusuhan 27 Juli 1996 yang lalu itu sebuah rekayasa kotor, dikilir dan dimanfaatkan oleh pemerintah Orde Baru ini untuk menyikat kita­kita yang pro­demokrasi. Stigma yang direkayasa oleh mereka, adalah pro­demokrasi itu neo­ PKI. Sungguh nalar mereka sudah berpindah di pantat, me­ 76 nyimpulkan yang kritis otomatis komunis, yang kiri otomatis PKI. Pakek teori apa sih mereka itu? Pasti mereka salah baca buku. Maunya berteori tentang politik, tapi bacaannya adalah ‘pedoman praktis beternak bebek’. Akibatnya keliru meleter; “Maka, mari teman­teman, kita terpanggil untuk meratap pada kebodohan Orde Baru. Kita wajib meratap di kampus kita yang dulu dibanggakan sebagai gapura Orde Baru, sekarang harus diralat, bahwa Orde Baru bukan pilihan yang waras. Pelaku­pelaku yang oleh kakak­kakak kita dulu dianggap se­ bagai johan dan cempiang, sekarang telah berubah menjadi wayang­wayang oportunis dari rezim pengisap darah belaka. Oleh karena itu, wajar kita harus menuntut orang­orang rezim Orde Baru di pengadilan internasional atas kejahatan­kejahat­ an kemanusiaan yang mereka praktikkan. Sekarang ini kita menyaksikan pertunjukan apa yang diungkapkan oleh Herbert Hoover,1 bahwa ‘semua diktator mencapai kekuasaannya lewat fitrah kebebasan bicara, tapi setelah memperoleh kekuasaannya ia membasmi kebebasan bicara lewat larangan’.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Cerita tentang Juminah yang bersuara keras itu diminta oleh Rachmat untuk terus diamati. “Dilaksanakan,” kata perwira yang ditugaskan. Tapi rupanya tugas itu akan kehilangan gelinjang. Sebab, waktu itu bulan Februari 1998, bulan paling ramai oleh mimbar bebas di UI, sementara tiga bulan lagi bakal terjadi perubahan tatanan ketika mahasiswa­mahasiswa dari seluruh Jakarta dan kota­kota lain akan keluar dari kampus­kampusnya, menduduki gedung tempat Dharsana berkantor. Yang penting sekarang, sehabis rapat kecil, Dharsana me­ 1 Herbert Clark Hoover, presiden AS ke­31, terkenal karena membangun ‘Hoover Dam’, salahsatu program ekonomi Amerika­Eropa pada babak Perang Dunia II. Hotel Pro deo nyampaikan pesan Ibu Intan kepada kolega, atasan, bawahan, untuk datang ke rumah kayu­papan menghadiri pesta ulang­ tahun Marc. Kepada Rachmat dia berkata, “Istri saya mengundang ke rumah nanti malam.” Tak urung Rachmat mencandai, mengingat kelakuan Dharsana yang terkenal di sesama lingkungan sebagai si mata­ keranjang. “Istri yang sah kan?” kata Rachmat. “Ya, Pak. Intan,” jawab Dharsana. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 78 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 15 PADA perayaan ulangtahun Marc malam ini, yang pestanya dibuat di halaman depan, di udara terbuka, sebagaimana layak­ nya pesta­pesta ulangtahun, teman­teman Marc menyanyikan lagu Happy birthday to you (yang aslinya adalah Good morning to all ciptaan Patty & Mildred Hill, 1893), disambung lagu Tiup lilinnya sekarang juga dan Potong kuenya sekarang juga (yang aslinya adalah lagurakyat Belanda Lang zal zij/hij leven). Mayang memegang lengan Marc ketika yang disebut ini meniup lilin­lilin kecil di atas kue tar bergaristengah 30 senti­ meter dengan selai es krim di dalamnya. Mayang datang ke sini bersama ibunya, Jeng Retno, wanita kontemporer yang segera menarik perhatian orang karena dan­ danannya heboh, bawaannya geger, wanginya gempar: enam merek parfum melengket di tubuhnya, sehingga orang­orang yang menderita asma seperti Ibu Intan langsung terserang se­ sak nafas. 79 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Jeng Retno hadir di sini dengan pakaian putih semu— putih yang di kalangan pesolek lazim disebut ‘broken white’— yang gombrang di bagian rok dan span di bagian blus, beda dengan baju Mayang yang hanya jins. Sebagai nyonya­rumah, Ibu Intan menyambut Jeng Retno dengan ramah, pakai cium pipi dua kali, sesuai dengan tradisi baru Indonesia sejak 1990­an. Dharsana malahan pura­pura mengambil jarak seperti orang yang sekadar kenal­kenalan dengan Jeng Retno. Sambil berdiri di sebelah Ibu Intan, Dharsana menyambut kedatangan Jeng Retno ini dengan menjabat tangannya menurut cara ramah­ramahan umum. Jeng Retno pun tak kalah pandai berpura­pura, berlagak seperti seorang ibu yang hanya menemani anaknya ke sini. Dia menjabat tangan Dharsana dengan senyum alakadar, seakan­ akan tidak pernah terlibat dalam pengkhianatan cinta terhadap Ibu Intan. Penampilan Jeng Retno yang munafik ini sungguh­ sungguh menunjukkan bakatnya sebagai pemain sandiwara yang sama munafiknya dengan Dharsana. Ibu Intan mempersilakan duduk di tengah, di antara tamu­ tamu lain yang bukan teman sepantaran Marc, tapi teman­ teman para orangtua, antaranya James Winata dan Rachmat Wirjono dan istri. Yang disebut terakhir ini tampak nyinyir keti­ ka melihat seronoknya Jeng Retno beringgris­inggris. Sambil duduk di kursinya, dan mata memandang ke bagian panggung pendek di mana sebuah grup musik memainkan lagu­lagu country, Jeng Retno berkata ganjen, “Oh my God. I like this song. I like the timbre of his voice. Soft and tender, but firm.” Mendengar omongan Jeng Retno yang nginggris atau sok­ Inggris begitu, istri Rachmat membisik di telinga suaminya, “Perempuan menor itu sakit jiwa ya? Siapa sih dia?” 80 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Itu istrinya Iskandar, bankir yang dinusakambangankan sebab kasus korupsi,” jawab Rachmat. “Kenapa, bilang sakit jiwa?” “Ya, iya­lah,” sahut istri Rachmat. “Abis, sok­Inggris.” Rachmat tidak menanggap. Perhatiannya beralih ke pang­ gung grup musik, pada pemain banjo yang memberi pengumum­ an: “Di antara kita hadir juga Ivan Falus. Kita minta menyanyi lagu protesnya yang baru, yang sedianya bakal dinyanyikannya di dalam konsernya di Pasar Seni minggu depan. Tapi, sekarang, bagaimana kalau sebelum kita minta Ivan Falus tampil di atas panggung ini, lebih dulu kita minta yang ulangtahun, Marc, tampil ke sini memainkan gitar Dobro­nya yang baru. Setuju nggak?” Teman­teman Marc menyambut riang. “Setuju!” seru mereka. Marc pun masuk ke dalam rumah, mengambil gitar Dobro hadiah ulangtahunnya yang baru dibeli di toko buku Gramedia, Jl. Matraman Raya. Dia naik ke atas mimbar, mencocokkan stem dengan instrumen­instrumen di situ: biola, banjo, bas betot, gitar 12 snar, dan setelah itu jreng­jreng. Sebelum menyanyi Marc berkata di belakang mik, khusus untuk ibunya: “Aku akan menyanyikan lagu buat mamiku yang telah melahirkan aku, dan membesarkan aku sampai sekarang. Hallo, Mamiku. Aku sayang Mami.” Wajah Ibu Intan haru. Wajah Dharsana kaku. Lalu Marc menyanyi lagu country­nya Don Williams, That’s the thing about love. Jeng Retno berusaha menunjukkan kekagumannya pada Marc dengan pujian terkesan basabasi. “Oh my God!” serunya. “What a beautiful song.” 81 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dan, ketika Marc memainkan interlud dengan petikan plektrum atas snar­snar gitar Dobro­nya itu, Jeng Retno ber­ tepuk­tepuk tangan, tetap dengan kata serunya yang khas: “Oh my God!” Ibu Intan mengerling pada Jeng Retno. Jeng Retno berkata lagi sambil memandang ke mimbar, “Wah, Marc bisa memainkan itu dengan bagus.” Bersamaan dengan itu pembantu Ibu Intan, Hutami, yang biasa memijat­mijat kaki sang majikan dan biasa pula meleter dengan kalimat­kalimat peribahasa yang terbalik, datang mem­ bawa baki berisi cawan­cawan anggur, berdiri di hadapan Ibu Intan. “Wine, Bu,” katanya. “Minum, supaya ‘sebuai bagai ber­ ayun.” Jeng Retno memandang Hutami seperti melihat sesuatu yang ganjil. Maka, sambil mengambil cawan anggur itu, Ibu Intan mempersilakan Jeng Retno mengambilnya pula, tapi sembari berkata, “Hutami senang membalik­balikkan peribahasa. Yang dia maksudkan ‘sudah seayun bagai berbuai’, artinya: seia­ sekata.” Jeng Retno mengambil cawan anggur itu sambil tertawa dan berkata, “Oh my God. Lucu sekali.” “Begitulah,” kata Ibu Intan. Di mimbar depan sana Marc menyudahi lagunya. Tapi teman­temannya meminta menyanyi lagi. “Lagi!” seru mereka. Maka Marc pun memetik lagi gitar. “Oke,” katanya. “Lagu kedua saya nyanyikan buat Mayang.” Lalu dia menyanyi lagu My country girl­nya penyanyi blues John Mayall. Mayang lena. Dia hanyut dalam lagu itu. 82 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Sementara di tempatnya Dharsana mencibir. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan tak sukanya. Akhirnya dia mengomel dalam tindakan lain dari mencela, menyatakannya dengan muka masam kepada James Winata yang duduk di sebelahnya sambil mengunyah­ngunyah ma­ kanan. “Nah, itu lo, Pak Winata yang pernah saya bilang sama Pak Winata tentang generasi muda sekarang ini,” katanya. “Coba saja lihat itu. Mau jadi apa generasi penerus kalau kepribadian mereka mengambang, tidak jelas bumi yang dipijaknya, kecuali hanya bisa meniru­niru gaya Amerika, budaya Amerika, lagu Amerika...” “Ya, Pak,” kata Winata. Pernyataan itu sebetulnya bukan tanggapan setuju. Ketika dia berkata begitu, dia hanya sekadar bisa mengeluarkan bunyi dari mulutnya untuk menunjukkan atensinya. Mestinya kalau dia mau, dia bisa memberi tanggapan yang sesuai dengan katahatinya, misalnya pernyataan yang tidak sama dengan pendapat Dharsana. Tapi dia merasa hal itu tidak penting. Baginya kata yang diucapnya itu, yang hanya “ya, Pak,” cukup menunjukkan sikapnya yang abuabu. Untuk segala hal, karena tekanan dan penindasan etnis di zaman Orde Baru, menyebabkan orang­orang Cina sebolehnya bermain di area abuabu dan terpaksa pula mesti bermain sebagai pelakon yang pandai­pandai melaraskan diri pada kaidah harmoni. Dharsana tidak melihat yang tersembunyi di balik pernya­ taan Winata. Dia kira semua omongannya itu benar. Kalimatnya berikut ini seperti hendak menguji dirinya sendiri tentang rasa benar yang sejati. “Yang saya bilang itu kan benar toh, Pak Winata?” Winata mengangguk­anggukkan saja kepalanya tanpa ber­ kata apa­apa, tapi juga sambil membagi arah pandangan mata­ nya antara ke Dharsana dan ke mimbar di depan sana. 83 www.bacaan-indo.blogspot.com Di atas sana Marc sedang memetik melodinya. “Lihat saja, tampang Melayu, tapi merasa sok­Amerika,” kata Dharsana. “Sungguh­sungguh memprihatinkan. Mereka bahkan merasa lebih Amerika daripada orang Amerikanya sen­ diri. Inilah yang disebut ‘spread­eagleism’.” Winata terhenti mengunyah, memandang dengan syak ke­ pada Dharsana, asing terhadap istilah yang diucapkan Dharsana. Dengan lugu dia bertanya: “Apa itu, Pak?” “Spread­eagleism?” “Ya.” “Ah, sebetulnya itu penyakit sosial: suatu kebanggaan yang berlebih­lebihan terhadap kehebatan dan kemegahan Amerika. Tapi khusus di sini, di Indonesia, saya anggap ‘spread­eagleism’ sebagai penyakit jiwa orang­orang Indonesia yang tidak punya kebanggaan kebangsaan, dan malah sebaliknya berpendirian sok­Amerika: bertingkahlaku pongah dan congkak yang lebih Amerika daripada orang Amerikanya sendiri.” Winata ketawa. Nasi dan lauk yang sedang dikunyahnya ikut meloncat keluar dari mulutnya. Karenanya dia berkata: “Sori.” Bersamaan dengan itu seorang perempuan kerempeng membungkuk di belakang Dharsana sambil berkata di telinga kombes: “Pa, Ci juga ingin nyanyi di depan sana.” Dharsana seperti tidak percaya mendengar perempuan ke­ rempeng yang menyebut dirinya ‘Ci’ meminta menyanyi. Tapi dia mendukung permintaan Ci. Ci adalah panggilan sayang atas nama aslinya: Sri. Lengkapnya: Sri Hartini. Bertanya Dharsana kepada Sri, “Ci mau nyanyi apa?” “Pokoknya bukan lagu yang sok­Amerika.” Dharsana senang mendengar itu. Maka dia berdiri, berjalan ke mimbar, berbisik kepada pemain banjo yang memimpin Remy Sylado grup. Bisikan itu kemudian diumumkan oleh pemimpin grup kepada hadirin. “Nah, Bapak Ibu Teman­teman, kita akan minta ke atas sini Sri Hartini dan Singgih menyanyikan sebuah lagu populer.” Stel yakin Sri Hartini menarik tangan lelaki bernama Sing­ gih ke atas mimbar. Di situ dia mencocokkan suaranya dengan tala nada instrumen yang akan mengiringnya. Dan setelah itu dia memegang mikrofon, bicara kepada hadirin: “Bapak­bapak dan Ibu­ibu, saya dan Singgih adalah putri dan putra Bapak Dharsana. Saya akan menyanyikan buat hadi­ rin, terutama Marc yang ulangtahun, sebuah lagu asli Indonesia, yang kata ibu saya—dia tidak hadir di sini—adalah lagu populer yang dulu dinyanyikan oleh Rima Melati. Lagunya berjudul Bintang kecil.” Hadirin tertawa. Tak acuh Sri Hartini dan Singgih yang berumur jalan 23 tahun ini menyanyi lagu itu. Hadirin tepuk tangan. Sri Hartini dan Singgih merasa dielukan. Mereka mengira mereka bagus. Komentar Hutami yang berdiri seorang diri di pojok, “Uh, ini yang dikatakan peribahasa: ‘menyanyi tak pandai dikatakan lantai terjungkat’.” Dengaren dia tidak terbalik menghafal peri­ bahasa. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 85 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 16 PAGI setelah pesta hut Marc—dan di akhir pesta itu disam­ paikan ‘pengumuman’ kepada hadirin bahwa Ibu Intan akan berangkat ke Prancis lusa—Dharsana pergi ke kantornya di DPRRI pada jam 08.00. Di masa­masa menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, anggota­anggota DPRRI masih lumayan tertib berkantor dan bersidang di Senayan, tidak seperti pada sekian tahun yang akan datang—ketika Dharsana sudah tergusur dari sana karena isyarat reformasi politik yang mengatur ABRI tidak berdwifungsi— di mana anggota­anggotanya seperti bambung, malas, penuh skandal, angkuh, mataduitan, tapi marah kalau dikritik. Pagi­pagi ini ponsel—yang pada masa itu masih langka di masyarakat luas—berbunyi di saku Dharsana. Dharsana mengambilnya, lantas, “Hallo.” “Aku Retno, Mas,” kata Jeng Retno di rumahnya. “Aku ingin ketemu. Boleh aku ke sana?” 86 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Tentu.” “Bisa sekarang, Mas?” “Bisa.” Tapi, “Eh, begini saja. Di sini sumpeg. Lebih baik kita ketemu di Hotel Mulia. Sambil ngopi di situ. Kita bisa bebas bicara di situ.” “Oke.” Satu jam kemudian Dharsana dan Jeng Retno bertemu di hotel yang dekat sekali dari pintu samping gedung DPRRI. Jadi, memang masih termasuk pagi untuk menghirup kopi diiringi suara musik yang teduh. Pertemuan diawali dengan basabasi khas Melayu, tapi de­ ngan bahasa Inggris aksen Amerika yang umum di film­film Hollywood, pertanda bahwa kepribadian orang Indonesia mengambang seperti kayu, untuk tidak bilang seperti tai. “Oh, I’m so sorry, I make you repot.” “Ah, tidak. Tidak repot kok.” “Aku bingung, Mas.” “Kenapa?” “Mumet; “Everybody leave me alone.” “Ada apa?” “You know my husband…” “Ada apa dengan Kandar di Nusakambangan?” “Well, the man is surely mad...” “Kandar itu temanku dulu di Jepara, di masa SMP dan SMA.” “Aku tahu,” kata Jeng Retno. “Sekarang aku rasa, tersesat dengannya. Like we are going nowhere, that’s where we’re going.” Dharsana menatap mata Jeng Retno yang berkaca­kaca. Jeng Retno mengusap matanya pelan­pelan. Dia sadar, kalau tidak pelan, bisa­bisa celak riasnya akan luntur kena air­ mata. 87 www.bacaan-indo.blogspot.com “Aku jengkel. Tidak tahu, apa itu terhadap Kandar, atau terhadap diriku sendiri. But I’m not sure I want to know what is really happened.” “Ada apa dengan diri kalian?” “Berantakan. Menggeh­menggeh. What am I gonna do, I don’t know. Like I said, everybody leave me alone.” “Kelihatannya parah.” “Memang. Gara­gara dia masuk ke dalam sana, di sana, di ‘Hotel Pro Deo’, everyday I feel like I’m biting my own fucking tongue.” “Lo? Kenapa begitu?” “Aku mengomel saban hari, berteriak kepada Tuhan, ka­ rena tagihan­tagihan di rumahku bertumpuk, tapi suaraku sia­ sia, tidak dengar Tuhan.” “Oh!” “Mauku, let me curse God, and die.” “Hei, hei, bicara apa ini?” “Aku putusasa. Mas.” “Tidak. Jangan. Bisnis kita berjalan.” “Tagihan di rumahku bertumpuk…” “Jumlahnya berapa? Banyak?” “Oh my God. Bukan banyak lagi tapi bertumpuk—I thought I just told you—bertumpuk seperti bukit.” Dharsana memegang tangan Jeng Retno. Jeng Retno merasa menang. “Sudah, tidak usah repot,” kata Dharsana mendayu. “How come?” jawab Jeng Retno meremas tangan Dharsana yang memegangnya. “Ya, sudah, begini: hitung saja dulu semua tagihan­tagihan itu, lantas bilang sama aku. Nanti aku bereskan.” Jeng Retno menganga. Wajahnya mewakili rasa kemenang­ an yang aneh. Dalam rasa suka dia berseru satu kata yang me­ ngandung rasa menguji dirinya sendiri. Remy Sylado itu.” “Apa, Mas?” katanya. “Ya, itu yang aku bilang. Nanti aku yang membereskan “Oh my God!” Ujug­ujug Jeng Retno memeluk, mencium Dharsana. Karuan Dharsana yang dikenal reputasinya sebagai sese­ orang yang banyak kedoyanannya, terutama pada perempuan, segera pula memeluk dan membalas ciuman Jeng Retno. Mereka tidak ingat lagi, ini di Indonesia, dan untuk hal begini di manapun di Indonesia yang modernnya mertanggung, selalu menarik perhatian orang sebagai sesuatu yang ganjil. Tapi di adegan ini Dharsana dan Jeng Retno adalah lakon­ nya dan orang­orang lain di situ adalah figurannya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 89 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 17 IBU Intan berangkat ke Prancis. Dharsana dan Marc mengantar ke bandara dengan dua mobil. Jika tidak terlambat karena alasan cuaca yang lumrah terjadi—dalam mana penerbangan antarbenua sangat ditentu­ kan olehnya—maka pesawat Garuda akan menerbangkan Ibu Intan selama sekian belas jam ke Bandara De Gaulle. Dua mobil yang berangkat bersamaan, tapi tak beriringan, melaju di atas jalan tol yang padat. Yang satu distir oleh Lukman dan di dalamnya duduk Dharsana dan Ibu Intan. Dan yang satunya lagi distir oleh Marc, ditemani Mayang. Sepanjang perjalanan di atas tol, Ibu Intan berulang kali menoleh ke belakang, melihat apakah mobil yang distir Marc sudah tampak di belakangnya. Kelihatannya Ibu Intan merasa cemas terhadap Marc. 90 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Mendekati gapura candibentar model Bali, yang merupa­ kan tanda pengingat memasuki wilayah bandara, Ibu Intan me­ nyambat gelisah, “Kok Marc masih belum kelihatan ya?” Dharsana menoleh pula ke belakang, sekadar hendak memberi kesan atensi atas apa yang dirasakan Ibu Intan. Padahal sebenarnya dia tidak peduli samasekali. Kalimat yang diucapnya berikut ini memberi gambaran sekilas namun juga hakiki akan apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya. Yaitu: Dharsana tidak punya rasa peduli terhadap Marc. “Ah, nanti juga mereka sampai,” katanya. “Mayang kan bersama dengan Marc.” “Justru itu, aku ragu,” kata Ibu Intan, terbias di wajahnya walanghati yang tersembunyi di dalam sukma. “Sudahlah, Ma, jangan terlalu dibawa pesimis gitu,” kata Dharsana, membujuk, seolah­olah niatnya sangat hisap, pada­ hal aslinya dia tebal telinga. “Aku tidak pesimis,” kata Ibu Intan gregetan namun juga silang­selimput. “Aku cuma mendengar gaung aneh dalam hati. Semacam...” Dharsana memotong. “Alah, sudahlah, Ma,” katanya. “Yang namanya gaung juga tidak punya kepala dan ekor. Tidak bisa dipegang.” Ibu Intan terdiam. Maksudnya, dia rasa: lebih baik dia diam saja. Ada kata­kata yang tak terucapkan di bibirnya. Seakan lidahnya diikat. Dia tidak mengerti kenapa keadaannya asing begini. Mestinya, dalam keadaan santai, dia bisa berkata bahwa keadaan pelik ini boleh dikatakan sebagai firasat tertentu akan adanya rasa tidak aman di hatinya itu karena alasan­alasan peristiwa yang sudah terjadi atas diri Marc. Akhirnya harus dikatakan dalam hati, tapi bukan diucap­ kan lewat mulut, bahwa Ibu Intan merasa berat hendak me­ ninggalkan putranya bersama suaminya yang sama­sama tidak rukun itu. 91 Hotel Pro deo Bayang­bayang gelap membentang bagai tirai di matanya. Sejumlah markah tandatanya berbaris di depan matanya itu. Dan hal itu membuat duduknya di dalam mobil terus usreg. Dharsana memang menunjukkan sikap galan sebagaima­ na galibnya seorang perwira, kasadnya tak lain adalah sebatas keinginan, jadi bukan kemauan, untuk memberi perhatian terhadap Ibu Intan supaya ikhtiarnya itu dibilang sungguh­ sungguh tulus. Tapi, tak disadari Dharsana, bahwa justru ikhtiar itu pula­ lah telah menjadi ibarat bumbu pelengkap yang mengentalkan rasa ragu yang tadi disebut­sebut oleh Ibu Intan. Kendati begitu Ibu Intan mencoba berpikiran naif seperti seorang anak. Di depan banyak orang yang berlalu­lalang di bandara, dia buat wajahnya secerah mungkin. Dharsana memeluknya dan mengecup pipi kiri dan kanan. Sambil melakukan itu Dharsana berpesan menurut cara orang­ orang yang eling. Sudah tentu peragaan ini semata­mata hanya sekadar melenturkan lidah yang kodratnya memang tidak ber­ tulang. “Jaga dirimu baik­baik, Ma,” kata Dharsana, wajahnya dibikin haru. “Papa juga,” sahut Ibu Intan. “Ya,” kata Dharsana. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Seperempat jam kemudian Marc dan Mayang tiba di situ. Lekas­lekas Ibu Intan memeluk dan mengecup pipi Marc, lalu mengucapkan pula kalimat yang sama seperti yang baru diucapkan oleh Dharsana, tapi ini dalam bahasa Prancis. “Prenez garde, Marcel Marceau,” kata Ibu Intan. Marcel Marceau! Begitu sekali­dua Ibu Intan menyebut na­ ma kesayangan bagi putranya ini: dari nama aktor mime terke­ 92 www.bacaan-indo.blogspot.com nal Prancis, yang biasa melabur wajahnya dengan pupur putih, dan Ibu Intan sedang ngidam Marc ketika menonton filmnya. Marc juga membalas cium ibunya. Dharsana membuang muka, pura­pura tak hirau. “Mama cepat pulang,” kata Marc. “Ya, Sayang.” “Mama langsung ke Lyon atau menginap di Paris dulu?” “Bergantung Tante Edith atau Oncle Jean yang jemput Mama di bandara.” “Titip salam aja buat Tante Edith dan Oncle Jean.” “Ya. Nanti Mama bilang.” “Aku sayang Tante Edith dan Oncle Jean.” “Ya. Nanti Mama sampaikan itu.” Dharsana berdiri tegak sambil melihat ke Mayang. Dia mendengar percakapan Ibu Intan dan Marc tentang nama­nama orang Prancis yang dipanggil ‘tante’ dan ‘oncle’ di Prancis sana, tapi dia tetap tidak hirau untuk mengetahui isi hati masing­ masing dalam menyebut nama­nama itu. Lebih kena boleh dibilang dengan kata­kata yang ketus, adalah: dia tidak ambil pusing dengan cerita masa lampau. Maka, selagi ibu dan anak masih bicara soal ‘tante’ dan ‘oncle’, Dharsana menjauh, menggeser empat langkah mende­ kati Mayang. Tak terlihat oleh Ibu Intan dan Marc, bahwa sam­ bil bergeser ke dekat Mayang. Dharsana mengedipkan mata ke­ pada gadis itu. Mayang sendiri cukup pandai berakting. Dia pura­pura tidak melihat kedipan mata Dharsana. Setelah itu terdengar pengumuman kepada penumpang untuk segera memasuki tempat yang memisahkan antara yang akan berangkat dengan yang mengantar. Kemudian berulang lagi kecupan­kecupan di pipi sebelum Ibu Intan masuk ke dalam, berlanjut dengan lambaian­lambaian tangan. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dharsana lebih dulu pulang. Dalam perjalanan pulangnya, menjelang berbelok ke ka­ nan di jalan tol yang bakal ke arah Grogol, ponsel Dharsana berbunyi. Yang menelefonnya Jeng Retno. Suaranya mendesah­ desah. Kemudian rasa kilik yang ditahan. “Ada di mana, Mas?” “Baru antar Intan ke Prancis.” “O. Sekarang di mana?” “Masih di jalan.” “Aku kangen, Mas.” “Aku juga. Kalau begitu, tunggu aku, aku jemput, kita makanmalam di Lembur Kuring.” “Okay, see you.” Dharsana memberi bunyi di mulutnya yang mengartikan kecup cium. Jeng Retno membalas dengan bunyi yang sama di mulut­ nya, ditambah dengan ketawa geli karena dikilik. Dharsana tidak melihat, bahwa di rumah Jeng Retno, ada seorang lelaki tukang pijat yang baru selesai mengerjakan mata­ pencariannya. Lelaki tukang pijat ini sebenarnya adalah yang disebut ‘balola’, barisan lonte lanang, biasa memasang namanya di advertensi koran pagi untuk diberdayakan oleh perempuan­ perempuan yang kelebihan hormon dan sedang penat, pening, pusing. Jeng Retno membayarnya. “Terimakasih.” “Terimakasih juga.” Dan tukang pijat itu mengecup pipi Jeng Retno. *** 94 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 18 DHARSANA tertegun mendengar suara yang serius sekali di ponselnya. “Kenapa telefon mobil kamu tidak diangkat dari tadi. Bikin pusing aja lu.” Yang menelefonnya di suatu tempat adalah Rachmat Wirjono, jendral bintang dua yang sebenarnya sama­sama satu angkatan dengannya di Akademi Polisi dulu—dan karenanya hubungannya masih tetap seperti dulu: menyapa seketemunya antara ‘kamu’, ‘kau’, ‘kowe’, ‘lu’, dan juga ‘Anda’—tapi yang ke­ dudukannya kini tak sama karena kemampuannya pun berbeda dan lebih­lebih lagi tabiatnya jauh parak sangat. Namun dalam percakapan yang maunya aci, keduanya saling menyapa ‘Pak’. “Maaf, Pak,” kata Dharsana berapologia. “Barangkali tidak ada jaringan di bandara. Saya baru mengantar istri ke Prancis.” 95 Hotel Pro deo Rachmat tidak tertarik pada apologia itu. Dia bicara soal inti masalah menurut cara komando, sesuatu yang mustahak bagi polisi. Tegas dia berkata: “Ada dua hal yang urgen kita bicarakan. Persoalan per­ tama menyangkut keadaan negeri. Soal kedua sepenuhnya me­ nyangkut keadaan diri kamu. Sekarang juga kamu ke sini. Yang lain sudah ada di sini dari tadi. “Siap, Pak.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dalam dugaan Dharsana—sebagai polisi yang duduk di dewan perwakilan rakyat, sejalan dengan doktrin Dwifungsi ABRI, yang katakanlah sudah dikodifikasi sebagai undang­ undang meliputi hak­hak ABRI melaksanakan intervensi poli­ tik—apa yang baru dikatakan Rachmat sebagai sesuatu yang urgen tersebut, niscaya berkaitan dengan keadaan negeri pada perkembangan terakhir ini, di mana terjadi ancaman serius terhadap keamanan, antaralain merajalelanya gerilya di Timor Timur, pertikaian antarsuku Madura sebagai pendatang dengan Dayak sebagai pribumi Kalimantan, bentrokan antaragama di Ambon, perselisihan kelas sosial di Irian, serta memanasnya temperatur politik di Jakarta setelah pemilu 1997. Dalam pikiran Dharsana, tentu itu persoalan pertama yang dimaksud Rachmat untuk dibicarakannya sekarang. Lalu persoalan keduanya apa? Dharsana menerka­nerka, apakah persoalan kedua yang dimaksud Rachmat adalah tentang dirinya sebagai suami dari seorang istri yang beranak remaja tiri dengan kecenderungan pancaroba yang membingungkan, sehingga menyebabkan diri­ nya tidak mudah menyeimbangkan pikiran­pikiran kodrati selaku seorang perwira dan perasaan­perasaan fitrahi sebagai manusia lelaki. 96 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dia bertanya dalam diri: Apakah benar persoalan itu yang akan dibicarakan oleh Rachmat? Kalau benar itu persoalannya, takkan mungkin diakui Dharsana dalam dirinya, bagaimana alpanya dia memelihara nurani sebagai suatu wilayah yang mesti swatantra untuk bisa dikunjungi Tuhan, dan sebaliknya asyik membiarkan nalurinya sebagai tempatnya membangun kebenaran­kebenaran sendiri menurut seleranya, sehingga tidak disadarinya betapa sulit terang masuk ke sukmanya. Konsentrasinya sekarang adalah bagaimana memanfaat­ kan waktu besok­lusa­tulat­tubin untuk digunakan dengan tepat oleh kecoak­kecoak sebangsa Todung dan teman­teman premannya menghajar anak yang dibencinya. Padahal Rachmat di depan sana, di depan perwira­perwira dari berbagai latarbelakang—yang lazim disebut­sebut oleh para pengamat militer dari luar sebagai “ABRI merah­putih” dan “ABRI hijau”—sedang membahas masalah yang serius me­ nyangkut masadepan Indonesia. Kata Rachmat, “Keadaan Indonesia sekarang seperti itu. Dan, selama matauang rupiah tidak membaik, sejak jatuhnya baht di Thailand sana Juli 1997 yang lalu, mestinya kita tahu keadaan kita akan semakin parah...” Seorang jendral bintang satu bertanya, “Separah apa?” “Taruhlah, yang paling buruk: kalau golongan yang me­ nuntut reformasi total benar­benar memenangkan permainan­ nya,” kata Rachmat. “Maka, yang kita kuatirkan kalau­kalau di ujung permainan itu Bapak menyatakan berhenti jadi presiden.” Tumben, walaupun tidak terlalu berkonsentrasi, toh Dhar­ sana bisa menyanggah. “Itu tidak mungkin.” “Alasannya?” “Bapak seorang pemburu. Pemburu yang baik tidak per­ nah meninggalkan hutan tanpa membawa hewan buruannya. 97 www.bacaan-indo.blogspot.com Di samping itu, mana mungkin Orde Baru yang lahir dari perebutan kekuasaan oleh militer terhadap sipil, akan me­ nyerahkan kembali kekuasaan itu kepada sipil dari militer. Sementara sipilnya seluruhnya hanya tukang kluruk.” “Tuntutan dalam panggung politik 1966 beda dengan seka­ rang, dua tahun pasca peristiwa Juli 1996. Maksud saya, kalau misalnya terjadi risiko yang paling buruk, katakanlah Bapak benar­benar lengser keprabon, apakah ABRI mesti kup saja. Atau apakah nanti ABRI mesti absen saja dalam perubahan itu?” Sejenak hening. Orang­orang berpikir. Setelah itu, seorang jendral yang duduk di belakang, berkata pelan, lebih mengarah pada dirinya sendiri. “Kalau ada paradigma seperti itu, apa salahnya?” Dharsana mengerling ke arah situ. Dia tidak suka pada pendapat itu, tapi dia tidak pula mau menyanggahnya. Pikirannya meloncat­loncat di luar. Tapi di dalam sini pikirannya terus terganjel pada per­ tanyaan: Mana persoalan kedua yang menyangkut dirinya akan dibicarakan oleh Rachmat. Di luar, setelah pertemuan bubar, Dharsana berlisan ke­ pada Rachmat. “Kata Anda ada dua persoalan penting. Apa persoalan keduanya, Pak?” “Kita bicarakan itu berdua, muka dengan muka.” Lalu Rachmat mengajak Dharsana ke ruang tertutup, du­ duk berhadap­hadapan. “Kita teman lama, Dhar. Tapi sebagai atasanmu sekarang, aku harus menasehati kamu. Aku dengar kamu bikin per­ tunjukan di rumah kopi.” “Pertunjukan?” “Maksudku, kamu mencium istri bankir Iskandar seperti Remy Sylado menerkam, sampai saking serunya kalian tidak sadar diri ter­ jatuh dari kursi, ditonton banyak orang.” “Itu hiperbol. Siapa bilang kami terjatuh?” “Oke, barangkali itu memang hiperbol, tapi semua orang menyaksikan kalian. Gila lu.” Dharsana angkat bahu. “Mungkin,” katanya. “Jadi cerita itu betul?” “Ah, kita lakilaki, Pak. Siapa tidak terangsang pada perem­ puan seperti dia.” “Kalau kau suka dia, itu hakmu. Tapi aku rasa, aku harus bilang, ada beberapa cerita sumbang tentang dia yang sampai di telingaku.” “Cerita sumbang bagaimana?” “Dalam gambaran orang yang menyampaikan tentang dirinya pada aku, dia itu seperti api. Aku kuatir perempuan yang panas seperti dia bisa menyunglap dirimu sebagai panitia Perang Dunia Ketiga.” “Ah!” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 99 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 19 SEBENARNYA di balik selingkuh Dharsana dengan Jeng Retno ini ada dua soal yang dituju. Begitu juga Jeng Retno. Pertama, sebagai DB yang dicap ‘doyan banget’ perempuan, Dharsana menikmati kesenangan seks dari perempuan yang panas. Tapi, dari latar hubungan itu dia menjadikan Jeng Retno sebagai jembatan untuk mencapai tujuan yang kedua. Tujuan kedua, yang tersembunyi di balik akal bulusnya, adalah kaitannya dengan dendam masa lalu, yaitu pada per­ tanyaan yang terpelihara hingga kini: mengapa ayahnya dulu, ketika dia masih di SMA, mengalami pailit. Sementara tujuan yang terpendam di dalam hati Jeng Retno, ajaib, akan diketahui Ibu Intan melalui mimpinya. Dharsana tidak pernah bilang kepada siapa­siapa, bahwa di masa remajanya dulu, ayahnya terlilit utang berkaitan dengan 100 Remy Sylado bisnis furnitur ukir di Jepara, sehingga dalam jatuh miskinnya telah menjual sebidang tanah luas di tepi pantai Jepara kepada ayah Sukandar atau Iskandar suami Jeng Retno. Belakangan ini, di tahun­tahun krisis keuangan Indonesia yang diikuti oleh tren gila­gilaan masyarakat tertentu yang ingin populer, menyumbangkan emas dan dolar kepada menteri sosial—yaitu zaman yang lazim disebut ‘krismon’— bersamaan dengan merebaknya cerita burung di kalangan nelayan Jepara, bahwa di tanah yang sekarang telah menjadi milik Iskandar, atau Iskandardinata, terdapat dua pusaka ter­ pendam yang amat sangat tinggi nilainya: pertama pusaka peninggalan zaman Majapahit, dan kedua pusaka peninggalan zaman walisongo. Karuan cerita burung itu merangsang ke­DB­an Dharsana. Di samping itu, dalam hayalan Dharsana, tanah tepi pan­ tai Jepara yang dulu merupakan milik ayahnya itu, akan bisa menjadi permai jika ditata dengan pembangunan sarana wisata yang melebihi Ancol, atau mendekati pantai yang dulu pada zaman kolonial Belanda disebut­sebut sebagai Klein Scheveningen. Dalam hayalan itulah Dharsana berbual­bual dengan James Winata yang memang bidangnya berbisnis properti, per­ mukiman, ril­estet. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Masih termasuk pagi Dharsana jumpa James Winata di hotel yang biasa, yang hanya sekian menit dari gerbang bela­ kang kantornya di DPRRI. Pagi yang sama Ibu Intan tiba di Paris. Hubungan Dharsana dengan Winata kelihatan baik sekali. Padahal di balik basabasi yang baik itu, Dharsana hanya bertindak sebagai serigala berbaju domba. 101 www.bacaan-indo.blogspot.com Ketika Dharsana bicara beramah­ramah dengan James Winata untuk pelbagai hal, termasuk sekarang soal tanah di Jepara itu, sebenarnya di dalam hatinya tersembunyi prasangka rasial yang sudah berkarat. Prasangka buruk ini, sewaktu­waktu, ketika dia tidak kuasa menahan diri, berubah menjadi benci. (Demikian nanti akan menjadi jelas, bahwa Dharsana adalah seorang rasis, dan seseorang yang bahkan berada di balik episoda tragis kerusuhan SARA di babak akhir pemerintahan Orde Baru). Kini, ketika dia berbaik­baik dengan James Winata, maka dalamnya dia berpikir tentang tujuan yang kedua, menghayalkan keuntungan dari Winata, mengira bahwa Winata yang biasa menunduk­nundukkan badan kepadanya itu dungu sehingga bisa diperdayanya. James Winata sendiri kelihatan memberi perhatian yang menggirangkan hati ketika Dharsana menceritakan tentang gagasannya membangun sarana wisata di tanah tepi tersebut. “Terusterang saya tertarik mendengar informasi Pak Dhar tentang lokasi di Jepara itu,” kata Winata. “Saya yakin, kalau Pak Winata yang menangani pem­ bangunan wisata di sana, pasti sukses,” kata Dharsana. “Saya lihat Pak Winata ini bertangan­dingin untuk bisnis ini.” “Ah, Pak Dhar berlebih­lebih,” kata Winata menampik. “Saya belum menghasilkan bukti. Yang saya kerjakan masih kecil­kecilan. Itu juga karena bantuan Pak Dhar.” “Lo, yang Pak Winata sudah bangun di Banten itu hebat. Itu menunjukkan Pak Winata luar biasa.” “Ah, tidaklah, Pak Dhar. Yang luar biasa itu Ciputra. Saya tidak ada apa­apanya dibandingkan Ciputra.” “Kelebihan Pak Winata kan muda. Pak Winata masih muda. Orang muda memiliki semangat yang besar, berani, dan kreatif.” Remy Sylado Winata ketawa, sekadar memberi perhatian semadyanya terhadap pujian Dharsana. “Omong­omong, Pak Dhar, berapa gambaran harga per satu are yang berlaku sekarang di sana?” “Wah, Pak Winata, sebaiknya kita ke sana dulu, meninjau lokasinya, baru kita cocokkan dananya. Yang penting kita sudah punya dulu dananya, Pak.” Ketika Dharsana berkata begitu, maka yang ada di dalam pikirannya, uang dari Winata itu dipakai untuk menutup tanah Iskandar, seakan­akan dia yang membeli kembali tanah bekas milik ayahnya itu. Sementara, dia tahu dari Jeng Retno bahwa keluarga Is­ kandar butuh banyak biaya, dan tidak mungkin mempertahan­ kan tanah kosong di pinggir laut yang tidak produktif. Cara pikir Dharsana sama dengan anak­anak kecil pemba­ ca komik Amerika yang berhayal tentang pusaka bangsa Inka dan Maya yang terpendam di tanah, dan akan menjadi terpan­ dang jika ia berhasil menggali pusaka itu. “Prinsipnya saya tertarik, Pak Dhar,” kata Winata. “Tapi kita harus cari waktu untuk ke sana. Cari waktu dan cari uang.” “Ah, percaya deh, Pak Winata.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 103 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 20 IBU Intan dijemput oleh Tante Edith tanpa Oncle Jean di Paris, Edith dan Jean adalah adik André. André, Edith, dan Jean bermarga Margaux, berasal dari Lyon, kota di sebelah selatan atau tenggara Paris. Secara langsung Jean dan Edith yang adik André berhu­ bungan darah dengan Marc. Sungguhpun André sudah marhum, terbunuh di Angola, adik­adiknya, Edith dan Jean, tidak abai terhadap putra André, yang sekarang—tanpa diketahui oleh Ibu Intan—sedang memasuki lingkar kejahatan yang direkayasa oleh sang ayah tiri, dan notabene adalah suami Ibu Intan. Kedatangan Ibu Intan ke Prancis, diminta oleh Edith dan Jean, berhubungan dengan kedudukan Marc sebagai putra tunggal André. Nanti, setelah Ibu Intan tiba di Lyon, baru Edith dan Jean bicara tentang persoalan penting Marc sebagai anak 104 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado tunggal André. Ketika Edith menjemput Ibu Intan di bandara De Gaulle, dan tidak melihat Marc bersamanya, hatinya tawar. Sebagai tante—bahasa Prancis ‘tante’ sama dengan kata bahasa Belanda yang diserap menjadi bahasa Indonesia—Edith sayang pada Marc. Edith masih termasuk muda untuk ukuran zaman seka­ rang. Belum nikah di usia 33 tahun, cantik seperti umumnya wanita­wanita Prancis selatan, tidak merokok, sangat teguh memeluk agama Katolik tapi pergi ke gereja hanya pada Natal dan Paskah, dan paling senang mengigit­gigit permen karet. Dialek bahasa Prancisnya khas Provençal, yaitu aksen yang lazim dikenal di selatan, di bagian sebelah timur Rhône, nama sungai yang mencantikkan Lyon kota asal André, Edith, dan Jean. Dengan aksen itu Edith menyongsong Ibu Intan di ban­ dara. “Comment vous portez­vous, Intan,” katanya dalam cara tutur sosial yang lazim. “Je souhaite que vous soyez heureux.”1 Dan jawab Ibu Intan dengan tutur yang bergairah, “Comme tu voudras. Je me porte fort bien, toujours heureux.”2 Lalu mereka ke tempat parkir, naik mobil yang distir Edith ke selatan, ke Paris. Atas usul Edith—dan Ibu Intan ma­ nut saja—mereka tidak langsung melanjutkan perjalanan ke Lyon, tapi menginap dulu di rumah Edith di Paris; sekalian untuk mengendurkan jetlek oleh penerbangan 13 jam dengan guncangan yang hebat di sepanjang langit India. Besok pagi setelah berkopi dengan croissant, mereka me­ luncur ke selatan, ke Lyon, melalui Orleans dan Nevers. Di sana 1 Bagaimana keadaanmu, Intan. Aku harap kau merasa bahagia. 2 Sebagaimana harapanmu. Aku baik­baik saja, selalu bahagia. 105 www.bacaan-indo.blogspot.com marga Margaux dikenal sebagai keluarga petani anggur yang kaya. Ibu Intan diminta oleh Edith dan Jean untuk datang ke Lyon karena keluarga ini harus menghitung­hitung warisan harta orangtua mereka: Margaux tua—yang disebut ‘parrain’, kata bahasa Prancis yang muradif dengan kata bahasa Inggris ‘godfather’—baru meninggal tiga bulan lalu; dan dalam surat wasiatnya disebutkan rincian pembagian warisan itu kepada ketiga anak­anaknya: André, Edith, Jean. Yang hendak dibahas oleh Edith dan Jean adalah lang­ kah bagaimana yang mesti mereka ambil setelah notaris mem­ bacakan wasiat dari sang ‘parrain’ tentang pembagian warisan mereka satu per satu. Di ruang besar rumah Margaux, Jean mengemukakan pi­ kirannya tentang perlunya pertemuan ini menyelesaikan seka­ rang juga pelaksanaan pembagian warisan tersebut. Jean ingin, kalau kedua saudaranya mau menjual bagian warisan mereka masing­masing kepadanya, dia siap mem­ belinya. Dia berjanji akan tetap meneruskan usaha anggur, yang dikatakannya menurun dalam satu bulan terakhir ini. Dia menawarkan gagasan itu karena pertama: selama ini dia yang mengurus bersama ayahnya perkebunan anggur di tanah sekitar Lyon, sementara Edith tidak, apalagi André yang sudah marhum. Memang, Edith tinggal di Paris, berusaha di bidang gar­ men dengan 200 karyawan per satu sif, dan tidak tertarik lagi pada pertanian anggur; sementara André diplomat yang sudah tiada dan jandanya Ibu Intan sebagai istri resmi dengan satu anak sah, tinggalnya di Jakarta. Jean punya tiga orang anak, Edith tidak punya anak sebab tidak bersuami, sementara kebutuhan seksnya sebagai wanita normal diatur dengan cara ‘libre union’ (kawin tanpa surat Remy Sylado tapi dengan urat) melalui kondom dan pil, lalu André punya satu anak, Marcel, tapi dipanggil Marc, lebih suka tinggal di tanahair ibunya: Indonesia. Kesimpulannya, memang hanya Jean yang bercita­cita meneruskan usaha sang ‘parrain’. Oleh sebab itu, baik Edith maupun Ibu Intan sama­sama tidak keberatan pada usul Jean membeli bagian warisan mereka untuk memperkuat bisnis ini. Semua senang. Di akhir rapat yang berlangsung tidak lama, mereka be­ rangkulan, sukacita, berlanjut dengan doa makanmalam. Se­ orang pastor yang ‘dipanggil’ khusus untuk berdoa atas rezeki ini, memulai dengan kata­kata yang menyenangkan bagi keluarga petani anggur: “Boleh mabuk tapi bukan karena anggur, boleh pusing tapi bukan karena arak—Ils sont ivres mais ce n’est pas de vin, ils chancellent mais ce n’est pas l’effet des liqueurs fortes.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 107 Hotel Pro deo 21 www.bacaan-indo.blogspot.com BAGIAN warisan untuk Marc yang diuangkan langsung oleh Jean setelah kesepakatan itu, langsung disimpan oleh Ibu Intan ke dalam bank. Ditambah dengan uang Ibu Intan yang ada di bank tatkala dia masih menjadi istri André, jumlahnya masih empat kali harga rumah kayu­papan miliknya—dihitung dengan lukisan­lukisan yang digantung di dalam WC­nya itu— dan dengan kekayaannya itu pula dia hidup tanpa bergantung pada penghasilan Dharsana. Boleh dikata uangnya di bank itu seperti tumpahan soda yang terus melembak keluar dari dalam gelas. Yang melembak 108 Remy Sylado itu adalah bunganya, dan itulah yang dipakai Ibu Intan untuk belanjanya sehari­hari selama ini. Jadi simpanan pertamanya tidak berubah, sementara yang berubah adalah bunganya, yaitu tumpahannya. Tukang­tukang parkir di Jakarta paling senang pada Ibu Intan, sebab kepada tukang­tukang parkir itu Ibu Intan biasa memberi ongkos parkir Rp5.000, padahal pada 1998 ini, ukuran dollar Amerika sudah sampai di batas itu. Dalam pikiran Ibu Intan—begitu yang dia pelajari dari André—jika seseorang rela memberikan uangnya kepada orang­orang lain yang me­ merlukan, niscaya Tuhan akan menggandakan rezeki baginya. Hutami, orang yang mengurus rumahtangganya, adalah saksi kebaikan Ibu Intan. Hutami memperoleh gaji sebagai pembantu rumahtangga lebih dari hitung­hitungan standar babu di Jakarta. Lain dari itu Ibu Intan menganggap—demikian dia bersikap—bahwa pembantu adalah temannya. Lagi di situ berlaku prinsip hidupnya bahwa jika dia berbuat kebajikan dengan tidak membedakan kelas dalam kemanusiaan, maka berkat Tuhan akan turun kepadanya. Orang yang sebaik Ibu Intan ini tidak boleh dibuat kecewa. Sekali dia kecewa, misalnya karena dusta, apa lagi dengan ke­ kerasan, maka kasam ini akan terus dibawa sepanjang hayat­ nya. Untuk hal yang terakhir ini Dharsana tidak pernah mem­ pelajarinya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Selain itu, setiap orang baik ternyata punya hal­hal tajam yang boleh kiranya diingat sebagai kekurangannya. Salahsatu sisi kekurangan Ibu Intan yang disadarinya— dan itu dikatakannya juga saat ini kepada Edith ketika mereka sama­sama makanmalam di kafe nyanyi khas Paris atau Café Chantant paling terkenal ‘Au Pied de la Butte’—adalah tak kua­ 109 Hotel Pro deo sa dirinya sebagai ibu atas putranya Marc yang tertawan dalam narkoba. Dengan sedih sesenggukan Ibu Intan mengatakan ihwal masalahnya itu kepada Edith. “Je suis en difficulté,”1 kata dia. Edith masygul, lantas bertanya, “Qu’est­ce qui se passe?”2 Dan Ibu Intan tampak kian getir, berkaca­kaca matanya. Katanya terputus­putus, “Drogue... Narcotique... Marcel.”3 Edith iba. Katanya menenangkan, “Remettez­vous, Intan. Ne vous en faites pas. Retenez vos pleurs. Retenez les larmes de vos yeux.”4 Tiba­tiba terucapkan sangsai sendu dari mulut Ibu Intan yang membuat Edith terkesima, mata terbuka lebar, duduk kaku seperti kayu. Yang dikatakan Ibu Intan: “Pourquoi suis­je sorti du sein maternel. Pour voir la souffrance et la douleur, et pour consumer mes jours dans la honte?”5 *** www.bacaan-indo.blogspot.com Pikiran Ibu Intan menerawang meloncati negeri­negeri jauh di timur. Rasanya dia memasuki ruang dengan cermin yang kabur memburakan dirinya. Dapatkah dia merdeka dari sana? Rasanya pelik sekali. Dia bukan saja ragu, melainkan curiga, melihat di balik yang tak terpindai dalam dirinya, menginsyafi perkara­ perkara batin, antara pandangan yang adil tentang kebenaran­ 1 2 3 4 Saya berada dalam kesulitan. Apa yang terjadi? Obat­obatan… Narkotika… Marcel... Tenanglah. Jangan susah. Halau suaramu dari tangis. Halau matamu mengucurkan airmata. 5 Kenapa aku harus keluar dari rahim, melihat duka­nestapa, sehingga hari­hariku berlalu dengan malu? 110 www.bacaan-indo.blogspot.com kebenaran manusiawi menyangkut yang maujud atau yang nisbi. Ketika dia berpikir ke situ, dan merasa tidak mungkin mer­ deka dari beban dalam pikirannya, malahan bersamaan dengan itu, saat ini, di jam ini, di menit ini, dia merasa seperti diimbau­ imbau rasa sadarnya oleh nurani, yaitu sebuah asrar dalam sukma yang mirip seperti bunyi talun yang tak henti­hentinya melafazkan kata pulang ke fitrah di mana ada cinta yang tulen, kasih yang tulen, sayang yang tulen, yang rasa­rasanya telah tersamar oleh akalnya. Manakala ingatan Ibu Intan tiba di situ, maka berkatalah dia dengan rasa wajib yang semestinya, “Aku mesti pulang ke fitrah.” Dia menghirup nafas. Dengannya dia merasa ilham keba­ jikan menyadarkan akalnya untuk patuh kepada hatinya. Keja­ dian ini berlangsung di atas ranjang sebelum dia tidur, mengi­ nap di rumah Edith. Di situ, dalam tidak mengucapkan kalimat dengan mulut, dia melafazkan kata demi kata dalam diam dengan pikiran: “Aku tahu: punya uang bisa membeli semua yang aku suka, aku ingin, aku mau. Tapi, apa arti punya uang tanpa punya hati untuk menyambut cinta yang tulen untuk menyongsong kasih yang tulen untuk menampung sayang yang tulen Aku tahu: uang bisa membeli kemewahan tapi uang tidak bisa membeli kesenangan Uang mungkin bisa membeli kesenangan tapi uang tidak bisa membeli kebahagiaan Uang mungkin bisa membeli kebahagiaan tapi uang tidak bisa membeli ketenangan Uang mungkin bisa membeli ketenangan Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com tapi uang tidak bisa membeli kedamaian Uang mungkin bisa membeli kedamaian tapi uang tidak bisa membeli pengharapan Sebab pengharapan yang tulen ada di dalam hati yang punya cinta, punya kasih, punya sayang Apalah arti hidup dengan uang melimpah di bank jika tidak ada pengharapan cinta, kasih, sayang yang memberi arti fadilat bagi pengharapan kepada musuh­musuh yang menebar kebencian kepada kekasih­kekasih yang memelihara kepalsuan Aku tahu: sumber segala cinta, kasih, sayang asalnya Dia yang Tuhan khalikul alam Aku mau pulang ke fitrah jika boleh masuk kembali ke dalam rahim ibuku menemui pangkal pemulaan cinta, kasih, sayang siapa nyana bendera berkibar di atas kepalaku Maka sempurnakan puadai bagi bersilanya hatiku dengan cendramata kepatuhan pada suara­Mu.” Lalu Ibu Intan pun berhakim­hakim pada dirinya sendiri: di bagian episoda mana sepanjang waktu­waktu yang telah berlalu dalam hidupnya boleh ditandai akan kealpaan hatinya mencintai, mengasihi, menyayangi putranya Marc. Sayang, di saat dia taslim begini, dia tidak sampai pada kesimpulan memahami perkara­perkara rumit dalam hatinya. Sebab, wai, dengki hasad terhadap putranya saat ini sedang memasuki wilayah rawan. Andai saja dia tahu, maka di sana bisa disimpulkan, bahwa tertawannya Marc pada kebiasaan memakai narkoba, ternyata melibatkan ayah tirinya juga. *** 112 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 22 DI rumah kosong yang serba tertutup di Tebet ini Anto Irawan membawa bungkusan pil­pil narkoba hasil sitaan yang ditilepnya dan kini menyerahkannya kepada Todung. Urusan hitung­hitungan dengan lembaran kertas­kertas berwarna bi­ ru bergambar Pakde Mesem atas barang haram ini ditangani langsung oleh Dharsana. Dharsana sendiri terus memonitor lewat telefonnya kepada Todung mengenai cara kerja preman­preman yang diupahnya. Pertanyaan Dharsana kepada Todung selalu sama: per­ tanyaan yang dengannya menunjukkan ada sedikit rasa ragu di atas rasa percayadiri yang kuat selaku perwira. “Bagaimana perkembangannya?” tanya Dharsana. Jawab Todung, “Barangnya baru dibagikan, Pak Bos.” Todung membagikan pil­pil boat dari Anto Irawan itu kepada jahanam­jahanam keparat untuk nanti diedarkan di 113 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo tempat­tempat ramai malam hari yang menjadi daerah mi­ rip “tak bertuan”, artinya yang seolah­olah tidak diketahui oleh aparat keamanan sebagai halte narkoba: antara sudut­ sudut tertentu Boncos, Kalipasir, Tanah Abang, Bali­Mester, Bulungan... Marc biasa membeli sabu dan ekstasi di Bulungan pada malam hari. Ke sana dia memarkir mobilnya di depan Gelanggang Remaja, lalu berjalan ke perempatan, berbelok ke kiri di tempat yang ramai orang­orang dari berbagai kepenting­ an berlalu­lalang. Dia mengenal tukang­tukang parkir di situ sejak masih menjadi siswa SMA di belakang sana. “Di mana dia?” tanya Marc kepada salah seorang tukang parkir yang botak seperti jeruk bali. Si tukang parkir mengerti maksud ‘dia’ yang disebut oleh Marc. Maksudnya tak lain pengedar narkoba. Maka si tukang parkir menunjuk ke arah mobil Kijang abu­abu bertempelkan stiker “Say no to drugs”, diparkir di belakang sana, sekitar 150 meter sebelum gereja Katolik yang dibangun atas acc Presiden RI Soekarno. Yang disebut ‘dia’ itu duduk tenang mendengar­ kan musik rap. Terpaksa Marc berbalik, mundur ke belakang, di sebelah kanan perempatan, menemui dia yang berada di dalam mobil abu­abu berstiker bohong itu. Marc menyandar di mobil itu. Orang yang duduk di dalam, membuka kaca. Tanpa bicara orang itu menaruh tangan di pintu yang kacanya sudah terbuka. Ini adalah bahasa terpakai di kalangan mereka. Artinya: kasih uang lebih dulu baru barang menjadi milikmu. Marc pun memberikan uangnya. Dan orang itu menyerahkan barangnya. Marc memasukkan barang itu ke dalam saku celananya, kemudian berjalan kembali ke tempat parkir mobilnya. 114 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dari situ dia meluncur ke rumah Mayang. Jeng Retno, yang biasa dipanggil “Mother” oleh Mayang, tidak berada di rumah. Barangkali Jeng Retno sedang berada di mal sebab hobinya memang cucimata di mal. Marc sempat bertanya, “Di mana Mother?” Jawab Mayang, “Biasa, ngelayap di mal.” Marc menarik Mayang ke sofa, mencium di bibir, lalu me­ rayap ke bawah, membuka blus, dan mencium payudara. Tapi adegan itu terhenti. Mayang terkejut. Dia menyentuh sesuatu di saku celana denim Marc. Maka wajahnya berubah kecewa. Dia dorong tu­ buh Marc supaya menjauh dari tubuhnya. “Apa itu yang di kantongmu?” tanya Mayang, gusar. Pertanyaan Mayang itu bukan berarti dia tidak tahu apa yang ada di dalam kantong celana Marc. Dia bertanya, supaya dengan begitu dia ingin Marc memberi alasan: mengapa ada barang yang tidak dia sukai di kantong celana Marc. Marc berkelit. “Eh…” Tapi kalimatnya tidak membentuk. “Ah!” Mayang berdiri. Menjauh. Marah. Marc menarik lengan Mayang. “Tunggu, Yang. Biar aku jelaskan.” “Tidak usah.” Mayang mengempas tangan Marc. “Ini bukan seperti yang kamu kira, Yang.” “Bukan seperti yang aku kira? Mengira apa? Sudah jelas itu pil­pil ekstasi. Aku tahu.” “Tunggu. Dengar dulu, Yang. Dengar.” “Tidak mau. Kamu bilang kamu mau berhenti.” “Iya, tapi...” 115 www.bacaan-indo.blogspot.com “Alah, tidak usah tapi­tapi deh.” “Maksudku, ini tidak bisa seketika, Yang. Ini harus pelan­ pelan, berangsur­angsur.” “Ah, norak kamu.” “Bener, Yang. Aku janji, aku bersumpah, pasti aku bebas dari pil­pil itu.” “Sungguh?” “Demi Tuhan, Yang.” “Kalau begitu, buang sekarang. Buang semua!” “Astaga!” “Kenapa? Kamu menyesal?” “Tapi, semua itu 500 ribu, Yang.” Mayang menampar muka Marc. “Nah? Kamu beli pil­pil itu 500 ribu rupiah?” Marc bengong, tertumbuk akal, hilang hikmah. “Aku...” Lagi, kalimatnya tidak membentuk. “Aku tidak peduli kamu beli berapa itu pil­pil. Sekarang, aku minta kamu buang itu semua. Kalau tidak, aku tidak mau bertemu dengan lakilaki yang akan menjadi ayah atas janin di rahimku ini.” Marc terperanjat. Mata membulat besar. “Apa katamu, Yang?” Mayang tidak mau menjawab pertanyaan Marc. Wajahnya merah karena marah. Tapi setelah itu pipinya basah oleh air­ mata. Marc memeluknya, sembari tidak tahu apakah ini gagasan yang baik. “Yang, sori deh.” Baru saja Marc bilang begitu, Mayang mendorong dengan sekuatnya sehingga Marc terjengkolet jatuh. “Aku benci kamu. Kamu bohongi aku.” Remy Sylado Dan Mayang menangis sedu­sedan. Marc melongo, teringa­inga, berdiri kaku namun tiada te­ naga seperti kehilangan tulang­tulang. Setelah lama terdiam, duduk bingung, akhirnya Marc mencoba lagi membujuknya. Dia belai rambut Mayang. “Yang, lusa kita jadi ke Pasar Seni nonton konsernya teman kita Ivan Falus?” Mayang tidak menjawab. “Katanya Ivan Falus akan diiringi orkes gesek.” Mayang tetap tidak menjawab. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 117 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 23 MARC belum bangun. Dia masih melungkar di ranjangnya. Padahal jarum jam pendek menunjukkan angka 11. Telefon berdering. Dia tidak peduli. Yang menelefonnya pasti bete. Jam 1.30 baru dia bangun. Rasa masyuk yang tadi malam dia cipta melalui menenggak pil­pil boat kini berlalu. Kepalanya kini pening, nyut­nyutan, puyeng. Dan, biasa, dalam keadaan begini dia gampang ter­ pancing marah dan muring­muring. Ketika dia bangun dengan susah, tanpa mandi, hanya mengganti baju kaos oblong dan jins butut sobek di lutut, dia bermaksud segera pergi, ke luar rumah. Tapi dia kelimbungan mencari kunci mobilnya. Dia bertanya kepada Hutami, babu yang mengurus bagian dalam rumah: mana kunci mobilnya. Jawab Hutami: tidak tahu. 118 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dia bertanya kepada Ujang, jongos yang mengurus bagian luar rumah: mana kunci mobilnya. Jawab Ujang: tidak tahu. Karuan dia kesal, berteriak, memekik, menjerit kalimat sewot: “Jadi nggak ada satu pun manusia di rumah ini yang li­ hat kunci mobil gua?” Telefon berdering lagi. Hutami mengangkat telefon itu. Pertanyaan di nun suatu tempat tidak terdengar. Tapi jawaban Hutami di sini bisa didengar. Jawab Hutami, “Sudah, Pak.” Apa maksud jawaban Hutami itu? Ternyata yang bertanya di nun suatu tempat itu adalah Dharsana. Pertanyaannya: apakah Marc sudah bangun. Ya. Malahan Marc sekarang muring­muring karena merasa lupa menaruh kunci mobilnya. Dia terus mencari kunci mobilnya di semua sudut rumah. Sambil mencari tak hentinya dia merongseng. Ketika dia merasa putusasa karena tak berhasil mengingat di mana dia menaruh kunci mobilnya itu, akhirnya dia meng­ ambil gitar Dobro yang baru dibeli sebagai hadiah hut­nya itu, lantas memainkannya. Kemudian, Lukman muncul. Kelihatannya kemunculan sopir pribadi Dharsana ini hanya kebetulan­kebetulan saja. Seakan­akan dia datang ke rumah karena kelupaan membawa map yang ada di atas meja depan: meja bundar berukir yang khusus dipasang bunga dalam pot, bukan dalam vas. Tak ada seorangpun di situ, mulai dari Marc, sendiri, sam­ pai Hutami dan Ujang, yang tahu bahwa kedatangan Lukman untuk mengambil map yang ketinggalan, adalah semata­mata siasat Dharsana belaka setelah yang disebut ini mengetahui bahwa Marc sudah bangun. 119 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com Kemudian, melihat Lukman berada di dalam rumah, Marc pun bertanya kepadanya: pertanyaan yang sama seperti yang diajukannya kepada Hutami dan Ujang. “Man, kamu lihat kunci mobil gua?” Tentu saja jawab Lukman, “Tidak tahu.” Lukman bohong. Sebenarnya dia tahu betul, kunci mobil Marc disembunyikan oleh Dharsana. Dan, kehadirannya di rumah ini sekarang—yang pura­ puranya karena hendak mengambil map yang ketinggalan— merupakan bagian dari siasat Dharsana pula. Kata Marc, menurun dari gusar ke rumangsa salah sendiri, “Goblog banget deh, bisa­bisanya gua lupa narok di mana itu kunci mobil.” Lukman berlagak masygul dan peduli. “Apa sudah dicari di saku celana misalnya?” “Sudan tuh. Semuanya nggak ada. Padahal hari ini gua banyak urusan.” “Memangnya Marc mau ke kampus?” “Nggak sih. Mau ke rumah pacar gua.” “Ya, udah, saya antar apa gimana?” Sesuai yang diinginkan oleh Dharsana yang mengatur sia­ sat ini, Marc pun menjawab enteng: “Ayo.” “Mari.” Sebelum naik ke mobil, buru­buru Lukman menelefon Dharsana dengan telefon rumah. Omongannya singkat. ”Pak, sesuai rencana, kami berangkat sekarang.” *** Demi menerima keterangan dari Lukman itu, segera Dharsana menelefon Mayang di rumahnya. Yang menerimanya bukan sang “Mother” sebab yang disebut ini mungkin sedang cucimata lagi di mal. 120 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Mayang?” tanya Dharsana begitu dia mendengar suara Mayang mengucapkan “Hallo.” “Ini Om Dhar, Yang,” kata Dharsana. “O, ya, Om Dhar, kenapa?” sahut Mayang. “Kamu bisa ke sini sekarang?” “Sini mana, Om Dhar?” “Begini,” kata Dharsana. “Nanti ada yang menjemput ka­ mu di situ. Namanya Todung. Siap­siap saja. Paling lima menit lagi.” “Ya, Om Dhar.” Sebenarnya Todung sudah berada di dekat rumah Mayang sejak tadi, seperempat jam yang lalu. Selesai menelefon Mayang, Dharsana menghubungi To­ dung. Singkat pula omongan Dharsana kepada Todung, “Sudah. Jemput dia sekarang.” “Ya, Pak Bos.” Todung turun dari mobil, berdiri di depan gerbang, me­ mencet bel di situ. Mayang keluar, Todung masuk. “Saya Todung yang disuruh Pak Bos Dharsana menjemput Mayang. Apa Mayang siap berangkat sekarang?” “Ayo.” Mayang naik ke dalam mobil. Todung membawanya ke kafe bekas Belanda di Jl. Veteran di mana Dharsana menunggu. Sesampai di situ Dharsana menyambut Mayang dengan mengecup pipi. “Terimakasih sebesar­besarnya: kamu mau datang ke sini,” kata Dharsana. Mayang tidak berkata apa­apa. Dia hanya memasang se­ nyum di wajahnya yang cantik. 121 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Duduk deh,” kata Dharsana, menuntun Mayang ke kursi. Mayang pun duduk. “To the point saja ya, Yang,” kata Dharsana. “Ini ada ma­ salah penting yang Om yakin cuma kamu yang bisa bantu. Tapi eh, omong­omong kamu mau makan apa?” “Terimakasih,” sahut Mayang. “Mayang masih kenyang, Om Dhar.” “Oke. Kalau begitu minum? Dingin? Panas? Atau apa?” Mayang kelihatan enggan. Tapi akhirnya dia menyebut sesuatu yang populer di kafe­kafe. “Soft drink aja deh, Om Dhar.” “Oke,” kata Dharsana menoleh ke belakang, mengacung­ kan tangan kepada pelayan berkebaya. Pelayan itu datang berlari­lari. “Ya, Pak.” “Tolong soft drink­nya.” “Yang apa ya, Pak?” Dharsana menunjuk Mayang, mempersilakannya memilih. “Ayo, Yang.” “Coca Cola deh.” Pelayan itu mengangguk. Kemudian dia bertanya lagi ke­ pada Dharsana. “Bapak? Mungkin Bapak mau pesan minuman yang lain?” “Oke. Susu soda.” “Pakai es, Pak?” “Ya iyalah, pakek ‘S’ dong,” kata Dharsana bercanda genit dan mengira lucu. “Kalau susu soda nggak pakek ‘S’ kan bacanya bukan ‘susu soda’, tapi ‘u­u oda’ dong.” Si pelayan merasa manja. “Ah, Bapak.” Si pelayan pergi ke belakang. Dan Dharsana cepat­cepat mengalihkan percakapannya yang serius kepada Mayang. 122 www.bacaan-indo.blogspot.com “Begini, Yang, Om minta bantuanmu,” kata Dharsana de­ ngan airmuka yang dibuat prihatin. “Ini soal Marc. Om sungguh­ sungguh sudah kewalahan. Tadi malam dia menenggak, tidak tahu berapa banyak pil goblog, yang membikin dia seperti ping­ san sampai pagi.” Wajah Mayang berubah sedih. Dia ingat, kemarin Marc datang ke rumahnya dengan pil­pil, dan karenanya terjadi per­ selisihan. “Padahal Mayang sudah berkali­kali bilang: berhenti pakai itu obat­obat gila. Tapi selalu alasannya dia tidak mungkin berhenti mendadak.” “Nah itu, Yang! Memang betul. Tapi Om punya obat yang mujarab yang bisa mengatur siklus pengurangan sampai taraf tidak memakai samasekali.” “Memangnya ada obat seperti itu?” “Ada,” jawab Dharsana bergairah sembari mengeluarkan­ nya dari dalam tas. Bersamaan dengan itu pelayan membawa pesanan mi­ numan. Dari jarak empat meja di ujung sana duduk Todung mem­ perhatikan seperti harimau mengawasi rusa. “Silakan,” kata si pelayan sambil menaruh Coca Cola di­ sertai gelas dengan es batu ke hadapan Mayang, dan gelas berisi susu sirop dan es disertai sebotol soda. Dharsana menunggu sampai pelayan itu pergi, lalu mem­ beberkan contoh obat yang baru dikatakannya sebagai pengatur mengurangi rasa mau untuk memakai boat. Obat apakah itu? Obat ngawur. Itu obat yang justru bakal merusak orang. Segala macam obat diramu, dicampur­campur, dan dimasukkan ke dalam kapsul­kapsul. Hotel Pro deo “Kalau kamu benar­benar cinta sama anak Om, kamu ha­ rus telaten memberi obat­obat ini. Jadi, kalau dia mau minum pilnya, kamu ganti dengan ini.” “Ya, Om Dhar.” Kemudian Dharsana mengeluarkan lagi alat suntik dengan sebotol cairan. Katanya, “Ini untuk membuatnya tenang. Biasanya, kalau orang habis minum obat­obat, bawaannya marah­marah. Nah, kamu suntikkan obat ini. Hanya kamu yang bisa menolong, Om ingin dia cepat sembuh.” Mayang percaya dusta Dharsana. “Ke mana pun kamu pergi bersama Marc, kamu harus bawa ini semua,” kata Dharsana. “Rencananya malam minggu besok kalian mau ke mana?” “Dia ajak nonton konser Ivan Falus di Pasar Seni Ancol.” “O, bagus,” kata Dharsana. “Jangan lupa bawa ini semua.” *** Marc baru tiba di rumah Mayang, diantar Lukman. Jeng Retno yang dipanggil Mother oleh Mayang bersama­ an juga tiba di rumah. “Surprise,” kata Jeng Retno menyambut Marc. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 124 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 24 DI Jakarta jam 07.00 pagi, ketika awan kelabu menutupi langit sebelah barat, telefon mendering di rumah kayu­papan. Yang menelefon nun di Paris, Ibu Intan. Di sana hari masih malam, ada nebula di langit sebelah barat. Niat Ibu Intan menelefon karena dia ingin tahu keadaan putranya Marc. Dia tak gampang membendung rasa cemas yang melutu di hati membayangkan Marc. Selain itu, senyampang menginap di rumah Edith, dia ingin Marc bicara dengan tante­ nya itu. Yang mengangkat telefon, dan langsung “Hallo,” kebetulan sekali Dharsana. Nada bicara yang harap­harap cemas pun terdengar dalam 125 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo suara Ibu Intan di Paris. Serunya, “Oh? Papa nih?” Sebaliknya nada bicara yang hangat pura­pura terdengar dalam suara Dharsana di Jakarta. Katanya, “Mama ya?” Namun, dengan cepat Dharsana mengubah cara bicara­ nya. Segera dia bermanis­manis ria. Sikapnya ini asli akting. Dengan kegirangan yang sepenuhnya palsu, dia berkata, “O, ya, Mama. Aku baru ngeh. Bagaimana bisa konyolnya Papa sampai­sampai Papa tidak mengenal suara Mama.” Sebaliknya Ibu Intan menyimpul dengan sederhana. “Papa baru bangun?” “Eh, tidak. Eh, ya.” Dharsana terbata­bata. Ibu Intan tertawa. “Ada apa, Pa?” “Nggak.” Dharsana plegak­pleguk. Dia coba merayau­ra­ yau pembicaraan supaya kena. “O, ya, Ma. Bagaimana keadaan Mama di sana sekarang? Di sini baik­baik.” Lalu, langsung ke titik masalah niat, Ibu Intan bertanya, “Bagaimana dengan Marc?” Dharsana gelagapan. Dan Ibu Intan maklum, sebab hu­ bungan kedua tiri itu tidak rukun. “Tunggu,” kata Dharsana. “Papa tanya Hutami.” Lalu dia berteriak memanggil Hutami sambil menaruh telefon di mejanya. Hutami datang bergopoh­gopoh, meninggalkan dapur, sambil memegang serbet. “Ya, Pak.” Kata Dharsana—dan suaranya terdengar oleh Ibu Intan di seberang sana—sangat tambung, “Coba kamu lihat di kamarnya, apa Marc sudah bangun. Itu, ibunya mau bicara.” Mendengar itu Ibu Intan menggeleng­geleng kepala, me­ nelan ludah, galabah. Kemudian didengarnya pula jawaban Hutami sebelum Hutami menerima langsung telefon, “Masih tidur tuh, Pak.” “Ya, sudah, kamu bilang sana sama ibunya,” kata Dharsana, terdengar jelas juga di telinga Ibu Intan. 126 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Hutami pun mengangkat telefon, lalu bicara basabasi terlebih dulu menurut cara Melayu: pertanyaan soal keadaan kesehatan, keadaan lingkungan, keadaan hari, dan seterusnya. Setelah itu baru Ibu Intan menyuruh Hutami membangun­ kan Marc. Hutami ke pintu kamar Marc, berdiri mengetuk­ngetuk sampai Marc bangun. Marc bangun, dan sambil mengusap­usap matanya, dia ke meja telefon, mengangkatnya. Ibu Intan bilang dia berada di rumah Edith, dan bahwa Edith ingin bicara dengannya. Edith pun bercakap dengan bahasa Prancis, dan Marc ber­ cakap juga dengan bahasa Prancis. Percakapan dimulai dengan tamadun khas Prancis: “Comment allez­vous,”1 dan berakhir dengan “Au revoir.”2 Dharsana mecucu, dan wajahnya seperti cuka, karena dia tidak mengerti bahasa Prancis. Tak diketahui Marc, bahwa ke­ tika Dharsana dengki mendengarnya bicara, dalam hatinya membahana bahasa laknat: “Sebentar lagi kamu selesai dengan cas­cis­cusmu itu, monyet!” Sementara, setelah percakapan antara Marc dan Edith se­ lesai dengan didului “Merci,”3 Ibu Intan meminta kembali tele­ fon dari tangan Edith, melanjutkan omongan tambahan kepada Marc berisi wanti­wanti, kemudian menyuruhnya memanggil Dharsana untuk beberapa pesan pula. Dharsana menyambut, lalu berlangsung percakapan sing­ kat dengan Ibu Intan. Yang penting disampaikan Ibu Intan kepada Dharsana adalah pesan berikut: “Pa, kalau ada apa­apa yang mendesak, 1 Apa kabar. 2 Sampai jumpa. 3 Terimakasih. 127 telefon Mama di nomer ini ya, 01­53­954­953­9.” “Oke, Ma,” sahut Dharsana, seratus persen lidah tak ber­ tulang. “Percayalah tidak akan terjadi apa­apa.” “Maksud Mama, ini soal Marc.” Ibu Intan menekan in­ tonasi kalimat ini di bawah perasaan waham. Tak terlihat oleh Dharsana bahwa wajah Ibu Intan sayu, terbias dari keadaan hati yang rampai antara resah dan teruk. “Ya, ya, percayalah juga, tidak akan terjadi apa­apa terha­ dap Marc. Kalau terjadi apa­apa, Papa tidak akan memaafkan diri Papa.” Tapi diam­diam Dharsana berkata pada diri sendiri: “Ya, aku akan telefon di nomer itu kalau Marc­mu sudah jadi mayat. Percayalah, Sayang.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dalam rangka itu pula, pada siang harinya Dharsana me­ nyuruh Todung datang ke rumah kosong Tebet, membahas persiapan nahas yang akan berlangsung nanti malam. Bon Jovi datang bersamanya ke situ. Begundal­begundal yang lain duduk diam mendengarkan cara kerja keji yang diuraikan Todung. Mereka menganggap kerja keji itu sebagai ‘pertunjukan’. Begitu kata yang mereka pakai. Dharsana memulai percakapan di depan begundal­begun­ dal jahanam itu dengan pertanyaan pendek tanpa subjek dan objek, tapi dipahami benar oleh Todung. Pertanyaan Dharsana yang dimaksud: “Sudah semua?” Jawab Todung tanpa ragu, “Semuanya oke, Pak Bos.” Arkian, yang tak terduga oleh baik Bon Jovi maupun Todung serta begundal­begundal yang lain, adalah pernyataan Dharsana berikut ini yang sungguh­sungguh mencengangkan, menggen­ tarkan, menyangkak bulu, derajatnya sepenuhnya teror. Kata Dharsana, “Ingat baik­baik, operasi kalian harus ber­ Remy Sylado jalan seperti film Jepang. Kalau dalam film Amerika, bos—dalam hal ini saya—bisa pakai pistol dan langsung dor, lalu selesai itu target. Ya, memang apa sulitnya, sekali dor, dan selesai? Saya bisa melakukannya. Juga terhadap kalian. Tapi, percayalah, yang gampang begitu tidak ada suspensinya sebagai sebuah model pertunjukan. Lagian, kalau sebuah pertunjukan tidak ada figuran­figurannya, maka tidak ada juga kambinghitamnya di situ. Kalian semua harus menjadi figuran yang menentukan jalan cerita.” Bon Jovi melirik kaget ke arah Todung. Di wajahnya ter­ pampang rasa curiga. Nanti di luar, seusai pertemuan, dia tidak dapat menahan gerengseng penasarannya terhadap Todung. Tanyanya tuhmah kepada Todung, “Lu bilang­bilang sama si bos soal omongan gua ke lu?” “Sumpah mampus: kagak,” jawab Todung, muncrat ludah­ nya mengena hidung Bon Jovi. “Kok dia bisa omong begitu?” “Itulah kelebihan Pak Bos. Dia bisa membaca diri kita. Dia menempatkan kita sebagai wayang dan dia sebagai dalang.” “Buset.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 129 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 25 MALAM Minggu hari ini orang­orang muda yang menyukai nyanyian kritik sosial—lazimnya disebut ‘lagu protes’—numplek di Pasar Seni Ancol. Khalayak muda dari golongan yang kritis terhadap politik kekuasaan Orde Baru itu—orde yang tetap disebut ‘baru’ ken­ datipun usia rezim ini sudah berlangsung 30 tahun—berjubel menonton konser Ivan Falus, bersama dengan penonton­ penonton lain yang berada di sini untuk kepentingan berbeda. Marc dan Mayang bersila di lantai bawah panggung. Baik Mayang maupun Marc sama­sama tidak menyadari akan jam­ jam rawan terhadap kehidupan mereka masing­masing. Sedang orang­orang yang berada di sini untuk keperluan lain terdiri dari dua kelompok. Yang pertama adalah pengintai terhadap Marc dan Mayang yang diatur oleh Todung dan dila­ porkan langsung kepada Dharsana; yang kedua adalah tentara­ 130 Remy Sylado tentara berpakaian sipil yang berminat menghentikan konser lantas menangkap Ivan Falus karena lagu­lagunya dianggap mengkritik presiden. Tapi, di antara penonton­penonton yang memberi apresiasi terhadap pertunjukan ini adalah tiga orang yang berdiri agak ja­ uh di belakang. Ketiga orang ini tadi datang ke sini dengan mobil bertempelkan stiker Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. Sosok penting yang mesti disebut dari mereka adalah Juminah, kini duduk sebagai mahasiswa program S3 Hukum di UI. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sebelumnya, perlu diingat­ingat secara khusus tentang diri Juminah ini. Dia bukan anak satu­satunya yang dilahirkan oleh ibunya di jam yang sama di Pinewen, desa petani dekat Malang, Jatim, pas khalayak siap­siap merayakan 17 Agustusan pada 28 tahun lampau. Sebelum dia lahir, telah lebih dulu lahir sekian menit lebih awal kakaknya. Artinya, dia kembar, bukti kerahiman yang maha kuasa terhadap ibunya yang dapat melahirkan anak­anak yang begini cantik lagi pintar­pintar. Kembarnya bernama sama ndeles dengannya, Tuminah. Sekarang kembarnya itu bertugas sebagai polwan di Surabaya. Walau saling berjauhan, dipisahkan ratusan kilometer dengan ciri adat dan bahasa yang berbeda—antaralain di kota Juminah sekarang ‘kamu’ adalah ‘lu’, dan di kota Tuminah sekarang ‘kamu’ adalah ‘kon’—toh di saat­saat tertentu, ketika salah seorang me­ rasa sedih, maka seorang lainnya bisa ikut merasakan juga ke­ sedihan yang sama. Juga, sebaliknya ketika yang satu merasa senang, maka yang satu lainnya bisa juga merasakan kesenang­ an yang sama. Kecuali satu hal yang pasti tidak bisa sama pikirannya adalah masalah politik kekuasaan di ujung masa pemerintahan Orde Baru ini. Sebagai mahasiswa pasca sarjana, Juminah ter­ masuk bagian mufrad dari mahasiswa­mahasiswa yang keras 131 Hotel Pro deo berteriak menuntut reformasi terpadu dan lengsernya presiden. Sebaliknya, sebagai polwan Tuminah merasa wajib berada di rel ketetapan konstitusi dari hasil pemilu lalu. Tuminah mengejek Juminah, “Kon memang preman.” Juminah mengejek Tuminah, “Lu antek Orde Baru.” *** Malam ini Juminah ikut ririungan para mahasiswa me­ nonton Ivan Falus. Dia memberi tepuk tangan ketika Ivan Falus selesai menyanyikan lagu berjudul Bapak Pembangunan. Kata­kata dari nyanyian yang disebut berjudul Bapak Pembangunan ini adalah memang mencari gara­gara terhadap tentara­tentara berpakaian sipil di tengah penonton yang ramai itu. Kata­kata lagunya itu antaralain: www.bacaan-indo.blogspot.com Berapa jembatan yang harus dibangun sampai seorang boleh dibilang berjasa Berapa kematian yang harus terjadi sampai orang­orang boleh hidup wajar Berapa belenggu yang harus dipotong sampai kita boleh merdeka menyanyi Cadangan airmata sudah habis Di negeri yang pernah ku puja Ku laporkan sangsai sendu ini Kepada Bapak Pembangunan. Maukah dia memberi telinga? Belum selesai Ivan Falus menyanyi, tentara­tentara yang berpakaian sipil itu merangsek, membubarkan pertunjukan, menangkap Ivan Falus. Karuan penontonnya—khususnya Marc, dan juga Mayang yang sama­sama menyeru­nyeru nama Ivan Falus: nama yang 132 www.bacaan-indo.blogspot.com entah bagaimana muasalnya dipilih menjadi pengganti nama aslinya: Krisna Arjuna—lantas kucar­kacir, lari ke kios­kios galeri lukis. Ivan Falus sendiri tidak segagah namanya. Dia minta­ minta ampun ditangkap oleh tentara. Nama Ivan adalah tsar pertama Rusia abad ke­16 yang kejam dan bengis, sedangkan nama Falus, dari ejaan Inggris: Phallus, adalah kosakata aka­ demis yang tak lebih tak kurang berarti: kontol. Tapi apa hendak dikata, nama itu mengecewakan penon­ ton­penonton yang memujanya. Ivan Falus sendiri tidak ber­ daya menahan diri untuk tidak dibawa tentara­tentara yang menangkapnya. Marc benci melihat itu. Serasa kepalanya ditimbuni oleh sepuluh truk tanah. Maka dia ambil kapsul­kapsul narkoba lantas menelannya, alasannya supaya dirinya tenang. “‘Tidak,” kata Mayang. “Hanya enam,” kata Marc. “Kamu bilang kamu mau mengurangi pelan­pelan.” “Memang.” “Kalau begitu, kamu boleh pakai itu tiga saja, lalu tiga dari aku.” Mayang mengeluarkan kapsul­kapsul dari Dharsana itu dari dalam tasnya. “Apa ini?” tanya Marc. “Ini penawar,” jawab Mayang. Marc mengambil lantas menelannya sekaligus. Adegan ini berlangsung di rumahmakan terbuka. Si cecunguk yang dipanggil Bon Jovi mengawasi dari jauh. Dia melapor kepada Todung yang berada di Jl. Mangga Besar. “Ceweknya sudah ngasih kapsul­kapsulnya,” katanya lewat telefon selularnya. *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com Todung berada di Jl. Mangga Besar karena dia bertugas mengawasi KC yang menunggu istrinya Pujiastuti selesai be­ kerja mesum di dalam panti pijat. KC tiba di situ menjelang jam 23.00. Sesampainya di situ, dia tuntun motor tuanya ke samping gedung panti pijat, lalu keluar, menyeberangi jalan ke warung­ warung tenda di depan. Dia harus menunggu sekitar satu jam lagi sampai Pujiastuti keluar. Ketika dia menyeberangi jalan, dia tidak tahu bahwa diri­ nya diintai dari dalam mobil oleh Todung bersama dengan bedebah itu. “Itu dia menyeberang.” Di seberang, KC duduk di bangku salahsatu warung tenda, meminta kopi. Todung memperhatikan detailnya. Manakala KC telah menghirup kopinya, segera Todung menyuruh si bedebah untuk secepatnya melakukan kejahatannya. “Kerjain sekarang, cepat,” kata Todung. Si bedebah lekas­lekas turun dari mobil, berjalan ke sam­ ping gedung panti pijat, mendekati motor butut KC, membuka tutup tangki bensinnya, lalu memasukkan pasir basah ke dalamnya. Sudah pasti motor itu bakal membikin masalah, dan de­ ngannya dipastikan pula bakal membawa risiko paling fatal terhadap bukan hanya satu orang, tapi orang­orang. Tampaknya jam­jam rawan ini memang harus menjadi bagian yang terikat pada garis takdir orang­orang tertentu. *** 134 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 26 “BAGAIMANA perkembangannya?” tanya Dharsana kepada Todung lewat ponsel. Jawab Todung, “Sejauh ini lancar, Pak Bos.” Todung tetap di Jl. Mangga Besar, dekat panti pijat tempat kerja Pujiastuti. Di dalam mobil yang diparkir sekitar 20 meter dari gedung panti pijat itu, dia bisa melihat KC menyeberang kembali dari warung tenda ke panti pijat. Pas Pujiastuti keluar dari dalam, menemui KC, Todung cepat­cepat menelefon bedebah yang berada di Ancol. Kata Todung kepada orang itu, “Siap­siap lu. Tunggu di pertigaan Jl. Gunung Sahari.” Yang ditelefon segera melakukannya. KC sendiri tidak bisa segera menghidupkan mesin motor­ nya yang butut. Berkali­kali dia starter, sampai kakinya kemeng, tetap sulit menghidupkan motornya. 135 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Todung menghampirinya. Seakan­akan dia kebetulan ber­ ada di situ. Dia pura­pura kaget melihat KC. “Eh? KC! Ngapain?” KC keripuhan. “Ah, nggak tau nih, tiba­tiba nggak bisa distarter.” “Businya kotor, kalik.” “Iya, kalik. Tapi gua nggak punya kunci busi.” “Sebentar deh.” Todung bergegas ke mobilnya, mengambil kunci busi, lalu menyerahkan kepada KC. “Pas nggak ini?” KC menerima kunci busi itu, melihat sekilas, lantas, “Kayaknya pas sih.” Dia pun membuka businya. Kemudian, “Oh, iya, nih bener, businya kotor.” Dia bersihkan. Setelah itu dia starter, sekali, dua kali, tiga kali injak, mesin motornya pun hidup. “Terimakasih.” Pujiastuti naik di boncengan. Motor bergerak menuju ke timur, ke pertigaan Jl. Gunung Sahari. Ternyata baru di depan rumahsakit yang dulu bernama Cina, motornya batuk­batuk. Lalu sebelum perempatan Jl. Pintu Besi mogok. KC tidak mengerti soal mesin. Dia gun­ cang­guncang motornya itu. Lalu dia hidupkan kembali. Alhamdulillah motornya jalan lagi dengan terus batuk­batuk sampai di Senen. Pas di atas jembatan layang Senen motornya mogok total. Dia turun dari motornya. Begitu juga Pujiastuti. “Pukimaknya motor ini,” kata dia sambil menendang ban motor itu. “Padahal tadi baru diservis di bengkel Mas So’im.” Dia coba utak­atik mesin motornya itu. Mau membuka kembali busi, tapi dia tidak punya kuncinya. Yang ada di bawah sadel hanya obeng. Maka dengan obeng itu dia main tusuk sana tusuk sini dengan hasil sia­sia. Sudah satu jam dia mengutak­atik mesin motornya di atas jembatan layang Senen ini. Dan percayalah, bahkan sam­ pai satu bulan dan satu tahun pun dia tidak akan berhasil 136 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado menghidupkan motornya itu. Sebab dia tidak mengerti soal mesin, dan dia tidak tahu pula kejahatan yang dilakukan oleh bedebah suruhan Todung. Pujiastuti mengomel­ngomel. Itu toh tidak akan mem­ bantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi ini. “Tadi kamu bilang sudah diservis, kok begini sih?” kata Pujiastuti marah. “Demi Tuhan,” kata KC. “Nggak tahu juga nih.” Dalam keadaan tegang seperti itu, muncullah mobil yang distir oleh Marc dari utara. Marc tidak tahu bahwa di belakangnya ada bedebah yang membuntutinya dari Ancol. Begitu Marc tiba di tanjakan, kira­kira sepuluh meter da­ ri mogoknya motor KC, si bedebah menyelip mobil Marc dari belakangnya. Marc terkejut, hilang konsentrasi bersamaan de­ ngan enam biji obat berbahaya yang sudah tenggelam di perut­ nya, maka dia pun membanting stir ke kiri. Tak terelak Marc menabrak Pujiastuti lebih dulu kemudian motor KC. Motor ringsek. Pujiastuti terpental ke pagar besi, sempat kejet­kejet lantas mati. Ajaib, KC selamat, bahkan tak luka. KC berdiri, menolong istrinya. Dia kaget, Pujiastuti tidak bergerak lagi. Dia peluk, mengguncang­guncang, namun roh Pujiastuti sudah meninggalkan raga, berangkat ke wilayah ar­ wah. KC berteriak histeris. Pilu. Marc turun dari mobil, diikuti Mayang, menghampiri KC. Di depan KC, Marc berdiri tak tegak, sakau oleh narkoba, berkata legeg seperti selebriti di TV, “Gimana tuh motor kamu? Nggak apa­apa kan?” Langsung mendidih darah KC. Matanya menyala. Mulut­ nya menggigil. Tak ragu, suatu tindakan naluriah bakal segera meledak dahsyat. Marc tak menyadari itu. Badannya masih goyang karena 137 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo pengaruh pil­pil. Dalam keadaan begini dia mengambil dom­ pet dari sakunya: kertas bergambar biru Pakde Mesem, meng­ hitungnya lembar per lembar dengan suara serak, “Tu, Wa, Ga,” lantas melemparnya ke muka KC. “Tuh deh, pek go, buat ongkos perbaikan motor kamu,” kata Marc sambil memutar badan, berjalan kembali ke mobilnya. KC marah. Dia menghardik. “Hei! Bajingan!” Marc cuek. Mungkin juga karena tidak mendengar. Dia terus berjalan. Langkahnya gontai. KC bangkit. “Berhenti lu!” Dia mengejar. Mayang menoleh ke belakang. Melihat KC yang meng­ hampiri mereka dengan api di dada. “Jalan terus aja,” kata Mayang sambil memegang tangan Marc. “Berhenti lu, babi,” kata KC, menangkap leher Marc. Mayang menarik lengan Marc. Dia menarik dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang alat suntik. Dia per­ caya pada Dharsana bahwa suntikan ini bisa menenangkan kemungkinan marahnya Marc. Ternyata keadaan Marc malah tidak karuan. Maka Mayang segera menariknya pergi. “Ayo, Marc! Cepat pulang.” Mayang kuatir. Kepalanya penuh awan. Dia ingin meng­ hindarkan pacarnya ini dari kemungkinan­kemungkinan buruk yang niscaya bakal dilakukan oleh KC. Benar juga dugaan itu. KC yang dikenal gampang marah, dan kalau marah pasti segera melayangkan tinjunya, siap me­ lakukannya sekarang. Naga­naganya Mayang bisa merasakan itu. Maka, sebelum hal itu terjadi, Mayang memeluk Marc dari belakang, tak sempat lagi menimbang apakah memeluk dengan cara begini tepat atau tidak, atau, salah atau benar. Sebab, dia memeluk dengan tangan kanan yang masih memegang jarum 138 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado suntik itu. Kenyataannya pelukan Mayang ini menyebabkan tubuh Marc terbuka untuk ditinju dengan telak oleh KC. Hanya dengan satu tinju, Marc langsung tumbang, sesak nafas, dan akhirnya putus nafas. Mayang terperanjat. Bingung. Menjerit seperti melolong. Lalu terputar­putar di situ tersara­bara. “Aaaa!” Jeritannya terdengar di bawah jembatan layang. Di bawah itu berderet warung­warung tenda masakan Minang dengan lampu­lampu neon yang terang­benderang. Salahsatu bagian, yang di tengah terparkir mobil dinas polisi. Polisinya tiga orang. Kebetulan baru selesai makan, dan sedang menusuk­nusuk gigi dengan ngaciam. Apakala ketiga polisi itu mendengar jeritan Mayang, me­ reka pun terjaga, saling pandang sejenak seakan mau berkata bahwa telinga mereka sudah mendengar sesuatu yang fatal, lantas bergegas naik ke atas jembatan layang. Ganjil juga, tadi bunyi tabrakan yang keras, yang merenggut nyawa Pujiastuti, disertai teriakan pilu KC, tidak didengar oleh polisi­polisi ini, tapi sekarang kok bisa mendengar jeritan Mayang. Barangkali sebab suara perempuan di malam hari begini lebih punya pesona tersendiri. Seorang di antara ketiga polisi itu cepat­cepat mendekati Mayang yang kini meraung­raung di hadapan mayat Marc. “Ada apa ini?” tanyanya kepada Mayang. Mayang menangis terisak sambil menunjuk­nunjuk KC. “Dia! Dia membunuh Marc­ku,” katanya. Polisi yang satunya segera menyimpulkan bahwa KC harus segera diperiksa. Dia memegang lengan KC dengan cara yang bermakna tegas berpihak pada arah telunjuk Mayang. “Kamu membunuh!” katanya kepada KC. KC jengkel. Dia empaskan tangan polisi yang memegang 139 www.bacaan-indo.blogspot.com lengannya itu, sambil ganti memarahinya. “Apa Bapak tidak lihat itu istri saya ditabrak mati oleh bajingan itu?” Suara KC yang lantang namun parau membuat polisi itu langsung menendang selangkangnya, kena loncengnya. KC ter­ jungkal. Kemudian polisi yang satunya lagi segera mencabut pistol mengarahkannya kepada KC, mengancam untuk jangan bergerak, sementara polisi yang ketiga mencabut borgol, cepat­ cepat memasangkannya di tangan KC. Bersamaan dengan itu, seperti kebetulan pula, Todung le­ wat dengan mobilnya di situ. Lagi, dia pura­pura kaget melihat KC. “Lo? KC? Ada apa?” Todung meminta Lukman meminggirkan mobil, lalu dia turun, menghampiri KC. Dia hanya berdiri memperagakan si­ kap prihatin tanpa berkata apa­apa, melihat KC diseret oleh polisi­polisi itu ke bawah, ke mobil mereka yang diparkir di depan warung­warung Padang. Selagi Todung berdiri dengan gaya pura­pura prihatin, lewat pula sebuah mobil dari arah utara ke selatan. Mobilnya dipelankan, ketiga orang yang berada di dalamnya melihat de­ ngan bertanya dalam diri: apa yang terjadi. Salah seorang dari antara ketiga orang ini pada 3­4 tahun yang akan datang bakal mengurus perkara kematian Marc. Dialah Juminah yang perem­ puan kembar itu. Ingat­ingat saja namanya itu. Dia buka kaca mobil, melihat mayat Marc dan Pujiastuti yang digotong. Todung membentaknya sambil memukul mobil­ nya. “Sudah, jalan sana, tidak usah lihat­lihat!” Orang­orang di dalam mobil yang dipukul­pukul ini me­ rasa seperti diteror. Tapi mereka tidak gampang diteror. Mereka mengerti hu­ kum yang berlaku, walaupun mereka pasti tahu juga, hukum yang laku di zaman ini adalah harkat ditentukan oleh harta. Dari mobil yang mereka kendarai jelas tertempel stiker bertuliskan: Remy Sylado Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. Karena mobilnya dipukul­pukul, Juminah bertanya ke­ pada Todung, “Ada apa sih, Mas?” “Sudah, jalan,” kata Todung sambil memukul lagi mobil. “Sialan,” gerutu Juminah. “Preman goblog.” Pada keesokan harinya baru Juminah tahu dari berita kecil di koran pagi tentang apa yang terjadi di jembatan layang Senen tadi malam. Beritanya berasal dari pihak kepolisian. Bahwa kecelakaan di jembatan layang itu disebabkan oleh pengaruh narkoba. Hanya itu. Tidak ada rincian siapa­siapa yang mati. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 141 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 27 BAIK KC maupun Mayang sama­sama dibawa ke kantor polisi, diperiksa, dan ditahan. Yang memeriksa semuanya berpangkat rendah dan ka­ dar emosinya terbilang sangat istimewa—terutama terhadap KC—sekali­sekali disertai dengan gebug, tabok, tinju, tampar. Apalagi malam ini baru hari kesekian bulan­bulan awal 1998. Artinya, pada masa ini kepolisian negara sebagai ABRI sangat gandrung pada tindakan militerisme: memandang rakyat se­ bagai musuh. Baru pada siang hari, sekitar jam 09.00, hadirlah seorang berpangkat perwira, komandan di situ. Tapi tumben, dia tidak berpakaian resmi. Dia hanya memakai kaos oblong dan sepatu kets, mungkin habis olahraga. Ternyata dia Anto Irawan. Dia ikut memeriksa KC sampai matahari naik melebihi garis jendela. 142 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Mayang sudah selesai diperiksa sejak tadi. Hampir ber­ samaan dengan waktu kehadiran Anto Irawan di kantornya ini, muncul juga perempuan seronok yang meminta dipanggil Jeng Retno. Dia tak lain ibunya Mayang. Ibu muda ini bukan tipe wanita yang senang di rumah, tapi sebaliknya contoh pesolek metropolitan yang dalam satu bulan sebanyak 25 harinya berada dari mal satu ke mal lainnya untuk cuci mata. Apalagi sebelum suaminya, Sukandar yang mengubah nama menjadi Iskandar atau Iskandardinata, bankir, dipindahkan kamartidurnya di Nusakambangan. Jeng Retno datang ke kantor polisi ini dengan gaya habis­ habisan harum tubuhnya yang ajeg seperti biasa: wangi enam jenis parfum ditambah minyakgosok. Dia muncul grudag­grudug di kantor polisi. “Oh my God! Ada di mana anakku,” katanya kepada polisi yang menegurnya. “Anak yang mana, Bu?” tanya polisi itu. “Ah,” jawab Jeng Retno menggerutu. “Please deh, jangan sebut saya ‘bu’.” Polisi itu tidak mudeng. “Ya, Bu, Ibu cari siapa?” Tiba­tiba Jeng Retno marah. Suaranya ketus sangat. “Hei,” serunya. “I am not your Ibu, asshole.” Karuan polisi itu balik marah pula. “Lo, kamu ini siapa, kok tidak punya sopansantun begini?” “Saya sudah tanya di mana anakku,” kata Jeng Retno. “Ya,” kata polisi itu keras. “Dan saya bertanya: anak ka­ mu yang mana? Di sini banyak anak muda yang ditahan karena kasus kriminil.” Suara keras polisi itu membuat Jeng Retno kendor. Maka katanya lemah, “Sori. Yang saya maksudkan: Mayang.” “Tunggu,” jawab polisi itu, masuk ke dalam, lalu keluar 143 Hotel Pro deo membawa Mayang. Begitu melihat Mayang di depannya, Jeng Retno berakting sebagai ibukandung yang welasasih, tapi juga dengan tetap ber­ penampilan ganjen dengan bahasa gadogado Inggris dan Jawa. “Oh my God! Won’t you please explain? What happened toh kowe iki, Nduk?” Mayang hanya bermuka sedih, dan polisi­polisi bengong. “I must say: I am disappointed in you, Mayang,” kata Jeng Retno memegang kedua lengan Mayang. “Eneng opo toh kowe nang nggon kene isuk­isuk ngene. Why you’re here?” Terputus­putus Mayang berkata, “M­aa­rc...” “What? I couldn’t quite hear that.” Lagi, dengan sulit Mayang mengulang kata yang sama, “M­a­rc, Bu ‘Mother’ .” “Marc, you said?” Menetes airmata Mayang. Tak ada kata. Jeng Retno mengguncang tubuh Mayang. “Kenopo?” Mayang menangis, tubuhnya unggang­anggit. “Oh my God!” Jeng Retno tak berhasil mendapat kata­kata dari mulut Mayang. Dia coba mengguncang­guncang badan Mayang, me­ nyuruhnya bicara, tapi Mayang sudah larut dalam tangisnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tak lama setelah itu muncullah DB Dharsana di kantor polisi ini. Dharsana datang seorang diri. Tanpa Ibu Intan istrinya. Bukankah Ibu Intan di Prancis? Tapi nanti Dharsana akan menelefonnya, mengabari ten­ tang kematian Marc. Ketika Dharsana hadir di situ, Anto Irawan segera memberi 144 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado hormat kepadanya. Jeng Retno segera menarik lengan Mayang untuk keluar ke luar. Dharsana meminta Jeng Retno jangan pergi dulu, tapi Mayang berkeras keluar, tampaknya tak suka melihat Dharsana. “Tunggu,” kata Dharsana. Karena Mayang berkeras menghindar, maka Jeng Retno ikut dengan Mayang. Dan, mengangkat bahu disusul berlalu, Jeng Retno berkata, “Sorry, Mas, I come, not to you, but to her.” “Oke,” kata Dharsana, juga mengangkat bahu, sebagai ba­ hasa tubuh yang mengandung makna: Aku tidak bisa memak­ samu. Kemudian Dharsana mendekati Anto Irawan, menariknya ke ruangnya, bercakap pelan­pelan, tak didengar oleh polisi­ polisi lain di situ. “Jadi, si tolol itu benar meninju Marc sampai Marc mati?” “Pengakuannya memang begitu, Pak.” “Bagus. Tapi saya ingin dia membuat pengakuan tertulis untuk saya dan istri saya.” “Akan saya laksanakan, Pak.” “Sebelumnya: terimakasih sebesar­besarnya.” Dharsana keluar. Dia membuka dompet, mengambil uang lembaran 50 ribuan, memberinya masing­masing kepada se­ mua polisi bawahan Anto Irawan. “Bikin bangsat itu menyesal jadi manusia,” katanya me­ nunjuk KC. Karuan, seharian penuh, bergantian polisi­polisi itu meng­ gebug KC. Menjelang malamnya wajah KC tidak berbentuk lagi. Seluruh bagian wajahnya bengkak­bengkak seperti bakpao. *** Besok paginya baru polisi memanggil ayah KC. 145 www.bacaan-indo.blogspot.com Ketika ayah KC tiba di kantor polisi ini, dan melihat wajah putranya berantakan begitu, sedih sangat hatinya. Tapi, dalam susah dan iba, ayahnya berkata dengan teguh dan bangga, “Nah, gitu deh Kartini, kamu sudah ketemu jawaban yang selama ini kamu tanyakan. Lewat peristiwa ini Bapak yakin kamu sudah mendapat jawaban kenapa namamu Kartini Cahyaningsih. Dengan membunuh anak perwira Orde Baru itu—orde militeristik yang tidak disadari telah menjadi musuh demokrasi—dan sekarang kamu babakbelur begini, maka de­ ngan ini kamu sudah membuktikan dirimu sebagai lakilaki tulen, lakilaki sejati, lakilaki sempurna…” KC tidak menanggap. “Lihat saja sekarang, buktinya nama perempuan yang Bapak kasihkan buat kamu ini ternyata tidak berpengaruh apa­apa atas kejantananmu dan keberanianmu dalam me­ nyelesaikan tantangan yang jelimet. Apa yang kamu lakukan ini menjadi bukti atas pikiran Bapak selama ini, bahwa nama akan punya arti tertentu bukan sebab kebenaran umum yang terwaris lewat adat, tapi kebenaran pribadi yang sepenuhnya terbentuk melalui fiil masing­masing...” KC tidak menanggap. “Kamu paham tidak?” KC tidak menanggap. “Ingat, Kartini, di zaman kalatida seperti ini, penguasa­ penguasa Orde Baru itu sering kesurupan bermain­main se­ bagai Tuhan sekaligus Iblis. Tapi lewat kebenaran yang kamu buktikan dalam fiilmu itu, kamu sudah menjadi malaikat...” KC tidak menanggap. “Ah, kenapa kamu diam saja? Harusnya kamu gembira. Bapak sendiri bangga sekali padamu. Bapak selalu bilang ke­ padamu: Di Jakarta ini semua yang mustahil bisa maujud. Untung atau rugi sama­sama bergantung pada nasib. Jangan Remy Sylado keluhkan soal nasib. Dengan fiilmu kamu bisa mengubah nasib­ mu. Percayalah, terhadap semua masalah, tidak ada yang tidak bisa diselesaikan. Kalau halnya tidak bisa diselesaikan dengan kepala atau otak, maka selesaikanlah dengan tangan atau otot. Alhamdulillah, Bapak bersyukur, kamu sanggup menggunakan tangan atau otot. Kamu sudah menjalankan fiilmu dengan semestinya. Selamat ya, Nak.” KC tidak menanggap sebab dia tidak mendengar celoteh ayahnya itu. Dia sudah pingsan limabelas menit yang lalu. Untuk membuatnya siuman seorang polisi menyiramnya dengan air seember yang diambilnya dari got. Dengan begitu berarti polisi itu tidak mengurangi rasa sakit KC, melainkan sebaliknya menambah siksaan baru. Setelah itu, bilamana nanti KC siuman, dia akan digebug lagi bertubi­tubi, sampai­sampai wajahnya berubah bersegi­ segi seperti patung­patung keranda di Samosir. Untuk apa KC digebug sampai babakbelur begitu? Dharsana akan memanfaatkan itu sebagai bukti kepada Ibu Intan, bahwa dia benar­benar peduli dan sayang kepada Marc. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 147 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 28 IBU Intan bakal terkinjat luar biasa diiringi pusing nyut­nyut serta sesak nafas engkik­engkik ketika dia menerima telefon dari Dharsana tentang kematian Marc. Mulanya Ibu Intan masih ingin tinggal beberapa hari di Paris, menginap di rumah Edith, dan baru pekan depan dia berencana pulang ke Jakarta. Tapi, seperti kata amsal yang terkenal di Prancis sejak abad ke­17, “Hati manusia memikir­mikir jalannya, tapi Tuhan yang menentukan arah langkahnya—Le coeur de l’homme médite sa voie, mais c’est l’Éternel qui dirige ses pas,” maka demikian kenyataan itu berlaku atas diri Ibu Intan. Sore­sore, sambil minum anggur dan makan masakan khas Prancis di sekitar pusat niaga Paris, Lafayette—bersamaan dengan menit­menit menjelang subuh di Jakarta ketika Marc tewas di atas jembatan layang Senen—tiba­tiba dada Ibu Intan 148 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado terasa bagai ditumbuk­tumbuk alu, dan setelah itu nafasnya terganggu seperti disumbat. “Ada apa ini?” Buru­buru, seperti biasa dia keluarkan inhaler dari dalam tasnya lantas menyemprotnya ke dalam mulutnya. Namun, aneh, gangguan nafasnya tak segera pulih. “Ya, Tuhan!” Dia bingung, kemudian cemas, dada empot­empotan. Biasanya jika nafasnya terganggu seperti ini, dia cukup me­ nyemprot mulutnya dengan satu kali semprotan inhaler, maka nafasnya segera pulih. Kini tidak begitu. Nafasnya masih tersengal­sengal. Karenanya dia bertanya lagi dalam hati. “Ada apa ini?” Dia sendiri tidak sanggup menjawab. Wajahnya pucat seperti dilaburi tepung. Melihat itu Edith ikut terbawa galau. Maka bertanya Edith, “Pourquoi, Intan?”1 Ibu Intan menjawab, “Je ne sais pas.”2 Setelah itu, berulang kali Ibu Intan berkata kepada dirinya sendiri: “Je ne sais pas.” Memang benar, dia tidak tahu mengapa dia menjadi demi­ kian gelisah. Sampai­sampai makanan khas Burgundy yang disukainya dan sudah terhidang di depannya, ‘escargots cuits dans leurs coquilles’,3 tak jadi disantapnya. Tampaknya dia mendapat firasat—disampaikan entah oleh angin, atau entah roh, atau entah tuhan, pendeknya sesuatu yang ada kaitannya dengan dirinya sebagai ibu yang memiliki rahim tempat putranya dulu dikandung dalam sembilan bulan. 1 Mengapa, Intan? 2 Aku tidak tahu. 3 Keong yang dimasak dengan cangkangnya disertai saus dasun. 149 www.bacaan-indo.blogspot.com Jika dia percaya akan hal rahim—sesuai artinya: welasasih—maka dia paham lewat rasa yakin yang didukung oleh nurani, bahwa sumber segala kerahiman adalah Tuhan yang memang rahmani dan rahimi. Maka, mudah­mudahan firasat yang tiba­tiba datang da­ lam dirinya ini adalah bisikan Tuhan tentang putranya. Kalau benar ini firasat, maka boleh jadi ini adalah semacam karunia dari sebuah wilayah maha kasih untuknya sebagai se­ orang ibu—seperti hafalan kata­kata bijak—surga di bawah kaki ibu: dapat melihat dengan hati, dapat meraba dengan sukma, dapat memeriksa dengan kalbu, dapat menilik dengan sanubari. Ajaibnya, semua itu malah membuat dirinya tegang dan tidak tenang. Karenanya dia tidak berselera makan. Dia hanya memegang garpu tanpa menggerakkan tangannya ke piring. Dan, arkian dalam keadaan terdiam begini ponselnya berbunyi. Dharsana menelefonnya dari Jakarta. “Mama...,” kata Dharsana terputus. Suara Dharsana dibikin­bikin haru untuk meyakinkan Ibu Intan bahwa dirinya sedih dan susah. Kata yang terputus itu membuat Ibu Intan semakin tegang. “Ada apa?” tanyanya. “Ma... ada... berita... buruk...,” kata Dharsana, lantas ter­ diam, mendengus­dengus seperti sapi. “Nah, betul kan!” Ini tak terucapkan. Yang terucapkan, “Ada apa?” Ucapan ini seperti soda yang muncrat dari botol. Tandanya Ibu Intan tak sabar. “Sebaiknya Mama segera pulang...” Ibu Intan menjerit. Rasa curiganya tak terbendung. Seru­ nya, “Kenapa? Ada apa dengan Marc?” “Dia dipukul oleh seorang petinju murahan...” “Lantas? Katakan cepat.” “Fatal, Ma.” “Apa maksud Papa: fatal?” Remy Sylado “Marc tewas, Ma.” Ibu Intan menjerit histeris. Orang­orang di dalam restoran kontan mengarahkan mata mereka kepadanya. “Tidak!” katanya. Lalu, dia sesak nafas lagi, lebih parah dari tadi. Berkali­ kali dia menyemprot inhaler ke mulutnya dan ke hidungnya. Setelah itu dia menangis. Dharsana tetap menahan telefonnya. Manakala nafasnya mulai pulih, tapi tetap menangis, Ibu Intan bertanya, “Terjadinya kapan?” “Menjelang subuh tadi.” “Kenapa Papa membiarkan Marc keluar malam­malam?” “Aku ingin larang dia keluar rumah, tapi Mama kan tahu, dia tidak mau mendengar aku. Mama tahu dia tidak anggap aku ‘ayah’, ‘papa’, atau ‘papi’.” Ibu Intan menangis sedu­sedan. Begitu susah isi hatinya dan mumuk serta peroi jiwanya, sehingga dia harus terus­ menerus menyemprot­nyemprot mulut dan hidungnya dengan inhaler penyembuh sesak nafas, namun dia tetap sulit bernafas. Edith iba melihatnya. Dia peluk Ibu Intan. “Aku harus pulang ke Indonesia sekarang juga,” kata Ibu Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 151 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 29 APA boleh buat, Ibu Intan mencari pesawat yang bisa segera membawanya pulang ke tanahair. Kebetulan ada pesawat milik maskapai Malaysia. Dengan pesawat ini dia terbang ke Kuala Lumpur, dan dari ibukota Malaysia ini dia terbang lagi dengan pesawat milik maskapai Australia ke Jakarta. Dalam percakapan telefon Dharsana mencoba menenang­ kannya dengan kata­kata yang maunya terlihat tawakal namun justru melahirkan syak. “Sudahlah,” kata Dharsana. “Bajingan yang menabrak Marc itu sudah saya hajar sampai babakbelur, dan selanjutnya akan saya atur supaya dia dihukum ke Nusakambangan.” Lama Ibu Intan termangu. Tubuhnya lemas. Dia tak sang­ gup berkata apa­apa selain duka yang membuatnya diam. Demikian pula, dalam penerbangan dari bandara De Gaulle ke bandara Soekarno­Hatta, sepanjang berada di atas udara dia 152 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado hanya diam menyandarkan kepala di kursi. Apabila terdengar isyarat mengencangkan ‘tali kaledar’—istilah Melayu untuk ‘seat belt’ yang berlaku di pesawat milik maskapai Malaysia yang ditumpanginya—karena pesawat akan memasuki udara buruk, dia pun seperti tidak hirau. Dalam penerbangan sekian jam ini dia hanya diam dengan berkali­kali menghapus air­ mata yang membasahi pipi. Setibanya di rumahnya—rumah kayu­papan yang warna­ nya kecoklatan dengan pelitur yang memendarkan kilap—dia meloncat menembusi orang­orang yang menunggu kedatangan­ nya sebelum petimati ditutup. Di depan petimati dia menangis, memasukkan mukanya ke dalam, mencium mayat Marc. “Tidak mungkin kamu pergi, Marc­ku,” katanya meratap­ ratap, menyabak­nyabak, merintih­rintih. “Siapa yang mela­ kukan ini? Siapa? Mama tidak terima. Mama akan tuntut orangnya sampai di dunia akhirat. Sumpah disamber geledeg!” Dharsana mendekatinya, mengelus punggungnya, tanpa bicara satu pun kata, tapi kira­kira maunya menenangkan pe­ rasaan Ibu Intan, istrinya, yang tampak tidak terkendali emosi­ nya. “Demi Tuhan, Mama akan balas ini, Marcel, oh Marc sayang.” Dharsana terdiam mendengar itu. Kelihatannya dia merasa gamak berdiri di sebelah Ibu Intan. “Mama bersumpah, Marc, demi Tuhan Mama tidak terima kamu mati dengan cara begini.” Lalu Ibu Intan menjerit, meraung­raung. Setelah itu ka­ ta­kata yang diucapnya tidak ceta lagi. Suara yang keluar di mulutnya terhambat oleh sesak nafasnya. Para pelayat, tampak juga James Winata dan Rachmat Wirjono di antara teman­teman Marc serta handai­tolan lain­ nya yang datang ke sini dalam rangka takziah, menyatakan rasa belasungkawa atas kematian Marc. 153 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Lantas bagaimana sebenarnya perasaan Dharsana melihat semua yang berlangsung ini? Tak ada yang bisa membaca hatinya. Barangkali hanya Tuhan yang tahu. Atau, kalau tidak, mungkin juga iblis lebih tahu. Dharsana berdiri kagok seperti patung bernafas. Di wajah­ nya ada kesan tegar. Tapi ada juga kesan berantakan dan tidak menentu. Kesan yang terakhir disebut ini uraiannya: selintas memang dia sanggup mengatasi diri, namun bersamaan dengan itu juga pikirannya melanglang kian­kemari, ke gambaran­ gambaran hayati yang tidak terangkai dalam satu kesungguhan akali, sehingga terekam oleh mata yang pandai bahwa dirinya cemas menghadapi waktu yang tengah berjalan ini. Keringat membasahi wajahnya. Semakin jelas lagi airmukanya memancarkan perasaan bimbang, buncah, kusut, yang berlangsung di dalam dirinya itu, ketika matanya sempat melihat Mayang bersama ibunya Jeng Retno masuk ke serambi depan rumah kayu­papan ini untuk menghadiri upacara doa—doa bagi Marc sebelum yang disebut ini dibawa ke Tanah Kusir. Adegan berikut, setelah kedatangan Mayang, yang akan terjadi dalam sekian detik mendatang, membuat pelayat­ pelayat merasa heran melihatnya. Mayang melangkah pelan ke petimati, memandang mayat, mula­mula hanya mengucur airmata, tapi kemudian kakinya terasa lunglai dan dia pun rebah di depan petimati itu. Di situ dia meratap. Kata­kata yang terucap lewat mulutnya terdengar aneh. “Aku tidak bermaksud begitu, Marc,” katanya. “Demi Allah, ini bukan salahku...” Dharsana menarik lengan Mayang, seperti yang dia lakukan tadi terhadap istrinya, kira­kira untuk sekadar menenangkan luapan perasaan duka yang bisa saja menjadi rawan. Tapi Mayang malah menyampluk tangan Dharsana. Bukan hanya 154 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado menyampluk tanpa berkata apa­apa, tapi juga disertai dengan hardik marah. “Jangan pegang aku!” Apa hendak dikata, sang kombes mundur, membiarkan Mayang menangis meratap­ratap di hadapan mayat Marc. Tapi, di balik itu, sikap Mayang yang senguk terhadap Dharsana, sempat dilihat oleh Sri Hartini—si Ci yang pada pesta hut Marc menyanyi Bintang kecil itu—dan perempuan kerempeng ini merasa seperti dicubit. Maka dia tarik lengan Singgih adiknya lantas membisik: “Kamu lihat sikap cewek itu?” “Ya. Kurangajar banget. Masak dia kasar begitu sama Papa.” “Nggak tau diri.” “Dia pacar Marc.” “Kapok, Marc­nya sudah modar.” Keduanya berwajah dengki, ditakdirkan sebagai manusia yang cerewet untuk semua hal: entah terhadap yang baik­baik apalagi yang buruk­buruk. Cerewetnya Sri Hartini menyaingi semua burung parkit di pasar unggas Jl. Pramuka. Sedang adiknya, Singgih yang lelaki setengah­mateng, cerewetnya menyamai bebek­bebek yang meleter di kolam tai. Dikatakan Singgih setengah­mateng sebab yang disebut ini bercap G, huruf pertama kata ‘gay’, atau dalam bahasa kaum bencong adalah ‘homreng’. Sri Hartini menjadi cerewet selain karena tabiat, juga sebagai cara menarik perhatian, berhubung tidak ada yang ter­ tarik kepadanya. Memangnya siapa yang tertarik kepada wajah orang yang 155 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dengki. Dengki bersumber dari hati. Selama hati tidak merdeka dari perasaan dengki, maka wajah yang dihias dengan senyum pun akan tetap terlihat menyebalkan. Mereka sebal melihat sikap Mayang, tapi mereka tidak tahu apa latar di balik sikap itu. Jangankan mereka, sedangkan kedua ibu dari masing­ masing anak yang berpacaran itu, juga tidak tahu apa­apa. Sebab persoalan hati adalah wilayah paling rumit dalam keinsanian seseorang untuk ditafsir dengan kesimpulan­kesimpulan akali. Yang diketahui Jeng Retno, seperti juga yang diketahui Ibu Intan, selama ini Mayang bilang cinta pada Marc, dan Marc bilang cinta pada Mayang. Sudah. Itu saja. Namun, apakah cinta kedua yuwana ini telah sampai pada cinta yang dewasa: mempersiapkan diri ke jenjang perkawinan, ataukah masih sebatas cinta monyet: sekadar senang­senang mojok di tempat gelap sembari melakukan kerajinan tangan, tak jelas. Ibunda masing­masing, baik Ibu Intan maupun Jeng Retno sama­sama tidak mempersoalkannya. Mungkin kedua ibunda ini berpendirian kontemporer, sengaja memberikan ke­ bebasan kepada anak­anaknya melangkahkan kaki di zaman yang berbeda dengan zaman Sitti Nurbaya. Tapi, semua itu sudah tinggal cerita. Kini, di depan petimati Marc, pikiran Ibu Intan buyar se­ perti sebuah pulau impian yang disapu tsunami. Petimati itu sendiri tidak akan ditanam bersama jenazah Marc ke dalam liang lahat. Itu kemauan Dharsana tanpa se­ tahu Ibu Intan. Nanti, sesampai di Tanah Kusir, Marc akan diluncurkan pelan­pelan ke dalam liang lahat, hanya tubuh berbungkus kain kafan, sebagaimana leluri orang­orang percaya tentang dari tanah kembali ke tanah. Di saat itulah, ketika Marc sudah dimasukkan ke dalam li­ ang lahat, dan pekerja makam memaculi tanah untuk menim­ 156 www.bacaan-indo.blogspot.com bun dan menanam mayat, maka menangis sedihlah Ibu Intan, sampai tubuhnya lemas lunglai seperti hilang tulang­tulang, lantas pingsan. Sebelumnya, samar­samar dia masih mendengar kata­ kata elok dari doa seorang ustad yang ke sini atas permintaan Dharsana, juga tanpa setahu Ibu Intan: “Allaahumma la sahla illa maa ja’altahuu sahlan, wa anta taj’alul hazana idzaa syi’ta sahlan.”1 Ibu Intan siuman pada sejam kemudian. Beberapa orang, termasuk James Winata, Anto Irawan, Todung, dan lain­lain, kecuali Jeng Retno dan Mayang, masih kembali ke rumah duka—rumah kayu­papan—mengantar Ibu Intan dan Dharsana. Oleh karena itu, bila ada kata­kata adab yang bisa terangkai dari mulut Ibu Intan dalam duka dan takzim kepada para pelayat, maka tentu kata itu adalah: “Terimakasih.” Begitu pula yang diucapkan Ibu Intan kepada Winata. Dan, aneh, itu akan terus diingat Ibu Intan, betapa orang yang bernama Cina, sehnya Oey ini, menyalamnya dengan pernya­ taan belasungkawa tak sama dengan yang lain­lain. Kata James Winata, “Saya turut berduka, Bu.” “Terimakasih,” sahut Ibu Intan. Lalu kata Winata, “Kalau Ibu merasa ada sesuatu yang mesti ditempuh akibat dukacita ini, jangan tunda­tunda, sebab setiap penundaan selalu berisiko mengubah anak domba men­ jadi anak harimau.” Ibu Intan terkesiap mendengar itu. Otomatis dia bertanya, “Apa maksudnya itu?” Winata kaget sendiri akan kata­kata yang baru diucap­ 1 Ya Allah, tiadalah kemuliaan selain yang telah Engkau mudahkan, dan Engkau jualah yang menjadikan kesulitan, tapi jika Engkau menghendaki maka jadilah juga kemudahan. (HR Ibnu Al­Suni, Malik bin Anas.) (Ar.) Hotel Pro deo kannya itu, “Saya tidak tahu juga,” katanya jujur. “Tiba­tiba saja saya merasa seperti dibisiki.” “Dibisiki? Siapa?” “Mungkin Konghucu. Maaf.” Ibu Intan terbengong. Lekas­lekas Dharsana masuk mengantarai dua percakapan Ibu Intan dan Winata. Dengannya dia ingin dihargai sebagai suami yang sangat berperhatian dan bertanggungjawab atas permasalahan istri. “Jangan kuatir, Pak Winata,” kata Dharsana. “Bedebah yang bunuh Marc sudah ditahan kepolisian. Dia pasti akan divonis sekurangnya 20 tahun di pengadilan. Saya tidak bakal menunda­nunda untuk secepatnya membawa bedebah itu ke pengadilan. Percayalah, saya bersungguh­sungguh.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 158 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 30 TIDAK diketahui Dharsana bahwa Sri Hartini dan Singgih anak­anaknya menanggung kasam melihat Mayang mencuca dengan kata­kata ketus “Jangan pegang aku.” Kejadian itu mengganggu pikiran mereka. Mereka hanya bisa melihat akibat tanpa bisa melihat sebab musabab kejadian itu. Pagi­pagi, sebangun dari tidur, mulut mereka sudah di­ ramaikan oleh omelan belu­belai mengingat kejadian itu, sampai­sampai suara mereka mengganggu ketenangan ibu me­ reka—atau bekas istri Dharsana—yang sebenarnya memerlu­ kan banyak istirahat di rumah mereka di Rawamangun. Ibu mereka sudah menderita lumpuh sebelum bercerai de­ ngan ayah mereka Dharsana. Dulu ibu mereka minta cerai dari Dharsana karena tidak tahan terus­menerus makan hati berulam jantung gara­gara 159 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo tabiat Dharsana yang mirip seperti kutu loncat, bertualang dari satu vagina ke vagina yang lain sehingga sempat tertular gonorrhoea lantas menjangkitinya. Untuk menyebut tabiat Dharsana itu, bekas istrinya ini menganggapnya sebagai contoh paling kasatmata tentang laki­ laki yang bercap ‘mata keranjang’. Yang disebut ‘matakeranjang’—harusnya dieja ‘mata ke ranjang’—adalah suatu kebiasaan khas mata lakilaki yang dalam hal melihat seorang perempuan lantas sertamerta membayang­ kan tubuh perempuan itu mengangkang di atas ranjang. Jadi, kata ‘mata keranjang’ yang harusnya dieja ‘mata ke ranjang’ ini adalah ungkapan tentang ‘fantasi mata ke atas ranjang’ dari lakilaki melihat perempuan. Dan, apa yang dibuat oleh Dharsana dulu dengan ‘mata ke ranjang’­nya itu, menyebabkan bekas istrinya ini, atau ibukandung Sri Hartini dan Singgih, merasa disiksa lahir dan batin. Kedua anak Dharsana yang cerewet ini bicara keras­keras soal jengkel mereka terhadap Mayang yang mencuca ayah me­ reka, supaya ibu mereka mau mendengar dan memberi pem­ benaran. “Masak Papa dibentak, seperti anjing menyalak kepada celeng, dan Papa kalah, melangkah mundur,” kata Sri Hartini di kamartidur ibunya. “Gila nggak tuh, Ma? Papa itu ABRI, perwira, dianggap sepele sama cewek kuper.” “Iya, Ma,” kata Singgih mengasut. “Cewek itu mentang­ mentang. Lagunya tengil. Dia bikin Papa kayak tikus basah. Sebel deh ngeliatnya.” Ibunya tidak mengomentari. Ibunya hanya berbaring lesu di atas ranjang. Mendengar carutnya mulut anak­anaknya, dia hanya menghembus nafas, apa itu berarti dia berkenan atau­ kah dia berkeluh, tak dipahami baik oleh Sri Hartini maupun Singgih. 160 www.bacaan-indo.blogspot.com Tanpa memahami sikap ibunya itu, berkata Sri Hartini dengan mulut yang carut seperti pantat bebek, “Saking sebelnya, ih, rasa­rasanya aku pingin jambak tuh rambut cewek itu, lantas seret dia, dimasuki ke dalam sumur.” “Ho’oh,” sambung Singgih. “Terus itu air sumur dialiri listrik biar cewek itu kestrum, kejet­kejet kayak Michael Jack­ son, lantas koit, mampus.” Tapi, sang ibu tidak tertarik pada rumpi dua anaknya yang bawel kayak mesin gergaji besi, mesin serut papan, atau mesin pabrik tahu. Pendeknya, bunyi suara Sri Hartini dan Singgih timbernya tajam, tinggi, sumbang, tidak enak didengar. Walau berbaring di ranjang, dan susah berdiri, ibunya mencerca kedua anaknya dengan ungkapan yang tak diduga daya hayalnya. Katanya: “Kalian ribut banget, kayak pengungsi Vietnam yang nggak berak sembilan hari.” Kedua anak Dharsana yang sudah akilbalig ini, tapi tidak pernah dewasa, lantas memasang muka cemberut di wajahnya. Sejenak mereka terdiam, saling pandang, menunggu ibu mere­ ka bicara lagi. Kata sang ibu, “Sudah, kalian ke luar sana. Mama kliyengan mendengar suara kalian ribut di sini.” Si homreng si G menggerutu kepada ibunya. Katanya: “Ih, Mama, orang berempati sama Mama, Mama malah ngusir kita dari sini.” “Mama capek dengar kalian,” kata sang ibu. “Aduh, Ma,” kata Sri Hartini bertahan. “Kalau Mama lihat lagu cewek itu, pasti Mama jengkel juga.” “Ya, tapi kalian ribut banget. Kalian bikin telinga Mama sakit.” Sri Hartini dan Singgih keluar dari kamar ibunya dengan tampang masam kayak cuka. Di luar kamar mereka masih muni­ Hotel Pro deo muni, bunyi­bunyi, belu­belai, melanjutkan rumpi. Seakan­ akan mulut mereka itu memang terlahir sebagai kembaran bebek. Entah roh apa yang masuk di dalam diri mereka sehingga menyebabkan martabat mereka bernilai kodian. Sudah pasti perangai cerewet, bawel, belu­belai ini pada suatu waktu bakal kena batu. Kesimpulannya, hubungan yang tidak baik antara anak­ anak Dharsana ini dengan istri Dharsana yang sekarang, Ibu Intan, bisa jadi picu ke batu yang dimaksud. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 162 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 31 TAK henti­hentinya Ibu Intan meneteskan airmata, lalu manggah karena asmanya, dan berkali­kali harus menyemprot Ventolin di mulutnya, namun dalam setiap tarikan nafasnya terasa kian susah juga hatinya. Dengan sesenggukan dia berkata menyesali dirinya dan menggusari Dharsana, “Papa bilang tidak akan terjadi apa­apa pada Marc, tapi ternyata begini…” Dharsana tersudut, terdiam, termangu, mencerap omong­ an Ibu Intan yang begitu pilu. Dengannya dia berpikir untuk menemukan cara membela diri. Segera dia menemukan ide lancung. Dia ingat kata­katanya waktu Ibu Intan memberi nomer telefon di Paris untuk sewaktu­waktu menghubunginya jika terjadi apa­apa. Waktu itu dia berkata: Kalau terjadi apa­apa— pada Marc—maka dia tidak akan memaafkan dirinya. Sekarang bagaimana? 163 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Kenapa aku tidak memanfaatkan pengakuan itu?” katanya dalam hati. Akting apa yang harus dia lakukan untuk pembenaran pada kesalahannya? “Ah, aku ketemu jawabannya,” kata dia lagi dalam hati. Maka dia berlagak seperti orang kesurupan. Mula­mula dia menumbuk­numbuk dada, persis kayak siamang atau orangutan di Taman Safari. Dengannya dia ber­ teriak­teriak histeris sambil meloncat, lantas meloncat­loncat, terputar­putar mengelilingi ruangtengah. Di situ ada lukisan dirinya yang disandarkan di atas tripod dan dicahayai khusus dengan lampu sorot kecil. Dia tendang lukisan itu. Lukisan itu roboh. Bingkainya rusak. Kemudian dia berguling­guling sampai di pojok ruang. Di situ ada meja ukir berukuran besar khusus untuk menaruh vas bunga ukuran guci di atasnya. Dia angkat meja itu lantas membantingnya. Vas bunga pecah berkeping di lantai. Air di dalam vas itu membasahi lantai. Lantai menjadi licin. Dan Dharsana terpeleset di situ. Dia berdiri lagi. Tetap berteriak­teriak. Meyakinkan untuk dianggap hatinya remuk­ redam. Dharsana melakukan kegilaan itu, mengulang­ulang kata­ kata yang sama, yang dalam sadarnya untuk memberi kesan putusasa, supaya dibenarkan kesedihannya. Kata­kata yang diteriaknya berulang­ulang adalah: “Aku menyesal. Aku me­ mang bersalah. Aku tidak akan memaafkan diriku.” Lukman melihat itu sebagai keganjilan. Hutami melihatnya dengan takut. Ibu Intan tidak berprasangka. Dia terkecoh, dan karenanya Dharsana merasa puas, berhasil melakukan akting. Tak berhenti dengan akting yang heboh hebat seperti itu, akhirnya manakala Dharsana merasa lelah letih, dan melihat di tangannya ada cedera terkena pecahan vas ketika dia terpeleset tadi, maka dia pun mejam­mejam seperti gasing, masuk ke 164 dalam kamar, menjatuhkan badan ke atas ranjang, tengkurap, lantas memukul­mukul kasur, melanjutkan ratapan dengan kata­kata yang berbeda lagi. Kini, yang diucapkannya di atas ranjang itu adalah: “Aduh, aku teledor, Tuhan. Ampuni aku, Tuhan.” Hebat sekali orang Indonesia ini. Agaknya orang Indonesia, seperti kasatmata pada sosok Dharsana ini, paling gampang sekali melibatkan Tuhan untuk hal­hal yang mestinya bisa diselesaikan oleh Pak RT. Agaknya belum ada penelitian kejiwaan terhadap orang Indonesia, dalam hal ini Dharsana, menyangkut kesukaannya ber­Tuhan­Tuhan untuk tindakan­ tindakan yang justru direstui setan, sementara pelafalan Tuhan yang dilakukan berulang­ulang hasilnya bisa berubah menjadi Hantu: Tu­Han­Tu­Han­Tu. Hantu itu saudara sepupu setan. Sebenarnya, tak diketahui Ibu Intan, bahwa hati Dharsana yang asli, yang sejati, adalah wilayah otonomi bagi setan. Sampai tiba saatnya, nanti Ibu Intan akan menyadari, dan moga­moga tidak terlambat, betapa dia harus melawan dan memerdekakan diri dari azab. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sampai malam tiba Dharsana di ranjang, berlagak seperti orang sakit, telentang sekian menit lalu tengkurap sekian menit, terus berganti­ganti sembari melirik ke pintu apakah Ibu Intan masuk ke kamar dan melihatnya masygul. Dasar munafik, menjelang malam Dharsana bersiap­siap pergi meninggalkan rumah. Kebetulan ada panggilan telefon dari Rachmat Wirjono untuk, biasa, pertemuan membahas si­ kon negeri yang kian mendidih. Ibu Intan memberi perhatian semadyanya pada Dharsana yang akan pergi. Pertanyaannya, “Papa tidak capek?” Jawab Dharsana berpura­pura letih, “Apa boleh buat, Ma, ini tugas negara.” Hotel Pro deo Di dalam perjalanan, di atas mobil yang distir oleh Lukman, Dharsana menelefon Jeng Retno. Suaranya parau karena aksi bengok yang diperagakannya tadi di depan Ibu Intan, sehingga Jeng Retno pangling. “Kok suaramu malih, darling Mas?” “O, ya, aku baru berlatih nyanyi seriosa, he­he­he.” “Aku terpesona,” Jeng Retno ketawa ngakak, liar, dan pasti akan beringgris sebagai bukti mengambangnya kepribadian orang Indonesia yang mengira dirinya hebat karena kegilaannya beringgris­inggris ria. “Oh my God. You’ve got something in mind, tell me.” “Ah, aman terkendali.” “Aku kecewa. Aku kira dikau menelefon untuk memberi kabar soal inhaler sesak nafas, bengek, asma.” “Tidak. Dikau tidak mengerti, aku bilang: aman dan ter­ kendali.” “Ya, udah. Ke sini dong. I need to talk tou you.” “Ya, ya, ya, aku datang padamu setelah rapat di markas.” “Oke. Aku tunggu.” “Bagaimana Mayang? Aku harus bicara dengannya.” “Take it easy, darling Mas.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dharsana tiba di rumah Jeng Retno setelah larut malam, mengajak Mayang bicara, tapi Mayang tidak mau turun dari kamarnya di lantai dua. Di kamarnya Mayang melungkar di ranjang, membiarkan compo di samping kepala membahanakan lagu Mariah Carey— yang lebih mirip sebagai demonstrasi vokal ketimbang nyanyi— sembari tidak peduli apakah itu laras atau tidak mengiringi dukanya. Apa yang dilakukan Mayang ini adalah berjalan di dalam tidur, sesuatu yang sebenarnya tak jelas faedahnya bagi jiwanya. 166 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado *** 167 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 32 INGINNYA Dharsana bertemu dengan Mayang yang tak mau menemuinya, karena alasan yang terdengar bagus, “Untuk mengklarifikasi omongan Mayang.” Rupanya omongan Mayang telah menjadi sandungan yang dikuatirkan Dharsana bakal mengubah pikiran orang yang mulanya hanya sekadar tekateki lantas menjadi prasangka. Padahal, kalaupun terbit prasangka, Dharsana tahu hal itu merupakan kenyataan yang alami, persoalan yang normal. Justru di situlah dia merasa harus berdiri di tengah­tengahnya untuk apa yang dikatakannya ‘mengklarifikasi’. Perkataan ini bisa bermakna mengalihkan kebenaran. Bagaimanapun soal yang diucapkan Mayang di depan peti­ mati itu telah membuat kepala Dharsana terasa berat, seakan­ akan memanggul batu gunung besar yang menyusahkannya. Dia rumangsa bahwa orang­orang lain yang ada di depan petimati, yang melayat di situ sebagai tanda takziah antar sesa­ 168 www.bacaan-indo.blogspot.com ma manusia, mungkin sama­sama melihat bagaimana Mayang menyentakinya dengan kata­kata ketus: “Jangan sentuh aku.” Namun, tidak diketahui Dharsana, bahwa di antara orang­ orang yang sempat melihat adegan itu, ada orang yang bukan hanya melihat, tapi bahkan memperhatikan sikap Mayang ter­ sebut, yaitu, selain Sri Hartini dan Singgih anak­anak Dharsana, adalah Hutami pembantu setia Ibu Intan yang biasa mengurut­ urut kaki sang majikan. Hutami merasa garib melihat adegan itu. Suatu waktu pasti dia akan menyampaikan kepada Ibu Intan, entah dalam pertanyaan atau entah dalam pernyataan, pendeknya bercerita semua yang dilihat dan didengarnya berhubungan dengan ade­ gan itu. Lalu bagaimana nanti Dharsana menghadapi itu, tak per­ nah pula dipikirkan Hutami. Sekarang ini pikiran Dharsana hinggut. Dia bertanya­ tanya dalam hati yang sebenarnya dia ketahui jawabannya: mengapa Mayang begitu cempala berkata ketus terhadapnya. Pertanyaan yang lebih benar untuk mesti dicari jawaban­ nya adalah, bagaimana menangani masalah dalam dirinya su­ paya yang namanya asap tidak berubah menjadi api. Itu bergantung pada Mayang sendiri. Bisakah dia mengubah perasaan Mayang? Beberapa waktu lalu dia bisa mengakali Mayang dengan selembar cek. Bisakah dia melakukannya lagi sekarang? Dia tidak berani bertaruh. Tapi dia tetap bertanya­tanya di dalam hati. Malam ini, setelah lewat beberapa jam dari peristiwa yang mengganjel pikirannya, di saat badannya letih, dan pikirannya tetap bekerja untuk hal­hal yang khas mencitrakan ular, dia minta Jeng Retno memanggil Mayang. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dengan lenjeh Jeng Retno berkata, “Oke, darling Mas. I’ll do my best.” Dharsana menarik lengan Jeng Retno, memegang kedua pipinya lantas mencium dengan cara burung merpati teler. Setelah itu Jeng Retno melepas diri, berjalan ke lantai dua, mengetuk pintu kamar Mayang. “Mayang, Honey, Om Dhar ada di sini, Sayang.” Mayang mendengar itu. Tapi dia tidak peduli. Dia putar keras­keras CD dalam player di kamarnya. Suara musik rap yang memekakkan kuping orang­orang tua terdengar membahana di situ. Jeng Retno kalah. Dia tidak berhasil menyuruh Mayang keluar dari kamarnya. Dia turun kembali dari lantai dua, men­ jumpai Dharsana di serambi tengah, langsung duduk di paha Dharsana. “Embuh kesambet opo anake Kandar kuwi,” katanya. “I don’t know what is the fucking reason ujug­ujug dia kayak begitu.” “Ya, aku sudah merasakan itu,” kata Dharsana. “Bayang­ kan: dia bilang jangan pegang­pegang dia.” “Ya, ya, I saw that.” “Menurutmu kenapa?” “Aku tidak tahu, Mas, maybe you made a mistake?” “Apa? Kesalahan apa? Aku cuma memegang punggungnya, menyuruhnya tawakal.” “Aku tidak tahu deh, Mas.” “Aku ingin membujuk dia.” “Susah, Mas. Dia itu Aries. Bintangnya orang headstrong.” “Bagaimana caranya supaya dia bisa bicara?” “Ojo grusa­grusu, Mas. Biarpun dia keraskepala, dia harus 170 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com dilembuti. Kita butuh dia. She is our only hope.” “Ya, aku tahu.” Dan, ketika Jeng Retno berkata bahwa Mayang merupakan satu­satunya harapan, dan Dharsana menyadari itu, maka sertamerta topik percakapan berpindah ke lain hal yang ber­ hubungan dengan Mayang. Dharsana langsung mengingatkan itu. “Bicara tentang Mayang sebagai harapan kita, bagaimana dengan Kandar? Apa suamimu itu sudah membikin surat wa­ siat bahwa tanah warisan di Jepara itu diperuntukkan buat Mayang?” “Aku akan minta itu, Mas. Don’t worry.” “Maksudnya, kalau tanah di Jepara itu sudah ada wasiat­ nya, aku akan bicara dengan Pak Winata, untuk dijual kepada dia. Pak Winata sedang semangat­semangatnya membangun vila­vila wisata di tepi pantai. Tanah pesisir Jepara itu, rasanya paling bagus di antara pantai­pantai lain seluruh pesisir utara Jawa.” “I’ll do my best.” “Pikirkan saja, Kandar tidak mungkin kembali sebagai orang hidup ke sini.” “Ya, luka hati yang dibuatnya padaku membuat aku ber­ pikir untuk segera mengirimnya ke dunia lain.” Dharsana tersenyum. “Ke dunia lain?” Jeng Retno men­ ciumnya. “Yes, darling, Mas. Ke dunia lain.” Yayu sang pembantu pura­pura tidak melihat itu. *** 171 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 33 PERCAKAPAN serius berikut ini tidak harus dianggap se­ bagai ketulusan Dharsana menangani masalah pelik rumah­ tangganya. Di kafe tua peninggalan Belanda di Jl. Veteran, pas meng­ hadap rel kereta samping masjid Istiqlal, Dharsana berbicara serius kepada beberapa orang lakilaki, di antaranya ada Lukman, sopir merangkap bodigar, dan Anto Irawan, polisi yang pengedar narkoba, serta satu orang lagi yang datang ter­ lambat. “Sekarang, coba atur, bagaimana itu petinju tolol, KC, membuat pernyataan lisan dan tertulis kepada istri saya, me­ minta maaf, dan mengaku bahwa dia membunuh karena tidak sengaja. Lisannya dia harus menelefon istri saya. Tulisan­ nya, dia harus tandatangani pengakuannya itu di atas kertas meterai. Nah, apa itu bisa dilaksanakan hari ini?” 172 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Tidak sulit, Pak,” kata Anto. “Kebetulan KC masih di bawah kurungan pihak kami. Sesuai arahan Bapak, rencananya minggu depan perkaranya diserahkan ke kejaksaan.” “Jika ada kesulitan, segera lapor pada saya.” Anto ketawa. “Tidak ada, Pak,” katanya. “Cuma membikin pengakuan lisan dan tertulis, dan mengatur jaksa dan hakim untuk menuntut dan memvonis perkara, tidaklah sesulit meng­ atur persetujuan umat dari pelbagai partai politik atas pe­ nunjukan Bung Karno terhadap Silaban arsitek Kristen untuk mendesain dan membangun masjid Istiqlal di depan sana itu.” “Alah, jangan jauh­jauh ke situ. Persoalan istri saya dekat dengan masalah saya.” “Kami mengerti, Pak.” Dharsana menatap lantas mengangguk. “Malahan arahan Bapak untuk mengatur jaksa dan hakim, sejauh ini lancar­lancar saja, Pak.” Suara yang lain mendukung. “Ya, Pak Bos.” Dharsana menengok ke belakang, melihat ke arah sese­ orang yang datang belakangan dan duduk di situ. Orang yang disebut ini paling senang memanggil Dharsana: “Pak Bos.” “Cepat duduk di sini,” kata Dharsana. “Dan gimana tugasmu?” “Lancar, Pak Bos.” “Lancar bagaimana?” tanya Dharsana. Anto Irawan yang jawab. “Sesuai dengan arahan Bapak, jaksa akan tuntut 25 tahun, dan hakim akan vonis 20 tahun. Tempatnya Nusakambangan.” Dharsana tersenyum lebar. “Lancar ya?” “Ya, Pak Bos,” ujar Todung dengan caranya yang khas, bunyinya seperti starter truk rusak. “Lancar. Soalnya kata bapakku: hepeng do mangatur nagara on.”1 1 Pemeo bahasa Batak yang populer di Jakarta: uanglah yang mengatur negara ini. 173 Dharsana puas. Tapi juga bimbang. “Asal tidak sampai terbaca pers.” “Ah, apalah arti pers,” kata Anto. “Kan masih berlaku ke­ sepakatan PWI dengan kepolisian untuk menciduk pers yang sok liberal dan sok jurnalisme investigatif.” Dharsana girang. Dia ambil cangkir kopi di meja depannya, menghirupnya, lalu, “Yang penting atur dulu pengakuan lisan dan pengakuan tertulis dengan meterai dari KC buat istri saya.” “Kami laksanakan, Pak.” “Saya ingin sebelum magrib surat bermeterai itu sudah sampai di tangan istri saya.” “Baik Pak.” “Terimakasih sebesar­besarnya.” *** www.bacaan-indo.blogspot.com Anto Irawan melaksanakan arahan Dharsana—arahan de­ ngan imbalan hepeng, berlembar­lembar kertas biru bergambar Presiden Tersenyum—sesegera setibanya di kantornya. Dia mengonsep redaksi pernyataan KC. Dengan mesin tik Underwood 130 yang berhuruf kursif dia ketik sendiri lalu di ba­ wahnya ditandatangani KC di atas meterai. Tulisannya itu begini: Ibu & Bapak Dharsana yang saya muliakan Saya mengaku demi nama Tuhan Yang Maha Esa bahwa sayalah pembunuh yang membunuh putra Ibu & Bapak. Dengan ini saya mohon maaf karena kekhilapan saya tersebut. Hormat saya Kartini Cahyaningsih (KC) Surat ini lebih cepat tibanya di rumah Ibu Intan, bukan menjelang magrib melainkan malah menjelang asar. Kurir yang membawa surat ini kepada Ibu Intan bersikap santun yang www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado berlebihan. Ibu Intan membuka sampulnya lantas membaca. Terbawa sedih dan marah, dia remak­remak surat ini, lalu membuangnya ke tong sampah di mana ada kapas­kapas bekas pembersih wajah dan tisu­tisu. “Jahanam!” Tapi, aneh, setelah itu dia menoleh ke tong sampah dengan perasaan tertentu. Gerangan dia berubah pikiran. Dia pungut lagi surat itu. Dia urai kembali menjadi papar. Lalu dia simpan di dalam lemari. Siapa nyana surat itu kelak berguna. Tak lama setelah itu telefon di ruang tengah mendering. Ibu Intan membiarkan saja. Hutami yang mengangkat. “Hallo.” “Ini rumah Bapak & Ibu Dharsana?” “Ya. Dari mana ya?” “Dari kepolisian, Bu. Bisa bicara dengan Ibu Intan?” “Sebentar ya.” Hutami mengetuk pintu kamar Ibu Intan, mengatakan se­ perti yang dikatakan oleh penelefon. Ibu Intan keluar dari kamar, ke ruang tengah, menerima telefon dari polisi tersebut. “Ya, hallo.” Di kantornya sana Anto berkata, “Ini, Bu. Pembunuh yang merasa berdosa itu ingin mengucapkan secara langsung kepada Ibu.” “Apa?” “Ya, Bu, ini lo.” Anto menyerahkan telefon di tangannya kepada KC. “Ayo, bilang sendiri.” KC mengambil telefon itu. Dia bingung. Gelagap. “Eh, eh, maaf, Bu. Saya disuruh minta maaf kepada Ibu.” Anto menabok kepala KC. “Hus! Bukan disuruh! Ini kesadaranmu sendiri, tolol!” Terbata­bata KC berkata, “Oh, iya, Bu. Ini atas kesadaran 175 Hotel Pro deo sendiri saya minta maaf. Tadi saya juga sudah mengirim surat buat Ibu.” Ibu Intan diam. Timbul perasaan ganjil dalam dirinya. Dan, untuk itu, dia pilih diam. Tapi, dalam duduk terdiam di depan mejamakan, dia menyerana, bersoal­jawab dalam pikirannya: mengapa polisi harus mengatur seorang “pembunuh” untuk menyatakan maaf lewat telefon kepadanya? Apakah karena dirinya seorang istri komisaris besar? Dia menggeleng. Cakapnya sendiri tanpa bunyi, “Aneh.” Sebegitu jauh keanehan ini tidak segera melahirkan pra­ sangka di dalam diri. Entah kelak! www.bacaan-indo.blogspot.com *** 176 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 34 KEMATIAN Marc membawa perubahan kepribadian pada orang­orang yang mencintainya. Juga, termasuk orang­orang—dari golongan tak kenal ma­ ka tak sayang—yang menanggung dosa dari satu orang yang membencinya. Nanti, di dalam waktu yang berputar pasti sesuai kodratnya, dan di situ berkembang wasangka dari sumbu kegetiran yang tak terbebaskan di ceruk sukma Ibu Intan, maka tak ayal bakal terjadi letupan dari sumbernya yang tak satu setan pun sanggup membendung. Dia ambil foto Marc, menaruhnya dengan cara menjepitkan di bingkai cermin. Dengan begitu, setiap kali dia berkaca, dia akan melihat wajah putranya. Hari ini dia tercenung lama di depan cerminnya. Dia ber­ henti menyisir rambutnya. Dia tatap foto Marc. Pelan­pelan 177 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dia diayun lamunan, mengingat akan betapa cepat berlalunya waktu dalam kehidupan manusia di atas kulit bumi ini, dan di situ matra martabat ternyata ditentukan oleh tanggungjawab untuk melakukan apa yang dimaui dan bukan apa yang diingini. Dia tengadah ke langit­langit menyadari wilayah nisbinya kehidupan kecuali pastinya kematian. Katanya pelan, “Oh, Tuhan, ya Allah rahmani dan rahimi.” Dalam susah, ketika imannya pun gersang, dia merasa dituntun oleh suara hati yang muncul bagai sipongang dalam nuraninya, membuatnya demikian pasrah, berserah kepada khalikul alam. Dia pejamkan mata. Menerawang jauh ke wilayah entah­ berentah. Lalu dia buka lagi matanya pelan­pelan. Kembali dia pandangi foto Marc di cermin yang sekaligus mencitrai wajahnya sendiri. Ingatan ilam­ilam tergambar di matanya. Munculnya se­ bagai pertanyaan. “Mana yang mestinya menjadi keinginanku, dan mana juga yang mestinya menjadi kemauanku?” Tak disadarinya akan hakikat akalbudi, bahwa pertanyaan demi pertanyaan yang berlangsung dalam monolog sebagai asnad keterbatasan insani, ujungnya akan sampai pada simpai: ketidaktahuan justru merupakan jalan menuju kebesaran jiwa. Dalam diamnya sekarang, karena ketidaktahuannya, dia bertanya­tanya ihwal makna kata­kata James Winata: “Kalau Ibu merasa ada sesuatu yang mesti ditempuh akibat dukacita ini, jangan tunda­tunda, sebab setiap penundaan selalu berisiko mengubah anak domba menjadi anak harimau.” Apa maknanya itu? Dia entah. Terayun­ayun dalam per­ tanyaan tanpa jawaban. Jangankan kata­kata orang lain, sedangkan kata­katanya sendiri yang diucapnya di depan petimati, tak diketahuinya 178 www.bacaan-indo.blogspot.com mengapa terucapkan demikian. Setahunya, kata­kata yang ter­ ucapkan di depan petimati itu, tercetus tanpa rencana, namun bukan juga kebetulan. Kata­kata itu adalah, “Mama bersumpah, Marcel, oh Marcel, demi Tuhan, Mama tidak terima kamu mati dalam cara begitu.” Agaknya, dalam jeritan sedih itu, dia menanggung wa­ sangka buruk akan adanya suatu kehendak tersembunyi di ba­ lik kematian putranya. Jika benar begitu, siapa yang bisa diajak bertukarpikir? Dia kewalahan. Ketika dia merasa ingin melisankannya kepada Dharsana suaminya sebagai orang paling dekat dengan­ nya, pikirannya terbimbangkan sendiri oleh pertanyaan yang setia muncul dalam monolog di saat dia tercenung: siapakah orang yang sengaja membunuh putranya, sedangkan kenyata­ annya sudah ada seorang lakilaki bernama perempuan yang se­ karang ditetapkan menjadi tersangka untuk kemudian menjadi terdakwa? Dharsana sendiri telah menunjukkan perhatiannya yang hebat terhadap istrinya. Saking besarnya perhatian yang di­ tunjukkan Dharsana dalam sikap dan perbuatannya di hadapan Ibu Intan, maka kesannya menjadi sangat berlebihan. Karuan hal itu meninggalkan ingatan yang rancu dalam benak Ibu Intan. Pernyataan yang paling sering diucapkan oleh Dharsana kepada Ibu Intan adalah menyuruhnya untuk tawakal. Hebat juga, seseorang yang dikenal pamornya dengan plesetan buruk atas singkatan namanya DB, bisa­bisanya punya cadangan kata ‘tawakal’ dalam dirinya. Demikian perkataan itu dia ulangi hari ini. “Kita harus tawakal, Ma,” kata Dharsana yang DB. “Hidup dan mati semuanya sudah ada garisnya masing­masing.” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Ibu Intan hanya diam, tidak menanggap pernyataan itu. Pikirannya sedang meninggalkan badannya, beranjangsono ke masa yang tidak mungkin kembali. Dan dia asyik melakukan itu. “Begini saja, Ma, untuk menghibur diri, ayo kita jalan­ jalan ke Bali,” kata Dharsana, duduk di sebelah Ibu Intan di ruang makan rumahnya yang kayu­papan. “Atau, kalau tidak, kita mulai dari Barat ke Timur: ke Toba, Siguragura, terus ke Ngarai Sianok, lantas ke Lombok, ke Toraja, ke Bunaken...” Ibu Intan mengangkat kepala, memandang Dharsana se­ kilas, lalu menunduk kepala lagi. Tiada kata­kata. Dharsana merayu. “Nah, gimana, Ma?” Ibu Intan tidak menjawab. Dharsana mendesak. “Ayo, Ma, kita menghibur duka de­ ngan jalan­jalan.” “Aku capek berjalan.” “Dengan melihat pemandangan, warna­warna hijau po­ honan, pasti kita bisa terhibur.” “Monoton.” “Oke. Kalau pemandangan yang hijau­hijau buat Mama terasa monoton, ya, kita ke Amerika saja: Kanada yang ber­ bahasa Prancis, Meksiko yang berbahasa Spanyol, Brasilia yang berbahasa Portugis, Suriname yang berbahasa Belanda dan Jawa. Pasti menarik kita ke sana. Maksud Papa kalau kita pergi ke sana, kita bisa sama­sama terhibur, melupakan perasaan sedih kita sekarang ini. Ya, toh, Ma? Sekalian kita bikin itu bulanmadu kedua.” Tiba­tiba tercetus sesuatu yang tidak diduga­duga. “Apakah Papa sedih juga?” Dharsana terkinjat. Pertanyaan yang mestinya diterima wajar, malah membuat Dharsana merasa, diwasangkai. Tentu saja itu perasaannya sendiri karena kaidah tak tertulis: hati 180 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado berkata benar dalam kata­kata sederhana, akal berkata dusta dalam kata­kata istimewa. “Ah, kenapa Mama pertanyakan itu? Percayalah, aku pa­ ling sedih karena kematian Marc. Mama lihat sendiri, aku yang mengurus mayat Marc dari rumahsakit ke rumah sini. Aku juga yang menyuruh polisi menangani si bedebah yang membunuh Marc.” Ibu Intan termangu, diam, hanya menggosok­gosokkan jempol kanan di atas jempol kiri. Tak terbaca oleh Dharsana, apakah diamnya Ibu Intan itu berarti sepakat, ataukah terserah, atau pula enggan, tidaklah jelas. Bagi Dharsana, yang mustahak harus dilakukannya seka­ rang, adalah berpenampilan serius sebagai suami yang sungguh­ sungguh memperhatikan keadaan hati istri yang galau, dan untuk itu percakapan yang baru dilakukannya, sepenuhnya dimaksudkan sebagai cara menunjukkan keseriusan itu. Mudah­mudahan saja, begitu pikir Dharsana, istrinya per­ caya pada keseriusan yang diperagakannya itu. Dalam hal ini Dharsana memang cerdik melakukan tindakan­tindakan yang berkasad keseriusan. Dharsana pun mengulangi lagi rayuannya. “Bagaimana jadinya, Ma? Kita jalan­jalan ke Amerika?” Ibu Intan memandang wajah Dharsana. Ada sedikit gerak kecil di bawah bibirnya. Tampaknya itu berarti dia terpengaruh. Suaranya pelan. “Aku tidak mau buang­buang uang.” Dharsana keranjingan, merasa berhasil. Katanya senang, “Soal itu gampang, Ma. Aku telefon James Winata sekarang juga, maka sekarang juga dia bisa belikan tiket buat kita.” *** 181 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 35 DARI kursi kafe hotel berbintang yang tak jauh dari gedung DPRRI di mana Dharsana biasa berkongko­kongko dengan berbagai pihak, dia menelefon James Winata, menyuruhnya segera datang menemuinya di situ. Dharsana menyuruh, bukan meminta. Winata patuh, segera menemui. Di zaman Orde Baru sekarang ini, orang­orang Cina takut sekali pada ABRI. Mereka terpaksa mau disuruh­suruh, diperas, dimintai angpau: sesuatu yang asalnya berkasad sukarela pada waktu­waktu khusus, kini telah diubah menjadi sesuatu yang wajib diberikan pada waktu­waktu sembarang. “Tolong deh ke sini,” kata Dharsana, cengenges. “Saya perlu sekali sama Pak Winata.” Bahasa yang dipakai Dharsana kedengarannya berbudaya, yaitu verba ‘tolong’. Dengan mengatakan verba ini maka nuan­ sanya terkesan persuasif. Padahal di kepala Dharsana, yang 182 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado terpola sebagai tali­peranti adalah: perkataan apapun yang berkonteks permohonan dengan menggunakan tandaseru, praktiknya memang pasti intimidasi. Satu jam kemudian Winata hadir di situ. Selama menung­ gu Winata, Dharsana santai mendengar musik yang dimainkan seorang perempuan tambun berambut putih tapi lumayan can­ tik dengan kalung­kalung plastik, gelang­gelang plastik, anting­ anting plastik warna­warni, pating tlenong di badannya. Setibanya di hadapan Dharsana berkata James Winata dengan kalimat yang lumrah bagi orang­orang ber­KTP DKI Jakarta, “Sori, Pak Dhar, jalannya macet.” “Ya, ya,” kata Dharsana. “Silakan duduk deh.” Winata duduk. “Bagaimana, Pak Dhar?” “Ada dua hal yang ingin saya bicarakan.” “Melihat Bapak senyum­senyum, saya yakin itu berita baik.” “Tentu.” “Ya, Pak, bagaimana?” “Pertama. Saya ingin menghibur Ibu jalan­jalan ke Ame­ rika.” “O, ya, kapan, Pak?” “Secepat keluarnya visa.” “O, ya, berapa hari, Pak?” “Katakanlah: dua minggu?” “Dua minggu?” “Ya, saya minta ‘tolong’ transportasi dan akomodasi.” “Baik. Bapak mau naik apa?” “Terserah Pak Winata.” “Kalau begitu nanti saya urus. Itu soal gampang, Pak.” “Terimakasih sebesar­besarnya.” “Tidak apa­apa. Nanti kalau tiketnya sudah ada, besok, atau besoknya lagi, akan saya suruh karyawan saya mengantar ke Bapak.” 183 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “O, ya, sekali lagi: terimakasih sebesar­besarnya.” Lalu, tanpa jeda Dharsana melanjutkan, “Yang kedua: ini soal tanah yang pernah saya bicarakan sama Pak Winata.” “Ya, ya, ya. Yang di Jepara itu?” “Betul, Pak Winata.” “Bagaimana itu?” “Saya ingin itu dikongkritkan. Rasanya timingnya tahun ini paling bagus. Saya dengar bocoran dari kegubernuran Jawa Tengah bahwa pariwisata yang sedang dipikir di Jawa Tengah adalah Jepara. Sebab Jepara secara langsung berhubungan dengan luar karena komoditas furnitur dan tenunnya; “Sementara hotel di sana terbatas dan sarana hiburannya juga nol. Jadi, pembeli luar yang datang ke Jepara cuma ber­ urusan dengan penjual pada siang hari, lantas malamnya lang­ sung tidur sebab tidak ada sarana hiburan; “Maka, dibutuhkan vila­vila dengan sarana hiburan yang bertingkat internasional di sana. Lokasinya sudah ada. Dan lokasinya indah sekali.” “Ya.” “Saya yakin Pak Winata sanggup mengubah lokasi itu— yang dulu oleh orang Belanda disebut Klein Scheveningen— menjadi tujuan wisata paling menarik di pesisir utara Jawa. Pak Winata jagoannya untuk mengubah tempat itu menjadi surga.” “Ah, Pak Dhar berlebihan.” “Tidak, Pak Winata. Saya ingin Pak Winata yang ambil tanah itu. Tanah itu bagus sekali. Saya sendiri punya ikatan emosional dengan tanah itu.” “O, ya? Kenapa bisa begitu?” “Lo? Saya kan orang Jepara, Pak Winata.” “Begitu ya?” “Ya, Pak Winata.” 184 “Baiklah. Saya kira kita harus ketemu khusus membicara­ kan itu, Pak Dhar.” “Setuju, Pak Winata.” “Kapan?” “Sekalian setelah saya menerima tiket itu, Pak Winata.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Winata menelefon Dharsana, mengatakan bahwa tiketnya sudah ada di kantornya, dan akan segera dibawa oleh karya­ wannya ke kantor Dharsana. “Terimakasih sebesar­besarnya, Pak Winata,” kata Dharsana senang. “Tapi tidak usah ke kantor saya. Biar saya sendiri yang mampir ke kantor Pak Winata.” “Baiklah. Saya tunggu, Pak. Sekalian kita lanjutkan omong­ omong kita soal tanah itu.” “Oke, Pak Winata.” Pertemuan terjadi pada satu jam kemudian. Dharsana me­ minta kertas untuk menggambar peta Jepara. Tampaknya dia mengerti sekali menggambar peta. Sambil menggambar dan menggaris­garis tanda batas, dia menerangkan satu per satu bagian­bagian yang digaris­garisnya itu. “Di bagian ini Kecamatan Keling, terus yang ini Kecamatan Kembang, lalu di bagian sini Kecamatan Bangsri. Tapi di antara semua wilayah kecamatan Jepara yang paling penting bagi etnis Cina ini: Kecamatan Welahan. Di sini ada kelenteng tua yang sering didatangi orang­orang etnis Cina antero Jawa.” Winata mengangguk­angguk melihat kecekatanan Dharsana membuat peta dengan hanya memakai vulpen Mont Blanc. Tanyanya setelah itu, “Lantas di mana lokasi tanah itu?” Dharsana mengarahkan vulpennya ke atas, artinya ke utara, dan mencoret­coret bagian itu. “Di sini. Ini dia pantainya. Dari sini kita bisa menyeberang ke utara, ke pulau­ Hotel Pro deo pulau Karimunjawa yang merupakan bagian dari Kabupaten Jepara: Genting, Seruni, Cendekian, Gundul, Menjangan, dan seterusnya.” “Pak Dhar hafal nama­namanya?” “Saya kan orang sana, Pak Winata. Ibarat kata pepatah: ‘hujan emas di tanah orang, hujan batu di tanah sendiri, lebih baik tanah sendiri’.” “Bapak betul.” Winata percaya pada bual Dharsana. Padahal di dalam batok kepala Dharsana ada hitung­ hitungan licik, bisnis yang disepakatinya bersama Jeng Retno dengan istilah: bekerja dalam bersenang­senang dan berse­ nang­senang dalam bekerja. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Setelah itu percakapan kembali ke soal ‘angpau’ keharusan Winata menyediakan tiket ke Amerika untuk keberangkatan Dharsana dengan Ibu Intan. “Mudah­mudahan urusan visa di kedutaan bisa cepat sele­ sai,” kata Winata, sambil berjalan ke depan hotel, meminta valet membawa mobilnya. Dengan percayadiri yang mengarah ke sikap pongah, berkata Dharsana, “Saya tidak punya masalah di kedutaan Amerika. Yakin, visa saya tidak sulit.” “Ya, Pak,” kata Winata. “Saya segera menyuruh karyawan saya mengurus semuanya.” Dharsana mengulurkan tangan, menjabat tangan Winata, sambil berkata, “Terimakasih sebesar­besarnya.” Bersamaan dengan mobil Winata sudah dibawa oleh valet ke depan. Winata naik, menyetir sendiri, dan pergi. Kemudian, dalam perjalanan kembali ke kantornya yang 186 Remy Sylado tidak jauh dari hotel ini—yang dalam ungkapan hiperbol: hanya sejarak satu ludah—Dharsana menelefon ke rumah kayu­papan. Kepada Ibu Intan dia berkata, “Ma, kira­kira minggu depan kita berangkat ke US, melupakan duka, berbulanmadu kedua.” Ibu Intan menanggap semadyanya. “Ya.” Hanya satu kata itu saja. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 187 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 36 SEBELUM Dharsana bersama Ibu Intan berangkat ke Amerika—yang tiketnya dipalak dari James Winata untuk konon jalan­jalan menghibur diri dari rasa duka dan konon pula untuk bulanmadu kedua—Dharsana menelefon dulu secara diam­diam kepada dua orang. Pertama: Jeng Retno. Kedua: Todung. Kepada Jeng Retno pesan Dharsana hanya pendek: “Jaga diri baik­baik ya, Sayang.” Dan jawab Jeng Retno pendek juga: “Yes, darling.” Kepada Todung pesannya jelimet: “Kamu suruh Anto Irawan menyelesaikan BAP si KC itu, dan segera kirim ke kejaksaan, atur jaksa menuntut 30 tahun, lalu hakim memvonis 20 tahun.” Dan jawab Todung petakilan: “Beres, Pak Bos. Hepeng do mangatur nagara on.” 188 Yang diminta Dharsana itu benar terjadi di pengadilan. Satu­satunya media yang memuat beritanya adalah Koran Pagi, suratkabar seronok dan heboh dengan judul­judul berita berwarna merah, dan digemari oleh khalayak bawah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Kebetulan koran ini dibaca juga oleh Juminah di kantornya. Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. Dan, demi membaca berita tersebut, dia teringat pada kejadian di jembatan layang Senen. “Hei, baca berita ini,” katanya seraya memberikan koran itu kepada mitra kerjanya di kantor itu. “Masih ingat kejadian waktu itu mobil kita dipukuli preman?” Mitra kerja yang diberi koran itu—namanya Ipong Purnomo—lantas membacanya dengan repot, sebab judul beri­ tanya di halaman satu, dan isi beritanya harus dicari di halaman sembilan, nyempil di antara sambungan­sambungan yang lain. Setelah membaca setengah bagian, Ipong pun terkejut, segera teringat pada kejadian beberapa waktu yang lalu. Katanya sambil menunjuk koran itu, “Lo, Mbak Jum, ini kan peristiwa yang sempat kita lihat di atas jembatan layang Senen, sepulang kita dari Ancol nonton Ivan Falus.” “Justru itu,” kata Juminah, “Aku tidak lupa itu.” Yang di­ ingatnya adalah seorang pesek, yaitu Todung, memukul­mukul mobilnya supaya mobil cepat meninggalkan TKP. “Ada apa ini?” kata Juminah. “Berita ini menarik.” Ipong terangsang pada kata ‘menarik’ yang baru diucap­ kan oleh Juminah. “Apa yang ada dalam pikiran Mbak?” tanyanya. “Kayaknya ada yang terahasia di situ.” “Kekuasaan yang nyeleweng, Mbak?” “Belum jelas. Di koran ini disebut: korbannya putra Komisaris Besar DB Dharsana, pangkatnya disebut, tapi tidak disebut kesatuannya, dinasnya, tugasnya, dan seterusnya. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Apakah sebab korbannya anak kombes, maka kita yang hanya lewat di TKP pun harus disuruh cepat­cepat berlalu? Menarik. Benar­benar menarik. Siapa sih DB Dharsana itu? Bayang­ kan, yang memukul anak kombes itu divonis 20 tahun di Nusakambangan. Apa ini? Saya penasaran: siapa DB Dharsana itu? Berita yang dulu tidak serinci ini.” “Cek di net, Mbak.” “Hm.” Juminah berdiri. Tidak ke meja komputer. Tapi ke meja telefon. Dia putar nomer­nomer angka kepala 031. Yang menjawab telefon Juminah di Surabaya adalah se­ orang perempuan yang sama penampilannya: rambut pendek, semampai, kulit langsat, bibir tipis, hidung agak mancung, mata bulat dengan lentik alis yang indah. Nama perempuan di Surabaya itu: Tuminah. Tuminah berasal dari rahim yang sama dengan Juminah. Tapi Tuminah boleh dianggap kakak Juminah, sebab Tu­ minah berusia beberapa menit lebih awal dari Juminah keluar dari rahim ibu mereka. Kekembaran Juminah dan Tuminah ini nanti akan me­ ngecohkan Dharsana. Kini, jauh hari sebelum itu, cukup disebut bahwa Juminah menelefon Tuminah, karena Juminah berharap pada Tuminah untuk bisa menjawab pertanyaannya: siapa Dharsana. Juminah bertanya kepada Tuminah karena Tuminah polisi wanita berpangkat satu tingkat di bawah Dharsana bergelar doktoranda. “Apa ada catatanmu tentang DB Dharsana?” “Siapa dia?” “Lo, justru aku tanya kamu kok.” “Ya, yang kamu ingin tahu apanya?” “Anaknya dipukul di jalan, dan mati, lalu yang memukul itu divonis 20 tahun masuk ‘Hotel Pro Deo’ Nusakambangan. Pangkatnya konon kombes. Apa betul ada kombes bernama DB 190 Remy Sylado Dharsana?” “Tugasnya di Jakarta?” “Ya.” “Kalau begitu, aku harus cek dari sana.” “Lama nggak?” “Kalau aku sudah dapat, aku kontak kamu.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tapi sehari kemudian Tuminah menelefon Juminah. Jawabnya nihil. “Mesti dilihat di data khusus Jakarta,” kata Tuminah. “Ya, sudah,” kata Juminah. “Tapi, tunggu,” kata Tuminah. “Apa kamu perlu banget soal itu?” “Ah, cuma penasaran saja. Soalnya menarik.” “Hati­hati.” “Memangnya ada raksasa?” “Bukan begitu. Cuma buat membikin kamu waspada saja. Bahwa jangan sampai kamu berpikir kecil lantas kamu me­ ngorbankan yang besar. Aku polisi. Aku tahu cara siasat. Aku tidak bakal mengusir tikus dengan memasang foto­foto kucing.” “Apa maksudmu?” “Jangan mengira berpikir benar itu adalah bertindak prak­ tis. Seperti juga jangan mengira berpikir praktis adalah ber­ tindak benar.” “Yang aku kuatirkan adalah, kalau aku lupa berpikir bahwa lawanku mungkin lebih pintar. Kamu polisi, aku advokat. Ilmu­ ku adalah, bagaimana mengalahkan orang pintar yang kepalang dianggap benar.” Keduanya ketawa. Bisa bareng. Dan bisa bareng pula mengucapkan kalimat yang sama: “Ya, di situlah beda kita seba­ gai kembar.” *** 191 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 37 DHARSANA terus menghubungi Todung soal perkembangan yang terjadi di Jakarta. Apabila dia menelefon Todung, soal ha­ sil pengadilan terhadap KC, dia bicara keras­keras supaya bisa didengar oleh Ibu Intan. “Jadi, bagaimana sidang terhadap pembunuh putraku itu?” tanya Dharsana di telefon hotel di LA. “Sudah divonis 20 tahun, Pak Bos,” jawab Todung di Jakarta. Jawaban itu sengaja ditanya ulang oleh Dharsana dengan suara yang keras. “Apa kamu bilang? Si pembunuh jahanam itu sudah divonis 20 tahun?” “Ya, Pak Bos,” kata Todung. “Lantas?” “Rencananya hari ini, pada malam nanti selepas isya, dia dikirim ke Nusakambangan.” 192 Remy Sylado Lagi Dharsana bicara keras­keras, mengulang kata­kata Todung itu. “Apa kamu bilang? Nanti malam ini si keparat pembunuh putraku itu dibawa ke Nusakambangan?” “Iya, Pak Bos.” Ibu Intan hanya diam di ranjang. *** Sebelum KC dikirim ke Nusakambangan dengan bus ke­ rangkeng bersama dengan napi­napi pindahan dari beberapa rutan, pengawalnya membuat syarah khas Orde Baru: “Demi Pancasila, kamu semua akan dipindahkan ke Nusa­ kambangan. Dulu Nusakambangan penjara, sekarang sesuai Pancasila namanya bukan penjara, tapi lembaga pemasyara­ katan. Apa artinya itu? Itu berarti kamu semua adalah bagian dari masyarakat Pancasila. Paham?” “Pahaaam.” “Cepat naik!” Ternyata semua napi, termasuk KC, digebug dulu sebelum ditendang naik ke atas bus kerangkeng. Apa itu bagian Panca­ sila, entah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tengah malam bus itu berangkat dari Jakarta lewat Garut dan pagi­pagi menjelang fajar tiba di Cilacap. Dua orang petu­ gas menarik lengan KC yang terborgol, naik ke atas kapal feri yang bakal menyeberangi arus meninggalkan dermaga Sentolokawat dan sebentar lagi merapat di dermaga Sodong, Nusakambangan. Dari situ nanti ada kendaraan khusus yang menjemputnya untuk dimasukkan ke ‘Hotel Pro Deo’ di depan sana, entah di Batu, Besi, atau Permisan: nama­nama penjara yang sekarang dipakai dari sisa zaman kolonial Belanda yang dulunya lebih dari itu. Di manapun dia ditaruh, dia adalah orang kalah yang nanti hanya punya nomer, bukan nama. 193 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo KC akan ditaruh di penjara yang terletak di sebelah kanan jalanan berbatu­batu dengan sebagian sisi utaranya diselingi dengan bakau dan sisi selatannya berbukit yang membelukar— kata pengawal yang menjemput di dermaga—konon di atasnya sana ada seekor macan kumbang yang baru saja beranak empat ekor dan karenanya sangat ganas. Sebelum dijemput oleh pengawal dengan kendaraan yang akan membawa KC ke selnya di penjara depan sana, pengawal yang menjaganya dari Jakarta sampai Nusakambangan ini, tumben bersosial kepadanya, mengajaknya menunggu jem­ putan itu dengan duduk di rumah kecil sebelah kiri depan dermaga. Ada warungnya di rumah itu. Terangsang selera KC melihat sambel dan tumis daun kates. Laparnya membuat makannya begitu lahap. Dan, ketika dia makan dengan lahap begini, dia bahkan hampir lupa bahwa dirinya berada di pulau ini bukan untuk berpiknik, tapi untuk menjalani hukumannya 20 tahun. Jika hukuman 20 tahun ini tidak sampai terjalani, maka hanya ada dua kemungkinan di luar dugaan yang bisa dibuat taruhan, yaitu, pertama dia mati di situ entah setahun atau sebulan yang akan datang. Kedua, dia meloloskan diri pada suatu waktu entah dua tahun atau dua bulan mendatang lalu ditembak dan mati pula. “Jangan kira kamu bisa melarikan diri dari sini,” kata pengawal itu. “Di utara banyak buaya, di selatan kamu akan diempas gelombang.” Setengah jam kemudian kendaraan jemputan itu tiba. KC disuruh naik dengan disepak bokongnya, disertai hardik yang menyebutnya monyet. Tentu bukan karena kebetulan tubuhnya yang berbulu­bulu dan rambutnya yang gondrong serta kumis­ janggutnya yang ketel tak digunting­gunting selama dalam tahanan polisi. Kendaraan jemputan ini melaju dengan cara yang tidak menyenangkan, pertama karena businya kotor, dan kedua 194 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado karena sopirnya juga gasruh. Di depan sana, di penjara yang terletak di sebelah kanan jalan berbatu dan alang­alang di pinggirnya yang melebihi ukuran tinggi manusia, kendaraan ini berhenti. Lagi KC disepak untuk turun ke bawah. Dia diseret masuk ke dalam penjara pertama ini. Tiga lapis pintu jeruji yang mesti dilewatinya sebelum dia masuk ke dalam, dibawa ke sel ujung kanan. Di dalam sel itu sudah ada seorang napi berbadan tegap, brewok, tapi ubun­ubunnya botak habis dan mudah­mudahan tidak sampai mengganggu ozon. Dia memandang KC seperti kucing sedang mengintai tikus. Tidak satupun kata yang dia ucapkan sampai malam tiba. Baru pada malam menjelang jam 22.00, setelah KC terlelap, tanpa diketahui akan cara­caranya, betapa dua orang lain sudah keluar dari selnya masing­masing dan kini berada di dalam selnya KC. Salah seorang, yang besok­lusa akan diketahui namanya, Dul Osing, membangunkannya dengan cara menjewer dan me­ muntir telinganya. KC kaget lantas bangkit bangun dari tidurnya. “He! Ada apa ini?” kata KC. “Buka celanamu, cepat!” hardik Dul Osing. KC tersentak. Tapi dia pura­pura tidak mendengar. Dengan bersikap begini, tak terbaca oleh Dul Osing dan yang dua lain­ nya, bahwa KC telah dengan cepat menjadi awas. Dia sanggup membebaskan rasa tegangnya dengan memasang senyum di wajah. “Kenapa, Bang?” katanya merendah, dan sudah tentu hal ini dianggap oleh ketiga lakilaki itu sebagai bukti telah ter­ kalahkannya rasa percayadiri KC menghadapi mereka. Maka hardik Dul Osing kepada KC, “Sudah! Tidak usah tanya­tanya. Cepat buka celanamu itu.” “Lo? Kenapa, Bang?” Tidak menjawab, Dul Osing malah membentak, “Tutup mulut.” 195 www.bacaan-indo.blogspot.com KC menyadari dirinya berada dalam keadaan pelik. Suatu tindakan darurat, apabila itu mesti, haruslah dengan perhitung­ an yang tepat. Dia menundukkan kepala tanpa berkata apa­apa. Hal itu dikira Dul Osing sebagai tanda manut. “Kamu tinggal pilih,” kata Dul Osing. “Milih Elton John atau mati.” KC tersedak, tak mengerti, mengangkat kembali kepalanya, memandang wajah Dul Osing. “Eltonjon itu apa?” tanyanya. “Goblok!” kata Dul Osing. “Eltonjon itu dihomo, monyet!” KC terdiam. Matanya tetap awas. Dia memutuskan tidak akan melakukan sesuatu kalau bukan didului. “Ayo cepat. Buka celanamu. Milih mati atau dihomo.” KC tergidik. Jawabannya berikut ini mengandung arti me­ nantang, tapi tidak dipahami oleh Osing, “Lebih baik mati dari­ pada dihomo.” Dengan sombong, merasa dirinya paling berkuasa di an­ tara sesama napi, Dul Osing berkata, “Ya, sudah, kalau itu pilihanmu, kami bertiga akan mengeltonjon, menghomo kamu, sampai mati.” Lalu kepada kedua orang dia berkata, “Lucuti.” Kedua orang yang disebut ini ketawa tanpa perasaan lucu yang mestinya mendukung tawa mereka itu. Ketawa mereka sama persis dengan model tawa sinetron­sinetron tolol. Setelah itu Dul Osing menerjang dengan cara menggabrug tubuh KC. Dia contoh pertama orang yang keliru berhitung. Dia kira orang yang diterjangnya ini hanya gumpalan­gumpalan daging. Dia tidak tahu bahwa KC seorang petinju yang dipecat— yang walaupun tidak berlatih lagi tapi pukulannya sangat ber­ bahaya. Maka, sebelum tangan Dul Osing sampai di badan KC, sebuah tinju tangan kanan yang begitu kuat dengan cepat sekali sudah mendarat di rahangnya. Dul Osing terlambat kaget. Dia keburu terpental, tersandar di tembok, dan jatuh di situ. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Si brewok botak yang satu sel dengan KC buru­buru mengambil inisiatif untuk mengepruk. Dia maju. Tapi dia pun contoh kedua orang yang salah berhitung pula. Sebelum terlaksana apa yang dimauinya dan yang dikiranya betul, tiba­ tiba dia kaget pula sebab tinju dua tangan KC sudah mendarat di kepala dan dadanya. Dia jatuh menumpuk di atas tubuh Dul Osing. KC menggerak­gerakkan kedua tangannya. “Tolong deh,” pintanya kepada kedua orang yang masih belum berdiri di lantai. “Saya tidak mau bermusuhan dengan siapapun di sini.” Dul Osing berdiri. Juga si brewok botak. Melihat itu, dengan kesungguhan yang lugu cepat­cepat KC mengulurkan tangan, maksudnya hendak menyalam, menyelesaikan per­ musuhan, atau paling tidak meluruskan kesalahpahaman. “Maaf,” katanya. “Kita bersahabat...” Perhatian KC terhadap kedua orang yang ditinjunya itu, disertai dengan kesungguhannya yang lugu untuk ingin ber­ sahabat, telah membuatnya abai terhadap orang yang satunya lagi, yang berada di belakangnya. Orang yang satu ini mungkin satu­satunya manusia yang berhitung untung­untungan. Dia mengambil kursi yang ada di dekatnya, lantas dengan sekuat tenaga dia ayunkan kursi itu, mengepruk kepala KC. Seketika terasa pening menyerang kepala KC. Mula­mula rasanya seperti melihat sekelebat sinar. Setelah itu terasa mata­ nya melihat gelap. Dan, akhirnya dia terjerembab. Jatuhnya di lantai seperti batang yang tumbang. Ketiga orang itu pun mengeroyoknya. KC disepak, di­ tendang, ditajong, diinjak­injak, dan seterusnya. Mulanya dia mengaduh­aduh kesakitan. Suaranya parau. Dan kelihatannya dia kalah, tak berdaya. Tapi tiba­tiba, dalam keadaan hampir hilang harapan, dia berteriak nyalang, panjang, seperti lolong 197 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo serigala. Jeritan itu mengagetkan penghuni penjara. Mereka pun berteriak­teriak gaduh. Bersamaan dengan itu, ajaib, terasa ada kekuatan tertentu dalam tubuh KC yang membuatnya tegar, bangkit, berdiri, lalu menghantam habis ketiga bedebah itu. Ganti ketiganya yang sekarang mengaduh­aduh kesakitan. Rangkaian tinju KC kepada ketiganya yang demikian telak telah membuat mereka benar­benar keok, terkulai di lantai dan bertumpukan. Sementara teriakan­teriakan gaduh yang berlangsung dari antero blok, membuat sipir­sipir datang, memukul­mukul jeruji, menyuruh mereka semua diam. KC dipersalahkan. Dua orang sipir menyeret KC ke ruang gelap untuk diamankan. Sebelum dijebloskan ke situ, kedua sipir itu—yang seorang berperut buncit karena banyak cacing di dalamnya, dan yang seorang lagi bersisir klimis meniru seorang menteri yang pandai bicara di TV tentang petunjuk Bapak Presiden—menendangnya berkali­kali. Yang buncit dijuluki Si Labu Siam, dan yang klimis dijuluki Si Ongol­ongol. Keduanya terkenal paling mengabaikan perkataan ‘peri kemanusiaan’. Satu minggu penuh KC dikurung tersendiri di situ. Di hari terakhir, Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol menyeretnya ke luar, dibawa ke semak­belukar yang alang­alangnya melebihi tinggi badan manusia itu, menyiramnya dengan air busuk. “Ingat, kamu. Jangan coba­coba berkelahi kalau tidak di arena khusus,” kata Si Labu Siam. Si Ongol­ongol menimpal sambil menyepak perut KC. “Jangan jadi sok­jagoan di sini. Kalau mau jadi jago, harus di arena khusus.” KC tak mengerti. Tapi dia tahu ini bukan sekolah di mana murid bertanya kepada guru akan soal yang tidak dipahaminya. Jadi, pilihan paling baik, dan juga aman, adalah diam. Terserah nasib, apa yang akan terjadi, terjadi menurut irama waktu. 198 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado *** 199 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 38 Nun di luar sana, seberangkat Marc ke liang lahat, Mayang menderita. Hari­harinya seakan tanpa lagi matahari yang hadir di fajar dan hirap di magrib. Ibunya, yang dipanggilnya Mother telah membujuknya— membujuk dengan bahasa yang dikiranya keren karena ber­ campur­campur dengan bahasa Inggris tapi dengan ilat­Jowo yang kental untuk huruf­huruf ‘b’, ‘d’, dan ‘g’—agar Mayang me­ nerima saja kenyataan pahit itu sebagai garis takdir yang niscaya. Tapi kata­kata ibunya tidak pernah mengeram di benaknya. Hari ini Mayang tidak keluar dari kamarnya. Dia hanya duduk di atas ranjang memandang ke luar, ke langit Jakarta yang cemar oleh kepul asap­asap knalpot. Wajahnya kusut, tak berseri, lesi bagai kunarpa. Jeng Retno masuk ke kamarnya sambil meniup­niup kuku jari­jari tangannya yang baru dimerahkan oleh kuteks. 200 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Oh my God, kok kamu masih terus melamun begini. Wis toh, Sayang, let by gones be by gones forever. Jangan menyiksa dirimu kayak begini. It’s all over.” Mayang tak terima. Apabila dia menyahut, hatinya teruk, kepalanya ruyup, suaranya serak. “Tidak!” “Apa sih yang kamu sesalkan dari cowok macam Marc. He was only a best fucking dreamer who ever breathed.” Mayang marah. Dia berteriak keras. “Mother!” Hanya satu kata itu saja yang bisa diucap Mayang dalam tak sanggupnya berbuat apa­apa karena payah begini. Rasanya kepalanya akan pecah. Tulang sekujur tubuh terasa seperti peuyeum. “Sorry, Nduk, Sayang, tapi Mami telling you the truth. Kamu tahu, the reason I’m telling you this because I love you, Sayang.” Mayang menggeleng. Matanya memandang ke luar. Langit di sana makin abu­abu. Dengan melihat ke sana dia mengucap sesuatu yang kelihatannya mempersalahkan ibunya, tapi yang tersirat sebenarnya dia mengeluh pada dirinya sendiri. “Mother gak mengerti.” “Tidak, Sayang,” kata Jeng Retno secepatnya, memegang pergelangan tangan Mayang. “Mami mengerti your problem, Nduk. Yang Mami ingin kamu mengerti: this world is not our home. This world is a stage. One day everything was great and the next day it was over. Sekarang lihat ke depan. Masih banyak cowok yang hebat­hebat buat kamu. Besides, you’re 18 now. Masih muda banget untuk memilih cowok yang hebat.” “Aaah!” Mayang sumpeg mendengar celoteh ibunya. Maunya dia tutup kuping. Sialnya, karena tak suka, justru suara ibunya itu 201 www.bacaan-indo.blogspot.com terdengar makin menyiksa, bunyinya seperti gerinda pemotong keramik. Ngilu dan singkil. Bikin pusing kepala. Akhirnya berkata Mayang dengan susah, “Mother, tolong deh, biarin Mayang seorang diri di sini.” Jeng Retno masih ngeyel. “Piye toh kamu? Mom cuma try to help you.” “Tidak!” Mayang ngotot, “Mother gak mengerti.” Setiap kali Jeng Retno bicara dengan bahasa gado­gadonya itu—sampai bibirnya lecet karena sulit berkonsentrasi memilih kata­kata antara bahasa Inggris yang nalar dan cara pikir Jawa yang sangat ditentukan oleh rasa—maka Mayang selalu me­ nimpal dengan kalimat sama yang hanya dia sendiri mengerti ujung­pangkalnya dan ibunya tidak mengerti apa­apa. Kalau begitu, apakah yang dimengerti oleh Mayang—tapi tidak dimengerti oleh orang lain karena dia tidak mau mengata­ kannya—merupakan rahasia yang membuatnya kusut begini? Sudah kentara dalam tabiat sejak kecil, yang sebenarnya diketahui sisikmeliknya oleh Jeng Retno selaku ibukandung, bahwa Mayang memang bukan orang yang gampang menyata­ kan dengan bebas dan terbuka akan riwayat dirinya. Jeng Retno sangat mengenal putrinya ini sebagai gadis yang tak gampang mengungkapkan isi hatinya kepada ibunya. Celakanya Mayang pun tertutup untuk banyak hal kepada orang lain. Tabiat ini memang tidak banyak bisa menolongnya di saat seharusnya dia membutuhkan itu. Tak sadar dia makin susah sendiri karena dia menganggap semua orang, teruta­ ma ibunya, tidak mengerti hal­hal yang dia mengerti tapi dia simpan dan dia jaga kuat­kuat sebagai rahasia di dalam dirinya. Akhirnya dia makin benam dengan rahasia itu. Bersa­ maan dengan itu ada gaung yang seakan­akan mengadili tingkahlakunya, kelakuannya, tindakannya di masa lalu. Remy Sylado Manakala gaung itu datang di dalam sukmanya, dia merasa salah, tersalahkan, lantas menyalahkan dirinya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dalam keadaan seperti itu, dia masih sempat satu kali keluar kamar, meninggalkan rumah, ke Tanah Kusir berziarah ke makam Marc, lantas setelah itu memilih untuk mengunci hati terhadap semua orang dengan jalan mengunci diri di da­ lam kamar. Di depan makam Marc dia bercakap sendiri, tak peduli sinar matahari siang bagai bara yang memanggangnya. “Maaf, Marc, aku merasa berdosa padamu. Seandainya kau bisa bangkit dari tanah ini, dan hidup lagi, aku ingin me­ mulai kembali cinta kita, cinta yang berasal dari Tuhan, tanpa campurtangan Setan yang aku tahu betapa mustahilnya; “Aku ingin sebuah cinta yang bebas dari rasa takut, cinta yang sungguh turun dari surga, walaupun di dalam cinta pasti ada nafsu yang turun dari neraka; “Tapi aku sadar, dulu, sekarang, dan besok, tidak ada cinta sejati yang sanggup membebaskan akal dari hitungan­hitungan akan rasa takut terhadap hari­hari yang berputar di porosnya antara yang sudah berlalu dan yang bakal berlanjut; “Sebab, memangnya siapa aku yang bisa tangguh meng­ hadapi kekuatiran­kekuatiran terhadap masing­masing waktu di dalam setiap hitungan hari. Aku paham, di dalam pengetahuan kita atas wilayah hari, ada di situ waktu­waktu yang saling berkosokbali: ada waktu untuk bersukacita ada waktu untuk berdukacita. Semakin kita asyik pada gambaran sukacita, maka semakin kita abai pada kemungkinan dukacita; “Sekali lagi, Marc, maaf. Aku tidak bermaksud begitu, menjerumuskan kau, dan demi sukacita yang hanya sebentar, aku patuh disuruh iblis untuk membiarkan kau mati di atas 203 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo jembatan layang itu. Kalau sekarang kau suruh aku mati juga, aku siap melakukannya demi menghapus dosaku padamu; “Nah, apa katamu?” Mayang termangu. Dia menunggu, kalau­kalau ada jawaban dari dalam kubur. Dia menjadi demikian naif untuk percaya bah­ wa bakal ada suara, mungkin gema mungkin pula sipongang, yang muncul dari dalam tanah: menjawab pertanyaannya. Dia tidak mengerti, sejak hari ini, bahwa ketika dia bercakap seorang diri membayangkan rekaan hidup yang kamil dalam cinta dan tanggungjawab terhadap cinta, sebenarnya dia tidak sadar telah membangun suatu azam yang lebih dari hayal, atau bilanglah suatu fantasi yang mengarah ke ilusi, dalam mana dia menghadapi masalah jelimet peri keseimbangan antara alam pikir dan alam rasa. Lihat saja apa yang akan terjadi sebentar lagi. Masya Allah, di dalam ilusinya itu dia yakin telah mende­ ngar suara dari dalam kubur, suara Marc, yang menjawab pertanyaannya. Dan alih­alih, Marc menjawab: “Marilah datang kepadaku, semua yang letih lesu dan me­ nanggung beban berat, aku akan memberimu tempat perhenti­ an.” Mayang gemetar. Dia benar­benar yakin telah mendengar gaung suara itu berasal dari makam Marc. Dia tidak melihat ke belakang, bahwa di belakangnya ada sebuah nisan dengan tulisan bahasa Belanda soal kalimat itu— yaitu “Komt herwaarts tot Mij, allen die vermoeid en belast zijt, en Ik zal U rust geven”—dan seorang cucu bertanya kepada kakeknya tentang artinya, lalu sang kakek menjawab dengan menerjemahkannya. Suara kakek itulah yang sebenarnya di­ dengar oleh Mayang dan dikiranya suara Marc di dalam tanah sana. 204 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Baiklah, Marc aku dengar suaramu. Demi menghapus dosaku padamu, aku siap mati sekarang juga, menyusulmu di dalam situ.” Mayang membuka tas, mengeluarkan pisau dari dalamnya, berdiri tegak di atas nisan, menengadah ke langit, menatap matahari, dan berseru sekuat suaranya. “Aku datang padamuuu!” Tiba­tiba terdengar suara panik dan nyanyang dari balik pohon yang daunnya carang. “Mayaaang! Don’t do that!” Tak ayal, itu suara Jeng Retno. Ibunya sudah berada di situ sejak tadi. Tadi, diam­diam Jeng Retno membuntuti Mayang, sebab dia penasaran melihat kelakuan putrinya belakangan ini, makin hari makin aneh. Memang benar, Jeng Retno tak mengerti, bahwa kelakuan Mayang yang aneh itu niscaya kare­ na rahasia yang tersimpan kukuh di dalam dirinya, dan dia tak mampu menyeimbangkan mizan antara keinginan dan ke­ mauan, antara yang nyata dan yang benar, antara kejujuran dan kebersahajaan; lantas dengannya akan berujung dengan bunuhdiri. Alangkah gampang orang melawan Tuhan. Jeng Retno meloncat dari balik pohon itu, lantas berlari, menggabruk tubuh Mayang. Mayang jatuh. Dan, beruntung pisau di tangannya, yang dipegangnya dengan gemetar, telah lebih dulu lepas dari tangannya itu ketika Jeng Retno meng­ gabruknya. Setelah itu Jeng Retno memeluknya, kepar­kepar di atas tanah. “Please, Sayang Mayang, don’t do it. It’s all over. It’s all over. It’s all over. Listen to me, Nduk, even heaven and earth shall pass away. Begitulah pacarmu juga.” Mayang pun menangis. *** 205 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 39 DI tempat yang lebih jauh, nun di seberang benua, tak putusnya Ibu Intan menangis duka tanpa airmata. Kiranya cadangan air­ matanya sudah kering. Dia sulit menerima kenyataan atas berlakunya takdir se­ bagai suatu jalan kemestian yang maujud tanpa perlawanan. Toh peristiwa sedih sudah melengket di seluruh relung sukma­ nya, dan tak dapat tiada dia mesti menangis tanpa airmata seperti ini. Dia menyesal, bukan pada dirinya, tapi pada keperkasaan sang waktu yang menentukan takdir itu. Setelah itu dia tidak percaya lagi pada siapapun di dunia ini yang telah menyerah pada takdir; termasuk pada suaminya, orang paling dekat de­ ngannya hari ini. Dengan demikian, dalam malangnya dia ber­ teguh diri pada kata hatinya. 206 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Sedapatnya Dharsana berusaha menghiburnya, berlagak setia, dan justru itu mempertebal firasat ganjil di batin Ibu Intan. Tidak ada perhatian yang semestinya lahir dalam jalan­ jalan ke Amerika—bukan Amerika yang meliputi Kanada sampai wilayah Latin, tapi Amerika Serikat, dimulai dari pantai barat, Kalifornia, sampai pantai timur, New York—ke Hollywood dan ke Broadway: dua tempat yang justru diprasangkai Dharsana sebagai sumber penjajahan kebudayaan Amerika ke seluruh bangsa di dunia. Tapi hati Ibu Intan awet dibungkus duka, tertawan dalam nestapa paling biru. Dharsana pun, yang lebih lazim dipanggil DB, mencoba mengalihkan pikirannya supaya mau beriang­ria di LA menik­ mati geliat kota ini yang sekarang, di zaman yang modern ini, melalui musiknya, tarinya, makanannya, minumannya; tapi lagi­lagi hal itu tidak menolong hatinya untuk bebas dari sedih­ nya. Malahan, semakin keras DB menyuruhnya melupakan ke­ sedihan itu, semakin suntuk pula hatinya terbenam dalam rasa tidak percaya pada kata­kata. Kata­kata dayu Dharsana pun dirasanya seperti omongan konga belaka. Dia bingung, dan dia tidak sanggup mengatakan itu, mengapa timbul firasat ragu pada kesungguhan Dharsana untuk menenangkannya dengan cara mengajak jalan­jalan ke Amerika. Keraguan itu mulai tumbuh pada dua hari lalu, ketika mereka baru tiba di LA. Dia menguping percakapan telefon antara Dharsana dengan seseorang di Indonesia. Percakapan itu terdengar punya pamrih tertentu. Dharsana mengucapkan kalimat penghargaannya kepada orang di Indonesia sana dengan suara dipelankan, nyaris bisik, sambil melihat ke belakang dengan pandangan yang seakan­ 207 Hotel Pro deo akan curiga jika sampai diketahui orang. Padahal Ibu Intan ada di sebelahnya. “Terimakasih sebesar­besarnya,” kata Dharsana. “Baik. Saya bisa atasi yang di sini.” “...” Jawaban orang di Indonesia ini tidak terdengar di telinga Ibu Intan. “Pasti. Percayalah,” kata Dharsana. “...” Jawaban orang di Indonesia ini tidak terdengar di telinga Ibu Intan. “Paling dua malam lagi aku hibur dia di LA. Dari sini kami akan pulang ke Jakarta melalui New York.” “...” Jawaban orang di Indonesia ini tidak terdengar di telinga Ibu Intan. “Dikau sendiri kapan pulang ke Jakarta dari Magelang?” “...” Jawaban orang di Indonesia ini tidak terdengar di telinga Ibu Intan. Walaupun Ibu Intan tidak mendengar itu, dia kadung per­ caya pada kata hati, dan itu yang membuatnya makin kukuh menyimpan prasangka buruk terhadap Dharsana. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sepanjang malam tidurnya gelisah mempersoalkan kata hati tersebut. Dia tidak bisa menerangkan dengan kata­kata yang terbatas akan makna kata hati, sesuatu yang nyata dalam pikiran tapi tak terbatas dalam perasaan. Kata hati ini seperti suatu kekuatan yang mendesak­desak batinnya untuk meyakini yang tidak kasatmata atas perbuatan­perbuatan disertai bicara bersamaan dengan pembicaraan­pembicaraan tanpa disertai perbuatan, dan dalamnya dia tidak mempersoalkan apakah batinnya setuju atau tidak setuju terhadap desakan itu. Besok pagi, di meja sarapan dalam hotel, dia pikir mesti bicara, sebab dengan bicara dalam arti sejati ‘dwiwicara’ atau 208 dialog—tak seperti yang berlangsung sepanjang malam di atas ranjang, yaitu ‘ekawicara’ atau monolog—maka dengannya ke­ adaan kepalanya yang mirip seperti benang kusut, bisa sedikit berubah lempang. Apakah nanti setelah terjadi dialog maka kekusutannya itu benar­benar bisa jadi lempang, dia sendiri tidak berani bertaruh yakin. “Kemarin Mas bicara dengan siapa di Magelang?” tanya Ibu Intan memulai dwiwicaranya. Dharsana kaget, agak gugup, tapi segera bisa berpenampil­ an wajar. “Panglima sedang berada di Magelang, membahas ke­ rawanan di Jakarta,” kata Dharsana. Jawaban itu mau tak mau membuat Ibu Intan terdaulat untuk percaya—suatu rasa percaya yang tidak lebur—mengingat sebagai kombes yang duduk di DPRRI wakil ABRI, Dharsana punya kompetensi untuk bicara begitu. Ya sudah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Akhirnya gagasan beriang­ria yang dirancang oleh Dharsana melalui jalan­jalan di Amerika tidak berhasil menjadi obat, tapi malah menjadi upas… Ibu Intan pulang ke tanahair dengan perasaan cemplang. Dharsana sendiri tidak punya kiat—atau barangkali yang lebih kena: siasat—untuk mengalihkan pikiran Ibu Intan. Dalam pesawat pulang dari New York ke Jakarta, Dharsana pun lebih banyak diam pula. Siapa tahu dia sedang melamuni percakapan telefonnya yang terakhir itu. Sesampai di Jakarta Dharsana kembali dalam rutinnya. Sementara Ibu Intan lebih suka termenung di rumah kayu­ papan miliknya. Dialog terasa lebih encer dengan Hutami sang pembantu ketimbang Dharsana sang suami. Hotel Pro deo Kalau Dharsana mencoba berdialog, nasehatnya, dirasa Ibu Intan hanya sebagai kicauan burung beo mengulang­ulang hafalan kata­kata kosong. Pagi ini, setelah Dharsana pergi ke kantornya, Ibu Intan duduk sarapan di kamarmakan sembari membaca­baca surat­ kabar. Ada empat suratkabar yang dilanggannya. Salahsatu, di bagian halaman advertensi dibacanya sebuah iklan yang menarik. www.bacaan-indo.blogspot.com Kalau Anda punya masalah rumit, tiba-tiba tidak percaya pada suami atau istri Anda, kami bisa membantu mencari solusi. Kami terdiri dari konsultan yang sangat menguasai persoalan Anda. Kami dibantu rohaniwan-rohaniwan dari semua agama yang diakui di NKRI: Islam, Kristen, Hindu, Buddha. RUMAH RUKUN, Jl. Kalimalang 761. Demi membaca iklan itu, Ibu Intan bergegas­gegas mencari alamatnya. Tak gampang mencari alamat yang disebut itu. Sebab nomer­nomer rumah di jalanan ini meloncat­ loncat tidak urut. Setelah mencari satu jam, barulah Ibu Intan membaca RUMAH RUKUN di sebuah ruko. Dia segera ke situ, mematikan mesin mobil, dan turun. Yang menyambutnya di Rumah Rukun ini seorang laki­ laki berumur 70­an, rambut masih hitam, gondrong, dan ber­ kacamata tebal. Agaknya dia memiliki karunia membaca isi hati. Setelah mempersilakan duduk di hadapannya, kalimat pertama yang muncul dari mulutnya adalah: “Sabar subur, tak sabar masuk kubur.” Ibu Intan bingung. “Ada apa, Pak?” “Panggil saya Aki Iyos,” kata yang empunya nama. “Pasti rohaniwan di kamar mereka masing­masing di belakang, akan sama mengatakan: Ibu perlu sabar menghadapi masalah rumit yang Ibu hadapi sekarang.” Ibu Intan tertempelak. Tak urung dia bertanya, “Apa saya kelihatan tidak sabar?” 210 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya,” jawab Aki Iyos. Kemudian dia menguji, “Kalau tidak benar begitu, coba sanggah.” Ibu Intan menggeleng. “Entah,” katanya lugu. “Nah, sekarang coba sanggah juga, bahwa Ibu tidak ber­ masalah dengan suami Ibu, yang membuat Ibu menjadi begini tidak sabar.” “Tidak.” Ibu Intan menolak. “Secara langsung tidak begitu.” “Ya. Sebab Ibu hanya menduga­duga dari mendengar orang lain.” “Entah,” kata Ibu Intan lagi. “Kekurangan Ibu, Ibu terlalu percaya pada hari esok, padahal hari esok itu tekateki. Mestinya Ibu coba belajar me­ nyongsong hari esok itu dengan menengok kegagalan di hari kemarin.” “Persoalannya saya tidak percaya pada gagasan­gagasan.” “Kalau gagasan tidak diejawantahkan dalam praktik, me­ mang gagasan hanya sebuah mimpi. Belajarlah dari arsitek. Ka­ lau arsitek tidak sabar menunggu batu demi batu yang disusun menjadi bangunan, maka gagasannya tidak pernah terwujud.” “Barangkali betul.” Ibu Intan mengakui. “Begini, saya persilakan Ibu menemui rohaniwan­rohani­ wan kami di sini. Niscaya pandangan mereka bisa laras antara satu dengan lainnya, bahwa seseorang termuliakan dalam hi­ dup ini karena kesabarannya dan kepasrahannya di bawah hadirat Ilahi. Nah, silakan masuk.” Ibu Intan masuk ke ruang paling depan. Memang benar, rohaniwan Islam, Ahmadun Najib, ustad muda ganteng yang menggemari puisi­puisi sufi, mewejangnya dengan kata­kata bagus dari Jalaluddin Rumi, “Bersabarlah, sebab kesabaran adalah obat semua penyakit.” Dari rohaniwan Kristen, Ignatius Susetyo, pastor gondrong dari ordo Serikat Jesus yang menggemari musik­musik R&B, 211 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com dia diwejangi kata­kata amsal dari Salomo Ben David: “Orang yang sabar memadamkan perbantahan.” Dari rohaniwan Hindu, Nyoman Supendit, wiprawara setengah baya yang pandai melukis sebagaimana umumnya orang Bali, dia diwejangi kata­kata pendek namun bernas dari Tantri Kamandaka: “Hendaknya kamu sabar dan terusterang.” Dari rohaniwan Buddha, nama lahirnya dulu Tan Tek Hian, pendeta tua yang pandai bermain kecapi Cina, dia diwejangi kata­kata tuah dari Sidharta Gautama: “Hanya orang yang sabar sanggup mencapai penerangan sempurna.” Wejangan­wejangan yang garis besarnya bermakna pa­ dan—bukti bahwa semua agama baik, tapi anehnya kenapa ma­ nusia berkelahi, berperang, berbunuh­bunuh karena agama— mendorong ibu yang sedih karena kematian putranya itu untuk berpikir menjadi sungguh­sungguh pasrah. Kepasrahannya pelan­pelan mengubah sikap hidupnya. Walau begitu, ketika dia menjadi pasrah, dan dengannya dia mesti berserah diri, maka dengannya dia mengerti betapa ber­ serah bukan berarti dia menyerah. Dalam susahnya yang telah membuatnya menangis tanpa airmata ini, ternyata masih ter­ jaga rasa tidak yakin bahwa Marc mati dalam keadaan sangat konyol. Apa? “Ya. Aku tidak percaya dalam percayaku atas masalah yang kasatmata ini, tapi aku tidak punya keberanian untuk me­ ngatakan itu sebagai kecurigaan.” Ya, sudah, lebih baik diam. *** 212 www.bacaan-indo.blogspot.com 40 Dalam duduk diam seorang diri di kamar, Ibu Intan mencoba merenung nasehat para rohaniwan Rumah Rukun. Dengannya dia mengaku tanpa mengucapkannya, bahwa perkenalannya dengan rohaniwan­rohaniwan di Rumah Rukun itu pelan­ pelan dirasakannya faedah yang punya arti maslahat bagi jiwanya. Apakah nanti dia berubah, karena kecewa, dia entah. Sekarang cukup dia ketahui, dari petuah­petuah para rohani­ wan Rumah Rukun, dia memperoleh kekayaan rohani yang tiada tepermanai. Di samping itu Ibu Intan melihat dalam renungnya ini, bah­ wa dari sudut kaidah kemasyarakatan, gagasan para rohaniwan mendirikan Rumah Rukun itu sungguh merupakan suatu ke­ putusan yang hebat. Hebat, sebab di ujung masa kekuasaan rezim Orde Baru—yang tetap disebut ‘baru’ di usianya yang lebih 30 tahun—terasa sekali tren penguasa hendak membalik www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo ‘bhinneka tunggal ika’ menjadi ‘ika tunggal bhinneka’ dengan antaralain dipopulerkannya pola istilah ‘menyamakan persepsi’ atau ‘menyatukan persepsi’ terhadap gejala­gejala perbantahan nilai dalam paham politik serta perbalahan iktibar dalam paham sosial, sebagai cara memandulkan corak berpikir berbeda, dan orang­orang pun terpaksa harus iring saja pada selera penguasa; maka ternyata masih ada orang­ orang berani seperti rohaniwan­rohaniwan Rumah Rukun tersebut yang mempraktikkan keharusan tampil beda sesuai kodrat didasarkan pada kerja alat driya masing­masing yang tak mungkin sama serta sikap batin orang­seorang yang pasti berlainan. Dalam memahami perbedaan itu, dasar­dasar pengetahuan tentang mempelai, menjadi teladan yang kamil. Wujud asasi kemempelaian adalah kemampuan mencitrakan dua hati dua otak yang kodratnya tak sama itu, tapi secara bersama­sama sanggup menyangkali egonya masing­masing demi tujuan ha­ kiki kemanusiaan yang paripurna dalam kepercayaan adanya cinta­kasih­sayang di wilayah nurani. Dalam rangka menghayati kesadaran itu, Ibu Intan mem­ buka diri, menginsyafi adanya juga kemungkinan tak­terban­ tahkan akan kekurangan khas manusiawi dalam dirinya yang harus dia perbaiki dalam bersikap sebagai seorang istri terhadap suami, menaruh ingatan yang paling tulen di dalam sanubari, bahwa kehidupan istri­suami sifatnya harus ajeg terjaga sebagai mempelai: dua otak dan dua hati yang harus mampu menjaga kerukunan di bawah tanggungjawab cinta­kasih­ sayang. Tantangannya: kerukunan paling mendasar sebelum jauh­jauh berbicara tentang kerukunan Pancasila, seyogyanya dimulai dari kemampuan dua insan memelihara kerukunan dalam kehidupan istri­suami, melantan cinta­kasih­sayang sebagai tanggungjawab atas karunia nafas kehidupannya. Setelah bertemu dengan rohaniwan­rohaniwan Rumah 214 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Rukun, dan kini merenungi kebenaran petuah­petuahnya, berangsur­angsur Ibu Intan mau menyesuaikan diri dengan bahasa ideal yang diajarkan oleh rohaniwan­rohaniwan itu tentang perkara kejiwaan yang paling rumit, yaitu wacana merawat kesabaran. Sementara, kebalikan darinya, sikap Dharsana di dalam rumah tidak menunjukkan adanya rasa peduli yang sejati terhadap ikhtiarnya dan kesungguhannya. Seingatnya, rasa peduli Dharsana hanya dalam memanjang­manjang mulut. Bahkan gagasan jalan­jalan ke Amerika tempo hari dengan memanfaatkan rasa takut James Winata pada ABRI, juga ha­ nya sebatas kepedulian yang bercap ‘sekadar rasam’. Omongan Dharsana waktu itu, bahwa jalan­jalan ke Amerika dimaksud­ kan sebagai acara bulanmadu kedua, ternyata hanya berlalu seperti kentut. Di Amerika sana Dharsana hanya sibuk melulu dengan hubungan telefon ke Indonesia, bercakap sembunyi­ sembunyi entah dengan siapa. Malahan, sampai hari ini pun, ketika Ibu Intan sedang berusaha untuk menjalankan petuah para rohaniwan Rumah Rukun, dilihatnya tidak ada tanda­tanda, atau bukti, atau ha­ rapan dengan kata­kata, apa lagi dengan tindakan, yang bisa di­ rasakan kesungguhan Dharsana memandang Ibu Intan sebagai istri, tempat dibangunnya kemempelaian yang ajeg dalam cinta­kasih­sayang. Ukuran untuk mengatakan Dharsana tidak sungguh­sungguh, dimulai dari tanggungjawabnya yang paling dasar, yaitu pada sisi lahiriahnya: betapa Dharsana alpa memberlakukan tidur seranjang dengan istri disertai dengan tindakan­tindakan naluriah, sebagai kewajiban yang mesti tetap, lumrah, bahkan suci. Ibu Intan mulai merasa siasia menempuh jalan kesabaran yang dianjurkan oleh rohaniwan­rohaniwan di Rumah Rukun tersebut. Selanjutnya dia bertanya kepada dirinya sendiri: di 215 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo mana letak kesalahannya sehingga kewajiban­kewajiban men­ dasar suami terhadap istri tadi tidak dipedulikan oleh Dharsana. Diingat­ingat, Dharsana hanya melakukan itu pada bulan­bulan pertama pernikahannya. Setelah itu, tidak diketahui Ibu Intan bahwa konsentrasi pikiran Dharsana belakangan ini bukan lagi pada dirinya, tapi sudah beralih ke wanita yang panas. Akhirnya akan dibenarkan, bahwa belanga yang panas cenderung dilepaskan oleh lelaki, tapi wanita yang panas cen­ derung dipertahankan oleh lelaki, sampai kelak wanita itu akan membuat lelaki menjadi homo sapiens yang tolol. Capek deh! Memang, lama­lama Ibu Intan capek sendiri pada tingkahlaku Dharsana. Rasa capek ini lama­lama berkembang pula menjadi rasa tidak percaya. Dan, rasa tidak percaya pun akhirnya berlanjut lebih buruk lagi menjadi marah karena tersiasiakan. Lalu, setelah itu, pasti kesabaran yang dianjurkan untuk dirawat, langsung terganggu. Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan Ibu Intan mampu merawat kesabaran itu? Tak bisa menjawab pertanyaan, karuan mendorong Ibu Intan lebih suka mengunci diri di kamar, enggan membukanya. Apabila Dharsana pulang ke rumah pada larut malam, dengan wangi parfum dari luar rumah yang merebak di badan­ nya, maka lelaki perlente yang selalu mencoba jaim sebagai suami yang peduli tapi aslinya plinplan, maka Ibu Intan me­ mandangnya dengan acuh­tak­acuh. Dharsana masuk ke kamar sebelah, dan tidur di situ dengan awet dikawal pikiran­pikiran lancungnya. Sikap Ibu Intan selanjutnya: terserah nasib ke mana angin menghembus. *** 216 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 41 HUTAMI prihatin melihat Ibu Intan yang banyak diam di kamarnya. Minggu pagi, ketika Dharsana pergi tergesa­gesa mening­ galkan rumah setelah menerima telefon, Hutami mengetuk pintu kamar Ibu Intan. “Bu, punten, ieu mah sanes hoyong kapuji…” “Ada apa?” “Begini, Bu, sudah lama saya ingin bilang sama Ibu, tapi saya ragu jangan­jangan saya salah.” Sambil berkata begitu Hutami bersila di atas permadani di bawah ranjang ukir Ibu Intan. Ibu Intan penasaran. Dia pandang wajah Hutami. Dia tahu Hutami pembantu yang jujur. Kalimat tanya yang baru diucap Ibu Intan diulangnya lagi. “Ada apa sih?” 217 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Gini lo, Bu. Saya kok merasa aneh melihat Neng Mayang waktu itu di sini.” “Waktu itu? Waktu itu yang mana?” “Waktu melayat ke sini.” Ibu Intan tergegau, mata terbuka, mengalir perasaan geli­ sah yang menegangkan. “Apa yang kamu lihat?” Kalimat ini terucapkan dengan tidak sabar, ingin cepat­cepat mendapat penjelasan. “Ini memang sudah berlalu, Bu,” kata Hutami ragu, me­ mandang wajah Ibu Intan yang tampak galabah. “Tapi daek paeh, Ibu, saya mah tidak melihat dengan mata kepala, tapi saya mendengar dengan telinga kepala sendiri.” “Ceritanya bagaimana?” “Ya, Bu, walaupun sudah berlalu, tapi memang saya ingat betul, sebab kelihatannya itu aneh.” “Aneh? Apa yang kamu lihat? Tadi kamu sebut nama Mayang. Kenapa? Ada apa?” “Iya, Bu, ini peristiwa waktu Den Marc dilayati orang­ orang di sini. Waktu itu, kan Neng Mayang bersama ibunya yang omongnya was­wes­wos itu, ke sini melayat. Lantas, waktu Neng Mayang menangis di depan petimati, Bapak menepuk punggungnya, terus, kok sikap Neng Mayang tidak sopan, Bu…” “Tidak sopan? Kamu bicara apa sih?” “Iya, sumuhun begitu, Bu.” “Bagaimana itu?” “Iya, waktu Bapak memegang punggung Neng Mayang, Neng Mayang menyampluk tangan Bapak sembari memarahi Bapak.” “Memarahi Bapak? Memarahi bagaimana?” “Neng Mayang bilang ‘Jangan pegang aku’.” “Apa?” “Iya, Bu. Neng Mayang bilang begitu sambil menyampluk.” 218 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ah, yang benar?” Dan Ibu Intan menyerana. Dia mencoba mengingat itu. Namun rasa­rasanya dia tidak berhasil mengingatnya. Masalah­ nya, waktu itu dia sangat sedih. Sedih menghilangkan perasaan yang lain. Walau begitu, rasa­rasanya yang dia tahu, dan anggap saja itu merupakan hal yang berhasil diingatnya, adalah, waktu itu Mayang berdiri di sebelahnya, di depan petimati Marc. Setelah menyerana, dan pikirannya samar­samar terbuka, berkatalah Ibu Intan kepada Hutami dengan cara yang sangat karib: “Kamu melihat itu?” “Ya, Bu. Saya anggap itu aneh. Kok Neng Mayang bisa ber­ laku tidak hormat kepada Bapak. Padahal Bapak kan sopan terhadap Neng Mayang. Malahan, pas pada harijadi Den Marc— waktu Den Marc sama Ibu sedang pergi memesan kue dan tiket ke Eropa—Bapak ngasih uang buat Neng Mayang.” Ibu Intan kaget. Dia duduk di ranjangnya. Tegang. “Ngasih uang?” “Iya, Bu.” “Untuk apa?” “Tidak tahu, Bu.” “Yang benar, Mi!” “Bener, Bu.” “Kamu yakin?” “Hakul yakin sekali.” “Kamu lihat sendiri?” “Saya memang tidak lihat langsung, Bu. Tapi saya men­ dengar dengan jelas. Yang dikasih Bapak buat Neng Mayang itu cek lima juta rupiah.” “Apa?!” “Ya, Bu. Saya pas ada di sebelah dinding. Saya dengar semua pembicaraan.” 219 Tiba­tiba rasa tidak percaya terhadap Dharsana makin berasap di kepala Ibu Intan. Macam apa tidak percayanya itu, dia sendiri belum bisa merumusnya. Selintas, yang dapat diterka­terkanya, adalah seperti yang diibaratkan peribahasa: sembunyi tuma, kepala tersorok, ekor kelihatan. Setidaknya demikian yang diharap. Agar dia tidak terus menerka­nerka sendiri di dalam ka­ marnya, dia pikir harus langsung bicara dengan Dharsana, meminta penjelasan dari mulut suaminya itu sendiri. Dengan berpikiran begini, jelas sedang berkembang wasangka yang akan menjadi sangat buruk di masa­masa mendatang. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dharsana pulang di rumah ini menjelang jam 23.00. Tadi, ketika dia pergi terburu­buru, dia mengikuti rapat di kantornya, yang membahas situasi politik dalam negeri yang makin rawan karena gerakan mahasiswa telah teguh menuntut Bapak Pembangunan dilengserkan. Urusan itu membuat Dharsana letih. Kalau dalam keadaan letih seperti ini dia mesti mendengar pertanyaan­pertanyaan di rumahnya yang dirasanya berkasad menyudutkannya, pasti akan terjadi sesuatu yang tidak laras lagi. Ibu Intan sendiri, sebagai perempuan yang sangat istime­ wa dalam emosi, tidak dapat menahan diri untuk misalnya membiarkan Dharsana istirahat dulu. Telah menjadi bagian dari tabiat alami dirinya, bahwa dalam menghadapi berbagai masalah rumit selalu ingin diselesaikannya dengan cepat. Ketika dia mendengar suara Dharsana bertanya sesuatu kepada Hutami, buru­buru dia keluar dari kamarnya, langsung memanggil Dharsana ke serambi tengah. “Aku ingin bicara,” kata dia, nadanya datar, dan kasadnya www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado menantang. “Soal apa?” tanya Dharsana, berdiri dengan rasa percaya­ diri yang kokoh. “Duduk dulu dong,” kata Ibu Intan sambil lebih dulu duduk di sofa ukir model Victorian bikinan Jepara. Dharsana duduk di hadapannya. “Ada apa? Kok begini serius?” “Ya, aku serius,” sahut Ibu Intan. “Aku ingin Papa men­ jelaskan hubungan Papa dengan Mayang.” “Lo! Lo! Lo! Ada apa ini?” “Ya. Aku memang bertanya: ada apa itu? Ada apa Papa dengan Mayang?” “Lo? Kok Mayang sih? Mayang kan pacar anak kita.” “Anakku! Bukan anakmu!” “Ya, ya. Lakilaki memang tidak bisa hamil.” “Tidak lucu!” “Lo? Kan benar begitu?” “Sudah deh, nggak usah mbulet. Sekarang bilang, aku ingin dengar dari mulut Papa sendiri, seberapa sering Papa kasih uang buat Mayang?” Dharsana agak terkapah­kapah. Ketika dia menjawab, dan dia harus melakukannya dengan membuat dirinya seakan­akan wajar, hal itu tidak mudah. Yang dia lakukan berikut ini adalah berpura­pura bloon. Maksudnya, dengan begitu dia akan ter­ lihat konyol. “Kasih uang buat Mayang?” katanya menggerak­gerakkan kepala seperti boneka yang pernya aus. “Untuk apa ngasih uang buat dia?” “Lah, iya, aku memang bertanya begitu,” kata Ibu Intan. “Untuk apa Papa ngasih duit buat Mayang,” “Ah, tidak. Kapan itu?” “Oh? Barangkali Papa lupa. Pada hari ulangtahun Marc 221 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo yang terakhir. Setelah itu Marc tidak ada.” Dharsana berlagak seperti orang pingsan yang tiba­tiba siuman. “O, ya, astaga!” serunya. Jawabannya berikut ini pasti jawaban seketemunya. “Ya, ya, ya, aku ingat. Aku minta tolong Mayang untuk membelikan hadiah ulangtahun buat Marc.” Ibu Intan merengut. Dia mengingat­ingat, barang baru apa yang menjadi milik Marc pada hari­hari sebelum putranya itu tewas. Seingatnya barang yang ada di kamar Marc pada pas hari ulangtahunnya adalah gitar Dobro. Walaupun Marc menyukai musik klasik, dan gitar Dobro biasa dipakai untuk musik­musik country, folk, jazz, dan blues, tapi untuk hari ulangtahunnya Marc meminta uang dari Ibu Intan untuk membeli gitar itu. Harganya waktu itu Rp3.100.000,00. Ibu Intan menguji Dharsana. “Jadi Papa minta tolong Mayang untuk membelikan hadiah ulangtahun buat Marc.” “Ya, ya, begitu.” “Dan, sudah dibelikan?” “Rasanya ya.” “Apa yang dibelinya? Yang ada di kamar Marc pada hari ulangtahunnya cuma gitar Dobro…” “Ya, ya, kayaknya itu yang dibeli oleh Mayang.” Ibu Intan kecut. Dia merasa hendak dibohongi dengan menjadikannya sebagai si tolol. Dia menahan diri. Dia pegang erat­erat bantal kecil di atas sofa. Lalu dia sengaja mengulur omongan seakan­akan dia telah masuk dalam perangkap dusta suaminya, “O? Jadi gitar Dobro itu yang dibelikan Mayang untuk ha­ diah ulangtahun Marc?” Stel yakin jawab Dharsana. “Ya.” Dan, sekeluar kata dua huruf itu dari mulut Dharsana, sesegera itu pula Ibu Intan melempar bantal sofa ke muka Dharsana, seraya mendamprat: “Pembohong besar!” 222 Remy Sylado Dharsana kaget. Dia coba membujuk, “Tunggu, Ma.” “Pembohong besar!” seru Ibu Intan lagi, marah besar, kecewa berat. “Yang beli gitar itu Marc sendiri. Aku yang meng­ antar dia membeli gitar itu di Gramedia Matraman.” Dharsana terpojok. Ketahuan belangnya. Dia coba bicara. Tapi mulutnya plegak­pleguk. “Eh, eh, eh...” Lagi Ibu Intan meneriaki kata yang baru ditemukannya se­ kian detik yang lalu. “Pembohong besar!” Dharsana menangkap Ibu Intan, memeluknya untuk menenangkan emosi yang telah berasap di kepala. Ibu Intan meronta. “Jangan sentuh aku, pembohong besar!” Ibu Intan melepas diri, masuk ke kamar membanting pintu. Kekuatiran bahwa Dharsana yang letih itu bakal marah karena pertanyaan­pertanyaan yang mendakwanya, ternyata tidak terjadi. Dharsana kepalang tak berkutik. Setelah itu, tinggal bagaimana waktu yang berubah me­ nurut kodratnya, dapat mengubah orang­orang yang berada di dalamnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 223 www.bacaan-indo.blogspot.com 42 KELIHATANNYA Dharsana geram sekali pada Mayang. Di atas mobil yang distir oleh sopir Lukman di atas Jl. Sudirman, dia menelefon seseorang, memuncratkan isi hatinya yang geram sangat itu terhadap Mayang. “Saya benar­benar marah, kecewa, kenapa Mayang harus buka mulut begitu kepada Intan, bahwa dia menerima uang dari aku,” kata Dharsana dengan bahasa yang tidak ajeg untuk pilihan kata­ganti­orang­pertama­tunggal: mulanya ‘saya’, ke­ mudian ‘aku’. Orang yang ditelefon itu berseru dengan bahasa ganjen: antara Inggris­Indonesia­Jawa yang campuraduk seperti cap­ cay, tinutuan, gadogado. “Oh my God! What happened between you two, toh Mas?” Sudah dapat dipastikan, siapa yang ditelefon oleh Dharsana itu. Niscaya orang itu adalah perempuan wangi yang diketahui www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado sebagai Jeng Retno: ibunya Mayang. Pasti dia, sebab hanya dialah perempuan Indonesia satu­satunya, dalam cerita ini, yang katakanlah “sakit jiwa”, merasa diri megah mentereng dengan bicara beringgris­inggris ria begitu. Kepada Jeng Retno, Dharsana menghardik, suara me­ lengking, ludah menghujan ke dalam corong telefon. “Mayang itu gila, goblog, tolol!” kata Dharsana. Nun di tempatnya Jeng Retno menjawab dengan ganjen. “Oh my God! Take it easy dong, Mas. Nggak usah bengok­ bengok ngono. Calm down.” Dharsana menjadi sinis. “Oke, oke, aku calm down deh. Ya, ya, terimakasih sebesar­besarnya atas teguran itu. Tapi masalah­ nya ini serius. Aku harus bilang: Mayang itu goblog, tolol, gila!” “Yes, yes, I know, I know, my dear. Tapi, ada apa ini? Ada apa with you. What’s wrong in there?” “Ya! Aku kecewa sama Mayang. Kenapa dia pakek bilang­ bilang segala kepada Intan?” “Bilang apa sih, Mas?” “Dia bilang­bilang sama Intan: aku kasih dia lima juta.” “Oh, no! Impossible. Tidak mungkin dia bilang­bilang,” “Buktinya: ya.” “No. You’re wrong, my dear Mas Dhar. I can’t believe Mayang can do it.” “Ah! Buktinya: ya. Dari mana Intan tahu kalau bukan dia yang bilang kepada Intan?” “Mas. Come on, berpikir nalar deh. Itu tidak nalar.” Mestinya dengan pernyataan terakhir Jeng Retno ini, bisa menangkaskan akal Dharsana, tapi Dharsana memang kepa­ lang dibutekkan oleh prasangkanya, dan lebih suka percaya pa­ da prasangkanya itu. Suaranya berikut ini sangat tidak ramah. Dia ngotot, “Mana Mayang! Aku ingin bicara dengan dia.” 225 Hotel Pro deo Jeng Retno tetap menanggapnya dengan santai, “O, alah, Mas, forget it, ngono lo.” “Tidak!” Dharsana tetap bersikukuh. “Di mana Mayang?!” “O my God!” Akhirnya Jeng Retno kesal, “Aku bilang: lupakan, Mas. Lupakan deh. Like you said: she’s goblog, gen­ deng, crazy. Yo, wis, aku manut.” “Kalau manut, ayo, panggil Mayang, aku mau bicara de­ ngan dia. Cepat!” “Alah, Mas, mbok ojo ngeyel ngono toh. Ya, sudah, dia gila, tidak usah diurus. Aku juga yakin kok.” “Tapi, panggil dia.” “O, alah, Mas. You see, dia memang sudah begitu. You won’t force me to change my opinion, toh Mas?” Dharsana cemberut. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Naga­naganya Dharsana sudah menjadi tupai. Maksudnya, dia yang mestinya cerdik—sanggup meloncat di sembarang ranting cabang—dan untuk semua pikiran licik dia sangat peka dan tanggap, ternyata untuk pikiran yang satu ini—tentang “dinding punya telinga”—samasekali luput dari perhatiannya, dugaannya, wasangkanya. Oleh sebab itu, katakanlah Hutami aman. Pagi ini Hutami sedang berada di kamar Ibu Intan, meng­ urut­urut kaki dan tangan majikannya. “Ibu mau dimasaki apa siang ini?” “Ah, ndak usah. Gampang.” “Tidak apa­apa, Bu. Mumpung masih pagi. Saya belanja ke pasar.” Ibu Intan pikir­pikir. Lalu, “Ya, sudah, bikin rawon deh, Mi, ya?” “Ya, Bu.” 226 Remy Sylado “Kalau kamu beli dagingnya, pilih daging yang digantung, jangan yang dihampar di atas meja. Daging yang dihampar di atas meja itu pasti daging gelonggongan. Pedagang tidak berani menaruh daging gelonggongan di gantungan, sebab kalau daging gelonggongan digantung, airnya akan meleleh, dan da­ gingnya juga akan benyek menyusut.” “Ya, Bu.” Hutami mengangguk­angguk, memahami apa yang baru dikatakan oleh Ibu Intan. “Kenapa orang membuat daging gelonggongan, Bu?” “Ya, apa lagi, kalau bukan mencari untung.” Hutami pun mengangguk­angguk lagi. Setelah itu, kata­ kata yang bakal meluncur dari mulutnya, klise khas orang Indo­ nesia zaman sekarang: Gampang mengecam, dan memposisi­ kan diri sebagai orang tanpa kesalahan, sembari tidak berdaya juga menghadapi kenyataan yang jelimet di mana dia menjadi bagian yang galib. Kata Hutami dalam pola klise tersebut, “Ya, orang sekarang memang seenaknya cari untung. Dulu pedoman pedagang: “Penjual dan pembeli sama­sama untung.” Sekarang praktiknya: “Penjual mendapat untung dari kerugian pembeli.” Hutami ketawa, mengajak ketawa Ibu Intan. Kata Ibu Intan, “Zamannya edan kok, Mi. Ronggowarsito sudah bilang begitu pada abad yang lalu.” “Bahasa Sundanya ‘edan’ teh ‘gelo’.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 227 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 43 DI jam yang sama dalam selisih sekian menit, ketika terjadi percakapan yang mencungap repot antara Jeng Retno dengan Dharsana, terlihat Ibu Intan baru mengeluarkan mobil, jip Mercedez, meninggalkan rumah menuju ke rumah Mayang. Di kelokan depan sana, memasuki jalan panjang yang padat, dia pencet radio mobilnya, dan segera terdengar nyanyian Nancy Sinatra yang populer 30­an tahun lalu: These boots are made for walking. Ibu Intan memutuskan untuk harus menemui sendiri Mayang di rumahnya, karena dia tidak dapat menahan rasa penasarannya untuk memperoleh jawaban langsung atas apa yang selama ini kabur seperti kabut. Jalan­jalan yang macet menuju ke selatan membuatnya gerah, lebih dari gelisah, ingin lekas­lekas tiba di tujuan. Di saat macet begini, musik yang terdengar di radio mobilnya—dari 228 www.bacaan-indo.blogspot.com pemancar yang rajin menyiarkan lagu­lagu tua—malah terasa memusingkan kepala. Maka, dia matikan radio itu. Terantuk­ antuk di jalanan macet. Terasa sumuk, padahal AC telah di­ pasangnya pol. Niscaya semua ini karena pikirannya tidak tenang. Tiba di rumah Mayang—rumah yang dulunya tertata rapi dan sekarang terbengkalai—Ibu Intan memencet bel di pintu gerbang besi. Kalau dulu, sebelum Iskandar dipenjarakan di Nusakambangan, pembantu rumahtangga yang akan berlari­ lari ke depan membukakan pintu gerbang itu, kini tidak lagi. Kini, Yayu, pembantunya berjalan lenggang­kangkung ke ger­ bang, membukanya dengan santai. Yayu mempersilakan Ibu Intan masuk, lalu dia ke dalam mengatakan kepada Jeng Retno tentang tamunya, dan setelah itu Jeng Retno keluar, menyambut dengan cara yang sibuk sendiri. Tampak betapa repotnya Jeng Retno memasang muka manis di wajahnya. Maunya berpenampilan ramah dan wajar di bawah gayanya yang ajeg ganjen seperti cacing kepanasan di abu dapur. “O my God! What a surprise. Monggo, Mbak, monggo. Please come in.” Ibu Intan bergeming. Tak berkata. Dia merasa tak punya alasan untuk rasam basabasi. Dia tetap berdiri di depan ger­ bang, hanya menoleh sejenak ke belakang melihat mobilnya yang sengaja tidak dimatikan mesinnya. “Saya tidak lama,” katanya. Jeng Retno seperti merajuk. “Oh, no, don’t mention it.” Dia menyongsong, memegang tangan Ibu Intan. “I’m grateful and astonished, lo Mbak. Please. Monggo pinarak riyin.” Ibu Intan menegangkan tangannya yang dipegang oleh Jeng Retno, maksudnya supaya yang disebut ini melepaskan pegangan tangannya itu. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Saya mau ketemu Mayang,” kata Ibu Intan dengan nada datar dan cenderung tidak peduli pada sok ramahnya Jeng Retno. “O my God!” Jeng Retno kedip­kedip, tubuhnya dibuat seperti lemas, dan wajahnya dibuat seperti menanggung rasa menyesal. Toh Ibu Intan tidak terpengaruh oleh mimik Jeng Retno itu. “Maaf.” Ibu Intan bertahan pada alasan: mengapa dia da­ tang ke sini. “Mana Mayang?” “I’m so sorry, nyuwun sewu.” Jeng Retno menunjukkan sikap sedih yang meyakinkan—artinya sikap khusus yang di­ peragakan untuk melahirkan pembenaran dari pihak lawan bicara. Namun, tetap Ibu Intan tidak terpengaruh oleh peragaan wajah sedih itu. Dia hanya menatap tanpa kata­kata. Sambil me­ lakukan itu dia menunggu. Dia yakin Jeng Retno pasti mengata­ kan sesuatu: entah itu benar atau entah pula itu mengada­ada. Dengan suara yang nyaris seperti dicekam haru Jeng Retno berkata, “Mayang istirahat.” Ibu Intan menatap dalam­dalam ke dalam mata Jeng Retno. Dengannya dia tetap tidak melisan. Dia membiarkan Jeng Retno yang akan mengatakan sesuatu dengan berbagai kemungkinan. “Mayang perlu banyak istirahat.” Dan, suara Jeng Retno dibuat sendu. “She’s so depressed.” Membulat mata Ibu Intan mendengar keterangan Jeng Retno. Maka dia pun melisan. “Apa?” “Ya, Mbak Intan, that is what the psychologist said, eh, eh, I mean: the psychologist would say so.” Ibu Intan terperangah. “Ada apa sebenarnya?” “Ya, begitulah, Mbak. Pardon me if I shock you. Keadaan­ nya buruk sekali.” “Saya tidak mengerti.” 230 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya, itu keadaan yang sebenarnya. Setelah kejadian itu, kejadian kematian Marc, dia merasa terpukul, and guilty. Goddamn! I can’t help her. No one can. Dia menjadi pelamun parah.” “Kenapa?” “Oh! Don’t ask me: why didn’t I say so before. Yes. May be because I thought it was unnecessary. Biar saya sendiri saja yang menanggung.” Ibu Intan menyerana. Dengan tidak bergerak dia berkata dalam intonasi yang menurun, “Jadi, Mayang istirahat?” “Ya, Mbak.” Jeng Retno berusaha menunjukkan dirinya sebagai nyonya rumah yang ramah dan terbuka. Sibuk dia me­ nawar Ibu Intan untuk masuk. “By the way, monggo pinarak lo, Mbak.” “Terimakasih.” Ibu Intan tak acuh, melangkah mundur beberapa tapak, lantas berbalik, masuk ke dalam mobilnya. Jeng Retno bengong sejenak. Setelah itu, dengan kerama­ han yang sesungguhnya palsu, dia melambaikan tangan. “Bye.” Ibu Intan hanya menoleh tanpa mengangguk. Grung, grung: bunyi mobil Ibu Intan digas­gas. Setelah itu mobil maju seperti meloncat. Melihat itu, di tempatnya berdiri depan gerbang, sebelum Yayu menutupnya kembali Jeng Retno berkata dalam hati, seperti terhadap hewan, “Hus, hus, fuck you, pergi deh lu sana, celeng jelek!” Ibu Intan memacu mobilnya dengan perasaan kubra, tak berhasil bertemu dengan Mayang. Mestinya, jika menuruti kemauannya untuk ke rumah Mayang dalam rangka menemuinya, dan ternyata di rumah itu Mayang tidak ada, maka wajar kalau dia mencari Mayang ke manapun. 231 Hotel Pro deo Namun, setelah bertemu dengan Jeng Retno, tiba­tiba Ibu Intan merasa tidak perlu bertemu dengan Mayang, membiarkan saja gadis itu beristirahat. Ketika dia berpikir begitu, maka tanpa dipusingkan oleh pencarian dan penemuan jawaban, dia telah menentukan se­ buah jalan kesungguhan yang galib dalam hidup: bahwa tidak selalu sesuatu yang dibuat sebagai tindakan dapat rampung sebagai pekerjaan. Dalam mengartikan hidup Ibu Intan cenderung lebih ter­ tawan memandang hari yang sudah berlalu, seraya menjalani serwa masalah dalam sukmanya yang tengah berlangsung seka­ rang, mengalir menuju hari­hari mendatang yang punya masa­ lahnya masing­masing. Di jalan lurus yang rada lancar Jl. T.B. Simatupang, dia pasang kembali radio mobilnya. Kebetulan lagu yang diputar oleh pemancar yang tadi adalah nyanyian Patti Page 40­an tahun lalu, With my eyes open I’m dreaming. Sambil menyetir Ibu Intan berkata sendiri, “Aku akan buka mataku walaupun aku bermimpi…” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 232 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 44 DI saat matanya terbuka lebar, Ibu Intan malah merasa jalan di mukanya tertutup rapat. Dia tak bisa tidur. Meskipun badannya letih, lelah, capek, pikirannya terus diganggu oleh ingatan­ ingatan yang tak gampang tanggal dari kepalanya, sehingga dia merasa menjadi seperti jentik­jentik yang terus bergerak­gerak gelisah di atas ranjangnya. Sekarang jam 03.00. Ada jejak kesadaran yang ditolaknya. Yaitu, dia bukan se­ orang wanita yang gagal. Dia hanya seorang manusia yang harus menghadapi kesulitan, bukan untuk dinikmati, tapi untuk diatasi, dan itulah persoalan insani menyangkut roh­jiwa yang memang sulit diselesaikannya. Pertanyaan yang setia—dan ini alasan yang membuatnya masih melek di atas ranjang pada jam­jam menjelang muazin di masjid dekat rumahnya mengimbaukan salat subuh—bagaimana menyelesaikan persoalan di hatinya itu. Atau, kepada siapa, di luar kepada dirinya sendiri, bisa dia 233 www.bacaan-indo.blogspot.com ungkapkan persoalan­persoalan hati yang menjadi persoalan­ persoalan akal. Dia tidak punya karib untuk curhat hal­hal yang menyang­ kut persoalan­persoalan hati dan akal tentang satu saja hal yang menjadi tantangan hidupnya. Setahunya, dia telah mencoba pada pagi­siang­sore­malam untuk merawat kesabaran seperti yang diarahkan oleh rohaniwan­rohaniwan Rumah Rukun, tapi karuan dia merasa akalnya telah dikalahkan oleh hatinya, dan ini membuat dia terus bergumul dengan dirinya. Aslinya Ibu Intan sadar, bahwa memang hatinya lebih kua­ sa daripada akalnya. Akalnya hanya menuruti kata hati. Selalu terjadi, bahwa lebih dulu hati yang menyatakan menolak, me­ ngatakan tidak dengan bukan kata­kata, baru kemudian akal mencari alasan­alasan pembenarannya melalui susunan kata­ kata pandai, kata­kata elok, kata­kata terpelajar yang meyakin­ kan, mewakili kata hati tersebut. Kini hati Ibu Intan makin hari makin seperti baja, atau kalau tidak seperti intan, namanya—jenis batu tedas yang me­ lahirkan berlian—yang begitu keras nian menggaungkan nada marah, nada kecewa, nada dendam, tapi juga keinsyafan di bawah akal yang menghalang­halanginya dengan nada gamang, nada waswas, nada bimbang. Di antara segala benturan nada­nada yang berbarengan bergaung dalam dirinya, dia gugup sendiri hendak menyaring pilihan mana yang mesti diprioritaskan dalam bertindak dengan menyerasikan suara hati dan suara akal itu. Karenanya dia me­ rasa perlu bertemu kembali dengan rohaniwan­rohaniwan Rumah Rukun untuk menguji sampai sejauh mana rasa kebenaran dalam dirinya yang berkembang sekarang, boleh beroleh pembenaran dari diri orang lain. Dalam angannya, kata­kata pembukaan yang akan lang­ sung disampaikannya kepada kelima tokoh Rumah Rukun itu www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado adalah: “Saya tidak mampu merawat kesabaran. Saya ingin perang tanpa berpikir sehabis perang terbit damai.” Dengan merancang cara bicara seperti itu, tak urung mun­ cul juga pertanyaan dalam dirinya: “Kalau tidak mampu me­ lakukan itu, lantas apa yang mau dilakukan?” Hatta, dia meragukan diri sendiri. Jangan­jangan dia hanya ingin bermain­main kata. Jangan­jangan kata ‘mampu’ itu sebenarnya pengkiliran dari kata ‘mau’, yaitu memainkan tambahan huruf ‘m’ dan ‘p’ menjadi pengertian tersendiri yang terkesan santun, tidak kentara kiat di baliknya menonjolkan peran akal sembari me­ nyamarkan peran hati. Jika benar begitu—dan sebetulnya Ibu Intan mesti meng­ akui itu—maka dengannya terlihat dengan sederhana, betapa persoalan hati selalu lebih dominan dalam diri manusia me­ nyangkut eksistensinya untuk menentukan tugas­tugas akal meliputi fitrahnya dan fiilnya. Itu akan lebih kentara pada saat manusia—dalam hal ini Ibu Intan—menolak sesuatu yang sifatnya rohani, artinya sesuatu yang tidak kasatmata tapi se­ suatu yang dipercaya oleh hati akan keberadaannya, maka di situ akalnya yang bertugas mencari dan menemukan alasan­ alasan pembenarannya. Ibu Intan kuatir, dengan berpikir begitu, dia akan menjadi pusing sendiri. Namun, tiada pula anganan dalam dirinya un­ tuk menyederhanakan pengetahuan akan kekuatan hatinya yang lebih berkuasa terhadap akalnya itu. Memang, harus diakuinya, tanpa merasa perlu merinci peran hati dan peran akal, nyatanya sekarang dia menemukan alasan yang sederhana untuk menyatakan perkembangan ke­ adaan dirinya. Dia akan bilang kepada rohaniwan­rohaniwan Rumah Rukun, bahwa ketidakmampuannya merawat kesabaran adalah sama dengan ketidakmauan yang dipicukan oleh rasa marah, 235 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com rasa kecewa, rasa dendam, dan bersamaan dengan itu dia merasa ditantang untuk melupakan rasa gamang, rasa waswas, rasa bimbang. Maka, ketika dia mendatangi Rumah Rukun pada keesokan harinya yang cerah, terang­benderang, dia minta, kalau boleh bicara langsung kepada kelima tokohnya: Aki Iyos, Ahmadun Najib, Ignatius Susetyo, Nyoman Supendit, dan Tak Tek Hian. Mereka setuju. Dengan senang mereka duduk mengitari Ibu Intan di ruang tengah. Di hadapan mereka semua Ibu Intan menyatakan kegetiran sekaligus ketegaran yang sekarang berkembang di dalam diri­ nya. Manakala dia menyatakan masalah itu, alih­alih dia bisa mendapatkan kata­kata yang terucapkan rapi seperti sebuah hafalan soliloquy di atas panggung: “Kenapa saya harus merawat kesabaran sedangkan perang mesti berlangsung supaya terjadi perdamaian sementara? Barangkali saya harus menikah untuk membayangkan pengharapan tapi kemudian harus bercerai untuk memahami makna kegagalan. Siapa pula manusia yang begitu tegar melawan keharusan meneteskan airmata padahal dunia ini fana seperti mestinya di mana kita memakai dua jenis topeng yang senang dan yang sedih tidak kekal Saya tidak bicara soal yang benar sebelum waktu memberi saya kesempatan Jika lawan maju kenapa saya mundur Jika saya mundur kenapa saya menang Jika saya kalah saya tetap hidup 236 Remy Sylado Dengan hidup itu saya tetap melawan dibekali oleh bukan cuma soal mau tapi juga keyakinan soal mampu memenangkan peperangan.” Rohaniwan­rohaniwan Rumah Rukun itu terkesima. Mereka menghargai Ibu Intan, memahami dengan betul keberadaan orang yang berbeda persepsi dengan mereka. Mereka bukan Tuhan. Hanya Tuhan yang memandang manusia sama di bawah hadirat­Nya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 237 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 45 KETIKA Ibu Intan gelisah, dan pikirannya sedang di ambang antiklimaks, Dharsana malah berperilaku banal, tidak bisa membaca bahasa­bahasa tubuh yang terejawantah dalam sikap lahiriah perempuan yang merupakan istri resminya. Lebih dari itu, Dharsana kelihatan seperti kesurupan, ke­ maruk pada rangsangan­rangsangan bendawi yang dia cipta di otaknya. Sudah tentu, sudah alif­lam, yang merusak jiwanya itu adalah ambisinya pada rangsangan­rangsangan bendawi tersebut. Ambisinya itu laras dengan ambisi Jeng Retno. Mereka sudah sama­sama sepakat di bawah akad: bekerja dalam bersenang­senang dan bersenang­senang dalam bekerja. Seperti apa wujudnya, itu asrar, hanya mereka yang tahu pembagiannya. Akad itu terpelihara di otak mereka masing­masing, sam­ bil menunggu celah waktu yang pas untuk bertindak: melaku­ 238 www.bacaan-indo.blogspot.com kan perkara­perkara yang menguntungkan bagi mereka dan dengan sendirinya merugikan orang lain. Bagi Dharsana itu menyangkut nama istrinya, dan bagi Jeng Retno itu menyangkut nama suaminya. Sejauh ini, orang­orang yang dekat dengan Dharsana ha­ nya melihat hubungan Dharsana dengan Jeng Retno sebagai selingkuh, dan itu punya risiko sendiri­sendiri. Sungguhpun begitu, salah seorang yang sangat dekat dengan Dharsana, dalam hal ini Rachmat Wirjono, sudah mengingatkannya untuk eling. Nanti Rachmat akan mengingatkannya lagi. Tapi, memang niat baik orang yang dekat dengannya ini untuk menyembuhkan ke­ maruknya itu, hanya menjadi ikhtiar yang mubazir, bagai mem­ persembahkan mutiara kepada babi. Sebab, agaknya untuk menasehati babi, barangkali orang harus menjadi babi terlebih dulu. Celakanya, siapa yang berani mencoba­coba menjadi babi, sudah pasti tidak akan mungkin bisa kembali menjadi manusia lagi. Yang sudah menjadi babi, akan tetap membabi. Hari ini, hanya seperempat jam saja ‘waktu babi’, setelah beristirahat ‘gaya babi’ di rumah kayu­papan—dan di situ tidak ada basabasi untuk memberi perhatian peduli kepada Ibu Intan—ponsel di saku Dharsana berbunyi seperti suara ‘dengkur babi’. Entah apa yang dikatakan oleh seseorang yang menelefon­ nya nun di suatu tempat, tapi jawaban—yang terdengar baik oleh Ibu Intan yang tidak hirau, maupun Hutami yang biasa deprok di bawah ranjang sembari mengurut­urut kaki majikannya— tegas dan jelas menunjukkan hubungannya saling memerlukan: “Ya, saya segera ke situ.” *** Dharsana pun ke sana. Sendiri. Tanpa sopir, Lukman. Di sana, di rumah Jeng Retno, si empunya nama ini, sedang www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo menunggu dijemput untuk pergi ke suatu tempat yang cocok di mana tidak ada telinga­telinga iseng yang bisa menguping per­ cakapan mereka. Mereka ke Ancol, ke ujung ereveld, kuburan Belanda di tepi pantai yang lumayan sunyi. Di situ mereka tetap duduk di dalam mobil, melangsungkan percakapan asrar, yang ternyata tak boleh diingkar, berbau­bau durjana. Seorang anaklaki lugu tapi bertindak komersial, kira­kira sepantaran usia kelas lima SD—sosok yang selalu hadir di lokasi sekitar sini dalam cerita­cerita lain—datang mengetuk­ngetuk mobil Dharsana, menawarkan air di dalam dua botol bekas bir. Dharsana membuka kaca mobil, menghardik anak itu. “Mau apa lu!?” Anak itu mengacungkan dua botol bir, di tangannya, me­ nunjukkannya kepada Dharsana. “Ini, Om, Tante.” Dharsana terkejut, marah. “Nggak,” katanya. “Siapa yang minta bir?” “Ini air buat cebok, Om,” kata anak itu naif sekali, gerangan mengetahui kelakuan orang­orang Jakarta, bahwa perempuan dan lakilaki yang datang dengan mobil ke pinggir laut dan me­ nutup kacanya, pasti itu dalam rangka membudidayakan ke­ laminnya masing­masing. “Monyet lu,” kata Dharsana. “Nggak perlu itu.” Anak itu tidak mundur. Dia tetap mendayu. “Cuma nopek, Om. Ini termasuk bonus dua tisyu buat lap­lap.” “Nggak!” kata Dharsana lagi. “Pergi sana lu!” Namun Jeng Retno berbaik hati. Dia panggil anak itu, lantas memberinya uang Rp1.000. Dalam nilai rupiah tahun ini, uang yang diberikan Jeng Retno ini bisa dipakai untuk membeli Silver Queen. Maka tak heran, anak itu girang sekali, meloncat, berjingkrak petakilan, berlari pergi. “Hore, gua dapet duit ceceng.” 240 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dan, wabakdu, berkata Jeng Retno sembari lenjeh me­ megang paha Dharsana, “Aku besok ke Nusakambangan, darling Mas. I’ve got to explain something otherwise you won’t feel what I mean.” “Apa sih?” Dharsana menduga­duga yang kira­kira dia pa­ ham arah percakapan Jeng Retno. Pertanyaan Dharsana itu dijawab oleh Jeng Retno dengan ketawa, melendotkan kepala di dada. “I mean…” Terputus. Dia angkat kepalanya dari dada Dharsana, memandang ke luar, kelip­kelip lampu nun jauh di laut yang gelap. “Aduh, oh my God, aku harus bilang apa?” Dharsana menangkap tangan Jeng Retno, menaruhnya di perutnya. “Apa?” kata dia. “Dikau perlu dana?” “Itu memang: ya,” kata Jeng Retno, jujur tapi tidak fokus ke situ. Ada masalah perdana yang tersamarkan dalam dialog berikut ini berkaitan dengan rasa tidak puas di hati. “Aku harus bagaimana nanti di Nusakambangan? Mas Kandar itu benar­ benar memusingkan. He took my pride and my joy. Aku capek. Aku belum mendapatkan jalan yang bagus. Dikau mengerti?” “Bisnismu kan menghadapi dia,” jawab Dharsana. “Dia se­ bagai orang bodoh.” “Aku yang bodoh,” kata Jeng Retno. “Aku belum punya caranya. Aku seperti orang yang telat lahir. I wish I were born one hundred years ago.” “Tunggu,” kata Dharsana. “Kalau dikau mau pintar, cari sipir di Nusakambangan yang bisa dikau manfaatkan.” “Dikau benar,” kata Jeng Retno. “Lantas dikau sendiri? Apa dikau perlu juga sipir?” Dharsana berprasangka. “Kenapa dikau tanya begitu?” Jeng Retno mengendor. “Sorry, darling Mas. Rasanya di­ 241 Hotel Pro deo kau seperti mengajak aku jalan di tempat. Dikau tidak pernah menceritakan keadaan Intan. Bagaimana perkembangannya.” Dharsana merengut. “Aku tidak bisa diplot. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.” Jeng Retno menyesal. “Oke, oke, sori deh,” katanya me­ ngendorkan muka. “I’ll just have to think.” “Yang penting tugasmu saja,” kata Dharsana. “Dikau tahu, pertaruhan hari esok itu ada di dalam tanganmu.” “Berat.” “Tidak.” “Dikau bikin jelimet.” “Tidak. Memang tugasmu seperti itu. Kita bagi­bagi tu­ gas.” “Dan tugasmu sendiri?” “Alon kelakon, Sayang.” “Oh my God. I like to cry. I’m deeply emotional.” “Sudahlah. Alon kelakon, Sayang.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 242 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 46 JENG Retno berpesan kepada Yayu pembantunya untuk jaga rumah. Dia ke Cilacap, menyeberangi selat ke Nusakambangan, hendak menemui Iskandar. Ketika dia masih menunggu feri yang akan menyeberang ke Nusakambangan, Iskandar sedang duduk sila bersama­sama dengan KC dan Mu’in yang dipanggil Daeng Pallu Ce’la, ber­ bincang­bincang perkara pengalaman. Daeng Pallu Ce’la sudah mendekam di pulau penjara ini selama 20 tahun. Masih 10 tahun lagi baru dia bebas. Dan, ka­ lau dia bebas pada waktu itu, maka usianya akan menjadi 88 tahun. Sebagai napi paling tua di lembaga pemasyarakatan ini Daeng Pallu Ce’la menjadi tempat orang bertanya hal­hal keba­ jikan. Dia bisa menjawab dengan baik berbagai pertanyaan yang 243 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com diajukan kepadanya, asalkan orang yang dijawabnya itu me­ mahami bahasa yang dilakukannya dengan kedua tangannya. Dia menjadi bisu, tapi tidak tuli, setelah peristiwa per­ kosaan terhadap istri dan kedua anak gadisnya di depan mata kepalanya sendiri 21 tahun yang lalu. Sebelum divonis 30 tahun di penjara Nusakambangan ini, dia membalas dulu pemerkosa istri dan anak­anaknya itu, berpegang pada adat siri’, dengan membunuh dulu pemerkosa itu, menikam dengan badiknya, lalu mengeluarkan usus­ ususnya si bedebah itu, dan melemparnya ke kucing, anjing, ayam­ayam. Akibat peristiwa itu, di Nusakambangan inilah dia dipenjarakan. KC sangat hormat kepadanya. Daeng Pallu Ce’la pun se­ nang pada bawaan KC. KC bertanya kepadanya ketika dia merasa makin akrab. Dia bersila di ruang sosial, sebelah kiri gerbang masuk yang berlapis. Katanya, “Saya tidak mengerti arti ‘berkelahi di arena khusus’. Apa artinya itu, Daeng Pallu Ce’la?” Daeng Pallu Ce’la menggerakkan tangan kanan, ditelung­ kapkan di depan dada dan condong ke kiri, ditumpuk di atas telapak tangan kiri yang diarahkan ke depan. Begini: Ini artinya, “Itu.” Setelah itu dua jari tangan kanan dibuat seperti huruf V yang diarahkan ke bawah, di telapak tangan yang terbuka. Begini: 244 Remy Sylado Ini artinya, “Arti.” Lalu tangan kanan diangkat dan dibuka dengan telapakan­ nya ke depan, di muka dada, sambil digerakkan maju. Begini: www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya, “Kamu.” Kemudian dia berdiri secara profil dengan tangan kanan tegak menghadap ke kiri, pas di sebelah pipi kanan, digerakkan secara lengkung ke arah atas muka. Begini: Ini artinya, “Akan.” Lalu, tangan kanan dihadapkan ke depan dada dengan tegak, dirapatkan ke telapak, tangan kiri, diikuti dengan gerak­ an tangan kanan dan kiri menyerupai kepalan yang saling ditempelkan di depan dada. Begini: 245 Hotel Pro deo Ini artinya, “Diadu.” Kemudian tangan kanan dan kiri ditutup, masing­masing seperti menggenggam, dibuat mendatar ke depan dada dan di­ rapatkan ke arah kanan. Begini: www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya, “Dengan.” Selanjutnya tangan kanan dan kiri digerakkan ke tengah, di bawah dagu atau di depan leher, yang kanan lebih tinggi dari yang kiri. Begini: Ini artinya, “Jagal.” Tangannya bergerak lagi, yang kiri disilangkan di depan dada menyerupai huruf L dan jari telunjuk tangan kanan di­ taruh di atasnya. Begini: 246 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya, “Di.” Dan terakhir tangan kanan dan kiri diangkat di depan dada dengan masing­masing ibujari dirapatkan setelah bergerak ber­ lawanan dari arah luar ke dalam. Begini: Ini artinya, “Arena.” Berkerut dahi KC melihat rangkaian peragaan tangan Daeng Pallu Ce’la itu. Dia tidak mengerti, dia alihkan pandang­ annya ke arah lakilaki berkumis yang selintas tampak angkuh tapi dengan enteng menerangkan bahasa isyarat itu. “Si Mbah berkata, itu artinya kamu akan diadu dengan jagal di arena,” kata orang berkumis itu. KC heran. “Diadu de­ ngan jagal?” Daeng Pallu Ce’la mengangguk. Dengan mengangguk dia mengisyaratkan juga bahasa tangannya, jari­jari dilipat kecuali jempol dan kelingking, diangkat ke dada, digerakkan dari atas ke bawah. Begini: 247 Ini artinya, “Ya.” Dan dia berdiri menyamping, kedua tangan dengan ma­ sing­masing telunjuk yang diarahkan ke depan digerakkan atas ke bawah. Begini: www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya, “Betul.” Tanpa diterangkan, karena Daeng Pallu Ce’la mengangguk, kira­kira KC paham akan makna isyarat itu. Tanyanya, “Di mana arena itu?” Sambil melihat ke luar, Daeng Pallu Ce’la membuka tangan kiri di atas perut lalu dengan dua jari tangan kanan, yaitu tengah dan telunjuk diputar­putar di atasnya. Begini: Ini artinya, “Tengah.” Remy Sylado Diteruskan dengan berdiri menyamping ke arah kanan dan menunjuk dengan dua jari tangan kanan itu ke depan atau ke kanan. Begini: Ini artinya, “Situ.” Isyarat itu dilanjutkan dengan tangan kiri terkunci yang dibengkokkan ke kiri, dan tangan kanan diluncurkan dari batas jempol bawah. Begini: www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya, “Tiap.” Dilanjutkan dengan tangan kiri yang dirapatkan ke dada dalam keadaan terkunci lalu telunjuk tangan kanan menunjuk jempol tangan kiri. Begini: Ini artinya, “Awal.” 249 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com Dan terakhir tangan kanan dinaikkan lurus dengan ujung­ ujung jari yang setengah tertutup kira­kira sampai sejajar de­ ngan kening. Begini: Ini artinya, “Bulan.” Lakilaki berkumis menundukkan kepala dengan sikap acuh tak acuh menerangkan bahasa isyarat Daeng Pallu Ce’la itu. “Di tengah­tengah situ pada setiap awal bulan.” “Oh.” KC melihat ke luar dan mengangguk. Kemudian dia tatap lakilaki berkumis itu, tertarik pada sikapnya yang justru terkesan tak acuh. “Wah? Bapak bisa bahasa isyarat?” Lakilaki berkumis itu Iskandardinata, hanya melirik se­ jenak, dan melengkungkan mulut seperti layaknya tersenyum, sekadar memberi apresiasi semadyanya. Daeng Pallu Ce’la yang mengangguk­angguk kepala, mengacungkan jempol, dan dengan itu dia bermaksud membenarkan pernyataan KC. Sebenarnya, ingin rasanya KC bertanya, siapa lakilaki ber­ kumis itu, dan bagaimana caranya dia belajar bahasa isyarat, lalu kenapa pula dia berada di sini. Tapi, dia tidak jadi me­ ngatakannya, ragu kalau­kalau tidak dijawab. Sebab, kelihatan­ nya lakilaki berkumis itu memang tidak mudah akrab jika bukan karena maunya. Penampilannya pun seperti seorang perenung, atau jika tidak penganut aliran kepercayaan yang salah baca buku. Maunya KC bertanya kepada Daeng Pallu Ce’la tentang pengertian adu berkelahi di ‘arena khusus’ sebagai tontonan napi dan taruhan sipir, tapi pembicaraan putus sebab Si Labu 250 Remy Sylado Siam menendang kaki KC untuk menarik lengan Iskandar ke luar karena dijenguk Jeng Retno. KC terbengong melihat Jeng Retno. Untuk sementara ang­ gap saja dia terpesona melihat seronoknya Jeng Retno. Lumrah lakilaki terpesona pada perempuan yang seronok seperti Jeng Retno. Di bangku tempat terpidana bertemu dengan penjenguk, Iskandar dan Jeng Retno saling memegang tangan dan me­ mandang kangen. “Kamu makin kurus, Mas,” kata Jeng Retno. “Makanya, kalau kamu datang lagi, jangan bawa kue ka­ leng. Itu percuma. Bawakan aku pil vitamin,” kata Iskandar. “Ya, Mas,” kata Jeng Retno, “Nanti aku bawakan itu buat­ mu.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 251 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 47 ADA dua pertanyaan dari dua orang yang berbeda di tempat yang tak sama, sepeninggalan Jeng Retno dari Nusakambangan. Yang pertama di Jakarta: pertanyaan nan nifak dari ma­ nusia Dharsana kepada Jeng Retno tentang Iskandar. Yang kedua di Nusakambangan: pertanyaan nan lugu dari manusia KC kepada Iskandar tentang Jeng Retno. Pertanyaan KC ada dua pula. Pertama: siapa Iskandar sehingga yang disebut ini mengerti bahasa orang bisu. Kedua: siapa perempuan seronok lagi harum itu yang menjenguk Iskandar cepat­cepat. KC memulai pertanyaannya dengan keramahan yang ka­ ku. Kaku, sebab dia bicara dengan gaya yang dirasanya sen­ diri tidak suai dengan sosoknya yang berotot­otot dan mesti senyam­senyum dungu. Dalam gambarannya yang suai, dia tidak perlu tampil seakan­akan ramah, tapi hasilnya kaku. 252 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Walau begitu, dia sudah bersikap begitu dan dia tidak berpikir untuk mengubah gaya ini. “Pak, saya kagum, Bapak bisa mengerti bahasa tangan,” kata KC. “Belajarnya bagaimana, Pak?” “Ah, ini bukan ilmu, setiap orang bisa mempelajarinya da­ ri pergaulan. Lama­lama, bergaul dengan Daeng Pallu Ce’la, kamu akan bisa juga.” “O? Jadi tidak ada ilmunya ya, Pak?” “Tidak.” “Tapi saya kagum, Bapak bisa mengerti.” “Kok kagum? Kalau kamu ingin kagum, kagumlah ilmu ularnya pemerintah sekarang.” KC terkesima. Dia bengong. Dan kalau dia bengong begini, dia memang suai dengan latar pendidikannya yang tidak tinggi. “Kamu mengerti?” tanya Iskandar melihat KC bengong. “Tidak,” jawab KC lugu. “Dengar,” kata Iskandar. “Kalau kamu ingin kagum, kamu harus kagum pada penguasa­penguasa militer yang memerin­ tah negeri ini sekarang. Sekarang inilah zamannya yang paling mengerikan: maling teriak maling.” “Bagaimana itu, Pak.” “Ya, masak kamu tidak merasakan.” “Belum, Pak.” “Nah, coba kamu ingat, apa kamu benar­benar kriminil? Kalau benar­benar kamu kriminil, apa kamu merasa pantas di­ buang di sini, di ‘Hotel Pro Deo’ ini? Nah, saya mau tanya, ka­ susmu apa?” “Saya dibuktikan melalui pengadilan, bahwa saya mem­ bunuh anak seorang komisaris besar.” “Nah!” seru Iskandar mendapatkan pegangan. “Itu yang mau saya bilang tadi ‘ilmu ular’.” “Bagaimana itu, Pak?” 253 www.bacaan-indo.blogspot.com “Ya. Kamu bilang: kamu dibuktikan melalui pengadilan, bahwa kamu membunuh anak seorang kombes. Lah, kamu sendiri merasa memang membunuh?” “Yang saya rasa, saya memukulnya. Dan, pengalaman saya selama ini sebagai petinju, pukulan saya memang bisa bikin lawan saya mati.” “Pertanyaan saya: kamu yakin kamu yang membuatnya mati?” “Itu dibuktikan di pengadilan, Pak.” “Alah, alah, itu yang mau saya bilang ‘ilmu ular’. Buktinya diri saya sendiri. Saya dibuktikan di pengadilan sebagai pelaku korupsi, padahal fakta­fakta sudah jelas, bahwa tidak ada tin­ dakan korupsi yang saya buat. Yang saya buat adalah justru membeberkan ‘kebocoran dana’ yang dilakukan oleh menteri paling dekat dengan pusat kekuasaan. Kamu mengerti?” KC mulai mengerti. “Maling teriak maling?” katanya dalam nada tanya untuk pembenaran. “Ya, itu!” Lalu, “Bapak sudah lama di sini?” “Di ‘Hotel Pro Deo’ ini?” KC tertawa. Dia merasa lucu. “Kok hotel sih, Pak?” “Ya, hotel demi Tuhan,” sahut Iskandar. “Saya berdoa demi Tuhan, pro Deo, mudah­mudahan orang­orang ber­‘ilmu ular’ itu akan dibalas Tuhan, pada gilirannya nanti bakal merasakan juga tinggal di ‘Hotel Pro Deo’ ini.” Sehabis mengucapkan kalimat itu Iskandar kelihatan mu­ rung, sangat sangsai, sangat sendu. Terdiam. Jeda. Setelah itu KC menggugah, mengalihkan percakapan. “Tadi, perempuan yang menjenguk Bapak itu siapa?” tanyanya. “Istri saya.” www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Cantik.” “Ah, apa itu berguna sekarang?” “Kata orang, perempuan cantik bisa memperpanjang ke­ mauan untuk hidup.” “Ah, kata siapa itu?” “Itu kata ayah saya. Betul nggak itu, Pak?” “Ayah kamu bilang begitu?” “Ya. Ayah saya bilang, perempuan cantik bisa menunda kiamat.” Iskandar ketawa renyah. “Juga mempercepat kiamat,” ka­ tanya. KC ikut ketawa juga tanpa mengerti esensi nalar yang di­ katakan Iskandar. Setelah itu KC mengalihkan kasad bicara. “Rasa­rasanya saya pernah lihat istri Bapak itu,” kata KC mengingat­ingat. “Tapi saya tidak ingat. Apa istri Bapak itu pe­ main sinetron?” “Ah, bukan,” kata Iskandar enteng­enteng. Tapi kemudian dia penasaran dan syak. Maka dia bertanya, “Kenapa kamu ta­ nya begitu?” “Seperti saya bilang, Pak. Istri Bapak itu cantik. Pemain sinetron biasanya cantik­cantik.” “Oh?” kata Iskandar seperti mengalir meninggalkan wa­ ham. Tapi, aneh, setelah itu Iskandar terdiam. Tampaknya dia menerawang. Pada adegan ini wajahnya malah mencitrakan rasa gundah. Itu menarik perhatian KC. “Kenapa, Pak?” tanya KC. “Kenapa apanya?” jawab Iskandar balik bertanya. “Bapak kelihatan melamun.” “Oh,” kata Iskandar encer. “Saya sedang mengamat bahasa kita. Istilah ‘pemain sinteron’ rupanya positif. Beda dengan ‘pe­ 255 Hotel Pro deo main sandiwara’. Istilah ‘pemain sandiwara’ itu negatif. Padahal keduanya sama: berurusan dengan ‘akting’, atau dalam bahasa awam ‘seni bermain pura­pura’. KC hanya senyum. Itu sikap paling netral buat orang yang tidak mengerti makna percakapan. KC memang tidak masuk dalam gundahnya Iskandar. Lebih jelas lagi, sebenarnya dia tidak mudeng akan apa yang dikatakan Iskandar itu. Lantas, kenapa Iskandar harus gundah? Apakah dia gundah karena melintas dalam pikirannya soal­soal istilah ‘pemain sinetron’ dan ‘pemain sandiwara’? Mudah­mudahan tidak. Mudah­mudahan dia tidak ber­ prasangka apa­apa. Mudah­mudahan dia percaya pada Jeng Retno. Rasa percayanya kepada istrinya itu boleh jadi tanpa serep. Jika begitu, apa boleh buat harus dibilang, bahwa untuk semua hal Iskandar adalah orang cerdik dan cendekia, tapi untuk satu hal saja, benar wai, yang menyangkut sepakterjang istrinya di belakangnya dia adalah lakilaki naif. Betapa dekat hubungan antara naif dengan bego. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dia tidak tahu saja ‘akting’ Jeng Retno di belakangnya. Lihat saja apa yang terjadi di rumahnya sepulangnya dari Nusakambangan, disaksikan oleh Yayu pembantunya dan Luk­ man sopir Dharsana. Jeng Retno menyambut Dharsana dengan peluk cium yang sangat gatel, sangat girang, sangat agresif. Setelah itu mengalir kata­kata yang dengan sendirinya menunjukkan kepentingan jahat di balik kesenangan selingkuh. Melalui adegan ini, terlihat dengan terang apa yang dikata­ kan tadi sebagai pertanyaan nan nifak antara Dharsana dengan Jeng Retno. “Keadaan Kandar sehat­sehat?” 256 Remy Sylado Tidak menjawab pertanyaan itu secara lisan, sebaliknya Jeng Retno memeluk dan mencium lagi Dharsana dengan gai­ rah yang menyala. Dan, lagi Yayu dan Lukman melihat adegan itu sebagai sesuatu yang jamak. Dengan lenjehnya Jeng Retno menarik tangan Dharsana, masuk ke dalam kamar. Bersamaan dengan itu Mayang turun dari kamarnya di lantai dua, dan sempat melihat hanya punggung Dharsana, tapi dia tidak tertarik untuk ingin tahu. *** Sayang, memang, manusia bukan Tuhan yang bisa melihat semua perbuatan manusia. Jadi, Iskandar yang naif dan kata­ kanlah bego, memang tidak melihat betapa Jeng Retno adalah ‘pemain sandiwara’ yang liar. “Tapi lupakan,” tiba­tiba kata Iskandar pada KC, seperti cuek pula pada prasangka­prasangka. “Yang penting KC, apa yang sekarang kamu hadapi di sini, di ‘Hotel Pro Deo’, yang bisa kamu lihat dengan matamu sendiri. Orang muda seperti kamu harus awas. Harus punya mata di belakang, telinga di mana­ mana. Saya dengar kamu akan diadu dengan Si Jagal.” “Apa?” “Ya. Itu yang saya dengar.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 257 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 48 HARI ini KC diadu dengan Asep Tea yang dijuluki Si Jagal. Semua orang yakin hanya dalam beberapa kali pukul, KC bakal keok. Tapi satu­satunya yang memberinya semangat ha­ nya Iskandar. “Kalau Si Jagal bisa kalah, kamu raja di ‘Hotel Pro Deo’ ini.” Di tengah kerumunan napi itu KC berdiri di sebelah Daeng Pallu Ce’la. Matanya awas memandang sekeliling. Inilah harinya yang pertama dalam hidupnya dia mesti berkelahi di depan terpidana yang disebut penjahat­penjahat asli. Segala macam tampang yang suram dan seram ada di situ. Antara yang seperti kayu, seperti harimau, seperti durian, dan seterusnya. Atau, mereka yang barangkali mengaku kapok tapi tidak berani berjanji akan hidup tertib setelah keluar. Juga mereka yang kelihatan tidak ada harapan untuk sembuh dari kelakukan 258 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado menyimpang. Serta mereka yang menyimpan dan memelihara dendam kepada orang­orang yang mereka anggap sebagai musuh­musuh. Dari tadi KC memperhatikan Asep Tea. Orang itu duduk di atas bangku bambu sambil mengorek­ ngorek upilnya. Dia sengaja tidak berbaju di situ. Karuan bagian tubuhnya yang bertato tampak jelas, mulai dari punggung sam­ pai pinggang, dan dari ujung bahu sampai pergelangan. Tatonya itu bersusun­susun antara gambar­gambar dan tulisan­tulisan berupa judul­judul lagu Rolling Stones: As tears go by, Good times bad times, Empty heart, Satisfaction, Lady Jane, dan seterusnya. Baru saja KC mengamat­amati tubuh Asep Tea yang bertato itu, tiba­tiba pantatnya ditendang oleh Si Labu Siam. Karena tak menyangka itu, KC pun terjengkelit dan jatuh di tanah. “Wah!” KC menyelingar. Mulut terbuka. Bibir bawah turun satu sentimeter. Mata terbuka lebar. Apakah dengan gambaran seperti itu berarti KC merasa keder atau ciut? Hanya Tuhan, dan barangkali setan, yang tahu. Toh secepatnya dia berpikir darurat, lebih baik menunggu saja, memperhatikan dengan awas setiap gerak yang terjadi. Dengan memilih sikap begini dia coba mengandalkan akal: sesuatu yang niscaya ada pada setiap manusia paling tidak terpelajar sekalipun, di luar percayadiri yang sudah ada dalam jiwanya dari pengalaman­pengalaman naluri selaku tukang kelahi yang berulang kali menang. Gerangan naluri itu jualah yang selalu membuat dirinya tidak menghiraukan kamus rasa takut: tidak takut di hari kemarin dan tidak takut di hari besok. Yang menjadi pelik, sekarang, adalah ternyata pengalaman demi pengalaman tarung yang dilalui Asep Tea, kira­kira ham­ 259 www.bacaan-indo.blogspot.com pir sama pula dengan KC. Rasa percayadiri Asep Tea, yang men­ dukung rasa tidak takutnya, adalah pengalamannya selama ini sebagai sosok kekar dengan berat badan 240 pon, biasa pula menang dalam semua pertarungan antara sesama napi yang diatur oleh dua sipir Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol. Dia dijuluki Si Jagal sebab lawan yang telah berhasil dipitingnya, takkan mungkin lolos, sampai akhirnya di ujung pertarungan sipir tinggal membuat laporan kematian karena alasan ke­ celakaan. Dalam pikiran para napi—kecuali tiga orang yang ber­ pengalaman buruk: gagal mengeltonjon KC—pasti Asep Tea akan dengan gampang menghabisi KC, dan itu berarti sipir siap­ siap membuat laporan kecelakaan atas kematiannya. Napi­napi itu berteriak­teriak, bertempiksorak, gaduh, mengelu­elukan Asep Tea, menyerunya segera membunuh KC. Teriakan­teriakan itu membuat KC waspada, merasa harus perkasa, tidak boleh lengah, tidak boleh sembarangan. Baginya teriakan­teriakan para napi itu mengandung makna yang justru menyiagakan dirinya. Dia sadar, sebagai orang lama Asep Tea sudah dikenal keampuhannya, sementara untuk membuat napi­napi itu mengenalnya dia harus membuktikannya lewat pertarungan yang siap digelar. Sebagai penghuni baru di tempat hukuman ini KC akan belajar tentang hukum­hukum alam yang dianut para napi: siapa yang kuat dia dihargai, siapa yang menang dia dibenarkan, siapa yang kalah dia disalahkan. Walau begitu, manakala semua napi mengelukan Asep Tea, mengertilah KC bahwa dia harus menentukan harkatnya di gerak awal kepalan tangannya mendarat di muka Si Jagal. Bahwa kalau dia berhasil menang, pasti perhatian para napi yang selama ini mengelu­elukan Asep Tea, akan berubah dan selanjutnya beralih kepadanya. Agaknya dia cepat memahami persoalan di pulau penjara www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado ini, bahwa kalah dalam pertarungan penghuni penjara— tak soal istilahnya sekarang diganti menjadi ‘lembaga pemasyarakatan’— adalah konyol. Makanya dia bersumpah, entah kepada Tuhan atau boleh jadi juga kepada setan, dia tidak boleh jadi konyol di tangan Si Jagal. Dia siap menghadapi Asep Tea, mengalihkan perhatian napi­napi, dan juga sipir­sipir, untuk menunjukkan betapa tidak seorangpun boleh meremehkan seorang lakilaki yang ber­ nama perempuan. Pertarungan yang menjadi hiburan para napi dan taruhan para sipir ini adalah pertandingan suka­suka, tanpa lonceng penggantian ronde maupun wasit yang mengatur jalannya per­ kelahian, hakikatnya meniru naluri hewan di rimba raya: ber­ adu untuk menguji yang kuat berhak hidup, sedangkan yang lemah tersingkirkan serta ternistakan dan tak terpulihkan mar­ tabatnya. Tadi Si Labu Siam sudah berkata kepada KC, “Kamu cuma punya satu kesempatan hidup: menang jadi api kalah jadi abu.” Kini, sebelum diadu, KC menggumam sendiri pada diri­ nya, “Tidak mungkin. Tidak ada kamus kata kalah buatku.” Jika ada tambahan kalimat yang mesti diucapnya, niscaya dia akan berkata: sampai kapanpun dia adalah nyala. Dia maju. Percayadirinya tinggi. Ketika dia maju, dia bukan sekadar melangkahkan kaki, tapi melesat gesit, dan dengan begitu, tanpa diduga oleh Asep Tea dia mengirim tinjunya yang kuat ke kepala Si Jagal. Asep Tea kaget. Si Jagal bertubuh kekar ini belum siap. Dia masih bergaya­gaya, mengencang­ngencangkan otot­otot, persis seperti aksi olahragawan binaraga memamerkan sepir urat dagingnya. Apa mau dibilang, tinju KC yang kuat di saat Asep Tea masih lengah begitu, membuat kepalanya guncang. Belum 261 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo sempat dia berpikir, atau bereaksi untuk membalas, ujug­ujug tangan KC yang satunya lagi sudah terayun dengan kuat pula menonjok rahangnya. Asep Tea merasa pening. Kaki tak tegap. Berlanjut rasa percayadiri yang terganggu. Melihat keadaan itu orang­orang semua terdiam, bengong, tersingahak. Tampak rasa waswas melintas di hati mereka. Tapi mereka, napi maupun sipir, tidak bisa menerima kalau Asep Tea yang dijuluki Si Jagal harus kalah. Maka mereka pun berseru gempita, menyuruh Asep Tea harus mengalahkan KC. “Ayo, Sep, abisin!” Asep Tea gregetan. Dia maju dengan dua kepal di depan kepalanya. Kepal yang digerakkan maju. Maunya itu untuk mengumpan. Lalu kepal yang lain, tangan kanan yang bertato 12x5, judul album Rolling Stones yang pertama, diharapnya mengena kepala KC. Tapi dia keliru. KC membaca gerak­gerik­ nya. Pukulan yang dikira Asep Tea bakal kena di kepala KC itu, ternyata hanya membentur udara kosong. KC sudah meng­ hindar. Dan, lantaran di tangan kanan Asep itu sudah terkum­ pul tenaga, maka ketika sasarannya luput, akibatnya tubuhnya doyong, lantas celakanya keadaan itu dimanfaatkan KC untuk mengirim tinju susulan, tangan kiri dan kanan merampak di dada dan uluhatinya. Asep Tea terhenyak. Orang­orang heran. “Wah!” Mereka melihat tanda­tanda yang menunjukkan gejala tak menggembirakan. Asep Tea sendiri marah karena pukulan telak itu. “Babi!” Dia mengumpat hewan haram sebab dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya dibuat tak berdaya oleh seseorang yang ukuran tubuhnya 30 sentimeter lebih pendek darinya. De­ ngan perasaan marah yang mengarah kalap ini dia berdiri me­ ngangkang sambil memukul dadanya, memekik nyaring seperti siamang jantan kehilangan siamang betina. Maunya dengan itu dia menggertak KC. 262 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado KC tidak hirau. Dia tetap siaga. Dan, begitu Asep Tea me­ nyerang di bawah hati yang tidak stabil karena dikuasai ma­ rah, dengan mudah KC menjawab dengan tangkisan yang mempunyai arti lain sebagai membalas. Keadaan itu semakin menjatuhkan rasa percayadiri Asep Tea. Akhirnya dia menjadi seperti banteng ketaton. Dengan menyeruduk­nyeruduk dia mencari celah untuk bisa menangkap leher KC supaya dengan begitu dia akan memitingnya. Tapi yang dikiranya gampang, ternyata sulit. Di dalam satu putaran kaki yang bergas­cergas, KC me­ ninju dengan gaya yang menarik sekali, berturut­turut ke dada, dagu, dan mata Asep Tea. Dia melakukannya seperti terhadap benda mati, bantal guling, atau karung pasir. Artinya, Asep Tea dibuat tak kuasa melawan. Melalui pengalaman ini dia baru menyadari, bahwa Si Jagal yang digambarkan sebagai pentolan seram dengan tato lagu­lagu Stones, bukanlah jagoan tulen yang ahli kelahi. Ternyata kehebatannya hanya terletak pada kesempatan memiting. Dan dia tidak berhasil melakukan itu kepada KC. Urusan taktik berkelahi sendiri tidak dipunyai Asep Tea. Dua tinju terakhir dilakukan KC ke leher Asep Tea, dan se­ telah itu selesai, tabik, wasalam! Asep Tea tumbang. Tergeletak seperti patung di tanah. Di malam harinya Si Labu Siam berkata kepada KC di depan selnya, “Jangan kira kamu sudah jadi api.” KC tak paham, “Bagaimana, Pak?” Si Ongol­ongol yang berdiri di belakangnya lantas memen­ tung kepalanya dengan rotan besar, “Tutup mulutmu,” katanya. “Selama kamu dihukum di sini kamu tetap jadi abu.” KC tidak berkata. Di jam makanmalam nanti Iskandar berkata kepadanya, “Ingat saja kata saya.” 263 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com KC pun tidak berkata. *** 264 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 49 DISEBABKAN Ibu Intan telah mengambil keputusan hati untuk lebih banyak diam, dan lebih suka mengunci diri di da­ lam kamar, seraya membiarkan Dharsana tidur di kamar yang lain, maka lama­lama suaminya kesal. Jika perasaan kesal tak segera dipulihkan, boleh jadi kesal berubah menjadi geram, lalu geram berkembang menjadi gusar, dan gusar berujung menjadi berang. Nyatanya memang rasa kesal Dharsana tidak terpulihkan. Itu berarti keadaan buruk yang tidak diduga akan segera men­ jadi ancaman yang rawan terhadap larasnya makna rumah­ tangga. Arkian, pada suatu sore, setelah sembilan bulan, dalam keadaan kesal yang bertumpuk­tumpuk, Dharsana mengetuk pintu kamar Ibu Intan. Dia meminta Ibu Intan membuka pintu, 265 www.bacaan-indo.blogspot.com atau paling tidak jika tidak membuka pintu, jawab dari dalam. Ternyata Ibu Intan memang tidak mau mengubah ke­ putusan hatinya. Wasangkanya tak luruh. Dia tidak mau men­ jawab dari dalam. Dharsana mengetuk dengan keras. Perasaan jengkelnya mulai kentara. “Apa kamu tuli?” Ibu Intan sendiri tersinggung mendengar pernyataan Dharsana, tapi dia tetap diam, mendiamkan, duduk bertopang di atas ranjang ukir. Dalam benaknya melengket kata “Pem­ bohong Besar”. Dharsana terus mengetuk, makin keras, dan makin ber­ irama tidak sabar, Ibu Intan pun terus tak acuh. Akhirnya terdengar nada melasikan mengiringi ketukan Dharsana: “Aku sudah cukup sabar lo, Ma. Kesabaran ada batasnya.” Tiba­tiba Ibu Intan berteriak marah. “Pergiii!” Dharsana naik darah. “Goblog!” Dia gedor pintu itu. “Buka cepat, goblog!” Ibu Intan terkinjat mendengar makian Dharsana. Seumur­ umur dalam membina rumahtangga dengan Dharsana sejak sekian tahun yang lalu, belum pernah dia mendengar suaminya ini memaki seperti itu. Maka, dialas oleh wasangka yang telah melekat di hatinya, Ibu Intan bangkit dari duduknya di ranjang, meloncat ke pintu, dan membuka pintu itu sambil menghardik. Perkataan yang tak pernah pula terpikirkan untuk diucapnya, kini, tanpa sadar meluncur dari mulutnya. “Iblis lu! Jangan seenaknya ngata­ngatai gua ‘goblog’!” Dharsana memekik lebih keras. “Goblog!” Ketika dia menyerapah begitu, itu dilakukannya dengan menendang pintu yang terbuka setengah, dan daun pintu ini melentungi kepala Ibu Intan, Ibu Intan pun menggelangsar www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado jatuh di lantai. “Kurangajar! Aku bukan iblis!” Ibu Intan gemetar. Di matanya terpancar rasa kecewa ber­ campur dendam. Nafasnya sesak. Dia semprot mulutnya de­ ngan inhaler. “Kamu memang iblis!” kata Ibu Intan, suaranya meleng­ king, terasa seperti sembilu di kuping Dharsana. Karenanya Dharsana kalap, tak bisa mengendalikan diri. Mungkin benar, dia dikuasai iblis. Dengan ganas dia membung­ kuk untuk menjangkau baju Ibu Intan, lalu setelah menggayuk ke atas, dia joroki ke samping sampai Ibu Intan jatuh lagi di lantai. Tampaknya Ibu Intan parah. Dharsana tidak peduli. Dharsana malah berlagak seperti harimau hendak menerkam kambing. Dia tarik tangan Ibu Intan sampai yang disebut ini berdiri, lalu dengan mencengkeram leher wanita malang ini dia menampar. “Yang iblis itu kamu!” Ibu Intan menjerit nyaring cumengkling. “Aaaa!” Dharsana membentak, “Diam!” Ibu Intan terus berteriak. Dharsana membentak lebih keras, “Diaaam!” Ibu Intan tidak mendengar. Tepatnya tidak mau meng­ hiraukan lagi. Dia menjerit­jerit gentar, ngeri, menggeriap. Jeritannya itu makin memperburuk keadaan. Dharsana gelap mata. Seperti kerasukan. Dengan beringas dia tinju Ibu Intan. Tinjunya membuat Ibu Intan terputar, terhuyung, lantas jatuh, Di lantai Ibu Intan mengerang, menyumpah­nyumpah, mengucapkan satu kalimat yang mewakili perasaan putus asa, yaitu kalimat yang lazim diucapkan istri­istri yang tidak tahan lagi menghadapi tindakan kejam. Kalimatnya tegas mengiang, “Ceraikan akuuu!” Teriakan itu serasa membakar kepala Dharsana. Segera 267 Hotel Pro deo dia membekuk dengan mencengkeram kembali leher Ibu Intan, lalu meninjunya lagi kuat­kuat, lebih kuat dari yang baru dia lakukan. Karuan Ibu Intan gelayaran lantas tumbang tak sadarkan diri. Mulutnya membentur ranjang ukir. Keluar darah dari mu­ lutnya itu. Kemudian dia terkulai di lantai. Lama dia terdiam. Dia tidak bergerak, seperti sebuah gundukan daging empat puluh kilo. Ya, dia pingsan di lantai itu. Kalau dia siuman, itu terjadi setelah Hutami menyemprotkan inhaler di mulutnya. Melihat Ibu Intan siuman di lantai itu. Dharsana hanya memandangnya dengan khisit. Matanya menyala seperti hari­ mau melihat kambing. Tak ada rasa iba. Tak ada welasasih. Dengan berdiri congkak, menaruh dua tangan di atas pinggang, dia mengernyih tak acuh. “Huh!” Lalu dia keluar ke luar. Lukman, sopirnya, membawanya pergi menuju ke Jl. Thamrin, masuk ke hotel berbintang di situ, duduk di kafe, me­ mesan bir untuk membuat dirinya tenang. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sepergi Dharsana, Hutami membopong Ibu Intan ke ka­ mar, membaringkannya, menggosok minyak kayu putih. Ber­ pikirnya lumayan pandai. Sebelum melakukannya, dia meng­ ucapkan, “Bismillah.” Dia menggosok­gosok dengan minyak kayu putih ke tangan dan kaki Ibu Intan, berharap majikannya ini segera sehat. Dia kelihatan sangat bingung. Sungguhpun dia tahu Ibu Intan su­ dah bernafas kembali dengan normal, tak urung dia menaruh telinganya di dada majikannya ini untuk meyakini bahwa Ibu Intan tidak mati. Dengan sabar dan telaten dia terus menggosok­gosok. Pengetahuannya yang entah diperolehnya dari mana, kiranya 268 Remy Sylado berguna juga. “Aduh, Bu, kok Bapak jadi buas begini ya?” Ibu Intan memegang tangan Hutami. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Kejadian hari ini sertamerta mengubah kebiasaan kedua­ nya: Dharsana di satu pihak dan Ibu Intan di lain pihak. Kedua­ nya berkembang bersama takdirnya. Dharsana mendapat cara—dari pengalamannya—untuk menekan Ibu Intan. Ibu Intan menemukan cara—melalui pengalamannya—untuk tidak acuh. Dengan caranya Dharsana menjadi seperti penguasa lalim di dalam rumah. Akibatnya, Ibu Intan makin tidak berdaya, dan selanjutnya mulai percaya bahwa dirinya seperti sedang tenggelam di dalam kolam lumpur, tidak tahu kapan keadaan sial ini boleh berakhir. Sesudah itu, wai, yang bisa diperbuat Ibu Intan adalah terpaksa pasrah dan nrimo menghadapi waktu­waktu yang ber­ gerak pasti di atas nasib yang berjalan tidak menentu. Kendati begitu, dalam diam mengunci diri di dalam ka­ mar, toh pergumulan batinnya terus menggaungkan nada pengharapan, bahwa keadaannya sekarang—yang dianggapnya sama seperti seorang budak di bawah tangan penjajah rakus ke­ kuasaan—harus berujung pada suatu waktu yang semestinya. Untunglah ada rasa rumangsa seperti itu di dalam diri Ibu Intan. Sebab, dengan itu dia percaya ada cita­cita yang tersulam di atas waktu­waktu yang bergerak. Bahwa di situ, di masing­ masing detik­menit­jam, niscaya ada kekuatiran yang tidak sama, sekaligus pengharapan yang berbeda­beda. Manakala dia bisa membaca waktu, di situ dia menemukan kearifan untuk tidak boleh menyerah pada ketidakberdayaannya itu. Besok­ 269 Hotel Pro deo besok akan menjadi jelas dalam pikirannya, bahwa kearifan itu maujud dalam kemampuan menyeimbangkan antara keinginan dan kemauan serta kerelaan dan kesungguhan menerima ke­ perkasaan sang waktu. Selanjutnya, apakah Ibu Intan memperoleh waktu itu dari kemauannya menunggu, ataukah menerobos saja mendului waktu yang sudah pasti tersurat dalam takdirnya. Jawabannya terletak pula pada sang waktu. Pilihannya sekarang: menunggu. Ibu Intan merasa yakin benar, bahwa cara ini—menunggu dengan sabar seperti yang diingatnya dipetuahkan oleh empat rohaniwan yang berbeda—bakal membawa manfaat baginya. Yang tidak diketahui Ibu Intan, di pihak Dharsana, pilih­ annya sekarang: mengawasi. Dharsana mengenal betul perkataan ini. Sekurangnya da­ lam perkataan ‘mengawasi’ dia mengerti betul maknanya da­ lam praktik kemiliteran di kepolisian. Yaitu, dalam teorinya, mengawasi adalah juga berarti memata­matai. Sebab, bagi mi­ liter, mitra dapat berubah menjadi musuh. Bukan hanya Ibu Intan tidak mengetahui hal itu. Juga Ja­ mes Winata yang selama ini memberi angpau­angpau kepada Dharsana, diam­diam mengawasi gerak­geriknya dalam sen­ timen anti Cina dari tafsiran politis atas PP 14/67. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 270 www.bacaan-indo.blogspot.com 50 MALANG, James Winata percaya sekali pada Dharsana. Dia menelefon. “Pak Dhar, saya ingin omong­omong soal gagasan Bapak membangun sarana pariwisata di Jepara.” “Ya, ya, Pak Winata paling pas itu.” Dharsana tahun betul sukses Winata itu di bidang properti. Dalam kedudukannya sebagai arsitek, Winata juga membuat alat­alat rumahsakit. Bisnis itu dikembangkannya setelah dia memenangkan tender renovasi rumahsakit di Parepare, Sulawesi Selatan pesisir barat. “Kapan kita bisa omong­omong lagi?” “Sekarang saja, Pak.” Mereka bertemu di Hotel Sari Pasifik. Dharsana menyesuai­ kan diri dengan jadwal Winata yang kebetulan berada di hotel itu untuk bertemu dengan seorang pengusaha dari Korea yang bergerak di bidang yang sama dengan Winata. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Sembari minum kopi sore­sore, diiringi alunan piano tunggal yang memelodikan Ballade pour Adeline meniru cara main Richard Clayderman, lagi­lagi Dharsana memberi rasa percaya kepada Winata bahwa tanah sebidang yang terletak di Jepara tersebut sungguh mempunyai prospek bisnis pariwisata yang menjanjikan. Maka, berkata Winata, “Ya, Pak Dhar, Bapak sudah berkali­ kali mengatakan itu, tapi Bapak belum pernah membawa surat­ suratnya, lokasinya seperti apa, dan seterusnya.” “Ya, Pak Winata, kalau soal lokasi memang kita harus ke sana sendiri, melihatnya,” kata Dharsana. Winata mendesak, bukti bahwa dia serius. “Nah, kapan dong kita bisa ke sana?” “Segera, Pak Winata.” “Kapan?” Dharsana agak gelagap, tapi tidak sampai membuat Winata menaruh rasa ragu. Kata Dharsana, “Begini, Pak Winata. Terusterang, harus ada surat wasiat dari pemilik tanah itu.” “Surat wasiat?” “Surat wasiat dari ayah kepada anak.” “Bagaimana itu?” “Ya, Pak Winata. Surat wasiat dari seorang ayah yang me­ nyatakan tanahnya itu menjadi milik satu­satunya anaknya.” Winata kelihatan bertanya­tanya heran. Namun pertanya­ an itu tidak dilisankan. Mungkin dia berpendirian: tidak semua pertanyaan yang timbul di benak usah dilisankan. Sekadar ber­ sikap semadyanya dia memilih pernyataan yang tidak perlu memberati pikirannya. “Ya, sudah, urus saja dulu, Pak Dhar.” “Tentu. Tentu.” Dengan begitu, sebenarnya percakapan ini sudah selesai. Tapi melihat di luar sana, Jl. Thamrin, keadaan macet karena 272 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado pada sore menjelang magrib mobil­mobil lebih banyak yang menuju ke arah selatan, maka baik Dharsana maupun Winata sama­sama berpikir untuk tidak usah kesusu meninggalkan hotel ini. Dialog yang menjadi tanda bahwa keduanya merasa perlu bertahan di hotel ini, adalah pertanyaan Winata: “Kopinya tambah lagi ya, Pak Dhar?” “Baik,” jawab Dharsana. Winata mengawe­awe tangan kanannya ke arah pelayan. Pelayan melihatnya. Pelayan itu menghampirinya. Winata me­ minta tambahan kopi kepadanya. Setelah itu, berkata Winata kepada Dharsana, “Siapa sih ‘ayah’ yang Bapak sebut­sebut itu?” “Dia pemilik tanah itu.” “Masih bersaudara dengan Pak Dhar?” “Tidak. Tapi waktu remaja dulu kebetulan kami sama­ sama satu SMA di Jepara.” “O? Begitu toh?” “Ya. Begitulah. Selepas SMA, dia masuk Fakultas Ekonomi UGM di Yogyakarta, saya masuk Akademi Polisi.” “Jadi dia itu kawan Pak Dhar toh?” “Ya, ha­ha­ha, kawan sekaligus lawan.” “Kawan sekaligus lawan?” “Begitulah, ha­ha­ha.” “Rupanya ada romantikanya di situ.” “Ah, tidak, sekadar sejarah remaja di kota asal.” “Pantes Pak Dhar tahu betul keadaan Jepara, kota asal.” “Ya. Untuk itu saya bisa ngotot. Menurut saya Jepara memang lebih punya nilai jual pariwisata ketimbang ibukota provinsi. Sebab Jepara punya peninggalan sejarah kebangsaan yang bukti­buktinya masih bisa dilihat: sumurnya Kartini, mesin jahitnya Kartini, kursinya Kartini, dan lain­lain. Selain itu, Jepara juga punya sisa peninggalan Portugis. Bayangkan, 273 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo satu­satunya daerah di Pulau Jawa yang punya peninggalan benteng Portugis hanya Jepara. Pasti di dalamnya ada cerita yang bisa dijual dalam pariwisata.” “Benteng Portugis ada di Jawa?” “Nah, kan, Pak Winata sendiri kaget. Ya, Pak, benteng Portugis itu ada di desa Banyumanis, kecamatan Keling. Jadi, benteng Portugis bukan cuma ada di Ternate, Banda, dan Makassar, tapi juga di Jepara. Artinya, sebagai tujuan wisata, Jepara memiliki cerita yang dapat dibangun untuk membangkit­ kan kemauan pelancong untuk datang berkunjung. Menurut saya, pariwisata sebagai bisnis yang benar, harus memiliki nilai cerita tentang sosok manusia. Nah, cerita tentang Jepara, selain Kartini, juga Ratu Kalinyamat, Tjie Goei Goan yang kemudian menjadi Sultan Hadiri atau Sunan Mantingan…” “Itu memang menarik sekali,” kata Winata sembari membayangkan yang tidak disebut­sebut oleh Dharsana bah­ wa Jepara merupakan pusat perajin furnitur ukir terbesar di Indonesia yang ramai didatangi oleh pengusaha­pengusaha dari negeri­negeri Arab, Jepang, Korea. “Yang kita perlukan, tinggal surat­suratnya, Pak Dhar. Sesudah itu, baru kita ke sana.” “Baik, Pak Winata,” kata Dharsana. “Saya akan minta supaya surat­surat itu cepat dibereskan.” “Harus segera, Pak Dhar. Keadaan negeri kita sekarang ini rawan. Bapak lihat sendiri: peristiwa 27 Juli 1996 itu membuat semua investor dari luar merasa ragu menginjakkan kaki di sini.” “Memang betul,” kata Dharsana. “Tapi, tidak usah kuatir, percayalah. Saya tahu semuanya. Saya kan ABRI aktif, Pak 274 Remy Sylado Winata. Tidak akan terjadi hal yang mengguncangkan, kecuali kalau kita yang mengguncangkannya.” Winata bangga, kendati bukan lega, mendengar pernyataan Dharsana yang begitu pede. Sementara di hati kecil Dharsana sendiri sebenarnya melengket perasaan syakwasangka meng­ awasi sikon Jakarta sebagai pusat pemerintahan, yang mulai merah oleh tuntutan mahasiswa menyuarakan reformasi. Tak heran bertanya Winata kepada Dharsana, “Pak Dhar yakin ya?” Jawab Dharsana dengan ungkapan khas Melayu, “Percaya­ lah saya.” Tapi kelitnya, “Arus reformasi memang santer. Dan barangkali ada kekuatan tidak terbaca di baliknya. Tapi, sekali lagi, percayalah saya, itu hanya wujud angin. Kita harus berani ambil risiko melawan angin. Kita belajar itu dari layang­layang. Lihat saja layang­layang, Pak Winata. Layang­layang bisa ter­ bang justru karena layang­layang itu melawan angin.” Winata membenarkan. “Ya, Pak Dhar, itu betul.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 275 www.bacaan-indo.blogspot.com 51 ARKIAN, yang tak diketahui Ibu Intan, pada hari ini, bersamaan dengan makin riuhrendah dan gegapgempita para mahasiswa menduduki atap gedung DPRRI di Senayan menuntut segera lengsernya Bapak Pembangunan, di dalamnya, pada sebuah ruang di Komisi X, yaitu kamar tamu di sebelah kiri koridor menuju ruang sidang, terlihat Dharsana sedang memegang telefon selular. Lukman pengawalnya yang juga menjadi sopir­ nya, duduk di hadapannya, di dekat TV yang terletak di kiri pintu masuk. Lukman banyak tahu, lebih tahu dari Ibu Intan, tentang sepakterjang Dharsana di luar rumah. Tapi Lukman bukan bu­ rung cucakrawa yang suka berkicau. Lukman pun sangat takut pada Dharsana. Dari mendengar sapaan Dharsana kepada orang yang di­ telefonnya, Lukman segera tahu siapa orang itu. Dharsana Remy Sylado menyapa orang itu dengan menyebut kataganti ‘kau’ atau ‘kamu’ menjadi ‘dikau’. Dengan sebutan ‘dikau’, tak diragukan percakapan dengan orang itu nun di suatu tempat di luar sana, sifatnya amat karib untuk tidak mengatakan lumayan mesra. Orang yang dimaksud ini juga balik menyapa Dharsana dengan ‘dikau’. Percakapan telah sampai pada simpai tertentu. Di sini Dharsana berkata, “Dikau coba dulu dong.” Setelah itu, kayaknya orang itu berkata sesuatu yang tidak sanggup dilakukannya, sebab, Dharsana maido. Kata Dharsana, “Lo? Kok dikau bilang ‘so sorry’?” Orang itu menjawab sesuatu. Dharsana mendengarkan dengan serius. Nanti, dari pernyataan berawai Dharsana akan diketahui bahwa si dikau baru saja menggambarkan dirinya sebagai prajurit yang menyerah. Kata Dharsana, “Lo? Sekarang kok dikau bilang ‘hands up’?” Jadi siapa sebetulnya si dikau? www.bacaan-indo.blogspot.com *** Si dikau merasa sangat bete, buntu menghadapi masalah jelimet yang melintang bagai halimun panas. Dia menerima telefon dari Dharsana sembari tiduran tengkurap di atas sofa dengan menaik­naikkan kaki. Melalui dialog berikut ini segera diketahui siapa dirinya. “Oh my God!” serunya. Tak salah, dia Jeng Retno. Lanjutnya, “Mana mau dia turun dari her room upstairs untuk menerima telefon dari dikau. Dikau aja dong yang give a ring lewat her ‘hape’. But, trust me deh, Mas, dikau can never tell what she might take into her head. There is nothing she might not think of doing.” 277 Hotel Pro deo Berkerut dahi Dharsana. Mulutnya goyang­gayang. Dia bersandar di kursi dengan cara merebahkan kepala di situ. Ada beberapa pertanyaan yang bertumpuk di benaknya, namun tak terinci dengan jelas. Akhirnya dia hanya mengeluh dengan satu pernyataan singkat. “Huh!” Sebaliknya Jeng Retno merungut dengan cara kolokan. Katanya, “Don’t ‘huh’ me dong, Mas. Keadaannya kayak begitu. Dia benci banget terhadap semua reality. She can hate so much she’ll tear the world to pieces. Wis toh, Mas, saiki dikau telefono dewe nek tidak percaya padaku.” “Oke. Aku telefon dia.” “She’s in her room lantai dua.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dharsana menyuruh Lukman menelefon Mayang di nomer kepala 081. Lukman segera melakukannya. Tapi tidak ada jawaban. “Tidak diangkat, Pak,” kata Lukman, Dharsana jengkel, merampas telefon selular di tangan Lukman lantas melakukannya sendiri, Juga tidak ada jawaban. Di kamarnya Mayang hanya diam. Telefon selular—yang lazim disebut orang Indonesia secara keliru ‘hape’ dan apa boleh buat kadung terpakai meluas—hanya dibiarkan Mayang berbunyi terus di depan matanya. Dia melihat saja hape itu dengan pandangan yang kosong. Satu menit kemudian Dharsana mencoba menelefonnya lagi. Tapi tetap tidak diangkat, Mayang membiarkan. Lagi dia mencoba. Dan, lagi dibiarkan Mayang. Dari luar kamar Jeng Retno yang berdiri di balik pintu kamar Mayang berseru: “Honey, Sayang, your hape is ringing, Nduk!” 278 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com Mayang mendengar suara ibunya, dan dia pun tak hirau. Dia duduk cuek di kursi depan meja rias, memandang wajahnya yang dingin dan rambut yang kusut­masai seperti ijuk. Jeng Retno membuka pintu, sambil berdiri di kusennya. Katanya, “Come on, Sayang, angkat your hape, and answer. Pasti itu dari Om Dhar.” “Gila!” Mayang geram. Dia ambil hapenya itu. Tapi dia tidak mengambil untuk menjawab. Dia ambil untuk dia lempar ke cermin di hadapannya. Hapenya pecah, sekaligus memecahkan pula cermin meja riasnya. Jeng Retno terperanjat. Mata membelalak. “Oh my God! Piye toh iki?” serunya. “Aku benci bunyi yang datang dari neraka,” kata Mayang, merebahkan diri di atas ranjang dengan seprai yang telamburan. “Oh my God! Bunyi telefon itu kamu bilang dari neraka? Oh, what sort of nonsense is this?” “Ya, aku benci suara neraka. Aku kepingin mendengar suara merdu malaikat dari surga. Hark the herald angels sing.”1 Lalu Mayang menyanyi sendiri. Jeng Retno masygul. “Oh my God!” Dia duduk di ranjang Mayang, membujuk­ nya, membelai rambut putrinya itu. “Ngene lho, Nduk, rungokke sik iki. I don’t want to argue. I just don’t understand why you took the trouble to think that.” Mayang malah berdiri di atas ranjang, dan dia pun menya­ nyi keras­keras: “Papa don’t preach I’m in trouble deep.”2 Jeng Retno bukan masygul lagi, tapi sedih. *** 1 Larik pertama dari lirik ciptaan Charles Wesley, lirikus Inggris abad 18, atas komposisi Felix Mendelssohn, komponis Jerman abad 19, populer melalui sejumlah penyanyi top mulai dari Pat Boone, Elvis Presley, sampai Mariah Carey, Michael Bolton. 2 Larik pertama dari nyanyian pop­rock Madonna. 279 Hotel Pro deo Dalam sedihnya Jeng Retno keluar dari kamar Mayang, menuruni tangga ke ruang tengah di bawah, mengangkat tele­ fon, menghubungi Dharsana. Kemasygulan dan kesedihannya dia sampaikan kepada Dharsana. “Aduh, Mas, please help me deh,” katanya. “Mayang ke­ lihatannya overdosis banget.” “Bagaimana?” “Temui dia deh, Mas. I beg you.” “Dikau tahu itu sulit.” “Kali ini dikau harus bisa. Though you never take my advice, kali ini berpikirlah that you ought to have taken it.” Jeda sejenak. Dharsana termenung, “Dikau yakin dia overdosis?” “I’m sure.” “Astaga. Aku benar­benar prihatin.” Yang diucapkan Dharsana tidak sejati. Dia hanya sekadar berbasabasi. Sebenarnya dia merasa plong. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 280 www.bacaan-indo.blogspot.com 52 JENG Retno berkata kepada Dharsana: dia akan pergi bersama Mayang ke Magelang. “Kayaknya Mayang lebih baik tinggal di Magelang,” kata­ nya lewat telefon rumah, duduk dengan melipat kedua belah kaki di atas kursi. Dharsana menyimpulkan sekenanya, dan dia mengatakan itu melalui pertanyaan yang sekadar buka mulut. “Apa dikau mau dia kuliah di Magelang?” Jeng Retno pun menjawab gampang­gampangan, “Well, you may say so.” “Baguslah.” “Rencananya, aku berangkat besok, Mas. Dari Magelang aku ke Nusakambangan.” “Begitu.” Jeng Retno menjawab dengan kemayu, mendesahkan suara, dan melafalkan huruf ‘t’ seperti lidah Inggris­Amerika, www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo serta huruf ‘u’ seperti lidah Belanda utara, yaitu “Ya, begitu,” terdengar menjadi “Ya, begicyi.” “Oh,” kata Dharsana sekadar memberi perhatian. Lalu, “Sekarang dikau ada di mana?” “Aku masih di rumah, tapi siap­siap mau ke mal: doing my olahraga.” “Olahraga?” “Yes, my dear: olahraga.” “Olahraga apa?” “Berjalan kaki.” “Apa itu?” “Ya, Mas. Daripada lari­lari di Senayan kayak gila, kan lebih baik jalan­jalan keliling mal, cuci mata. Itu sama juga de­ ngan olahraga.” “O, alah.” “Kenapa, Mas? Don’t you think that’s a good idea?” Dharsana tertawa. Katanya, “Sebetulnya aku ingin siang ini kita makan ikan bakar Manado di Kelapa Gading.” “Oh my God. Jangan siang ini. Nanti malam saja.” “Kenapa sih?” “Dari mal aku mau ke Glodok, beli vitamin di toko Cina.” “Vitamin apa?” “Vitamin untuk bikin fit, tidak lesu, tidak kurus.” “Lo? Untuk siapa?” “Buat Mas Kandar. Aku janji akan bawa vitamin itu kalau aku ke Nusakambangan.” Di tempatnya Dharsana terjeda. Dia menggumam, dan Jeng Retno mendengar. “Vitamin?” “Ya, Mas, Mas Kandar kurus sekali sekarang. Ya kurus, ya lesu. Biarpun aku benci dia sekarang, sebab dia tidak berguna lagi, because he took my reason for living, tapi melihat dia kurus dan lesu begitu, aku kasihan juga.” 282 Remy Sylado “Dari dulu dia memang kurus kok.” “Oh, no. He wasn’t. Nusakambangan made him kurus.” Dharsana mengangguk, mata liar, tak terlihat oleh Jeng Retno. Katanya, “Jadi dikau perlu vitamin itu buat Kandar.” “Ya. Kata orang, yang buatan Cina—aku lupa namanya— itu lebih bagus dari yang buatan Amerika.” “Ya, sudah, nanti aku suruh anakbuah membelinya. Dikau tidak perlu mencari di Glodok. Aku akan suruh anakbuah se­ karang juga membelinya. Nanti malam aku akan bawa buat dikau.” “Really?” “Itu soal kecil.” “Oh, thank you.” “Justru aku yang terimakasih. Terimakasih sebesar­besar­ nya.” “You’re so kind.” “Aku jemput dikau nanti malam.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sehabis bicara dengan Jeng Retno, cepat­cepat Dharsana menelefon Anto Irawan, polisi jahat, lawan dari polisi baik, orang yang punya simpanan stok narkoba sitaan di rumahnya. “Bisa ketemu saya di Tebet?” kata Dharsana kepada Anto Irawan. “Bisa, Pak.” “Sekarang.” “Dilaksanakan, Pak.” Setelah menelefon Anto Irawan, Dharsana menelefon Todung. “He, monyet, ke Tebet.” “Baik, Pak Bos.” “Sekarang.” “Baik, Pak Bos.” 283 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Semua segera bergerak menuju ke Tebet, ke rumah kosong milik Dharsana. Mereka lebih dulu tiba di situ sebelum Dharsana datang. Tapi mereka tidak bisa masuk ke dalam, sebab kunci rumah ini dipegang Dharsana. Mereka masuk ke ruang tengah yang gelap, hanya satu lampu 5 wat pas di atas meja bundar, duduk mengeliling meja itu. Empat orang yang duduk di situ: Dharsana, Anto Irawan, Todung, dan orang yang dipanggil ‘Bon Jovi’. “Saya tidak tahu caranya membikin obat gila,” kata Dharsana memulai percakapan. “Saya ingin dibuatkan seka­ rang juga di sini. Harus siap sebelum magrib.” Anto Irawan menukas, “Yang seperti apa obat itu, Pak.” “Dalam pikiran saya, itu berbentuk seperti vitamin, tapi sebetulnya itu jenis narkoba yang bikin rusak sendi­sendi tu­ buh.” “Itu gampang, Pak.” “Gampangnya bagaimana?” “Masukkan obat adiksi itu ke dalam kapsul.” “Apa ada vitamin Cina berbentuk kapsul?” “Bisa dibikin, Pak.” “Sasarannya bukan orang bodoh.” “Orang yang paling pintar pun tidak mungkin tahu ini.” Dharsana senang sekali. Dia tertawa kecil. “Jadi bisa dibikin di sini?” tanyanya. “Sangat bisa, Pak,” jawab Anto. “Selesai sebelum magrib?” “Pasti, Pak. Tinggal cari dulu obat vitamin itu di toko obat.” “Menurut informasi, adanya cuma di Glodok,” “Ya, hitung saja, kalau mau selesai pembikinannya sebelum magrib: sekarang jam 12.00, ngebut ke Glodok dari sini pergi ­pulang kira­kira satu setengah jam, lalu di Glodok sana bu­ tuh setengah jam untuk mencari obat vitamin di toko yang 284 menjualnya, lalu mengganti isinya di sini sekitar taruhlah satu jam, maka jumlah waktu yang kita butuhkan seluruhnya hanya tiga jam, artinya semua pekerjaan selesai sebelum asar. Dharsana senang sekali. “Pintar,” katanya. Anto memberi senyum karena pujian padanya. Kemudian Dharsana menunjuk Todung dan si Bon Jovi. Katanya, “Kamu berdua ke Glodok. Cari itu.” “Baik, Pak Bos,” kata Todung. *** Vitamin palsu itu yang diberikan Dharsana kepada Jeng Retno pada malam harinya. Pada malam ini, setelah makan ikan bakar ala Manado di Kelapa Gading, mobil yang distir Lukman menuju ke Ancol. Dharsana dan Jeng Retno menginap di cottage. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 53 SEMENTARA itu, keadaan Mayang amat merisaukan Jeng Retno. Dia tidak tahu apa yang terjadi atas diri putrinya. Jangar pikirannya melihat keadaan Mayang yang makin keranjingan dan tidak serius bicaranya, akhirnya Jeng Retno memutuskan untuk mengajak Mayang ke Magelang, persisnya ke desa Borobudur, ke rumah Bu Purwanto, ibundanya. Dia yakin ibundanya bisa menolong. “Aku benar­benar hands up, Bu,” kata Jeng Retno. Bukan terbawa ke dalam perasaan prihatin putrinya, Bu Purwanto lebih dulu mencela tutur bahasa Jeng Retno, “Kamu bicara apa toh itu?” kata Bu Purwanto. “Kalau ma­ sih ada kata ‘angkat tangan’, tidak usah bilang ‘hands up’. Itu kemayu.” Jeng Retno tertempelak. Wajahnya merengut. “Yo wis,” katanya, “Aku benar­benar angkat tangan.” 286 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Nah, begitu,” kata Bu Purwanto. “Lantas maumu bagai­ mana?” “Maksudku, aku minta tolong Ibu, biar Mayang di sini dulu sampai dia tidak seperti sekarang ini.” “Aku tidak keberatan,” kata Bu Purwanto, “Aku malah senang sekali, cucuku bisa tinggal bersama aku di sini. Tapi masalahnya, kamu tidak bilang: apa kamu menyembunyikan sesuatu atas dirinya yang kamu ingin aku tidak perlu tahu?” “Maksud Ibu apa?” “Aku ingin kamu jawab yang jujur: apa dia hamil?” Jeng Retno tampak bingung. Jawabnya mengambang. “Embuh wis, Bu.” “Tidak tahu? Masya Allah. Bagaimana pengawasanmu selama ini?” “Aku pusing, Bu. Ibu kan tahu, sejak Mas Kandar dipenja­ rakan di Nusakambangan, aku menjadi ‘single parent’ yang muntang­manting.” “Alah!” Bu Purwanto mencibir. “Itu lagi. Senangmu kok mesti nginggris. Apa kamu tidak tahu ‘single parent’ itu bahasa Indonesianya ‘orangtua tunggal’?” Jeng Retno menggerutu, “Ibu nih. Aku lagi serius, tegang, Ibu malah terus mencela bahasaku. Aku kan bukan guru bahasa Indonesia seperti Ibu?” “Bukan begitu soalnya, Ret,” kata Bu Purwanto meng­ encer, dan jeda sejenak, berpikir. “Buat orang kota mungkin omonganmu yang nginggris itu seperti garam di sayur lodeh. Tapi di sini, desa, omonganmu itu malah terdengar aneh seperti bistik dimakan dengan sambel terasi.” “Pointnya bukan itu, Bu…” “Nah, ‘point’ lagi.” “Ah, Ibu. Maksudku: titik masalahnya.” “Titik masalah apa?” 287 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Mayang, Bu. Sepertinya dia tidak mau lagi mendengar omonganku. Dia menjadi cuek dan aku menjadi bete.” “Cuek dan bete itu apa toh?” “Pokoknya seperti dia sekarang dan aku sekarang. Dia bisa seenaknya. Aku seperti terjajah.” “Apa kamu sudah introspeksi: melihat sebab­musababnya, atau api dan asapnya?” “Ah, dia hanya jadi aneh setelah pacarnya mati. Dianggap­ nya dunia hanya didiami oleh satu saja lakilaki.” “Begitu toh?” “Aslinya memang begitu, Bu.” “Lalu, karena alasan itu maka kamu bilang tidak sanggup menghadapi masalahmu itu?” “Aku kewalahan, Bu. Demi Tuhan, aku sungguh­sungguh kewalahan.” “Alah, begitu gampang kamu mencatut­catut nama Tuhan. Kalau persoalannya masih menyangkut hakikat menjadi seorang ibu, dan bisa diselesaikan sendiri dengan akal, jangan terlalu gampang mencatut­catut nama Tuhan. Orang­orang yang paling suka menyebut­nyebut Tuhan saat ini justru koruptor, maling, fasik, kafir.” “Tapi aku harus bilang apa kalau aku sungguh­sungguh kewalahan?” “Itu kodratmu sebagai perempuan, sebagai istri, sebagai ibu. Hawa dicipta untuk mampu menghadapi semua hal yang paling mustahil sekalipun dan yang membuatnya kewalahan.” “Aku belum sanggup.” “Belajar untuk sanggup.” “Ya, sekarang aku sedang belajar dari Ibu.” “Kalau betul begitu, sekarang kamu ajak kembali Mayang pulang bersamamu ke Jakarta, dan asuh dia sebagaimana harusnya.” 288 www.bacaan-indo.blogspot.com “Oh my God!” “Hus! Nginggris lagi. Bahasa Indonesianya untuk ‘oh my God’ itu ‘astaga’.” “Ibu mencela melulu.” “Soalnya kamu seperti orang kesurupan, kesambet roh setan Inggris. Kok tidak punya rasa kebangsaan terhadap ba­ hasa nasional.” Jeng Retno memeluk ibunya. “Sorry, Bu.” “E, ala, ‘sori’ lagi.” “Aku memang celaka, Bu,” kata Jeng Retno terisak. “Makanya aku minta tolong Ibu. Aku betul­betul menguatirkan keadaan Mayang. Dia tidak seperti dulu. Dia sudah berubah. Harusnya sedih, dia menertawai. Dan, yang harusnya lucu, dia meratapi.” “Apa yang ingin kamu bilang?” Jeng Retno menangis, mengucur airmata. “Bu, kalau memang Mayang harus dibawa ke tempatnya Prof Dr Soerojo, aku pasrah. Aku tetap sayang padanya. Aku tetap adalah ibunya.” Di luar rumah Mayang menyanyi lagu Madonna, “Papa don’t preach…” Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 54 MAUNYA setelah membawa Mayang ke rumah Bu Purwanto di Borobudur, lantas Bu Purwanto mengantar Mayang ke Magelang, Jeng Retno bermaksud ke Nusakambangan, tapi ba­ tal, sebab Yayu pembantunya menelefon dari Jakarta agar dia cepat pulang ke Jakarta. “Listrik dicabut oleh PLN dan ledeng disegel oleh PAM,” kata Yayu. Terpaksa Jeng Retno buru­buru kembali ke Jakarta, naik kereta malam dari Yogyakarta. Pening kepala Jeng Retno menghadapi masalah yang sama setiap bulannya. Karena tidak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk itu, tapi cuma satu­satunya orang yang sudah terpelet olehnya, maka dia segera menghubungi orang itu setibanya di Jakarta. “Mas Dhar darling, aku kangen dikau,” kata Jeng Retno menelefon Dharsana, orang yang dimaksud itu. 290 Remy Sylado Dharsana menerima telefon Jeng Retno itu di halaman parkir gedung DPRRI, hendak naik mobil menuju ke rumah kayu­papan untuk menunjukkan kepada Ibu Intan bahwa diri­ nya merupakan kepala rumahtangga resmi di situ. “Ya, ada apa, Sayang?” kata Dharsana menyambut pang­ gilan Jeng Retno dengan nada tanya yang genit. “Aduh, Mas, aku kepepet lagi,” kata Jeng Retno. “Sorry, darling Mas. I beg a thousand excuses for this suspicion.” “Ada apa?” “Masak aku mesti bilang di telefon.” “Tidak apa­apa.” “Please deh. What can a woman want in a male.” “Dikau di mana sekarang?” “Aku baru dari Magelang, antar Mayang ke Ibu, lantas PLN dan PAM melakukan aksi sepihak.” “Jadi dikau di rumah?” “Ya, darling, Mas.” “Oke, aku ke situ.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dharsana menyuruh Lukman segera ke rumah Jeng Retno. Sang sopir melaju ke sana dengan sigap. Jeng Retno menyambut Dharsana dengan ‘akting’ menetes­ kan airmata, menceritakan dengan pandai permasalahannya. Kemudian Dharsana mengeluarkan buku cek dari dalam tasnya, lalu menulis angka­angka tertentu di situ, dan mem­ berikannya kepada Jeng Retno. Wabakdu, dialog berikut ini bukan lagi masalah mem­ bingungkan menyangkut urusan PLN dan PAM, tapi beralih ke soal Nusakambangan. “Jadi dikau belum sempat ke sana?” tanya Dharsana, “Harusnya begitu, tapi la wong Yayu sudah panik sekali, jadi aku cepat­cepat pulang.” 291 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Lantas kapan dikau ke sana?” “Besok pagi aku urus dulu persoalan yang bikin aku pusing begini.” “Ya, ya.” “Aku perlu ke Nusakambangan, sekadar kasih tahu, bahwa Mayang sekarang di Magelang.” “Begitu?” “Ya.” Jeng Retno mengecup pipi Dharsana. “By the way, thank you, Mas. You’re my hero.” Kemudian dialog beralih ke persoalan yang lain, perkara rumit lagi menyenangkan bagi keduanya, hal yang membuat mereka menjadi antara ‘sarira satunggal’ dan ‘sari rasa tunggal’ dalam bermuslihat. “O, ya, Mas darling, aku belum ceritakan ini pada dikau,” kata Jeng Retno. “It’s very freakish.” “Soal apa itu?” “Coba deh Mas tebak.” Dharsana memicingkan mata, mencoba berpikir, namun tak terjawab. Maka katanya, “Tidak tahu.” “Ceritanya, Intan your wife, datang ke sini dengan muka marah,” kata Jeng Retno mengasut. Dharsana terkejut. Dahinya mengkerut. Katanya waham, “Mau apa dia?” Seenaknya, tanpa beban, sambil mengangkat bahu Jeng Retno menjawab, “Kalik mau menteror.” “Ah, yang benar,” kata Dharsana lopak­lapik. “Sungguh. Swear.” “Tapi, kenapa?” “Alasannya cari Mayang.” “Lantas?” “Like I said, barangkali mau teror. Tapi aku tidak merasa takut, tidak cemas, tidak kuatir. Of course it is childish to worrying.” 292 Remy Sylado Dharsana mendengus, tanpa kata, tapi maksudnya men­ dukung apa yang dirasakan oleh Jeng Retno. Lalu, berkata Jeng Retno dengan congkak dan stel yakin, “Yang aku kuatirkan, justru kalau aku menjawab sesuatu yang mengagetkan dia, lantas oh my God, dia klepek­klepek sesak nafas, dan akibatnya farewell­sayonara­wasalam, aku ketem­ puhan diperiksa polisi.” Dan, syahdan, sekonyong berkata Dharsana sesuatu yang selama ini terahasia tapi kini tertelanjangi secara tak sengaja, sebuah pernyataan yang asli berasal dari pikiran jahatnya, “Padahal tadinya, demi Tuhan, aku kira dia sudah mati lantaran gangguan bengeknya itu.” Jeng Retno menyeringai. Dia puas mendengar pernyataan Dharsana yang sertamerta mempertebal pikiran dursila di belakang tengkorak kepalanya. Namun dia diam. Tidak ber­ bunyi. Mulutnya saja yang temut­temut. Dan matanya menje­ gil seperti burung hantu. Barangkali pada suatu waktu nanti, seandainya Dharsana mengulang lagi pernyataannya itu, en­ tah dengan kalimat yang sama dan di kesempatan yang berbe­ da, maka di situ dia pun menelanjangi hatinya yang selama ini terahasia pula. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 293 www.bacaan-indo.blogspot.com 55 DALAM pertemuan Jeng Retno dengan Iskandar di Nusa­ kambangan ini terucap pertanyaan dari ayah tentang putrinya. “Bagaimana keadaan Mayang? Kenapa dia tidak jenguk aku?” Dan, Jeng Retno ternyata hanya menceritakan yang bagus­bagusnya saja—selalu dengan kebiasaan nginggris: she’s fine, she’s good, she’s cute dan seterusnya—dan itu membuat Iskandar merasa senang. Jeng Retno tidak mau bilang hal yang sebenarnya, di mana dan bagaimana keadaan Mayang sekarang. Sekarang Mayang di Magelang, di daerah bernama Kramat. Orang­orang yang tidak tahu menggunjinginya, bahwa Mayang melahirkan anak Marc di Magelang. Padahal, soal janin yang dulu pernah disebut­sebut Mayang, sayang, itu sudah gugur. Mayang tidak jadi dipanggil ibu. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Mayang tetap disebut gadis, dan mendadak dia menjadi gadis yang periang, senang menyanyi. Di jam yang sama ketika Jeng Retno bercakap­cakap de­ ngan Iskandar di Nusakambangan, Mayang di Magelang sedang menyanyi ceria, dan seru, melebihi gaya penyanyi entah rock, entah punk, entah dangdut. Sebelum Jeng Retno ke Nusakambangan, sebetulnya dia sudah ke Magelang, menginap di rumah ibukandungnya Bu Purwanto di desa Borobudur, di jalanan agak menanjak ke arah hotel eksklusif Amanjiwo. Di Magelang Jeng Retno tidak bisa lama bertemu dengan putrinya itu. Namun, dalam pertemuan singkat yang bisa berarti sangat cemplang, Jeng Retno membawa beberapa barang yang dia yakin akan disukai Mayang, yaitu beberapa buku antaralain karya penyair Amerika Edgar Allan Poe, kemudian beberapa kaset antaralain lagu­lagu Madonna, dan tape kecil Sony untuk memutar lagu­lagu itu. Tak jelas, apakah Mayang mau membaca buku yang dibawa oleh Jeng Retno dari Jakarta. Mungkin Jeng Retno bisa marah kalau dia lihat, betapa Mayang menyobek sebuah halaman dari buku Edgar Allan Poe tersebut lantas lembaran itu ditempelnya di dinding pas di hadapan cermin. Jadi kalau dia duduk di depan cermin, maka lembaran buku yang disobeknya itu akan terlihat terbalik di cermin itu. Lembaran buku yang dimaksud ini adalah puisi berjudul A Dream Within a Dream. “Kamu tahu, Yang, membaca puisi itu bisa selalu memberi kesan yang berbeda,” katanya. “Dibaca hari ini, bisa berbeda kesan kalau dibaca besok.” Mayang tidak hirau. Dia tidak tertarik pada omongan ibunya. Dia ketawa. Ketawanya menunjukkan sikap antara me­ remehkan dan gairah pada sesuatu yang absurd. 295 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Mother ingin kamu baca semua.” Mayang ketawa lagi. Masih sama dengan ketawanya tadi, tapi sekarang disertai dengan menjatuhkan kepala di ranjang berukuran pas satu badan, dan menaikkan kedua kakinya ke atas. “Oh my God, jangan begini dong,” kata Jeng Retno menarik turun kaki Mayang. Lalu, “Mother pulang ya?” Mayang tidak menjawab sepatahpun. Kelihatannya Mayang enggan sekali bicara dengan ibunya. Alasannya dia mengantuk. Maka dia pergi meninggalkan Jeng Retno seperti tidak terjadi pertemuan kangen. Dia tidur di bangku, tengkurap sambil mengangkat kedua kaki. Tapi setelah itu Mayang bangun, berjalan meloncat­loncat seperti anak kijang, ke sebuah bangsal di mana terdengar beberapa orang menyanyi. Dia memperhatikan sejenak orang­orang yang menyanyi itu. Mereka diajari nyanyi oleh seorang perempuan berbaju putih bernama Karyati. Di sini, perempuan yang dimaksud ini, akrab dipanggil Zuster Karyati. Sandangan ‘zuster’ pada namanya ini tidak ada hubungannya dengan panggilan takzim terhadap perempuan­perempuan berjilbab di lingkungan Katolik yang diartikan sebagai pilihan hidup selibat. Karena sandangan ‘zuster’ bagi Karyati bukan berkaitan de­ ngan sebutan bagi perempuan­perempuan yang memilih hidup selibat, boleh jadi panggilan ‘zuster’ bagi Karyati adalah yang lazim dikenal di lingkungan perawat­perawat di rumahsakit, padahal kata ‘zuster’ sendiri yang diserap dari bahasa Belanda, artinya tak lain adalah ‘saudara perempuan’. Melihat beberapa orang diajari menyanyi oleh Zuster Karyati, Mayang pun masuk ke lingkarannya, ikut bernyanyi bersama­sama. Repotnya, suara orang­orang itu seperti rezeki yang tidak merata. Karyati mengajar mereka menyanyikan lagu Jawa ber­ 296 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado titilaras pelog, yang lainnya lari ke titilaras slendro, sementara Mayang menarik perhatian khusus sebab dia paling lain. Dengan suara nyaring dia menyanyi sendiri lagu Madonna: Papa don’t preach. Di tengah orang­orang yang diajari nyanyi oleh Karyati, Mayang menarik perhatian dengan menyanyikan lagu Madonna itu dengan nada yang tidak laras dengan matra dan talanya, tapi justru itu dianggapnya sebagai cara kontemporer dalam kebebasan berekspresi diri. “Papa don’t preach, I’m in trouble, yeah!” Walaupun nyanyinya ini tidak laras dengan matra dan tala yang merupakan pengetahuan dasar seni musik, Mayang cuek, pokoknya yang penting dia bisa bengak­bengok dan bengak­bengok yang menyakitkan telinga orang dianggapnya seni. Barangkali dalam pikirannya dia bisa bilang: toh yang di­ lakukannya ini biasa dilakukan juga oleh orang­orang muda lain di antero negeri. Yang jelas, gaya Mayang bengak­bengok itu memang sudah menjadi ciri model anak­anak muda di semua zaman, ketika mereka terobsesi untuk memberi deskripsi tentang kebebasan berekspresi, yaitu bebasnya jiwa dan raga untuk mencapai kulminasi cita­cita yang tidak jelas. Mayang sama seperti remaja­remaja lain di Indonesia yang berciri masyarakat tradisi, remaja terperangkap dalam slogan­slogan kebebasan ekspresi yang capcay, yang centang­ perenang: asal bisa bengak­bengok sampai parau mengikuti musik yang diartikan sendiri sebagai rock atau punk, dan tidak peduli telinga orang lain terganggu. Nanti, di saat badannya letih, Mayang pun duduk di depan cermin, satu­satunya teman yang dianggapnya bisa mengerti akan pikiran­pikiran dan perasaan­perasaannya yang tidak di­ lafazkan. Di cermin ini tersisip foto Marc, cintanya yang tidak 297 pernah luntur dalam situasi apapun dan kondisi bagaimanapun. Sambil melihat wajahnya di cermin, lalu beralih matanya ke foto kekasih abadinya, dia yakin sedang mengucapkan kata­kata indah yang tidak terlafazkan. Kata­kata itu seperti susunan­susunan huruf yang terbalik. Hanya orang­orang terpilih untuk menjadi manusia ajaib dan luar biasa yang bisa mengerti imaginasi apa yang sedang mukim dalam potensi rohani Mayang. Yang jadi soal, apakah itu benar imaginasi. Betapa dekat hubungan imaginasi dengan ilusi, fantasi, halusinasi… www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 56 IBU Intan risi banget melihat beberapa hari ini Dharsana terus­terusan pulang ke rumah kayu­papan, padahal selama ini Dharsana tidak jelas pulang ke mana: entah ke rumah kosong di Tebet, entah di hotel, entah bersama Jeng Retno. Dalam pikiran Dharsana, kembalinya tidur di rumah kayu­ papan pada hari­hari terakhir ini, walau bukan sekamar dengan Ibu Intan, dikiranya sebagai cara untuk mengingatkan dengan gaya banteng ketaton, bahwa dirinya di sini adalah tetap sebagai pemimpin keluarga, dan tetap merupakan suami sah Ibu Intan, tidak peduli bahwa Ibu Intan menyepelekannya. Dharsana merasa harus menerobos barikade di hati Ibu Intan. Dengan caranya yang ngotot, dia berusaha melengketkan lagi dua hati yang salahsatunya sudah luka dan takkan sembuh. 299 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dia mengira, bahwa dengan kata­kata dayu, maka hati Ibu Intan yang kini keras, pada akhirnya bakal lumer. Tentu saja Dharsana keliru. Ibu Intan tidak gubris terhadap semua yang dilakukan dan dikatakan Dharsana kepadanya. Malahan, tak diinsyafi Dharsana bahwa pendekatan yang dilakukannya dan dikatakannya kata­kata dayu, justru menambah bukan saja hanya gusar melainkan juga jijik di hati Ibu Intan. Ibu Intan membiarkan saja Dharsana capek sendiri berada di dalam rumah kayu­papan ini. Jadi, apakah Dharsana akan capek? Kayaknya Dharsana di sini muka­tembok, rai­gedeg! Dalam hatinya dia berkata, “Sampai kapan kamu sanggup mendiamkan aku, menyepelekan aku, heh? Aku suamimu yang sah. Aku berhak mengatur hidupmu, mengatur semua yang ada di rumah ini.” Dharsana tidak merasakan sakit hati Ibu Intan. Rasa sa­ kit karena tangan Dharsana memukul Ibu Intan dan mem­ perlakukannya sebagai musuh yang lazim dalam kemiliteran, terus membayang dalam ingatan Ibu Intan. Sakit karena pu­ kulan itu sendiri barangkali sudah sembuh, tapi ingatannya terhadap perlakuan itu memang terus membekas dalam pikirannya, menyebabkan hatinya tidak percaya akan bisa sembuh. Artinya, Ibu Intan tidak punya alasan untuk menjadi lunak. Dengan itu, mungkin Ibu Intan tahu pula, betapa dia bisa masuk ke gerbang risiko yang lebih buruk di waktu­waktu yang berjalan. Namun, apa hendak dikata, dia merasa yakin, bahwa tidaklah mudah membengkokkan rotan yang kepalang sudah kering. Rotan yang sudah kering akan patah jika dibengkokkan. Begitulah hati Ibu Intan. Di pihak Dharsana, ngototnya berada di rumah yang di­ 300 Remy Sylado anggapnya sebagai rumahnya sendiri—kendati tak sepeserpun uangnya yang ikut membangun rumah kayu­papan ini—ber­ hubung Ibu Intan adalah istrinya ‘sendiri’, memang merupakan sikap seorang lelaki berperangai yahudi kedekut, bermartabat kedodoran, urat malunya sudah putus. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Bersamaan dengan itu, ketika Dharsana ngotot kembali ke rumah kayu­papan, Jeng Retno seperti kehilangan gairah karena kehilangan komunikasi dengan Dharsana. Dalam tu­ juh hari ini Jeng Retno menelefon Dharsana untuk datang kepadanya, dan selalu Dharsana menjawab dia akan datang, tapi selalu lupa, disebabkan oleh repotnya menghadap keada­ an negeri yang dalam istilah keamanan: tidak kondusif—se­ bab gerakan mahasiswa di mana­mana semakin santer dan garang berdemonstrasi menuntut reformasi terhadap tatanan politik mutakhir, dan mendesak parlemen cepat memakzul­ kan presiden—sehingga Dharsana sulit membagi waktu dalam kedudukannya yang rawan sebagai anggota ABRI di DPRRI. Padahal, jika Jeng Retno meminta Dharsana datang ke­ padanya, yang diharapkan oleh wanita panas ini adalah supaya rasa pening, pusing­pusing, dan tegangnya bisa mengendur. Jeng Retno merasa aman dengan Dharsana, sebab lakilaki jancuk ini memberinya dua hal kesenangan yang diperlukannya berkaitan dengan keadaannya sebagai istri yang menanggung masalah belanja sehari­hari berhubung suaminya mendekam di Nusakambangan, dan masalah yang menyangkut kebutuhan badaninya sebagai istri yang tidak tinggal serumah dengan suaminya tersebut. Untuk urusan yang kedua itu, sikap Jeng Retno ibarat kata peribahasa ‘tiada rotan akar pun jadi’. Maksudnya, selama ini, sebelum menemukan mitra zina dengan Dharsana, Jeng Retno 301 Hotel Pro deo bisa melakukan dengan siapa saja, pokoknya asal peningnya, pusing­pusingnya, dan tegangnya hilang. Makanya, tak heran iparnya, Nia atau Kurniati, adik kandung Iskandar, menyebut kelakuan Jeng Retno itu sebagai ‘tamasya’: tante maniak seks yang ambisius. Karena, ketika Jeng Retno tegang, pusing­ pusing, dan pening, maka yang diharapkannya segera ada di hadapannya adalah sesuatu yang mirip antara terong atau pisang ambon dari struktur tubuh lelaki yang diberdayakannya sebagai perkakas rekreasi bagi tubuhnya. Lantaran Dharsana tidak muncul dalam sepekan ini, pada­ hal dia merasa sangat pening, sangat pusing­pusing, sangat tegang, maka seperti dulu­dulu sejak Iskandar dijebloskan di Nusakambangan, dia biasa mencari tukang pijat lelaki—yaitu para ‘balola’: barisan lonte lanang—yang memasang iklan diri­ nya di suratkabar pagi. Lewat advertensi itu, tinggal dipilih saja, tukang pijat macam mana yang ingin diberdayakannya, ditelefon dan tukang pijat itu datang ke rumahnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ketika Dharsana menelefon Jeng Retno di akhir pekan, mengatakan bahwa dia akan datang nanti malam, maka pada saat yang sama ini Jeng Retno sedang telentang telanjang di atas ranjang, diurut­urut oleh lelaki tukang pijat yang didapatnya dari iklan suratkabar. Begitu telefonnya, yang ada di dekat ranjangnya itu ber­ dering, Jeng Retno mengangkatnya, dan menjawabnya sambil mengangkang, bukan dengan bahasa Indonesia yang sederhana tapi bercampur dengan sok Inggris, yang maunya menjadi istimewa. “Ya. Who’s speaking nih?” “Aku,” jawab Dharsana di atas mobilnya yang meluncur di atas tol Jagorawi. Jeng Retno segera mengenal suara Dharsana, menjawab sambil memutar badan sampai tengkurap, “Oh my God! It’s you 302 darling masku, Mas Dhar?” “Nanti malam aku jemput.” “Oke.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 57 DHARSANA mengira, bahwa diamnya Ibu Intan itu berarti pasif saja menerima keadaan, dan tidak berpikir apa­apa untuk menapak ke waktu­waktu yang berjalan. Sebenarnya, yang berlangsung dalam pikiran Ibu Intan setelah teriakan cerai itu, adalah pergumulan dengan batinnya untuk mencari dan menemukan jalan berpisah dengan suaminya menurut realitas arang yang patah. Sebegitu jauh dia belum bicara apa­apa tentang itu kepada Dharsana. Orang yang paling mengerti masalah pergumulannya ini adalah justru pembantunya, Hutami. Tak boleh disangkal, satu­satunya orang paling dekat dengan Ibu Intan, yang telah dianggapnya sebagai sahabatnya, adalah Hutami. Berulang kali Hutami mendengar pergumulan batin Ibu Intan ketika yang disebut ini tiduran di atas ranjangnya sembari menonton TV dan Hutami memijat­mijat kakinya. 304 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Siang ini—di saat Dharsana sudah meninggalkan rumah dua jam yang lalu dengan mobil yang distir Lukman—Ibu Intan berkata mengomentari film India di TV—melodrama khas Bollywood yang mendayu perasaan wanita—yang ditontonnya bareng Hutami. “Ya, memang betul, sekali teriakan cerai diucapkan, jangan lagi berpikir menyambungkan benang putus,” kata Ibu Intan. “Kata yang kepalang diucapkan, dan ucapan itu sudah lepas lewat mulut, tidak sama dengan tulisan pensil yang bisa distip dan diganti dengan kalimat lain.” “Ya, Bu,” kata Hutami mendukung, dan menyatakannya dengan kesukaannya menghafal­hafal peribahasa yang terbalik. “Ibu sudah minta cerai, tapi Bapak tidak mau. Bapak itu ‘meng­ hangat tidak mendingin’.” “Apa?” “Iya, Bu, Bapak tidak ambil pusing.” “Ah, kamu asbun melulu. Peribahasanya ‘tidak ambil pu­ sing’ itu adalah ‘tidak menghangat mendingin’.” Stel yakin Hutami menjawab, “Ya, pokoknya begitu.” Lalu, Ibu Intan kembali ke topik percakapannya, bertanya untuk mendengar pendapat Hutami tentang pergumulan batin­ nya. “Kalau menurutmu bagaimana, Mi?” Hutami tidak berpendapat. Jawabnya khas menurut leluri santun Sunda, “Ah, teu langkung ti Ibu we.”1 “Ya,” kata Ibu Intan teguh. “Saya akan cari penasehat hukum untuk menangani ini.” Namun, tanggapan Hutami sedikit membimbangkannya. Kata Hutami, “Tapi Ibu nikah dengan upacara militer kan?” Tak segera Ibu Intan menjawab. Dalam sekian detik jeda, termangu, akhirnya Ibu Intan berkata mewakili kebimbangan­ nya, “Makanya saya akan cari penasehat hukum, Mi.” 1 Terserah Ibu. Haraiahnya ‘tidak lebih dari Ibu saja’. 305 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dan, ujug­ujug, tanpa rencana, secepatnya Ibu Intan bang­ kit dari ranjang, ke kamarmakan, melihat koran­koran yang tadi dibaca di situ sambil minum kopi dan makan roti. Dia mencari di dalam koran, kalau­kalau ada nama dan alamat ahli hukum yang bisa dihubunginya untuk mengurus perceraiannya dengan Dharsana. Perasaannya yang sudah teguh ini nanti luntur berangsur karena alasan­alasan dalam perjalanan waktu yang membuat­ nya ragu. Paling tidak keraguan ini hanya sementara. Setelah itu dia kembali teguh harus bercerai dengan Dharsana. Tapi alamat ahli hukum yang diharapkannya ada di adver­ tensi suratkabar ternyata tak ada. Oleh karena itu, di bawah keteguhan hatinya, dia menelefon bagian penerangan yang bisa memberi nomer telefon dan ala­ mat lembaga hukum. Dari bagian penerangan dia mendapat beberapa nama. Salahsatu yang menarik adalah Mawar Saron. (Nama Mawar Saron muncul dalam cerita ini di mobil yang digunakan Juminah ketika bersama mitra kerjanya lewat di atas jembatan layang Senen: pada peristiwa matinya Marc). Maka Ibu Intan pun menelefon ke nama Mawar Saron. Tapi ketika dia baru hendak memencet angka­angka di pesawat telefonnya untuk menyambung ke Mawar Saron, ter­ lebih dulu telefonnya itu mendering. Dia angkat gagangnya lantas, “Hallo.” Dari suatu tempat terdengar suara lakilaki bertanya, “Ibu Intan? Apa Bapak ada, Bu?” Ibu Intan terkesiap. “Siapa ini?” tanyanya. 306 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Saya James Winata, Bu.” “Oh? Pak Winata?” Sertamerta Ibu Intan teringat akan kata­kata yang di­ ucapkan Winata kepadanya pada hari pelayatan atas kematian putranya, Marc. Tiba­tiba perasaannya tergugah untuk ingin bertemu dengan Winata. “Kebetulan, Pak Winata,” kata Ibu Intan. Winata tak paham pernyataan Ibu Intan itu. Maka, dia bertanya, “Bagaimana, Bu?” “Ya, dia tidak di sini,” kata Ibu Intan, menyebut Dharsana bukan ‘bapak’ sebagaimana lazimnya, tapi sekadar ‘dia’, sebagai cara untuk enggan menghormati Dharsana. “Tapi, kebetulan, Pak Winata menelefon ke sini, jadi saya ingin bertukar pikiran dengan Anda.” “O ya?” kata Winata, menyambut ramah. “Soal apa, Bu?” “Ya, soal dia itu.” “Soal bapak, Bu?” “Eh, juga menyangkut yang pernah Anda katakan kepada saya dulu.” “Yang mana ya, Bu? Saya lupa.” “Nanti saya ingatkan. Yang penting, apa Anda punya waktu untuk bertemu dengan saya?” “Tentu. Tentu, Bu.” “Apa bisa sekarang?” “Sebetulnya jam 12.00 ini saya janjian dengan Pak Dhar.” “Ya, sudah. Jam berapa Anda bisa?” “Jam 19.00, Bu?” “Oke. Di mana?” “Di Le Méridien?” “Baik.” Lalu, “Tapi, kalau Anda jumpa ‘dia’ pada jam 12.00 ini, jangan bilang kita akan bertemu pada jam 19.00. Kepala sa­ 307 Hotel Pro deo ya sudah jadi arang. Anda tahu, arang yang patah menjadi abu.” “Saya mengerti, Bu.” Percakapan selesai. Setelah itu Ibu Intan tidak jadi menelefon nomer Mawar Saron yang didapatnya dari bagian penerangan. Bahkan setelah percakapannya dengan Winata di telefon, yang akan berlanjut lagi dengan percakapan lebih panjanglebar pada nanti malam, membuatnya lupa pada Mawar Saron, sampai tiba saatnya nanti dia begitu kagum pada Juminah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 308 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 58 KEBETULAN, pada saat yang bersamaan ini, dua percakapan di tempat berbeda, menyangkut satu orang yang disebut­ sebut sebagai biangkerok masalah, berlangsung seru menurut masing­masing sisikmeliknya. Mula­mula di kantor Mawar Saron—yang tak jadi ditelefon oleh Ibu Intan—terlihat Juminah mendapat hubungan telefon dari kembarnya, Tuminah, di Surabaya. Tuminah berbicara sebagai polwan. Dia memberi informa­ si kepada Juminah tentang si biangkerok Dharsana yang pernah ditanyakan oleh Juminah ketika yang disebut ini membaca berita di suratkabar tentang pengadilan yang timpang. “Aku sudah dapat informasi yang dulu kamu tanyakan itu, soal Dharsana,” kata Tuminah. “Apa kamu masih perlu?” “Perlu tidak perlu sih,” jawab Juminah seperti tanpa gairah. “Kalau tidak perlu lagi, ya sudah,” kata Tuminah seperti 309 www.bacaan-indo.blogspot.com merajuk. Mendengar kembarnya berkata begitu, cepat Juminah me­ nyengih sambil melembuti: “Ya, ya, ya, aku perlu,” katanya. “Bagaimana?” “Nah, ambil kertas, catat,” kata Tuminah. “Ya, ya, aku ambil,” jawab Juminah sambil memegang vulpen di atas kertas. “Sudah.” “Namanya D.B. Dharsana. Kariernya buruk karena tem­ peramennya. Makanya pangkatnya macet di kombes. Teman seangkatannya di akademi polisi, Rachmat Wirjono, yang seka­ rang jendral, menolongnya untuk ditaruh sebagai staf ahli di DPRRI.” “Hm.” Juminah mengangguk. “Terus?” “Reputasinya yang menonjol: mata keranjang. Punya dua orang anak dari istri pertama. Meninggalkan istrinya itu se­ bab alasan kedagingan. Istrinya lumpuh. Di luar itu, hobinya menyanyi­menyanyi. Tapi cuma satu lagu yang sering dinya­ nyikannya, yaitu Sepasang mata bola. Lagu itu bisa dinyanyi­ kannya di kawinan orang Cina, di sunatan orang Arab, dan di kenduri orang­orang Melayu: Aceh, Deli, Minang, Riau, Jambi, dan seterusnya.” Juminah ketawa. “Ah, pasti kamu tambah­tambah itu.” “Eh, benar,” kata Tuminah meyakinkan. “Itu catatan yang aku punya tentang kombes itu. Cukup belum?” “Cukup.” “Ya, sudah.” Dan percakapan beralih. “Lantas kapan kamu tilik Ibu di desa?” “Secepatnya. Pokoknya, begitu data­data yang aku perlukan untuk S3­ku sudah lengkap.” *** Lalu, di saat sama, masih tentang si biangkerok Dharsana, www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado kini giliran Ibu Intan—yang status resminya masih menjadi istri Dharsana, tapi keadaannya seperti katanya sendiri: arang patah—membicarakan ihwal hatinya yang rondah­randih kepada James Winata di restoran Thai, Lemon Grass, Hotel Le Méridien. “Terusterang saya termotivasi untuk bertindak karena pernyataan Anda waktu itu,” kata Ibu Intan. “O ya?” kata Winata, merasa dipedulikan. “Yang mana, Bu?” “Waktu itu Anda bilang ‘kalau ada sesuatu yang mesti ditempuh, jangan tunda­tunda’. Apa Anda ingat?” Winata tersenyum. Dia mengangguk pula. Tanpa berkata. Hanya bolamata memperhatikan wajah Ibu Intan dengan pera­ saan kikuk. “Kesalahan saya, saya menunda­nunda,” kata Ibu Intan mengacukan resam dirinya. “Ketika saya mencoba berdiri, saya senewen, ragu pada kaki saya sendiri. Walau begitu, saya ingin bilang, ini waktu terlambat yang menyusahkan tapi mesti saya tempuh.” “Ada apa sebenarnya, Bu?” Ibu Intan tak segera menjawab. Dia tatap wajah Winata seperti meneroka isi hati. Setelah itu dia berkata pelan tapi terlafazkan dengan jelas: “Saya takut kalau­kalau saya menjadi target pembunuhan seperti anak saya.” Winata tercengang. “Kenapa Ibu berpikir begitu?” “Entah.” Ibu Intan mengelak. “Barangkali saya juga men­ dapat bisikan suara roh orang­orang bijak.” Winata heran. “Roh orang bijak?” “Ya,” sahut Ibu Intan sangat pede. “Seperti yang Anda bilang waktu itu. Waktu itu Anda bilang Anda mendengar suara Konghucu. Anda percaya Konghucu. Saya tidak. Tapi saya belajar 311 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo banyak dari tradisi Prancis. Tentang roh orang­orang kudus mereka: Santa Genoveva,1 Jeanne d’Arc,2 Bernadette Soubirous.3 Siapa tahu suara roh orang­orang kudus itu yang menyatakan bahwa putra saya Marc dibunuh oleh dia: Dharsana.” “Astaga!” seru Winata, terperanjat sekali. “Ibu membuat saya cemas.” Ibu Intan sendiri tertular rasa cemas Winata. Dia terdiam, tepekur, jeda sejenak. Winata juga terdiam. Matanya saja yang terbuka, mem­ perhatikan wajah Ibu Intan. Kata Ibu Intan setelah menarik nafas, “Sayalah yang cemas, Pak. Berlama­lama menjadi istrinya akan makin menyiksa lahir dan batin. Bagaimana pendapat Anda?” Winata menggaruk kepala, sulit menjawab pertanyaan se­ derhana itu. “Aduh,” katanya. Hanya itu yang terucapkan. Ibu Intan bertanya yang lain. “Apa Anda punya salahsatu nama ahli hukum yang bisa Anda sebut untuk saya hubungi, kira­kira yang mampu menangani masalah saya ini?” Lagi ujar Winata dengan kata yang sama, “Aduh.” “Kenapa?” tanya Ibu Intan dalam rasa sesal karena meng­ anggap Winata kurang kasdu. “Maaf, Bu,” jawab Winata buncah. “Saya tidak tahu. Mak­ sud saya, kalaupun saya bisa menjawab pertanyaan Ibu, ini menjadi pelik, sebab pasti saya akan terbawa­bawa.” Giliran Ibu Intan yang kini ganti mengucapkan partikel yang tadi diucapkan oleh Winata. “Aduh.” Karenanya Winata mencoba toleran. “Maaf, sekali lagi, 1 Genoveva (422­502) hidup berdoa dan beramal, menjadi pelindung kota Paris. 2 Jeanne d’Arc (1412­1431) perawan pemimpin tentara Prancis melawan Inggris, dibakar hidup­hidup di Rouen. 3 Bernadette Soubirous (1844­1879) perawan penganjur doa dan tobat, hingga kini mayatnya masih utuh di Lourdes. 312 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Bu,” katanya. “Memang saya terkondisikan menjadi seperti ini. Saya harap Ibu mengerti.” Ibu Intan kecewa. Rasanya siasia dia bicara dengan Winata. Dia ambil tasnya di atas meja, dan siap hendak pergi. Tapi sebelum itu, untung­untungan dia bertanya: “Jadi Anda tidak punya referensi nama siapa penasehat hukum yang baik?” Merasakan rasa kecewa Ibu Intan dalam sikapnya, Winata pun menjawab tegas, dan wabakdu hal itu berdampak pada ke­ mauan Ibu Intan untuk tidak jadi pergi, sebaliknya mendengar dengan sungguh­sungguh. Kata Winata, “Bu, kalau boleh saya berkata apa adanya, di zaman kita sekarang ini, rasanya tidak ada penasehat hukum yang baik. Yang ada cuma penasehat­penasehat hukum yang komersial dengan nurani dari besi berkarat. Mereka mau menangani kasus apa saja, termasuk yang jelas­jelas salah, semata­mata asal rupiahnya besar. Pemeo mereka sendiri: ‘maju tak gentar membela yang beruang’. Nanti, kalau perkara yang mereka bela itu dikalahkan di pengadilan, maka kepada klien, mereka hanya mengucapkan kata ‘beribu­ribu maaf’. Sementara kliennya sudah mengeluarkan ‘berjuta­juta fulus’.” Ibu Intan tertawa pahit. “Begitu buruknya?” “Ya, Bu,” kata Winata. “Saya sudah mengalami itu. Saya bisa bilang begitu, sebab saya mengalami sendiri. Tapi, yang lebih buruk lagi adalah penasehat­penasehat hukum, yang bicara tak gentar itu, ternyata gentar juga menghadapi kekuasaan yang riil saat ini.” “Yang mananya?” “Kekuasaan sekarang ini militer, Bu. Apa penasehat­pena­ sehat hukum itu berani tembus masuk ke dalam kekuasaan militer?” “Apa yang ingin Anda katakan?” 313 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Yang harus saya ingatkan pada diri saya: Pak Dhar itu ABRI, Bu.” Ibu Intan jengkel. “Jadi?” “Saya tidak berani memberi referensi apa­apa,” kata Winata dengan muka masygul. “Keberadaan saya tidak meng­ untungkan untuk sesuatu yang mestinya harus disikapi dengan berani. Anda tahu, Bu, saya keturunan Cina. Di zaman Orde Baru ini orang­orang Cina semua didiskriminasi oleh PP 14/67. Yang kelas taipan dihisap seperti Dracula terhadap leher ga­ dis cantik, sedangkan yang di bawah­bawah diintimidasi dan dilecehkan sampai kehilangan martabat dan konfidensi. Kalau nanti saya memberi referensi kepada Ibu soal penasehat hukum yang akan memperkarakan Pak Dhar, saya takut nanti nama saya terbawa­bawa.” Ibu Intan kecewa sekali. Yang terucap lewat mulutnya hanya sebuah palindrom tiga huruf: “Huh.” Sungguhpun begitu, pernyataan Winata itu berangsur­ angsur mendorong Ibu Intan untuk belajar bersikap rasional, tidak cukup hanya sekadar pandai, sebab tupai pun pandai, tu­ kang besi pun pandai, tukang obat pun pandai. Tapi, bersamaan dengan kemauannya untuk bersikap rasional, tak disadari­ nya juga bahwa ada keterbatasan indria yang pelan­pelan membawa dirinya ke dalam wilayah skeptis. Barangkali dia bisa mengutruk dirinya karena perubahan yang berlangsung dalam dirinya karena indrianya, menyangkut akalnya dan kalbunya, namun dia pun terpaksa mesti melihat kenyataan ini sebagai suatu kewajiban yang bersifat sukarela. Sebelum pisah ke tempat parkir Le Méridien, Ibu Intan sempat bertanya, dan setelah itu dia menyesal mengapa harus mengajukan pertanyaan yang mestinya tidak perlu. “Tadi Anda jadi jumpa dengan dia pada jam 12.00?” 314 “Pak Dhar datang jam 13.00, Bu.” “Oh! Masabodoh.” *** Sementara itu Dharsana, si biangkerok masalah yang membuat orang­orang dekatnya terpusingkan oleh ulahnya, le­ luasa saja bergerak melakukan segala yang dimauinya menurut seleranya, menerkam, menelan, mengerat, memamah, dan seterusnya. Dalam hubungan ini dia merupakan gabungan be­ berapa naluri hewan liar: harimau, buaya, ular. Tapi di dalam memainkan rol yang lain, dia pun merupakan beberapa naluri hewan piaraan: ayam, bebek, perkutut. Sebagaimana janjinya kemarin kepada Jeng Retno, pada malam ini—ketika Ibu Intan dan Winata sedang membicarakan peri dirinya—dia jemput wanita hot itu untuk mengobati rin­ dunya, mengendorkan tegangnya, menyembuhkan pusing­ pusingnya, dan seterusnya, yang selama sepekan tidak jumpa. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 59 DHARSANA dan Jeng Retno berada dalam mobil menuju ke Ancol. Mereka masuk ke cottage pinggir laut. Dari percakapan mereka di sini menjadi jelas latar tujuan mereka di balik selingkuh ini. Dharsana memanfaatkan Jeng Retno, Jeng Retno meman­ faatkan Dharsana. “Dikau harus cepat mengambil keputusan,” kata Dharsana di atas ranjang setelah mereka main gila. “Caranya piye?” tanya Jeng Retno. “Kalau dikau merasa terlalu berat memikul beban, kenapa dikau terus saja melakukannya?” jawab Dharsana memberi tantangan. “Ya. Aku benci pada diriku sebab aku tidak berhasil menda­ pat apa­apa setelah dia dinusakambangankan. Rumahku seka­ rang satu­satunya yang aku punya. Bayangkan, Kandar itu tolol sekali, tidak punya apa­apa untuk aku. Semua miliknya 316 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado memakai namanya, dan semua itu sudah disita. Sekarang aku yang tersiksa.” “Makanya aku bilang: dikau harus cepat mengambil ke­ putusan,” kata Dharsana. “Oh my God. He was only a miser. I never realized it until now.” “Yang dikau harus tahu: Kandar punya kekayaan yang tidak terukur di Jepara. Dikau harus rebut itu dari kakak­ adiknya.” “Aku tidak tahu caranya.” “Yang perlu dikau lakukan, kalau dikau ke Nusakambangan, minta dia tandatangani testimoni yang menyatakan pemilikan tanah di pinggir pantai Jepara itu sudah diserahkan kepada di­ kau.” “Cukup begitu saja?” “Aku kira itu lebih dari cukup. Dikau istrinya yang sah.” “Tapi buat apa tanah itu? Meh dinggo opo?” “Aku yakin itu bisa dibikin apa saja.” “Misalnya?” “Aku bisa tawarkan itu kepada James Winata. Itu bisa dibikin seperti ini, seperti Ancol ini, ada tempat pertunjukan, pasar seni, cottage, dan lain­lain. Zaman dulu, Belanda malah menyebut pantai Jepara itu sebagai ‘klein Scheveningen’ atau ‘Scheveningen van Java’.” “Kedengarannya menarik.” “Tentu saja menarik. Dan ada satu hal yang perlu dikau tahu juga, aku baru tahu, di salahsatu lokasi dari tanah itu, tersimpan pusaka dari zaman Majapahit dan zaman walisongo.” “Pusaka?” “Ya, pusaka. Aku percaya itu, sebab yang mengatakan ke­ pada aku adalah ayahku sendiri.” “Tahunya dari mana?” “Oh, aku belum bilang: tanah itu dulunya milik ayahku. 317 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Ayahku pailit, lantas menjual kepada ayah Kandar, dan waktu Kandar menjadi direktur bank, Kandar membeli tanah itu dari ayahnya.” “Begitu? Well, I see. Now I understand.” “Nah, asal dikau bisa minta surat testimoni saja, itu cukup, dan percayalah, kita akan bangun bersama dunia ini. Dikau tidak akan pernah lagi bilang tersiksa seperti sekarang ini.” Jeng Retno termangu. “Nah, bagaimana?” tanya Dharsana. “I’m thinking,” jawab Jeng Retno. “Pikirkan dengan benar,” kata Dharsana. “Aku berani ber­ taruh, ya sumpah, kalau dikau bisa punya surat testimoni itu saja—berhubung surat girik tanah itu katanya dipegang oleh kakaknya Kandar di Amerika—maka dengan testimoni itu kita berangkat menuju surga.” “Apa yang harus aku lakukan? I knew who he was. Dia tidak gampang diminta bikin surat apapun.” “Mungkin itu dulu. Sekarang lain. Nyatanya dulu dia mer­ deka, sekarang dia dibui. Apa dikau tidak bosan menjenguk­ jenguk dia di Nusakambangan, bukannya mendapat uang, ma­ lah dikau harus kasih uang buat sipir­sipir.” Muka Jeng Retno mengejang. “Ya juga,” katanya. “Sudahlah, ambil keputusan itu sekarang,” kata Dharsana menandas. “Begitu dikau dapat testimoni itu, langsung talak, minta cerai. Ngapain capek­capek terus menjenguk mengeluar­ kan uang ke Nusakambangan.” “Oh my God. Itu pelik.” “Kenapa?” “I can’t imagine.” “Masalahnya apa? Apa dikau masih cinta dia dan berharap mukjizat?” “Bullshit.” “Lo? Lantas apa?” Dengan enteng Jeng Retno berkata, “Go to hell. Biar saja 318 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado dia mampus. Dia menyiksa aku begini, dan dia tidak merasakan deritaku. Aku sering bingung harus membayar tagihan listrik, telkom, air, dan membeli bajuku, sepatuku, parfum­parfumku. Benar, dalam keadaan begini, jujur, aku tidak peduli kalau dia mampus saja.” “Ha­ha­ha, dikau lugu, Sayang. Kalau dikau berharap Kandar mati, tapi hanya menyerahkan itu pada takdirnya, di­ kau bisa menunggu lama sekali dan tidak pasti. Dikau bisa mempercepat jarum jam.” Jeng Retno tertarik mendengar itu. “Mempercepat jarum jam?” tanyanya. “But how?” “Di semua penjara pasti ada sipir­sipir yang kriminil. Manfaatkan dia, atau mereka, kasih uang, maka mereka akan melakukan apa yang kita maui.” “Itu pakai biaya.” “Tentu.” “Dan mahal.” “Relatif.” “Uangnya?” “Demi dikau, aku siapkan dana yang diminta sipir­sipir itu.” “Really?” “Aku tidak suka berbohong pada orang yang aku cintai.” “Surprise,” seru Jeng Retno girang. “Mas cinta aku?” “Ah, masak harus dijawab lagi?” “Yes. We just got to know each other. Nah, bilang sekali lagi: Mas cinta aku?” “Kita baru saja bikin cinta,” Jeng Retno langsung memeluk Dharsana dengan gemes­ nya sambil mencium dan menggigit leher. Dharsana menjerit geli dan melepas diri dengan meme­ gang kedua lengan Jeng Retno. 319 “Ih, dikau kayak Dracula,” kata Dharsana. Jeng Retno cekikikan. “Gemes aku,” katanya sambil me­ meluk lagi. Dharsana mengilik­kitik sehingga pelukan Jeng Retno lepas. Setelah itu, sambil bangkit dan duduk di ranjang, Jeng Retno berkata, “Mas pintar. Aku akan segera ke Nusakambangan mencari sipir yang Mas bilang itu.” Dalam pikiran Jeng Retno, berdasarkan ingatannya dan pengalamannya menjenguk Iskandar selama ini, memang sipir­ sipir yang biasa mempertemukan dirinya dengan Iskandar ada­ lah manusia­manusia yang bisa dibeli imannya. Tak salah, tampang Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol ter­ pampang dengan jelas dalam ingatannya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 60 KEMUDIAN, sambil santai di atas ranjang cottage, setelah bermain gila di situ, terjadi percakapan panjang, yang tumben tidak ada campuran­campuran kata atau kalimat bahasa Inggris dalam dialog Jeng Retno kepada Dharsana. “Tapi begini, Mas, sekarang sebelum kita bicara tentang bagi­tugas bagi­hasil, yang sesuai dengan akad sepakat kita: bekerja dalam bersenang­senang dan bersenang­senang dalam bekerja, rasanya kita harus bicara zakelijk—ah terpaksa aku pakai kata bahasa Belanda ini—sebab selama ini kita seperti tidak serius.” “Siapa bilang aku tidak serius?” “Aku tidak bilang, Mas. Aku bilang: kita.” “Oke. Tapi kita kan serius?” “Maksudku, untuk berbicara tentang bisnis ini, kita harus benar­benar zakelijk—ah benci aku harus memakai kata bahasa Belanda ini—soal siapa subjek siapa objek.” 321 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Kita sama­sama subjek.” “Bagus. Kalau kita sama­sama subjek, kita harus bicara adil.” “Apa kita tidak adil?” “Keadilan yang sama­sama bisa diterima, harusnya tidak dalam lisan.” “Baik. Aku mengerti. Dikau maksud, harus ada hitam di atas putih?” “Aku kira di situ kita melihat manusia sebagai makhluk budaya yang beda dengan hewan.” “Baik. Aku tidak keberatan.” “Kalau begitu, kita harus bicara dulu lisannya, lantas se­ telah itu kita tulis dalam perjanjian.” “Aku setuju. Asal saja kesadaran untuk bertindak zakelijk tidak lantas melunturkan gairah kita dalam bersenang­senang.” “Kesenangan tidak mungkin luntur. Itu yang aku cari. Dan itu yang aku butuhkan. Dikau tahu, aku sudah merana. Gara­ gara Iskandar di Nusakambangan, aku seperti layang­layang putus.” “Dikau tidak putus lagi. Aku sudah menyambungkan.” “Benarkah?” “Dikau tahu sendiri juga, selama ini aku capek, hidup cuma seperti menangkap asap.” “Ha­ha­ha. Aku senang mendengar pengakuan itu.” “Itu realitas aku dalam realitas alam.” “Sekarang, bagaimana kita mengukur realitas kita dalam kesamaan pengertian kita soal adil?” “Adil? Bisnis yang adil untuk masalah kita adalah prinsip­ nya sama rata sama rasa.” “Itu bahasa komunis.” “Maksud dikau prinsip sama rata sama rasa itu?” “Ya. Itu bahasa idaman komunis.” 322 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Jadi, menurut dikau, adil macam apa yang dikau anggap ideal?” “Bukan ideal, tapi sahih.” “Astaga, dikau benar­benar menjadi zakelijk. Itu Yahudi.” “Maaf. Ilmu ekonomi yang betul, yang aku lihat di Ame­ rika, memang bercorak Yahudi.” “Yahudi menghalalkan tipu.” “Bukan Yahudi saja yang menipu. Arab juga menipu. Cina juga. India juga. Kalau kita cerdas, yang harus kita tanyakan: kenapa ada pihak yang tertipu. Jawabanku: orang yang tertipu adalah pihak yang tolol. Sebab, dia menyediakan diri untuk ditipu. Kalau orang itu pintar, maka harusnya dialah yang menipu pihak yang tolol itu.” “Tapi kita tidak berbisnis di pengertian itu kan?” “Ah, Mas, kenapa pula dikau terlalu peka begitu. Dalam urusan­urusan tertentu, seperti perasaan komponis pada me­ dianya, peka itu memang harus terpelihara dengan baik. Tapi, di dalam bisnis, kepekaan bisa mengubah orang menjadi ber­ prasangka. Prasangka memundurkan kita dari kemauan ber­ senang­senang menjadi kemauan bertegang­tegang. Kan kita mulai akad kesepakatan kita dengan: bekerja dalam bersenang­ senang dan bersenang­senang dalam bekerja.” “Astaga. Tiba­tiba aku merasa dirimu bukan Retno yang aku kenal.” “Nah, itu prasangka, Mas. Aku tetap Retno yang dikau ke­ nal. Dikau pun adalah tetap mitraku dalam bercinta. Aku selalu merasa puas pada caramu menjadikan aku sebagai wanita.” “Sungguh? Aku tersanjung.” “Tapi, Mas, walaupun aku butuh dikau seperti mawar membutuhkan hujan di musim kemarau, bagaimanapun pada permainan kita selanjutnya, dalam bisnis kita itu, kita harus zakelijk—ah, lagi­lagi aku harus memakai kata bahasa Belanda 323 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo ini—karena ada masalah yang pasti akan memusingkan pikiran kita nanti, kalau tidak dari sekarang kita serius membuat hitam di atas putih.” “Aku sudah bilang tadi: aku tidak keberatan.” “Bagus. Mari kita sepakati lisannya dulu, lalu kita tulis itu di atas kertas.” “Setuju.” “Nah, bagaimana? Apa tawaranmu?” “Lo? Jangan bicara ‘tawaran’ sebelum ada pembicaraan tentang ‘proposal’.” “Bagus. Aku suka logika itu. Menurut aku, proposal dari pihakku, yang adil, adalah 60­40.” “Bukan fifty­fifty?” “Sudah aku bilang tadi, istilah sama rata sama rasa itu konsep komunis. Aku tidak terpanggil untuk menerima itu. Aku merasa materi yang kita konsentrasikan bertolak dari hak milikku. Oleh karena itu, kalau mau mengikuti istilah ‘ideal’ tadi itu, maka idealnya proposalku 70­30. Paling tidak, itu menjadi hak milikku kalau Iskandar sudah berhasil disingkirkan.” “Baik. Kenapa kita harus berbantah soal ini. Kalau me­ nurut dikau 60­40 itu risenebel, ya, aku manut. Yang penting bagaimana peranmu di Nusakambangan, bertemu dengan sipir yang bisa dikau manfaatkan.” “Urusan sipir di sana, aku sudah tahu orangnya, siapa­ siapa yang imannya gampang dibeli dengan angka rupiah yang bahkan paling absurd.” “Hebat. Jangan lupa, kepada mereka pun dikau harus ber­ laku zakelijk juga.” “Ya, zakelijk—ih aku bahkan mengulang­ulang kata bahasa Belanda ini—tapi ternyata kita memang harus begitu. Ternyata untuk hal begini kita masih jadi tawanan Belanda. Jadi kita sepakat membuat perjanjian tertulis seperti cara Belanda?” 324 Remy Sylado “Demi dikau, aku pun sudah menjadi tawananmu.” Jeng Retno menggabruk, menumpuki tubuhnya yang ma­ sih telanjang di atas tubuh Dharsana yang juga masih telanjang. Pasti sebentar lagi, pada adegan berikut mereka akan bermain jorok. Di luar cottage: melambai­lambai nyiur di pantai. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 325 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 61 KC tersentak melihat Jeng Retno berada lagi di Nusakambangan menjenguk suaminya, Iskandar: orang yang baru diketahuinya sebagai bankir yang dikorbankan penguasa Orde Baru untuk membersihkan tokoh yang berada di pusat kekuasaan. Sebetulnya tidak pernah ada bukti mengenai hal itu, ta­ pi prasangkanya sudah menjadi buahbibir orang. Demikian Iskandar pernah berkata sendiri kepada Jeng Retno. Hari ini Jeng Retno menjenguk lagi Iskandar. Tapi kini hatinya tidak sama seperti hatinya yang kemarin­kemarin. Dia datang ke sini sekarang untuk mengejawantah apa yang dikatakan Dharsana: mempercepat jarum jam. Di atas feri yang menyeberangkannya dari dermaga Sentolokawat di Cilacap ke dermaga Sodong Nusakambangan, Jeng Retno menerima panggilan lewat ponselnya. Semua orang yang berada di atas feri segera melihatnya, sebab pada tahun 326 terakhir kekuasaan Orde Baru, ponsel masih amat langka. Pada masa ini orang­orang sudah dianggap modis dan hebat dengan pager atau telefon kartu yang perantinya dipasang pihak Tel­ kom di tempat­tempat strategis. “Oh my God, ternyata dikau, Mas,” kata Jeng Retno. “Tadi aku berkali­kali kontak dikau, tapi no answer.” Sudah tidak diragukan, ‘dikau’ yang diperkatakan oleh Jeng Retno ini adalah Dharsana. Kombes yang perlente ini sedang berada di dalam mobil yang distir oleh Lukman, meluncur di atas Jl. Sudirman (yang berlaku pemeo: sejauh­jauh mata memandang hanya tembok­ tembok berkaca). “Aku sibuk sekali hari ini. Situasi politik tidak kondusif.” ”Iya deh. I know well enough that you are busy.” “Dikau sudah di Cilacap?” “Ya. Di atas feri.” “Baiklah. Atur dengan baik.” “You know, suamiku itu benar­benar bikin susah. I don’t know what to think about him now.” “Makanya aku bilang, atur dengan baik. Pilih sipir yang paling korup. Dikau pasti mengerti itu.” “Don’t worry. I’ll do it, Mas. No doubt sipir­sipir itu are stupid.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dua sipir yang dijuluki Si Ongol­ongol dan Si Labu Siam kelihatan sibuk menyambut Jeng Retno. Mestinya, setelah Jeng Retno datang, dan duduk di bangku ruang pertemuan antara yang menilik dan ditilik, salah seorang di antara mereka masuk ke dalam mengatakan kepada Iskandar bahwa dia ditilik. Tapi kedua sipir ini secara menyolok meminta dulu upeti. Orang­orang melirik ke arah mereka, dan mereka tidak peduli. Rupanya kebiasaan ini telah menjadi gambaran yang lazim. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Jeng Retno memberi dua slof rokok 234 masing­masing berisi selusin bungkus, satu untuk Si Labu Siam satunya lagi untuk Si Ongol­ongol. Kedua sipir itu cepat­cepat memasukkan hadiah itu ke dalam baju mereka masing­masing, tanpa meng­ ucapkan terimakasih ataupun berwajah berseri­seri. Sekali lagi, rupanya kebiasaan ini telah menjadi gambaran yang lazim. Bukan hal istimewa, bukan pula hal sederhana, tapi memang biasa. Setelah menyerahkan dua slof rokok, Jeng Retno menge­ luarkan dua carik kertas dari dalam tasnya, memberi selembar untuk Si Labu Siam, dan selembar lagi untuk Si Ongol­ongol. Sambil memberikan kertas­kertas itu kepada dua sipir itu, Jeng Retno berkata tak sabar, “Cepat simpan dulu.” Kedua sipir itu pun melakukan yang diminta Jeng Retno. Khususnya Si Ongol­ongol ada sifat rakus yang tergambar dalam caranya menerima secarik kertas itu dan menyimpannya di dalam sakunya. Katanya dengan mata setengah belalak, “Berapa nih?” Jawab Jeng Retno dengan suara pelan pula, tapi juga de­ ngan nada cakap yang mewakili rasa gemas, “Dua setengah.” Si Labu Siam bertanya dengan bahasa yang lazim di antara mereka, “Du jut steng?” “Ya,” sahut Jeng Retno, memahami istilah yang dipakai Si Labu Siam. “Du jut steng.” Si Ongol­ongol juga menunjukkan kerakusannya. “Cuma itu?” “Sisanya kalau sudah beres,” kata Jeng Retno, tumben tidak ada kalimat­kalimat Inggrisnya. “Dua setengah lagi kalau sudah beres.” Kedua sipir itu mengangguk, tanpa senyum tanda senang, kecuali petita­petiti untuk menunjukkan kekuasaan yang me­ reka punyai dalam menentukan nasib orang. 328 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dengan melangkah petita­petiti itu Si Ongol­ongol masuk ke dalam menemui Iskandar yang sedang bersila bersama­sama Daeng Pallu Ce’la dan KC. Daeng Pallu Ce’la baru saja bicara tentang kebajikan­kebajikan. Walaupun sulit menerangkan pi­ kirannya dengan bahasa isyarat tubuh untuk kata­kata baha­ sa Arab, dia menerangkan tentang bajiknya setelah salat asar membaca “Astaghfirullah min kulli dzanbin wa atuubu ilaih”— Aku memohon ampunan Allah atas setiap dosa dan aku kembali kepada­Nya. Si Ongol­ongol tiba di situ. Dengan congkak dia menunjuk ke arah Iskandar, “He, itu ada yang nilik di luar.” Iskandar berdiri dari silanya, dikawal keluar, menemui Jeng Retno di tempat besuk. Bukan main, Jeng Retno me­ nyongsongnya dengan mencium pipi suaminya. “Bagaimana keadaanmu, Sayang?” tanya Iskandar. “I’m find.” “Mayang?” “Yah, begitulah.” “Begitu bagaimana? Sekolahnya? Pacarnya?” “She won’t talk about it either.” “Ah, anak cantik.” “Yeah. It’s quite right, true, she is a beautiful girl. Tapi piye? Bocahe yo ndelul.” “Ada apa?” “Ah, don’t ask me that. Kepalaku pusing. I shall feel sorry for her, though she’s not worth it.” “Ada apa sebenarnya?” “Oh my God! Sudahlah, Papa tidak usah ikut pusing. Everybody has some choice. That’s part of what I came to tell you.” Dan, Jeng Retno buru­buru mengeluarkan dari tasnya, 329 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo beberapa lembar kertas meterai yang sudah dikonsep redaksi­ nya. Intinya, surat wasiat ini berisi pernyataan Iskandar Natadipura, atau sering juga ditulis: Iskandardinata, padahal aslinya Sukandar, sebagai ayah Mayang untuk menyerahkan warisan kekayaannya bagi putrinya tersebut. Di antara semua kekayaan yang paling berharga—dan disukai Jeng Retno—adalah sebidang tanah tepi 11 hektar di Jepara, kota kecil di pesisir Laut Jawa yang tertata rapi. Jeng Retno membeber kertas­kertas itu. “Iki lo, Mas.” “Apa itu?” Jeng Retno mengambil vulpen Mont Blanc palsu lantas menaruhnya di atas kertas­kertas itu. “Demi Mayang. You must surely be a very happy father. Tandatangan, Mas.” Iskandar tidak segera mengambil kertas­kertas itu. Per­ nyataan Jeng Retno membuatnya waham. “Kenapa?” “Oh my God! At last I must speak about it. Kamu kan tahu, Mas. Kita sudah bangkrut. Mayang dan aku butuh biaya. Aku kewalahan. Tidak punya kekuatan. Oh, Mas, if I only had the power.” “Kamu harus tegar, kuat, teguh.” “Oh my God? That is exactly what I can’t help thinking about, Mas.” Airmata membasahi pipi Jeng Retno. Suaranya pilu. “Lantas, bagaimana?” Timbul iba di hati Iskandar. “Tandatangani saja dulu.” Jeng Retno mengusap airmata­ nya. Iskandar susah. Pandangannya mengambang. Tapi dia memang telah menjadi seorang lakilaki yang gampang di­ bodohi oleh perempuan yang cerdik. Antara cerdik dan licik memang hanya beda tipis. Dia ambil vulpen di atas kertas dan menandatangani surat wasiat tanpa membaca. Sungguh suatu tindakan yang tidak lazim bagi seseorang yang terbiasa tertib. 330 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com *** Semua kejadian itu diamat­amati dari kejauhan oleh KC. Nanti pada malam hari, usai magrib, sebelum isya, KC bertanya kepada Iskandar sesuatu yang selama ini telah tersimpan di dalam hati. “Maaf,” katanya memulai percakapan. “Kalau Bapak tidak mau ditanya, tidak usah jawab. Itu tadi istri Bapak?” Bukannya langsung menjawab, Iskandar balik bertanya, “Kenapa?” “Bahagia lakilaki yang masih punya Istri. Masih dijenguk­ jenguk. Tidak seperti saya. Saya ini sampah. Lakilaki yang tidak punya perempuan, tidak pernah sempurna menjadi manusia.” Iskandar tertarik pada pernyataan KC. “Saya mengerti. Kamu belum nikah?” KC menyeringai. “Tidak,” katanya. Suaranya agak dalam, cenderung hilang. “Istri saya sudah mati. Itu yang menyebabkan saya sekarang di sini.” Iskandar makin tertarik. Dia yang selama ini lebih banyak tidak bicara, dengaren sekarang mau bertanya­tanya, “Kenapa bisa begitu?” Jawab KC silu, sedih, sugul, “Istri saya mati ditabrak mobil. Saya pukul yang menabrak. Dia mati. Saya dipenjara. Begitu.” Iskandar mengangguk­angguk. Tanpa tanya. “Lantas, begini, Pak, saya penasaran. Kalau tidak salah, saya melihat istri Bapak itu di kantor polisi…” “Apa?” Iskandar tertegun, terbawa penasaran juga. “Ya, Pak, samar­samar saya ingat istri Bapak itu datang ke kantor polisi menjemput anak perempuan: anak perempuan yang menjadi pacar Marc yang saya pukul, mati.” “Astaga.” Iskandar tercengang. “Kamu tahu nama yang mati itu Marc? Apa kamu tahu nama anak perempuan pacarnya?” “Tidak. Saya tahu nama Marc dan nama bapaknya: 331 Hotel Pro deo Dharsana, sebab saya disuruh polisi menandatangani surat pernyataan maaf untuk bapak­ibunya.” Lagi, Iskandar berseru kata yang sama. “Astaga!” Dia benar­benar tersingahak mendengar cerita KC. Selain itu, Iskandar meradang, marah, kecewa, gamang, bercampuraduk tidak karuan antara otak yang berpikir dan hati yang merasa. Titik­titik rahasia yang selama ini tertutup, kini mulai terkuak. Sekonyong dia ragu pada dirinya sendiri, tapi juga rambang terhadap istrinya. Semakin lama perasaan rambang di hatinya semakin berat pula membebani jiwanya. Tapi dia takkan bisa berbuat apa­apa terhadap istrinya. Cek yang diberikan Jeng Retno kepada kedua sipir jahanam itu adalah untuk mengirimnya ke dunia arwah. Kapan kejahatan akan dilaksanakan, tinggal tunggu waktu. Dan, jika kejahatan itu sudah terlaksana, niscaya Si Ongol­ongol dan Si Labu Siam akan menagih lagi sisa “du jut steng”. Bayangkan, hanya dengan masing­masing lima juta rupiah Si Ongol­ongol dan Si Labu Siam menggunakan kekuasaannya di pulau terpencil ini untuk menjadi penentu nasib orang. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 332 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 62 KC tidak tahu, tapi dia ingin tahu, dan insya Allah dia bakal tahu, rencana apa yang bakal dilakukan oleh Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol terhadap Iskandar pada pagi hari ini. Dia hanya curiga saja, mengapa kedua sipir itu menyuruh Iskandar seorang diri bekerja di bawah kaki bukit, pas di bagian keluk, memaras belukar alang­alang. “Pagi ini sampai siang nanti Saudara harus membersihkan semua ilalang yang sudah membelukar di bawah bukit kidul,” kata Si Labu Siam. “Saudara akan bekerja sendiri di situ,” kata Si Ongol­ongol. “Ada pertanyaan?” tanya Si Labu Siam. Iskandar mengangkat bahu. “Tidak.” “Ayo, laksanakan,” kata Si Ongol­ongol. KC mendengar semua pembicaraan kedua sipir itu kepada Iskandar. Dalam pikirannya, kedua sipir itu bertutur seperti ramah. Tapi dia yakin, pasti di dalam tuturan yang terkesan 333 www.bacaan-indo.blogspot.com ramah itu, mengandung tekateki udang di balik batu. Diam­diam KC mengintai, berjalan mengendap­endap di jarak yang tidak diduga dan tidak disadari oleh kedua sipir itu. Di bawah bukit yang alang­alangnya sangat samun, dan tingginya melebih tinggi rata­rata orang Indonesia yang gizinya bagus, Si Labu Siam memberikan arit kepada Iskandar. “Bagian ini harus dipapras habis,” kata Si Labu Siam me­ nunjukkan bagian ilalang yang menyemak di bawah keluk bukit. Sehabis memberikan arit itu Si Labu Siam menjauh, berdiri mengawasi di jarak yang bisa terlihat penuh dari atas bukit. Sementara Si Ongol­ongol berjalan mendaki ke atas bukit itu, mengawasi tiga orang napi yang disuruh bekerja memecah­ mecahkan batu gunung di situ. Dari tempat yang tersembunyi di belakang pohon­pohon yang tumbuh berdempet, KC bisa melihat semuanya: keluk di kaki bukit tempat Iskandar lenyap oleh ilalang yang tinggi­ tinggi itu dan memulai memarasnya, dan juga bagian atas bukit tempat tiga orang napi lainnya sedang menahan batu besar yang siap dilepas ganjelannya untuk menggelundungkannya ke bawah. Kalau batu itu menggelundung ke bawah, niscaya tidak ada harapan hidup bagi Iskandar. Sebab Iskandar berada di keluk yang mirip lubang. Untuk bisa cepat­cepat naik ke permukaan yang datar, dia harus cepat­cepat memanjat ceruknya. Dari dasar ceruk ke atas permukaan, tingginya sekitar dua meter. Maka, memang sesuatu yang dengan sendirinya harus dikatakan mustahil bagi Iskandar untuk luput dari rencana pembunuhan atas dirinya (yang hanya memakan ongkos masing­masing lima juta rupiah dengan bayar dua kali jumlah “du jut steng”). Lantas, kapan batu besar di atas itu akan digelundungkan? Aba­aba diberi oleh Si Labu Siam di bawah bukit kepada Si Ongol­ongol di atas bukit. Cara Si Labu Siam memberi aba­ abanya itu sederhana sekali. Dia mengeluarkan saputangan www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado berwarna putih—warna yang kentara jelas di antara warna hijau dedaunan di sekitar situ—melambaikannya ke atas, dan setelah itu di atas sana Si Ongol­ongol cepat memerintahkan kepada ketiga napi di situ untuk menarik ganjelan batu besar tersebut. Batu besar itu pun menggelundung ke bawah. KC terkinjat setengah­mati di tempat sembunyinya melihat batu besar itu menggelundung dari atas ke bawah. Dia berseru ngeri, “Awas, Pak Iskandar!” Tapi suaranya tidak terdengar oleh siapapun di sekitar si­ tu. Suaranya seperti tersumbat di tenggorok akibat kagetnya, ngerinya, dan takutnya. Jikapun suaranya bisa didengar oleh Iskandar, tak urung kesempatan Iskandar untuk bisa meloloskan diri dari dalam ceruk dan terluputkan dari kematiannya samasekali hanya se­ buah mimpi buruk pungguk yang merindukan bulan. Agaknya sudah tersurat dalam garis nasibnya di bawah kuasa kegelapan iblis, bahwa lewat kematiannya hari ini Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol bakal sama­sama mendapat uang jasa dari Jeng Retno lima juta rupiah? KC sendiri merasa terselamatkan oleh suara teriaknya yang tidak didengar oleh Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol. Sebab, seandainya suaranya itu bisa terdengar di kuping kedua sipir jahanam tersebut, niscaya persoalannya sebagai napi ba­ kal runyam: Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol akan mencari sumber datangnya teriakan itu. Dan, kalau mereka berhasil menemukan, sudah bisa dipastikan bahwa KC bakal didera habis­habisan tanpa peluang untuk boleh melawan. *** Laporan tentang kematian Iskandar adalah: kecelakaan. Jeng Retno dikabari tentang kecelakaan ini setelah satu 335 Hotel Pro deo jam kemudian. Si Labu Siam yang menelefonnya. Kata Si Labu Siam, “Bu, sudah beres.” Jeng Retno senang. Dia paham. Tak urung dia bertanya, “Are you sure?” “Sudah beres, Bu,” ulang Si Labu Siam. “Tinggal sisanya yang masing­masing ‘du jut steng’ itu.” “Beres,” kata Jeng Retno. “Saya berangkat sekarang juga ke Nusakambangan.” Sebelum berkemas ke Nusakambangan, Jeng Retno me­ nelefon dulu Dharsana. Bukan kata­kata yang dimulainya da­ lam hubungan telefon ini, tapi ketawa riang, liar, petakilan. “Mas, dikau tahu why I’m so happy now?” “Ada apa?” tanya Dharsana, kira­kira dia sudah dapat menduga kasadnya. “Yes, Mas, now I’m free like the birds up in the tree.” Dharsana menyambut suka. “Ah, masak?” “Oh my God! Kok maido. Tenan, Mas. Bojoku wis wasalam. Aku sekarang siap­siap ke Nusakambangan.” “Dengan siapa ke sana?” “Adik bungsu suamiku, eh, almarhum suamiku.” “Siapa?” “Nia. Kebetulan dia baru pulang dari State.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Bersama Nia dan sanak keluarga Iskandar lainnya, Jeng Retno berangkat dengan mobil ke Nusakambangan. Dia ber­ gaun panjang hitam dengan kerudung yang membubung di kepalanya. Dengan model kerudung seperti itu, barangkali dia membayangkan dirinya seperti lukisan Goya: Duquesa de Alba. Rumangsanya dengan penampilan seperti ini, selain akan menarik perhatian, juga sangat meyakinkan untuk dibilang 336 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado mencitrakan rasa belasungkawa yang heboh. Di depan mayat Iskandar dia menangis sedu­sedan. Hebat­ nya dalam menangis seperti itu, dia tetap jaim untuk tidak lupa menghias omongannya dengan kata­kata bahasa Inggris bercampur Jawa. “Oh my God! Remuk atiku. Suddenly the stars fade and fall.” Lalu dia pun mengerang meraung­raung. Sebagaimana yang diharapkannya, penampilannya sungguh­sungguh me­ narik perhatian banyak orang. Hanya Si Labu Siam dan Si Ongol­ ongol yang tahu bahwa yang diperagakan oleh Jeng Retno itu sepenuhnya adalah akting. Aktingnya meyakinkan, lebih bagus dari akting­akting para pemain sinetron dalam cerita­cerita serampangan yang membodohi tapi juga menghibur penonton awam. Setelah menangis ramai sendiri seperti itu, akhirnya, aneh, sempat­sempatnya Jeng Retno menghafal puisi doa yang selalu muncul dalam film­film Hollywood untuk adegan mengiringi orang mati. Sambil mengusap­usap hidung dan mengucak­ngucak mata supaya keluar air tangis dari dalamnya, dia melafal kata­ kata puisi yang populer lewat adegan kematian dalam film­film Amerika tersebut. “… Surely goodness and mercy shall follow me all the days of my life, and I will dwell in the house of the Lord for ever.” Kurniati yang dipanggil Nia dan baru menyelesaikan ku­ liahnya di bidang ekonomi di Madison University, tersentak mendengar Jeng Retno melafal kata­kata populer yang dikutip dari Psalm 23. “Lo, Mbak, itu ayat hafalannya orang Nasrani,” kata Nia. Jeng Retno cuek, membuang muka seraya mencibir. 337 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Alah, what the fuck difference does it make! Aku kan perlu penghiburan rohani.” “Uh!” “Sorry.” Nia terdiam. Mukanya kecut. Mestinya dia bisa berkata­ kata yang lebih panjang mewakili rasa tidak enak di hati atas omongan kakak iparnya yang kasar itu, tapi dia sadar: ini bukan saat yang baik untuk berdebat, bermulut­mulut. Maka dia alihkan saja matanya, melihat tubuh abangnya yang berantakan, kepala hancur, terbaring kaku di ruang ter­ buka luar blok penjara di mana beberapa orang, baik para napi dan para sipir, sama­sama menunggu jenazah dibawa ke liang lahat. KC berada di tengah orang­orang itu, duduk di sebelah Daeng Pallu Ce’la, dekat Asep Tea dan Dul Osing. Di tempatnya, KC duduk menundukkan kepala seraya melirik memperhatikan gerak­gerik Jeng Retno, Si Labu Siam, dan Si Ongol­ongol. Kelihatannya Daeng Pallu Ce’la dapat membaca pikiran yang tengah berlangsung dalam diri KC ketika yang disebut ini memperhatikan dengan serius gerak­gerik ketiga nama orang yang disebut itu. Dengan menggerakkan tangan dan jari dia membahasakan pertanyaan kepada KC tentang apa yang dipikirkan KC. Jawab KC lisan, “Saya tidak berani bicara.” Daeng Pallu Ce’la penasaran. Dia memutar dua jari— telunjuk dan tengah—di depan mata. Dengan bahasa isyarat ini dia bertanya, “Kenapa?” Dan, KC menjawab lisan lagi, “Aku melihat semuanya. Tapi aku takut bicara.” Asep Tea dan Dul Osing mendengar omongan KC itu. Tampaknya hal itu bisa menyusahkan KC. *** 338 KC memang melihat banyak hal yang dilakukan secara sembunyi­sembunyi. Terakhir, setengah jam dari sekarang, manakala airmata akting yang diperagakan oleh Jeng Retno tampak sudah kering, sekali lagi KC melihat seperti yang per­ nah dilihatnya sebelumnya: Jeng Retno memberi dua carik kertas—apa lagi kalau bukan cek—untuk Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol. Sambil memberi cek itu, Jeng Retno berkata, “Terimakasih ya.” Kedua sipir hanya diam, saling pandang, tidak mengucap­ kan kalimat yang lazim “Terimakasih kembali”. Apakah kedua sipir itu tidak pernah diajari ibu masing­masing, bahwa patut mengucapkan “Terimakasih kembali” terhadap orang yang lebih dulu mengucapkan “Terimakasih”? Agaknya alasannya bukan itu. Ternyata ada alasan lain. Alasan itu diucapkan dengan wa­ jah kaku oleh Si Labu Siam sembari menghalangi Jeng Retno. “Kok nggak pakek bonus?” Jeng Retno merengut. “Oh my God! Kan kita sudah sepakat segitu. Itu kan tawaranmu sendiri.” Si Ongol­ongol ikut bicara sembari menghalangi Jeng Retno. Katanya dengan tidak ramah, “Kami cuma minta ke­ bijaksanaan Ibu.” “Lo. Asshole. Get the fuck out of my way!” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 63 “SEBETULNYA tidak apa­apa dikau tambah bonus yang dimin­ ta oleh kedua sipir itu. Nanti aku tambahkan bonusnya itu.” Kalimat itu diucapkan oleh Dharsana kepada Jeng Retno sepekan setelah Iskandar disatukan dengan tanah. Dharsana dan Jeng Retno berada di dalam kamar hotel di pinggir Pantai Carita, tanah tepi paling ujung dari Jawa Barat. Dari jendela yang sengaja dibuka tirainya tampak beberapa kelip lampu perahu nelayan yang sedang melaut di barat sana. Sisanya, pemandangan malam yang hitam. “Ya, sudah, don’t worry, aku ke Nusakambangan lagi mem­ bawa bonus buat those stupid jailers.” Jeng Retno teranja­anja di atas ranjang, menggerak­gerak­ kan kaki mengikuti irama nyanyian yang sedang tertayang di TV. Ternyata sikap yang wagu ini bukan hanya berlaku pada gadis­gadis remaja seusia putrinya, melainkan juga berlaku 340 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado pada mami­mami 40­an tahun seperti dirinya. Tapi, untuk semua hal Jeng Retno memang tidak mengenal kosakata: wagu. Sebentar lagi—jika terjadi sesuatu yang memang mesti terjadi—sikap manjanya itu bakal disertai juga dengan ketawa cekikik geli. Itu ada hubungannya dengan adegan yang takkan terlihat di pasar hewan Jl. Pramuka, namun yang jiwanya kira­ kira sejalan­seiring dengan kelakuan hewani. Di puncak adegan itu ketawa geli Jeng Retno berganti dengan rintihan­rintihan yang nyaris crescendo: makin tinggi makin keras. Setelah itu, “Oh my God! Oh my God! Oh my God! Aku keluar, Mas!” Apa sebenarnya yang dimaui Jeng Retno dan Dharsana? Kepuasan naluriah? Jawabnya: manusia adalah hewan bercelana. Di dalam gambaran itu manusia bisa licik seperti ular dan bisa pura­pura tulus seperti merpati. Artinya, pasti ada latar lain di luar selingkuh yang karuan masuk jiwa mereka sehingga mereka melakukan dua kejahatan sekaligus: susila dan kemanusiaan. Tapi, memang tidak ada manusia yang bersih dari bingkai ini. Sebab, ganjil di kuping bahwa Jeng Retno mau bebas selingkuh dengan cara menyingkirkan suaminya. Terhadap banyak hal dia memang cepat bilang ya dan lambat bilang tidak. Bahwa selingkuh sendiri merupakan suatu peristiwa na­ luriah khas manusia yang mendatangkan getaran tertentu, halnya memang tidak dibantah baik oleh Jeng Retno maupun Dharsana. Kedua manusia ini merasa asyik hidup dalam ke­ tidaksetiaan. Pada gambarannya semua orang pun, yang menganut pandangan modern tentang gaya hidup metropoli­ tan, niscaya mengalami selingkuh dengan getaran­getaran khas: seperti pencuri yang deg­degan pada pertama kali 341 Hotel Pro deo menghadapi aksi mencuri. Apabila sekali berhasil, kedua kalinya menjadi biasa. Lalu lama­kelamaan capnya menjadi: alah bisa karena biasa. Hebatnya, getaran yang berlangsung pada setiap selingkuh masih tetap awet hingga kini dalam bawaan Jeng Retno. Dia bahkan merasakan selingkuhnya itu sebagai getaran dinamis yang melahirkan dorongan­dorongan kreatif dalam jiwanya. Paling tidak dorongan kreatif yang kriminil. Dia anggap semua yang dibilang orang sebagai suatu ke­ salahan, baginya justru dihayati sebagai sesuatu yang benar. Baginya berpikir benar adalah memberlakukan kemampuan akal untuk memberi alasan atas apa yang dirasa menyenangkan di dalam hatinya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sekarang, setelah Iskandar mati, apakah keadaan Jeng Retno masih sama seperti pencuri yang tegang menghadapi aksinya? Akhirnya harus diakui, Jeng Retno keranjingan menikmati ketagihannya pada seks. Dalam bahasa awam—juru parkir, sopir bajaj, tukang ojeg yang menjadi realitas hirukpikuk Jakarta—gampangnya Jeng Retno disebut si ganjen yang awet gatel. Gambar sisikmeliknya antaralain wangi parfumnya yang heboh itu merupakan alat pancing perhatian orang untuk ber­ mitra mesum dengannya. Dan, bagaimana dengan Dharsana? Reputasi Dharsana sebagai DB, sekaligus merupakan con­ toh kasatmata akan ciri pejabat sipil berlatar perwira tinggi ABRI yang bermoral di bibir tapi paradoksal di tindakan. Dengan bahasa lain: dialah gambaran maujud tentang perangai khas pejabat Indonesia yang punya dua mulut, dua wajah, dua penampilan. Di depan umum dia berpenampilan kudus 342 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado seperti nabi­nabi, tapi di belakang panggung kenyataannya dia berkelakuan kudis seperti babi­babi. Bagi Dharsana zina adalah hobi, gaya hidup. Makanya, dia ketawa dengan mimik yang kecut, ketika hampir satu dasawarsa lampau muncul isu sosial yang konon disimpulkan dari hasil survai kejiwaan, bahwa 2 dari 3 lakilaki di Jakarta berselingkuh. Dengan garang dia mencela survai itu sebagai simpai yang tidak logis. Kala itu dia berkata, bahwa, jika ada 2 dari 3 lakilaki di Jakarta yang berselingkuh, maka logikanya harus ada juga 2 dari 3 perempuan di Jakarta yang menyediakan diri untuk diajak selingkuh. Alasan Dharsana kebetulan dianggap benar. Bahwa, me­ mang betul 2 dari 3 lakilaki di Jakarta tidak berselingkuh de­ ngan 2 dari 3 hewan di bonbin Ragunan, tapi otomatis dengan 2 dari 3 perempuan di antero Jakarta yang sama­sama menikmati perselingkuhan itu sebagai tindakan kerjasama damai. Demikian keadaannya, orang yang mengenal dekat menge­ tahui Dharsana dengan DB­nya itu sebagai lakilaki perlente yang biasa melakukan selingkuh di belakang Ibu Intan. Ibu Intan sendiri sampai hari ini tidak pernah tahu bagai­ mana hubungan Dharsana dengan Jeng Retno. Kalaupun nan­ ti Ibu Intan tahu, keadaan itu tidak lagi memusingkan diri­ nya. Tampar dan tinju yang dialaminya, dan tiada kata maaf dari Dharsana, telah semakin kuat menjadi alasan untuk ti­ dak meneruskan kehidupan dalam satu rumah sebagai istri­ suami. Teriakan cerai sudah diucap. Ibu Intan sendiri yang menyatakan pengetahuan alami nan elok ini: yang ditulis bisa distip, sedang yang diucap kepalang sudah didengar orang, tak mungkin ditarik kembali. *** Adapun hubungan Dharsana dan Jeng Retno—yang tidak diketahui Ibu Intan itu—di luar selingkuh yang sama­sama 343 www.bacaan-indo.blogspot.com menguntungkan, diukur dari orgasme, ternyata di baliknya adalah bisnis. Surat wasiat yang ditandatangani oleh Iskandar untuk Mayang itu merupakan anganan keuntungan Jeng Retno dan Dharsana. Di atas ranjang hotel pinggir laut Selat Sunda mereka berbincang sampai pagi tentang langkah­langkah selanjutnya dalam meraih keuntungan itu. Sambil bicara tentang langkah­ langkah bisnis, Jeng Retno asyik memegang­megang lonceng di selangkang Dharsana. Tiga kali dia mengucapkan kalimat yang sama di telinga Dharsana. “Kok durung tangi, Mas?” Dharsana menutup muka Jeng Retno dengan bantal. “Sst.” Jeng Retno menyingkirkan bantal itu. Dia pun meng­ genggam yang tadi sekadar dipegang­pegang. Katanya kolokan, “Come on, Mas. Wake up little Dhar!” Memang meyakinkan, Jeng Retno asli ‘tamasya’. Makin lama makin sulit Dharsana lepas dari pelukannya. Sementara, Dharsana pun tidak pernah tahu, bahwa di luar dirinya Jeng Retno bisa mencari kesenangan­kesenangan kelamin dengan para ‘balola’ yang memasang iklan di koran­koran sebagai tukang pijat. Kelak, apabila Dharsana mengetahui kelakuan asli Jeng Retno di belakangnya, maka waktunya sudah terlambat untuk tidak menjadi panitia Perang Dunia Ketiga. Di saat itu nanti Dharsana menjadi sangat bodoh. Tapi, apa mau dibilang, selalu berulang dalam tarikh ma­ nusia, bahwa lelaki yang paling pintar pun, selamanya menjadi tolol dan dungu di hadapan perempuan. Kemarin begitu. Hari ini begitu. Besok pun begitu. *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 64 DI atas mobil yang dikemudikan oleh Lukman, yang meluncur dari Banten menuju ke Jakarta, Dharsana menelefon James Winata. “Surat wasiat yang saya janjikan tempo hari itu sudah ada di tangan saya sekarang, Pak,” kata Dharsana. “Kapan kita bisa ketemu?” Antusias Winata menjawab di dalam kantornya. “Ya, ka­ pan, ya? Besok? Lusa? Hari ini?” “Baik,” kata Dharsana, bergairah, “Bagaimana kalau nanti malam?” Winata berpikir­pikir, mengingat­ingat, apakah dia sudah punya janji dengan orang lain nanti malam? Seingatnya, dia punya janji dengan walikota Tangerang pada siang ini, jam 14.00, masih tiga jam dari sekarang. “Baik,” kata Winata. “Sesudah jam lima saya bisa.” “Kita ketemu di mana, Pak?” 345 Hotel Pro deo “Di Mandarin. Jam tujuh saja. Sekalian kita makanmalam di situ.” “Oke, Pak,” kata Dharsana. “Nanti saya datang bersama dengan istri dari si pemilik tanah itu.” “Bagus. Bagus. Apa dia baru datang dari Jepara?” “Tidak, Pak. Dia memang tinggal di Jakarta. Dia ada di sebelah saya sekarang.” “Bagus. Bagus. Sampai nanti malam deh.” “Ya. Sampai jam tujuh nanti, Pak.” Mobil meluncur terus ke timur di atas jalan tol yang tam­ pak kering dan menyilaukan. Ini disebabkan jalan tol antara Serang­Jakarta tidak terlihat pohon­pohon di pinggirnya, beda dengan jalan tol Jakarta­Bogor yang banyak hijaunya karena pohon­pohon yang terpelihara di pinggirnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Jam tujuh malam masih delapan jam dari sekarang. Masih ada waktu untuk istirahat sebentar di rumah. “Jalan pelan­pelan saja, Man,” kata Dharsana kepada sopirnya Lukman. Demikian Lukman menyetir mobil pelan­pelan di atas jalan lurus. Lebih dulu mobil itu menuju ke arah rumah Jeng Retno, kemudian ke rumah kayu­papan di mana Ibu Intan sedang duduk di depan mejamakan—tempat yang disukainya untuk membaca majalah atau koran—membuka­buka halaman majalah Prancis, Paris Match terbitan terakhir. Setiba di dalam rumah kayu­papan ini Dharsana memang­ gil keras­keras pembantunya, “Hutamiii!” Ibu Intan kaget mendengar suara Dharsana. Demi men­ dengar suara lakilaki itu, buru­buru Ibu Intan bangkit dari kursi lantas lekas­lekas masuk ke dalam kamar, mengunci diri. “Hutamiii!” panggil Dharsana sambil melangkah masuk ke kamarmakan. 346 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Belum ada jawaban dari Hutami. Di kamarmakan Dharsana melihat ke mejamakan. Ada makanan di atas mejamakan itu yang ditutupi tudungsaji. Dia buka tudungsaji itu. Di situ dia melihat nasi dalam boboko, kangkung tumis dalam panci ceper, teri pedas dalam mangkok, dan tempe goreng dalam piring cabuk. Wajahnya berubah nyinyir melihat makanan itu. Dia berteriak lagi memanggil Hutami. “Tamiii!” Hutami pun berlari­lari ke kamarmakan. “Ya, Pak.” Dharsana marah. “Di mana saja sih kamu? Dipanggil sam­ pai bengok­bengok begini tidak cepat datang. Kamu tuli?” “Maaf, Pak, saya sudah dengar,” kata Hutami. “Tapi, tadi itu saya sedang kagok.” “Kagok apa?!” “Saya sedang di WC belakang, Pak.” “Hah!” Dharsana membuang muka, melihat kembali ke mejamakan. “Makanan apa ini?” Hutami tergagap­gagap karena gabir. Dia tak mudah men­ jawab pertanyaan marah dari orang yang diketahuinya sebagai majikannya, tapi bersamaan dengan itu dia merasa lebih ikhlas mengabdi kepada Ibu Intan. “E, e, tadi Ibu minta dibuatkan kangkung tumis dengan teri pedas seperti itu, Pak.” Dharsana menutup kembali makanan itu dengan tudung­ saji sembari bersungut­sungut, “Hah, ini makanan kuli kontrak zaman rodi. Buang sana!” “Maaf, Pak.” “Hah!” Dan Dharsana kembali ke depan, Dengan memperagakan sikap sangar seperti singa lapar begitu, Dharsana—seperti semua lakilaki—bermaksud me­ nyembunyikan kelakuan selewengnya di luar rumah. Cara 347 Hotel Pro deo marah­marah merupakan siasat lakilaki tampil sebagai suami yang baik, tidak berbuat salah, berwibawa sebagai kepala keluarga. Padahal Ibu Intan tidak peduli lagi… (Siasat lakilaki itu beda dengan cara perempuan yang hadir di dalam rumah sehabis berbuat selingkuh di luar. Biasa­ nya perempuan lebih meyakinkan dalam bermain pura­pura. Datang­datang di dalam rumah, istri yang baru selingkuh di luar, berpenampilan manis seperti merpati, memperagakan rasa takzim yang berlebihan kepada suaminya, memulai dengan pertanyaan peduli, “Sudah makan, Mas?” Begitulah yang selalu dilakukan oleh Jeng Retno terhadap Iskandar ketika suaminya itu masih bersamanya). www.bacaan-indo.blogspot.com *** Kini, jam 18.30 Jeng Retno bersama Dharsana sudah ber­ ada di dalam mobil yang distir Lukman menuju ke hotel sekitar bunderan HI. Mereka tiba di tempat yang dimaui Winata, Tokio Joe, Mezzanine Floor, Mandarin Hotel, pas pada waktunya. Dharsana memperkenalkan Jeng Retno kepada Winata. “Ini istri Iskandar, pemilik tanah di Jepara itu.” Winata menyalam. “Hallo, Ibu.” “Hallo juga,” kata Jeng Retno. “Tapi, sorry, kalau boleh, will you do me a favor, panggil saya ‘jeng’, jangan ‘ibu’.” Winata tersenyum. “Ya, ya. Senang bisa kenalan dengan Ibu, e, maksud saya: Jeng.” “Thank you,” kata Jeng Retno. “Saya senang juga bisa berkenalan. Sebenarnya saya sudah jumpa di hut anak tiri Mas Dhar.” Winata membuka tangan, memberi isyarat kepada Jeng Retno dan Dharsana untuk duduk di kursi depannya. “O ya? Mari, mari.” 348 www.bacaan-indo.blogspot.com Mereka sama­sama duduk. Sambil mengerling ke Jeng Retno, Winata mencoba meng­ ingat­ingat di mana dia pernah jumpa dengan wanita heboh ini. Ya, dia pertama melihat tapi tidak berkenalan dengan Jeng Retno dalam dua peristiwa yang terjadi di rumah kayu­papan: hut Marc dan kematian Marc. Tapi dia tidak merasa perlu membicarakan itu. Apa yang akan dikatakannya adalah tentu alasan yang menyebabkan mereka bertemu saat ini. “Nah, begini, Jeng, saya berhasil ‘digoda’ oleh Pak Dhar untuk menanam modal di Jepara,” kata Winata memulai per­ cakapan serius namun santai ini. “Bayangkan, sebelum melihat sendiri lokasinya, saya sudah tertarik…” “Yes, you say that, Pak,” kata Jeng Retno. “You are right mendengar ‘godaan’ Mas Dhar. Tapi, please, supaya Bapak tidak kena akal keling, membeli kucing dalam karung, I think Bapak harus melihat lokasinya supaya tambah tertarik. Ya toh?” “Ya, ya,” sahut Winata memberi atensi semestinya kepada Jeng Retno. “Kita harus ke lokasi. Saya percaya pada Ibu, e, Jeng.” Kata­kata bahasa Inggris yang biasa diserukan, melintas di memori, tapi tidak terlafalkan. Jeng Retno hanya meyungging­ kan senyum di wajah. Yang dikatakannya sanjungan, “You’re the boss.” Dharsana mengarahkan ke azam: “Kita bisa terbang ke sana secepatnya.” “Ya, ya, ya.” Winata setuju. Lalu, sekadar basabasi yang dirasa perlu, Winata bertanya, “Apa suami Jeng berangkat ber­ sama­sama kita ke lokasi?” Seentengnya Jeng Retno menjawab, “O, suami saya sudah berangkat lebih dulu, berangkatnya ke rahmatullah, he­he­he.” Winata tersedak. “O? Turut belasungkawa. Sori.” “Don’t be… That’s life. Itulah hidup: lahir dan mati, ketawa dan menangis, pro setan dan pro deo.” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo *** 350 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 65 ISKANDAR yang sudah berangkat ke rahmatullah itu menyisa­ kan setori tersendiri bagi KC yang terkoteng­koteng melihat dengan mata kepalanya ihwal peristiwa nahas di kaki bukit. Setori itu timbul akibat dialog KC dengan Daeng Pallu Ce’la tentang “aku melihat semuanya tapi aku takut bicara” yang didengar oleh Asep Tea dan Dul Osing. Ketahuan, dua orang yang disebut ini masih menyimpan dendam, tak ikhlas dibikin keok oleh KC. Naga­naganya ini ma­ salah khas insani: naluri yang kadarnya alami dikacaukan oleh pertimbangan­pertimbangan akali yang mengandung takabur, selamanya tidak mau melihat hakikat manusia, menyangkut kodratnya, menurut apa adanya. Dengan itu galib terjadi kenisca­ yaan­keniscayaan alami dalam peristiwa lahiriah yang mestinya sudah selesai, tapi dibakar lagi oleh kejemawaan­kejemawaan akali untuk menjadikannya awet menyala. Demikian terlihat 351 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dalam diri Asep Tea dan Dul Osing, bahwa ketika raga nyata telah terkalahkan, maka akal masih membangkitkan ke­ mauan untuk mengingkarnya dengan keinginan membalas dan mencelakakan KC. Sore ini, dalam kesempatan yang bagus bagi keduanya, ketika para napi sama­sama sedang menyaksikan olahraga voli dengan dijaga oleh sipir­sipir—dan pas KC memukul bola—Asep Tea dan Dul Osing mendekati Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol. Mereka yakin dapat berhasil mengasut kedua sipir itu untuk menjalankan keinginannya membalas dan mencelakakan KC. “Pak, KC itu makin berbahaya,” kata Asep Tea. Si Labu Siam tidak hirau. Setidaknya sekarang. Tapi seben­ tar lagi pasti dia tergegau. Dia melirik dengan sikap yang sangat meremehkan Asep Tea. Katanya, “Alah, kowe omong begitu se­ bab kowe kalah sama dia.” “Bukan soal itu, Pak,” kata Asep Tea, digongi oleh Dul Osing juga. “Ini soal rahasia Bapak.” Si Labu Siam tersedak. Dia memandang dengan geram kepada Asep Tea. Dia merasa disepelekan wibawanya. “Ah, omong apa sih kamu?” katanya, mengganti kata ‘kowe’ menjadi ‘kamu’, dan boleh jadi sebentar lagi ganti menjadi ‘lu’. “Ya, Pak, kami mendengar sendiri omongan KC dengan si bisu Daeng Pallu Ce’la,” kata Asep Tea, digongi pula oleh Dul Osing. “Apa yang lu dengar?” Si Labu Siam terangsang untuk me­ ngetahui lebih jauh. Yang menjawab Dul Osing. “Dia bicara soal dia melihat kematian Iskandar dan dia takut bicara terusterang.” “Apa?” Si Labu Siam tercengang. Dia panggil Si Ongol­ ongol yang berdiri tak jauh darinya. “Sst.” Dia berbisik di telinga Si Ongol­ongol. 352 Si Ongol­ongol mendelik. Tegang. Sertamerta dia menarik krah baju Dul Osing. “Apa kowe bilang tadi, homreng?” “Benar, Pak, saya dengar omongannya itu,” kata Dul Osing, “Saya juga dengar, Pak,” sambung Asep Tea. “Dan, saya kira yang dia maksudkan dalam omongannya kepada Daeng adalah menuduh Bapak­Bapak, sebab waktu itu Bapak­Bapak yang mengawasi Iskandar bekerja.” “Mulutnya mulut perempuan,” kata Dul Osing dengan gaya menyuntik anjing gila, maksudnya supaya kedua sipir itu panas. “Bajingan!” maki Si Labu Siam. “Lihat saja akibatnya,” desis Si Ongol­ongol. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Pada malam harinya, di saat KC merasa letih dan mengan­ tuk, Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol membuka selnya, langsung mementung kepalanya. KC tersentak. Hilang ngantuknya. Sebelum KC bisa berkata sehuruf pun harakah: ’a’ atau ‘i’ atau ‘u’ atau ‘e’ atau ‘o’, tahu­tahu Si Labu Siam menyepak perutnya. KC terhenyak. Dan, lagi, sebelum KC bisa berkata sehuruf pun konsonan yang biasa dalam suara pedih: ‘z’ atau ‘ng’ atau ‘m’ atau ‘s’, Si Ongol­ongol menendang kepalanya. KC terpontal. KC bingung. Dan, dia tahu, tidak mungkin dia melawan… Bahkan, ketika KC diseret keluar dari selnya, dia pun tidak melawan. Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol membawanya ke tempat yang tidak terdengar suara jeritnya untuk disiksa. Di situ kedua sipir itu menyiksanya sampai puas. Caranya seperti harimau terhadap domba. Cara itu sekaligus menunjukkan bukti, bahwa walaupun penjara sekarang berganti nama ‘lembaga pemasyarakatan’ untuk konon menghayati dengan hati yang www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo hati­hati akan makna Pancasila, ternyata kelakuan sebagian sipir masih seperti ketika semua penjara di Indonesia bernama ‘keimusho’ di zaman penjajahan Jepang, atau ‘gevangenis’ di zaman penjajahan Belanda, atau ‘jail’ di zaman penjajahan Inggris, atau ‘prisao’ di zaman penjajahan Portugis dan ‘prison’ di zaman penjajahan Prancis. Di semua zaman ternyata sipir­ sipir merupakan alat pemerintah yang cenderung menjalankan kekuasaan dengan kekerasan: kekerasan yang diejawantahkan lewat semata­mata selera. Manakala KC hampir murca, barulah dia mendengar kata­ kata diucapkan oleh kedua sipir itu. “Hei, dengar lu, monyet!” Si Labu Siam mencekik leher KC, menyandarkannya ke tembok. “Kowe kepingin mati sekarang?” KC hanya memandang, maksudnya mencoba memandang dalam gelap, dan dia terlalu parah untuk bisa mengatakan satu­ pun kalimat, atau satupun kata, atau bahkan satupun huruf. Dalam tidak fokus memandang Si Labu Siam di mukanya, dia hanya bisa mengangguk dengan lemah sekali, nyaris tidak terlihat gerakan di kepalanya itu. Si Ongol­ongol menggeser Si Labu Siam untuk bisa bicara. Dia pun mencekik KC. “Hei! Kalau kamu mau hidup, jangan sok jadi pahlawan di sini, ngerti? Di arena khusus kamu boleh menang, tapi di sini kamu cuma sampah, lalat, cacing, tai! Saya yang menentukan kamu boleh hidup atau tidak.” Si Labu Siam menyambung, “Ya!” Dia memukul mulut KC. “Kowe harus tutup mulut. Untuk semua hal yang kamu lihat di sini, lu harus tutup mulut. Ngerti kamu, monyet?” Karena KC diam, tak mudah menjawab, Si Ongol­ongol mencekik lagi, “Awas kamu! Kalau kamu berani­berani omong yang tidak­tidak, kamu mati. Semua yang kamu lihat itu, mimpi. Kamu tidak melihat apa­apa. Jangan omong sembarang. 354 Remy Sylado Ngerti?!” KC susah. Dia tidak mampu menjawab. Si Ongol­ongol mengencangkan cekikannya. “Jawab, goblog!” Akhirnya, dalam susah dan sulit, KC mengucapkan, “Ya…” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 355 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 66 RENCANANYA pada siang hari besok ketiga orang ini: Jeng Retno, Dharsana, Winata, akan terbang ke Semarang. Dan selanjutnya dari kota ini mereka menyewa mobil ke Jepara. Tapi, sebelum hari berganti, arkian pada malam ini Jeng Retno teringa­inga setelah menerima telefon dari Si Labu Siam di Cilacap. Sipir itu memilih menyeberangi selat kecil di utara Nusakambangan karena alasan tertentu. Mungkin supaya pem­ bicaraannya dengan Jeng Retno yang digambarkannya sangat penting, tidak perlu diketahui oleh banyak orang. Kalau begitu, apakah dengan telefon ini rencana Jeng Retno ke Jepara akan berubah? Semuanya bergantung pada perkembangan dialog yang akan terjadi sebentar lagi. Tak disangkal, mulanya Jeng Retno mengira hubungan telefon dari Si Labu Siam merupakan tengara untuk menagih bonus: sesuatu yang sudah ditolaknya tapi kemudian disarankan 356 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dharsana untuk dituruti saja, dan dia pun sudah menyatakan setuju akan gagasan itu. Namun, komunikasi lewat kabel pada malam begini, yang dengan jelas menyebut penelefonnya Si Labu Siam—dengan nama asli—karuan membuat Jeng Retno tidak senang, sebab dengan begitu dia merasa persiapannya untuk berangkat ke Jepara besok akan terganggu oleh omongan yang terjadi dalam menit­menit berikut. Kalau sampai Jeng Retno berprasangka pada kemungkinan tengara itu, kiranya itu bisa dimengerti. Apalagi Si Labu Siam memulai percakapan telefon ini dengan tata santun yang menonjol. Sudah menjadi klise khas orang Indonesia belakang­ an ini, bahwa keramahan dan kesantunan yang menonjol nis­ caya berkerangka pasar, komersil, tidak sejati. Si Labu Siam memulai percakapan telefonnya dengan sapaan, “Selamat malam, Jeng.” Jeng Retno waham, “Who is this?” “Saya, eh, saya Fajar, Jeng,” kata Si Labu Siam menyebut nama aslinya. “Oh my God!” Jeng Retno kecewa. Setelah itu kata­kata yang keluar dari mulutnya terasa mengandung geram, sebab dengan menyebut nama asli sipir yang niscaya diketahui Jeng Retno, pasti hubungannya adalah soal bonus tersebut. “Saya tahu Bapak minta bonus dari saya.” Si Labu Siam terkesiap. “Eh, sebetulnya bukan itu, Jeng.” “Come on, tidak usah basabasi,” kata Jeng Retno. “I know, yes, edan tenan. I thought killing my husband would’ve cost a whole lot more.” “Tunggu, Jeng.” Si Labu Siam mencoba menerangkan apa yang sebenarnya hendak dia katakan. Tapi Jeng Retno terlalu percaya pada prasangkanya. Mak­ lum, memang telah menjadi gambaran garizah manusia: yang 357 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com biasa berperilaku lancung akan senantiasa menyangka orang lain sama lancungnya dengan dirinya. “Alah, wis toh, ora usah plungkar­plungker ngono deh. Don’t use old­timey basabasi. I remember your nose.” “Aduh!” Si Labu Siam buncah. Dia pun belingsatan karena dia belum bisa menyilang omongan Jeng Retno yang lebih suka tertawan dalam prasangkanya yang lancung itu. Akhirnya dia gregetan, berseru gemas, “Dengar! Jangan nyerocos terus. Ini soal lain.” “Soal lain?” Jeng Retno tertular buncah. “Soal apa?” “Ada bangsat yang muni­muni.” “Muni­muni piye toh?” “Dia bilang, melihat bagaimana suami Jeng mati.” “Apa?” “Ya, Jeng.” “Siapa dia?” “Namanya Kartini.” “Oh my God! Perempuan? Are you kidding?” “Tidak, Jeng. Dia bekas petinju yang tervonis membunuh anak kombes.” Jeng Retno kaget, terdiam, bengong. Agaknya dia baru ngeh. Karena Jeng Retno terdiam, Si Labu Siam menyapa, “Hallo, masih dengar saya, Jeng?” “Ya,” sahut Jeng Retno. Pikiran culasnya segera bermain di benaknya. “Bereskan sendiri. Soal bonus, saya akan segera ke sana.” *** Yang dikatakan Jeng Retno itu kemudian disampaikan oleh Si Labu Siam kepada Si Ongol­ongol. Si Ongol­ongol tidak setuju. “Tidak bisa,” katanya. “Kita memerlukan KC sebagai algojo baru mengganti Asep. Di sam­ 358 Remy Sylado ping itu, kalau dia mati, apa Jeng Retno mau ngasih kita ‘lim jut’ juga?” “Kita berunding saja.” Si Ongol­ongol mencibir. “Saya tidak percaya perempuan wangi itu mau. Dia pelit kok.” “Kita coba dulu toh.” Si Labu Siam mengalirkan harapan dalam sikapnya. “Yang namanya usaha kan harus optimis.” Agaknya Si Ongol­ongol tidak sepaham dengan Si Labu Siam. Dia bersikeras. “Kita perlu antek lo. Si jagal sudah kalah. Kita bikin KC saja sebagai antek baru kita. Tugasnya memalaki semua napi untuk disetorkan kepada kita.” Si Labu Siam merengut. Tapi menyerap ide itu. Demikian itu nanti, setelah beberapa hari berselang, ketika KC sudah pulih dari bengkak­bengkak pukulan yang diterima­ nya, kedua sipir ini menekannya untuk menjalankan ide itu: “Tugasmu di hari­hari mendatang, memalak napi­napi yang habis dikunjungi keluarganya. Hasilnya setor ke kami.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 359 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 67 RETNO menelefon Dharsana, mengemukakan soal percakap­ annya dengan Si Labu Siam. “Aku bener­bener pusing,” kata Jeng Retno dengan nada jengkel tapi kolokan. “But, thank God, semuanya sudah beres. Aku sudah suruh itu sipir memainkan his part.” Dharsana dapat menangkap makna di balik kalimat itu. Maka katanya pelan, “Dia minta berapa?” “I didn’t ask.” “Lo, kok?” “Yes, because he didn’t mention it.” “Lalu, bagaimana?” “Yo, wis toh. It will be all right. Nanti aku yang urus itu. Itu soal sepele.” “Hm.” Dharsana mengangguk, duduk di kursi ruang­ kerjanya di gedung DPRRI. “Soal besok…?” 360 dari sekutu menjadi seteru? Daripada menanyakan itu, Winata merasa lebih tepat bertanya soal penting yang menyebabkan dia datang ke sini. Pertanyaannya langsung kepada Jeng Retno. “Tanah ini sekarang milik Jeng?” “Ya,” jawab Jeng Retno agak tersendat. “Seperti yang su­ dah saya bilang juga, berhubung suami saya sudah pulang ke rahmatullah, maka pemilikan tanah itu sekarang adalah— sesuai dengan wasiat yang dibuat oleh suami saya—menjadi milik Mayang, putrinya, eh, putri saya juga. Surat wasiat itu ditandatangani oleh suami saya sebelum dia ke rahmatullah. Disebutkan di situ, bahwa tanah itu menjadi milik putrinya, eh, putri saya…” Tiba­tiba Winata melihat sesuatu yang aneh dalam per­ cakapan Jeng Retno: yang tumben tidak direnda­rendai dengan kata­kata bahasa Inggris. Anehnya, kenapa Jeng Retno seperti canggung menyebut Mayang adalah putri suaminya yang juga putrinya. Maka Winata terpancing bertanya, “Putri suami Jeng itu juga putri Jeng, kan?” “Oh my God, tentu saja,” sahut Jeng Retno tandas. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Persoalan malam ini, sebelum kembali ke Jakarta besok pagi, adalah jawaban yang diperlukan pembeli dari penjual: apakah surat­surat resmi yang menjamin keabsahan tanah itu sebagai milik Iskandar. “Sekarang, di mana surat­surat tanah itu?” kata Winata serius dan dengannya dia berharap juga jawaban yang serius. “Ini.” Jeng Retno menunjukkan surat wasiat yang ditanda­ tangani oleh mendiang Iskandar. Winata mengambil surat itu lantas menyimaknya. Setelah itu dia berkata tak puas, “Ini wasiat yang menunjukkan tanah itu menjadi milik Mayang.” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Ya, itu penting,” kata Jeng Retno. “Ya, ini memang penting,” kata Winata. “Tapi yang saya maksudkan surat­surat tanah itu sendiri.” Dharsana menyeling, “Maksudnya sertifikat?” “Ya, itu,” jawab Winata. Dharsana merasa tahu. Dia mengingatkan. “Itu tanah girik, Pak. Setahu saya tidak ada sertifikat untuk tanah girik.” “Bolehlah.” Winata maklum. “Tapi paling tidak surat girik itu sendiri harus ada.” Jeng Retno dan Dharsana saling pandang ragu. “Pasti ada,” kata Dharsana. “Saya yakin. Percayalah.” “Di mana itu?” tanya Winata memandang Jeng Retno. Jeng Retno tergaguk­gaguk. “Eh, eh, saya tidak tahu Is­ kandar menyimpannya di mana.” Winata mendesak, “Jadi, bagaimana?” Jeng Retno terkosel­kosel. Dia melirik ke Dharsana. Matanya terarah ke Dharsana, tapi jawabannya dimaksudkan kepada Winata. “Eh, seperti kata Mas Dhar tadi, surat itu pasti ada, ya toh, Mas?” Jawab Dharsana yakin, “Harusnya begitu. Itu pasti ada.” Maka kata Jeng Retno kepada Dharsana untuk didengar sebagai pembenaran kepada Winata, “Well, you are right, Mas. If you’re sure then you’re sure, ya nggak?” Winata tak terpengaruh oleh kata­kata yang dianggapnya mengambang. Sementara dia tidak berkata apa­apa. Dharsana yang berkata stel yakin, “Sekali lagi, itu pasti ada, Pak Winata. Saya jamin itu.” Merasa risi akan pernyataan Dharsana yang dianggapnya seperti obrolan tong kosong bunyi nyaring, maka berkatalah Winata mengkritik Dharsana, “Pak Dhar, jangan bicara ‘jamin­ jaminan’ begitu tanpa bukti kertas. Kita ini sedang bicara bis­ nis.” 362 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dharsana membela diri, “Ya, tapi saya tahu persis surat girik itu pasti ada. Percaya deh, Pak.” Semakin risi kuping Winata mendengar omongan Dharsana. Apa boleh buat dia merasa harus mengkritik lagi dengan andaian yang lebih kena. “Wah, Pak Dhar, kalau kita bicara begitu, itu seperti obrolan kosong remaja di kafe gaul.” Dharsana tersinggung mendengar pernyataan Winata. Mukanya memerah. Katanya pedas, “Itu namanya buruk sang­ ka, Pak Winata.” Jeng Retno melihat sesuatu yang bisa berkembang men­ jadi buruk. “Oh my God!” Dia segera menengahi. “Please!” Dia menghinggut­hinggutkan tangan. “Tidak usah tegang. Saya janji akan mencari dan menemukan surat­surat itu.” “Itu yang benar,” kata Winata, kendor. Wajah Dharsana masih merah. Pernyataan Winata yang terakhir itu bisa berarti: membenarkan pikiran Jeng Retno dan tetap menyalahkan pikiran Dharsana. Di dalam kamar nanti Dharsana akan mengatakan kepada Jeng Retno tentang perasaannya menyangkut pernyataan Winata yang terakhir itu. Kata Dharsana, “Aku tidak suka omongan Winata. Dia meremehkan. Dan juga mbulet.” Dalam mengatakan kalimat kesalnya ini wajahnya meregang kencang. Setelah menggerutu begitu, ternyata masih ada kalimat lain yang menyusul. Dengan kalimat berikut ini, menunjukkan betapa Dharsana adalah se­ orang perwira yang rasialis. “Dasar Cina! Njeplak tanpa mem­ perhatikan perasaan orang lain!” “Calm down, Mas,” kata Jeng Retno. “Memang salah dong. Aku lupa soal surat­surat tanah itu. Dan, dikau sendiri juga tidak mengingatkan aku.” *** 363 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 69 DAN Dharsana merengut sebab pada hari ini dia ditegur oleh Rachmat Wirjono di depan perwira­perwira lain yang berkumpul di ruang rapat ini untuk membahas situasi negeri paling akhir ketika slogan­slogan reformasi makin tidak ter­ bendung, bertalian dengan jenis dosa rezim yang disebut KKN, kependekan dari kolusi­korupsi­nepotisme yang merusak tatanan, serta akibat­akibat buruk dari krisis moneter yang melahirkan sentimen kambuhan anti Cina. Teguran Rachmat kepada Dharsana sebelum rapat dimulai sebetulnya diucapkan dalam nada canda, tapi diterima oleh Dharsana sebagai cela. Kata Rachmat, “Kamu gimana sih Dhar, keadaan sudah genting begini, kok masih bisa­bisanya kamu jalan­jalan ke Jawa Tengah dengan istri orang.” 364 “Soal besok?” “Ya. Kita tetap berangkat besok kan?” “Tentu.” “Aku cuma mengingatkan dikau. Soalnya jadwal Winata itu padat sekali. Mumpung dia bisa besok.” “Ya, ya, I know, darling Mas.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Besoknya mereka terbang ke Semarang. Dua jam dengan mobil sewaan dari Semarang ke Jepara. Di kota ini mereka ke utara Bandengan, berbatas pantai yang pada zaman penjajahan Belanda dulu disebut­sebut sebagai Klein Scheveningen, artinya Scheveningen Kecil (Scheveningen adalah nama pantai di tepian barat ‘s­Gravenhage atau Den Haag). Setiba di tanah tepi yang diakui milik Iskandar—dan se­ jarah pemilikannya diketahui persis oleh Dharsana—syahdan Jeng Retno meloncat ke atas batu di bawah pohon berdaun mirip pandan yang banyak tumbuh di pesisir situ, berdiri dengan wajah ceria. Jeng Retno menengadah ke langit yang mulai melembayung di senja menjelang sore, membuka tangan sepanjang depa, memandang Winata, lalu berkata girang ke­ padanya: “This is the place, Pak Winata. The finest colours God has to give are all around us now.” Winata terbawa ceria. Dia terpukau melihat kenyataan warna panorama, memandang ke kiri­kanan dan muka­ belakang. Tampaknya dia senang berada di tengah realitas ini. Dalam pikiran Dharsana, apabila Winata senang melihat lokasi ini, tentulah Winata sedang membayangkan kemungkinan­ kemungkinan tangan manusia yang terampil dan kreatif un­ tuk membangun realitas alami ini menjadi citra peradaban www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dalam konsep pariwisata yang betul: bahwa pariwisata adalah kebudayaan, bukan semata­mata alam. Ternyata demikian yang ada dalam pikiran Winata. Terbit gagasan dalam pikirannya, bahwa dengan memanfaatkan nama Klein Scheveningen—yang kebetulan sudah dipromosikan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Jepara—lokasi tempat dia berdiri sekarang ini pasti dapat dijual sebagai tujuan wisata, meniru konsep yang dilakukan praja Zuid Holland di Belanda atas Scheveningen. Yaitu, pariwisata bukan semata­mata alam, tapi alam yang dibangun melalui dorongan kreatif dan rasa estetis manusia yang dengannya mesti memberikan nilai beda, nilai spesifik, nilai yang hanya mungkin terwujud melalui citra bu­ daya lokal. Winata sendiri pernah dua kali ke Scheveningen. Seingat­ nya pantai di Belanda itu menjadi menarik bukan semata­mata karena keadaan alamnya yang mengenal empat musim, tapi karena realitas alam yang merupakan rahasia ilahi dengan laut Noord Zee di depannya, ada di situ tangan­tangan terampil manusia yang memberi citra kebudayaan Belanda yang khas, meliputi gedung­gedung dan bangunan­bangunannya, yang berbeda dengan pantai­pantai lain antero Eropa. Yang seketika terpikirkan di benak Winata: bagaimana dia bisa membangun, mengubah pantai di depannya yang masih perawan menjadi pantai nan permai dan menyenangkan seperti Scheveningen, tapi dengan latar budaya lokal, disertai promosi yang memanfaatkan cerita­cerita sosok historis bumi Jepara: Raden Ajeng Kartini, Ratu Kalinyamat, serta Tan Siang Ji dan Tan Siang Hu. Dua nama yang terakhir disebut, bagi Winata, mustahak. Sebagai seorang berdarah Cina, Winata menghormati kedua abang­adik Tan dari Cina itu, yang turut membangun tatanan ekonomi dan sosial di Jepara. Sebagai penganut Sam Kauw 366 Remy Sylado It Kauw (tiga agama khas Cina, sinkretisme Tao­Buddha­ Konghucu), Winata merasa perlu benar bersembahyang hio di kelenteng yang mengenang cerita abang­adik Tan tersebut, yaitu kelenteng Hian Thian Siang Tee di Welahan, 24 kilometer dari pusat kota. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ketika Winata bersembahyang hio di kelenteng, Jeng Retno dan Dharsana ngerasani di hotel, tentang bagaimana mereka mesti mengatur langkah­langkah kesepakatan jual­beli. Mengapa soal mengatur langkah­langkah kesepakatan jual­beli harus dibahas? Permasalahan atasnya akan terkuak dalam lisan pada ma­ lam ini juga, sepulang Winata dari kelenteng Hian Thian Siang Tee (atau pribumi lebih mudah menyebutnya: Kelenteng Dewa Langit). Jam 21.00, sambil duduk berhadapan di kursi ukir ruang depan hotel, Winata yang membuka pembicaraan tentang tanah yang sudah dilihatnya tadi. “Terusterang, saya benar­benar jatuh cinta pada lokasi tanah pantai tadi,” kata Winata. Jeng Retno menyelang sambil ketawa, “Yes, it was love at the first sight. Saya senang Pak Winata mau mengambilnya.” “Ya,” kata Winata. “Jadi, persisnya berapa hektar luas ta­ nah itu?” Jeng Retno melirik ke Dharsana. Inginnya dia—sebagai orang yang merasa memiliki tanah itu—bisa menjawab dengan cepat pertanyaan yang diajukan Winata; tapi ketahuan, dia sen­ diri tidak begitu paham. Dia malah bertanya kepada Dharsana. “Luasnya berapa ya, Mas?” Tak diketahuinya, pertanyaannya itu membuat Winata heran dan kemudian syak. Dengan segera Winata bertanya: 367 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Lo? Yang punya tanah kok bertanya kepada yang bukan pemilik tanah.” Kalimat Winata itu membuat Jeng Retno seperti keteteran dengan dirinya sendiri. Tanpa bisa menyembunyikan rahasia, apa boleh buat Jeng Retno terpaksa bicara terusterang. “Ya, Pak Winata. You know, tanah itu asalnya milik keluarga Mas Dhar…” Dharsana tersentak. Dia tidak menyangka Jeng Retno akan begitu naif. Dan, berhubung pernyataan itu telah kepalang terucapkan, maka apa boleh buat, mau­tak­mau Dharsana terpaksa harus membenarkan dengan rasa jengah. “Itu dulu…” Jeng Retno menyambung, “Yes, it was long long time ago…” Rasa syak di diri Winata meningkat. “Maaf. Kenapa bisa begitu?” Dharsana menjawab dengan sulit. “Kalau tidak salah, saya sudah pernah bilang hal itu kepada Pak Winata,” katanya mengambang. “Saya lupa,” kata Winata. “Yang mana itu?” “Saya bilang, yang punya tanah itu adalah kawan sekaligus lawan saya.” “Oh.” Winata mengingat­ingat, dan dia teringat. “Kelihatannya itu sangat pribadi.” “Ya, betul,” sahut Dharsana. “Saya tidak ingin menceritakan itu.” Winata menatap. Dia setuju. Ucapannya, “Saya mengerti.” Dengan ucapan ini, terkesan Winata tidak berniat melanjutkan pertanyaan dalam dialog yang galib, tapi diam­diam berlan­ jut pertanyaan­pertanyaan dalam monolog yang ganjil: kena­ pa? Apakah ada kejadian tertentu di belakang sana yang me­ nyebabkan keadaan berubah dari kawan menjadi lawan atau 368 www.bacaan-indo.blogspot.com Muka Dharsana memerah mendengar itu. Dan, kendati­ pun teruk di hati, dia merasa harus menjawab dengan wajah yang tidak rileks di atas kursinya. “Saya kira persoalan saya di luar kedudukan saya sebagai abdi negara adalah urusan saya dengan Tuhan. Di luar kedu­ dukan saya itu, sebagai seorang manusia, seperti manusia­ manusia yang lain, menyangkut sisi plus dan sisi minus, secara individual dan spiritual merupakan tanggungjawab saya kepada Tuhan.” Wah! Rachmat terkesima. Yang lain­lain termangu. “O, begitu?” kata Rachmat dalam nada tanya yang berkadar menguji. “Ya, begitu, Pak,” sahut Dharsana tegas. “Persoalan tugas adalah tanggungjawab saya kepada negara. Tapi, tolong dipa­ hami, sebagai warganegara, saya adalah manusia. Kalau sebagai manusia saya bersalah, biar saya yang bertanggungjawab pada Tuhan.” Melihat Dharsana terlalu serius menanggapi candanya, Rachmat berkata, “Bukan saatnya kita membahas itu.” “Ya, memang,” sahut Dharsana. “Itu cuma intermezzo,” kata Rachmat, lantas berdiri tegak di hadapan rapat. “Mari kita mulai. Sebelumnya saya ingin mendengar, apa ada laporan mutakhir tentang situasi sekarang ini.” Seorang perwira yang duduk di tengah­tengah menunjuk jari sambil berkata, “Kejadian di Bogor bisa dipandang pemicu yang berpotensi sebagai pengacu prayojana ke kota­kota besar di Indonesia.” “Kejadian apa itu?” tanya Rachmat. “Di Bogor timbul sebuah, katakanlah OTB: Organisasi Tanpa Bentuk, yang didirikan oleh seorang ahli paranormal yang menamakan dirinya PAC: Pribumi Anti Cina. Saya melihat www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo PAC ini lahir sebagai dampak dari publikasi Menteri Sosial tentang program ‘Aku Cinta Indonesia’ dan ‘Aku Cinta Rupiah’ yang begitu santer ditayangkan di TV.” “Apa alasannya Anda menghubungkan itu?” “Tayangan itu berkonotasi asut.” “Kenapa Anda bilang begitu?” “Dengan diulang­ulangnya tayangan berjargon ‘Aku Cinta Indonesia’ dan ‘Aku Cinta Rupiah’ di TV, berdampak melahir­ kan kesimpulan di mata rakyat jelata bahwa konglomerat­ konglomerat bermasalah yang umumnya etnis Cina itu tidak nasionalis, sebab mereka dianggap melarikan rupiah ke luar negeri, dan membiarkan rakyat sengsara.” Rachmat mengangguk­angguk, mencamkan. Setelah itu dia berkata lebih kepada dirinya sendiri, “Yang celaka kalau ada orang­orang tertentu dari latar garis keras yang bermain api di belakangnya sehingga melahirkan konfusi, chaos…” Dharsana menarik nafas, membuang muka, duduk ber­ sandar di kursinya seakan­akan tidak hisab pada apa yang di­ bahas orang. Tapi, ujug­ujug dia berkata menurut cara nyeletuk, sesuatu yang tampak dikuasainya sangat masalahnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai ahli di bidang itu di DPRRI. “Setahu saya perkataan Cina sendiri memang sudah me­ ngandung bobot prejudis rasial,” katanya sambil menaruh kedua tangannya di atas meja. “Ini disebabkan oleh kelakuan etnis Cina sendiri yang dipandang tidak nasionalis.” Rachmat tertarik pada pernyataan Dharsana. Maka kata­ nya, “Yang Anda maksudkan itu konglomerat­konglomerat ber­ masalah?” “Bukan hanya kelas konglomerat,” kata Dharsana. “Ini meliputi kelas­kelas sosial yang lain.” “Bagaimana Anda memandangnya?” “Saya kira, sudah tepat rumusan yang ditunjuk dalam Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE­6/PresKab/6/1967 370 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado yang berlaku sejak 20 Juni pada 30 tahun yang lalu, tentang kata ‘Cina’ tersebut.” “Tunggu. Yang perlu kita ketahui, apa betul dalam kata ‘Cina’ itu terkandung makna kebencian?” “Saya kira, pertanyaan yang tepat: apa sebab musabab ter­ jadinya kebencian itu.” “Menurut Anda?” “Saya kira itu masalah alami.” “Apa maksud Anda: alami?” “Kebencian terhadap orang Cina itu laten, Pak. Mulai dari zaman Kertanegara, zaman Wikramawardhana, termasuk zaman kolonial Valckenier, sampai zaman Diponegoro. Dan, sekali lagi, pertanyaan yang tepat: apa sebab musabab terjadinya kebencian itu.” “Nah, menurut Anda letak kesalahannya di mana?” “Jawaban saya bukan langsung pada pertanyaan itu. Yang mau saya jawab adalah: Instruksi Presiden No. 14/1967 itu memang harus dikaji sebagai suatu cara yang tepat melikuidasi semua pengaruh budaya Cina yang semata­mata materialistis: memandang manusia bukan harkatnya tapi hartanya, dan bukan martabatnya tapi manfaatnya. Saya kira, kalau konteks­ nya seperti itu, dan itu yang faktual, maka semangat anti Cina itu memang harus dikatakan alami.” Semua tercenung, menimbang sisi­sisi kenyataan alami macam mana yang bisa ditimbang sebagai isbat. Memang tidak secara langsung Dharsana menyatakan diri­ nya sebagai orang yang berpihak pada gejala alami itu. Namun, masalah yang dibuatnya sendiri dengan Winata, ketika dia ma­ rah, cukup jelas menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang memelihara prasangka rasial. Nanti sang waktu yang akan membuktikan lebih jauh peri kejahatannya itu. 371 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo *** 372 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 68 SELAGI Dharsana masih berada di Jepara pada beberapa hari lalu itu, malam­malam menjelang jam 12.00 telefon di rumah kayu­papan yang bagus ini mendering. Ibu Intan mendengar dering itu, tapi tidak tertarik untuk berdiri dari kursi di depan mejamakan, mengangkat telefon yang terletak di serambi tengah. Ibu Intan tetap duduk saja di kursinya, membaca majalah bahasa Prancis yang biasa dibelinya di toko­toko buku hotel berbintang. Telefon mendering lagi. Hutami buru­buru berlari ke serambi tengah, mengangkat gagang telefon. “Ya, hallo,” kata Hutami. Suara perempuan nun di suatu tempat bertanya dengan suara serak­serak kering seperti penderita penyakit TBC. “Bapak ada?” tanya perempuan itu. 373 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Tidak ada, Mbak,” sahut Hutami, tampaknya dia kenal siapa yang menelefon nun di sana itu. “Bapak ke mana sih?” tanya perempuan itu. “Nggak tau tuh, Mbak.” “Lo? Kok nggak tau.” “Iya tuh, Mbak, saya nggak tau Bapak ke mana.” “Ya sudah,” kata perempuan itu. Lalu, “Intan ada?” “Ibu ada.” “Lagi apa dia?” “Lagi baca­baca.” “Panggil deh.” “Ya, Mbak.” Hutami menaruh gagang telefon ke meja, berjalan ke ka­ marmakan, mengatakan kepada Ibu Intan, telefon untuknya. “Dia mau bicara sama Ibu,” kata Hutami. “Siapa?” tanya Ibu Intan. “Mbak Sri.” “Ah. Mau apa dia?” “Tidak tahu, Bu.” “Ah, bilang saja saya sedang sibuk.” “Baik, Bu.” Hutami ke serambi tengah, mengangkat telefon, menga­ takan apa yang baru dikatakan Ibu Intan. “Ibu sedang sibuk tuh, Mbak.” Suara perempuan yang tadi disebut Sri itu terdengar me­ rampang gusar, “Lo? Kamu bilang dia sedang baca­baca!” Hutami tidak termakan oleh nada gusar perempuan yang disebut Sri itu. Dia bahkan bisa menjawab dengan kreatif. Katanya, “O, iya, Mbak, Ibu sibuk membaca.” “Ah, sinting kamu!” Sri menyerapah. “Sudah, sana, panggil Intan. Bilang ini serius. Saya mau bicara dengan dia.” “Ya, ya, Mbak.” Hutami meletakkan gagang telefon, kem­ bali ke kamarmakan. Sambil berjalan ke situ, dia menggerutu 374 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado dengan bahasa Sunda kasar, “Sangeunahna we si bedul teh, nya­ rekan aing sinting. Manehna nu sinting. Teu ngaca. Beungeut jiga bungkus leupeut kitu.” Kemudian di depan Ibu Intan dia berkata santun, “Dia ngotot mau bicara dengan Ibu. Bilangnya ini serius.” “Ah,” Ibu Intan jengkel. Dia banting majalah yang sedang dipegangnya, lalu berdiri dari kursinya. “Serius apa sih?” Ibu Intan berjalan ke serambi tengah, mengangkat telefon itu. “Ya, hallo. Kenapa?” Baru saja kata­kata itu terucapkan, perempuan yang ber­ nama Sri itu langsung bicara seperti bunyi bren—senjata zaman revolusi—menyindir, mengeledek. “Waduh, nyonya sedang sibuk baca­baca, tidak boleh di­ ganggu ya?” Ibu Intan sebal. Katanya sengit, “Sudah, bicara saja apa maumu. Saya tidak punya utang dengan kamu. Kalau Bapak punya utang, tagih saja sama dia, bukan sama saya.” “Aduh, kok sewot begitu?” “Ya. Kalau kamu mau bicara sama Bapak, Bapak tidak di rumah.” “Bapak ke mana?” “Tidak tahu.” “Lo, kok tidak tahu? Kamu kan istrinya? Masak istri tidak tahu di mana suaminya?” “Ck!” Ibu Intan menutup telefon. Jengkel. Dia pun ber­ sungut­sungut sendiri, “Dibilang: nggak tau, malah ngeyel, dowo­dowo ulo.” Dia kembali ke kamarmakan, hendak melan­ jutkan baca­baca majalah bahasa Prancis. Baru lima langkah ke belakang, telefon berdering lagi. Sambil duduk di kursi depan mejamakan, berkata Ibu Intan de­ ngan nada gemas kepada Hutami. “Antepin saja itu, Mi!” 375 Hutami membenarkan dengan logat Sundanya, “Enya, Bu, meuni pikasebeleun.” Ibu Intan ketawa. Dia senang melihat Hutami berkata­ kata bahasa yang tidak dipahaminya secara harafiah, tapi kira­ kira dimengerti dari airmuka dalam mengucapkan kalimat itu. Tak lama setelah itu telefon itu berdering kembali. Dan Hutami mengerti apa yang mesti dia katakan. Katanya di depan Ibu Intan, “Pasti si eta deui, si pikasebeleun, beungeut jiga bungkus leupeut.” Ibu Intan ketawa. “Kamu bicara apa sih, Mi?” “Sumuhun, Ibu, diantepin saja. Kafilah menggonggong an­ jing berlalu.” “Hus! Terbalik. Anjing menggonggong kafilah berlalu.” “O, iya, punten. Dia, si pikasebeleun, memang anjing ba­ nget.” Ibu Intan tersenyum. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 70 SEPULANG di Jakarta, Jeng Retno sibuk mencari surat girik tanah di Jepara itu. Dicarinya surat itu di semua lemari, rak buku, laci, pendek kata satu per satu kamar di antero rumah. Tapi tidak ditemukannya yang dicarinya itu. Karena dia belum menemukan surat itu, karuan dia pun belum bisa mengabari Winata yang mengharapkan berita darinya. Sementara, waktu demi waktu terus berjalan, dan kini su­ dah berlalu tiga puluh hari sejak Iskandar suaminya menyatu dengan tanah. Ditambah sepuluh hari lagi, maka sesuai dengan istiadat masyarakat yang memegang leluri sebagai suatu kewajiban yang bersifat sukarela, mestilah diselenggarakan doa­doa ang­ gota keluarga bagi Iskandar yang telah empat puluh hari me­ nyatu dengan tanah. 377 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Kurniati yang dipanggil Nia, adik bungsu Iskandar yang lulus fakultas ekonomi di Amerika, pada siang hari yang aneh ini—di mana gerimis turun di musim kemarau—datang ke rumah kakaknya itu, hendak bertemu dengan Jeng Retno. Dia ingin bertanya soal persiapan acara doa empat puluh hari kematian kakaknya tersebut. Istri mendiang mas­nya itu tidak di rumah. Nia baru tahu dari pembantu Jeng Retno, bahwa yang disebut ini kemarin petang berangkat ke Jawa Tengah. “Ibu berangkat buru­buru ke Magelang,” kata pembantu Jeng Retno. Nia penasaran. Sungguhpun begitu, dia tidak bertanya, sebab dia tahu Jeng Retno iparnya—yang masih bisa dikatakan begitu walaupun kakak kandungnya sudah tiada—berasal dari daerah Borobudur. Beberapa sanak Jeng Retno, termasuk ibu­ kandungnya yang lumayan sepuh, tinggal di jalanan mendaki ke arah bukit yang populer disebut­sebut sebagai “Buddha tidur”. Karena Jeng Retno berada di Borobudur, dan pembantu­ nya, Yayu, sekarang ada di rumahnya di Jakarta, bercakap dengan Nia, maka Nia merasa cukup beralasan bertanya kepada pembantu ini tentang persiapan acara doa tersebut. “Nanti, siapa yang diminta memimpin pengajian?” tanya Nia kepada Yayu sang pembantu. “Tidak tahu tuh, Bu,” jawab Yayu jujur. “Belakangan ini Ibu sering pergi, dan Ibu tidak pernah pesan apa­apa.” Nia kecewa mendengar itu. “Ibu sering pergi? Pergi ke mana saja?” “Ibu tidak pernah bilang. Sekali pergi, sering dua­tiga hari tidak pulang.” “Yang benar?” “Ya, Bu, benar. Itu membuat saya sering rasa empot­ empotan di sini, suwung, kalau malam rasanya keder.” 378 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Kamu bilang Ibu sering tidak pulang? Apa dia keluar kota?” “Ya. Bulan lalu, pas tiga­empat hari setelah kematian Bapak, Ibu ke Jepara. Tujuh hari Ibu tidak pulang. Begitu pu­ lang, Ibu membongkar semua lemari, laci, rak, embuh apa yang dicarinya.” “Ke Jepara katamu?” “Ya. Bu.” “Ngapain?” Pertanyaan ini tidak terlisankan, hanya diucap dalam batin. Bukti bahwa pertanyaan itu berlangsung dalam batin, dapat dilihat melalui kerut airmukanya. Dia bertanya dalam hati, dan otaknya tidak menemukan jawabannya. Ya, sudah. Pikir­pikir, mungkin baik dia duduk dulu beberapa menit, sekadar menikmati denyut jantung, menghirup dan menghem­ bus nafas, lalu setelah itu meninggalkan rumah. Di kursi dia duduk melihat pintu. Walaupun matanya ter­ arah ke situ, ternyata pikirannya melayang ke luar. Pikirannya tidak tenang. Ini yang menyebabkan duduknya, yang mulanya diharapkan berlangsung beberapa menit, kiranya hanya bisa berlangsung sekian detik saja. Serasa pantatnya panas di atas kursi itu. Maka, dia pun berdiri, siap hendak keluar ke luar. Pas kakinya melangkah dua tapak, pesawat telefon yang menyatu dengan pesawat faks berbunyi. Dia berhenti. Dirangsang oleh rasa ingin tahu, atau nieuwsgierig dalam isti­ lah ibunya dulu yang fasih bercakap Belanda, dia pun berbalik, menghampiri meja telefon­faks itu. Mendadak pertanyaan “ngapain”, yang dipertanyakannya kepada Yayu tadi itu, kini terjawab melalui kiriman faks dari orang yang menyebut namanya: James Winata. Dia perhatikan kertas faks bergerak. Dia membaca sebaris demi sebaris. 379 Bunyi surat faks itu begini: Jeng Retno yang baik, Bagaimana soal surat tanah di Jepara itu. Sudah sebulan saya menunggu, tetapi Jeng belum mengabari. Apa Jeng belum menemukan surat itu? Tolong secepatnya mengabari saya. Saya serius membeli tanah itu. Salam saya, James Winata Di dalam surat faks ini Winata memberi nomer kontak pribadi yang siap dihubungi kapan saja. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Demi mengetahui nomer kontak pribadi itu, Nia segera mengangkat telefon lantas memencet nomer­nomernya. Sambil menunggu jawaban Winata, Nia menyimpulkan dengan pintar cerita pembantu tadi yang mengatakan bahwa se­ pulang dari Jepara: Jeng Retno sibuk membuka laci­laci, lemari­ lemari, rak­rak mencari sesuatu yang entah. Kini terjawab: Jeng Retno mencari surat girik tanah milik Iskandar. “O?” Di tempatnya Winata mengangkat telefon. Suaranya pelan. “Ya, hallo.” “Selamat siang, Pak James Winata…,” Nia menyapa san­ tun. “Siapa ini?” Winata ragu­ragu. “Perkenalkan. Saya Kurniati. Bapak baru saja mengirim faks ke Retno, kakak ipar saya…” Winata senang. “O, ya, ya, benar. Bagaimana perkem­ bangannya?” “Ya, Bapak kan bertanya apakah kakak ipar saya Retno belum menemukan surat tanah di Jepara itu.” Remy Sylado “Ya, benar.” “Tentu saja kakak ipar saya belum menemukan. Surat itu tidak disimpan di sini, di rumah ini, rumah tinggal Retno. Saya tahu di mana surat itu…” Winata menduga­duga sesuatu yang diharapkannya benar. Katanya mendayu, “Kalau ini berarti saya harus berhubungan de­ ngan Anda, dan bukan dengan Jeng Retno, saya senang sekali.” “Terimakasih,” kata Nia. “Kalau begitu, kapan kita bisa bertemu?” “Saya bisa menyesuaikan diri dengan waktu Bapak.” “O, begitu? Bagaimana kalau sekalian makanmalam di kafe Jalan Gereja Teresa?” “Baik.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Nia tiba di tempat yang disebut itu sepuluh menit lebih awal dari Winata. Ketika Winata memasuki kafe ini, matanya mencari­cari: mana gerangan perempuan yang bernama Kurniati itu. Sementara Nia di sudut remang segera bisa menyimpul­ kan bahwa lakilaki yang berdiri melihat ke kiri dan kanan di depannya ini pastilah Winata. Maka Nia pun menyapanya, “Pak Winata…?” Winata gembira, mendekati, dan memandang Nia de­ ngan wajah berseri. “Ya.” Dia ulurkan tangan untuk dijabat. “Kurniati?” “Ya,” jawab Nia. Winata menarik kursi di hadapan Nia, lantas duduk ber­ hadapan dipisah meja. “Jadi Anda adik ipar Jeng Retno,” kata Winata membuka pembicaraan. “Ya,” jawab Nia. “Berarti Anda adik kandung Pak Iskandar?” 381 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Aslinya Sukandar. Kakak mengganti nama menjadi Is­ kandar setelah nikah dengan Euis Nuryati, orang Bandung, yang meninggal bersama bayi di dalam kandungannya. Kasihan.” “Jeng Retno itu?” “Dulunya sekretaris Mas Kandar. Perempuan tidak benar. Saya tidak ngerti dari adonan apa hatinya dibuat. Orang masih berkabung, dia sudah klayapan ke mana­mana. Saya tidak tahu bagaimana dia punya ide mau menjual tanah Mas Kandar di Jepara.” “Maaf, saya tidak tahu itu urusan keluarga. Jeng Retno me­ nawarkan tanah itu kepada saya. Saya ke Jepara, melihat. Saya tertarik. Tapi, saya tidak mungkin membeli tanah itu sebelum saya melihat surat­suratnya.” “Kalau boleh saya sarankan, jangan beli. Tanah itu milik empat orang; kami empat bersaudara: Sukandar, Herawati, Suparman, dan saya. Itu bukan tanah milik Mas Kandar pri­ badi. Memang Mas Kandar pernah bermaksud hendak me­ ngambilalih tanah itu untuk menjadi miliknya pribadi, tapi belum pernah terjadi.” “Tapi Jeng Retno punya surat wasiat dari Pak Iskandar yang menyatakan tanah itu diberikan kepada Mayang.” “Saya yakin itu akal­akalan Retno. Kalau benar surat itu ditandatangani oleh Mas Kandar, saya yakin juga Mas Kandar melakukan itu karena tidak sadar. Omong­omong, berapa harga yang diminta Retno untuk tanah itu?” “Kami belum bicara soal itu.” “Tapi, maaf, boleh saya tahu, bagaimana asal­usulnya Mbak Retno menawarkan tanah itu kepada Anda?” “Saya tahu dari Pak Dhar, Kombes DB Dharsana…” “O, alah!?” Nia sangat kaget. “Persoalannya jadi terbuka.” “Kenapa? Ada apa?” 382 Remy Sylado “Maaf, ini memang urusan keluarga. Tapi sebaiknya Anda tahu juga. Ini pasti ada hubungannya dengan cerita 20 tahun lalu, ketika saya masih kecil.” “?” Winata tak berkata. Hanya keningnya tampak berkerut. “Sartana tidak bisa membayar utangnya kepada Mangun­ kusuma, lantas menyerahkan tanah beserta surat­suratnya kepada Mangunkusuma.” “Saya tidak mengerti. Siapa nama­nama yang Anda sebut itu?” “Sartana itu ayah Dharsana, Mangunkusuma itu ayah kami.” “O!” Winata mengangguk­angguk. ”Tiba­tiba saya membaca sesuatu yang tidak wajar.” kata Nia mengangguk­angguk pula. “Pasti ada udang di balik batu.” Winata tidak menanggapi. Kalau dia mesti mengingat­ingat kata­kata Dharsana, yang paling terekam dalam ingatannya hanyalah pernyataan Dharsana tentang Iskandar sebagai: “ka­ wan sekaligus lawan”. Jadi, apakah yang dikatakan oleh Nia sebagai “udang di balik batu” itu patut ditafsir buruk? Masih tersedia waktu untuk membuktikan udang apa yang ada di balik batu… www.bacaan-indo.blogspot.com *** 383 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 71 SURAT faks dari Winata kepada Jeng Retno masih ada di mesinnya sampai tiga hari. Jeng Retno baru membacanya se­ pulangnya dari Magelang. Demi membaca surat itu, Jeng Retno langsung mengang­ kat telefon, menghubungi Dharsana. Yang disebut ini sedang duduk di rumah kopi dalam hotel berbintang dekat gedung DPRRI. Kata Jeng Retno di telefonnya, “Pak Winata bertanya soal surat girik.” “Ya?” “Aku tidak berhasil menemukannya. I couldn’t find it.” “Ah, mosok sih?” “It is true, darling, ora ono, Mas.” “Ya, sudah.” “Ya sudah, piye?” 384 www.bacaan-indo.blogspot.com “Tidak usah kuatir. Nanti aku bicara langsung dengan Pak Winata.” “Itu bagus.” Dharsana memutus hubungan telefonnya dengan Jeng Retno, lalu ganti menghubungi Winata pada nomer khususnya: nomer yang hanya beberapa orang saja memilikinya. “Hallo,” jawab Winata. “Pak Winata, saya Dharsana.” “O, ya, bagaimana, Pak Dhar?” “Soal tanah di Jepara itu bagaimana, Pak?” “O, ya, tiga hari lalu saya sudah mendapat jawabannya.” “O, ya? Alhamdulillah, terimakasih sebesar­besarnya.” “Tapi, Pak, jawaban yang saya maksudkan ini: membuat saya jadi pesimis.” “Apa?” “Ya, Pak Dhar, jawaban itu membuat saya pesimis.” “Jawaban apa itu? Jawaban dari siapa?” “Ya, begitulah, Pak Dhar, sesudah mendapat jawaban itu, saya merasa menyesal: belum berani melanjutkan gagasan kita.” “Lo, lo, lo! Tunggu. Tunggu dulu. Pak Winata bicara apa ini? Retno baru saja menelefon saya. Katanya Pak Winata ber­ tanya soal surat girik itu.” “Ya, memang betul. Tiga hari lalu saya mengirim faks kepada Jeng Retno, bertanya soal surat girik itu. Tapi pada hari itu juga saya sudah mendapat jawabannya, bukan dari Jeng Retno, tapi dari orang lain.” “Orang lain? Siapa orang itu? Pak Winata jangan percaya pada omongan orang lain dong. Percaya saya. Saya lebih tahu. Saya jamin.” “Ya, saya percaya Pak Dhar. Tapi saya bingung juga. Orang yang saya sebut ini juga meyakinkan. Saya percaya juga pada dia.” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Siapa orang itu? Siapa?” “Orang yang tiba­tiba muncul sebagai malaikat.” “Apa? Orang yang tiba­tiba muncul sebagai malaikat? Siapa orang itu?” “Saya tidak perlu sebut namanya. Yang penting, menurut saya, dia itu seperti malaikat, datang mengingatkan saya de­ ngan bicaranya yang benar.” “Ah, Pak Winata bercanda. Siapa pula yang tiba­tiba mun­ cul sebagai malaikat—malaikat bopengan—yang bicara benar. Bicara benar bagaimana?” “Dia bilang surat girik itu ada di tangan adik perempuan Pak Iskandar yang di Amerika.” “Mustahil!” “Informasinya begitu, Pak Dhar.” “Informasinya? Informasi bagaimana?” “Ya, Pak Dhar, kata dia, dulu maunya Pak Iskandar meng­ ambilalih pemilikan tanah yang diwariskan orangtua mereka kepada empat anak, menjadi milik pribadi Pak Iskandar dengan jalan membayar bagian­bagian kepada adik­adiknya, tapi adik Pak Iskandar yang di Amerika, yang juga punya uang banyak, tidak setuju.” “Tidak mungkin. Saya lebih tahu. Seperti saya bilang, tanah itu asalnya milik Sartana ayah saya, yang dijual kepada Mangunkusuma ayah Kandar.” “Ya, dia juga bilang begitu. Kata dia, tanah itu dijual sebab Bapak Sartana bangkrut, tidak bisa membayar utang kepada Bapak Mangunkusuma.” “Iblis!” “Maaf, Pak Dhar.” “Lupakan.” “Saya kira, begitu lebih baik.” “Bukan. Maksud saya, yang Pak Winata lihat sebagai ma­ salah, itu bisa diselesaikan. Sekali lagi, percayalah saya. Saya jamin.” 386 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Terimakasih, Pak Dhar. Tapi, memang saya sendiri ke­ hilangan rasa greget. Persoalannya, keadaan krismon sekarang, 2­3 tahun sebelum tahun 2000, membuat saya kewalahan. Kemarin terpaksa saya menyumbang dollar dan emas kepada Menteri Sosial sebab saya diplot untuk melakukan itu.” “Kalau soal itu, keadaannya memang begitu, Pak Winata. Tapi jangan jadikan persoalan itu sebagai alasan untuk meng­ halang gagasan kita.” “Ya, itu benar, Pak Dhar. Tapi masalah gagasan kita, sekali lagi, bergantung pada surat girik itu. Selama surat girik itu menjadi masalah, lebih baik kita tunda saja gagasan kita itu.” “Lo? Kan saya bilang, saya yang menjamin.” “Iya, Pak Dhar, itu bagus. Dalam pada itu, tanpa mengu­ rangi rasa hormat saya, saya minta maaf, harus menemui tamu saya yang sudah menunggu dari tadi. Maaf ya, Pak.” Telefon ditutup. Begitu telefon ditutup, dan terdengar seperti dibanting oleh Winata, Dharsana mengumpat. Dengan umpatannya ini, mulai jelas membuktikan diri Dharsana sebagai seorang yang rasialis, berpangkat kombes tapi bertutur bahasa seperti preman. “Anjing! Dasar Cina! Mencla­mencle!” Soal yang kecil, tapi prinsip, di mata Dharsana bisa berubah menjadi onak duri. Tak lama setelah itu Dharsana menelefon Winata. “Ada yang lupa saya bilang. Cara Pak Winata berubah­ubah ke­ sepakatan, itu seperti anak­anak. Yang namanya anak­anak itu anjing.” Lantas Dharsana menutup telefon dengan cara mem­ banting. James Winata tersentak mendengar pernyataan Dharsana yang sangat kampungan itu. *** 387 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 72 WINATA bingung dan juga kecewa. “Kok Pak Dhar bicara begitu?” Winata tak habis pikir, mengapa persoalan yang baru me­ rupakan rencana sudah dikatakan Dharsana sebagai kesepa­ katan. “Kan belum ada perjanjian apa­apa?” Lama dia terbawa dalam pikiran tidak enak. Tapi dia mulai yakin, jangan­jangan ada hal lain di balik ngototnya Dharsana untuk membeli tanah di Jepara itu, yang sengaja tidak dikatakannya. “Coba aku tanya Nia.” Dia angkat telefon, menghubungi Kurniati. Adik kandung Iskandar ini baru siap­siap akan mandi, membuka baju, lalu memutar kran air semprot. Begitu men­ dengar dering telefon, buru­buru dia mengambil handuk, me­ 388 nutup tubuhnya dari payudara sampai paha, lantas berlari ke meja telefon, mengangkatnya. “Ya, hallo. Siapa nih?” “Saya James Winata. Apa bisa bicara dengan Mbak Nia?” “O, ya, saya sendiri. Kenapa, Pak Winata?” “Ada hal mengganjel, soal tanah di Jepara itu, yang saya harap Mbak Nia bisa bantu saya.” “Kenapa? Bapak masih tertarik untuk membeli?” “Justru karena tidak, maka saya dikata­katai oleh Pak Dharsana.” “Begitu? Lantas bagaimana?” “Maksud saya, kalau Mbak tidak repot, apa kita bisa ber­ temu malam ini sekadar omong­omong saja.” “Boleh.” “Bagaimana kalau kita makanmalam di Bruschetta, lantai tiga Hotel Borobudur?” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Setelah reservasi, Winata menunggu Nia di restoran Italia depan Lapangan Banteng ini, lalu menyatakan uneg­unegnya. “Saya heran, Dharsana itu seperti memaksa saya membeli tanah itu. Padahal itu bukan tanah miliknya.” “Apa Pak Winata bilang: Bapak mengetahui itu dari saya?” “Saya tidak bilang.” “Ah, kalaupun Pak Winata bilang juga: tidak apa­apa.” “Nah, yang ingin saya tanyakan pada Mbak Nia, kenapa dia begitu bersemangat memaksa saya?” “Pasti dia membayangkan keuntungan di situ.” “Keuntungan di mana?” “Saya yakin dia termakan pada omongan masyarakat nela­ yan sekitar situ pada tahun­tahun belakangan ini, yang me­ ngatakan di salahsatu lokasi tanah itu ada dua pusaka sakti milik Ratu Kalinyamat warisan zaman Prabu Brawijaya yang www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dipendam di sana.” “Pusaka sakti?” “Ya, dua bilah keris, yang konon kalau dihargakan dengan uang sekarang bisa triliunan rupiah.” “Apa?” “Ya, itu cerita lama yang makin populer tahun­tahun ter­ akhir ini di saat Indonesia nonggeng akibat krisis moneter.” “Kalau masyarakat sendiri tahu cerita itu, kenapa mereka tidak yang menggali?” “Justru itu, tahayulnya, yang dipercaya juga oleh Dharsana, bahwa pusaka itu tidak akan ditemukan kalau tidak ada restu dari tiga orang perempuan.” “Tiga perempuan? Kenapa perempuan?” “Jangan lupa: Ratu Kalinyamat dipercayai masyarakat Jepara sebagai perempuan cantik, sakti, berkuasa.” “Bagaimana itu?” “Syarat­syarat yang mesti ditempuh: Perempuan pertama harus memberi izin kepada istri putra sulung bahwa tanah itu diwariskan kepada anak perempuannya yang pertama.” “Saya tidak mengerti.” “Yang dimaksud dengan perempuan pertama itu adalah ibukandung Mas Kandar, yaitu ibukandung kami: saya dan dua kakak saya. Lalu, yang dimaksudkan dengan istri dari putra sulung adalah ibukandung Mayang. Dan anak perempuan yang pertama dari Mas Kandar adalah Mayang.” “Itu sudah dilakukan.” “Tidak mungkin.” “Tapi ada wasiat yang dibuat Pak Iskandar buat Mayang.” “Ya, tapi tidak ada surat izin dari ibukandung kami kepada istri Mas Kandar.” “Setahu saya itu pun sudah diberikan kepada Jeng Retno.” “Tidak bisa. Biarpun Retno melahirkan Mayang, artinya 390 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado dia memberikan anak kepada Mas Kandar, dia tidak bisa ber­ tindak seenaknya begitu. Sudah menjadi kesepakatan keluarga bahwa istri Mas Kandar harus mendapat izin dari ibukandung kami.” “Apa tidak cukup Jeng Retno sebagai istri sah Pak Kandar?” “Keluarga kami tidak pernah percaya padanya. Dia disa­ makan sebagai wanita tamasya: tante maniak seks yang am­ bisius.” “Bagaimana bisa?” “Bisa saja. Retno itu tadinya sekretarisnya Mas Kandar di bank. Mas Kandar dirayu demikian rupa sampai Mas Kandar kepincut. Mas Kandar mengirim Retno ke Amerika untuk mengambil MBA sebagai istri keduanya. Nggak tahunya di Amerika Retno bikin affair dengan dua anggota staf kedubes RI. Ketika berada di Amerika itu istri Mas Kandar yang hamil tua, meninggal mendadak. Keluarga curiga, istri Mas Kandar itu disantet atas suruhan Retno. Sampai sekarang memang tidak ada bukti. Yang jelas terbukti, Retno mengambilalih kedudukan istri, melahirkan Mayang, lantas hidup jor­joran, memerangkap Mas Kandar ke dalam tuduhan korupsi.” Winata menggeleng­geleng kepala, “Rumit sekali,” kata­ nya. “Itulah hidup,” kata Nia. “Retno pintar membikin lakilaki menjadi tawanan nafsunya.” “Omong­omong, pusaka apa yang disebut ada di tanah itu?” “Dua bilah keris, kedua­duanya luk telulas, masing­masing kembaran dari zaman Prabu Bayupakso dan kembaran dari zaman Prabu Brawijaya.” “Wah, saya tidak mengerti. Apa itu?” “Yang pertama, keris zaman Prabu Bayupakso, usianya 391 Hotel Pro deo tua sekali, yaitu lekuk tigabelas, dibuat oleh Mpu Janggita pada tahun Saka 418, atau tahun Masehi 496. Sedang keris yang kedua, dari zaman Prabu Brawijaya sekitar tahun 1450 Masehi. Keris yang kedua dianggap amat sangat sakti sebab dalam kepercayaan Jawa dihubungkan dengan Nabi Muhammad sallalahu alaihi wassalam.” “Hebat sekali. Apa betul begitu?” “Itu kepercayaan Jawa.” “Bagaimana bisa keris yang Jawa dikatakan milik Nabi Muhammad?” “Oh? Pak Winata mengerti juga. Ya, memang benar. Cerita­ nya, sebelum menjadi keris, konon itu berasal dari tumbak, atau bahasa Jawanya: ‘cis’, yang diberikan Nabi Muhammad kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel menyuruh Ki Supo mem­ buat ‘cis’ itu menjadi pisau untuk memotong ayam. Tapi Ki Supo membuatnya jadi keris.” “Hebat sekali.” “Itu cerita yang berkembang. Dan Dharsana percaya se­ kali.” “Bisa dimengerti.” “Tidak. Itu isapan jempol Dharsana yang melibatkan Retno.” “Kalau ternyata pusaka itu benar ada?” “Wah, keluarga kami tidak perlu takut pada krisis moneter sekarang dan kapanpun.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 392 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 73 SEKARANG yang mengganjel pikiran Winata adalah kata­kata marah Dharsana di telefon. Dia berpikir, harus ada inisiatif dari dirinya untuk bicara baik­baik dengan Dharsana. Terusterang dia tidak habis pikir, betapa Dharsana yang perwira bicara kasar begitu. Lebih kena dikatakan, dia berpikir­ pikir prihatin, bahwa ternyata Dharsana seorang perwira yang punya masalah dengan temperamennya. Sejauh ini dia belum lagi mengetahui, bahwa di balik semua sisi negatif Dharsana, yang paling menyolok tapi sekaligus tersembunyi adalah: Dhar­ sana seorang rasis yang gemblung, seorang anti Cina yang degil. Sebelum menghubungi Dharsana, Winata merasa perlu sebuah jembatan untuk mengantarnya ke tujuan. Yang dipikir­ kannya: Ibu Intan. Oleh sebab itu, di lepas magrib, ketika hujan mengguyur 393 Hotel Pro deo Jakarta sehingga beberapa tempat tergenang air setinggi lutut, dan menyebabkan jalan­jalan macet, di dalam mobilnya yang tersumbat di depan Gedung Kartini, Jl. Gatot Subroto, Winata menelefon Ibu Intan. Hutami mengangkat telefon di rumah kayu­papan. “Ya, hallo, ini rumah Ibu Intan,” katanya. “Mau bicara de­ ngan siapa? Kalau mau bicara dengan Bapak, Bapak tidak ada.” “Oh, ya,” sahut Winata lega. “Kalau Ibu tidak keberatan, saya James Winata, ingin bicara dengan Ibu.” “Sebentar, Pak,” kata Hutami, langsung menemui Ibu Intan di kamar. “Bu, Pak James mau bicara.” Ibu Intan mengelak. “Ah, bilang saja Bapak tidak ada.” “Dia mau bicara sama Ibu, bukan Bapak.” Kerung di wajah Ibu Intan seakan tak yakin, tapi segera dia berdiri juga, ke meja telefon. “Ya, hallo, saya Ibu Intan,” kata yang empunya nama. “Maaf, Bu, mengganggu waktu Ibu,” kata Winata dengan sopansantun khas Jakarta. “Tidak, tidak,” kata Ibu Intan dengan basabasi khas Indo­ nesia. “Ada apa, Pak Winata?” “Begini, Bu, kalau Ibu tidak keberatan saya ingin omong­ omong dengan Ibu.” “Boleh. Kapan?” “Kalau besok bagaimana, Bu?” “Oke.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Mereka bertemu di restoran Jepang: Sumibian, lantai 25 Chase Plaza, sembari makanmalam di situ. “Saya jadi tidak enak, Bu,” kata Winata memulai percaka­ pannya sehabis santap bersama. “Kami baru bergagas­gagas untuk sebuah bisnis pariwisata di Jepara, tapi belum tuntas masalahnya Pak Dhar sudah marah­marah, memaki, memaksa 394 Remy Sylado untuk membeli tanah yang ternyata bukan miliknya.” “Dia memang biasa bertindak curang,” kata Ibu Intan, dingin, tanpa perubahan airmuka. “Sekarang bagaimana caranya saya menerangkan dengan tidak membuat Pak Dhar marah­marah begitu, bahwa dalam berbisnis kita tidak melakukannya seperti membalik telapak tangan.” “Anda harus ajar dia soal itu,” kata Ibu Intan. “Bicara saja langsung. Saya sudah lama tidak bicara dengan dia. Seperti pernah saya bilang, saya ingin cerai dengan dia. Bukan hanya ingin, tapi juga mau, dan harus.” Winata mengangguk maklum. “Ya, ya, ya,” katanya me­ nyerap kekecewaan Ibu Intan itu. “Maaf, saya merepotkan Ibu.” “Tidak,” kata Ibu Intan. “Tidak apa­apa. Saya memang mesti mengatakan itu, sebab saya yakin hati saya tidak akan berubah, walaupun bumi kiamat dan hanya tinggal dua manusia yang hidup di atasnya.” Winata trenyuh. “Saya mengerti,” katanya. “Makanya, Pak Winata, kalau boleh saya berpendapat, bukan nasehat, sudahlah antepin saja dia. Tidak usah pusing mikirin dia. Dia bedegong. Dia tidak pernah belajar bahwa hidup yang getir harus diatasi, bukan dialami. Lawan bukan harus dijauhi tapi harusnya didekati.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Kata­kata Ibu Intan mempengaruhi pikiran Winata. Dia pikir­pikir di sepanjang jalan pulangnya ke rumah, bahwa kata­ kata Ibu Intan itu ada sisi terangnya. Maka, sebelum tiba di rumahnya—disambut oleh istri dan kedua anaknya—selagi mobil yang distir sopirnya meluncur pelan karena hujan lebat di malam hari, Winata menghubungi Dharsana lewat telefon, memulai percakapan dengan kata­kata bagus, kata­kata santun, kata­kata persahabatan, dan kata­kata 395 www.bacaan-indo.blogspot.com berpengharapan namun menggantung. Mereka sepakat bertemu besok siang di restoran yang lain, bukan di hotel atau plaza, tapi di Jl. Wijaya, di Pand’Or. “Saya minta maaf lo, Pak Dhar, sebab kesalahpahaman yang harusnya tidak terjadi,” kata Winata merendah. “Bukan­ nya saya berubah, hilang gairah untuk meneruskan gagasan kita itu. Percayalah, saya tetap berminat, dan bersama­sama kita harus mengubah yang tiada menjadi ada, meng­gol­kan gagasan kita itu.” “Bagus.” “Cuma, rasanya kita harus mampu menyesuaikan diri de­ ngan sikon.” “Apa maksudnya itu?” “Ya, Pak Dhar, rasanya kita harus menunda sampai situasi politik dan keamanan benar­benar kondusif, dan kondisi mone­ ter juga stabil. Saya harap, mudah­mudahan terjadi perubahan signifikan pada tahun depan ini.” Dharsana cemberut, tapi dia berusaha menunjukkan sikap fleksibel yang mau menerima pikiran Winata. Sementara di pihak Winata, ada bagian diri Dharsana yang diam­diam diselisiknya. Dia mulai cergas memahami perangai Dharsana. Bahwa orang yang gampang marah, jangan dihadapi dengan marah juga. Sebab, bahaya yang sesungguhnya bukan pada orang yang marah­marah, tapi pada orang yang diam. Orang marah dapat diukur hatinya, orang diam tak mudah di­ takar akalnya. Winata belajar, Dharsana tidak. Di situlah bahaya tersembunyi yang sebenarnya. *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 74 KEADAAN Ibu Intan sungguh teruk tak imbang bawaannya, antara kemauan mengatasi masalah di satu pihak, dan ke­ mampuan membiarkan diri dirundung masalah di lain pihak. Untung ada Hutami di rumah kayu­papan ini. Selama ini hanya Hutami seorang yang banyak menghibur Ibu Intan, me­ lempangkan pikiran­pikiran yang kusut, serta membeningkan perasan­perasaan yang muram. Apalagi karena cara bicara Hutami sangat lentong Sunda, semua huruf hidup di akhir kata cenderung dilafal hamzah, dan kesenangannya bicara pakai peribahasa­peribahasa yang terbalik­terbalik, membikin Ibu Intan ketawa senang. Sejauh itu, keputusan Ibu Intan atas teriakan cerai yang sudah pernah diucapnya di rumahnya ini tidak juga berubah. Dia yakin keputusannya itu final. Yang jadi soal: bagaimana caranya? 397 Hotel Pro deo Sore ini, melihat Ibu Intan melamun susah di mejamakan, berkatalah Hutami, “Bu, sudahlah, jangan menyiksa diri. Bubur sudah jadi nasi.” “Hus,” Ibu Intan tertawa. “Terbalik, Mi. Nasi sudah jadi bubur.” “Eh, iya. Maksud saya, kalau sudah jadi bubur, bubuhi saja suwir­suwiran ayam, supaya menjadi bubur ayam, Bu.” Ibu Intan tertawa lagi. “Iya, ya?” “Begini, Bu, saya kok prihatin melihat Ibu. Dulu, waktu Ibu habis menemui rohaniwan­rohaniwan di Rumah Rukun, kelihatannya Ibu bersemangat, sekarang kok tidak lagi?” Ibu Intan tersentak. Dia teringat itu, “Ya, Tuhan!” serunya pelan. “Rasanya kamu benar, Mi.” “Ibu mau ke sana lagi?” “Menurutmu?” “Ya, bagus, Bu. Siapa nyana Ibu mendapat penghiburan, mendapat jalan, mendapat petunjuk. Esa terbilang dua hilang.” “Ah, terbalik lagi, Mi. Esa hilang dua terbilang.” “O, iya.” “Sudah. Kamu ikut Ibu ke Rumah Rukun.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di Rumah Rukun, kembali Aki Iyos yang menemui Ibu Intan, berbicara dengan gaya ceplas­ceplos namun bernas kata­ katanya. Baru saja Ibu Intan duduk di hadapan Aki Iyos, yang empunya nama ini langsung berkata sesuatu yang membuat Ibu Intan terkesima: “Di wajah Ibu saya melihat keinginan untuk berpisah dengan seseorang, Ibu ingin bercerai, kan?” “Bukan lagi keinginan, tapi kemauan,” kata Ibu Intan. “Ya, ya, itu terlihat di aura Ibu. Ibu mendambakan suatu kebebasan dari ikatan. Tahukah Ibu bahwa kebebasan hanyalah 398 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado suatu istilah salah kaprah dari tumpukan anganan yang punya masa valid?” “Entah.” “Percayalah, semua rohaniwan di ruangnya masing­ masing di belakang akan sependapat dengan saya.” “Apakah salah kemauan berpisah?” “Tidak. Semua jalan menuju ke depan adalah juga per­ pisahan, tapi perceraian mendahului kematian di bawah kaca pembesar.” “Saya tidak sanggup hidup di rumah saya sendiri dengan seseorang yang disebut oleh hukum sebagai suami, yang dulu­ nya adalah kekasih tapi sekarang adalah musuh.” “Coba minta nasehat pada keempat rohaniwan di bela­ kang.” Nasehat keempat rohaniwan itu rata­rata padan dan laras, lagi­lagi dengannya menunjukkan bukti bahwa semua agama mengajarkan kebajikan: suatu wacana yang dulu kental di­ ajarkan guru­guru sejak SD, tapi sekarang menjadi encer di­ perburuk oleh waham, prejudis, purbasangka primordial. Tanggapan keempat rohaniwan di ruang masing­masing, soal keinginan cerai Ibu Intan, garis besarnya muradif: lebih baik hidup rukun. Kata Ahmadun, “Rukun agawe santosa. Jangan cerai. Cerai bukan solusi yang mendapat aplaus. Di saat asap melintangi kepala, cerai barangkali bisa menghalau asap itu. Padahal, di dalam asap yang kasatmata masih ada api yang tersembunyi, pelan­pelan, menghanguskan akal sehat. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari sebuah akal sehat yang sudah menyala untuk kemudian hangus? Daripada hangus terbakar, padamkan api dengan air dingin es. Bukankah hati yang sejuk lebih indah, menyenangkan: bila tidur, nyenyak; bila bangun, wajah berseri­ seri.” 399 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Kata Ignatius, “Dalam rangka melepas diri dari kesumpekan, barangkali cerai itu jalan tol menuju kepuasan, rasa kemenang­ an, rasa kemerdekaan. Padahal kepuasan adalah peristiwa yang sementara, seperti lapar dan kenyang siklusnya berganti­ganti, tidak awet. Cerai hanya luapan kesombongan dari kegagalan menilik kesalahan sendiri. Tidak ada tepuk tangan terhadap kegagalan.” Kata Nyoman, “Apakah cerai menyelesaikan masalah? Tidak! Cerai malah mengundang masalah baru: ingatan tentang keindahan yang hilang. Satu­satunya keindahan yang bisa di­ tuturkan manusia dari tiga peristiwa insani antara kelahiran­ perkawinan­kematian, yang bisa dituturkan kepada generasi, adalah keindahan saat menjadi mempelai. Itu keindahan yang tak terlupakan. Maka, kalau ingin rumahtangga tetap utuh, sentosa, damai, ingatlah saat berada di pelaminan, menjadi mempelai, disalami ayah­bunda, kerabat­keluarga, handai­ tolan.” Kata Tan, “Bertahan untuk tidak cerai justru membedakan kemanusiaan dengan kebinatangan. Tantangan kita sebagai manusia justru terletak pada kemampuan melawan emosi cerai, membangun keharmonisan di atas dua perbedaan hati yang saling berkeras. Jangan meniru bintang film: kawin­cerai, kawin­cerai, supaya mendapat publikasi murah dan murahan. Penyakit kawin­cerai itu penyakit binatang. Maka tepatlah ‘bintang’ film diganti ‘binatang’ film.” Nasehat­nasehat para rohaniwan diapresiasi oleh Ibu Intan dengan hati terbuka. Toh dalam hati yang sama tampaknya Ibu Intan kukuh seperti batu karang di tengah samudra. Dia punya alasan pribadi, yang lebih dari teguh, tapi juga konsisten atas pernyataan yang kepalang terlisankan. Katanya, “Saya perempuan. Kodrat jasmani saya lemah. Saya tidak sanggup me­ lawan kekerasan: tampar dan tinju. Maka cerai memang bukan 400 pilihan yang terpuji, tapi setidaknya pilihan yang perlu. Setiap orang toh harus mengalami kegagalan supaya dia bisa belajar tentang keberhasilan.” Keempat rohaniwan itu, di ruangnya masing­masing, da­ lam waktu yang bergiliran, ternyata memiliki juga pemikiran yang kurang­lebih sama: “Kalau persoalannya kekerasan, tam­ par dan tinju, lapor polisi, cari penasehat hukum.” Pendapat yang terakhir ini agaknya yang paling laras dalam pikiran Ibu Intan. “Ya,” katanya sendiri tanpa mengucapkannya. “Demi Tuhan aku akan melakukannya.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Gerangan pendapat Hutami juga diindahkan Ibu Intan. Di atas mobil jip Mercedez putih yang distir sendiri oleh Ibu Intan sepulangnya dari Rumah Rukun pimpinan Aki Iyos di Jl. Kalimalang itu, berkata Hutami kepada Ibu Intan, “Ibu kelihatan capek sekali.” “Iya, Mi, Ibu lebih capek pikiran daripada badan,” kata Ibu Intan. “Nanti sesampai di rumah kamu kerik Ibu ya?” “Ya, Bu.” Di rumah, rumah kayu­papan milik Ibu Intan, Hutami mengerik dengan telaten, walaupun tidak berarti sempurna. Soalnya, kerik merupakan kebiasaan Jawa, sementara Hutami orang Sunda. Sambil mengerik­ngerik, melihat bahwa hasil kerik me­ nunjukkan bekas gurat­garut merah, berkata Hutami sebagai­ mana lazimnya terjadi dalam pekerjaan begini, “Wah, Ibu memang masuk angin, kelewat capek.” “Memang, Tami.” “Tadi itu, waktu Ibu sedang nyetir, sudah kelihatan Ibu masuk angin. Maunya tadi saya yang nyetir…” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Lah, kenapa dong kamu tidak nyetir?” “Iya, kata saya memang mau. Tapi, saya tidak bisa. Sekadar menjalankan, maju, barangkali bisa. Tapi nyetopnya kudu nyari pohon pisang dulu, Bu.” “Lo?” “Iya, Bu, mobilnya ditabrakin ke pohon pisang, berhenti.” “Ah, kamu.” Ibu Intan tertawa. Dia merasa itu lucu. Hutami senang. Dia merasa berhasil menghibur Ibu Intan. Dia terus mengerik­ngerik. Prihatin melihat seluruh punggung Ibu Intan berwarna merah gosong, Hutami berkata mengulang kata­katanya di mobil tadi, “Benar, Bu, Ibu mesti istirahat.” Dan, kembali Ibu Intan pun mengucapkan kata­kata yang sama pula seperti tadi. “Ya, Tami.” “Maksud saya, Ibu bukan istirahat di sini…” “Lantas?” “Di sini, di dalam rumah ini Ibu tertekan.” “Tapi ini kan rumah Ibu, Mi.” “Maksud saya, Ibu menghindar sebentar dari kepenatan Jakarta yang panas, ke tempat sejuk di Puncak, Cipanas, Cimacan, atau mana kek.” “Ibu memang punya Vila di Cimacan: Villa La Joli.” “Ya, sudah, kita ke Cimacan, Bu.” “Maunya memang begitu, Mi.” “Kalau begitu, ayo, Bu.” “Nanti siapa yang ngurusi tanaman­tanaman Ibu di sini, menyiramnya, lalu ngasih makan ikan­ikan di kolam, burung beo dan burung­burung perkutut di kandangnya masing­ masing?” “Yang beli burung beo, ikan lohan, dan perkutut­perkutut itu kan Bapak, Bu. Jadi, biar saja Bapak yang ngurusin itu. Saya ikut Ibu ke Cimacan, ngurusin Ibu di sana.” 402 Remy Sylado Ibu Intan tersenyum. Dia menimbang­nimbang. Akhirnya dia menyetujui ide Hutami itu. “Tapi panggil Ujang ke sini,” kata Ibu Intan. “Ya, Bu.” Hutami memanggil Ujang, jongos yang mengurusi bagian khusus rumah kayu­papan, orang sekampunghalamannya Hutami. “Begini, Jang, dengar baik­baik,” kata Ibu Intan. “Ibu mau pergi ke luar kota.” “Ya, Bu.” “Jaga rumah baik­baik ya.” “‘Ya, Bu.” “Jangan masukkan orang ke rumah ini kalau kamu tidak kenal.” “Ya, Bu.” “Kalau Bapak tanya, bilang saja kamu tidak tahu. Bapak juga sudah tidak pulang­pulang. Orang yang lupa pulang, lupa juga pada tanggungjawab.” “Ya, Bu. Apa Ibu mau pergi mencari Bapak?” “Ah, tidak sudi. Domba yang sesat boleh dicari, tapi ular yang lepas biar saja lari.” “Ya, Bu. Saya mengerti.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 403 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 75 IBU Intan berangkat ke selatan, memacu kencang mobil jip Mercedez di atas jalan tol Jagorawi. Sekeluar dari jalan tol, memasuki jalan­provinsi di Ciawi ke Cisarua, jalanan me­ nyempit karena ada beberapa truk dan bus berisi mahasiswa­ mahasiswa Bandung yang hendak ke Jakarta, bergabung dengan mahasiswa­mahasiswa lain yang akan turun ke Senayan men­ desak DPR­MPR memakzulkan Bapak Pembangunan, sosok pemimpin Orde Baru yang dituduh bertanggungjawab atas pelanggaran HAM: mulai dari pembantaian anggota PKI pada 1960­an, pembunuhan misterius pada 1980­an, kasus Tanjung Priok dan DOM di Aceh dan Papua pada 1980­an, dan peristiwa 27 Juli 1996. Ibu Intan menembusi jalanan yang macet itu dengan gesit dan tangkas, termasuk di tikungan­tikungan tajam yang mendaki di tanah perkebunan teh menuju ke Puncak Pas. 404 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Sesekali Hutami yang duduk di depan, di sebelah Ibu Intan, menjerit ngeri sambil menutup mata, dan menumbuk­ numbuk dada yang dag­dig­dug. “Aduh, Ibu, meuni edun­suradun kitu nganyetirna,” kata Hutami menarik nafas dan menghembusnya. “Nepi ka sieun kieu saya teh, Bu. Asa rek kiamat.” Ibu Intan tertawa. “Kamu omong apa sih, Mi?” “Iya, Bu, saya takut celaka,” kata Hutami. “Ibu nyetirnya seperti pembalap.” “Kita harus cepat sampai di Cimacan, sebelum sore, supaya bisa istirahat,” kata Ibu Intan. Mereka tiba di tujuan ketika matahari telah hilang di balik gunung. Mang Iking, yang menjaga Vila Ibu Intan di Cimacan ini, segera sibuk memasang seprai, memasang pompa air un­ tuk mengisi bak penampung, dan selanjutnya jika nanti Ibu Intan ingin mandi air panas, tinggal memasang gasnya di kamarmandi. Beda dengan rumah di Jakarta yang dominan kayu­papan, vila di Cimacan ini dibangun dari bata­bata yang tidak diplester semen, seperti rumah­rumah khas Belanda di Nederland. Vila Ibu Intan ini memang rumah tua terawat, bekas milik orang Belanda, yang dibeli Ibu Intan sebelum dia menjadi istri Dharsana. Dharsana sendiri tidak pernah tahu, karena me­ mang Ibu Intan tidak pernah mengatakan tentang Villa La Joli miliknya. Jadi, kalaupun Dharsana besok mencari Ibu Intan di ru­ mah kayu­papan—tapi memang Dharsana tidak pulang ke rumah, sebab Dharsana berada di sebuah rumah yang lain untuk suatu perbuatan kejahatan kemanusiaan—dia tidak bertemu Ibu Intan, dan dia tidak tahu Ibu Intan berada jauh di daerah sejuk Cimacan. 405 www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hari ini, ketika Ibu Intan dan Hutami berangkat ke Cimacan, keadaan Jakarta benar­benar seperti ketel yang men­ didih. Besoknya terjadi huruhara Mai 1998 dengan cerita lisan yang bakal dituturkan dari mulut ke mulut sepanjang hayat bahwa itu adalah peristiwa anti Cina yang kedua berlangsung di kota bekas Batavia setelah 1740. Ibu Intan menyaksikan lewat TV: peristiwa yang dengan sendirinya telah mempermalukan Indonesia di seluruh dunia. Selama ini bangsa Indonesia rajin memperkenalkan diri sebagai bangsa paling ramah di dunia, tapi ternyata melalui peristiwa Mai ini sertamerta timbul cap baru: bangsa primitif, bangsa penjarah, bangsa pemerkosa, serta bangsa yang sibuk menghafal bunyi ayat Pancasila peri “Tuhan Yang Maha Esa”—dengan membalikkan ejaan “Tu­Han” menjadi “Han­Tu”—sebagai “Hantu Yang Maha Mendua”. Sungguh tak terhibur perasaan Ibu Intan menyaksikan tayangan TV atas peristiwa Mai itu. Apakah ada orang yang bermain di belakang layar? Selintas pertanyaan ini muncul dalam pikiran Ibu Intan menyaksikan peristiwa itu. Entah. Ibu Intan tak tahu. Soalnya sejarah sedang berlangsung. Yang dia ketahui, sejarah yang sudah berlalu, sejarah yang pernah dia baca, bahwa dulu pada 1740 dalang pembantaian Cina di Batavia adalah gubernur Jendral Adriaan Valckenier. Sekarang, anti Cina anno 1998 yang ditayangkan TV­TV tetap tertutup siapa dalangnya: entah ditutup entah ditutup­tutupi. Bagi Ibu Intan, perginya meninggalkan Jakarta pada sehari sebelum tragedi itu membuatnya lega. “Untung kita cepat meninggalkan Jakarta, Mi,” kata Ibu Intan kepada Hutami yang duduk di sebelahnya memijat­mijat kakinya. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya, Bu, untung tak dapat ditolak, malang tak dapat diraih,” sahut Hutami. “Hah!” Ibu Intan ketawa, memegang kepala Hutami. “Terbalik, Mi. Harusnya: untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kamu salah melulu menghafal peribahasa.” “Eh, iya. Salah karena berani, benar karena takut.” Ibu Intan ketawa lagi. “Nah, nah, keliru lagi tuh. “ “O, iya? Terbalik lagi ya, Bu?” “Ya. Harusnya: berani karena benar, takut karena salah.” “Ya, Bu. Itu seperti mereka, yang di TV itu, jelas­jelas merusak, membakar, menjarah, itu salah, tapi mereka tidak malu…” Sebegitunya, masih ada juga hal­hal dan bagian­bagian dalam peristiwa itu yang tidak terekam kamera TV, sehingga dengan sendirinya tidak diketahui pemirsa­pemirsa TV di rumah: khususnya di sini Ibu Intan. Ketika boleh dibilang Ibu Intan tidak mengetahui bagian­ bagian peristiwa yang tidak terekam oleh kamera TV, maka boleh dibilang Dharsana sangat mengetahui rinciannya… Tapi Ibu Intan tidak peduli. Dia tidak peduli apa yang di­ ketahui Dharsana, sebab lebih mengakar di dalam hatinya: dia tidak peduli pada Dharsana. Betapapun keputusan hatinya sudah final untuk harus bercerai dengan Dharsana. Tidak ada lagi maaf kepada Dharsana setelah suaminya ini menamparnya dan meninjunya. Langkah selanjutnya, tinggal menunggu waktu, untuk mempersoalkan Dharsana lewat hukum. Pemeo yang sudah klise, dan sembarang orang bisa mengucapnya, adalah: Indonesia negara hukum. Kalau begitu, apakah Ibu Intan mengabaikan nasehat para rohaniwan di Rumah Rukun yang menyarankannya jangan cerai? Kelihatannya Ibu Intan sangat bisa mengapresiasi nasehat 407 Hotel Pro deo keempat rohaniwan di Rumah Rukun itu. Tapi ketika dia ber­ sikukuh pada keputusan hatinya, seraya menganggap yang bergaung: di dalam hatinya itu adalah sejati suara nurani— bahwa dia harus cerai dengan Dharsana—maka dengan begitu dia telah berkata dengan mantap pada dirinya sendiri, “Hatiku adalah surgaku.” Sementara, lebih baik rasanya dia bersejuk­sejuk dan ber­ tenang­tenang dulu di daerah pegunungan sejuk di kabupaten Cianjur ini. Nanti, kalau dia merasa sudah tenang, entah kapan tepat­ nya, dia akan menemui polisi untuk melaporkan kekerasan suaminya, lalu mencari penasehat hukum—syukur­syukur pe­ rempuan: yang cendekia—untuk menangani perkaranya di mejahijau. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 408 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 76 MALAM berikutnya Ibu Intan duduk membebat kaki dengan selimut di depan tungku pemanas ruang, menunggu kantuk datang. Vilanya ini bangunan lama, tidak menggunakan heater listrik seperti bangunan­bangunan baru. Apabila baranya mulai menjadi abu, Hutami menaruh lagi kayu­kayu bakar untuk me­ nyalakannya, lantas duduk di bawah sofa, mengurut­urut kaki Ibu Intan. Sunyi dan dingin di atas pegunungan pada malam yang belum terlalu larut ini cukup membuat perasaan seperti terasing dan hambar. Namun, sudah menjadi bagian dari jalannya waktu, bahwa di saat seperti ini terjalin saling pengertian yang lebih rodong antara majikan dengan pembantu. 409 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Mulanya Hutami bicara karena prihatin melihat Ibu Intan hidup tersulitkan seperti ini, dan dia bertanya sekadar me­ nyambung­nyambung kata supaya malam yang sepi lagi dingin ini bisa hangat oleh perasaan peduli. “Bu, kenapa Ibu tidak bawa saja saudara­saudara Ibu ke rumah kayu­papan supaya tidak suwung. Rumah itu kan besar, Bu.” Ibu Intan tersenyum kosong, memandang wajah Hutami di bawah kakinya, lantas berkata dengan ketulusan yang susah. “Itulah sedihnya Ibu ini, Mi. Ibu tidak punya saudara…” Hutami kaget, merasa aneh, tak masuk pernyataan Ibu Intan itu ke dalam pikirannya. “Ah, kok bisa, Bu?” katanya, tak percaya. “Ya, Tami,” sahut Ibu Intan. “Saya ini orang paling langka di dunia. Ayah saya anak tunggal, ibu saya anak tunggal, saya anak tunggal, dan seandainya Marc masih hidup dia pun juga anak tunggal. Jadi, memang saya tidak punya saudara­saudara. Baik ayah maupun ibu sama­sama sudah meninggal.” Hutami bengong memandang Ibu Intan. “Sebatang pinang, Bu?” “Hus. Terbalik lagi peribahasamu, kalau ‘sebatang’ itu ‘sebatang kara’, tapi kalau ‘pinang’ itu ‘pinang sebatang’.” “Oh? Pabalieut.” “Benar, Mi. Saya ini memang ‘pinang sebatang’. Sekarang kamulah satu­satunya saudara Ibu. Makanya, kalau terjadi apa­ apa atas diri saya, saya percayakan semuanya kepada kamu.” Hutami kelihatan ketakutan. “Ah, Ibu!” serunya mengelak diri. “Jangan omong gitu dong, Bu. Saya jadi takut.” “Tidak, Mi. Yang namanya umur itu kan semua di tangan Tuhan. Ada orang yang baru lahir langsung meninggal, ada juga orang yang bisa hidup sampai 969 tahun…” Hutami nanap. Tanyanya lugu, “Memangnya ada manusia yang bisa hidup sampai setua itu, Bu?” 410 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya, Mi, ada.” “Di mana?” “Itu dicatat dalam kitabsuci Nasrani bahasa Prancis, Gene­ sis, namanya Methuschelah.”1 “Eleh, eleh, meuni hebring gitu? Disebut apa orang yang bisa sampai lebih 900 tahun? Orang yang belum 100 tahun saja sudah dibilang ‘tua bangka’. Nah, kalau 900 tahun lebih harus dibilang ‘tua Bangka Belitung’…” Ibu Intan tersenyum pahit. Katanya, “Saya sendiri tidak berani membayang bisa hidup sampai 100 tahun. Maksud Ibu begini, Mi, sekarang ini cuma kamu satu­satunya yang Ibu andalkan. Ibu sudah menganggap kamu sebagai saudara Ibu sendiri. Makanya, kamu tidak usah sungkan­sungkan. Kalau kamu mau bawa anakmu tinggal bersama Ibu, Ibu senang.” “Nanti Bapak marah, Bu.” “Dia tidak punya hak. Sebentar lagi, kalau keadaan ber­ ubah—dan nyatanya keadaan memang sedang berubah—dan saya dapat pengacara yang tepat, saya menuntut cerai dengan dia.” “Ya, Bu. Itu peribahasanya ‘mengati sama berat, mengukur sama panjang’.” “Betul sekali,” kata Ibu Intan tertawa, “Tumben hafalanmu tidak terbalik.” Lalu, “Omong­omong kenapa kamu senang se­ kali menghafal­hafal peribahasa?” “Ini kebiasan dulu, Bu, waktu saya jadi TKW di Korea, majikan saya orang Korea tertarik pada peribahasa Indonesia, jadi saya beli bukunya lantas saya menghafal­hafalnya. Tapi, ya, Bu, berhubung IQ saya jongkok, saya sulit menghafal dengan semestinya.” Lalu, “Terus Ibu sendiri kok bisa hafal sekali pe­ ribahasa­peribahasa kita?” 1 Tous les jours de Methuschelah furent ne neuf cent soixante neuf ans, puis il mourut—Maka usia Methuschelah mencapai sembilan ratus enam puluh sembilan tahun, lantas ia mati. 411 www.bacaan-indo.blogspot.com “Ceritanya hampir sama seperti kamu, Mi.” Ibu Intan mengenang masa remajanya di negeri orang. Hutami mendengarkan sambil terus memijat­mijat kaki Ibu Intan. “Itu dimulai waktu saya masih setingkat SMA di Paris. Ayah saya Atase Kebudayaan di Kedutaan Indonesia di Prancis yang dengan sendirinya punya banyak kenalan di jajaran oto­ ritas. Salah seorang di antaranya André Margaux, sepuluh ta­ hun lebih tua dari saya, yang kemudian menjadi suami saya. Lucunya disiplin ilmunya di bidang politik, dan lulus cum laude dari universitas paling terkenal di Prancis, di 47 Rue des Ecoles, tapi dia menaruh perhatian yang besar terhadap sastra lama Melayu. Saya selalu bilang padanya: mestinya dia jadi filolog, bukan diplomat. Tapi itulah asalnya, dimulai dari interes suami saya pada sastra lama Melayu yang banyak bertanya­tanya pada saya, maka saya menjadi intens menghafal peribahasa­ peribahasa kita. Saya menjadi gurunya. Oh, itu sudah berlalu 20 tahun lebih dari sekarang…” Ibu Intan terjeda. Matanya berkaca­kaca. Dia terkenang masa lampau yang takkan mungkin kembali lagi. Selalu, masa lampau menjadi ingatan yang indah. Ibu Intan mengusap mata. Basah di mata berpindah di ujung telunjuknya. Dia kedip­kedip. “Kayaknya saya sudah mengantuk, Mi,” katanya. “Baru jam 20.00, Bu,” kata Hutami. “Kali ini saya tidak mau dijajah oleh jam.” “Selamat tidur, Bu.” *** Sebelum tidur, telefon selular Ibu Intan berbunyi. Terlihat di situ nama orang yang menelefonnya: Rachmat Wirjono. Remy Sylado “Ya, Mas, selamat malam,” kata Ibu Intan. “Ada apa, Mas?” “Mbakyu ada di mana?” tanya Rachmat. “Saya tidak di Jakarta, Mas,” jawab Ibu Intan. “Oh, bagus,” kata Rachmat. “Saya cuma ingin tahu saja kok. Saya kuatir Dharsana berbuat jahat juga pada Mbakyu me­ manfaatkan situasi saat ini.” “Memangnya bagaimana, Mas?” “Ya, saya curiga dia akan melakukan itu pada orang yang dibencinya. Saya terpaksa mengawasi dia.” Pernyataan Rachmat Wirjono selintas tidak istimewa sam­ pai akhirnya suatu waktu nanti jika ada umur panjang, justru James Winata mesti bersyukur... www.bacaan-indo.blogspot.com *** 413 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 77 DI mana Dharsana pada sehari sebelum terjadi peristiwa Mai 1998 yang keji itu? Manakala Ibu Intan meluncur ke Cimacan, Dharsana ber­ ada di rumah kosong daerah Jakarta Selatan merancang ke­ kejian. Di situ dia duduk di bawah lampu 5 wat, dikelilingi semua begundal yang manut kepadanya: Todung, Bon Jovi, dan bajingan lainnya, termasuk Anto Irawan, serta sopir Dharsana, Lukman, yang bagi para saleh dipercaya: sepak­terjangnya se­ mua dicatat oleh malaikat untuk nanti diminta pertanggung­ jawabannya di akhirat. Dharsana merupakan bagian dari kekejian Mai itu. Dalam omongannya kepada begundal­begundal berambut cepak, ke­ tika memberi perintah tindakan keji itu, terlihat nyata betapa dia adalah seorang rasialis asli, seorang yang sangat anti Cina. 414 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Kata Dharsana dengan suara degup­degup seperti ombak dan desis­desis seperti ular, “Ini gerakan yang sangat rahasia. Kalian semua dipercayakan untuk melaksanakan gerakan raha­ sia ini di wilayah timur. Tugas rahasia kalian adalah membasmi Cina, memprovokasi masyarakat untuk menjarah toko­tokonya lalu membakar. Kebijakan untuk menghancurkan Cina di Ja­ karta ini merupakan keputusan politik. Mengerti?” “Siap!” “Secara khusus saya ingin kalian menghabisi James Winata. Bakar kantornya. Perkosa istrinya. Dia itu contoh Ci­ na bajingan paling benalu. Setelah dia, sikat semua Cina di sekitarnya. Orang Cina tidak bisa dipercaya kesungguhannya kepada negara, bangsa, dan tanahair Indonesia. James Winata itu, seperti kebanyakan Cina, cuma berlagak menjadi Indonesia dengan sibuk mengganti nama Melayu: Oei jadi Winata, Lim jadi Halim, Tan jadi Sutanto, Nyoo jadi Sanyoto, Lie jadi Su­ barli, Sie jadi Silalahi, dan seterusnya. Tapi kelakuan mereka tetap eksklusif, semena­mena, sombong dengan kekayaannya, menghina pribumi dengan sebutan ‘hu huan’ yang mengandung arti pelecehan kelas­sosial. Mengerti?” “Mengerti.” “Besok itu kalian harus bergerak secara rahasia dan siste­ matis di wilayah timur Jakarta. Menghancurkan Cina ha­ rus kalian anggap sebagai tugas kebangsaan membalas den­ dam terhadap kesemenaan dan kesombongan Cina. Kalau kalian mau memperkosa gadis­gadis mereka, silakan, itu sah. Apalagi mereka kafir, Kristen, agama penjajah. Mereka pantas diperlakukan sebagai hewan, sebab selama ini mereka adalah binatang­binatang ekonomi yang merusak tatanan sosial kita, biangkerok bejatnya lapisan birokrasi karena kebiasaan mereka 415 Hotel Pro deo menyogok pejabat. Mengerti?” “Mengerti.” “Baik. Sekali lagi perintah ini rahasia. Seakan­akan tidak ada komando. Seakan­akan terjadi secara otomatis sebagai gerakan akar rumput. Nah, apa perintah ini cukup jelas?” Semua yang telah terasut itu menjawab serempak, “Jelas!” “Nah, laksanakan. Bergerak mulai subuh.” “Siap!” “Baik.” Dharsana mengetuk meja tanda selesai bicara. “Terimakasih sebesar­besarnya.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sepuluh menit setelah mengurai perintahnya itu, Dharsana mengangkat telefon, menelefon James Winata di nomer khu­ susnya. “Hallo,” jawab Winata. “Siapa?” “Saya Dharsana.” “O? Pak Dhar? Bagaimana, Pak?” “Begini, Pak Winata. Keadaan ibukota kelihatannya tidak kondusif. Saya menerima bocoran, bahwa besok akan terja­ di huruhara besar se­Jabotabek. Sasarannya antaralain etnis Cina.” “Lalu?” “Saya sarankan, Pak Winata jangan keluar rumah. Lebih aman Bapak tinggal di rumah bersama keluarga.” “Begitu ya, Pak?” “Ya.” “Terimakasih, Pak.” “Ya, sama­sama.” 416 Remy Sylado Dharsana menutup telefonnya. Tak diketahui Winata, bah­ wa setelah meletakkan gagang telefon, Dharsana tersenyum, merasa berhasil mengelabui Winata. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di rumah Winata, terlihat rasa waswas di wajah wanita. Winata mengatakan apa yang baru dikatakan Dharsana, dan itu membuat istrinya yang Katolik dari golongan karismatik— beda dengan Winata yang berkepercayaan Sam Kauw It Kauw— memeluk kedua anaknya lantas berlutut di hadapan perupaan Bunda Maria, melafalkan doa, meminta pertolongan roh kudus. Di akhir doanya yang lama, istri Winata mengucapkan intisari pengharapan yang mukim di batinnya: “Ya, Tuhan, Yesus, luputkan kami dari marabahaya dan angkaramurka. Hanya Engkau juruselamat dunia, tempat kami meminta per­ tolongan dalam susah sedih dan mengucapkan syukur dalam senang gembira.” Tak terbayangkan dalam wasangka istri Winata, bahwa rasa getir yang melatari doa panjangnya itu memang akan ter­ jadi dalam dirinya, anak­anaknya, dan suaminya di jam­jam mendatang. Begundal jahanam, yang diperintahkan oleh Dharsana melaksanakan tindakan keji terhadap keluarga Winata, telah tiba di rumah Winata selepas subuh. Mereka mendobrak pintu setelah membekuk satpam. Mereka semua empat orang. Dua orang berpistol. Winata kaget, “Siapa kalian?” Dan, demi melihat Todung, dia menuding, “Hei! Saya kenal mukamu. Kamu bekerja pada Pak Dhar.” Todung mendamprat, “Tutup mulutmu!” Bersamaan dengan itu terdengar jeritan di dalam kamar. Salah seorang yang bertampang jelek, pipinya seperti durian, 417 www.bacaan-indo.blogspot.com menjambak istri Winata, menyeretnya keluar. Seorang lainnya menyeret kedua anak Winata, Kedua anak ini menangis. Yang kakak berumur kira­kira 10 tahun, yang adik kira­kira 8 tahun. “Jangan sakiti mereka!” kata Winata melihat istri dan anaknya diperlakukan kasar begitu. Lagi Todung mendamprat, “Tutup mulutmu!” Dua orang berambut cepak lantas menyiksa Winata. Yang satu memegang tangannya, yang satunya lagi meninjunya. “Ini pasti kekeliruan,” kata Winata, “Hus!” Todung menghardik, “Tutup mulutmu, kataku!” “Tapi, apa salah kami?” “Salah kamu, kamu itu Cina.” Lalu Todung menunjuk tangannya ke arah si rambut cepak yang memegang istri Winata. Yang disebut ini adalah Bon Jovi. “Mainkan pertunjukannya,” katanya. Orang yang memegang istri Winata yang dipanggil Bon Jovi itu melepas pakaiannya sampai telanjang bulat. Apabila istri Winata itu menahan diri dan meronta, orang itu meninjunya sampai lemas tak berdaya. Setelah itu dia membuka celananya sendiri, mengeluarkan penisnya, menggerak­gerakkan di muka istri Winata, lantas menembakkannya secara paksa ke vagina istri Winata. Dia melakukannya seperti anjing kampung. Kedua anak Winata menangis. Maka begundal keparat mencabut pistol, menembak ke kepala kedua anak Winata. Winata meronta sekuat tenaga, sampai akhirnya sekapan tangan kedua orang yang membekuknya terlepas, dan dia ber­ maksud meninju lelaki yang tengah memperkosa istrinya. Namun, sebelum dia berhasil melakukan tindakan itu, orang yang memegang pistol itu menembaknya. Winata tumbang. Sementara istrinya yang sedang disetubuhi itu ditembak juga kepalanya. Darah pun menggenangi lantai. Remy Sylado Orang­orang yang tidak berperasaan, tidak punya nurani, tidak punya welasasih, dan pasti tidak punya Tuhan, telah me­ mainkan perannya masing­masing sebagai perpanjangan ta­ ngan iblis. Ironisnya, mereka menyebut diri sebagai bangsa Indonesia, bangsa berbudaya, bangsa beradab, yang ternyata biadab. Detail seperti itu memang tidak sempat direkam oleh kamera TV… Tapi kejahatan­kejahatan terhadap kemanusiaan dengan alasan kebangsaan yang dirancukan dengan alasan perbedaan latarbelakang suku dan agama dalam peristiwa Mai 1998 ini, memang merupakan bukti menyedihkan dari gambaran asasi kelakuan primitif orang Indonesia tertentu yang berani­berani­ nya menyebut dirinya sebagai bangsa beradab dengan hafalan pintar akan ayat­ayat Pancasila. Sebagian di antara kejahatan­kejahatan itu berhasil dire­ kam oleh kamera TV, dan ditayangkan. Ibu Intan menyaksikan itu semua di vilanya di Cimacan. Mengherankan, Ibu Intan bisa menggumam sendiri di vilanya itu, “Pasti Dharsana ada di dalam kejahatan itu…” Ibu Intan punya alasan berkata begitu, sebab dia kenal Dharsana luar­dalam. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 419 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 78 IBU Intan tidak akan bisa bertemu lagi dengan orang­orang di Rumah Rukun yang bijak­bestari itu. Pada hari kedua tragedi Mai 1998, Rumah Rukun, yang bersebelah­menyebelah dengan gedung­gedung milik orang­ orang Cina, ikut dibakar setelah isinya dijarah. Bukan hanya sekadar menjarah dan membakar gedung Rumah Rukun itu, tapi juga membunuh pengelolanya, Aki Iyos dan Tan Tek Hian, tapi untung tidak termasuk ketiga rohaniwan yang kebetulan tidak berada di situ: Ahmadun Najib, Ignatius Susetyo, dan Nyoman Supendit. Pada hari kedua kerusuhan Mai ini beberapa bangunan di antero Jakarta, dari utara sampai selatan dan barat sampai timur, telah ditempeli kertas­kertas pemakluman yang dengan sendirinya bermakna asut SARA, yaitu “rumah ini milik pribumi” dan “rumah ini milik muslim”. 420 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dengan kata lain—demikian Ibu Intan menyimpulkan tentang berita yang disaksikannya di TV—bahwa pemakluman itu mempunyai arti lain yang menyuruh kepada perusuh, untuk silakan saja bakar dan jarah rumah­rumah orang Cina dan orang­orang non­Muslim. Ibu Intan termangu­mangu melihat berita kerusuhan Mai itu di TV­nya. Sertamerta dia teringat akan peristiwa serupa di Angola yang menyebabkan André suaminya tewas dibunuh. Dan, manakala dia teringat akan peristiwa itu sembari menonton TV­nya sekarang, maka karuan nafasnya sesak, dan karenanya dia ambil inhaler untuk disemprotnya di mulutnya. Dia tidak mengerti mengapa terjadi kerusuhan Mai ini. Setahunya, mahasiswa memang menuntut reformasi dan leng­ sernya Presiden Soeharto. Kenapa terjadi kerusuhan ini? Apakah ada pihak yang bermain di belakangnya? Dia tak paham. Juga tak jelas, hendak dikategorikan apa kerusuhan ini. Tampaknya kerusuhan ini tidak semata­mata berangkat dari isu singular. Sebab, ternyata dalam berita yang disaksikan Ibu Intan di TV­nya, dia melihat ada tiga isu yang bisa berkait dan bisa juga tidak, tapi faktanya mufrad sebagai isu temporer dari kebijakan­kebijakan politik pasca pemilu yang dipandang kontroversial: pertama anti Cina, kedua anti Soeharto, ketiga desakan reformasi. Karena banyaknya korban orang Cina yang diperkosa dan dibunuh, maka kesimpulan paling sederhana menyangkut kerusuhan Mai ini—yang pada bulan­bulan mendatang disim­ pulkan oleh para cerdik­pandai dalam berbagai seminar dan diskusi—adalah memang isu sentimen anti Cina. Celakanya, nanti ditemukan juga jumlah pribumi—yaitu suku Minahasa yang kebetulan ciri­ciri fisiknya sama dengan 421 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo orang Cina, sebab kulitnya kuning dan matanya sipit—ikut menjadi korban kerusuhan Mai. Ibu Intan menggeleng­geleng kepala menyaksikan tragedi jahat itu. Dia tidak tahu—walaupun dia curiga—bahwa Dharsana bagian dari katastrofa ini. Tiba­tiba mata Ibu Intan terbelalak melihat tayangan TV di depannya. Kamera merekam gambar sebuah gedung yang dibakar ramai­ramai oleh perusuh. “Ya, ampun!” serunya. Dia kenal betul rumah yang dibakar itu. Itu adalah gedung Rumah Rukun. Para perusuh menjarah isi gedung itu sebelum membakarnya. Lalu, bagaimana keadaan keempat rohaniwan dan Aki Iyos? Kamera tidak merekam dan TV tidak menayangkannya, betapa dua orang yang mengajar kerukunan di gedung itu telah dibunuh oleh perusuh sebelum mereka membakar gedungnya. Benguk nian hati Ibu Intan, terlihat di wajahnya, me­ nyaksikan tayangan tak senonoh itu. “Kasihan,” katanya kepada Hutami yang duduk di bawah­ nya sambil tak lupa memijat­mijat kakinya. “Bagaimana nasib rohaniwan­rohaniwan di dalamnya ya, Mi?” Hutami prihatin, terbawa dalam rasa sedih Ibu Intan. Katanya dengan mata terbuka lebar, “Aduh.” “Saya tidak habis pikir,” kata Ibu Intan. “Bangsa Pancasila sudah berubah jadi bangsa pencak­silat, bangsa beradab sudah berubah jadi bangsa biadab.” “Kok bisa, Bu, ya?” kata Hutami. “Akarnya irihati,” kata Ibu Intan. “Itu masalah paling ter­ sembunyi dari sifat­sifat buruk bangsa kita.” Sepekan setelah kejadian, Ibu Intan ke lokasi Rumah Ru­ 422 www.bacaan-indo.blogspot.com kun, melihat­lihat. Dari tukang jual rokok di sekitar situ dia mendapat informasi bahwa dua orang yang dikenalnya itu memang tewas dibunuh oleh para perusuh. Maka dia ucapkan lagi kata yang mengandung rasa welas­ asih, “Kasihan.” Si tukang rokok nyeletuk, “Iya, gara­garanya cuma sepele, Bu. Di antara anggota Rumah Rukun itu ada satu orang Cina­ nya.” Ibu Intan kaget mendengar simpai itu, “Apa urusannya?” “Ya, Bu,” kata si tukang rokok tanpa beban, namun tidak juga berpihak. “Kan peristiwa kemarin itu kerusuhan anti Cina, Bu. Dan, gara­gara ada satu orang Cina di dalam situ, semua kena getahnya. Kata orang, itu namanya ‘nila setitik merusak susu sepayudara.” “Hei!” Hutami menghardik. Khusus untuk peribahasa yang diucapkan si tukang rokok itu dia fasih menghafalnya, sertamerta dia menyalahkan, “Ngawur tuh.” Si tukang rokok pun cengenges. “Memang huruhara ke­ marin itu ngawur, Bu. Saya sendiri, jelas­jelas cuma jual ro­ kok dengan gerobak saya di pinggir jalan ini, hampir juga mau dibakar gerobak rokok saya. Kalau bukan saya teriak­ teriak nama saya Sihombing, BTL1 dari Siborongborong, bah, dicurigai juga sama perusuh­perusuh pukimaknya itu.” Ibu Intan terharu. Dia teringat pada orang yang disebut oleh si tukang rokok sebagai ‘nila’. Dan, demi menyerap cerita itu, dia menggeleng­gelengkan kepala. “Bangsa apa kita ini?” katanya dalam hati, dan pelan­pelan ingatannya mundur ke tahun­tahun di belakang, ketika terjadi pula huruhara di Angola yang telah menyebabkan suaminya André terbunuh. Dia ambil inhaler Ventolin di tasnya, menyemprot ke 1 Singkatan populer di Jakarta, Batak Tembak Langsung, berkonotasi pribumi asli. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo mulutnya karena terasa nafasnya sesak mengingat peristiwa silam itu, lantas tercenung pula melihat keadaan sekarang yang baru berlangsung pada tengah bulan Mai ini. Gelisah sangat hatinya melihat yang kasatmata ini. Bukan hanya gedung di depannya ini saja—di tempat pernah dia ber­ kenalan dengan orang­orang yang sejati menghayati Panca­ sila itu—kini musnah hangus. Kalau nanti dia melewati jalan­ jalan besar lainnya di antero Jakarta, akan disaksikannya bukti sejarah paling hitam dari Republik Indonesia, yang seluruhnya mesti dipandang sebagai akibat dari terpeliharanya prasangka dan irihati dalam kelompok masyarakat. Kesalahan itulah yang menyebabkan Jakarta kini—sebagai ibukota negara yang seyogyanya mencitrai keragaman sebagai ciri tatanan masyara­ kat modern—tiba­tiba telah berubah menjadi sarang penyamun oleh kelompok masyarakat tertentu yang memaksakan kehendak untuk membuatnya satu ragam saja di bawah perbedaan tajam ekonomi. Dari situ Jakarta menyala oleh frustrasi, dendam, dan irihati, dan dengannya meninggalkan ribuan korban nyawa dan harta, hangus terbakar: ruko 2479 bangunan, mal 40 bangunan, toko 1604 bangunan, hotel 12 bangunan, mobil 1119 unit, gereja 2 lokasi, bank 65 bangunan,2 dan seterusnya, yang semuanya dikaitkan dengan kepemilikan orang­orang Cina. Akhirnya Ibu Intan menyimpulkan dengan sederhana, “Ternyata kejahatan yang paling bengis adalah irihati di bawah ketidakberdayaan sosial terhadap ekonomi.” Lalu Ibu Intan kembali ke mobil, menghidupkan mesinnya, dan dia pacu laju ke selatan, bukan ke arah barat, memasuki jalan tol Jagorawi menuju Bogor, dan seterusnya meliku­liku di tanjakan perkebunan teh di Puncak. Hutami yang duduk di sebelahnya merasa heran, mengapa 2 Angka­angka ini dikutip dari data yang dibuat oleh Pemda DKI Jakarta dan dipubli­ kasikan SNB dan APHI dalam “Kerusuhan Mai 1998, Fakta, Data, dan Analisa” oleh Ester Indahyani Jusuf, Hotma Timbul, Olisias Gultom, Sondang Frishka. 424 Remy Sylado Ibu Intan tidak ke arah barat, ke rumah kayu­papan di wilayah Pondok Aren sana. Bertanya Hutami, “Kita belum pulang ke rumah kayu­ papan, Bu?” “Saya pening melihat Jakarta, Mi,” sahut Ibu Intan. “Sesak nafas Ibu melihat Jakarta. Angguran kita kembali lagi ke Villa La Joli. Kita berdingin­dingin lagi di sana.” Sebelum sampai di tujuan, ketika pikirannya masih ter­ tanam pada ingatan Rumah Rukun yang hangus itu, Ibu Intan pun berkata risau, “Tami, kamu bayangkan deh, orang­orang yang menganjurkan kerukunan, menghayati Pancasila dengan praktik, malah digenosida. Lantas ‘bhinneka tunggal ika’ macam mana yang kita anut?” Hutami tersenyum. Kelihatannya dia hendak bergurau. Maka katanya asbun­asbun, “Soalnya Pancasila sekarang ini pencak­silat, Bu. Satu ke­hutangan­an yang maha e­sa­rat, dua cula, tiga berlian, empat sehat, lima sempurna.” “Ah, kamu guyon,” kata Ibu Intan, ketawa. “Memang lucu, Bu,” kata Hutami, lantas dia pun tergoda untuk melafal hafalan peribahasa, yang seperti biasa selalu terbalik­terbalik. “Sekarang ini banyak orang yang pintar lem­ par tangan sembunyi batu.” “Hus!” Ibu Intan ketawa dan menghentikan mobil. “Ter­ balik itu, Mi.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 425 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 79 DHARSANA sendiri pusing tujuh keliling menghadapi hari­ hari tak menentu ini. Dia, yang sampai kapanpun akan mengabdi pada Bapak Pembangunan—karena alasan­alasan emosional yang dikata­ kannya rasional: pejah gesang nderek Bapak—pada pekan ke­ tiga Mai 1998 terpaksa gigit jari. Pada jam 09.00 WIB, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan mendengar dengan telinga kepala sendiri, betapa Bapak Pembangunan yang dipujanya mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI di Istana Merdeka. Di depan TV yang menayangkan itu, dia menontonnya dengan perasaan sedih dan kecewa atas kata demi kata yang diucapkan Soeharto: “… Saya telah menyataken rencana pembentu’an Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke­ 426 www.bacaan-indo.blogspot.com 7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukken Komite Reformasi tersebut tidak dapet terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadep rencana pembentu’an komite tersebut… Dalam keinginan untuk melak­ sanaken reformasi dengan cara sebaik­baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapet diwujudkennya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperluken lagi… Dengan memperhatiken keadaan di atas, saya berpendapet sangat sulit bagi saya untuk dapet menjalanken tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memper­ hatiken ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan secara sungguh­ sungguh memperhatiken daripada pandangan pimpinan DPRRI, dan pimpinan fraksi­fraksi yang ada di dalamnya, saya memutusken untuk menyataken berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacaken per­ nyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.” “Wah?” kata Dharsana dalam hati. Dia tertegun, prihatin, merasa menyesal dan dayuh melihat di antara orang­orang se­Indonesia yang menonton TV, bagai­ mana Bapak Pembangunan yang dipujanya itu menyerahkan jabatan kepresidenan kepada wakil presiden: profesor pandai bikin pesawat terbang yang karyanya konon dijual dengan beras ketan. Naga­naganya bisa dimengerti—dan dihargai oleh Jeng Retno tapi tidak dipedulikan oleh Ibu Intan—kenapa Dharsana mengeluh sedih dan menyesal terhadap perubahan ini. Sebagai ABRI polisi dia tidak percaya sipil sanggup memimpin bangsa yang plural di pulau­pulau saling berjauhan. Itu pertama. Yang kedua, dalam rasa percayanya tentang pimpinan nasional, telah tertanam dalam pikiran bahwa yang sanggup memimpin bangsa bhinneka tunggal ika ini, karena alasan­alasan tidak eksklusif, adalah hanya orang Jawa. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Gambaran­gambaran repot yang akan menyusul akibat perubahan itu sertamerta menumpuk dalam diri Dharsana kala menghadapi jam­jam yang berputar ini. Repot, sebab dalam hari­hari yang tidak terterka ini, sekaligus hari­hari yang niscaya berlangsung tetap menurut kodratnya, di dalamnya Dharsana mesti menangkis dengan sulit perubahan­perubahan itu melalui pilihan untuk berimprovisasi. Dan, seperti selamanya improvisasi berlangsung dengan serba kejutan yang tak dinyana, maka demikian pengalaman jelimet itu bakal dilampaui oleh Dharsana dengan akalnya dan okolnya. Yaitu, bagaimana improvisasi bisa berarti secara sosial sebagai kesanggupan mengubah yang katakanlah fals menjadi laras, tapi juga yang laras menjadi fals: semua bergantung pada kepentingan mana yang menjadi seleranya. Sebentar lagi improvisasi itu bakal teruji. Sekitar setengah jam sebelum itu, mobil Dharsana, yang seperti selalu, distir oleh Lukman, meluncur ke Senayan. Dharsana mengira dengan rasa percayanya, bahwa dia bisa menembusi jalanan itu ke tujuannya di selatan sana. Setelah melewati jembatan layang yang jalan di sebelah timurnya lebih populer di kalangan sopir­sopir taksi sebagai “Jl. Casablanca”, pas di depan Unika Atma Jaya, mobil Dharsana tersendat bersama mobil­mobil yang lain. Di depan sana ma­ hasiswa­mahasiswa yang dihalau polisi dari gedung wakil rakyat numplek di tengah jalan. Di situ mahasiswa­mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, yang akan dikenal melalui warna jaketnya, menyanyi­ nyanyi menuntut pencabutan Dwifungsi ABRI. Melodi yang mereka lagukan itu adalah Mars ABRI, tapi yang liriknya di­ plesetkan dengan kata­kata cela: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak berguna Bubarkan saja 428 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com Diganti menwa Ya sama saja Lebih baik diganti pramuka. Melihat keadaan di jalan depan itu sulit ditembus, Lukman bimbang, memelankan mobilnya. “Bagaimana, Pak?” tanyanya kepada Dharsana. Sebaliknya Dharsana bertanya kembali dengan tekanan suara yang menunjukkan sikap tidak peduli terhadap maha­ siswa­mahasiswa itu. “Memangnya kenapa?” kata Dharsana. “Keder juga, Pak.” “Sudah. Maju saja.” Lukman ragu. Tapi pelan­pelan dia majukan mobilnya, mendekati kerumunan mahasiswa, berharap mahasiswa­ mahasiswa itu mau menepi. Ternyata itu tak gampang. Mahasiswa­mahasiswa itu terus saja menyanyi­menyanyi. Seorang di antara mereka yang ber­ jaket kuning mengetuk kap mesin mobil, menyuruh mundur. “Klakson saja,” perintah Dharsana. Lukman menoleh ke muka Dharsana, bertanya tanpa me­ lisan, apa benar Dharsana menginginkan dia mengklakson mobilnya. “Ayo, klakson,” desak Dharsana. Apa hendak dikata, Lukman pun melakukannya. Bukan sekali, tapi tiga kali. Yang terakhir bunyinya panjang. Karuan itu memancing perhatian mahasiswa­mahasiswa yang lain. Seorang lagi di antara mereka yang tidak berjaket, hanya me­ ngenakan kaos oblong dengan gambar pentolan komunis Cuba— Ernesto Guevera de la Serna yang beken di kalangan muda segala dekade sebagai: Che Guevara—langsung mengambil batu lantas melempar kaca muka mobil. “Heiii!” 429 Hotel Pro deo Itu teriakan melarang dari seorang perempuan berambut pendek di belakang mahasiswa yang melempar batu itu—siapa lagi dia yang bersuara keras kalau bukan Juminah, sosok penting yang kelak mengurus kasus Ibu Intan—namun batu itu sudah memecah kaca mobil Dharsana. Dharsana keluar dari dalam mobilnya, menghampiri ma­ hasiswa berkaos Che Guevara itu, mencabut pistol, menodong di jidat, dan dor Lagi Juminah berteriak, “Hei!” Dharsana ngeper. Dia mundur. Tapi dia melepaskan tem­ bakan ke atas dua kali. Semua mahasiswa ikut berteriak, melendong maju, be­ ringas, dan itu akan tidak menguntungkan bagi Dharsana. Mereka berteriak­teriak hendak mengeroyok Dharsana. Maka Dharsana cepat masuk kembali ke dalam mobil, me­ nyuruh Lukman untuk segera kabur. “Cepat mundur! Cepat!” Mobil distir mundur beberapa belas meter, lalu berputar haluan di depan sana, dan kembali ke utara, ke Jakarta Pusat. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 430 www.bacaan-indo.blogspot.com 80 SENGAJA sekian pekan Ibu Intan meninggalkan rumah kayu­ papan miliknya, bersejuk­sejuk diri di vilanya di Cimacan, menenangkan pikiran dan mengheningkan perasaan. Selama itu, kalau dia ingin tahu keadaan rumahnya, dia menelefon Ujang yang dititipi menjaga rumahnya itu, dan Ujang menjawab rinci dengan suara yang direm­rem. Hari ini Ibu Intan memutuskan untuk kembali ke rumah kayu­papan ini, sebab menurut Ujang: Sri Hartini dan Singgih— mestinya patut dibilang tamu—telah menginap dua malam, dan keduanya sama­sama tidak mengindahkan kerapian dan kebersihan. Ketika Ibu Intan tiba di rumah kayu­papan ini, dia memang tercengang melihat keadaan rumahnya yang persis kayak kapal pecah, semuanya telamburan: ada tisu­tisu di lantai depan pintu, puntung­puntung rokok di bawah vas bunga atas meja ukir tengah serambi, handuk kecil dan asbak di kursi goyang www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo depan teras, sepatu dan kaoskaki di bawah meja TV, dan sejumlah ciri­ciri jorok yang lain. Manakala Ibu Intan masuk melewati serambi depan, dia melihat dua orang ‘tamu tak diundang’— yang dikatakan Ujang lewat telefon—berbaring di sofa ukir, sambil mendengar musik: menyetel keras­keras lagu yang tidak pas buat usia mereka. Kedua orang itu berumur sekitar 20­an tahun, dan musik yang dipasang keras­keras dari compo yang ditaruh di meja pasang­ an sofa adalah Bintang kecil, lagu ninabobo anak balita. Kedua orang itu sangat menyebalkan, Sri Hartini perem­ puan jelek dengan mulut rica­rica: semua kata yang keluar dari mulutnya pedas; dan Singgih lakilaki yang sama bututnya: ditukar ayam, ayamnya juga tidak mau. Baik Sri Hartini maupun Singgih sama­sama kaget melihat Ibu Intan masuk ke dalam rumah dengan dua koper yang ditenteng oleh Hutami. “Intan?” kata Sri sambil duduk di sofa. Singgih ikut bangun juga, tapi tidak bicara apa­apa. Dia hanya diam, melihat dengan mata bulat seperti burung hantu. “Baru pulang lu, In?” tanya Sri sambil berdiri. Ibu Intan melangkah dulu dua tapak lalu menjawab dengan sikap yang tidak hirau. “Ya.” “Dari mana saja sih?” Sri bertanya sambil mendekati, dan ikut berjalan di belakang Ibu Intan menuju kamarnya. “Jauh,” sahut Ibu Intan, tetap tak hirau. “Jauhnya di mana?” “Ck.” “Lo! Ditanya baik­baik kok jawabmu cuek banget sih?” Ibu Intan malah tak mau menanggap. Dia berkata kepada Hutami, “Mi, bawa cepat koper Ibu ke kamar, “ “Ya, Bu,” sahut Hutami. Ibu Intan pun membuka kamarnya. 432 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Sri menarik punggung Ibu Intan. “Aku bicara sama kamu lo, In. Kamu anggap aku patung apa?” Ibu Intan menyentakkan bahunya yang dipegang oleh Sri. “Maaf, aku capek.” Dia masuk ke kamarnya. Hutami juga masuk ke kamar Ibu Intan, membawa dua koper yang ditentengnya itu. Dia tidak mau melirik, apalagi me­ lihat, ke muka Sri. Kelihatan dari wajahnya, betapa dia merasa kagok bertemu dengan Sri. Terakhir dia berhubungan bicara dengan Sri lewat telefon dalam suasana yang tidak bagus. Waktu itu dia kesal betul pada Sri, sehingga dia menyebut Sri dalam gerutunya dengan bahasa Sunda “beungeut jiga bungkus leupeut—tampang kayak bungkus lontong.” Sri sendiri pun memandang Hutami dengan ekor matanya. Tak ada kata­kata yang terlisankan di mulutnya melihat Hutami menunduk badan sambil masuk ke kamar membawa kedua koper itu. Tapi jelas terbaca pula di wajahnya, betapa dia merasa keki, gondok, rongseng terhadap Hutami. Seandainya dia melisan, maka kata­kata pedas yang keluar di mulutnya, “Alah, babu belagu lu.” Buru­buru Sri masuk juga ke kamar Ibu Intan, langsung duduk di atas ranjang ukir dengan cara menjatuhkan pantat teposnya ke situ. Sikap yang tidak mengindahkan tatakrama dan unggah­ungguh ini mengingatkan pada cara penagih­pena­ gih utang yang lazim disebut debt collector. Apakah Ibu Intan berutang pada Sri? Sri saja yang tidak tahu diri. Kata Ibu Intan dengan nada meninggi, “Tolong Sri, aku sudah bilang: aku capek.” Tak acuh Sri berkata, “Aku heran…” Ibu Intan tidak peduli. Dia berkata kepada Hutami, “Mi, coba kamu bersihkan itu yang jorok­jorok di depan.” “Ya, Bu.” Hutami menundukkan kepala, keluar. 433 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Hei, In, aku heran, tidak ada kata terimakasih dari kamu,” kata Sri, memandang dengan permusuhan. Mengkerut wajah Ibu Intan. Niscaya dia bertanya­tanya dalam diri: apa mau Sri dengan kata terimakasih itu. “Ayo, omong dong,” kata Sri memaksa, berdiri dari ranjang, berjalan ke meja rias, duduk di hadapan cermin. Dari cermin ini dia bisa melihat Ibu Intan. “Aku tunggu, In. Apa tidak ada kata terimakasih?” Jengkel, tanpa bertanya alasan, Ibu Intan pun mengha­ mun, “Tidak! Tidak perlu ada kata apa­apa.” “Eh­eh?” Sri membalik badan. “Gila lu. Aku di sini menjaga rumah, tau?” “Aku tidak minta.” “Kamu memang tidak minta. Bapak yang minta kami.” “Kalau begitu minta Bapak yang bilang terimakasih.” “Eh­eh! Bapak sibuk. Sikon Jakarta membuat Bapak tidak bisa pulang ke sini.” “Aku juga tidak berharap lagi Bapak pulang ke sini.” “Eh­eh! Takabur lu, In.” “Memangnya kenapa?” “Kualat lu.” “Huh! Kualat? Heh, dengar baik­baik, aku sudah bilang sama Bapak: aku minta cerai. Jadi, jangan kamu ikut campur. Ini keputusan hatiku. Hatiku adalah surgaku. Nah, sekarang keluar dari kamarku. Aku mau istirahat.” Sri terperangah, berdiri, lantas bengong. Ibu Intan menjerit sehabis suaranya, mengusir Sri, me­ nyuruhnya keluar. “Keluaaar!” Singgih hadir di situ. Sebelum dia melakukan apa­apa, keburu didamprat juga oleh Ibu Intan. “Kamu juga keluar!” teriak Ibu Intan kepada Singgih. *** 434 www.bacaan-indo.blogspot.com 81 DARI hari ke hari, pekan ke pekan, Dharsana merasa diri seperti orang yang hidup dalam ngelindur, berbagai macam naluri hewani bisa muncul tanpa diduga dalam bicaranya. Sekali­dua dia pulang ke rumah kayu­papan, tapi tak per­ nah jumpa dengan Ibu Intan. Sebab, perempuan yang disebut namanya ini, selalu mengunci diri dalam kamar, tak pernah menjawab jika dipanggil, apalagi membuka pintu. Sejak jatuhnya Bapak Pembangunan karena tuntutan para mahasiswa—dan terjadi perubahan hebat dalam tatanan politik, antaralain ABRI akan diciutkan dari politik praktis dan hal itu bakal menggusur Dharsana dari kursinya di Senayan, disertai dengan TAP XI/MPR/1998 tentang pengaturan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN dengan isyarat pengusutan mantan Presiden dan kroninya—Dharsana www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo memang hanya sekali­dua pulang ke rumah kayu­papan untuk menemui Ibu Intan, yang tak pernah berhasil. Tak merasa damai di rumah, sebaliknya Dharsana merasa ditampung oleh Jeng Retno. Alih­alih dia pun merasa seperti seorang Samson terhadap Delilah di rumah Jeng Retno. “Aku dipurukkan, baik wibawaku maupun martabatku. Di depan masyarakat aku diejek, di depan istri aku dinista…” Jeng Retno mengelus dengan ganjen. “Tapi di mataku, dikau adalah pahlawanku. So, stay with me forever. Forget Intan. Di sini aku berikan surga­dunia buat­ mu…” Dharsana berbaring di atas paha Jeng Retno. “Aku akan bangkit. Demi Tuhan. Aku tidak yakin keadaan sekarang ini bisa bertahan lama. Rakyat juga tahu, status quo, zaman Pak Harto itu lebih baik.” Jeng Retno membelai rambut Dharsana. “Tapi kenapa sekarang begini? Kelihatannya aman, but with a war axe at your side.” Dharsana mendengus. “Ya, orang­orang yang oportunis dan sok reformis, ngotot menuduh Pak Harto korupsi merugikan negara Rp1,4 triliun dan 416 juta dolar Amerika. Dari mana mereka menyimpulkan itu? Gila banget. Itu asutan kepada rakyat.” Jeng Retno menghembus keluh lewat mulut. “O my God! Yang begitu­begitu aku tidak interes, Mas. Mbok omong sing liyane wae. You know I’m a woman. Politik itu topik yang njelehi untuk a woman like me.” Dharsana mengendur. “Jadi apa yang dikau interes?” “Ini.” Jeng Retno pun merogoh selangkang Dharsana dan langsung menangkap terong yang ada di situ sambil cekikikan. 436 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Yang ini: unforgettable.” Lalu Jeng Retno pun menyanyi dengan suara yang cem­ preng seperti kucing kawin sambil terus memegang­megang itu terong. “Unforgettable, that’s what you are…” Dharsana tergeli­geli. Dia angkat kepala dari baringannya di atas paha Jeng Retno. Dengannya dia alihkan percakapan. “Aku kira harus melakukan sesuatu yang benar…” Jeng Retno menyesuaikan diri. “Sing koyo opo, darling Mas?” Dharsana menjadi serius. Wajahnya kaku. Di situlah naluri hewani itu menjaili pikirannya. “Aku bisa membuat keadaan sekarang ini menjadi kacau. Tinggal kasih uang sama penganggur­penganggur kere maka Jakarta ini akan kacau. Gampang sekali mendesain kekacauan dengan kekerasan di Jakarta ini.” Jeng Retno duduk. Dengaren dia bisa berpikir lurus. Sambil menarik kembali kepala Dharsana supaya kembali berbaring di pahanya, dia berkata sesuatu yang kedengarannya waras. “Ning ojo nganggo kekerasan koyo James Winata kuwi. Percayalah daku, Mas, you will never win peace by violence.” Dharsana mengangkat kepala supaya tidak terbaring. “Alah, yang meminta aku membiarkan orang celaka karena bengek kan kamu.” Jeng Retno merasa seakan­akan didakwa dan disudutkan oleh pernyataan Dharsana itu, lantas berkata dengan cengengas­ cengenges, “Lo, kita kan mitra, darling Mas.” Apa sebenarnya yang mereka perkatakan itu? Pasti di balik selingkuh ada bisnis kejahatan. “Kita partner,” kata Dharsana. “Wonderful. But I’m not too sure of that.” Dharsana mengecup pipi Jeng Retno. Agaknya percakapan 437 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo ini mesti berubah topiknya. Dia berdiri. Jeng Retno turut. Jeng Retno pun tersugesti untuk berdiri pula. “Mau ke mana sih, Mas?” “Aku ingin mengatakan sesuatu.” “OK I’m listening.” “Aku kira: aku harus pulang, bicara dengan Intan, apa mau­ nya kok terus­terusan menghindar. Ini tidak beres. Kacau…” Dharsana terjeda. Tampaknya dia seperti berlari kencang mencapai pintu, tapi pintunya tertutup. Jeng Retno hanya memandang tanpa geming. Dia me­ nunggu Dharsana melanjutkan omongannya. Dharsana memilih kalimat tanya. “Bagaimana pendapatmu soal itu? Apa dikau dengar?” Jeng Retno membuka tangan. “Go ahead. I’m still listening.” “Aku kira: aku akan pulang sekarang.” “Yo wis, muliho to, Mas. Aku selalu menunggu dikau membawa berita dukacita yang menyukacitakan aku.” “Terimakasih sebesar­besarnya.” Dharsana mengecup bibir Jeng Retno. Dia siap­siap pergi. Jeng Retno menarik tangan Dharsana. “Cepat balik lagi ke sini ya, Mas. Aku akan kangen pada itu yang unforgettable…” Dharsana merasa bangga dialem dengan cara begitu. Dia kedipkan mata kanannya dengan gaya yang sangat jadul, gaya perlente remaja tahun 1928 atau 1945. Dan, sambil melepaskan kepergian Dharsana, Jeng Ret­ no mengingatkan, “Aku tidak pernah lupa, darling Mas. Bah­ wa bisnis kita adalah bekerja dalam bersenang­senang dan bersenang­senang dalam bekerja. Supaya dikau tidak lupa juga, aku bisa ‘tidak main­main’ sekaligus ‘main tidak­tidak’.” 438 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado *** 439 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 82 DI dalam mobil yang distir oleh Lukman, Dharsana duduk gelisah: sekejap bersandar sambil mendangak, sekejap meng­ arih sambil menunduk, dan apabila dia melihat ke luar yang dilihat tidak fokus di selaput­jala­matanya. Dia ingin cepat tiba di rumah kayu­papan, berbicara lang­ sung, muka dengan muka, dengan Ibu Intan yang selama itu menolaknya, bahkan lewat telefon sekalipun. Di atas mobil ini dia mengingat­ingat betapa telah berkali­ kali dia menelefon Ibu Intan, dan jawaban Ibu Intan tetap sama: “Salah sambung,” telefon dibanting. Sepanjang sisa tahun 1998 setelah lengsernya Bapak Pembangunan, sampai 1999, ketika wayahnya Dharsana kelak mesti meninggalkan Senayan karena kebijakan yang menata demikian di pergantian Orde Baru ke Orde Reformasi, maka bulan demi bulan Dharsana sudah menghubungi Ibu Intan 440 www.bacaan-indo.blogspot.com dari luar rumah, lewat telefon, dan istrinya keukeuh tidak mau bicara dengannya. Dia ingat semua kejadian dalam dirinya, bersamaan dengan perubahan­perubahan tatanan politik yang begitu cepat berganti, seperti menyaksikan kembali sebuah revue tontonan teater tanpa iringan ilustrasi musik yang memberi aksentuasi­aksentuasi tertentu di dalam pikirannya. Pada hari pertama September 1998, bersamaan dengan keluarnya keputusan Kejaksaan Agung untuk mengusut harta kekayaan yayasan yang dipimpin oleh sang Bapak Pemba­ ngunan, dia menelefon Ibu Intan, dan Ibu Intan membanting telefon setelah berkata, “Salah sambung.” “Sialan.” Dharsana menggerutu. Di akhir September tahun yang sama, dua hari setelah Kejaksaan Agung membentuk tim investigasi untuk klarifikasi kekayaan sang Bapak Pembangunan, lagi Dharsana mencoba menelefon Ibu Intan, dan Ibu Intan pun membanting telefon setelah berkata, “Salah sambung.” “Sialan,” Dharsana menggerutu. Pada awal Desember 1998, Dharsana menelefon Ibu Intan, pas harinya Jaksa Agung mengeluarkan surat panggilan kepada sang Bapak Pembangunan untuk diperiksa atas dakwaan ko­ rupsi, maka jawaban Ibu Intan sebelum membanting telefon­ nya, “Salah sambung.” “Sialan.” Dharsana menggerutu. Dharsana berpikir­pikir—dan dia tidak pernah menyadari pikirannya keliru—bahwa mungkin setelah tahun berganti menjadi 1999, Ibu Intan mau menjawab telefonnya dari luar rumah. Begitulah, setelah lima bulan berjalan pada 1999, ber­ samaan dengan polemik soal berangkatnya Jaksa Agung dan Menteri Hukum ke Swiss untuk mengusut simpanan Bapak Pembangunan di bank negri itu yang konon berjumlah US$9 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo miliar, Dharsana menelefon lagi Ibu Intan, dan jawaban Ibu Intan ajeg sebelum membanting telefonnya, “Salah sambung.” “Sialan.” Dharsana menggerutu. Pada Oktober di tahun yang sama ini, ketika kembali terjadi polemik terhadap Kejaksaan Agung yang mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) terhadap sang Bapak Pembangunan, Dharsana menelefon Ibu Intan, dan lagi jawaban yang diterimanya tetap sama, telefon dibanting setelah pernyataan ketus, “Salah sambung.” “Sialan.” Dharsana menggerutu. Di akhir tahun 1999, ketika presiden sudah diganti melalui pemilu dan dengannya kembali dibuka pengusutan terhadap kekayaan sang Bapak Pembangunan, tapi gugatan praperadilan ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka pada saat itu Dharsana mencoba lagi menelefon Ibu Intan, dan amboi, kali ini Ibu Intan membanting telefon sekerasnya setelah berteriak melengking, “Hei, maaf ya, salah sambung!” “Anjing!” Dharsana mengumpat, menyumpah, menyera­ pah. Semua kejadian dalam setahun di dua tahun yang berjalan, melintas satu demi satu episoda dalam ingatan Dharsana. Mengingat kejadian­kejadian itu yang menyebabkan dia duduk gelisah di atas mobil menuju ke rumah kayu­papan. Sekitar dua kilometer dari rumah kayu­papan itu, aneh, karena ini tidak jamak bagi Dharsana yang kombes, bertanya kepada Lukman yang sopir, sesuatu yang menjadikan posisi perwira sebagai murid, dan sopir sebagai guru. Bertanya Dharsana kepada Lukman, “Man, menurutmu, kenapa Ibu selalu membanting telefon, tidak mau menjawab?” “Maaf, Pak, selama ini Bapak pulang ke rumah kosong Tebet, bukan ke rumah kayu­papan. Bapak selalu menelefon Ibu dari rumah kosong Tebet. Kenapa Bapak tidak ke rumah kayu­papan saja, lalu bicara dengan Ibu?” 442 Remy Sylado “Maksudmu?” “Barangkali Ibu merasa itu tidak wajar: Bapak sebagai suami tidak bicara muka dengan muka di dalam rumah untuk menyelesaikan masalah, tapi Bapak malah menelefon dari luar, dari rumah Tebet.” Dharsana termangu, menyerap kata­kata Lukman, dan setelah itu dia berseru girang, duduk tegak di joknya. “Astaga. Kamu benar, Man. Saya harus berterimakasih sebesar­besarnya kepada kamu. Sebetulnya saya pun mau ke rumah sekarang ini untuk melakukan itu.” Lukman mengangguk­angguk, besar hati. “Ayo, kebut, Man.” “Ya, Pak.” Di jarak sekitar seratus meter dari rumah kayu­papan, tiba­tiba Lukman merem. Seekor kucing memotong jalan. Dharsana kaget, terantuk. “Ada apa, Man?” “Kucing hitam itu tiba­tiba memotong jalan, Pak.” “Oh! Itu tidak bagus.” Dharsana sangat percaya tahayul. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 443 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 83 DI luar urusan murka pada Dharsana yang takkan sembuh, arki­ an Ibu Intan terbawa dalam ingatan yang tidak diharapkannya, yaitu wajah­wajah semua orang yang menjadi kolega Dharsana. Aneh, yang seakan sirna dari ingatannya selama ini, kini muncul amat jelas di matanya: James Winata. “Astaga! Di mana dia?” Pertanyaan Ibu Intan ini seperti disuruh­suruh oleh sebuah gaung antah­berantah untuk me­ ngetahuinya dan menemuinya. Ditambah lagi karena pada hari ini dia terusik membaca berita sebuah tabloid yang menyatakan bahwa jumlah orang— dalam hal ini yang disimpulkan adalah orang­orang Cina— sebagai korban kerusuhan Mai itu: baik yang meninggal karena dibunuh langsung atau yang dibakar hidup­hidup, maupun yang hilang tak diketahui rimbanya, seluruhnya 1248 orang.1 1 Dari data yang dibuat oleh TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Kerusuhan Mai 1998. 444 www.bacaan-indo.blogspot.com Jumlah ini tidak termasuk dengan 78 orang, baik gadis maupun istri orang Cina yang diperkosa dan mengalami trauma.2 Ibu Intan bergidik, bertanya­tanya sendiri dalam hati, “Di mana Winata?” Aneh, tak terjawabkan oleh Ibu Intan sendiri, mengapa dia merasa perlu menanyakan itu. Soalnya, bukankah dia tidak punya hubungan yang lebih karib dari sekadar kenalan? Dan, bukankah pula bahwa kenalnya dengan Winata me­ rupakan bagian dari hubungannya dengan Dharsana semata? Benarkah begitu saja? Kendati begitu, toh Ibu Intan tidak lupa juga bahwa Winata mau datang ke rumahnya di saat senang pada hari ulangtahun Marc. Bahkan Ibu Intan tidak mungkin lupa bahwa Winata bicara sesuatu yang dirasanya bernas ketika yang disebut ini datang ke rumahnya di saat kabung pada hari penguburan Marc. Dalam pikiran Ibu Intan, kenalan yang baik adalah mereka yang mau datang mengunjungi bukan hanya pada saat senang, tapi yang lebih utama pada saat berkabung. Maka, tak heran Ibu Intan merasa terpanggil untuk meng­ hormati Winata. “Aku penasaran,” katanya membayang wajah Winata. Karuan, demi teringat akan hari­hari lalu itu, Ibu Intan pun mengangkat telefon, menghubungi nomer telefon Winata. Dia waham, karena telefonnya tidak tersambung. Jawaban di telefonnya mengatakan bahwa nomer yang ditujunya itu belum ada. “Tidak mungkin,” katanya sambil menaruh gagang telefon­ nya. “Di buku telefon jelas­jelas tercantum nama James Winata kok.” 2 Idem. Hotel Pro deo Untuk meyakinkan matanya, dia buka lagi buku penuntun telefon, dan membaca kembali nama dan nomer telefon James Winata di situ. “Iya kok, ini ada,” katanya. Jangar memikirkan itu, akhirnya Ibu Intan duduk, terme­ nung dalam rasa ganjil yang membuatnya seperti berat kepala. Beberapa detik kemudian dia bangkit dari kursinya, mera­ sa telah mendapat jawaban apa yang mesti diperbuatnya, lan­ tas memanggil Hutami, menyuruhnya siap­siap berangkat me­ nemaninya ke alamat rumah Winata. Dengan jip Mercedes­nya Ibu Intan berangkat ke alamat rumah Winata. Sebelum pergi, dia berpesan kepada Ujang, “Kalau si ke­ rempeng dan si homreng ke sini, usir saja mereka.” “Iya, Bu,” sahut Ujang. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tapi ternyata Ujang tidak berani mengusir Sri Hartini si kerempeng dan Singgih si homreng yang ke rumah kayu­papan ini karena alasan hendak bertemu dengan ayah mereka. Malahan biasa, Sri dan Singgih seenaknya di dalam rumah ini. Sri membuka kulkas, mengambil minuman kaleng, Singgih mengambil kue kaleng, lantas mereka sama­sama duduk di sofa depan dengan gaya yang amat urakan: kaki di atas meja, ketawa cekakak­cekikik, membiarkan musik dalam compo meraung keras­keras. Dan, ajeg, lagu yang meraung di situ adalah lagu anak­anak. Memang, ada yang tidak beres di kepala kedua anak Dharsana ini. Umur sudah 20­an, tapi kelakuan masih TK. Untung saja mereka belum memakai sepatu yang ada kelip­ kelip lampu merah di sol atau haknya. Tak berapa lama, mereka mulai melempar­lempar kue kaleng di serambi depan. Mula­mula Singgih yang melakukan­ 446 Remy Sylado nya karena Sri mengganti lagu di compo. Kemudian Sri meng­ genggam kue kaleng itu, meremak­remak sampai hancur, lalu melemparnya ke muka Singgih. Remahnya masuk ke mata, sehingga Singgih repot, mengumpat­umpat sambil ketawa. “Brengsek! Sialan! Madirodok!” Tak cukup dengan umpatan, akhirnya Singgih mengambil kaleng kue itu, lantas menumpahkan seluruh isinya ke kepala Sri, lalu berlari seperti tikus ke belakang. Sri mengejar, menabrak kursi, jatuh, diketawai Singgih. Sebentar saja rumah yang rapi ini akan berubah menjadi seperti kapal pecah, dan jika Ibu Intan pulang ke sini, pasti dia akan melihat ini sebagai kerjaan dua ekor babi. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ibu Intan masih menyetir mendekati alamat rumah Winata. Tidak terlalu sulit mencari alamatnya, walaupun dari ujung tenggara ke baratlaut terlihat beberapa rumah yang su­ dah hangus, di samping nomer­nomernya tidak urut seperti lazimnya penomeran rumah­rumah di Jakarta yang serba pabalieut, acak­acakan, meloncat­loncat. Di depan rumah lantai dua yang bagus tapi hangus ini, Ibu Intan menghentikan mobilnya, mematikan mesinnya, lalu keluar diikuti Hutami. “Persis seperti yang saya curigai,” kata Ibu Intan kepada Hutami, bersandar di mobilnya. “Kasihan. Pak Winata ikut jadi korban.” Hutami mengangguk­angguk. Dan, hanya sekian tel saja dari kata terakhir dari kalimat Ibu Intan itu habis terucapkan, seorang bapak­bapak berbaju kembang­kembang ala Hawaii keluar dari rumah di seberang jalan. Dia menghampiri Ibu Intan, menyapa dengan sopan tapi dengan sedikit rambang menghadapi orang yang tidak dikenal. 447 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Ibu cari siapa?” tanyanya. “Ah, tidak,” jawab Ibu Intan. “Saya kenal pemilik rumah ini.” Dan, jeda sebentar. Lalu, “Ini benar rumah Pak Winata kan, Pak?” “Ya, benar,” jawab bapak itu. “Ibu siapa?” Ibu Intan segera berinisiatif mengulurkan tangan, merasa tak leluasa jika ditanyai sebagai orang asing yang ujug­ujug hadir di situ. “Saya Ibu Intan,” katanya. Bapak itu pun terdaulat untuk menyambut tangan Ibu Intan dengan sikap yang membuka diri. “O, ya, saya Paul Mangindaan,” kata bapak itu, menoleh ke belakang, bersamaan dengan nongolnya di situ istrinya yang berdiri memegang kue koyabu yang baru dikupas bungkusnya. “Mari, silakan mampir ke rumah saya, Bu.” “Terimakasih,” sahut Ibu Intan, mengarahkan wajahnya ke istri Mangindaan, dan memberinya senyum simpul. “Saya cuma penasaran saja ke sini. Waktu terjadi peristiwa Mai itu saya kebetulan tidak di Jakarta.” “O, ya,” kata Mangindaan. “Kami sendiri pun masih tidur ketika orang­orang yang tidak dikenal masuk ke dalam sana, membunuh seluruh keluarga Pak Winata.” Ibu Intan menarik nafas keluh. Prihatin nian. “Kasihan,” kata dia. “Anehnya, mayat yang terbakar di dalam sana hanya tiga orang: satu perempuan dewasa, dan dua orang anak­anak,” kata Mangindaan. Ibu Intan tertegun, “Loh? Apa perusuh itu membawa ma­ yat Pak Winata ke tempat lain?” tanyanya, dan dia sendiri heran kenapa dia bertanya begini. “Tidak tahu,” kata Mangindaan. “Tapi mayatnya ada tiga. Semuanya sudah hangus.” 448 Remy Sylado Ibu Intan teringa­inga. Tanpa rencana, boleh dikatakan hanya sebatas kecenderungan naluri untuk bicara, tiba­tiba dia berkata sesuatu yang justru berhulu pada nurani. Katanya, “Tendensi manusia yang berlaku tidak manusiawi, menyebabkan demokrasi menjadi penting bagi manusia.” Mangindaan terperangah mendengar pernyataan itu. Maka tanyanya serius, “Bagaimana, Bu?” Ibu Intan tertawa kecil, seperti mendengus. Katanya, ki­ ni dalam rasa sadar yang menyebabkan kalimatnya tertata, “Selalu terjadi kejahatan dalam demokrasi, dan celakanya itu terjadi atas nama demokrasi juga. Sehebat apapun demokrasi Pancasila sebagai tujuan, tapi ketika di dalamnya tidak terjaga pengawasan atas sendi­sendi susila, pekerti, akhlak, adab, budaya, maka demokrasi hanya menjadi gincu kejahatan ke­ manusiaan yang kejam. Ini buktinya.” Mangindaan terpesona. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 449 www.bacaan-indo.blogspot.com 84 BARANGKALI terbawa oleh ingatan siang tadi, melihat rumah Winata yang hangus terbakar, maka pada malam harinya Ibu Intan bermimpi bertemu seseorang di dalam rumah itu, yang di saat terbangun nanti, wajah orang itu masih terekam jelas di pelupuk matanya. Tanpa dia mengenalnya—sebab belum pernah pula dia menjumpainya—tak pelak orang itu adalah KC: wajahnya lugu, ada kumis ketal mirip punya Saddam Hussein dan janggut carang mirip punya Ho Chi Minh. Mimpinya begitu terang. Rasanya dia tidak perlu membaca buku tentang tafsir mimpi yang biasa dijual di kakilima untuk memahami makna mimpinya itu. Kisahnya, dia masuk ke dalam rumah Winata yang telah hangus itu, dan di dalamnya ada lorong gelap yang sangat panjang, menuju ke sebuah undakan di bawah gunung. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Setelah berjalan di situ, di ujungnya, di depan undakan tersebut, ada seseorang—yang wajahnya merupakan kembaran KC dan tidak dikenalnya itu—bersila di atas sebuah tikar ber­ warna putih salju dengan beberapa kitab bertuliskan huruf­ huruf Arab. Orang itu menyuruhnya berhenti sebentar, “Singgah dulu, Bu, saya ceritakan pada Anda rahasia hari esok,” katanya. Ibu Intan enggan, tak tertarik. “Saya tidak percaya pada tahayul tentang ramalan,” kata­ nya. Tapi kata orang itu, “Saya bukan peramal.” Maka tanya Ibu Intan, “Kalau Anda bukan peramal, lantas siapa Anda?” “Saya gaung suara kebenaran.” “Gaung suara kebenaran?” “Ya.” “Apa itu?” “Wujud nisbi yang kompeten menasehati langkah Anda.” “Apa kata Anda?” “Ya, Ibu Intan, jangan meneruskan jalan ini. Kalau Anda tetap terus, Anda akan mati.” “Semua orang pasti mati.” “Betul, Ibu Intan. Jadi, apa Anda siap mati?” “Dari mana Anda tahu nama saya?” “Saya kenal Anda, Dharsana, dan Marcel. Anda masih terus bertanya­tanya apakah Dharsana terlibat dalam kematian anak Anda. Nah, kalau Anda berkeras berjalan terus, Anda juga akan mati di depan sana tanpa punya kesempatan bertanya lagi: apakah Dharsana terlibat dalam kematian Anda…” Setelah berkata begitu, sekonyong orang yang berwajah KC itu tergulung oleh tikarnya, membuat Ibu Intan takjub, 451 Hotel Pro deo terheran­heran. Buku­buku di tikar itu ikut tergulung bersama tubuh orang itu. Gulungannya ketat, seperti buntelan. Kemudian buntelan itu terputar seperti gasing disertai nada­ nada khas titilaras musik Semit. Tak berapa lama di buntelan itu muncul satu per satu huruf Arab yang terangkai menjadi kalimat. Mula­mula kalimatnya tersaji dalam bahasa Arab asli, kemudian terjemahannya dalam bahasa Indonesia aksara Arab­Melayu atau Arab­gundul. Ibu Intan tidak bisa membacanya, tapi dia aneh mengerti maknanya. Tulisannya begini: www.bacaan-indo.blogspot.com dan: Setelah itu, gulungan yang ada sosok KC di dalamnya ber­ angsur menyusut kecil sampai akhirnya menjadi sebesar pensil, ditiup angin, menghilang. “Hei,” kata Ibu Intan dengan lantang. “Tunggu dulu. Anda ke mana? Anda di mana?” Ibu Intan terputar­putar di tempatnya, melihat ke langit, menunggu bunyi. Dan, suara yang memang sepenuhnya adalah gaung ter­ dengar di depan Ibu Intan, membisik, tapi terlafalkan dengan sangat jelas. 452 Remy Sylado “Aku gaung suara kebenaran.” “Kalau Anda benar suara kebenaran, tampakkan kembali diri Anda.” “Aku berada di dalam hatimu.” “Tidak. Buktikan dulu. Pegang tanganku dan coba tuntun aku ke arah kebebasan. Aku sangat terbelenggu.” “Kebebasan bukan sesuatu yang Anda terima sebagai ha­ diah, tapi suatu ikhtiar dengan keringat untuk Anda rebut dengan kesungguhan dan keberanian sebagai wujud tanggung­ jawab Anda,” Di ujung kalimat itu, buntelan yang mengecil sebagai pen­ sil itu kembali lagi dari atas, jatuh pas di kaki Ibu Intan. Ibu Intan memungutnya. Dan dia pun terbangun dari tidurnya. “Astaga. Aku bermimpi.” Ibu Intan duduk di ranjang, tepekur. “Apa maknanya itu?” Ibu Intan berdiri. Ke kamarmakan. Dia ambil segelas air es. Minum. Lalu tercenung. “Kalau itu benar?” Dia mengembalikan daya ingatnya, mencamkan kembali wajah orang yang menyebut dirinya ‘gaung suara kebenaran’. Rasanya dia tidak lupa wajah orang itu. Dia terus mengingat­ingat sampai terdengar jam dinding berbunyi empat kali. Sebentar lagi corong masjid di dekat rumahnya akan mengimbaukan salat subuh. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 453 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 85 SUNGGUHPUN masa tugas Dharsana tidak lama lagi di kursi DPRRI, karena suara keras mahasiswa terus bersipongang untuk menggusur ABRI dari sana—dari kursi yang sudah ditempatinya sejak Mei tahun 1997, ketika ABRI memperoleh jatah 75 kursi dengan pedoman dwifungsi yang mengabsahkan intervensi ABRI dalam politik—dia tetap ABRI berpangkat kombes dalam pemerintahan presiden baru Habibie. Dan, se­ bagai ABRI dia tetap pula patuh pada perintah komando. Sekaligus tak lupa, dia tetap adalah lakilaki dendi dengan cap DB, doyan banget, antaralain yang baru dilakukannya: selingkuh. Setelah meninggalkan rumah Jeng Retno, Dharsana ber­ maksud bisa cepat memasuki rumah kayu­papan menemui Ibu Intan. Tapi, hanya satu menit setelah kucing hitam memotong jalan mobilnya, telefon di sakunya mendering. Dia lihat layar 454 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado telefonnya. Setelah itu dia suruh Lukman menghentikan mo­ bilnya. “Stop dulu, Man.” Niscaya suara dari telefon nun di suatu tempat membuat­ nya waspada. Lukman tidak tahu siapa yang berbicara itu, tapi dia percaya orang yang menelefon Dharsana ini pasti berpang­ kat lebih tinggi. Sebab sikap Dharsana dalam menjawab telefon itu sangat takzim dan tegas. “Baik, Jendral. Saya segera ke sana. Sekarang juga.” Demikianlah, sebagai ABRI polisi yang patuh pada perintah komando pimpinannya, Dharsana pun langsung ke Bogor, tidak jadi masuk ke rumah kayu­papan. “Cepat ke Bogor, Man,” katanya kepada sopirnya. “Siap, Pak.” Mobil pun meluncur di tol Jagorawi. Tiba di Bogor, mobil memasuki halaman rumah Rachmat Wirjono, teman seangkatan di akademi dulu. Dharsana memasuki ruang di mana telah terlihat beberapa orang perwira, duduk melingkar. Jumlah mereka nanti 20 orang. Mereka adalah perwira­perwira yang tumben terdiri dari golongan apa yang disebut oleh pengamat politik dan pengamat militer sebagai “ABRI merah­putih” dan “hijau”. Di situ mereka membahas keadaan politik negeri berkaitan dengan kendali ke­ presidenan yang sekarang di tangan bekas wapres Bapak Pem­ bangunan. Gambaran rasa tak puas terlihat di wajah beberapa perwira tinggi tersebut, yang akan menjadi lebih jelas ketika perasaan itu terucapkan lewat kata­kata. Mula­mula sang tuanrumah yang rambutnya klimis tapi gepok di sekitar cambang, berdiri, angkat bicara, dan meng­ ucapkan kalimat panjangnya sembari mengelilingi meja tempat orang­orang duduk. 455 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Inilah waktu yang paling tepat bagi kita untuk bertindak dengan tindakan yang tepat juga; Saya ingin kepresidenan yang baru di tangan Habibie berlangsung sebagai transisi semata­mata. Bahwa, kalau nanti terselenggara pemilu yang dipercepat, dia harus turun. “Tapi, masalahnya, saya lihat dia berambisi banget hendak memperpanjang jabatannya sampai 2004, dengan memanfa­ atkan MPR, supaya dia bisa terus di kursinya sampai pemilu lima tahun akan datang. “Indikasi itu sudah terlihat dalam aksi yang dibuatnya: tahanan politik dibebaskan, pers yang kritis dibiarkan ber­ ekspresi bebas, partai politik yang baru diberi peluang…” Dharsana bertanya, “Bagaimana dengan partai pimpinan Megawati? Partainya yang baru malah telah meninggalkan PDI yang merekayasa pencopotannya pada 1996.” “Tidak usah dikuatirkan. Dengan memasang suara partai Islam yang menolak pemimpin perempuan, selesailah dia.” “Lalu Amien?” “Teror dengan cara vlagvertoon, show of force, pasang me­ riam dan tank, seperti yang ABRI lakukan pada sehari sebelum dia berencana akan memimpin demonstrasi besar­besaran di Lapangan Merdeka, bisa membuatnya berpikir dua kali. Dia cukup cerdik, untuk tidak mengatakan ngeper. Buktinya de­ monstrasi besar­besaran yang mau digelarnya 20 Mai itu gagal.” Kemudian, ada yang bertanya soal Gus Dur. “Bagaimana kita manfaatkan Gus Dur?” “Kita lihat saja kepribadiannya yang tidak terduga. Saya percaya dia tidak laras dengan Habibie. Dari awal, berdirinya ICMI yang dipimpin Habibie sudah dikritiknya sebagai alat Orde Baru untuk mengkooptasi Islam. Banyak yang mengikuti jalannya dalam pro­demokrasi yang didengungkannya.” “Melihat bahwa banyak orang yang tertarik pada jalannya 456 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado pro­demokrasi itu, apa tidak sebaiknya diplot orang­orang kita yang bisa bermain dengannya menghadapi kemungkinan­ kemungkinan yang bakal terjadi pada pemilu yang akan datang?” “Apa yang kita kuatirkan?” “Seandainya nanti partainya Megawati menang, DPRRI harus bisa bermain supaya Gus Dur menggantikan Megawati. Dan, kalau itu benar­benar terjadi, kita pun harus bermain untuk menggusurnya. “Tapi, yang urusan nanti biar kita bahas nanti juga; “Sekarang, konsentrasi kita Habibie; “Yang membuat saya bertanya­tanya: apa maksudnya menaruh jaksa agung dan gubernur bank sentral di dalam ke­ dudukan politik? Apa itu dimaksudkannya untuk menunjukkan kepada pro­demokrasi sebagai cara untuk mendorong diterap­ kannya semua kasus hukum agar ditangani benar­benar sebagai sepenuhnya hukum yang tidak pandang bulu, dan kebijakan­ kebijakan ekonomi yang bebas dari segala ketergantungan? “Jika benar begitu, tentu pro­demokrasi melihatnya se­ bagai kemajuan; “Tapi, yang parah, kita menerima prospek penyunatan ABRI dalam politik, namun gagasan Habibie hendak memer­ dekakan Timor Timur sekaligus mencederai ABRI, menyakiti perasaan nasionalisme ABRI, teman­teman perjuangan kita yang sudah berperang melawan penjajahan di sana; “Apa maunya Habibie menggagas itu? Apa dia berharap memperoleh Hadiah Nobel perdamaian seperti Horta dan Belo? “Jelas kita harus menentukan mutu permainan kita; “Saya tidak perlu mengejawantahkan mutu permainan kita itu dengan kata­kata. Saya rasa kita semua sudah tahu apa yang mesti kita lakukan sebagai bayangkara negara. Kalau kita salah bertindak, setidaknya kita bertindak demi BTN: bangsa, 457 tanahair, negara. Percayalah, tidak ada yang salah dalam ke­ salahan bertindak demi bangsa, tanahair, negara.” Semua membenarkan kata­kata itu. Mereka semua mufakat. *** Pertemuan di Bogor ini semata­mata hanya membahas itu. Sehabis membahas masalah pelik itu, mereka semua kembali lagi ke Jakarta. Malam menjelang jam 23.00, Dharsana tiba di rumah kayu­papan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 86 TATKALA Dharsana sedang berada dalam perjalanan menu­ ju ke rumah kayu­papan, arkian di rumah yang bagus dan indah itu Ibu Intan sedang duduk bersandar di dalam kamar, mandam nian menonton TV ditemani Hutami yang tak lupa memijat­mijat kakinya. Ibu Intan amat tertarik melihat seorang ahli hukum perem­ puan, berpraktik sebagai advokat, yang namanya terkesan ndeso dan jadul, tapi cendekia dan cantik: tampil memukau dalam acara ‘pertucara’—singkatan dari ‘pertunjukan bicara’, terjemahan harafiah atas ‘talk show’—sebuah rubrik tayangan TV yang tiba­tiba populer dan disukai khalayak terpelajar se­ telah makzulnya Bapak Pembangunan. Nama perempuan ahli hukum yang dimaksud ini tak lain tak bukan adalah: Juminah. Juminah memperoleh S1 dari Fakultas Hukum UGM, S2 dari Fakultas Hukum Unpad, dan sekarang sedang menyiapkan 459 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo disertasi untuk S3 di Fakultas Hukum UI, sembari kursus bahasa Belanda di Erasmus Huis, Kuningan, karena alasan: semua istilah pelik hukum di Indonesia adalah bahasa Belanda yang diwariskan oleh penjajahan Belanda; sekaligus juga kursus bahasa Prancis di Centre Culturel Français, Salemba, karena alas­ an terpikatnya pada sastra drama Prancis yang dialog­dialognya cerdas untuk dikembangkan dalam praktik pembelaan hukum. Barangkali Dharsana tidak ingat wajah Juminah. Tapi Juminah bisa ingat tampang Dharsana. Sebab, Juminah yang berteriak “Hei!” ketika Dharsana menembak mahasiswa di Senayan dua tahun lalu. Dia bahkan pernah bertanya kepada kembarnya Tuminah: siapa Dharsana. Apabila nanti bertemu muka, pasti keadaannya bakal seru. Sebelum itu, Juminah inilah orangnya yang lewat di jem­ batan layang Senen ketika Pujiastuti mati, lantas KC diborgol oleh polisi, dan dikalimatkan sebagai pembunuh Marc. Dialah yang membuka kaca mobil di saat mobilnya berja­ lan pelan­pelan, melihat dua mayat yang digotong polisi, lalu Todung memukul mobilnya sambil membentaknya: “Sudah, jalan sana, tidak usah lihat­lihat.” Di dalam tayangan pertucara ini Juminah tampil me­ mukau. Juga, karena sebagai tontonan, tak kecil peran kamerawan yang merekam acara itu dan menyiarkannya secara tunda— artinya pertunjukan ini direkam pada pagi hari lantas ditayang­ kan pada malam hari—mengerti betul segi­segi kepatutan dan keserasian audio­visual. Ketika Ibu Intan menontonnya, Dharsana masih duduk di dalam mobil yang distir Lukman, ditemani Todung si pesek jelek yang duduk di sebelah sang sopir, meluncur dari rumah Jeng Retno menuju ke rumah kayu­papan tempat Ibu Intan. “Ayo, ngebut saja, Man,” kata Dharsana kepada Lukman. Yang bukan sopir malah yang menjawab, “Oke, Pak Bos.” 460 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Masih lebih setengah jam baru mobil yang dikebut Lukman tiba di rumah kayu­papan. Di rumahnya itu Ibu Intan baru dibawakan teh panas oleh Hutami, yang segera dihirup Ibu Intan sambil tetap menonton TV­nya. Terucapkan puji di mulut Ibu Intan melihat Juminah. “Ayu.” Hutami pun ikut­ikutan, mendukung omongan majikan­ nya itu sembari cepat­cepat mengulurkan tangan memijat­ mijat kaki Ibu Intan. Katanya, “Bener, Bu, awewe itu geulis pisan.” “Ya,” jawab Ibu Intan, “Padahal, biasanya perempuan yang berambut pendek kelihatan tidak feminin. Dia malah ayu luwes.” “Geulisnya seperti bintang berpagar bulan…” Ibu Intan ketawa. “Ah, kamu tuh mesti asbun lo. Periba­ hasamu selalu terbalik­terbalik.” Hutami juga ketawa, naif seperti anak kecil, “Kumaha atuh leresna, Bu?” “Yang kamu ucapkan itu terbalik, Mi. Harusnya: ibarat bulan berpagar bintang. Ini dimaksudkan untuk perempuan cantik dengan penampilan cendekia.” “O? Sumuhun, Bu, kahayang abdi teh nyarios kitu oge.” Ibu Intan tersenyum. “Ya, deh.” Mata dan telinga Ibu Intan tetap ke TV. Dia benar­ benar senang menonton penampilan Juminah yang sangat pede karena menguasai permasalahan yang dibahas dalam pertucara itu. Selain itu, sosok Juminah memang gesit dan ayu: rambutnya pendek model Demi Moore dalam film Ghost yang membikinnya tampak gesit, dan gaunnya biru muda berkancing depan seperti yang dipakai Nicole Kidman dalam film Fur yang membikinnya tampak ayu. Di luar itu, yang mengesankan dari penampilan Juminah 461 www.bacaan-indo.blogspot.com adalah bicaranya lancar, lafalnya ceta untuk bahasa Indonesia, Inggris, Prancis, Belanda, serta kalimat­kalimat panjang yang terucapkan dengan berbagai intonasi yang indah sebagaimana dikenal dalam ilmu retorika: vokalisasi, eksklamasi, ejakulasi, enunsiasi, voceferasi, artikulasi… Di samping itu, ketika dia menyapa sidang di flor dan pem­ bicara lain di panggung, dia tidak menyebut sapaan yang lazim dalam bahasa Indonesia: “Bapak dan Ibu”, tapi dia memilih menyebut sapaan yang lazim dalam bahasa Malaysia: “Tuan dan Puan.” Lalu, apabila dia mencamkan omongan pihak yang ber­ tanya di flor dan pihak pembicara lain di panggung, dia me­ nunjukkan sikap santun yang luwes: tersenyum­senyum dan mengangguk­angguk sambil sekali­dua mengucapkan satu kata yang terdiri dari dua konsonan yang merupakan ciri kepribadiannya dalam bersosial, yaitu “Hm.” Dia memulai bicaranya dengan mengutip kata­kata elok dari Bertrand Russel, “’We cannot start too soon to combat irrational propaganda’… “Mari kita tidak irrasionil; “Mari kita melihat dengan mata terbuka, bahwa konflik sudah terjadi dengan sendirinya, dan itu bisa terus berlanjut di masa datang; “Tidak bisa diingkar, pengadilan kasus pelanggaran HAM ad hoc terhadap Soeharto memang memenuhi kemungkinan timbulnya konflik antara dua ‘ant’: ant­i Soeharto dan ant­ek Soeharto; “Tapi, mari kita pandang konflik ataupun perselisihan itu sebagai realitas manusiawi. Ada kata­kata bagus dalam bahasa Prancis tentang konteks ini: ‘En effet, puisqu’il y a parmi vous de la jalousie et des disputes, n’êtes­vous pas charnels, et ne marchez­vous pas selon l’homme—Kamu masih manusia du­ niawi, maka jika ada irihati dan perselisihan di antara kamu, www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado itu bukti kamu hidup secara manusiawi’; “Menurut pendapat saya, pengadilan terhadap Soeharto itu hukumnya: harus. Supaya permasalahan yang selama ini hanya berupa wasangka­wasangka dengan tendensi irihati, dendam, perselisihan, bisa terbuka menjadi jernih. Makanya, Jaksa Agung harus segera menyerahkan berkas perkara Soeharto ke pengadilan, supaya cepat dilangsungkan pengadilan terhadap­ nya; “Kalau ada anggapan orang­orang tertentu, bahwa ini menghebohkan dan tidak manusiawi—dan harusnya entri itu jangan dipakai—misalnya karena alasan kesehatan, toh bisa dimanfaatkan fasilitas teknologi canggih, memakai sistem tele­ conference, dan di situ Soeharto bisa menjawab pertanyaan jaksa dan hakim sambil berbaring di sofa atau di divan; “Yang mesti sama­sama kita mafhumi dan kita jauhi dari prejudis, bahwa seakan­akan pengadilan terhadap Soeharto itu adalah cara membalas dendam dari pihak mereka yang merasa telah dizalimi oleh rezim Soeharto. Justru pengadilan itu di­ perlukan supaya, kalau mesti diberikan maaf, sesuai wacana yang berkembang, maka harus diketahui dulu alasan­alasan pemberian maaf itu; “Dalam hal ini kita harus percaya kepada pengadilan. Pengadilan tidak mungkin memandang bulu. Hukum yang kita warisi dari Belanda dengan jelas mengatakan: ‘Het aangezicht in het gericht te kennen, is niet goed—Tidak baik memandang bulu dalam pengadilan’; “Bagaimanapun, tuduhan pelanggaran HAM harus dibuk­ tikan di dalam pengadilan yang tidak memandang bulu. Selama ini memang telah kita ketahui, terjadi pelanggaran HAM seba­ nyak sekurangnya empat ronde di dalam masa pemerintahan rezim Orde Baru. Oleh karena itu, lewat pengadilan yang tidak memandang bulu, kita bisa mengetahui sampai di mana jauh 463 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Soeharto berada di dalamnya; “Empat ronde pelanggaran HAM yang saya maksudkan itu adalah: kasus pembantaian orang PKI pada 1960­an, kasus pembunuhan misterius, petrus, pada 1980­an, lalu kasus­kasus pemaksaan asas tunggal dengan akibat­akibat pelibasan di Tanjung Priok, Haurkoneng, Lampung, serta DOM di Aceh dan Irian, dan terakhir kasus 27 Juli; “Saya ingin mengingatkan, sekarang kita sudah berada di abad yang berbeda, di awal milenium ketiga. Jangan sampai budaya mengulur­ulur waktu menyebabkan kita lupa inti permasalahan kebangsaan kita. Sebab, sudah jadi ciri kita: kita gampang lupa, melupakan, dan akhirnya dilupakan…” Saking mandamnya Ibu Intan menonton pertucara di TV­ nya itu, tidak diketahuinya Dharsana telah berada di situ. Pelan­pelan Dharsana mendekati Ibu Intan, lantas men­ cium pipinya dari belakang. Ibu Intan terkejut. Dia menoleh ke belakang, memandang siapa yang mengecupnya. Bersamaan dengan itu Dharsana berkata, “Aku kangen sekali, Ma.” Hutami cepat­cepat berdiri, “Punten.” Dia meninggalkan suami­istri ini. Ibu Intan menjadi gugup, kagok, dan terbata­bata meng­ hadapi kenyataan yang samasekali tidak diduganya, bahkan tidak diharapkannya. Dia berpaling, maksudnya dia coba ber­ agak­agak dengan ikhtiar untuk mencari dan menemukan cara yang tepat dalam menentukan sikap menghadapi kenyataan ini. Tapi, rasanya itu sulit. Sebelum dia sanggup berpikir me­ nyeimbangkan perasaan kagok dan gugupnya, ndilalah Dharsa­ na telah duduk di sandingnya, bermain Romeo­Romeoan di usia 50­annya. “Demi Tuhan, Sayang, aku rindu sekali pada Mama,” 464 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado katanya. Ibu Intan malah merinding, “Kamu sudah menjadi orang asing dalam hidupku.” “Oh my God. Tidak, Sayang. Jangan bilang begitu.” Ibu Intan terperanjat. Dia berdiri. Diam. Menatap. “Kenapa?” tanya Dharsana heran. “Kamu bilang: Oh my God!? Itu bukan bahasamu. Aku kenal perempuan yang senang ber­O­my­God­o­my­God.” Dharsana tertempelak. Dia berdiri mendekati Ibu Intan. Maunya dia berkata sesuatu untuk menegakkan benang basah. Namun tak ditemukannya cara. Akhirnya dia hanya berkecumik mulut. Yang keluar dari mulutnya adalah kata yang bukan kata: “Eh, eh, eh…” “Sudahlah,” kata Ibu Intan, menjauh dengan cara mundur ke dekat pintu. “Pergilah ke tempat yang sembarang waktu membukakan pintu buatmu. Di dalam hatiku tidak ada lagi pintu buatmu.” “Kenapa Mama bicara begitu?” kata Dharsana meng­ hampiri. “Aku suamimu. Walaupun langit runtuh, Mama tetap adalah istriku.” “Ha­ha­ha. Itu dialog sinetron picisan. Lamar saja ke RCTI atau SCTV untuk bermain sinetron picisan.” Dharsana menangkap lengan Ibu Intan. “Ma, tolong…” Ibu Intan mengebas tangan Dharsana di lengannya. “Sudah aku bilang: kamu sudah menjadi orang asing dalam hidupku.” Ibu Intan pergi. Dharsana mengejarnya. “Ma, aku mohon. Kalau aku salah, aku minta maaf. Aku cium kakimu sekarang juga.” Dharsana menunduk, memegang betis Ibu Intan. Ibu Intan menyepak. Pegangan tangan Dharsana terlepas. Ibu Intan cepat­cepat masuk kamar yang sebelah, me­ 465 Hotel Pro deo nguncinya dengan cepat. Dharsana mengetuk­ngetuk, memanggil Ibu Intan. Ibu Intan memasang TV di kamar ini, melanjutkan me­ nonton pertucara di situ. Apakala dia merasa senang melihat Juminah di TV, inginlah dia berkenalan dengannya. “Aku akan mencari dia.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 466 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 87 SAUDARA kembar Juminah di Surabaya, Tuminah, yang polwan itu, juga menonton tayangan pertucara di TV sambil berbaring di atas kursi panjang. Malam­malam, sekitar jam 1.00, Tuminah menelefon Juminah, memberi pendapat tentang isi tayangan itu. “Aku nonton aksimu tadi di toksou­mu,” kata Tuminah. “Hm.” Juminah ketawa. “Maksudmu: penampilanku atau omonganku yang bagus?” “Dua­duanya jelek,” jawab Tuminah. “Apa ada yang salah?” “Bukan soal salah atau benar.” “Jadi apa?” “Toh yang salah bisa dibenarkan, dan yang benar toh bisa disalahkan.” “Itu kan cara polisi.” “Ya, advokat juga.” 467 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Tapi yang aku omongkan tadi itu kan benar.” “Hm.” “Apa aku dibidik polisi?” “Ah. Sudah aku bilang, persoalannya cuma aksi kok.” “Aksi gimana?” “Ya, gitulah.” “Lo? Gitulah gimana?” “Ya, begitu itu. Aksi.” Juminah tak puas. Dia mencecar. “Ah. Rinciannya bagaimana? Kalau memang jelek, apa itu lantas berarti tidak bermanfaat? Kan bermanfaat toh?” “Ah, kamu geer banget. Pokoknya, ya, begitu itu.” “Begitumu itu abstrak. Bagaimana konkritnya?” “E, alah, kok kamu yang mencecar aku. Mestinya aku yang mencecar kamu. Aku polisi. Kamu advokat. Kamu kayak preman.” “Ha­ha­ha. Jadi begitu toh?” “Ha­ha­ha. Ya, gitu itu.” Keduanya ketawa dengan suara yang sama, laras yang sama, tala yang sama, rima yang sama. Setelah itu, kata Tuminah kepada Juminah, “Jum, dalam waktu dekat aku akan ditugaskan di Jakarta.” Lantas, berkata Juminah dengan girang kepada Tuminah, “Kapan persisnya?” “Paling­paling dalam dua bulan ke depan ini aku sudah ada di Jakarta.” “Hm. Syukur.” Dan, tiba­tiba percakapan berpindah ke sebuah nama desa dekat Malang yang penduduknya sebagian besar petani, Peniwen. “Tadi siang aku tilik Ibu di desa kita,” kata Tuminah. “Ibu baik­baik?” tanya Juminah. 468 “Puji Tuhan, Ibu selalu baik.” “O, syukur.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Juminah pun membayangkan desanya itu. Dia bangga me­ nyebut dirinya orang desa. Begitu pula yang terwakilkan dalam namanya dan nama kembarnya yang memang sangat deso, sangat jowo, deles. Desanya itu, Peniwen, mayoritas penduduknya adalah pe­ meluk agama minoritas. Dalam agama minoritas itu ada tradisi pemantapan ke­ yakinan yang dilakukan secara turun­temurun melalui sebuah upacara mandi—dan hal itu diartikan sebagai lambang dikubur­ kan dan dibangkitkan di bawah satu sosok penyelamat dunia— sebagai keputusan individual yang berlatar spiritual untuk mengaku tentang hanya satu jalan, kebenaran, dan hidup yang menyelamatkan jiwa seseorang dari ancaman neraka. Sebagai orang desa situ Juminah dan Tuminah telah juga menjalani tradisi itu ketika mereka berumur 15 tahun. Biasanya, dalam upacara itu setiap orang yang menjalan­ kannya diberi nama­nama tambahan yang diambil dari peta sejarah nama­nama orang suci, tapi ayah Juminah dan Tuminah tidak berkenan. Waktu itu kata ayah mereka, yang kini marhum, bahwa: orang Jawa boleh beragama samawi apapun, tapi agama itu tidak sertamerta menyelamatkan jiwanya, kecuali karena imannya pribadi, melalui bacaan: kitabsuci yang diamalkannya, serta terakhir karena rahmat Allah sendiri. Itu sebabnya, sampai sekarang Juminah tetap bernama Jawa: Juminah, dan Tuminah tetap bernama Jawa: Tuminah. Tak banyak orang tahu, termasuk ayah dan ibu mereka, yang mengetahui bagaimana keadaan sukma mereka. Bukan hanya dalam tertawa mereka bisa sama. Acapkali dalam jarak yang jauh begini, apabila Juminah merasa sedih, ajaib sekali, perasaan sedih itu bisa juga dialami oleh Tuminah. Termasuk perasaan­perasaan nafsu yang merupakan wilayah naluri, serta cinta yang merupakan wilayah nurani. Keduanya bisa sama­sama muncul di hati masing­masing. Keduanya belum nikah. Dan, khusus dalam menaksir so­ sok lelaki yang ideal, tumben, mereka tidak sama. Barangkali perbedaan itu pula yang membuat mereka sama­sama belum nikah di usia yang matang. Padahal ibu mereka, satu­satunya orangtua yang masih hidup di desa, sudah mengharapkan menggendong cucu. *** Sebelum menutup telefon, Juminah bertanya kepada Tu­ minah, “Kapan kamu ke Ibu?” Jawab Tuminah, “Lo, harusnya aku yang bertanya itu. Aku kan baru saja bilang, tadi siang aku ke sana.” “Ya, ya, ya, aku akan ke sana,” kata Juminah. “Aku memang sudah rindu desa.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sementara itu, pada jam sebelumnya, seorang perwira yang dulu ditugaskan oleh Rachmat Wirjono untuk mencari informasi tentang ‘perempuan bersuara keras’ yang berorasi di mimbar bebas UI, menelefon Rachmat Wirjono untuk me­ nonton acara pertucara tersebut. Kata perwira itu, “Pak, perempuan yang baru muncul di talk show itu yang dulu tampil keras di mimbar bebas UI.” “Ya, saya nonton,” kata Rachmat. “Tapi tatanan sekarang sudah berubah. Mereka berhasil. Kita akui saja itu sebagai rea­ litas sejarah.” *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 88 IBU Intan memutuskan untuk harus hari ini menemui Juminah. Dalam keinginannya yang tak terbendung untuk menemui Juminah, Ibu Intan teringat juga akan saran keempat rohaniwan dari Rumah Rukun yang menasehatinya itu, bahwa masalah yang dihadapinya ini adalah sepenuhnya persoalan hukum: maka harus ditangani oleh polisi dan pengacara. Pagi menjelang siang, di saat Jakarta, ajaib, dibasahi rintik­rintik di musim yang masih kemarau—sekitar dua jam setelah Dharsana pergi meninggalkan rumah, dan entah ke mana, tak lagi dipusingkan Ibu Intan—arkian Ibu Intan pun dengan berpakaian sederhana: rok batik dan blus katun berwarna krem, berangkat menuju ke Jakarta Barat dengan mobil jip Mercedez­nya. Dia menuju ke daerah Kebon Jeruk, ke studio brodkas TV yang kemarin menayangkan acara pertucara itu. Di kantor TV ini dia bertanya alamat rumah Juminah, dan dia diberi alamat 471 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo kantor Juminah di daerah Kebon Rambutan. Cepat­cepat Ibu Intan meluncur ke sana. Sepanjang jalan dari barat ke timur, di sudut­sudut kota yang strategis untuk bisa ditangkap mata, terlihat spanduk­ spanduk dari Kodim dan Kodam bertuliskan putih di atas hi­ jau, semboyan brakilogi: DAMAI ITU INDAH. Maunya apa de­ ngan semboyan itu, tak diketahui Ibu Intan. Setahu Ibu Intan, semboyan ketentaraan yang lebih afdal adalah: PERANG ITU INDAH. Sebab, tugas tentara memang harus berperang me­ lawan musuh negara, demi tanggungjawab kebangsaan tenta­ ra harus berperang melawan penjajah yang hendak menjajah kemerdekaan. Setelah perang, barulah digagas aturan damai­ nya. Sekarang ini pun, Ibu Intan yakin pada bisikan hatinya, bahwa dia harus menyelesaikan perangnya dengan Dharsana. Menyelesaikan perang baginya tidak berarti dengan itu dia me­ nuju ke suatu aturan damai. Dia sudah tidak tertarik pada per­ damaian. Dia sudah tiba di ambang waktu paling rawan untuk dianggap tahan terhadap penjajahan atas jiwanya. Artinya, sepenuh jiwa­raga dia tidak tahan hidup bersama Dharsana. Maka, bertemu dengan Juminah diharapnya bisa segera mengumumkan perangnya, menyelesaikan masalahnya di pengadilan. Sekitar kurang sepuluh menit dari perempatan sebelum mendekati alamat kantor Juminah, jalanan agak macet. Terpak­ sa Ibu Intan harus bermain kaki antara kopling, rem, dan gas. Tak jauh lagi, sampailah Ibu Intan di alamat yang didapatnya dari kantor stasion TV tadi. Dari jalan terlihat dengan jelas nomer 23 terpasang di depan gedung ruko empat tingkat. Dia belokkan mobilnya ke halaman ruko itu. Dia parkir mobilnya, keluar, lantas berjalan ke gedung ruko itu. Di atas gedung dia melihat plang bergambar mawar merah: yaitu 472 Remy Sylado mawar yang dikenal awam sebagai bunga harum keluarga Rosaceae. Di bawah gambar mawar itu terbaca tulisan: Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. Tiga nama tertera di situ. Pertama Dr Ruhut Lumbantobing SH; kedua Juminah SH, MH; ketiga Ipong Purnomo SH. Ibu Intan berdiri sesaat, terkesima membaca: Mawar Saron. “Lo? Aku ingat. Aku pernah akan menghubungi lembaga Mawar Saron ini, tapi tidak jadi. Oh! Aku senang.” Ketika dia memasuki ruang pertama, tampak lagi di din­ ding sebuah lukisan catminyak berukuran 120x100 cm: mawar merah dalam jambangan, disertai empat larik puisi dengan huruf Old English di bawahnya dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. www.bacaan-indo.blogspot.com Aku bunga mawar dari Saron bunga bakung di lembah­lembah Bagai bakung di antara onak­duri begitu cintaku di antara putri­putri I am the rose of Sharon and the lily of the valleys As the lily among thorns so is my love among the daughters Niscaya Ruhut Lumbantobing—yang dikenal giat juga da­ lam kor HKBP untuk suara tenor—adalah orang yang memilih nama ‘Mawar Saron’ bagi lembaganya. Dia, seperti kebanyak­ an Nasrani, keliru membaca teks puisi Salomo dari Kidung Agung 2:1­2 itu, mengira bahwa bunga yang diterjemahkan menjadi ‘mawar’ dalam bahasa Indonesia, dan ‘rose’ dalam bahasa Inggris, adalah kembang yang dalam istilah biologinya: Rosaceae. Padahal, dalam teks bahasa Ibrani, yang merupakan 473 www.bacaan-indo.blogspot.com bahasa asli puisi Salomo, bunga ini disebut khabatstseleth, yaitu jenis bunga liar keluarga tulip yang hanya hidup di lembah­lembah pegunungan tandus Palestina. Apakah itu perlu diketahui Ibu Intan? Masakbodoh! Tidak ada perhatian Ibu Intan terhadap nama itu. Dia datang ke sini semata­mata karena hendak bertemu dengan Juminah. Maka, tanpa ragu dia masuk ke dalam gedung. Kepada sekretaris yang duduk pas di bawah lukisan catminyak mawar itu, dia mengangguk, memberi salam, “Selamat siang, Mbak.” Sekretaris itu pun memasang wajah ramah di mukanya, berkata sopan menurut basabasi yang sudah umum di berbagai kantor antero Jakarta: “Ada yang bisa saya bantu, Bu?” “Saya ingin ketemu Mbak Juminah,” sahut Ibu Intan. Sekretaris itu pun berkata sebuah kalimat hafalan yang sudah umum pula diucapkan oleh sekretaris­sekretaris dari kantor swasta ataupun kantor negeri antero Jakarta: “Apa Ibu sudah ada janji dengan Beliau?” Pertanyaan yang terasa terlalu resmi, tapi memang be­ gitu tugas sekretaris, sempat membuat Ibu Intan tawar hati. Jawabnya pendek, “Belum.” Tapi setelah itu, “Apa saya harus bikin janji sekarang supaya bisa ketemu besok?” Sekretaris itu menampik dan membuka diri. “Soalnya Ibu Juminah sedang miting di lantai dua, Bu. Silakan saja Ibu duduk dulu. Nanti saya tanya, apa mitingnya sudah selesai.” “Terimakasih,” ujar Ibu Intan. Sekretaris itu mengangkat telefon, menghubungi ke ruang rapat. Sebelum tersambung, dia bertanya kepada Ibu Intan, “O, ya, Ibu siapa ya?” “Ibu Intan.” “Ibu Intan?” www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya. Begitu.” Telefon tersambung. Sang sekretaris pun bicara pelan­ pelan, nyaris seperti bisik­bisik, tak terdengar oleh Ibu Intan. Setelah gagang telefon ditaruh, sang sekretaris pun berkata kepada Ibu Intan dengan wajah yang ramah seperti awalnya. “Silakan masuk, Bu.” “Terimakasih.” Ibu Intan berdiri dari kursi yang baru saja dia duduki, melangkah ke dalam melewati ambang tanpa pintu. Di dalamnya, seluruh dindingnya dipenuhi dengan piagam­pia­ gam berbingkai kaca. Ibu Intan memandang ke sekelingnya. Di antara piagam­piagam itu, ada sebuah poster huruf cetak dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, terpasang di tengah­tengah: “Tegur mereka yang hidupnya tidak tertib, hibur mereka yang kecewa, bela mereka yang lemah—warn them that are unruly, comfort the feeble­minded, support the week.” Ketika Ibu Intan sedang membaca itu, muncul Juminah dari sebelah kirinya. “Selamat siang, Ibu,” sapa Juminah, menyambut, meng­ ulurkan tangan, memberi salam. Ibu Intan sempat terpesona. Dia ulurkan pula tangannya, menatap wajah Juminah. “Saya menonton Mbak kemarin,” kata Ibu Intan. Juminah tersenyum, sekadar memberi apresiasi alakadar. “Silakan duduk.” Ibu Intan duduk. Juminah duduk. Juminah memberi kartunama. Kartunamanya umum. Ibu Intan memberi kartunama. Kartunamanya tidak umum. Begini: Nama saya: Ibu Intan Alamat saya: Rumah Kayu­Papan Telefon saya: 01­53­953­953­9 475 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Tertarik membaca kartunama yang tidak lazim ini, Juminah menatap wajah, bertanya lebih pada dirinya sendiri, “Rumah Kayu­Papan?” Ibu Intan mengangguk dengan cara yang amat ramah. “Begitulah, Mbak. Saya lebih suka tinggal di rumah yang terbuat dari kayu dan papan.” “Hm.” Tak bisa dipastikan oleh Ibu Intan, apa makna di belakang kata ‘hm’ yang diucapkan Juminah. Apakah itu berkasad positif atau apakah itu berkasad negatif, tak mudah diterka. Mudah­mudahan saja ‘hm’­nya Juminah itu tidak berarti meremehkan tempattinggal Ibu Intan. Sebab, banyak orang kota metropolitan menganggap, bahwa rumah kayu dan papan adalah rumah­rumahnya orang kampung yang miskin. Di sam­ ping itu, penampilan Ibu Intan sendiri, yang hanya memakai blus katun krem dan rok batik motif klitik bligo, kesannya sangat sederhana. Dan, biasanya pula kata ‘sederhana’ pun sering disimpulkan sebagai sesuatu yang murah. Bahwa ‘murah’ biasa hanya dibeli oleh orang­orang miskin. Maka, boleh jadi benar, ada rasa ‘bawah taksir’ di mata Juminah memandang Ibu Intan. Bila benar begitu, maka Juminah keliru. Juminah tidak tahu, bahwa tas yang dipakai Ibu Intan, tempat dia mengeluar­ kan kartunamanya tadi, bukanlah tas bikinan Tajur atau Tanggulangin, tapi tas yang dibelinya di Paris seharga—jika di­ kurs rupiah—sekitar 20 juta. Pertanyaan Juminah, walaupun kalimatnya sangat umum, sedikit­banyak memberi gambaran sekilas akan rasa ‘bawah taksir’ tersebut. Pertanyaannya muradif dengan yang diucapkan sekretarisnya tadi: “Jadi, apa yang bisa saya bantu, Bu?” “Terusterang, saya kagum melihat Mbak kemarin di TV. 476 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Saya percaya Mbak bisa membantu saya.” “Soal apa ya, Bu?” “Saya ingin cerai dengan suami saya,” “Wah?” Tampaknya Juminah ragu dan buncah. Rasanya dia tidak percaya pada mata dan telinganya, melihat dan mendengar pengakuan seorang perempuan 40­an tahun, yang mestinya sudah mapan berumah­tangga, malah ternyata masih bicara soal perceraian. Dia diam, menatap dengan pandangan menerka. Ibu Intan merasakan keraguan Juminah. Maka dia pun berkata dengan bayan, “Ya, Mbak, saya serius.” Juminah merasa terdaulat. Dia garuk­garuk kepala dengan wajah mewakili rasa ganjil di hati. “Hm,” katanya mencoba memahami permasalahan Ibu Intan. Ibu Intan menunggu. “Bagaimana, Mbak?” Rasanya Juminah menemukan jawabannya. Di balik kata­ katanya terbetik nuansa mengelak. “Begini, Bu,” kata Juminah, menaruh kedua tangan di atas meja, memandang lurus ke muka Ibu Intan. “Sebenarnya lembaga kami: Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron, lebih direpresentasikan kepada pihak­pihak yang tertindas, terleceh­ kan, teraniaya oleh sistem kekuasaan.” “Apakah istri yang ditampar dan ditinju oleh suami tidak boleh dikatakan: ditindas, dilecehkan, dianaiaya?” Juminah haga, memandang dengan mulut menganga, me­ nyerap kata­kata yang diucapkan Ibu Intan antara getir, marah, dan letih. “Bagaimana, Bu?” “Ya, ini serius, Mbak. Saya mengalami kekerasan dalam rumahtangga. Apa Mbak tidak lihat ini sebagai kejahatan lelaki 477 Hotel Pro deo terhadap perempuan: yang merasa diri berkuasa terhadap yang lemah?” Sekonyong Juminah berubah dari rasa ‘bawah taksir’ ke perasaan senasib­sepenanggungan sesama perempuan. Maka, tegas jawab Juminah atas pertanyaan Ibu Intan itu. “Tentu,” katanya. “Mbak bisa membantu saya?” “Tentu.” Ibu Intan memegang dada. “Alhamdulillah.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 478 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 89 “O, alah, Mas, kok maido toh yo? Just tell me what’s on your mind, darling.” Itu kata Jeng Retno, biasa, dengan gaya gatal yang mirip seperti digeruit­geruit ulatbulu, sembari membelai­belai ram­ but Dharsana yang berbaring teranja­anja di pangkuannya. Hari ini hari yang sama Ibu Intan mendatangi kantor Lem­ baga Bantuan Hukum Mawar Saron, menemui Juminah. Hari ini hari kerja, hari sibuk sipil dan militer, tapi Dharsana masih berleha­leha di pangkuan Jeng Retno, selesai menikmati sensasi seksnya. Memang benar kata Nia dulu kepada Winata—yang diduga sudah habis dimakan cacing­cacing di tanah—bahwa Jeng Retno pandai membuat lakilaki menjadi tawanan nafsunya. Kepandaian Jeng Retno diperolehnya dari pertama: rajin­ nya berpuasa daud, yaitu sehari tak makan sehari lagi boleh 479 www.bacaan-indo.blogspot.com makan tak kenyang; dan kedua: taat meminum sejumlah ja­ mu, yaitu jamu galian singset, jamu anti pektay, jamu pasak bumi, jamu penyempit vagina; serta ketiga: pantang memakan ketimun dan nenas karena buah­buah ini dipercaya bisa mem­ buat vaginanya berbecek. Memang, semua lakilaki yang berpengalaman zina dengan Jeng Retno bisa menceritakan sensasi vaginanya yang luar biasa. Terasa bagaimana penis masuk ke dalamnya seperti baut yang seret berputar menembusi mur yang kering dilengketi karat. Itulah resep Jeng Retno membuat lakilaki bertekuk lutut, ketagihan pada vaginanya. Untuk itu, tidak ada bukti yang boleh mengatakan bahwa resep itu adalah muslihat Jeng Retno yang terwaris dari roh nymphomania Valeria Messalina sang empres Romawi tahun 22­48 dan Tzu Hsi atau Hsiao Chin atau Yehonala sang empres Cina tahun 1835­1908. Tapi Jeng Retno menolak dibilang nymphomania. “Siapa bilang aku nymphomania: strong sexual desire in a woman to a degree considered as unhealthy?” Itu pernah dikatakan Jeng Retno kepada Nia, iparnya. Toh Jeng Retno sadar, bahwa jika dia tidak ketemu penis barang sehari pun, kepalanya pening, dan konsentrasinya buyar. Karena di cerita ini sosok Dharsana merupakan salahsatu tokoh utama, maka lakilaki yang muncul dalam konsentrasi Jeng Retno memang cuma Dharsana. Dharsana toh tidak tahu, bahwa di belakang dirinya, Jeng Retno masih punya beberapa koleksi penis yang lain, yang sewaktu­waktu, jika kepalanya pe­ ning dia akan menelefonnya untuk datang memijatnya, meng­ urutnya… Kini, konsentrasi Jeng Retno memang pada Dharsana. Dalam beberapa hal, Dharsana menyenangkan, memberinya hiburan, antaralain atensinya yang luar biasa kepadanya, serta uang belanja. “Aku cuma kuatir pada dikau,” kata Dharsana. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Wis toh, ora usah ngono­ngono banget. I can take care of myself,” kata Jeng Retno. “Dikau harus tahu keadaan Jakarta dalam waktu­waktu mendatang. Tidak kondusif lo, Sayang. Aku rasa lebih baik dikau menyingkir dulu ke Magelang.” “Oh my God!” “Kenapa? Maksudku di sana lebih aman. Sekalian lihat­ lihat Mayang di sana.” “Ah, peduli amat! Itu kan anak Iskandar. Biar saja. Sudah bagus masih diurus ibuku.” “Tapi, kalau dikau di Magelang, itu lebih aman ketimbang di Jakarta.” “Are you nuts? Where do you get the idea for that? Lihat dong, Mas. I’m OK.” “Maksudku, aku ingin bilang, keadaan di ibukota ini dalam waktu­waktu berjalan ini—dalam pantauan intelijen—bisa bergolak. Aku pikir, meninggalkan Jakarta sebelum pergolakan itu terjadi, lebih baik.” Jeng Retno berhenti membelai rambut Dharsana. Dia do­ rong kepala. Maksudnya supaya Dharsana duduk, tidak tiduran di pangkuannya. “Jan­jane ono opo toh, Mas?” katanya. Dharsana duduk. “Dalam pantauan intelijen: golongan kiri, Marxis baru, mulai meresap dalam pandangan mahasiswa. Golongan itulah yang ikut bergerak di belakang pertikaian Muslim­Kristen. Ka­ mi bisa melihat dari sekarang, bahwa pemilu 1999 pasti akan terjadi pertumpahan darah.” “Are you sure?” “Ya.” “Tapi aku tidak takut. Dikau polisi. Aku berlindung pada­ mu. You’re my superman. The unforgettable. Ha­ha­ha.” “Ya. Aku cuma usul saja.” 481 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Usul diterima kalau itu adalah: kita bermain ronde kedua pagi ini.” “Ini sudah siang, Sayang.” “Oh my God! Ini baru jam 10.00, Sayang. Yang namanya siang itu jam 12.00.” “Oke deh.” Jeng Retno pun memasang CD kecapi­suling Sunda untuk mengiringi persetubuhannya. Aneh, baru sekarang ini Dharsana memperhatikan dan menyadari, bahwa setiap hendak bersetubuh, Jeng Retno selalu memutar musik kecapi­suling Sunda. “Kenapa selalu musik itu?” “Gairahku selalu lebih menyala diiringi musik ini.” “?” Cepat Jeng Retno menarik tangan Dharsana ke kamar, ke atas ranjang. Dan, baru saja langkah Dharsana maju empat­lima tapak ke situ, ponsel di bajunya berbunyi. “Cuekin,” kata Jeng Retno. Tapi Dharsana membaca nama yang tertera di kaca ponsel­ nya itu. Dan, demi melihat itu, Dharsana terkesiap. “Astaga,” katanya. “Telefon dari Pak Wirjono. Aku harus menghadap.” “Oh my God!” Jeng Retno kecewa. Yang diharapkannya dapat mengen­ durkan pikirannya, malah sertamerta membuatnya uring­ uring. Kepalanya pening. Lebih pening dari biasanya. Dua menit setelah Dharsana meninggalkan rumahnya, buru­buru dia angkat telefon, menghubungi seseorang. Katanya singkat lagi lenjeh, “Ke sini dong, Bang Yos. Kepalaku pening nih.” *** 482 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 90 DI saat Dharsana meluncur menuju ke Markas Besar, tak dike­ tahuinya di kantor Juminah: Ibu Intan sedang membeberkan alasan­alasan mengapa dia ingin bercerai dengan suaminya itu. Bagaimanapun Juminah harus tahu dulu—didengar oleh Ipong Purnomo, tanpa Ruhut Lumbantobing—bagaimana rin­ ciannya perlakuan suami Ibu Intan yang dikatakannya sebagai kekerasan dalam rumahtangga: tampar dan tinju. “Ibu tadi bilang: suami Ibu melakukan kekerasan dengan menampar dan meninju?” “Ya.” “Hm. Terus?” “Ini terjadi setelah anak saya Marc tidak ada lagi.” “Hm. Anak Ibu tidak ada? Ke mana?” “Anak saya meninggal. Dan saya yakin mati karena reka­ yasa suami saya.” “?” Juminah bingung. “Bagaimana itu? Ibu bilang anak Ibu 483 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo meninggal karena rekayasa suami Ibu? Saya tidak mengerti.” “Ya, begitu katahati saya.” “Katahati?” “Ya, Mbak. Saya curiga, kematian anak saya itu direkayasa oleh suami saya.” Juminah makin tidak mengerti, berkerut dahi, meman­ dang wajah Ibu Intan dengan duduk kaku di kursinya. Katanya ragu, “Bu, saya belum mengerti. Apa Ibu ber­ maksud mengatakan bahwa suami Ibu—lakilaki yang ingin Ibu gugat untuk cerai itu—adalah orang yang mungkin berada di belakang kematian anak Ibu?” “Ya.” “Bagaimana bisa ayah membunuh anak?” Ibu Intan diam sebentar, menarik nafas, lantas meng­ hembusnya. “Saya bicara tentang suami yang sekarang, suami kedua, namanya DB Dharsana.” Juminah dan Ipong sama­sama terkesima. “Pernah mendengar nama yang saya sebut ini?” Juminah dan Ipong saling pandang. Rasanya mereka ingat nama itu. Malahan Juminah pernah menelefon kembarnya, Tuminah, yang polisi di Surabaya, pada sekian bulan lalu me­ nyangkut berita di suratkabar tentang hasil pengadilan yang memvonis 20 tahun kepada pembunuh ‘anak’­nya. Tapi Juminah tidak menjawab pertanyaan Ibu Intan. Wajahnya saja yang kelihatan ajun hendak mendengar omongan Ibu Intan sendiri. “Suami saya kombes, pernah menjadi wakil ABRI di DPRRI.” “Ibu bawa fotonya?” tanya Juminah. “Amit­amit,” jawab Ibu Intan. “Lukisan dirinya masih 484 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado ada di rumah saya. Kalau saya berhasil cerai, akan saya taruh lukisan itu di Kebon Binatang Ragunan.” Juminah dan Ipong ketawa. Sambil ketawa, terangsang pikiran Juminah untuk menge­ tahui lebih jauh: siapa anggota DPRRI dari perwakilan ABRI yang disebut oleh Ibu Intan itu. “Sebetulnya, kalau Ibu bawa fotonya, barangkali saya tahu suami Ibu itu.” “Lihat saja lukisan dirinya di rumah saya, sebelum saya taruh lukisan itu di gudang.” *** Juminah dan Ipong ke rumah Ibu Intan dengan dua mobil. Di depan mobil Ibu Intan yang distirnya sendiri, dan mobil yang satu, yang distir Ipong mengikutinya dari belakang. Gambaran dalam pikiran Juminah bahwa Ibu Intan bukan orang kaya, antaralain karena pakaiannya sederhana, dan pengakuannya bahwa dia senang pada rumah kayu dan papan, sebentar lagi mesti dikoreksinya. Di depan gerbang rumahnya, yang di atasnya tertulis: Ru­ mah Kayu­Papan, Ibu Intan mengklakson mobilnya, dan dari dalam dua orang—Ujang dan Hutami—berlari­lari membuka­ kan gerbang yang terbuat dari kayu jati. Setelah gerbang dibuka, dan Ibu Intan turun dari mobilnya, diikuti oleh Juminah dan Ipong turun juga dari mobil mereka, terheran­heranlah Juminah melihat rumah Ibu Intan. “Saya tidak membayangkan bahwa rumah kayu­papan yang ada di kartunama Ibu itu ternyata seperti ini,” kata Juminah. “Begitulah, Mbak,” kata Ibu Intan. “Rumah adalah tempat­ tinggal, dan di tempattinggal saya harus siap­siap juga untuk menjadikannya sebagai tempat meninggal.” 485 www.bacaan-indo.blogspot.com Juminah mengangguk­angguk menunjukkan pengharga­ annya pada pandangan Ibu Intan tersebut. “Di rumah saya ini, memang semuanya kayu­papan,” kata ibu Intan. “Yang bukan kayu­papan cuma kamarmandi dan WC. Di WC saya pajang lukisan­lukisan yang bisa meneduhkan perasaan.” Juminah sempat masuk ke dalam WC ini, pipis, sembari memandang lukisan­lukisan itu. Kemudian, setelah keluar, dia bertanya kepada Ibu Intan: “Mana lukisan wajah suami Ibu?” “Di serambi tengah,” jawab Ibu Intan, bergeser ke situ seraya menggubitkan tangan ke arah dalam. “Mari, silakan masuk.” Juminah dan Ipong masuk ke situ. Lukisan wajah Dharsana tidak digantung di dinding, tentu, sebab dinding sepenuhnya terdiri dari ukiran sosok­sosok wa­ yang lengkap dengan latarmuka dan latarbelakang. Lukisan wajah Dharsana itu ada di atas kanvas berukuran 80x140 sentimeter, disandarkan di tripot dengan lampu sorot khusus menyinarnya dari atas. “Nah, ini dia orangnya,” kata Ibu Intan menunjuk lukisan wajah Dharsana. Juminah menghampiri, berdiri di depan lukisan itu. Demi melihatnya, Juminah kaget sekali, terkinjat, bengong, mulut menganga, tak keluar kata­kata. “!” Ya. Dia ingat. Tak mungkin salah. Tampang yang ter­ pampang di atas kanvas ini adalah orang yang diteriakinya “Heiii!” di depan kampus Unika Atma Jaya waktu itu. Bengongnya memandang lukisan itu, membuat Ipong penasaran lantas bertanya dengan cara membisik, “Ada apa, Mbak?” www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Juminah menjawab juga dengan cara membisik, “Aku ingat muka orang ini.” Kemudian, cepat­cepat dia berkata kepada Ibu Intan, “Jadi, ini suami Ibu?” “Ya,” Jawab Ibu Intan. “Tepatnya: dulu sayang kini ga­ rang.” “Hm.” Juminah tersenyum, menunjukkan atensi semadya­ nya. “Maaf,” kata Ipong menengahi bicara. “Bagaimana cerita­ nya Ibu menjadi istrinya?” “Itu terjadi empat tahun lalu,” jawab Ibu Intan mengingat­ ingat. “Waktu itu saya janda. Dia mengaku duda, dan ternyata dia bohong. Tapi apa boleh buat, saya nikah dengannya, dan setelah itu saya baru tahu bahwa saya keliru.” “Suami Ibu yang terdahulu?” “Diplomat Prancis, namanya André Margaux, tewas dalam huruhara di Angola. Dalam keadaan terpukul saya bersama anak kami pulang ke Indonesia. Padahal adik­adik suami saya André menyaran untuk kami tinggal di Prancis.” “Hm.” Juminah mengangguk, tertarik, memberi sekadar apresiasi. “Saya bisa mengerti kenapa Ibu merasa menyesal kehi­ langan anak Ibu,” kata Ipong. “Ya, betul,” jawab Ibu Intan. “Nama anak saya Marcel Mar­ gaux. Dia lahir di Lyon, kota di tenggara Paris, asal André. Di sana, di lembah Rhône, keluarga André adalah petani anggur yang kaya. Mereka sangat memanjakan anak saya. Saya merasa amat dihargai. Nah, sementara itu, Dharsana tidak pandai meng­ ambil hati anak saya. Hubungan mereka seperti kucing dengan anjing. Sampai akhirnya Dharsana memukul anak saya. Cara pukulnya bukan sebagaimana lazimnya ayah yang sayang pada anaknya. Tapi ini sungguh­sungguh pemukulan dari seorang tentara yang menang terhadap tawanan tentara yang kalah. Sungguh satu tindakan yang kejam sekali. Saya menyadari 487 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo itu, setelah anak saya meninggal. Dan saya curiga, seperti saya bilang: kematian anak saya pasti rekayasa Dharsana.” “Kenapa Ibu berpikir begitu?” “Firasat seorang perempuan.” “Hm.” “Lebih­lebih, saya terus berpikir­pikir makna yang di­ katakan oleh Winata—kasihan: saya dengar dia bersama keluarganya menjadi korban kerusuhan Mai—yang mengarah pada dukungan atas kecurigaan saya itu. “Saya ingat betul kata­katanya. Dia suruh saya jangan menunda­nunda waktu. Sekarang saya paham, maksudnya: jangan menunda­nunda waktu untuk curiga bahwa anak saya pasti dibunuh oleh suami saya…” Juminah menaruh jeda pada omongan Ibu Intan. “Bu, sori,” katanya. “Mana yang Ibu pikir harus didulukan penanganan hukumnya melalui lembaga kami: mengurus per­ ceraian Ibu, atau menyelidik dugaan Ibu bahwa suami Ibu itu adalah yang membunuh anak Ibu?” “Mau saya sih, kalau bisa: satu tepuk dua nyawa melayang,” jawab Ibu Intan. “Tapi, memang yang mendesak: cerai.” “Baiklah,” kata Juminah. “Memang ada yang mengatakan kepada saya, kalau mau mengurus kedua­duanya, saya harus juga melapor ke pihak polisi. Padahal Dharsana sendiri polisi. Nah, apa Mbak siap menghadapi ini?” “Saya anak kembar, Bu. Kembaran saya polisi. Tapi dia masih bertugas di Surabaya. Dua bulan lagi dia dipindahkan ke sini.” Mata Ibu Intan membulat. “Oh, Tuhan sudah menunjuk orang tepat buat saya.” *** 488 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 91 TADI, ketika akan memasuki halaman rumah kayu­papan, Dharsana bilang dia ditelefon oleh Rachmat di Jl. Trunojoyo, karenanya dia cepat­cepat menyuruh Lukman memutar stir, langsung menuju ke tempat orang yang menelefonnya itu. Seandainya dia jadi masuk ke dalam rumah, niscaya dia bakal bertemu dengan Juminah dan Ipong. Yang akan bertemu dengan Juminah dan Ipong di rumah ini, nanti, dalam beberapa menit mendatang adalah dua orang yang menyebalkan: Sri Hartini dan Singgih. Sekarang, ketika sedang memacu mobil ke Jl. Trunojoyo, pikiran Dharsana tidak tenang. Pertanyaan dalam dirinya, mengapa cara Rachmat menyuruhnya segera ke kantor pusat tampak serius sekali. Mestinya kalau Rachmat yang menelefon langsung, berarti ada masalah penting yang akan dibahas. 489 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Begitu Dharsana duduk di hadapannya secara muka de­ ngan muka, artinya tiada orang lain dalam ruangan yang ter­ tutup ini, kecuali mereka berdua. Maka Rachmat Wirjono pun membuang sebuah majalah Australia terbitan Melbourne un­ tuk dibaca. Sambil membuang majalah itu ke hadapan Dharsana, tumben Rachmat ber­Anda kepadanya. “Anda ceroboh!” katanya. Tentu saja ini bukan percakapan sosial. Dengan membuang majalah itu ke hadapan Dharsana, disertai kalimat interjeksi yang diucapkan tanpa senyum, jelas adegan ini merupakan suatu sidang kecil yang serius mendakwai Dharsana. Sebaliknya Dharsana masih bertanya­tanya sendiri di dalam pikirannya. “Ada apa, Jendral?” “Baca saja sendiri!” Dharsana pun mengambil majalah itu. Dia melihat halaman yang sudah terbuka. Tanpa membaca judulnya, dia sudah terperanjat, gugup, senewen sendiri. Di ha­ laman majalah yang sudah terbuka itu, terpampang foto James Winata. Judulnya: “Race Discrimination Victim.” Isinya wawancara wartawan majalah itu dengan Winata yang kini berada di Australia. Diceritakan di situ bahwa ada seseorang—yang disebut Winata sebagai malaikat—datang me­ nolong kepadanya ketika dia sekarat akibat tembakan Todung di dadanya. Menurut Winata, orang yang disebutnya malaikat itu tiba­tiba muncul di dalam rumahnya yang sedang terbakar, membawanya keluar, dan merawatnya di suatu tempat entah di mana. Di situ, dalam keadaan samar­samar, telinganya mendengar orang melafal kata­kata yang tidak dipahaminya. Setelah itu dia pingsan, tak sadarkan diri. Entah berapa lama. 490 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Apabila dia siuman, maka dia heran, dia berada di rumahsakit yang perawatnya semua orang kulit putih. Bela­ kangan dia baru tahu, bahwa melalui jalur istimewa di ke­ dutaan Australia dia dibawa ke Melbourne, dioperasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di dadanya. “Nah, baca itu,” kata Rachmat. “Penanganan operasi Anda benar­benar kacau. Bayangkan, Winata bisa menceritakan de­ tail, mula­mula telefon Anda kepadanya sehari sebelum peris­ tiwa, yang menyuruhnya jangan keluar rumah, tapi hanya dalam hitungan jam terjadi peristiwa itu: mengenali Todung sebagai orang Anda memperkosa istrinya, menembaknya, dan anak­anaknya.” Dharsana bergeming, seakan tidak berasa ada beban dalam nuraninya. “Maaf, Pak,” katanya. “Apakah itu salah?” Rachmat meringis, tenahak hatinya mendengar pertanyaan seperti itu. “Justifikasi yang bodoh,” katanya. Tapi Dharsana berkelit, dan dia pun ber­Anda kepada Rachmat. “Maaf, Pak,” katanya. “Saya mengejawantah pikiran Anda sendiri.” Rachmat kaget, matanya membulat, dahinya melengkung. “Apa?” serunya. Jawab Dharsana kalem, mengalir seperti sungai di muara, “Maaf, Pak, saya kira pikiran Anda yang paling benar: ‘tidak ada yang salah dalam kesalahan bertindak demi BTN: bangsa, tanahair, negara’.” Rachmat agak sedikit patah lidah, tapi segera menemukan jawaban tangkisan, mengacu fikrah yang dianggapnya benar. “Alasan itu tidak veritabel dengan problematika yang muncul pasca­kekerasan Mai itu.” 491 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Maaf, Pak. Persoalan Winata sebagai orang Tionghoa di antara Tionghoa­Tionghoa yang lain, harus dilihat tersendiri.” “Apa maksud Anda?” “Yang mesti dilihat, Winata itu Tionghoa. Dan, selalu Ti­ onghoa hadir sebagai musuh bangsa. Sebab mereka memang tidak pernah menjadi bagian dari bangsa. Tidak pernah me­ rasa bagian dari gagasan senasib­sepenanggungan dengan bangsa. Dalam semua waktu—mulai dari zaman pembantaian Valckenier di abad ke­18 sampai zaman Diponegoro di abad ke­ 19—tidak ada ukuran pasca ataupun pra problematika, sebab realitas keberadaannya sudah merupakan problem ras yang mereka bangun sendiri dengan mengabaikan sejarah…” Rachmat diam. Tampaknya dia tidak siap melihat kenya­ taan bahwa Dharsana punya kata­kata itu. Artinya, walaupun Dharsana salah, setidaknya Dharsana punya apologia yang membuat Rachmat diam untuk merenung. Maka jawaban Rachmat berikut ini terkesan cuci tangan. “Itu tanggungjawab Anda,” katanya. “Saya mengutuk.” “Baik,” sahut Dharsana. “Demi BTN, Pak.” “Masalahnya, pada pasca­kerusuhan Mai itu, ABRI di­ kuya­kuya,” kata Rachmat. “Masyarakat yang menamakan diri pro­demokrasi memanfaatkan kerusuhan Mai itu sebagai isu lunak, dan segera menginternasional, untuk menyudutkan ABRI sebagai satu­satunya lembaga yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat; “Mata dunia sekarang ke kita; “Apalagi charity, karitas, yang dilakukan Romo Sandyawan, telah menjadi promosi buruk tentang kita. Pasti dunia percaya pada tindakan karitasnya itu. Dia Jesuit. Di mana­mana, baik di Pilipina, di Korea, apalagi di Amerika Latin, Jesuit bermain dengan cara musketir.” “Kalau begitu, singkirkan saja dia.” 492 www.bacaan-indo.blogspot.com “Itu mustahil. Kita bisa berurusan dengan Vatikan. Walau­ pun romo­romo bukan warganegara Vatikan, karena kewarga­ negaraan Vatikan sifatnya sementara, selama seseorang bekerja di situ saja, tapi Vatikan sebagai negara dan paus sebagai pe­ mimpin tertinggi otomatis menjadi gembala atas seluruh umat Katolik di dunia…; “Selain itu ide menyingkir­nyingkirkan musuh politik bu­ kan ide yang pintar. Kalau kita menyingkirkan musuh yang berbeda pandangan politiknya dengan kita, maka dengan begitu kita menyia­nyiakan kesempatan untuk menjadi pintar dengan mempelajari esensi perbedaan itu sendiri.” “Kalau begitu, kita pakai cara lain.” “Misalnya?” “Bikin isu dan opini publik lewat pers—yang sekarang bebas liberal—bahwa kegiatan karitas romo itu mengandung usaha tersembunyi kristenisasi.” “Itu pintar. Tapi itu bom bunuhdiri. Kasar. Tidak panca­ silais,” kata Rachmat, lantas menyerana, sulit nian menimbang pikiran Dharsana yang dibilangnya pintar itu. Setelah itu, matanya melihat kembali majalah Australia yang ada di atas meja. Dia ambil majalah itu, lalu diangkatnya ke atas, ke depan mukanya sambil menggarit­garitkan tangannya. “Tapi sekarang ini, ini, inti persoalan kita adalah majalah ini,” katanya. “Pak, maaf,” kata Dharsana. “Saya tidak panik, Pak. Bapak tidak usah menjamakkan persoalan yang singular. Saya katakan ini singular, bukan jamak, sebab saya bertanggungjawab menye­ lesaikan masalah yang ada di dalam majalah itu.” “Apa yang mau Anda lakukan?” “Nanti, kalau saya sudah menemukan jawabannya, saya akan lapor kepada Anda.” Hotel Pro deo “Terserah Anda.” Dharsana mengambil majalah itu. “Boleh saya bawa majalah ini, Pak?” tanyanya. Rachmat tidak menjawab lisan, tapi membuka tangan ka­ nannya ke arah Dharsana, mengartikannya sebagai: “Silakan.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 494 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 92 DUA orang yang menyebalkan itu—Sri Hartini dan Singgih— datang ke rumah kayu­papan, bersamaan dengan hendak pa­ mitnya Juminah dan Ipong. Penampilan Sri hari ini lebih wagu dari biasanya. Walau­ pun dia pikir dirinya cantik karena memakai baju yang dibeli dari butik langganan bintang­bintang film, toh dia tetap norak, perpaduan antara Sharon Stone dengan tikus got. Dulu Hutami menyebutnya: beungeut jiga bungkus leupeut. Kini entah apa yang akan dikatakannya. Sri berputih­putih, Singgih bermerah­merah. Jika kedua­ nya diikat dan dikerek di tiang listrik jadilah keduanya seperti bendera Polandia. Dari luar rumah Sri sudah berseru­seru genit memanggil Ibu Intan. “Intaaan!” 495 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dia memasuki rumah seperti spaniel—jenis anjing ras ber­ bulu gondrong yang paling giras—yang meloncat­loncat sambil memegang kipas. Lalu, ketika melihat ada Juminah dan Ipong di serambi tengah, berkatalah dia dengan suara cempreng seperti celeng disembelih: “Aih, aih, ada tamu toh?” Baik Juminah maupun Ipong sama­sama berdiri takjub melihat perempuan langka ini. Ibu Intan segera mengajak Juminah dan Ipong untuk ke depan. “Mari, kita duduk di depan.” Sri menghalang, menarik tangan Ibu Intan. “Hei, Intan, kenalin dong,” katanya memerotkan mulut. “Siapa sih tamu­tamu ini?” Ibu Intan merasa malu dan terganggu oleh sikap Sri. “Ck!” Sri malah sengaja bertindak seenaknya. Sambil tetap me­ megang tangan Ibu Intan, dia menghadapkan mukanya ber­ gantian pada Ipong dan pada Juminah, berseru liar: “Hei, tamu­tamu, kenalin kita dong.” Ibu Intan menyikut, mengempaskan tangannya yang ma­ sih dipegang oleh Sri, lalu mempersilakan Juminah dan Ipong duduk di sofa ukir. “Ayo, Mbak Jum, Mas, duduk dulu.” Dan kata Sri, “Kok aku nggak disuruh duduk, In?” Ibu Intan tak mau menjawab. Juminah dan Ipong sama­sama kagok. Mata mereka tak lepas pada Sri. Juminah bertanya­tanya di dalam hati: “Siapa perempuan slebor ini?” Tiba­tiba Sri maju ke depan, berdiri di hadapan Juminah, mengulurkan tangan sambil cengenges. 496 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Kenalin dong,” katanya. “Saya Sri Hartini, anak tiri Intan.” Juminah mengabaikan omongan Sri, tapi terpaksa me­ nyambut uluran tangannya. “Ya,” katanya tanpa menyebut namanya. Kemudian Sri beralih kepada Ipong. “Kalau yu siapa?” Lugu saja sikap Ipong menyambut Sri. Dia menyebut namanya. “Ipong.” Dan, Sri girang, membuka mulut besar­besar: kira­kira satu bola kasti bisa masuk ke dalam mulutnya itu. “Ooo?” Lalu Sri pun memanggil Singgih. “Nggih, kenalin ini dong.” Singgih moro, mendekati. Kata Sri kepada Ipong dan Juminah, “Nah, ini Singgih, adik aku. Kami sama­sama penggemar musik klasik…” Hutami menguping di balik dinding. Di situ dia mem­ bungkuk­bungkuk menahan tawa, mengejek omongan Sri. “Ho’oh musik klasik: Bintang kecil, Balonku, Pelangi­ pelangi,” gumamnya sendiri di balik dinding itu. Sementara, karena merasa tidak enak direcoki oleh Sri, maka Juminah berdiri dari duduknya, minta diri. “Ibu Intan, kami rasa, kami pulang dulu.” Sebenarnya Ibu Intan menyesal. Dia coba menawar supa­ ya Juminah menunggu beberapa saat lagi. Cara menawarnya sangat Indonesia. “Saya belum menyuguhkan minum,” katanya, dan secepatnya dia berseru memanggil pembantunya, “Tami!” Hutami yang berada di sebelah dinding lekas­lekas mun­ cul sambil menjawab, “Iya, Bu.” Tapi Juminah menampik. “Sudah, sudah,” katanya. “Kita 497 Hotel Pro deo lanjutkan nanti. Nanti saya yang kontak Ibu.” Sri ikut­ikutan bicara juga. “Kok buru­buru sih?” katanya kepada Juminah sembari mengerling lenjeh kepada Ipong. Juminah pura­pura tidak mendengar omongan Sri itu. Dengan tidak mau mendengar begitu, Juminah hendak berkata tanpa melisan, bahwa dia tidak suka pada sikap Sri yang terlalu berlebihan, seperti cacing kepanasan. Segera Juminah mengulurkan tangan kepada Ibu Intan, minta diri, pamit, pareng. “Sampai jumpa, Bu,” katanya, memegang tangan Ibu Intan dengan hangat. “Ya, sampai jumpa,” kata Ibu Intan, memandang wajah Juminah dengan lega. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di dalam mobil, sekeluar Juminah dan Ipong dari halaman rumah kayu­papan, Ipong tertawa­tawa sambil menyetir, men­ cerca sosok Sri. “Ada yang salah urus dari perempuan itu,” katanya geli sendiri membayangkan Sri. “Kayaknya waktu dia lahir, bukan kepala yang keluar duluan, tapi kaki.” Juminah tersenyum, menggeleng­gelengkan kepala, ra­ sanya benguk akan mendengar omongan Ipong yang ngaco tentang Sri. “Hm.” “Tau nggak, Mbak?” “Kenapa?” “Perempuan itu lo, Mbak, sudah jelek, kurus kerempeng kayak cicak kejepit pintu, tapi kok ya pede banget.” “Tapi aku lihat kelihatannya dia naksir sama kamu lo. Bolak­balik ngelirik ke kamu.” “E, ala, amit­amit.” 498 Remy Sylado Juminah ketawa juga. Namun, secepatnya perasaan jem­ bar terpampang pula di wajahnya. Dia memperoleh sesuatu yang tak pernah diduganya selama ini. “Tapi, demi Tuhan, yang bikin aku benar­benar girang mendapat kejutan, ternyata bapaknya itu yang aku saksikan dengan mata kepala sendiri: menembak mahasiswa di Senayan, sewaktu kami berdemonstrasi menentang digelarnya SI MPR 1998 oleh pemerintahan Habibie.” “Berarti kita dapat ikan besar.” “Hm.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sementara, sepeninggal Juminah dan Ipong dari halaman rumah kayu­papan, Sri—yang dibilang oleh Ipong sebagai cicak kejepit pintu—bikin ulah. Mula­mula Sri masuk ke dalam, melongok satu per satu ruang di rumah itu, memanggil­manggil ayahnya: Dharsana. Karena tak melihat Dharsana di situ—tak diketahuinya ayahnya masih berada di ruang rapat—maka dia mendobrak pin­ tu kamar Ibu Intan—yang telah berada di dalamnya—bertanya dengan marah, berdiri dengan kedua tangan ditolakkan di pinggang. “Hei, Intan, jangan diam aja lu,” katanya kasar, mata melotot, seperti dua biji jengkol yang bakal mencolot dari kelo­ paknya. “Di mana bapak gua, heh?!” Ibu Intan hanya diam. Kalau dia menjawab, dia rasa itu bukan ide yang baik. Maka, dia ambil daster yang ada di atas ranjangnya lantas mencantelnya di belakang pintu. Sri jengkel melihat itu. Dia merasa tidak diacuhkan oleh Ibu Intan. Maka dia pun meneriakinya. “Hei, Intan, aku bicara sama kamu!” Bersamaan dengan itu, Singgih muncul di situ sambil 499 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo mengupas­ngupas apel, bukan dengan pisau tapi golok. Pasti adegan yang tidak wajar ini mempunyai tujuan­tujuan tertentu. Ibu Intan tak mau menjawab. Dalam hatinya dia berkata: menjawab pertanyaan Sri yang kurangajar begitu sama saja seperti membuang mutiara kepada babi. Merasa diremehkan, Sri pun menarik bahu Ibu Intan se­ hingga yang disebut ini hampir kehilangan keseimbangan ba­ dan, terseok tapi untung tak jatuh. Sri berteriak keras­keras di muka Ibu Intan. Urat­urat di lehernya kelihatan seperti kawat. “Hei, gua tuh bicara sama lu!” katanya. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan,” jawab Ibu Intan, duduk di atas ranjang ukirnya, memandang dengan benci. Sri menarik kembali Ibu Intan dengan cara mencengke­ ram baju ibu tirinya. “Tidak!” bentaknya kepada Ibu Intan. “Lu kudu bicara. Di mana bapak gua!? Bapak tidak pernah pulang ke rumah ibu gua. Di mana dia!?” Ibu Intan mengempas tangan Sri yang mencengkeramnya. “Aku bukan penjaga bapakmu!” serunya. “Eh­eh? Kurangajar. Kamu kan istrinya. Kamu merebut bapakku dari ibuku. Harusnya kamu tahu.” Ibu Intan tidak peduli. Dia keluar dari kamarnya. “Persetan!” katanya. Tak kurang satu detik saja selepas kata itu keluar dari mulut Ibu Intan, Sri menjambaknya dari belakang, membuat sang ibu tiri benar­benar kehilangan keseimbangan badan dan terseok lantas akhirnya jatuh. “Aduh!” Taajul sangat Ibu Intan bangkit, berdiri, sepenuhnya diga­ rangkan naluri, maunya segera melakukan sesuatu, tapi celaka duabelas: Sri telah lebih dulu menamparnya. 500 “Aaaa!” Ibu Intan menjerit panjang, terhuyung, dan jatuh lagi, kepala membentur ranjang ukirnya, pas mengena ukiran kepala garuda. Jeritan panjang itu membuat Hutami segera berlari ke kamar Ibu Intan, melihat apa yang terjadi. “Aya naon, Bu?” Sri malah menjoroki Hutami, sehingga pembantu yang se­ tia ini pun terjerembap di atas tubuh Ibu Intan. Kemudian Sri menarik tangan Singgih, membawanya keluar. “Ayo pulang, Nggih!” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 93 SETELAH selesai bicara dengan Rachmat Wirjono di ruang­ kerjanya, Dharsana pun meluncur di jalan tol dengan ganjalan di hati yang membuatnya taazur dan bingung hendak menapakkan langkah kaki. “Ke mana sekarang?” Tadi, sebelum menerima telefon dari Rachmat, dia sedang siap­siap hendak masuk ke rumah kayu­papan. Kini pikirannya tidak ke rumah itu lagi. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya perasaan judeg berhampiran de­ ngan rasa benci. Dalam perasaan begini, yang muncul kuat di anganan kemauannya adalah: menghajar orang goblog. Yang terpampang di dalam ingatannya adalah tampang jelek Todung. Dialah biangkeroknya. “Di mana kamu, monyet?!” kata Dharsana gusar, duduk tegang di dalam mobil, menelefon Todung dengan ponsel ke 502 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado nomer ponsel pula. “Ditelefon di Bogor, kata binimu, kamu jarang pulang.” Di tempatnya Todung kelihatan kusut sekali. Bukannya menjawab pertanyaan lewat ponsel di tangannya, malah dia balik bertanya pula seraya mengucak­ucak mata yang sayu ka­ rena letih dan ngantuk: “Kenapa, Pak Bos?” Karuan Dharsana geram mendengar jawaban yang tidak menjawab itu. Maka, tak ragu, Dharsana pun mendamprat dan memaki Todung dengan suara gelegar. Saking gusarnya per­ cikan ludahnya menggerimis di telefonnya. Dan, lafalnya be­ lepetan: hurufmati melengket dengan hurufhidup seperti cakap orang gagu. “Bangsat! Tolol kamu! Goblog! Otak udang!” Todung tersentak di tempatnya. Matanya terbelalak seperti burung hantu. Mendadak ngantuknya hilang. Kok Dharsana begitu garang? Tak biasa Dharsana menyerapahnya seperti itu. “Eh, eh, sori, Pak Bos.” “Diam kamu!” “Eh, eh, iya, Pak Bos.” “Diaaam! Dengar dulu kamu: babi, anjing, kerbau!” “Ya, Pak Bos, ya, saya dengar.” Lagi Dharsana menyerapah. Suaranya lebih lantang, entah seperti lolong anjing atau entah seperti ringkik kuda, tapi lafal­ nya cukup jelas. Dia mencomel gregetan. “Binatang kamu! Jangan ‘iya­iya’ saja kamu! Kamu ditanya di mana, malah kamu nanya: kenapa. Sekarang bilang: kamu sedang ada di mana!?” Todung ketakutan. Jawabnya belepetan: sukukata demi sukukata terpatah­patah dipenggal oleh engah­engah nafas hembus dan nafas hirup di mulutnya. “O, ya, Pak Bos. Saya lagi di bilyar Cikini.” “Cepat temui saya sekarang.” 503 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com “Ya, Pak Bos.” “Di tempat biasa.” “Ya, Pak Bos.” *** Lekas­lekas Todung keluar dari rumah bilyar, meninggal­ kan orang­orang yang telah bermain dengannya di situ sejak tadi malam, mencari taksi yang lewat di jalan depan, menyuruhnya cepat ke arah selatan. “Ngebut aja, Mas.” “Ke mana, Pak?” “Tebet.” Yang dimaksudkan dengan ‘tempat biasa’ adalah rumah kosong yang lampunya 5 wat di atas meja bundar di serambi tengah, di mana Dharsana biasa bicara pelan­pelan kepada orang­orang semacam Todung yang gandrung berbuat kejahat­ an tapi menganggapnya itu pekerjaan, mata­pencarian, tang­ gungjawab hidup. Todung tiba di rumah itu seperempat jam setelah Dharsana menghabiskan dua batang rokok Marlboro tanpa menikmati asapnya dengan konsentrasi yang galib. Biasa, jika ada pertemuan di situ, Todung sering atau jika tidak: selalu menelatkan diri. Ketika dia tiba di situ, sekarang, tampak wajahnya begitu amburadul, antara tegang atas apa yang bakal terjadi setelah tadi dikata­katai tolol, dan juga letih karena dua malam tidak tidur: bermain bilyar sambil bertaruh dan wayahnya kalah. Todung memasuki ruang tengah dengan langkah­langkah yang kelihatan sekali diliputi ketegangan itu. Dharsana melihatnya dengan perasaan sangat kecewa. Di kursinya dia duduk bersandar sambil menahan nafas, meman­ dang Todung di samar­samar lampu yang ber­wat kecil itu. “Duduk!” kata Dharsana, parau tapi bayan. 504 www.bacaan-indo.blogspot.com “Ya, Pak Bos,” sahut Todung, takut­takut tapi juga mencoba berlapang­lapang. Dalam keadaan begitu dia menarik kursi di depan Dharsana, lalu duduk sambil mengerling, menyadari sesuatu yang tidak se­ perti biasanya. Dharsana menguncal majalah Australia di tangannya ke muka Todung. Apa boleh buat, Todung harus siap menghadapi hal yang mengagetkan ini dengan segala kemungkinan me­ nyakitkan. “Baca itu!” bentak Dharsana menunjuk majalah itu dengan cara merenjong kepala. Todung mengambil majalah itu. Dia buka cepat­cepat halaman satu ke halaman lain secara acak. Dia tidak tahu apa yang dia lakukan ini. Halaman terakhir yang dibukanya hanya tulisan­tulisan. Dia tidak mengerti mengapa dia terpaksa mesti menutup majalah itu. “Ini bahasa Inggris, Pak Bos. Saya tidak mengerti.” Dharsana menggebrak meja. Dan gebrakan itu membuat Todung tersentak kaget. Maka tangannya gemetar­gemetar karena gugup. “Kalau tidak mengerti bacaannya, lihat saja gambarnya,” kata Dharsana. “Ayo, cepat! Lihat halaman 22­23.” Cepat­cepat Todung melakukannya. Sambil membuka halaman­halaman majalah itu Todung mengucapkan kalimat ganar yang terpatah­patah: “Ya, Pak Bos, sedang saya cari…” Pas di kata terakhir dari kalimatnya itu, Dharsana mendo­ rong meja di depannya. Meja itu menubruk ke perut Todung yang duduk berhadapan dengannya, di seberangnya. Dorongan yang kuat di bawah naluri gusar dan benci mem­ buat kursi Todung itu tergeser mundur: kaki­kaki depannya terangkat ke atas dan sandarannya terpuruk ke bawah. Artinya, www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dengan demikian Todung sedang bergerak jumpalit dan segera tumbang ke lantai. Maunya, setelah jatuh di lantai itu Todung bisa segera ba­ ngun, tapi sebelum niatnya itu terlaksana, lebih dulu Dharsana bertindak: menyepak kepala si jelek pesek ini. Yang disepak oleh Dharsana adalah kepala Todung, kena mulutnya, keluar darah dari gusinya. “Goblog kamu!” Todung tidak mengerti semua ini. Dia tidak tahu bahwa isi majalah Australia itu serasa memperpendek jarak usianya. “Ampun, Pak Bos,” katanya, “Apa salah saya?” Dharsana pun mengambil majalah itu, lalu membuka ha­ laman yang disebutnya tadi. “Lihat ini,” katanya menaruh majalah itu ke muka Todung, kemudian membuangnya di situ. Todung memungutnya dan melihat halaman genapnya. Di halaman itulah terpampang foto James Winata. Dia mendelik. “Kamu ceroboh!” bentak Dharsana, menyepak perut Todung, sehingga yang disebut ini terjengking dengan kepala tersungkur di lantai dan pantat termumbul ke atas seperti ulat pohon limau. “Ampun, Pak Bos,” kata Todung merintih­rintih kesakitan karena sepakan kaki Dharsana di perutnya. “Kamu lihat itu. Semuanya jadi kacau gara­gara kamu ceroboh. Sekarang majalah Australia—yang negaranya tidak pernah damai abadi dengan Indonesia—memanfaatkan kasus Winata itu sebagai tekanan kepada Indonesia. Dasar tolol, goblog, otak udang kamu!” “Harusnya dia sudah mati, Pak Bos.” “Kenapa kamu bilang begitu?” “Saya juga yang menembak dia, Pak Bos.” “Kamu tembak di mananya?” 506 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Di dadanya, Pak Bos. Dan saya yakin: dia mati.” “Buktinya dia hidup.” “Saya minta maaf, Pak Bos. Sekarang Pak Bos mau menyu­ ruh apa saja kepada saya, supaya saya dimaafkan, saya terima semuanya.” “Betul?” “Betul, Pak Bos.” “Nah, bangun.” Todung bangun pelan­pelan dan berdiri. Sebaliknya Dharsana menarik kursi dan duduk di hadapan Todung, memandang seperti harimau melihat kambing. “Sekarang, mana pistolmu,” kata Dharsana, seraya menge­ luarkan juga senjata kecil—model revolver—dari balik bajunya. Todung ragu­ragu, memandang Dharsana dengan syak, seraya meraba pula pinggangnya, di bagian belakang celana yang diselipnya revolvernya. “Ada, Pak Bos.” “Mana?” “Ini.” Todung mengeluarkan revolvernya—model otomatik— sambil memegang terbalik sebagai tanda takluk: bagian mag­ azine dan handel diarahkan ke depan, dan bagian barrel dan muzzle diarahkan ke badannya sendiri. “Ada berapa pelurumu di situ?” tanya Dharsana. “Penuh, Pak Bos,” jawab Todung. “Baik.” Dharsana mengangkat kaki kanan lantas menum­ pangnya di atas kaki kiri. “Tadi kamu bilang: kamu disuruh apa saja oleh saya, untuk memaafkan kamu, kamu terima semua. Betul begitu?” “Betul, Pak Bos.” “Kalau begitu, saya akan menyuruh kamu menembak de­ ngan revolvermu itu ke kepalamu.” 507 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Todung terkinjat. Wajahnya pucat. “Lo? Pak Bos!” Dharsana tak acuh. Wajahnya polos. “Kenapa?” Todung menjatuhkan diri, menyembah di kaki Dharsana, menangis­nangis. “Tolong, Pak Bos. Jangan itu.” Dharsana bergeming, tak acuh. Dia mengganti kaki kiri naik di atas kaki kanan. Dan sambil mengubah letak kakinya itu, dia mengacungkan tangan yang memegang pistol kecilnya itu. “Ayo, lakukan!” katanya dingin. “Kamu harus membukti­ kan, bahwa menembak kepala lebih baik dari tugasmu dulu hanya menembak dada. Dulu kamu menembak dada, sasaran­ mu masih hidup, dan sekarang di Australia. Nah, sekarang kamu harus menembak kepalamu sendiri, dan kita buktikan apakah kamu masih hidup juga.” Todung merengek, makin cengeng, bersujud­sujud di ha­ dapan kaki Dharsana. “Tolong, Pak Bos. Jangan suruh saya menembak diri saya. Saya tidak sanggup.” “Baik. Kalau kamu tidak sanggup. Saya sanggup.” Dharsana pun mengarahkan pistolnya ke kepala Todung, menarik trigernya, peluru pun keluar lewat lopa, membocori tengkorak kepala Todung, bersarang di situ. Todung tumbang. Darahnya menggenangi lantai. Dharsana meniup lopa pistolnya sambil berkata, “Terima­ kasih sebesar­besarnya, pistol. Kamu telah melaksanakan tu­ gasmu sebagai pengatur peradaban. Tanpa senjata, tidaklah mungkin terbangun peradaban.” Dharsana berdiri dengan kaki kanan menginjak badan Todung di bawahnya yang sudah tidak bernyawa. 508 Remy Sylado “Dan kamu tahu Todung,” katanya, melihat ke bawah tanpa perasaan bersalah. “Tidak ada terimakasih sebesar­ besarnya buatmu. Kamu bukan pahlawan. Dulu kamu memang yang menjalankan peranmu sebagai wayang, dan aku sebagai dalang. Sekarang tidak lagi. Sekarang aku berkata: memangnya dalang tidak bisa jadi wayang? Nah, hari ini aku memulai peranku sebagai wayang sekaligus dalang.” Tapi, Dharsana termangu. Masalahnya sekarang, bagai­ mana membuang Todung di tempat yang aman? www.bacaan-indo.blogspot.com *** 509 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 94 DHARSANA tidak mau distiri oleh Lukman. Dia tidak mau sopirnya itu tahu apa yang akan dilakukannya. Ini aneh, memang, sebab selama ini semua tindak­tanduk Dharsana ada di mata Lukman. “Nanti malam kamu istirahat saja dulu,” kata Dharsana kepada Lukman. “Saya mau jalan sendiri bersama Ibu.” “Dengan Ibu, Pak?” tanya Lukman seperti tidak percaya. “Ya,” kata Dharsana. Malamnya Dharsana membawa sendiri mobilnya, tentu saja tidak dengan Ibu Intan, langsung ke Monas, melihat di se­ kitar situ kalau­kalau ada tukang­tukang cangkul yang istirahat di bawah­bawah pohon. Karena tak ada yang dicarinya di situ, Dharsana menyusuri jalanan ke barat, terus sampai ke Grogol, dan dari situ ke arah utara, ketemu yang dicarinya itu di Jl. Latumeten. Di situ 510 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado dilihatnya empat orang tukang cangkul tidur dengan pacul dan keranjang pikulnya masing­masing. Dia mundurkan mobilnya. Berhenti. Lantas dia keluar, memarani tukang­tukang cangkul itu. “Saya perlu satu orang untuk menggali lobang,” kata Dhar­ sana kepada tukang­tukang cangkul itu. Tukang­tukang cangkul itu pun bangun. “Berapa orang, Pak?” tanya salah seorang. “Satu saja,” jawab Dharsana. “Bisa, Pak. Nyangkul apa, Pak?” “Bikin lobang.” “Besarnya berapa, Pak?” “Paling­paling dua kali satu meter.” “Buat lobang kakus, Pak?” “Bukan. Buat menanam anjing saya.” “Tiga ratus ribu saja, Pak.” “Selesai dua jam?” “Kalau sendiri tidak bisa, Pak. Bagaimana kalau dua orang saja?” “Tidak perlu. Cukup satu orang saja. Nah, kalau sendiri, satu orang, berapa jam selesainya, sampai menimbun kembali?” “Empat jam.” Dharsana melihat arlojinya. Di arlojinya sekarang baru jam 20.00. Jika dia tiba di rumah kosong—di mana mayat Todung tergeletak di lantai—sekitar jam 21.00, maka ditambah empat jam, gambarannya Todung sudah ditanam dan ditimbun sebelum jam 02.00. “Cukup,” katanya sambil menyuruh tukang cangkul itu naik ke mobilnya. “Ayo, naik.” Tukang cangkul itu ragu hendak menaiki mobil itu. Apa lagi Dharsana menyuruh duduk di depan, membukakan pintu kepadanya. 511 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com “Iya, Pak,” kata tukang cangkul itu. Mobil pun bergerak. Beberapa belas meter di depan, Dharsana bertanya kepada tukang cangkul itu, “Siapa namamu?” “Sanip, Pak.” Mobil meluncur di jalan jalur cepat menuju ke timur. Harusnya, setiba di patung perempatan: kiri ke Pasar Rumput dan ke kanan Pasar Minggu, Dharsana ke utara, tapi sengaja terus bablas ke timur, masuk ke jalan tol menuju Cikampek. Di depan sana, di belokan keluar yang pertama, dia menghentikan mobil, menyuruh Sanip keluar. Dia buka kap bagasi. “Kamu harus masuk ke sini.” “Lah? Pak?” “Ayo, lekas, tidak ada waktu bertanya­tanya.” Selagi Sanip bengong, Dharsana membekuknya lantas memasukkannya ke dalam bagasi, menutupnya dengan cara banting, kemudian kembali duduk di belakang stir, memacunya melintasi Jl. Pahlawan Revolusi. Di belokan Jl. Ngurah Rai, Sanip berteriak­teriak di dalam bagasi. Maka, di depan penjara Cipinang, Dharsana menghentikan mobilnya, mengambil pis­ tol, membuka bagasi, menodong pistol itu ke muka Sanip. “Kamu bisa diam? Kalau kamu ribut melulu, saya tembak kamu. Sudah, diam. Sebentar lagi sampai.” Sanip terpaksa diam. Dia ketakutan. Dia tidak bisa berpikir menurut jalan pikiran Dharsana menaruhnya di dalam bagasi begini. Dalam pikiran Dharsana, ditaruhnya Sanip di dalam ba­ gasi supaya yang disebut ini tidak tahu lokasi tempat dia akan menggali lobang untuk menanam mayat Todung. *** Di rumah kosong kawasan Tebet, tempat Sanip disuruh menggali liang, yang disebut ini mengerjakannya dengan cepat, lebih cepat dari yang diduga Dharsana. 512 www.bacaan-indo.blogspot.com Niscaya Sanip bekerja karena takut. Tadi pun ketika Dharsana membuka bagasi, setelah mobil masuk ke dalam garasi, Sanip takut­takut, berdiri di lantai seperti ayam sakit, kepala terasa berat dan kaki terasa ringan. Tiga jam kurang sepuluh menit pekerjaan menggali dan menimbun diselesaikan oleh Sanip. Dia mengerjakan semuanya tanpa bicara, kecuali sekali­dua melemparkan senyum kepada Dharsana yang menjaga di situ dengan pistol di tangan. Dia pula yang menggotong mayat, memasukkan ke dalam liang, lalu menimbun kembali dengan tanah yang sama, kemudian merapikan tanah itu, tidak menyerupai onggokan. Setelah selesai semuanya, Sanip menunduk­nundukkan kepala dengan senyum rasa takut, senyum yang memang ke­ lihatan bodoh, lalu duduk di bangku taman di halaman ber­ pohon­pohon belakang rumah kosong ini. “Sudah selesai, Pak,” kata Sanip. “Ya,” kata Dharsana sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya, mencabut uang limapuluhan ribu, sejumlah yang tadi disepakati. “Terimakasih Pak,” kata Sanip. “Ya,” kata Dharsana, bergerak ke garasi. “Sekarang saya antar kembali kamu ke tempatmu tadi.” “Ya, Pak.” “Masuk kembali ke sini,” kata Dharsana seraya membuka bagasi mobil. Sanip masuk ke situ. Mobil mundur, ke luar, ke jalan. Dharsana menutup kem­ bali pintu garasi dan pintu gerbang, lantas cepat­cepat mem­ bawa mobilnya kembali ke wilayah Jakarta Barat. Sanip tidak tahu jalan apa saja yang dilalui Dharsana. Tahu­tahu, sete­ lah perjalanan yang tidak sampai satu jam di malam larut, sampailah mobil di tempat Sanip dan teman­temannya tidur menunggu pagi. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo *** 514 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 95 SEKARANG Dharsana pusing. Bukan lagi soal Todung yang sudah ditanahkan itu. Tapi, setelah itu, ke mana dia mesti pergi di hari yang masih gelap ini. Rasanya dia takkan pulang ke rumah kosong Tebet. Di Jl. Juanda, mendekati Masjid Istiqlal, dia lihat arloji di tangannya. Waktu tinggal sejam lagi akan terdengar muazin menyerukan ibadah. Pelan­pelan, sembari menimbang­nimbang ke mana tu­ juannya, dan akhirnya setiba di depan Kantor Pos, hatinya memutuskan untuk menuju ke rumah kayu­papan saja. Da­ lam pikirannya, kalau dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, sekitar 50­an, maka boleh jadi dia akan tiba di rumah kayu­papan itu pada saat langit sedang pamit kepada gelap. Dalam sepekan ini telah beberapa kali Dharsana berpikir hendak pulang ke rumah kayu­papan—dan selalu gagal—untuk 515 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo mengatakan sesuatu kepada Ibu Intan: semacam pernyataan penyesalan atau apapun namanya—yang niscaya bentuknya tak lebih dari sekadar melayani lidah tak bertulang belaka—sambil membungkukkan badan di hadapan Ibu Intan, yang dikiranya tidak serius menyatakan keinginan cerainya. Di depan gerbang rumah kayu­papan Dharsana segera mengklakson mobilnya. Ujang yang kebetulan berada di pekarangan depan me­ nyirami tanaman segera meloncat ke gerbang, membukakan­ nya. Dharsana pun memasukkan mobilnya. Selanjutnya dia tahu apa yang harus diperbuatnya nanti. Setidaknya telah terpeta di dalam benaknya tentang bagaimana rincian sikapnya nanti dalam menghadapi Ibu Intan yang selama itu menolaknya. Dia tidak akan membangunkan Ibu Intan, seandainya perempuan yang masih dianggapnya sebagai istrinya itu be­ lum lagi bangun dari tidurnya. Setahu dia, Ibu Intan biasa melilir pada sekitar jam 03.00 atau 04.00 untuk kencing, lalu melanjutkan kembali tidurnya sampai jam 07.00. Melihat jam di arlojinya, maka dia tahu masih sekitar setengah jam dia mesti menunggu sampai Ibu Intan bangun. Begitu dia tiba di rumah ini, dia ke kamarmandi, mandi, kemudian salin, dan duduk di kamarmakan. Di situ Hutami baru saja memasukkan air mendidih ke dalam termos. Hutami merasa heran melihat Dharsana muncul pagi­pagi begini. Dan, kendatipun ada sedikit rasa kurang tulus terhadap Dharsana mengingat perlakuannya terhadap Ibu Intan, toh Hutami melayaninya menurut cara yang patut. “Kopi tubruk, Pak?” tanya Hutami, ragu­ragu, berdiri di belakangnya. “Ya,” jawab Dharsana sambil menarik koran kemarin yang masih acak di atas mejamakan, sekadar melihat huruf­huruf, tidak membaca, apalagi menyimak. 516 www.bacaan-indo.blogspot.com Sebenarnya pikiran Dharsana sekarang tidak tenteram. Jadi, walaupun dia mencoba menghapus prasangka paling buruk dari jeritan serius Ibu Intan untuk bercerai—dan itu berarti segala rencana curang yang belum terkuak sampai hari ini menyangkut perbuatan­perbuatannya—toh dia tetap meyakinkan dirinya bahwa itu tidak timbul dari hati Ibu Intan yang fitrah. Memangnya apa rencana curang tersebut yang telah men­ jadikan Dharsana demikian alpa pada nuraninya? Dharsana bahkan sengaja tak hirau. Padahal mestinya dia tahu bahwa nurani merupakan wilayah sejati kedaulatan Ilahi dalam diri manusia. Oleh karena itu, manakala dia bersikap cabar terhadap nurani, yang telah dipilihnya dalam tiga­ empat tahun ini sejak selingkuhnya dengan Jeng Retno, maka dengannya berarti dia telah berlaku ramah dalam mengundang lawan Tuhan, yaitu Iblis, untuk masuk ke hatinya dan berkursi di situ. Sampai hari ini rencana curang itu masih menjadi asrar yang terpeleh di balik tengkorak kepala Dharsana. Namun, andaikata dia berani mengaku dengan jujur—dan percayalah, untuk hal itu nahasnya dia memang tidak pernah berani menjadi jujur—maka persoalan jelimet itu tidak jauh dari keberadaan Jeng Retno di balik selingkuhnya. Memang, Jeng Retno ini yang menjadi biangkerok di be­ lakang asrar kecurangan Dharsana. Nanti, dari mulut Dharsana sendiri asrar itu dibuka, yai­ tu, ketika atas jalan takdir riwayat keduanya berujung dengan kemarahan. Dan kalau waktunya tiba, wai, memang petualangan Dharsana telah tersurat dalam takdirnya, sampai di garis ujung—yang dalam bahasa bijak orang­orang saleh—tanpa per­ tobatan menyulitkan dirinya masuk surga. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dharsana terdiam di kursi depan mejamakan. Bukan berpikir tentang hal yang jelimet itu. Tapi sedang menyusun­ nyusun: omongan yang bakal dia lancarkan kepada Ibu Intan. Dipikir­pikir hal ini aneh juga: dia merasa dirinya masih suami Ibu Intan, tapi dalam menghadapinya pagi ini dia merasa ragu. Niscaya hati kecilnya berbicara yang sejati. Bahwa Ibu Intan telah menjadi batu karang yang teguh atas pernyataannya: cerai merupakan pilihan tetap. Terdiamnya buyar. Suara Hutami di hadapannya: “Ini kopinya, Pak,” kata Hutami. Kedudukannya sebagai kepala rumahtangga—demikian Dharsana tetap rumangsa—yang selama ini mesti dihormati oleh seorang babu, membuat Dharsana tidak merasa patut menjawab dengan kata­kata atas pelayanan yang dilakukan Hutami. Bahkan menganggukkan kepala disertai dengan bunyi konsonan tertentu, misalnya “m” atau ”ng”, yang lazim dalam menanggapi sesuatu jika kata­kata mesti diirit­irit, tidak juga terdengar dari mulut Dharsana. Tapi dia segera mengarihkan tangan, meraih cangkir ko­ pi panas yang baru ditaruh oleh Hutami, menghirupnya dan menikmati rasa sedapnya kopi, yang mesti dimulai ketika kopi baru diseduh, lantas berangsur­angsur menghabiskannya sampai tinggal ampasnya. Belum lagi seperempat cangkir yang terminum, Dharsana terjaga, mendengar suara Ibu Intan memanggil Hutami di kamarnya. “Mi…” Segera Hutami menyahut sambil bergopoh­gopoh berjalan menuju ke kamar Ibu Intan. “Ya, Bu.” Dharsana pun segera bangkit pula dari kursi di depan mejamakan, lantas bergegas melangkah mendului Hutami. 518 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Di depan pintu kamar Ibu Intan: Dharsana berdiri, memberi isyarat tangan kepada Hutami supaya yang disebut ini berdiri saja di situ. Dharsana membuka pintu. Pelan. Selagi pintu terbuka, Ibu Intan yang berdiri di belakangnya dan tidak mengetahui bahwa yang sedang membuka pintu itu adalah Dharsana, berkata kepada yang dikiranya Hutami: “Mi, kamu siap­siap sekarang, ikut Ibu pagi ini ke kantor pengacara itu.” Dharsana maju. “Aku bukan Tami, Sayang,” katanya. Alangkah terkejutnya Ibu Intan. Gerak refleks membuatnya serentak menyigung dengan siku lantas menyorong dengan ba­ dan ke daun pintu itu. Tapi badan Dharsana pun sudah berada setengah meter di ambang, sehingga pintu yang disigung dan disorong oleh Ibu Intan itu tidak menempel di kusen, sebaliknya melantak di badan Dharsana dan mempermudah dirinya untuk masuk, lantas segera memainkan sandiwaranya. “Jangan marah padaku, Sayang,” kata Dharsana, sembari cepat­cepat berlutut di hadapan Ibu Intan. “Aku mengaku, selama ini aku memang sungguh­sungguh sesat. Jadi, ini, aku datang di hadapanmu, minta maaf, mohon ampun…” Ibu Intan terperangah. Samasekali tidak ada dalam pi­ kirannya selama ini, bahwa Dharsana—yang sedang diadukan perkaranya kepada Juminah untuk diurus perceraiannya— tiba­tiba muncul sepagi ini memainkan sandiwaranya. Mudah­mudahan pernyataan Ibu Intan yang terperangah dan tidak siap menghadapi sandiwara ini, tidak berarti dirinya termakan oleh akting Dharsana. Pernyataan Ibu Intan itu ada­ lah kata­kata kagok: “Mimpi apa ini?” Pernyataan Ibu Intan itu karuan membuat Dharsana me­ 519 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo rasa: pintu hati Ibu Intan sedang terbuka. Maka, lekas­lekas Dharsana bertindak keranjingan, entah seperti anak kucing atau entah seperti anak anjing yang segera berlutut di hadapan Ibu Intan, meminta dibenarkan aktingnya ini sebagai ikhtiar yang benar­benar khalis. “Demi Tuhan, Sayang,” kata Dharsana. Ibu Intan mundur, lantas berhenti di jarak dua meteran, memandang adegan ini dengan airmuka yang tampak gabir, kikuk, asing. Lebih pas dikatakan wajah Ibu Intan jijik melihat Dharsana. Artinya, dugaan bahwa hati Ibu Intan sedang terbuka samasekali meleset. Kalimat yang bakal keluar dari mulut Ibu Intan dalam beberapa detik ini akan memperjelas bagaimana sebenarnya keadaan hati Ibu Intan. “Berhentilah akting,” kata Ibu Intan. “Kamu tidak punya bakat jadi pemain ketoprak.” Dharsana tertempelak. Tapi dia tidak berhenti bersiasat sebagai ular. Katanya mendayu­dayu, “Mama boleh mengata­ ngatai aku sesuka Mama, tidak peduli, sebab yang penting Tuhan tahu, bahwa aku benar­benar datang padamu untuk meminta maaf dan meminta ampun atas kesalahan masa lalu. Sekarang ini abadnya sudah berganti milenium ketiga, Ma. Aku ingin mengajak Mama untuk kita mulai kembali dari awal, pada komitmen kita membangun rumahtangga sakinah. Demi Tuhan, aku sudah berdoa, mudah­mudahan Mama mau memaafkan dan mengampuni aku.” Ibu Intan nyinyir. Seakan kupingnya mendengar nada­ nada yang fals dari sebuah nyanyian. “Berdoa?” katanya sarkastis diiringi ketawa. “Ya, Sayang,” kata Dharsana bergeming. “Aku sudah berdoa pada Tuhan. Dan aku yakin Tuhan sudah mendengar doaku.” “Ha­ha­ha. Ajaib,” kata Ibu Intan. “Malaikat pun bisa 520 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado kaget mendengar ini.” “Aduh, Ma, jangan begitu dong. Percayalah. Sumpah demi Tuhan.” “Hah! Kayaknya Tuhan lebih menghargai orang yang tidak punya Tuhan samasekali, daripada orang yang mengaku punya Tuhan tapi munafik. Sudahlah, jangan teruskan aktingmu. Aku tidak terkesan. Sudah aku bilang, kamu tidak berbakat jadi pemain ketoprak.” Dharsana maju, hendak memegang kaki Ibu Intan untuk memperagakan kesungguhan. Dia ulangi lagi kata­kata yang baru diucapkannya. “Jangan begitu dong, Ma. Percayalah aku.” Tapi Ibu Intan menjerit, meloncat, keluar dari kamar, ke belakang, hampir menubruk Hutami di dekat pintu yang ter­ nyata berdiri di situ memasang kuping dalam kebiasaan peri­ bahasa: dinding punya telinga. Dharsana menyusulnya ke belakang, ke kamarmakan, mencoba terus meyakinkan Ibu Intan dengan kata­kata ber­ bunga. “Ma, ingatlah masa­masa yang indah kita. Lupakan yang jeleknya.” “Tidak. Yang jelek sudah menghapus yang baik. Sekarang, pulang saja ke istrimu. Atau pergi saja ke perempuan jalang Retno. Tinggalkan aku. Aku sedang memperbaiki diri atas ke­ salahanku dulu: terlalu percaya pada pengakuanmu bahwa dirimu duda.” “Tapi, memang aku duda waktu itu.” “Persetan. Kamu bohong. Kamu pembohong besar.” “Demi Tuhan.” “Persetan. Berhentilah bertuhan­tuhan. Berhentilah jadi munafik. Kamu sudah tidak ada di dalam hatiku.” “Oh, Tuhan. Kenapa Mama tidak percaya aku?” “Sudah aku bilang: kamu sudah tidak ada di dalam hatiku.” 521 Hotel Pro deo “Aku suamimu, Ma.” “Dulu. Ketika anakku Marc masih ada.” “Sekarang pun tetap begitu, Ma.” “Lantas di mana anakku?” “Kenapa Mama tanya padaku?” “Sebab hanya kamu yang tahu.” “Tidak. Sumpah mati, aku tidak tahu.” “Ya, matilah dengan sumpahmu.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 522 www.bacaan-indo.blogspot.com 96 DHARSANA merasa terlecehkan. Toh dia tetap berpikir untuk bertahan diam di rumah kayu­papan karena alasan yang hanya dia sendiri boleh tahu. Memang, cuma Dharsana sendiri yang tahu apa rahasia dalam pikirannya sekarang, yang berhulu pada pikirannya di masa lalu dan bermuara ke pikirannya di masa datang. Bersamaan dengan itu, Ibu Intan sendiri hampir tidak khusyuk mengingat­ingat perkara mimpinya tentang sosok ‘gaung suara kebenaran’ yang pernah menegurnya untuk was­ pada melangkahkan kaki ke depan. Kalaupun dia mengenang itu, dia merasa lebih sentosa untuk berpengharapan pada kekuatan hukum yang diutarakan oleh Juminah, menunggunya sampai tiba waktu yang tepat untuk membawa Dharsana ke mejahijau. Yang tidak diketahui Ibu Intan adalah, di dalam hati Dharsana yang terahasia demikian rupa, telah bercucu­pinak segala kuman kejahatan yang meneraka dan sewaktu­waktu www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo bisa diperintahkan untuk bertindak. Malam ini Dharsana berada di pinggir laut Ancol. Di sana dia duduk di dalam mobilnya bersama Jeng Retno. Gerangan ini merupakan malam yang sangat rawan bagi keduanya. Dialog awal Dharsana pada Jeng Retno adalah gerutunya tentang bagaimana dia diejek oleh Ibu Intan, kemarin, dikata­ katai sebagai pemain ketoprak, sesuatu yang dirasakannya sa­ ngat tajam menistanya. Sambil leha­leha di dalam mobil ini, diiringi dengan musik dari radio yang menayangkan nyanyian gaya bossa­nova Ermy Kullit yang terdengar sayup­sayup, Jeng Retno bersandar ber­ manja­manja di dada Dharsana. Dan, kendatipun adegan ini tampak mesra, aslinya tidak ada gairah yang sama seperti dulu­ dulu. Gairah itu sudah meredup, satu dan lain hal karena secara alami begitu, di samping tentu saja ciri­ciri dalam selingkuh selalu punya batas­batas bosan. Begitu rasa bosan tiba, hilang pula rasa memiliki cinta untuk wajib dijaga dan dipelihara. Satu hal yang membuat selingkuh ini berlanjut dalam bosan dan tanpa gairah, ternyata karena alasan kesepakatan tidak tertulis yang sepenuhnya berurusan dengan kegelojohan­ kegelojohan bendawi. Jangan lupa, ambisi yang gagal soal tanah di Jepara itu telah memakan korban. Kemudian, yang masih menggantung, dan masih setia am­ bisi itu membayang­bayang langkah keduanya, adalah rahasia yang bakal terucapkan malam ini karena perasaan tak sabar dan bosan kepalang menubruk­nubruk akal sehat masing­masing. Mengentalnya rasa bosan Dharsana terlihat pada jawaban­ nya tadi pagi ketika Jeng Retno menelefonnya dengan rayuan kangen, dan niscaya itu berhubungan dengan hubungan perma­ salahan sehari­hari: PLN, PAM, gas, Telkom, dan seterusnya. Jawaban Dharsana tadi pagi itu, “Aku tidak bisa ketemu 524 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado kamu pagi ini. Malam saja. Atau kalau tidak, besok.” Dialog ini tidak pakai ‘dikau’ seperti dulu­dulu, tapi berganti ‘kamu’. Dan Jeng Retno gemas, rongseng, sebel, katanya, “Gimana sih kamu, Mas?” Dialog ini juga tidak lagi ber­‘dikau’ tapi sa­ ma, ber­‘kamu’. “Mas, dengar, apa kita sudah berhenti bercita­ cita?” Dharsana tergegau, diam sejenak, lalu berkata dengan perasaan kecewa, “Kamu jangan bilang begitu dong.” “Abis? I would like you to listen to me.” “Aku dengar. Tapi kamu jangan bilang begitu. Aku sudah pusing dengan dia.” “Don’t agitate yourself. Langkahmu sendiri yang tidak re­ al. Why don’t you get real. Get control of yourself.” “Sudah,” kata Dharsana ketus. “Tunggu saja aku jam dela­ pan malam. Aku jemput kamu.” “Okay, darling Mas.” Dharsana tiba di rumah Jeng Retno tadi menjelang jam sembilan malam. Dia stir sendiri mobilnya. Dengan begitu per­ cakapan yang berlangsung di dalam mobil di parkiran pinggir laut ini tidak terdengar oleh Lukman. Karena dialog awal dari Dharsana pada Jeng Retno tentang rasa sebalnya dikata­kata Ibu Intan sebagai pemain ketoprak, maka Jeng Retno menanggapnya dengan ketawa. Kata Jeng Retno, “Oh my God. Aku heran, kamu tidak bisa membereskan yang selama ini kamu harapkan. You don’t know the trouble you can get into.” Dharsana berlagak tidak ngeh. Maka katanya, “Yang mana?” “Come on, darling Mas. Setahu aku, orang yang asmanya kambuh, dan tidak segera disemprot inhaler, bisa fatal. Istilahnya farewell­sayonara­wasalam.” Dharsana terdiam dulu, lalu berkata dengan datar, “Harus­ 525 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo nya memang begitu.” “Lantas? How come?” Dharsana termangu­mangu. Lagi katanya datar, “Aku juga tidak mengerti.” “Kamu kan bisa menyelesaikan secara militer.” “Ah, gila! Itu tidak mungkin. Terlalu kasar. Juga, itu tidak dalam gagasan awal. Gagasannya cuma alami, dengan sesak nafas saja, atraksinya fatal.” “It’s your problem, darling Mas. Bukan aku. Buatku, bagai­ manapun caranya sampai dia farewell­sayonara­wasalam, yang penting empat lukisan di WC­nya itu langsung jadi milikku.” “Ah.” “Come on, darling Mas. Don’t forget to remember. Kita sama­sama berbisnis. Berbisnis sambil bersenang­senang. Itu komitmen kita sejak awal.” “Ya, ya, ya. Dasar.” Jeng Retno tertawa ngakak, mulut melebar sampai bisa di­ masuki kelinci bunting, berlenjeh­lenjeh, merangkul Dharsana, dan Dharsana pun merespon dengan cara yang sangat rangsang, yaitu sembari meremak­remak payudara Jeng Retno. Setelah itu, dalam dialog berikut ini, kataganti­orang­ kedua­tunggal ‘kamu’ berubah lagi menjadi ‘dikau’. Kata Dharsana, “Uh, mestinya dikau jadi pencuri lukisan saja, ke Louvre Paris atau Rijksmuseum Amsterdam.” “Kalau dikau bersama­sama aku, oh my God, siapa takut?” kata Jeng Retno sambil mengobel terong Dharsana dengan cara yang cabul. “Mm, the unforgettable.” Ternyata… *** 526 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 97 TANPA diduga­duga Ibu Intan mendapat lagi penampakan yang ajaib dalam mimpinya. Kisahnya hampir sama dengan mimpi sebelumnya. Yaitu, Ibu Intan berada di dalam rumah yang hangus— kelihatannya rumah James Winata—dan di ujung lorong dia jumpa lagi seorang lelaki berwajah sama dengan KC yang tidak dikenalnya, dan mewanti­wantinya, menasehatinya. Seperti dalam mimpi yang lalu, lelaki yang menyebut diri­ nya sebagai ‘gaung­suara­kebenaran’ duduk di atas tikar putih seputih salju. “Masih ingat aku, Ibu Intan?” sapa dia. “Ya,” jawab Ibu Intan. “Kenapa Anda terus mengikuti jalanku?” “Sebenarnya Anda yang datang padaku,” kata si gaung­ suara­kebenaran. “Tapi, memang jangan heran, Bu, gaung­ 527 www.bacaan-indo.blogspot.com suara­kebenaran setia mengimbau pada orang yang jalannya benar.” “Apa Anda mau mengatakan jalanku sudah benar?” “Kebenaran tidak hanya yang dipikirkan sendiri dengan mengandalkan akal, tapi juga yang membutuhkan mitra untuk menguji bersama­sama dengan hati, apakah kebenaran itu bisa diterima oleh kedua belah pihak.” “Katakanlah lebih sederhana. Aku tidak sedang duduk di bangku kuliah filsafat.” “Terusterang, Bu, aku sudah berpikir, bahwa jalan Anda memang benar, tapi kiranya masih perlu perbaikan­perbaikan, paling kurang yang bisa disesuaikan dengan kebenaran orang lain.” “Untuk apa kebenaran harus disesuaikan dengan orang lain?” “Bahasa lamanya—yang aku sendiri tidak setuju—adalah ‘kesamaan persepsi’, sesuatu yang berikhtiar ‘menyamakan persepsi’.” “Ya, aku pun benci mendengar gagasan bodoh itu, gagasan yang melecehkan hak­asasi­manusia. Bagaimana mungkin kita harus direka paksa untuk menyamakan persepsi, sementara setiap manusia secara individual­spiritual dicipta Tuhan de­ ngan pribadi lahir­batin yang berbeda, bakat yang berbeda, dan kerja alat driya yang berbeda, serta sikap mental yang berbeda? Generasi kedua manusia, yaitu putra­putra Adam dan Hawa, bertikai sampai terjadi pembunuhan, sebab keduanya ditakdirkan oleh Tuhan memiliki perbedaan­perbedaan asasi akan bakat, alat driya, dan sikap mental.” “Betul sekali, Ibu Intan. Tapi harap Anda jangan lupa juga, bahwa keunggulan manusia dari semua makhluk ciptaan Tuhan, adalah manusia punya akal­budi. Dengan akal­budinya yang terawat dengan baik, manusia mencari dan menemukan kebenaran yang sama antara satu dengan lainnya. Jika tidak www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado sama, maka dengan akal­budi itu manusia siap menyangkal diri atas egonya: ego yang harus dikatakan terbatas karena kerja alat driya dan sikap mental tersebut. Maka, mari kita menyebut kebenaran ini sebagai kebenaran alfurqaniah, ke­ benaran yang paling tulen dalam mengacu manusia sebagai makhluk sejarah. Artinya, kebenaran yang dipegang manusia sebagai makhluk sejarah diterima sahih karena sumbernya alfurqaniah. Dalam sejarah ini manusia diwariskan oleh orang­ orang tuanya kebenaran­kebenaran yang maktub dalam ayat­ ayat kitabsuci samawi: kebenaran dari perbedaan yang indah melalui Ibrahim.” “Bicara Anda terlalu metafisis. Aku suka. Tapi seperti aku bilang, aku tidak berada di ruang kuliah filsafat.” “Maaf. Aku pun tidak menyadari itu. Aku hanya merasa tubuhku dipinjam oleh gaung­suara­kebenaran itu. Dengan itu aku baru mengatakan bahwa Anda sudah berjalan dalam ke­ benaran, tapi Anda kurang acuh, kurang memelihara kebenaran itu dengan akal­budi Anda.” “Memelihara kebenaran?” “Ya. Dengan merawat akal­budi Anda itu.” “Memangnya sisi mana yang kurang?” “Kalau Anda memelihara kebenaran, dengan merawat akal­budi, mestinya Anda awas terhadap muslihat Dharsana.” “Apa Anda bilang?” “Anda kaget?” “Apa yang terjadi?” “Rasanya aku sudah pernah bilang pada Anda.” “Ya. Aku tidak lupa.” “Tapi Anda tidak acuh.” “Siapa bilang?” “Kalau Anda acuh, Anda harus curiga pada Dharsana sejak awal pertama dia melamar Anda untuk nikah.” “Aku memang curiga.” 529 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com “Anda hanya curiga bahwa dia yang membunuh Marcel. Anda tidak curiga pada pernikahannya dengan Anda.” “Tapi sekarang aku kecewa.” “Bukan itu konsentrasi yang perlu Anda jaga. Yang paling penting adalah siaga dan awas. Nah, camkan dan ingat baik­ baik gaung suaraku ini. Ketahuilah, Dharsana menikah dengan Anda sebab ada ambisi Jeng Retno di belakangnya yang hendak merampas semua milik Anda. Sementara selingkuh Dharsana dengan Jeng Retno itu semata­mata karena ambisi Dharsana hendak merampas tanah bekas milik ayahnya yang sekarang telah menjadi milik Iskandar, suami Jeng Retno yang sudah mendiang.” “Ah, Anda bicara apa ini?” “Nah, itulah yang aku bilang, Anda kurang bisa memelihara kebenaran dan merawat akal­budi, sehingga Anda tidak awas pada topeng­topeng teater yang dikenakan musuh­musuh Anda.” “Tunggu!” Namun penasaran Ibu Intan terbengkalai. Sebelum dia mengucapkan kata ‘tunggu’ tersebut, sekonyong­konyong so­ sok lelaki yang bagai pinang dibelah dua dengan KC itu telah terbungkus oleh tikar putihnya, dan di situ—seperti dalam mimpinya yang lalu—bermunculan huruf­huruf Arab yang tersusun menjadi kalimat amsal, yaitu: Bacaan ini dilengkapi juga dengan terjemahan dalam ba­ hasa Indonesia dengan huruf Arab­Melayu atau Arab­gundul yang khas aturannya, yaitu: 530 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com Bacaan Latinnya: Yang berpegang pada kebenaran menuju hidup Yang mengejar kejahatan menuju mati. Setelah itu tikar putih berputar­putar seperti gasing, makin lama makin kencang dan kecil, sampai akhirnya menjadi pensil, meluncur ke atas, entah sampai langit, lalu jatuh tertancap di tanah pas di depan kaki Ibu Intan. Ibu Intan memungutnya dengan membungkukkan badan. Dan, Ibu Intan pun terbangun dari mimpinya. “Ya, Tuhan.” Dia buka pintu kamartidur, keluar, ke kamarmakan, meng­ ambil segelas air di kulkas. Ketika dia minum, tiba­tiba muncul Dharsana dari belakangnya. Bukan alang­kepalang kagetnya. “Aku belum tidur dari tadi, Ma,” kata Dharsana, mencoba memegang punggung Ibu Intan. Ibu Intan gemetar, merinding, ketakutan, cepat­cepat ma­ suk kembali ke dalam kamartidur, dan menguncinya sambil terengah­engah, memijarkan lampu. Dia ambil inhaler lantas menyemprotnya ke dalam mu­ lutnya. Setelah itu dia duduk di depan cermin, termenung, melihat foto Marc yang terselip di bingkai cermin. Dia pun menggumam dalam penyerahan diri yang lebur di hati atas suatu wujud maha kasih dan maha kuasa yang diyakininya. 531 Hotel Pro deo “Tuhanku, hanya Engkau tempatku mengeluh karena du­ ka, dan bersyukur karena suka. Mimpiku tadi ini membuat aku dibebani rasa takut. Apa yang salah dalam diriku, Tuhan? Siapa gaung­suara­kebenaran itu sebenarnya? Engkaukah, Tuhan? “Kalau itu merupakan perupaan diri­Mu dengan wujud daging yang aneh, dan meragukan, karena tak pernah aku kenal, ampunilah aku ya Tuhan, karena keraguan ini bisa me­ nyombongkan diriku. Engkau tahu, betapa akal yang selamanya dianggap manusia sebagai potensi rohani paling paripurna, ternyata selalu menjadi miskin karena keterbatasan kata dalam bahasa. “Tunjukkanlah kepadaku, Tuhan, apakah gaung suara ke­ benaran itu memang wujud­Mu. “Dalam nuraniku, aku yakin itu bukan iblis. “Benarkah pendapatku ini, Tuhan?” Jam dinding berbunyi. Ibu Intan tersentak kaget. “Aduh!” Di luar kamartidur Dharsana mengetuk­ngetuk pintu de­ ngan kata­kata dayu, dan Ibu Intan semakin merinding meng­ ingat mimpinya tadi. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 532 www.bacaan-indo.blogspot.com 98 IBU Intan meninggalkan rumah kayu­papan, menuju ke kantor Juminah, lembaga bantuan hukum Mawar Saron, bersama Hutami. Dia tidak peduli samasekali pada Dharsana yang bengong bingung memandangnya seperti orang ombak yang kehilangan hikmah, kehilangan martabat, tapi tidak kehilangan kanjut. Selagi mobil yang distirnya meluncur ke kantor Mawar Saron, Ibu Intan menelefon Juminah, dan sekretaris di kantor itu mengatakan Juminah belum datang, entah di kampus, entah di CCF, entah di Erasmus Huis, tempat­tempat yang biasa didatangi Juminah berurusan dengan ilmu yang digelutinya. “Tidak apa­apa deh, saya ke sana,” kata Ibu Intan kepada sekretaris kantor lembaga hukum itu. “Kalau nanti Mbak Ju­ minah menelefon ke situ, tolong bilang saja saya sedang me­ nuju ke situ.” “Baik, Bu,” sahut sang sekretaris. Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ibu Intan keheranan, dan senang, ketika dia tiba di kantor Mawar Saron, Juminah sudah ada di situ. Ternyata sang sekretaris menelefon Juminah yang masih di rumah untuk segera ke kantor, dan dengan senang hati Juminah meluncur ke kantor ini, kurang sepuluh menit lebih awal dari kedatangan Ibu Intan di situ. “Ada hal yang luar biasa yang bisa saya tambahkan se­ bagai data menyangkut kejahatan Dharsana,” kata Ibu Intan bersemangat. “Data?” tanya Juminah, terpengaruh semangat Ibu Intan. “Ya,” jawab Ibu Intan. “Dan Anda tahu, ini saya dapat dari mimpi saya tadi malam.” Juminah tersenyum, meringis, agaknya tenahak mende­ ngar pernyataan Ibu Intan tersebut. “Mimpi?” tanya dia. Ibu Intan merasa seperti diremehkan. Karenanya dia me­ rasa perlu untuk segera memberi semacam apologia. “Ini tidak seperti mimpi­mimpi pada umumnya,” katanya. Juminah meringis lagi. Namun dia coba menutupi kemung­ kinan sikapnya yang bisa menunjukkan rasa kurang memberi penghargaan atau setidaknya perhatian kepada Ibu Intan, mela­ lui cara membuka kedua tangannya tanpa dialog apa­apa, tapi maknanya mempersilakan Ibu Intan mengurai apologianya itu. Maka kata Ibu Intan, menyadari kemungkinan sikap Juminah yang meremehkannya, “Ya, kedengarannya ini me­ mang ‘sot’.” Kata ‘sot’ yang diucapkan Ibu Intan ini adalah bahasa Prancis, muradif dengan bahasa Inggris ‘silly’. Sebagai janda orang Prancis, dia biasa mengucapkan ini. 534 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Bagaimana itu, Bu?” tanya Juminah, mengharapkan Ibu Intan mengurai cerita mimpi yang disebutnya sendiri ‘sot’. “Seperti kata saya, Mbak, mimpi saya itu tidak seperti biasanya mimpi. Saya kuatir kalau saya ingin menyamakannya sebagai visi dalam konteks revelasi.” Juminah terhenyak. Ada kataseru mirip ‘aduh’ yang tak terucapkan. Gambarannya, dia ragu. Entah ragu pada omongan Ibu Intan, atau entah pula ragu pada dirinya sendiri. Kalau memang terbit rasa ragu, apakah percakapan ini menjadi mu­ bazir? Entah pula. Tanpa rencana, Juminah bertanya alakadar, “Kenapa Ibu merasa seperti itu?” Jawaban Ibu Intan mengejutkan Juminah. Kata Ibu Intan, “Saya bukan merasa, tapi berpikir.” “Hm.” “Maksud saya, mimpi yang muncul tadi malam itu meng­ usik kemampuan nalar saya.” “Hm?” Juminah mengerling ke Ipong. Lalu, kata dia pada Ibu Intan, “Saya penasaran, Bu.” “Dalam mimpi saya itu, sungguh ajaib, perkara yang tidak pernah saya ketahui, bisa begitu rinci diuraikan oleh sosok lelaki yang mengaku dirinya sebagai ‘gaung­suara­kebenaran’. Hati saya ingin ingkar, tapi nalar saya menerima. Artinya hati dan nalar saya bisa bekerjasama memandang realitas itu. Juminah asan tak asan, memandang dengan airmuka yang cemplang terhadap pernyataan Ibu Intan. Sekenanya dia bertanya, “Bagaimana uraiannya?” “Begini,” kata Ibu Intan, duduk tegak di kursinya, per­ tanda bahwa dia pun merasa resah. “Terlebih dulu harus saya katakan, bahwa sosok ‘gaung­suara­kebenaran’ ini sudah dua kali hadir dalam mimpi saya. Waktu pertama dia muncul, dia 535 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo tidak bicara serinci yang tadi malam. Tadi malam dia bisa mengatakan dengan pasti, bahwa Marc dibunuh oleh Dharsana. Malahan sekarang Dharsana pun menginginkan kematian saya. Semua ambisi itu berlatarbelakang pada Jeng Retno. Dasar kejahatannya adalah harta benda.” “Hm.” “Nah, itu yang membuat saya menalar. Saya yakin ini bukan sekadar mimpi­mimpian. Ini, seperti kata sosok yang menamakan dirinya ‘gaung­suara­kebenaran’ tadi. Saya agak percaya pada kebenaran yang disampaikannya. Bagaimana pendapat Mbak sendiri? Apa ini nalar?” Juminah sulit memberi pendapat. Katanya ragu, “Kalau Ibu bilang Ibu percaya, saya rasa tidak boleh mempengaruhi rasa kepercayaan seseorang.” “Maksud saya, dalam kasus hukum, apakah ini tidak bisa dijadikan alat untuk menguatkan kebenaran?” “Aduh, Ibu,” seru Juminah. “Saya hormat pada rasa per­ caya Ibu itu. Mudah­mudahan rasa percaya itu menjadi ke­ kuatan yang dapat menolong kita.” “O, ya, hampir lupa. Satu hal yang diingatkan oleh sosok ‘gaung­suara­kebenaran’ itu, adalah keharusan saya merawat akal­budi dan memelihara kebenaran itu.” “Hm.” “Apakah itu berguna?” “Kalau Ibu yakin bahwa Ibu benar, itu cukup, berguna bagi kekuatan. Saya kira, saya harus menghargai.” “Benarkah?” “Ya, ya, ya. Astaga, mengherankan, saya merasa seperti dibisiki, bahwa galib terjadi, yang berpikir benar dengan sen­ dirinya menjadi obat bagi kekeliruan dan kesalahan. Pasien tidak sembuh hanya oleh obat, tapi juga oleh rasa percaya. Tiba­ tiba saya harus mengatakan begitu. Saya menghargai Ibu.” 536 Remy Sylado “Terimakasih,” kata Ibu Intan. “Artinya, Mbak bisa me­ nerima cerita saya tentang mimpi?” Juminah tersenyum. Katanya relaks, “Saya rasa, tanpa mimpi, Galileo, Newton, dan Einstein tidak pernah melahirkan teorinya.” Wajah Ibu Intan ceria. “Tapi, maksud saya mimpi dalam pengertian santa­santa seperti Jeanne d’Arc atau Bernadette Soubirous.” “Wah, itu di luar jangkauan ilmu saya, Bu,” kata Juminah seraya bersandar di kursinya. “Tapi percayalah, saya dan kem­ bar saya, orang beriman, Pancasila ayat pertama.” “Cantik.” “Yang paling penting, ke depan, selama kita mempersiap­ kan gugatan Ibu, Ibu harus awas dan waspada.” “Ya, Tuhan, itu dikatakan juga oleh sang ‘gaung­suara­ kebenaran’.” “Hm.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 537 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 99 IBU Intan tak lupa pada janjinya kepada Hutami. Tanpa diingatkan pun, dia tahu bahwa janji adalah utang. Dan, utang, dalam ajaran moral yang diserapnya dari keluarga mendiang suaminya yang orang Prancis selatan, adalah pelanggaran ro­ hani, atau dalam bahasa awam: dosa, sesuatu yang harus selalu diingat untuk diminta pengampunannya. Begitu yang pernah dihafalnya dalam tradisi André: “pardonne­nous nos offenses— ampunilah dosa­dosa kami.” Di luar itu, dia berjanji kepada Hutami karena dia akan merasa senang jika Hutami mau memberi yang dimintanya. Yang dimintanya, Hutami ke lembur, menjemput anaknya untuk tinggal bersamanya di rumah kayu­papan. Kebetulan, sekarang ini waktunya dia memerlukan orang­ orang yang bisa dia kasihi dan dia percayai, menghadapi anjur­ 538 www.bacaan-indo.blogspot.com an Juminah dan sebelumnya sang ‘gaung­suara­kebenaran’ yang sosoknya serupa dengan KC, untuk awas dan waspada memasuki masa depan. Ibu Intan meminta Hutami berangkat ke lembur, atau ke kampunghalaman, secepatnya. Selama ini anaknya hanya bertemu Hutami pada setiap libur lebaran. Setelah itu berbulan­ bulan dalam setahun anaknya hanya mendengar cerita dari neneknya tentang ibunya yang bekerja demi cintanya pada anaknya itu. Ke lembur Hutami tak sendiri, Ibu Intan malah meren­ canakan untuk berangkat bersama­sama ke sana. Berangkat dengan mobil jip Mercedes yang distirnya sendiri. Berangkat pagi­pagi melalui Bandung. Sebelum itu, masih seperti ketika Ibu Intan pertama kali menyatakan gagasannya untuk meminta Hutami menjadi ba­ gian dalam hidupnya, membawa anaknya ke rumahnya, kini pun Hutami masih bertanya, seolah­olah tidak yakin pada kemauan Ibu Intan itu. Dia masih bertanya, “Ibu serius ingin saya bawa anak saya ke sini?” Sampai­sampai Ibu Intan harus mengucapkan kata seru yang melibatkan Tuhan, “Ya, Tuhan!” Lalu secepatnya dia me­ nandas, “Dengar, Mi, saya bukan hanya ‘ingin’ tapi ‘mau’: mau kamu membawa anakmu tinggal bersama­sama Ibu di sini.” Hutami bertanya lagi, gambaran antara suka namun ragu, seperti pertanyaan yang pernah pula diajukannya dengan kata­ kata yang berbeda, “Nanti Bapak bagaimana?” “Alah, kok kamu mengurusi angin lalu?” kata Ibu Intan tak acuh. “Bu, siapa nyana kalau ‘tahu di angin berkisar’,” kata Hu­ tami, alih­alih hafalan peribahasanya tidak terbalik. Hotel Pro deo “Alah, kamu ini,” kata Ibu Intan. “Yang namanya angin lalu tetap saja angin lalu, Mi. Sudahlah, jangan dipikir. Di rumah ini saya yang menentukan.” Pas habis kalimat itu terucapkan di mulut Ibu Intan, muncul Dharsana di situ. “Aduh, meuni reuwas,” kata Hutami memukul­mukul dada. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Lima hari sebelum berangkat ke lembur, menyesuaikan diri dengan waktu Ibu Intan sendiri, Hutami mengirim telegram dulu kepada ibundanya. Bahwa dia dan majikannya akan datang ke lembur menjemput putrinya. Setiba di lembur, ibunda Hutami—satu­satunya orang­ tuanya yang masih hidup, ayahnya sudah meninggal—merasa bakal kehilangan karena cucunya akan dibawa ke kota, tapi se­ kaligus senang karena Ibu Intan menjanjikan akan mengasuh dan menyekolahkannya di kota. Ketika Ibu Intan tiba di lembur, di rumah ibundanya yang khas rumah Pasundan, yaitu rumah panggung setinggi 40 senti­ meter dan berlantai papan, terlihat beberapa orang anak sebaya anak Hutami yang sedang menyanyi lagu Sunda jejemplangan, jenis nyanyian dengan ciri empat matra tonal, masing­masing: nada pertama disebut ‘barang’ bunyinya ‘da’, nada kedua dise­ but ‘loloran’ bunyinya ‘mi’, nada keempat disebut ‘galimer’ bunyinya ‘ti’, nada kelima disebut ‘singgul’ bunyinya ‘la’. Ibunda Hutami sendiri yang mengajar anak­anak itu. Ternyata, di lemburnya, ibunda Hutami, yang oleh anak­anak kecil itu dipanggil Nini Geulis, dikenal sebagai pelestari ke­ senian Sunda. Nini Geulis ini sudah sepuh, tapi masih merdu menyanyikan tembang­tembang Sunda buhun yang tergolong 540 Remy Sylado tidak sederhana seperti jenis­jenis mamaos, Cianjuran, Garutan, Ciawian, Sumedangan, Cigawiran. Maka, tak heran, ketika dia menyerahkan cucunya kepada Hutami untuk diasuh oleh Ibu Intan, berkatalah dia kepada anaknya dengan perasaan masygul: “Ulah nepi ka mopohokeun kesenian Sunda. Lila­lila bisa leungit. Sing emut.”1 Hutami menunjukkan kesungguhannya. Jawabnya singkat saja, “Muhun, Mak.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Anak Hutami ini baru berumur empat tahun, perempuan, lucu, ompong, sudah bisa mengucapkan huruf ‘r’, cerdas, tapi seperti kebanyakan anak desa, anak ini pun pemalu. Namanya Paramitha. Ketika Hutami memberinya nama ini, dia tertarik pada nama seorang bintang sinetron. Hutami tidak pernah tahu bahwa nama Paramitha dalam senirupa merupakan sebutan terhadap patung Ken Dedes. Dan, walaupun namanya bagus begitu, tapi di kampung panggilannya disesuaikan de­ ngan kebiasaan membuai­buaikan nama kesayangan, menjadi: Mimit. Setelah sepekan baru Mimit merasa terbiasa di rumah Ibu Intan, tidur di kamar samping bersama Hutami. Setelah itu Mimit pun mau dipangku oleh Ibu Intan, diajak sarapan bareng di mejamakan yang asing baginya. Yang membuat Mimit tiba­tiba meloncat ketakutan lantas bersembunyi di balik rok Hutami adalah jika Dharsana muncul dan mau ikut­ikutan sok akrab dengannya. Entah apa yang ada dalam pikiran Mimit yang membuat dia meloncat ketakutan. 1 Jangan sampai melupakan kesenian Sunda. Lama­kelamaan bisa hilang. Ingatlah. 541 Hotel Pro deo Di kamarnya, sebelum tidur, Hutami bertanya kepada Mimit, “Kunaon Mimit sieun ka Bapak?”2 “Asa ningali jurig,”3 jawab Mimit lugu. Lalu tanya Hutami sambil tertawa, “Ai Mimit teh kantos ningali jurig?”4 Jawab Mimit tanpa ganjalan, “Eta, meh­sarua jeung Bapak.”5 www.bacaan-indo.blogspot.com *** 2 Kenapa Mimit takut pada Bapak? 3 Seperti melihat hantu. 4 Memangnya Mimit pernah melihat hantu? 5 Itu, sama seperti Bapak. 542 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 100 TIDAK direncanakan oleh Ibu Intan, hari ini berlangsung pem­ bicaraan terbuka dengan Rachmat Wirjono. Awalnya jendral ini berkali­kali menelefon Dharsana di nomer ponselnya dan tidak tersambung. Rupanya ponsel Dharsana itu rusak. Jadi, pada menjelang magrib Rachmat menelefon ke rumah kayu­papan. Kebetulan yang mengangkat telefon itu Ibu Intan. Berlangsung terlebih dulu percakapan basabasi khas Indonesia—yang ternyata tetap berlaku sebagai budaya dalam keadaan darurat pun—Rachmat bertanya yang harus dia da­ patkan jawabannya, peri di mana Dharsana, kenapa ponselnya tidak diangkat, lalu Ibu Intan mengatakan dengan cuek bahwa dia tidak pernah tahu lagi urusan Dharsana sebab selama ini sudah tidak ada pula hubungan batin dengannya. Rachmat prihatin mendengar keterangan itu, ingin tahu musababnya, lalu Ibu Intan menerangkannya garis­garis besarnya dengan 543 menyebut Rachmat sebagai Mas dan nanti pada istri Rachmat dipanggilnya Ibu. “Kalau Mas tidak keberatan mendengar cerita saya, saya ingin mengatakan semuanya kepada Mas,” kata Ibu Intan. “Paling tidak, menurut versi saya.” Maka kata Rachmat, memanggil Ibu Intan dengan sebutan Mbakyu, “Sebagai orang yang menjadi saksi waktu Mbakyu dan Dhar nikah, tentu saja saya merasa terpanggil untuk mengetahui cerita Mbakyu.” “Terimakasih,” kata Ibu Intan lega. “Kalau begitu, apa kita bisa ketemu malam ini? Saya traktir Mas bersama Ibu untuk makanmalam.” “Ide yang menarik.” “Mas dan Ibu mau coba masakan Spanyol?” “Boleh juga.” “Baik. Saya reservasi untuk malam ini, jam delapan di resto Plaza de Espana, Mezzanine Floor, Crowne Plaza Hotel.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Jam 20.00 mereka jumpa di situ. Ada juga basabasi khas Indonesia yang dimulai oleh kedua wanita, dimulai dengan sun pipi kiri dan kanan, kemudian pertanyaan soal kesehatan, dan bicara saling puji akan tren penampilan dengan baju batik kebanggaan nasional (sembari tidak tahu bahwa hakcipta batik sudah diklaim di Malaysia sebagai milik budaya negeri jiran itu). Sehabis santap, Rachmat pun membuka pertanyaan ten­ tang masalah Ibu Intan. “Nah, apa sih masalah kalian berdua, Mbakyu?” katanya, dan minta maaf karena di akhir kalimatnya dia teurab. “Saya ini seperti pelari maraton yang sudah sampai di garis finis dan dinyatakan kalah,” kata Ibu Intan. “Walau kalah, www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado tidak ada niat saya untuk mengulangi lagi pertandingan di garis start. Saya ingin mengubah fakta menjadi realitas.” Rachmat terpancing untuk bertanya apa mau Ibu Intan dengan kata­kata yang dipakainya itu. “Apa maksud Mbakyu dengan fakta dan realitas?” “Dengan fakta saya melihat kasus seperti saya ini temporer dan sudah berlangsung, dan dengan realitas saya ingin men­ dudukkannya sebagai kasus permanen. Artinya, kalau hubung­ an batin sudah tidak mungkin disambung lagi, ya, cerai.” “Kedengarannya buruk sekali,” kata Rachmat. “Maaf kalau saya menceritakan hal yang buruk kepada Mas,” kata Ibu Intan, peka sekali perasaannya. “Oh, tidak, tidak,” kata Rachmat segera, seperti meng­ gayung. “Ceritakan saja. Saya mendengar. Ada apa sebenarnya yang terjadi?” “Ada enam kesalahannya. Pertama, saya benci lakilaki yang memukul istri. Kedua saya benci lakilaki yang memukul istri. Ketiga saya benci lakilaki yang memukul istri. Keempat saya benci lakilaki yang memukul istri. Kesalahan ini mungkin gampang dimaafkan, tapi sulit dilupakan. Kepalang telah me­ rusak rasa percaya.” “Dharsana melakukan itu pada Mbakyu?” “Ya, dia memukul saya seperti terhadap musuh. Kesalahan kelima dia berkhianat pada pernikahan kami. Dia berselingkuh dengan istri orang, Retno, bukan hanya untuk senang­senang, tapi di dalam bersenang­senang ada kesepakatan niat jahat untuk menyingkirkan saya…” “Tunggu. Dari mana Mbakyu dapat cerita itu?” Ibu Intan terhenti bicara. Tampak dia sedikit bimbang. Dia merasa tidak tepat mengatakan, bahwa dia mendapat cerita itu di dalam mimpinya, bertemu dengan gaung­suara­kebenaran. Sebaliknya dia merasa lebih tepat mengatakan sesuatu yang tidak perlu disertai bukti, yaitu: 545 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Cerita itu dari Tuhan. Tuhan membisiki saya.” Rachmat dan istrinya sama­sama terdiam, saling pandang sejenak, kelihatan asing mendengar pernyataan Ibu Intan itu. Rupanya lumrah di antara orang­orang yang dalam hidup ke­ seharian tidak berapi­api semangat agamawinya, mendengar orang gampang menyebut­nyebut Tuhan lantas dipandangnya berkelas fanatik. Dan bagi anggapan sebagian orang, dalam hal ini termasuk Rachmat, istilah fanatik disimpulkan sebagai arti lain dari irrasional, atau sama dengan arti tidak logis, tidak nalar, dan bahkan lebih jauh lagi: fanatik itu lunatik. Walau begitu Rachmat bersikap semadyanya untuk me­ nyediakan telinga, mendengar cerita Ibu Intan tersebut, dan menanggapinya dengan gelagat akrab. Kata Rachmat, “Yang Mbakyu ceritakan itu sungguh?” Ibu Intan mengendor. Dia rumangsa pengakuannya itu diremehkan. Maka katanya menyayangkan, “Memang cerita saya ini seperti ‘fou’.” (Dia pakai istilah ‘fou’, bahasa Prancis untuk arti ‘gila’). “Saya sendiri pun merasa seperti orang gila. Tapi, sumpah, saya ingin bilang: saya tahu betul kesalahan­ kesalahan Dharsana yang sengaja dibuatnya di belakang saya…” Rachmat terkesiap. Agaknya dia membatin sesuatu. Maka, sambil menatap wajah Ibu Intan, dia berkata, “Tadi Mbakyu bilang kesalahan Dharsana ada enam. Yang baru Mbakyu sebut itu lima.” “O, ya,” sahut Ibu Intan, gencar sangat. “Yang keenam, saya tahu anak saya Marc dibunuh oleh Dharsana dengan me­ makai tangan orang lain. Lalu sekarang, bersama Retno dia merencanakan kematian saya juga, entah dengan memakai tangan siapa, atau cara apa.” Rachmat tertegun, dahi mengkerut, mata membuntang. Katanya gayat, “Wah, itu serius sekali, Mbakyu.” 546 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Begitulah,” kata Ibu Intan, seraya rumangsa ceritanya diragukan oleh Rachmat. “Memang. Mas boleh tidak yakin mendengar cerita saya. Tidak apa­apa. Yang penting, saya kepalang percaya bahwa Tuhan membisiki cerita itu kepada saya dalam mimpi bertemu gaung­suara­kebenaran.” Istri Rachmat menimbrung. Pertanyaannya dirasakan Ibu Intan sebagai keraguan terhadapnya. “Mbakyu mendengar bisikan itu?” Merasa diragukan, akhirnya Ibu Intan nyelelek. Jawabnya terkesan sebunyinya, “Mungkin juga iblis yang membisiki saya. Itu tidak soal buat saya. Soalnya, saya tahu itu, dan saya yakin itu benar sekali. Saya tidak punya wewenang untuk memaksa, atau membujuk, atau mempengaruhi orang lain masuk ke da­ lam rasa yakin saya itu.” Rachmat terdiam. Istrinya terpana.Ibu Intan tertawa. Akhirnya Rachmat berkata dengan suara tertelan, “Bagai­ manapun saya harus mendengar omongan Dhar.” Ibu Intan memotong dengan pertanyaan, “Versinya?” Rachmat mengangguk kecil, lebih terlihat matanya hendak mengatakan, “Ya.” “Tidak usah,” kata Ibu Intan. “Anggap saja cerita saya ini adalah mimpi yang sepele. Mimpi sedih, mimpi buruk, mimpi nelangsa. Mimpi yang, memang, menyuruh saya awas dan was­ pada. Hanya itu.” “Kenapa Mbakyu tidak boleh saya bertanya kepada Dhar?” tanya Rachmat. “Tidak ada gunanya juga,” jawab Ibu Intan. “Saya toh tidak akan mengubah keputusan hati, kembali ke garis start lantas memulai lagi pertandingan. Pertandingan sudah menyatakan saya kalah. Makanya saya harus memilih permainan yang lain. Terusterang saya sudah menghubungi seorang pengacara 547 untuk mengatur perceraian saya. Di situlah permainan baru yang, demi Tuhan, harus saya menangkan.” “Apa begitu?” tanya Rachmat, dan kemudian dirasanya sendiri ini merupakan pertanyaan yang songong. Karuan Ibu Intan menjawab dengan balik bertanya, “Apa Mas kira saya bercanda?” “Tidak,” sahut Rachmat, meralat sikap. “Saya prihatin.” Bertanya Ibu Intan dengan membuka diri, “Apa yang Mas pikirkan?” Rachmat tak gampang mengungkapkan yang dipikirnya, tapi setelah diam sebentar berpikir­pikir, akhirnya dia berkata, “Saya rasa Dharsana jadi rusak karena perempuan itu: Retno.” Ibu Intan tertawa. Katanya dengan alternatif lain, “Bisa juga dibalik, Mas. Perempuan itu jadi rusak karena Dharsana.” Istri Rachmat menyungging senyum. Dia perempuan. Dia berpihak pada pernyataan Ibu Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 101 MASALAH yang dihadapi Ibu Intan itu mengilik perhatian istri Rachmat untuk membahasnya atau juga menggunjingnya di dalam mobil sepulangnya istri­suami ini dari restoran Spanyol di Senayan ke rumah mereka di wilayah Bogor; dan pandangannya itu mau tak mau akan mempengaruhi sikap Rachmat pada Dharsana dalam pertemuan besok pagi. Yang mula­mula dicakapkan oleh istri Rachmat di atas mobil ini adalah rasa masygulnya terhadap masalah yang di­ hadapi Ibu Intan. Katanya, “Masalahnya Intan tidak punya anak dari Dharsana. “ Dan, kata Rachmat, “Bagaimana bisa punya anak, wong Dharsana itu kucing garong. Di semua tempat dia royal.” Istri Rachmat tak paham akan ungkapan itu. “Royal gimana sih?” “Ya,” sahut Rachmat membayangkan masa silam. “Teman­ teman di akademi dulu menjulukinya MBAL.” 549 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Istri Rachmat masih tak paham ungkapan bahasa begituan. Tanyanya naif, “MBAL: Markas Besar Angkatan Laut? Emang­ nya dulu dia di AL?” “Ah,” kata Rachmat ketawa. “MBAL itu Masak Bodoh Asal Lobang. Maksudnya, dia itu koboi vagina.” “Hus, Papa!” Istri Rachmat ketawa, menertawai dirinya, kemudian mengucapkan satu kata yang dikenalnya di masa muda dulu ketika lagu Beatles ‘Tell Me’ membahana. Katanya, “Aduh, dasar aku ‘telmi’: telat mikir.” Rachmat kembali ke topik semula. Katanya, “Di situ itu titik masalah Dharsana pada dirinya yang mengganggu diri orang lain. Sebetulnya dia pintar. Untuk hal­hal yang menyangkut soal sosbud, seperti yang pernah jadi tugasnya di Komisi X, dia memang mumpuni. Cacatnya ya yang satu itu, MBAL, dan itu yang menghambat kepangkatannya. Malahan sepakterjangnya akhir­akhir ini sudah menjadi catatan buruk untuk alasan bebas tugas.” “Dipecat?” “Aku bilang: bebas tugas.” “Ck.” Istri Rachmat mencibir. “Aku sendiri tidak mengerti, kenapa kok Intan mau­maunya nikah dengan dia. Aku, bahkan cuma melihat tampangnya, mataku langsung sepet.” “Memangnya bagaimana tampangnya?” “Ah, tampangnya mesum, kayak kecebong, kayak coro. Ih, amit­amit jabang bayi, mau­maunya Intan jadi istrinya.” Rachmat menyantaikan pikirannya sendiri. “Selera me­ mang tidak sama,” katanya. “Kalaupun sama, definisinya lain­ lain.” Lalu, pertanyaan istri Rachmat menggugah ceruk pikiran sang suami, “Kalau Intan jadi minta cerai, apa masalahnya bu­ kan malah menjadi runyam?” “Tidak jelas,” sahut Rachmat, seperti hendak membiarkan, tapi sebetulnya dalam pikirannya dia sudah menetapkan pili­ 550 Remy Sylado han untuk menegur Dharsana, baik sebagai sahabat maupun atasan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Besoknya, pada jam 06.00 dia menelefon Dharsana—dan dia tahu Dharsana ada di rumah kayu­papan—untuk bertemu dengannya di kantor. Pertemuan ini akan menyebabkan Dharsana harus menggaruk­garuk kepala. Di kantornya, sambil duduk berdua berhadap­hadapan, Rachmat langsung menjejali pertanyaan menantang. “Apa per­ tanggungjawaban, jadi bukan jawaban, kalau saya bertanya, bagaimana tindakanmu kalau Intan memperkarakan kamu di pengadilan?” “Tunggu,” kata Dharsana, mengarahkan pembicaraan menjadi cair, tidak tegang. “Cerita apa ini?” “Ini bukan cerita­ceritaan,” sahut Rachmat, “Saya ingin ja­ waban yang bersifat pertanggungjawaban, soal bagaimana tin­ dakanmu, jadi bukan tanggapanmu, kalau Intan mengatakan bahwa kamu terlibat dalam kematian anaknya, lalu bersama Retno sekarang kamu merencanakan akan menyingkirkan dia.” Dharsana tersentak, wajahnya memucat, sejenak seperti linglung, tapi setelah itu dengan cepat dia menyeimbangkan pikiran dan perasaannya, lalu dengan lihai meloncatkan kata­kata kelit menggelicik dari mulutnya sambil tertawa me­ remehkan. “Isapan jempol apa itu, Jendral,” kata dia, lancar, sangat intuitif sebagai sebuah akting. “Ilusi apa yang membuat cerita itu muncul?” Rachmat tak terpengaruh. Satu dan lain hal, dia kenal betul Dharsana sejak usia teruna. Karenanya Rachmat berkata pada relnya, “Tadi aku bi­ lang, aku ingin mendengar bukan sekadar jawaban, tapi per­ tanggungjawaban. Nah, coba bilang, saya ingin mendengar 551 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo pertanggungjawaban itu, Dhar.” Dharsana agak limbung hendak menjawab tantangan itu. Katanya tersendat, “Masya Allah, ada apa ini?” Mengira bahwa Dharsana akan bicara benar, maka Rachmat pun berkata, “Apa kamu tahu Intan sudah mempersiapkan pengacaranya untuk menangani perceraian dengan kamu?” Dharsana mencoba menahan diri. Jawabannya berikut ini hendak menunjukkan bahwa dia tidak kaget mendengar omongan Rachmat. Katanya enteng, “Dia sudah bilang begitu pada tahun lalu.” Rachmat merasa tawar, menyadari bahwa umpan yang di­ pasangnya tidak berkekuatan. Walau begitu, dia tidak berhenti. Dia tahu, Dharsana berdusta. Maka katanya, “Dalam tuntutan cerai yang disiapkan Intan, pasti akan ada alasan­alasan yang mesti diketahui hakim, dan hal itu harus dibeberkan oleh Intan. Bagaimana kalau sampai pembeberan tentang alasan­alasan itu lantas meluas pada pengakuan bahwa kamu memukulnya, dia trauma, dan justru dalam traumanya dia mengetahui dari ancaman Retno, bahwa kalian akan menyingkirkan dia…” Dharsana oleng. Umpan yang dipakai Rachmat dalam kalimat ‘dia mengetahui dari ancaman Retno’, yang sebenarnya hanya pernyataan coba­coba, artinya coba­coba menafsir lebih spesifik akan pernyataan Ibu Intan tentang apa yang di­ katakannya sebagai bisikan Tuhan, ternyata berhasil menekan Dharsana. Sertamerta Dharsana menyangkal. Suaranya melancip. Katanya, “Tidak mungkin Retno bilang begitu kepada Intan. Itu bodoh.” Rachmat segera menyimpulkan suatu bentuk aib yang tersembunyi di balik bicara Dharsana yang belepotan. Katanya, mengarah goda, “Tidak mungkin?” “Ya,” jawab Dharsana, agak tak terkendali emosinya. 552 Remy Sylado “Tidak ada alasan Retno bilang begitu.” Rachmat menggoda lagi. “Tapi kalau ternyata dia berkata begitu, bagaimana?” “Dia tolol.” “Ah, Dhar.” Rachmat berdiri dari kursinya, berjalan ke jendela, melihat ke luar, ke pohon kembang­sepatu yang di­ hinggapi kupukupu. “Kamu sudah saya ingatkan dari awal­ awal, Dhar: perempuan macam Retno itu berpotensi membuat kamu jadi panitia Perang Dunia Tiga. Nyatanya sekarang ka­ mu sedang memasuki kembali ke kubur Perang Dunia Dua. Hati­hati, Dhar, jangan sampai kamu terbirit­birit di kuburan Perang Dunia Dua. Tidak akan ada orang yang memuji kamu kalau kamu kalah bukan lantaran bom atom tapi bom seks.” “Tidak,” seru Dharsana, suaranya bergetar, dikuasai oleh ketidakberdayaannya pada rasa sesal dan benci. “Saran saya, lebih baik, sebelum terlambat, artinya sebelum sidang digelar di pengadilan, lebih baik kamu perbaiki dulu hubungan mesra suami­istri dengan Intan. Bagaimanapun, se­ belum ada keputusan hukum atas perceraian itu, kalian masih tetap suami­istri yang sah di bawah undang­undang. Lalu, yang penting tinggalkan Retno. Kamu bakal menjadi tambah susah kalau kamu berpikir akan terus dengan dia. Panasnya akan membikin kamu hangus. Saya tidak bisa menolong kamu.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 553 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 102 SELAIN soal majalah Australia yang mengakibatkan Dharsana menembak Todung dan sekarang memusingkan kepalanya, masalah lain yang harus dihadapi Dharsana yang sebentar lagi akan memusingkan pula kepalanya adalah istri Todung dari Cangkurawok, sebelah luar pagar IPB di Dramaga Bogor, akan datang kepadanya menanyakan ihwal Todung. Istrinya kenal sekali teman preman Todung yang dipanggil menurut nama bintang pop: Bon Jovi. Oleh karena itu istrinya mencari Bon Jovi di Jakarta. Ketemu yang dicari ini di rumah­ nya, daerah perkampungan padat yang rumah­rumahnya berdempet­dempet di sekitar Galur, timur luar Kemayoran, di mana orang­orang di situ berak di kali dari model kakus umum peninggalan zaman Ali Sadikin, dan pulang ke rumah tanpa cebok, lalu nanti ceboknya di rumah dengan sebotol air. Dengan mata berkaca­kaca istri Todung mengeluh pada Bon Jovi antara rindu, dendam, dan sebel. 554 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Sudah lama sekali Kang Todung tidak pulang ke rumah,” kata istrinya, menyebut Todung ‘kang’ dari bahasa Sunda ‘akang’ artinya kakak lakilaki. “Todung ke mana ya?” kata Bon Jovi, ikut bertanya juga. “Justru itu,” kata istri Todung. “Tidak ada berita apa­apa dari dia.” “Saya juga sudah lama tidak ketemu dia tuh, Ceu,” kata Bon Jovi, menyebut istri Todung ‘ceu’ dari bahasa Sunda ‘ceuceu’, artinya kakak perempuan. Padahal tetangga di Cangkurawok biasa memanggil ‘teh’ dari bahasa Sunda ‘teteh’, juga sebutan untuk kakak perempuan. “Ke mana dia ya?” tanya istri Todung, benar­benar bi­ ngung, dan kelihatan ingin meranyah. “Nggak tau juga tuh, Ceu,” jawab Bon Jovi. “Terakhir sih kami main bilyar di Cikini.” “Terus?” “Dia ditelefon, nggak tau siapa yang nelefon, lantas dia pergi. Begitu aja. Tadinya saya kira Ceuceu yang nelefon dia.” “Nggak tuh.” “Padahal itu akhir tahun lalu.” Istri Todung kelihatan gerah. Prasangka meliputi perasa­ annya. Katanya curiga, “Apa ada perempuan lain?” Bon Jovi agak kaget. Dia berlagak tidak paham. “Maksud Ceuceu?” tanya dia. Pertanyaan istri Todung berikut ini menegas, “Apa dia punya pacar baru?” Bon Jovi gelagap. “Nggak tau juga tuh, Ceu.” Istri Todung gusar. “Ah, bilang aja terusterang.” “Eh, sumpah, Ceu,” kata Bon Jovi mengelak. “Sumpah apaan?” “Ho’oh, sumpah: wallahualam.” “Ah, kamu.” Istri Todung kecewa. “Ya, bener, Ceu,” kata Bon Jovi bergairah. “Sumpah mam­ pus disamber geledek deh, Ceu, saya kagak tau Todung ke mana.” 555 Hotel Pro deo “Aduh,” kata istri Todung berwalang­hati, mengusap­usap kening, duduk usreg. “Di mana Kang Todung ya?” “Bener. Nggak tau, Ceu.” Dalam menunjukkan kesungguhannya bahwa dia tidak tahu, tapi juga dalam keinginan pikirannya tidak terbebani oleh rasa susahnya istri sahabatnya, Bon Jovi pun mengambil rokok dari dalam sakunya, memasangnya dengan korekapi, lalu mengisap asapnya panjang­panjang. Setelah asap rokok itu masuk ke dalam dada, dan kemu­ dian dihembusnya panjang­panjang pula, dia merasa seperti mendapat ilham yang bagus untuk disampaikan kepada istri Todung. “Coba Ceuceu tanya Pak Bos,” katanya. “Siapa tahu Todung diberi tugas oleh Pak Bos.” “Tugas apa?” “Nggak tau juga, Pak Bos kan percaya sekali sama Todung.” “Di mana kita bisa tanya Pak Bos?” “Kita cari.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dengan motor tua Bon Jovi membonceng istri Todung ke rumah kosong milik Dharsana di Tebet. Tentu saja Bon Jovi tahu, bahwa Dharsana tidak ada di si­ tu, tapi yang namanya ‘usaha’, maka dia ke sana untuk tindakan untung­untungan. Lucu, dia tahu nomer telefon Dharsana, tapi dia merasa tidak bebas menelefonnya. Dia pikir­pikir, lebih baik mencari Dharsana di rumah kayu­papan. Walaupun jauh, dan tersiksa menunggang motor tua, dia jabani ini, katakanlah demi menolong istri sahabat. Kebetulan, pada jam sebelas malam Dharsana berada di rumah kayu­papan—seperti kemarin dan kemarinnya— 556 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado mencoba melunakkan hati Ibu Intan dengan cara yang absurd, konyol, keremaja­remajaan untuk mendapat maaf. Bon Jovi menekan rasa sungkan dan pekewuh untuk me­ nemui Dharsana pada jam sebelas malam begini. Masalahnya, istri Todung sangat risau, serasa sudah setengah mati, ingin be­ nar mendapat jawaban, di mana gerangan suaminya Todung. Di luar harapannya, Dharsana malah mendampratnya. “Gila kalian!” kata Dharsana, menuding Bon Jovi dan istri Todung. “Kenapa tanya Todung pada saya. Todung sudah tidak ada urusan dengan saya. Sudah lama dia tidak datang­datang menemui saya. Brengsek dia. Mau dikasih kerjaan malah tidak datang. Bilang sama dia kalau kalian ketemu: saya marah sama dia sebab dia tidak kasih­kasih kabar.” “Ya, Pak,” kata istri Todung, sedih, menetes airmata, mulut berkecumik seperti digigit­gigit semut rangrang. Dalam hati Dharsana tercetus umpat: “Kapok lu.” Dan dia bermegah­megah diri: “Alangkah gampang memperdaya orang tolol.” “Ya, sudah, Pak,” kata istri Todung, menangis. “Saya pamit.” “Ya, ya,” kata Dharsana seakan tak hirau. Tapi kemudian, dengan rasa iba yang palsu dia mengambil uang dua lembar lima puluh ribu, dan memberikan kepada istri Todung. “Sudah. Jangan nangis. Ini uang buat tambah­tambah belanja.” Istri Todung terharu. Dia menerima uang itu sambil mem­ bungkuk­bungkukkan badan. Hutami mengintip dan menguping di balik dinding. Dia tidak terkecoh oleh ketulusan Dharsana yang palsu itu. Dharsana menunggu di depan rumah sampai istri Todung dan Bon Jovi keluar dari halaman rumah. Di situ dia menggerutu pada dirinya: “Huh, bikin pusing!” *** 557 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 103 DHARSANA sangat gelisah, lopak­lapik perasaannya, ter­ kencar­kencar pikirannya. Dia berada di rumah kayu­papan, merenung­renung kata­ kata Rachmat. Antara rasa sadar bahwa omongan Rachmat punya sisi benar tapi juga harus disanggahnya, telah membuat­ nya judeg. Pas dalam keadaan judeg begini, ponselnya yang kemarin­ kemarin rusak, kini berbunyi di sakunya. Enggan­enggan dia ambil telefonnya itu lantas menjawab tak acuh, bukan ‘hallo’, tapi ‘oi’. Terdengar suara Jeng Retno di telefonnya itu. Manja dan ganjen. “Kok dikau sudah seven days tidak datang padaku, darling Mas.” 558 www.bacaan-indo.blogspot.com Karuan Dharsana seperti kompor meleduk. Serasa darah putih naik ke kepala. Tak sadar dia menjawab pertanyaan itu dengan suara keras, layaknya membentak. “Tidak! Aku tidak ke sana!” “Lo?” Sudah tentu Jeng Retno tercengang. Dia bingung pula. Sesaat dia termangu­mangu. Setelah itu, terbit rasa marah. Padahal ketika dia menelefon, jelas dia sedang pening, ingin bersetubuh pagi­pagi dengan Dharsana. Ini bukan hal aneh buat seorang perempuan bernama Jeng Retno yang kepa­ lang dicap ‘tamasya’: tante maniak seks yang ambisius. Karena kepalang terbit rasa marah yang bisa berkembang menjadi benci dengan pikiran­pikiran cela, tapi juga sebelumnya perasaan pusing yang belum berlalu karena ingin bersetubuh pagi­pagi, Jeng Retno menjerit panjang, gregetan, seperti seri­ gala melolong. Dengan begitu dia mengira bisa menguras hati­ nya untuk semacam pelepasan jiwa dan mendapat jalan keluar atas marah, benci, dan pusingnya itu. Lalu dia jatuhkan badannya di atas sofa. Dia tengkurap dan termangu­mangu di situ. Timbul pikiran dalam dirinya untuk mencari jawaban yang paling benar: setidaknya benar dalam pengertian pembenaran terhadap sesuatu yang akan membebaskannya dari perasaan marah, benci, dan pusingnya. Setelah itu dia meloncat dari sofa itu. Kiranya dia telah mendapat jawabannya. “Aku akan bayar.” Bayar? Bayar apa? Buru­buru dia mengambil koran, bukan suratkabar hari ini melainkan koran bekas beberapa hari lalu yang susunan www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo halaman iklan barisnya toh kira­kira hampir sama, membuka halaman advertensi pada kolom: pijat. Dibacanya satu per satu tukang­tukang pijat pria yang terpasang di situ. Dia tahu berdasarkan pengalaman, bahwa tukang­tukang pijat pria yang memasang nama di kolom advertensi, resminya memang disebut berprofesi pijat, tapi tidak resminya pria­pria itu sebenarnya adalah para ‘balola’: barisan lonte lanang, yaitu lelaki­lelaki muda yang dibayar oleh tante­tante gatal untuk memuaskan nafsu seks yang tergolong maniak. Jeng Retno memberi tanda lingkaran dengan pensilnya di lembaran halaman advertensi atas tukang pijat bernama Tom yang menarik perhatiannya. Di advertensi ini Tom mengiklankan dirinya sebagai pria berumur 24 tahun, masih mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, dan catatan khusus yang membuat Jeng Retno penasaran sambil membayangkan akan syurnya adalah kalimat “ganteng, ramah, sabar, dan penuh perhatian.” Kata­kata ini dipahami benar oleh Jeng Retno sebagai isyarat jaminan servis Tom yang akan memuaskan kelaminnya. Maka, dia angkat telefon, menelefon itu Tom. “Hallo.” “Kamu Tom?” “Ya.” “Kamu bilang: kamu ganteng, ramah, sabar, dan penuh perhatian?” “Ya, Tante.” “Hus. Jangan bilang ‘tante’.” “Sori.” “Saya butuh kamu sekarang juga.” “Baik, Tante.” “Oh my God. Don’t call me ‘tante’ dong. Kamu kan nggak mau juga dipanggil ‘om’.” 560 Remy Sylado “Ha­ha­ha.” “Eh, ketawa.” Lalu Tom bertanya alamat Jeng Retno. Dan Jeng Retno menjawab. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tidak sampai satu jam Tom sudah muncul di rumah Jeng Retno. Dia datang dengan mengendarai Vespa. Bagi semua pengendara motor dua roda, jalanan macet pada pagi hari di Jakarta memang bukan masalah yang me­ repotkan. Begitu Tom bisa menembusi jalanan­jalanan yang padat dengan cara selap­selip, zig­zig, dan mabal­mibil di antara pengendara­pengendara lain yang sama tidak tertibnya sebagai gambaran kasatmata Jakarta tahun­tahun terakhir setelah lengsernya Bapak Pembangunan. Dengan Vespanya Tom pun merasa asyik di jalan. Se­ bab, jika melewati jalanan­jalanan yang berlubang jeglong dan tergenang air hujan di situ, dia tidak perlu kuatir air itu akan menjiprati sepatu atau celananya. Dia merasa aman, karena kendaraannya ini didesain dengan jagangan kaki yang memerisai dirinya dari jipratan­jipratan air di jalan. Selain itu Vespa punya bagasi tempat dia menyimpan pakaian ganti kalau­kalau dia memerlukan itu nanti. Maklum, sebagai balola sewaktu­waktu dia harus ganti pakaian setelah melayani mesum. Setiba di rumah Jeng Retno, Tom melepaskan jaket denim yang tadi dipakai untuk menutup dada dari angin, dan tetap memakai hem merah serta jins biru dengan rim model ‘country’ (seperti yang terlihat dipakai aktor­aktor dalam film­film ber­ gaya ‘urban cowboy’). Demi melihat penampilan Tom seperti itu, Jeng Retno pun memperhatikannya dari kepala sampai kaki, sambil mem­ 561 Hotel Pro deo bayangkan sensasi mesum yang akan dilakoninya sebentar lagi. Dialog pertama yang diucapkannya adalah mengulang kalimat yang dibacanya dalam advertensi. “Jadi kamu ini si ganteng, ramah, sabar, dan penuh perhatian?” Tom tersenyum dengan cara yang sangat ‘balola’. Dia tidak menjawab lisan, kecuali mengunci kedua tangan ke hadapan Jeng Retno sambil menundukkan kepala. Maka Jeng Retno tergiur, mendesak bicara dengan cara yang kolokan, kemayu, dan manja. “Benar begitu nih?” katanya. “Ya, Tante,” jawab Tom. “Oh my God! I don’t like that word.” “Sori.” “Ya, ya, ya. Saya ingin kamu membuktikan. Kamu tahu, saya ini berpengalaman mengetahui what is true and what isn’t. Ayo, masuk kamar, I think we just got to know each other.” Tom bergaya nginggris pula, dan itu membuat Jeng Retno senang sekali. “Don’t worry,” kata Tom. “I’m ready to be your slave.” “Ha­ha­ha.” Jeng Retno bangga. Dengan jari telunjuk yang dibengkokkan seperti ulat, dia menyuruh Tom cepat masuk ke dalam kamar. Tom mengikuti yang dimaui Jeng Retno. Yayu, pembantunya, di belakang, melihat maklum. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di dalam kamar Jeng Retno menanggalkan dasternya. Di balik daster dia tidak memakai baik beha maupun celanadalam. Dengan telanjang bulat dia merebahkan diri ke atas ranjang, terpelaka, tanpa bantal di kepala. “Ayo,” katanya. Tom mengerti, bahwa dialog yang baru diucapkan Jeng 562 Remy Sylado Retno itu berarti menyuruhnya untuk segera memulai memijat. Tom pun segera mengerjakan itu. Dia memulai dari ujung jari­jari kaki, telapak, tumit, supik, pergelangan, terus ke betis, ke paha, ke pantat, pinggang, punggung, bahu, leher, dan kepala. Semua dilakukannya dengan rinci, inci demi inci, mengetahui betul bagian­bagian tubuh yang mesti dipijatnya. Sesekali Jeng Retno merintih, entah sakit entah geli entah sedap, dan kata yang diserukannya sama: “Oh my God!” Setelah itu dia telentang. Dia menjemput tangan Tom un­ tuk mengurut payudaranya. Tom melakukannya dengan meng­ gunakan kedua tangannya. Lalu, sambil melakukan itu, Jeng Retno membuka kancing­kancing baju Tom. “Buka dong,” katanya. Tom membuka bajunya, dan melanjutkan pijatnya. “Semua dong,” kata Jeng Retno sambil menarik celana Tom. Maka Tom berdiri lantas membuka jins birunya, tinggal celanadalamnya, lantas melanjutkan pijatnya. “Semua dong,” kata Jeng Retno sambil memegang celana­ dalam Tom. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Bersamaan dengan itu, karena merasa kesepian dan be­ ngong seorang diri di rumah kayu­papan, Dharsana telah me­ macu mobilnya ke sini, ke rumah Jeng Retno. Dia klakson mobilnya, dan babu Jeng Retno berlari­lari ke depan membuka pintu pagar. Sambil berlari­lari ke situ sang babu berkata seperti orang gagap, “Wah, wis, konangan iki.” Dharsana mematikan mobilnya di dalam pekarangan ru­ mah Jeng Retno. Dalam keadaan syur, baik Jeng Retno maupun Tom sama­ sama tidak mendengar bunyi mesin mobil dan klakson. 563 www.bacaan-indo.blogspot.com Dharsana turun dari mobil, menutup pintu mobil, tapi sempat melihat dasbor, lantas membuka kembali pintu itu, mengambil majalah Australia yang ada di atas dasbor. Dia ingin menunjukkan majalah itu kepada Jeng Retno, dan dengan itu dia hendak mengatakan: mengapa tadi dia menjawab dengan membentak kepada Jeng Retno. Memasuki rumah, dia melihat Vespa yang ditaruh di se­ belah kiri. Sekadar ingin tahu, tapi juga dengan sedikit syak di hati, Dharsana bertanya kepada Yayu, pembantu Jeng Retno, “Skuter siapa itu?” Yayu pun gugup, tidak bisa menjawab. Dia cepat­cepat ke belakang. Dari ruang makan di belakang dia mengintip ke depan, seperti hendak menyaksikan sebuah adegan film yang menegangkan. Dharsana masuk. Di depan kamar Jeng Retno yang tidak dikunci, dia mendorong pintunya. Pintu terbuka. Alangkah terperanjatnya Dharsana. Di atas ranjang dia melihat dua manusia sedang telanjang bulat, seperti dua ekor kodok swike ukuran besar yang sudah dikuliti, sedang menarikan irama rancu antara rhumba, tango, walsa, salsa, cha cha, rock ‘n’ roll, disertai dengan rintihan­ rintihan seperti babi disembelih. “Bajingan!” teriak Dharsana keras­keras, tidak kuasa me­ ngendalikan diri, melempar majalah yang ada di tangannya, dan majalah itu sobek sebelum mengena pantat Tom. Baik Tom maupun Jeng Retno sama­sama kaget men­ dengar umpatan suara Dharsana. Tubuh mereka yang tadi­ nya melengket seperti alu­alu terhadap lesung yang membuat ranjang bergoyang­goyang seperti per kereta sapi, tiba­tiba melepas dan selanjutnya keduanya melungkar sambil gemetar. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dalam pengalaman Jeng Retno sebagai ‘tamasya’, inilah peristiwa yang paling tidak enak untuk sesuatu yang mestinya memberi rasa nikmat nan tiada tepermanai. Tiada pula andaian yang dapat merinci dan menerangkan peristiwa tak enak ini. Dharsana meloncat ke ranjang. Dia menarik tangan Tom lalu meninjunya. Tom terjungkal. Jeng Retno berteriak­teriak. Tak jelas huruf­hurufnya. Dharsana menarik leher Tom lantas meninjunya lagi. Tom tumbang membentur dinding tembok. Jeng Retno berteriak­teriak. Tak jelas huruf­hurufnya. Dharsana menyepak kepala Tom. Keluar darah dari mulut Tom. Jeng Retno berteriak­teriak. Tak jelas huruf­hurufnya. Dharsana memberdirikan Tom sambil menyandarkan ke dinding kamar dan mencekiknya. Dengan begitu dia menge­ luarkan pistol yang tersimpan di pinggangnya—senjata yang sama untuk membunuh Todung berjam­jam yang lalu—dan menodongkannya di dahi Tom. Jeng Retno berteriak­teriak. Tak jelas huruf­hurufnya. “Diam!” hardik Dharsana kepada Jeng Retno. Jeng Retno lari meninggalkan kamar sambil terus saja berteriak­teriak. “Hei! Ke sini!” kata Dharsana. “Lihat dulu bajingan ini mati di depan matamu.” Teriakan Jeng Retno kini jelas huruf­hurufnya. “Tolooong!” Suaranya menjauh. Dharsana keluar, mengejar Jeng Retno. Bagi Tom, itu untung, sebab lop pistol yang sudah tertodong di kepalanya luput, dan dia bisa cepat­cepat pakai celana­baju lantas segera pergi. Jeng Retno, sial, sebab dia tidak sempat berpakaian. Dalam keadaan panik yang telah membuatnya lupa terhadap 565 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dirinya, dia berlari keluar ke luar sampai di jalan dengan tubuh telanjang bulat seraya terus berteriak­teriak: “Tolooong!” Di bawah tiang listrik Jeng Retno kelelahan. Tapi dia terus mengerang huruf­huruf yang sama: T.O.L.O.N.G. Maka orang­orang yang berlalulalang di situ, semua ber­ henti, melihatnya. Dharsana menariknya. “Cepat berdiri.” Jeng Retno gentar. “Tidak. Jangan bunuh aku.” Dharsana menyentakkan tangan, menjambak rambut Jeng Retno. “Berdiri, ayo!” “Tidak. Jangan bunuh aku, Mas.” Orang­orang yang menyaksikan ini makin banyak berdiri di jalan itu. Sebagian berkesimpulan sama: terjadi sesuatu yang tidak wajar. Tidak wajar di situ bisa pula berarti sesuatu yang tidak manusiawi. Karenanya, dengan satu orang saja di antara orang­orang itu yang berkata sesuatu ke arah pembelaan rasa kemanusiaan, maka keadaan ini akan bisa berpengaruh buruk bagi Dharsana. Dharsana sendiri tidak menyadari itu. Dia sedang terbakar oleh perasaan tidak karuan. Yang berdaulat dalam dirinya ada­ lah naluri hewan pemangsa. Orang­orang yang banyak berkerumun di situ, bisa me­ nyaksikan betapa dengan kasar Dharsana menjambak rambut Jeng Retno sambil menyentak­nyentak, dan perempuan yang malang ini sangat ketakutan, gentar gemetar seluruh tubuh. “Tolong. Jangan bunuh aku. Jangan bunuh aku, Mas.” Tak diragu, pernyataan Jeng Retno itu membuat orang­ orang yang berkerumun menyaksikan kejadian ini, tergugah untuk bertindak, membela. Mereka menyimpulkan: lelaki yang berpistol itu akan membunuh si perempuan telanjang yang ke­ takutan di bawah kakinya. 566 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Maka satu orang di antara orang­orang itu mengucapkan sebuah kalimat, yang mulanya sebagai gumam, tapi kemudian berkekuatan asut. “Eh, lakilaki itu mau membunuh lo!” katanya. Orang­orang yang berkerumun itu pun memang terasut. Satu­dua orang yang lain terdengar mengucapkan kalimat mendukung. “Ya, ya,” ujar mereka. Dan, tahu­tahu, tanpa komando mereka maju, berseru­ seru memarahi Dharsana. Dharsana kelimpung, menoleh ke kanan dan kiri. Dia menyadari dirinya akan dikeroyok oleh kerumunan itu. Maka dilepaskannya tembakan ke atas. Maksudnya menyuruh keru­ munan itu segera mundur. Tapi orang­orang itu tidak hirau. Tembakan Dharsana itu malah membuat mereka menjadi berani. Aneh, tapi juga nyata, bahwa setelah Orde Baru runtuh, orang Indonesia, terutama di Jakarta, kelihatan tidak takut lagi pada intimidasi tembakan yang dilepaskan oleh penguasa bersenjata. Kerumunan itu maju, tak gentar, bersorak­sorak menge­ royok Dharsana: memukul, meninju, menendang, sampai akhirnya seluruh tubuh Dharsana bengkak­bengkak, bintul­ bintul, babak­belur. Dua orang polisi tiba di situ setelah Dharsana terkulai di tanah sebagai onggok daging yang mubazir. Sementara dari rumah Jeng Retno, pembantunya Yayu berlari­lari ke sini membawa selimut. Cekatan juga Yayu. Dengan selimutnya itu dia menutup tubuh Jeng Retno yang telanjang. Melihat itu, salah seorang polisi bertanya kepada Yayu, “Siapa perempuan itu?” “Majikan saya, Pak,” jawab Yayu. 567 Hotel Pro deo Polisi itu mengangguk, lalu dia menunjuk Dharsana, berta­ nya lagi kepada Yayu, “Dan lakilaki itu?” “Salahsatu pacar majikan saya, Pak.” “Ha?” Berkerut dahi sang polisi melihat Dharsana. Ada kalimat tanya yang panjang namun tidak terlafalkan di mulutnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 568 www.bacaan-indo.blogspot.com 104 POLISI yang tadi kebetulan lewat di jalan dekat rumah Jeng Retno tidak kenal siapa Dharsana. Mereka hanya melihat lelaki ini berpistol, dan mereka merasa perlu mempertanyakan itu. Tapi, di TKP, Dharsana sulit diajak bicara, sebab ketika polisi tiba di situ, seluruh tubuh Dharsana sakit, dan lebih dari itu Dharsana tak sadar diri. Maka, mau­tak­mau polisi membawa Dharsana ke kantor­ nya, dia ditahan di sana di dalam ruang sel yang sumpeg, pengap, dan bau hanyir. Diharapkan Dharsana akan bisa bicara pada entah sore nanti atau entah pagi besok jika dia siuman. Lantas Jeng Retno? Urusan Jeng Retno lain lagi. Kini, urusan Dharsana adalah, karena tidak dikenal, dan tidak pula punya kartu apa­apa—sebab tadi ketika dikepruk www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo ramai­ramai ada orang yang telah mencopet dompetnya—tapi punya pistol yang terpegang kuat di tangan kanannya. Baru menjelang senja Dharsana siuman. Begitu dia bangun dari kulainya di tikar dalam tahanannya di kantor polisi ini, dia pun bangkit, dengan terseok tentu, lalu berdiri di balik jeruji. Dia berteriak, “Hoi!” Tak hanya sekali. Sebab teriak yang sekali tidak dihiraukan oleh polisi di depan, di ruang kantor. Karenanya dia berteriak lagi. Tiga kali, empat kali. Tapi baru pada teriakannya yang ketujuh muncul polisi di hadapannya. Polisi itu membentaknya. “Huuus!” Dharsana menendang jeruji. “Hus apa kamu!” “Jangan teriak­teriak!” “Kenapa saya di sini?” “Kamu di sini sebab kamu memang harus di sini. Kamu mau menembak orang. Nah, siapa kamu?” Bukannya menjawab, sebagai perwira yang terbiasa mem­ beri komando, Dharsana marah, merasa disepelekan, lantas membentak polisi itu. “Hei, monyet, saya ini perwira…” Dia pun merogoh saku­saku celana dan baju, mencari dompet untuk menunjukkan identitasnya itu, tapi dia bingung sebab yang dicarinya tidak ditemukannya. Dia memang tidak sadar bahwa tadi dalam keadaan babakbelur dihajar kerumun­ an, salah seorang di antara orang­orang itu ada yang mencopet dompetnya. Tadinya ada juga orang yang ingin mengambil pistol di tangannya, tapi pada saat itu tangannya keburu kaku memegang pistol dengan jari telunjuk yang seakan melengket di triger. Pistol yang masih terpegang itu pula yang menjadi 570 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado bukti bagi polisi untuk membuat Dharsana sebagai tertuduh, dan dalam keadaan tak sadar dijebloskan di sel ini. Melihat Dharsana tidak menemukan dompet yang di­ carinya—dan sebetulnya polisi tidak heran, sebab tadi sebelum siuman polisi sudah menggeledahnya—polisi itu tertawa dan mengejek. “Kamu bilang: kamu perwira?” “Saya memang perwira, monyet!” “Apa buktinya kamu perwira?” Dharsana waham. “Dompet saya hilang,” jawabnya. “Memangnya apa hubungannya antara bukti dirimu per­ wira dengan dompet yang hilang?” Dharsana geram. “Goblog lu. Di dalam dompet itu ada identitas saya.” Dikatai goblog, polisi segera meninju mulut Dharsana, pas di bengkak bekas pukulan orang­orang di jalan tadi. “Kamu yang goblog,” kata polisi itu. Dharsana berang. Dia mau membalas, meninju kembali, tapi polisi itu sudah mundur dari jeruji yang mengurung Dharsana. Maka Dharsana hanya mengumpat, “Monyet kamu!” Polisi itu tidak peduli. Dia tinggalkan sel tahanan Dhar­ sana, ke depan, ke ruang komandannya. Sebelum masuk ke ruang atasannya, dia sempat menim­ bang­nimbang di dalam hati: jangan­jangan tahanan yang baru ditinjunya itu betul seorang perwira. Dia masuk ke ruang atasannya. Atasannya sedang mem­ baca di depan meja yang bertuliskan huruf­huruf kayu ukir, Abe Worang, nama atasannya itu. “Tahanan itu sudah siuman,” katanya. “Dia mengaku diri­ nya perwira.” 571 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Apa?” “Ya, Pak. Begitu.” Worang berdiri dari kursinya, ke sel di belakang. Dia coba menyapa dengan santun. “Saudara sudah siuman?’’ “Siuman?” kata Dharsana, nadanya menggerutu, wajahnya meremehkan. “Siapa bilang saya ini pingsan? Dengar, kata ‘siuman’ itu diartikan buat orang yang sudah tersadar dari ping­ sannya. Saya tidak pingsan. Lihat, apa saya pingsan?” Worang tertawa. Maksudnya dia bersikap ramah. Dia tidak sangka Dharsana akan bicara seperti itu. Tapi dia pun tahu, harus berkata sesuatu, sebagai tanggapan yang pandai, yang dipahaminya sebagai suatu kenyataan, atau kalau tidak bahkan sebagai suatu kebenaran yang mesti diungkapkannya. Katanya, “Tadi itu Saudara tidak sadar diri.” Dharsana menyepelekan. “Ah, itu urusan lain,” katanya. Lalu, “Sekarang begini saja deh. Tidak usah tele­tele. Saya tahu, pasti saya akan ditanyai: siapa saya. Tidak usah. Saya tidak ba­ kalan menjawab itu. Saya minta, cepat telefon Jendral Rachmat Wirjono. Tanya padanya: siapa saya. Saya Kombes Dharsana.” “O, ya, maaf, Pak,” kata Worang. Tapi Worang menyerana. Dia diam sesaat. Berpikir. Agak­ nya dia kenal nama yang disebut Dharsana. Sikapnya mem­ buka, pertanda dirinya percaya pada pengakuan Dharsana. Melihat Worang terdiam begitu, Dharsana tak sabar, lantas mendesak, menghardik. “Hei, sudah!” katanya. “Cepat telefon dia!” Dengan memekik dia membilang angka­angka yang me­ rupakan nomer telefon Rachmat. Segera Worang menelefon ke nomer itu, menerangkan persoalannya. 572 Dan, berkata Rachmat, “Tunggu di situ.” Sambil menunggu kedatangan Rachmat untuk membebas­ kannya dari sel tahanan polisi, untuk pertama kali ini dalam hidup Dharsana dirasanya betapa besar arti kebebasan bagi orang yang tersalahkan karena fiilnya. Sayang, pikiran ini hanya hinggap sejenak dalam kesa­ darannya—seperti kerap terjadi—bahwa eling hanya berdenyut di saat susah, lantas keranjingan di saat hura­hura. Malahan, hanya sebentar saja setelah eling itu singgah da­ lam pikirannya, perasaan cemar menguasai lagi hatinya. Den­ dam pada Jeng Retno sulit dia tangguhkan. Betapa dia merasa terlecehkan, mengira bahwa Jeng Retno yang selalu memujinya dengan kata ‘unforgettable’ sambil memegang terongnya, ternyata seluruhnya cuma palsu, selungkang, ecek­ecek, abal­ abal belaka. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 105 DI luar kelaziman, pada tigaperempat jam kemudian Rachmat hadir di kantor polisi, lengkap dengan pakaian dinasnya, pang­ katnya, atributnya, semuanya, meminta kepada komandan di situ untuk melepaskan Dharsana. Worang pun melakukan permintaan Rachmat. Seluruh jajaran di kantor polisi ini memberi hormat kepada Rachmat. Polisi yang tadi meninju Dharsana kelihatan keder, ngeper, takut, cepat­cepat pergi. Ketika Rachmat tiba di situ, dialog pertama darinya kepa­ da Worang kesannya curiga. “Apa kejadian ini diketahui pers?” “Siap. Tidak, Pak.” “Baik.” Tidak banyak pernik, memang, Dharsana segera dikeluar­ kan dari dalam selnya, dan dipersilakan pergi bersama Rachmat, menuju ke selatan, masuk jalan tol Jagorawi ke arah Bogor. 574 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Di dalam mobil yang meluncur laju ke provinsi Jawa Barat ini, Rachmat mengomeli Dharsana. Tuturkatanya tetap khas, sebagaimana kerap berlaku dalam percakapan tidak resmi, biasa menukar­nukar sebutan kataganti orang­kedua­tunggal antara kamu, lu, Anda. “Ini gara­gara Retno kan?” tanya Rachmat mendakwai Dharsana. Dharsana tidak menjawab, hanya mecucu, memandang lurus ke depan. Dengan tidak menjawab begitu, maknanya je­ las, dia telah membenarkan dakwaan Rachmat. “Lu memang gila,” kata Rachmat. “Saya sudah bilang, lepas itu barang panas, kamu tidak percaya. Nah, lihat sendiri sekarang kan? Kamu malah mundur ke belakang lagi, ke Perang Dunia Satu, menjadi kecowak di sana, yang memakan bangkai­ bangkai karena kelaparan.” Dengan susah dan sulit Dharsana berkata pelan, “Aku kecewa sekali.” “Tidak perlu bilang begitu,” kata Rachmat meletup. “Urus­ an kecewa itu urusan di dalam kamar. Kamu malah membawa­ bawa ke luar, jadi tontonan masyarakat.” “Aku tidak bisa menahan emosi…” “Lo!” Rachmat menghardik. “Kamu perwira lo, Dhar. Sudah punya pengalaman di Tim­Tim. Kok masih omong ‘tidak bisa menahan emosi’. Memalukan sekali. Gila lu.” Dharsana tak mampu buka mulut, berkelit, atau apapun yang menunjukkan dirinya mau membela diri. Rachmat melihat dengan jengkel ke arah Dharsana, merasa cua karena nasehat yang telah dia babarkan kepadanya ibarat membuang mutiara kepada babi. Maka katanya kepada Dharsana, “Kamu memang aneh deh. Sudah aneh, sekaligus juga ngawur. Benar­benar heran, ke­ lakuan kamu itu kok tidak berubah sejak dari zaman di akademi sampai sekarang. Selalu soal perempuan. Soal MBAL. Bikin 575 Hotel Pro deo gara­garamu mesti soal vagina. Capmu sebagai DB juga kok ya tidak sembuh­sembuh. Benar­benar kamu contoh manusia tidak tahu malu. Coba kamu pikir deh. Satu urusan belum se­ lesai—urusan pers Australia itu—sekarang kamu sudah bikin urusan lain: urusan vagina! Untung saja komandan polisi tadi tidak menyiarkan beritamu itu ke pers. Bayangkan saja kalau pers sempat tahu peristiwa memalukan yang kamu bikin itu. Mampus deh lu. Kita semua kena getahmu.” Dharsana tidak berkutik. Dia tidak punya cara untuk membela diri. Artinya, walaupun dia masih terbawa marah, kecewa, terhinakan, dan masih ingin menghajar, toh di dalam hati yang paling lubuk dia merasa apa yang dikatakan Rachmat itu tidaklah salah. Tapi tunggu. Apa benar dia masih ingin menghajar? Menghajar Jeng Retno yang membuat dirinya terhinakan? Dia pasti tidak tahu apa yang telah terjadi dalam diri Jeng Retno: hatinya, kepalanya, jiwanya. Nanti, kalau dia ke rumah Jeng Retno, mengambil mobil­ nya yang masih ada di sana, baru dia mengetahui betapa waktu terus berjalan, dan di dalam berubahnya waktu berubah pula kasad­kasad insani antara niat dan iktikad serta keinginan dan kemauan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dharsana tidak ke rumah Jeng Retno pada hari ini. Mung­ kin juga belum ke sana pada besok atau lusa. Dirasa­rasa badan­ nya makin sakit menjelang senja. Bengkak­bengkak dan bintul­ bintul dari bekas keroyok kerumunan kini tampak semakin mengganggu kelenturan jasmaninya. Tiga bagian bengkak di mukanya kelihatan seperti roti unyil yang menempel di situ. Maka, atas maunya, demikian dia meminta kepada Rachmat, dia diantar ke rumahsakit di Bogor. Dan, seperti yang 576 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado diharapkannya tanpa mengatakannya, dokter rumahsakit itu menyuruhnya dirawat di situ. Yang mengejutkan, dan juga menguatirkan hatinya, dokter berkata, “Mungkin ada tulang yang retak.” Betapa kagetnya Dharsana mendengar itu. “Apa itu tidak apa­apa?” tanya Dharsana. Sang dokter orang yang optimis. Jawabannya memberi pengharapan bagi pasien. Katanya, “O, ya. Tidak apa­apa. Ini soal kecil. Nanti kita lihat hasil foto X ray. Dari hasil foto itu kita akan tahu persisnya. Yang penting sekarang, Bapak istirahat dulu barang dua­tiga hari di rumahsakit ini.” Dharsana menerawang. Pernyataan dokter “ini soal kecil” membangkitkan gairah. Tidak pernah dia mengatakan antara pikiran dan perasaannya, bahwa gairah dalam dirinya senantiasa berjalan dengan ilham gagasan­gagasan baik dan ilham gagasan­gagasan buruk. Bagi­ nya—dan ini merupakan cacat rohaninya—yang buruk pun, jika itu bermanfaat, pasti dikatakannya baik. Ya. Coba saja tengok kelakuan Dharsana sekarang, di saat dia masih terbaring menanggung rasa sakit, tak urung kelakuan matakeranjangnya terbawa­bawa. Pangkalnya, dia mendapat alasan memuji dokter yang telah memberinya semangat untuk menjadi optimis. “Saya merasa dikuatkan oleh kata­kata dokter,” katanya seraya meraih tangan sang dokter. “Terimakasih sebesar­besar­ nya lo, Dok.” Sang dokter menyambut semadyanya. Katanya santun da­ lam cara khas budaya Indonesia, “Ya, mudah­mudahan Bapak cepat sembuh dan pulang, ya.” Tiba­tiba Dharsana punya ide lain. Dia tarik tangan sang dokter lantas berkata sambil menghirup udara panjang­ 577 panjang, “Omong­omong Dokter pakai parfum apa ini? Yves Saint Laurent, Tiffany, Guerlain, Versace, Lancome, atau apa?” Sang dokter tertegun. “Kok Bapak hafal merek­merek par­ fum.” “Parfum itu bagian dari perempuan cantik, Dok,” kata Dharsana, berlagak piawai. “Padahal tanpa parfum pun, perem­ puan yang cantik seperti Dokter cukup membikin lakilaki me­ rasa deg­degan.” Sang dokter ketawa. “O ya? Teori apa itu?” katanya ceria. “Teori saya, ha­ha­ha.” “Ah, Bapak bisa saja.” Lalu omongan menukik ke topik lain. Kata Dharsana, “Omong­omong suami Dokter, dokter juga?” “Ya.” “Wah, bahagia sekali suami dokter mendapat istri dokter yang cantik.” “O ya?” “Ya, Dok. Dokter cantik deh.” “Ha­ha­ha. Bapak pintar merayu.” Sang dokter berlalu. “Lekas sembuh ya.” Dharsana memperhatikan sang dokter dari belakangnya, asli dengan matakeranjang. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 106 LALU bagaimana dengan Jeng Retno? Apa boleh buat, inilah gerangan jalan takdirnya yang tak pernah diketahuinya, tak pernah disangkanya, tak pernah di­ bayangkannya. Mula­mula dia sulit berkomunikasi. Kemudian, apa yang akan terjadi, terjadi menurut perkasa­ nya sang waktu, dan dia tidak ingat. Ujungnya dia menjadi lebih sulit dari sekadar sulit berko­ munikasi, sulit bicara, sulit mengungkapkan yang paling seder­ hana atas apa yang ada di otaknya dan apa yang ada di hatinya. Awalnya, setelah polisi membawa Dharsana ke sel di kan­ tornya, polisi telah datang pula secara khusus ke rumah Jeng Retno untuk mendengar pengakuannya tentang peristiwa geger di tengah jalan itu. Tapi gerus sangat keadaannya, polisi tidak mendapatkan satupun kata dari mulut Jeng Retno yang bisa 579 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo mengisi buku laporan tentang kejadian geger itu. Arkian, wanita malang ini keburu sudah menjadi gagu, terus menggigil­gigil, mulut berkecumak­kecumik, bijimata naik­naik ke atas dan airliur meleleh di ujung bibir. Yayu pun bingung, kelimpungan, gelagapan menghadapi keadaan aneh ini. Untung saja pada saat kejadian, ketika Jeng Retno masih dalam keadaan telanjang, berteriak­teriak ketakutan, dan Yayu membawakan selimut baginya lalu membopongnya pulang ke rumah yang jaraknya seratus meter, tidak ada wartawan ‘koran merah’ yang lewat, sehingga foto dirinya yang sial­majal itu tidak sampai diketahui masyarakat luas. Kini, dalam sulitnya berkomunikasi, sertamerta terlihat tanda­tanda nyanyang lagi buruk yang boleh disimpulkan se­ bagai nahas yang bakal permanen. Atau, lebih telak lagi hendak­ nya dibilang, bahwa naga­naganya perkembangan ini mungkin merupakan babak penghabisan dari masa­masa tualang Jeng Retno yang selama ini telah demikian cemar memalit cap diri­ nya selaku ‘tamasya’. Dan itu artinya dia sedang menjadi sosok yang terbelenggu dan yang tak­terbebaskan dari babak nahas. Apakah benar akan setragis itu? Terserah nasib. Sementara itu... Karena tidak berhasil berkomunikasi dengan Jeng Retno dalam keadaan dirinya yang parah begini, polisi tidak jadi membawanya ke kantornya untuk diperiksa seperti yang sudah dilakukan terhadap Dharsana: sosok jahat yang tulen. Beberapa menit saja polisi berada di rumah Jeng Retno, menunggu kalau­kalau keadaan wanita malang ini pulih. Tak mendapatkan pengakuan dari Jeng Retno, polisi pun bertanya kepada Yayu, dan dari pembantu ini polisi mencatat keterangan rinci atas rentetan kejadian geger tadi itu. Sebelum meninggalkan rumah, polisi berpesan kepada 580 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Yayu, “Kalau majikanmu itu pulih, segera hubungi kami.” “Ya, Pak,” sahut Yayu. Tapi, sebetulnya dia sendiri ragu, apakah dalam waktu pendek ini Jeng Retno pulih. Dia malah membayangkan sesuatu yang lebih buruk. Itu sebabnya dia cepat­cepat menelefon Kurniati, ipar Jeng Retno, yang selama ini sering mampir ke rumah ini. Dia cari nomer telefon Kurniati. Dapat. Lalu dia pun me­ nelefonnya. Gagap karena gugup dia berkata kepada Kurniati, “Tolong neng Nia ke sini.” Mendengar omongan Yayu itu yang gugup, Nia bertanya heran, “Ada apa?” “Tidak tahu,” jawab Yayu susah. “Kayaknya Ibu kesambet.” Nia kaget. “Apa?” “Ya, Neng,” kata Yayu. “Keadaannya kok sama seperti neng Mayang dulu sebelum dibawa ke Magelang.” “Apa kamu bilang?” “Ya, Neng. Bagusnya Neng ke sini saja. Saya takut.” Nia termangu. Pikirannya garib. Ada suatu bayangan aneh dalam pikirannya itu yang dia ragu untuk mengatakannya kepada orang lain, tapi berani dia katakan kepada dirinya sendiri. Maka demikianlah dia berkata kepada dirinya, “Dari dulu aku yakin rumah itu ada roh jahatnya yang menunggu. Dulu, waktu Mas Kandar mau membeli rumah itu, aku sudah ragu, tapi aku tidak berani bilang. Nyatanya benar, Mas Kandar jatuh. Sekarang setelah Mayang gila, Retno juga kesambet.” *** Buru­buru Nia ke rumah yang dipercayainya ditunggui roh jahat itu. Setengah jam kemudian dia sudah sampai di situ. 581 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Melihat keadaan Jeng Retno yang begitu parah, dia coba bicara dengannya, tapi tak ada kata­kata yang bisa didengarnya keluar dari mulut Jeng Retno. Jadi, dia bertanya kepada Yayu, “Mula­mulanya gimana, kok bisa begitu?” Dan Yayu menceritakannya seluruhnya. Nia mencibir. “Dasar perempuan gatal,” simpulnya. Kendati dia sudah memperoleh simpul itu, toh dia masih percaya pula pada pikirannya tentang roh jahat. Maka, tidak seperti biasa dia bebas berada di rumah ini, hari ini dia kelihatan limbung. Tapi dia masuk ke kamar yang diceritakan Yayu tentang awal mula terjadinya geger. Dia me­ lihat kiri­kanan. Tadi juga polisi sudah masuk ke kamar ini, melihat­lihat, tapi polisi tidak melihat sesuatu yang justru me­ narik perhatian Nia. Dia melihat majalah yang sobek di atas ranjang. Majalah itu juga lecek karena terinjak kaki Tom ketika yang disebut ini ditarik oleh Dharsana lantas dipukul. Nia ambil majalah itu. Kebetulan, ketika dia membuka, halaman yang terbuka pas 22­23. Dia tertegun kaget melihat foto James Winata di situ. Lantas dia baca. “Ya, ampun,” katanya sendiri. Dia bawa majalah itu. Untuk sementara dia tidak berpikir apa­apa, kecuali ingin saja menyimpan majalah itu. Namun, ketika dia pulang, dia taruh majalah itu di dasbor mobilnya, lantas memacu mobilnya menuju ke Rawamangun. Di sana, berderet toko­toko jasa fotokopi, dia fotokopikan halaman 22­ 23 majalah Australia itu. “Siapa tahu fotokopi ini berguna,” katanya sendiri. *** 582 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 107 PAGI tadi, ketika Ibu Intan bersama Hutami meninggalkan rumah kayu­papan—membiarkan Dharsana bengong sendiri di situ lantas akhirnya ke rumah Jeng Retno dan menyaksikan peristiwa yang membuatnya merasa terhina—di saat yang sama Juminah sedang menunggu di kantornya. Sambil menunggu Ibu Intan, Juminah menerima telefon dari kembarnya Tuminah di Surabaya. Juminah senang sebab kata Tuminah, “Penempatanku di Jakarta dipercepat. Minggu depan aku sudah berada di Jakarta.” Sebelum percakapan antara kembar ini selesai, Ibu Intan sudah tiba di kantor Juminah. Di kantor pembelaan hukum yang pintunya bergambar mawar merah ini, Ibu Intan merasa makin pede dan makin ber­ harkat, menyangkut kaitannya dengan langkahnya nanti meng­ hadapi perkara kedurjanaan Dharsana, sebab Juminah mem­ 583 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo berinya kekuatan perbawa ke dalam batinnya melalui kata­kata semangat. Tiba di kantor ini Juminah menyambut Ibu Intan dengan hangat. Pakai sun pipi dua kali: pipi kiri dan pipi kanan. Lalu, pas di saat Ibu Intan mendudukkan badannya di atas zice yang diantarai sebuah meja setinggi 40 sentimeter, Ju­ minah pun langsung berkata: “Sudah saya pikir­pikir, Bu, baiknya Ibu melakukan dua tuntutan sekaligus. Pertama: cerai. Kedua: kaitannya dengan pembunuhan anak Ibu.” Ibu Intan bersuka, namun gamak dan ragu. Katanya sangsi, “Tapi, Mbak, soal yang kedua itu masih merupakan prasangka saya.” Juminah meyakinkan. Katanya, “Kita akan membuat sua­ mi Ibu itu mengaku.” “Tapi…” “Saya sudah menyelidiki siapa suami Ibu.” “Tunggu. Saya tidak mau lagi menyebut dia: suami.” Juminah tertawa kecil. “Hm. Saya mengerti.” Lalu Ibu Intan mendesak, “Mbak bilang: Mbak sudah me­ nyelidiki dia.” “Ya,” sahut Juminah. “Dia memang berani membunuh, bahkan di depan umum.” Ibu Intan tersentak. “Apa?” “Ya, Bu, begitu,” jawab Juminah. Jawaban Juminah itu memang tidak secara khusus me­ nanggapi pertanyaan Ibu Intan, tapi dengannya dia memberi makna yang lebih luas meliputi kemungkinan­kemungkinan yang sama pada kejadian­kejadian yang berbeda. “Begitu?” tanya Ibu Intan dalam nada datar, lebih sebagai monolog ketimbang dialog. “Ya, Bu, saya percaya, bahwa yang bagi Ibu adalah prasang­ ka, memang harus dibenarkan sebagai kenyataan. Saya yakin 584 www.bacaan-indo.blogspot.com Dharsana pelakunya. Saya sendiri menyaksikan dengan mata kepala sendiri: Dharsana menembak mahasiswa di depan kam­ pus Atma Jaya.” “Oh?” “Yang saya perlukan sekarang adalah penyelidikan tambahan untuk melengkapi pembelaan Ibu dari pengakuan­ pengakuan orang lain yang bisa memberi keterangan ke­ saksian.” Ibu Intan diam, berpikir­pikir, mengingat­ingat, menatap lurus ke wajah Juminah. Kata Juminah melanjutkan, “Yang saya ingin cari dan temukan adalah orang­orang yang bisa memberi keterangan­ keterangan bersifat bukti.” “Dari mana itu, Mbak?” tanya Ibu Intan. “Saya ingat, waktu terjadi peristiwa nahas di atas jembatan layang Senen itu, saya pun melewati jalan itu. Saya ingat betul tampang orang yang mengetuk­ngetuk mobil kami. Kalau bisa ketemu dia, pasti dia akan memberi keterangan yang berguna.” (Tentu yang dimaksudkan Juminah tentang ‘tampang orang yang mengetuk­ngetuk mobil’ adalah Todung yang sudah dibikin satu dengan tanah di halaman belakang rumah kosong Tebet). Tiba­tiba mendengar omongan Juminah, Ibu Intan ter­ ingat pula akan sesuatu. “Ya, ampun, saya ingat juga,” kata Ibu Intan. “Orang yang membunuh Marc itu sudah divonis di Nusakambangan.” “Siapa?” “Namanya KC. Saya ingat betul. Dia mengirim surat buat saya dan Dharsana yang isinya meminta maaf.” “Hm. Menarik.” Juminah mengangguk­angguk. “Apa Ibu simpan suratnya?” Ibu Intan menoleh kepada Hutami. Tanyanya kepada Hutami, “Kamu lihat surat itu, Mi?” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Tidak,” jawab Hutami. “Mungkin Ibu taruh di lemari.” “Tunggu,” kata Juminah. “Siapa nama yang Ibu bilang: mengirim surat buat Ibu?” “KC. Singkatan dari Kartini Cahyaningsih.” “Perempuan?” “Laki.” “Lelaki bernama perempuan?” “Setahu saya begitu. Tapi saya belum pernah melihatnya.” “Hm.” Juminah menyerap. Lalu, sekonyong wajahnya ceria. Katanya, “Ya, Tuhan, kenapa saya tidak menemui saja le­ laki yang bernama perempuan itu?” “Di Nusakambangan?” “Ya, ya. Saya harus cari dia.” Sekonyong pula wajah Ibu Intan ceria. Katanya besarhati, “Saya ingat lagi. Mayang! Ya, Mayang, pacar Marc.” “Hm. Bagaimana, Bu?” “Saya heran, Mayang seperti lenyap. Saya tidak tahu di mana Mayang sekarang. Setelah anak saya dikuburkan, Mayang pun hilang. Ini aneh. Kok saya tidak memikirkan ini sebelumnya?” “Hm. Ya, betul, Bu. Ini artinya kita sedang mendekati titik­titik terang. Saya kira, minggu depan, urusan­urusan yang berhubungan dengan kriminil akan selesai. Saya akan minta bantuan pihak kepolisian. Kembar saya sudah di sini minggu depan.” “Sebetulnya, kalau bisa, saya ingin urusan ini lebih cepat lagi selesai. Saya kuatir Dharsana akan datang ke rumah kayu­ papan, mendudukkan diri sebagai kepala rumahtangga. Tadi pagi dia datang tiba­tiba…” “Apa dia berlaku kasar?” “Dia malah seperti anak anjing.” 586 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Hm. Bagaimana itu?” “Dia merayu­merayu. Tapi saya tidak percaya. Merayunya itu kayak remaja tahun 40 seringgit. Nggilani.” “Ya, sudah antepi saja.” “Bagaimana kalau dia kembali seperti dulu dan mendu­ dukkan dirinya sebagai kepala rumahtangga?” “Antepi juga.” “Yang kurangajar itu anak­anaknya. Anak­anaknya—yang waktu itu sempat ketemu Mbak—seenaknya mengacak­acak rumah.” “Hm. Antepi. Tapi bilang: itu rumah Ibu!” “Ah, saya malah kepikiran akan menampar mulutnya.” Juminah tertawa. Ibu Intan melanjutkan tawa. Hutami ikut juga tertawa. “Pendeknya begini, Bu, kalau keterangan­keterangan tambahan itu sudah saya dapat, saya langsung membuat surat perkara untuk Dharsana.” Ibu Intan menerima gagasan itu. Dia mengangguk. Tak urung dia bertanya: “Jadi begitu ya, Mbak?” “Ya,” sahut Juminah. “Ibu tidak usah ragu. Saya akan buat Ibu mengajukan dua perkara dalam tuntutan Ibu. Ini sesuai dengan yang diungkapkan peribahasa: ‘sekali dayung dua pulau terlampaui’.” Hutami yang duduk di sebelah Ibu Intan melirik dan tersenyum. Dalam hatinya dia bicara sendiri: “Peribahasa yang diucapkan Mbak ini terbalik apa nggak sih?” Yang dipersoalkan Hutami itu memang menyangkut peri­ bahasa ‘alah bisa karena biasa’. 587 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo *** 588 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 108 SELAMA dua hari di rumahsakit Dharsana diberi pakaian khu­ sus pasien. Pada saat mengganti pakaian itu dia mengetahui bahwa untung, kunci mobilnya tidak ikut dicopet oleh ke­ rumunan yang mengepruknya. Memasuki hari ketiga Dharsana menelefon Lukman sopir­ nya. Lukman tidak kenal nomer telefon yang dipakai oleh Dharsana. Dharsana memang memakai telefon rumahsakit. Se­ ingatnya ponselnya ada di dalam mobil yang masih diparkir di halaman rumah Jeng Retno. “Man, kamu ke sini sekarang, cepat,” kata Dharsana ke­ pada sopirnya itu. Berkerut dahi Lukman, tidak tahu kata ‘sini’ yang di­ maksudkan Dharsana itu. Maka tanyanya: “Sini mana, Pak?” 589 Hotel Pro deo “Rumahsakit Husada Bogor,” jawab Dharsana. “Cepat ke sini ambil kunci mobil, lalu kamu ke rumah Retno, bawa mobil saya yang ada di situ.” “Ya, Pak.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tak sederhana Lukman sampai di Bogor. Dia harus naik kereta dulu dari Gambir dan satu jam kemudian tiba di Stasion Bogor di seberang Taman Topi. Dihitung dengan naik bus dari rumahnya ke Gambir satu jam, menunggu keretaapi di Gambir setengah jam, duduk di keretaapi dari Gambir ke Bogor satu jam, lalu naik angkot dari Taman Topi di seberang Stasion Bo­ gor ke rumahsakit tigaperempat jam, maka Lukman baru tiba di rumahsakit setelah hampir empat jam, dan pas nongol di situ dia diomeli oleh Dharsana. “Kok lama banget kamu?” Lukman tidak menjawab. Dia kenal betul tabiat Dharsana: bahwa orang disuruh harus bicara, tapi kalau orang bicara, orang dimarahi. Maka, daripada dimarahi untuk hal yang di­ ketahuinya sebagai tabiat aneh, lebih baik dia diam. Dalam diam dia pun tidak perlu bertanya kenapa bosnya berada di rumahsakit ini. Dia juga tidak mau bertanya kenapa di wajah Dharsana terlihat lisut, menyisa darah mati berwarna coklat yang sekali dipandang langsung disimpulnya sebagai bekas­bekas pukulan. Lukman hanya berdiri saja, bergeming, memandang muka Dharsana dengan kepala tertunduk. Dan, karena Lukman tak menyahut, Dharsana pun me­ nyuruhnya segera pergi ke rumah Jeng Retno, mengambil mo­ bilnya. “Sudah,” katanya. “Sekarang pergi cepat, ambil mobil itu, lantas segera ke sini kembali, jemput saya. Saya tidak mau menginap di sini sampai empat hari. Bosan. Perawat­perawat 590 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado di sini jelek­jelek, tidak ada yang cantik. Tampang­tampangnya kayak pengungsi Vietnam yang tidak berak sembilan hari. Kamu tahu, tampang perawat yang jelek malah mempercepat pasien yang sakit badan menjadi sakit jiwa.” Lukman mengangguk, tetap bergeming, dan tetap pula tidak bicara apa­apa. Dia menunggu. Dharsana belum mem­ berikan kunci mobil kepadanya. “Ya, sudah, pergi,” kata Dharsana. “Kunci mobilnya, Pak,” kata Lukman. “O, ya,” sahut Dharsana sambil merogoh saku celana mengambil kunci mobil itu. “Nih.” Lukman mengambil kunci mobil itu, lalu mundur, dan ke­ mudian pergi. Pas dia mundur, dia menabrak seorang perawat yang kebetulan hendak mendatangi Dharsana. Dia pandang wajah perawat itu. Pasti, ketika dia meman­ dang, dia mengingat omongan carut Dharsana. Yang melintas dalam pikirannya adalah matakeranjangnya Dharsana. Bayang­ kan, dalam keadaan sakit begini, masih sempat­sempatnya Dharsana bersensasi ke soal kalangenan: soal wedokan, soal daging, soal perempuan cantik, semua dalam pikiran yang mesum. Tak salah, memang, julukan orang terhadap singkatan namanya yang DB itu akan terus menyertai takdirnya, tak akan tanggal dari kodratnya, karena barangkali dia maujud bukan karena anugerah Ilahi tapi sebaliknya seranah Setani. Satu jam kemudian—kira­kira ketika sepur yang dipakai Lukman baru sampai di Bojonggede—Dharsana berdiri dari ranjangnya, keluar ke luar, duduk di bawah pohon kersen me­ nikmati angin dari gunung di selatan. Di situ dia membayang­bayang kejadian: mula­mula yang akan terjadi ketika Lukman tiba di rumah Jeng Retno, mengam­ bil mobilnya. Manakala tersebutkan nama Jeng Retno, hatinya menjadi bingit. Tak ayal, kecewanya pada Jeng Retno semakin biut, dan berubah menjadi muak yang lebih dari benci. 591 Hotel Pro deo Wajahnya mewakili hati yang benci membayang dirinya sebagai lelaki yang terhina. Sakit hatinya mengingat semua dusta Jeng Retno atas kata­kata hebat yang pernah diucapkan wanita malang itu sehingga membuat dirinya merasa megah: mulai dari ingatan tentang bagaimana Jeng Retno menghadapi orgasme dan bagaimana pula Jeng Retno setelah relaksasi, sampai bagaimana bualnya Jeng Retno menyanyikan kata­ kata: “Unforgettable that’s what you are…” Tiba­tiba, mengingat dan membayang­bayang itu semua, Dharsana menyerapah sambil menghentakkan kaki di tanah: “Taik!” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sementara itu Lukman sudah tiba di rumah Jeng Retno. Tapi Lukman tidak jumpa Jeng Retno. Di mana Jeng Retno? Kata Yayu, “Ibu dibawa sama Neng Nia.” “Dibawa?” tanya Lukman. “Iya, dibawa,” sahut Yayu. “Ke mana?” “Pergi.” “Pergi ke mana?” Bukan menjawab pertanyaan Lukman, Yayu mengatakan sesuatu yang tidak diketahui Lukman akan asal­muasalnya. “Ibu belum sembuh,” katanya. “Ibu sakit?” “Iya. Abang tidak tahu?” “Tidak. Emangnya sakit apa?” “Ibu kesambet.” “Kesambet?” “Iya.” “Kesambet itu apa?” “Kemasukan roh jahat yang ada di rumah ini.” 592 “?” Lukman menyeringai. Dia merasa cerita ini aneh. Tapi nanti dia akan sampaikan cerita ini kepada Dharsana. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Cerita ini—tentang roh jahat yang berada di rumah Jeng Retno—memang dipercayai oleh Nia. Karenanya, kata pertama Yayu yang tadi disampaikan kepada Lukman tentang ‘dibawa’, memang dimaksudkannya adalah Nia membawa Jeng Retno ke Mauk, desa pesisir di utara­barat­laut Bandara Soekarno­ Hatta, menemui seorang dukun yang dianggap paling sakti da­ lam urusan mengusir roh­roh jahat untuk keluar dari dalam tubuh seseorang. Seperti hampir semua dukun yang memperoleh uang dari kebodohan orang, Semar, demikian orang menyebut nama du­ kun ini, juga pasti berkelakuan sama. Penampilannya diangker­ angkerkan, maunya supaya tampak berwibawa, tapi karena terlalu dibuat­buat maka hasilnya menjadi seperti pertunjukan teater yang amatiran. Walau begitu, mau bilang apa kalau nyatanya Nia percaya? Nia menunggu, bersila, memperhatikan setiap gerak yang diperagakan oleh si Semar, konon dalam rangka mengusir roh jahat di dalam tubuh Jeng Retno. Mula­mula Semar memukul­mukulkan dua batang lidi, yang satu di tangan kirinya dan satunya lagi di tangan kanannya, dan masing­masing jari di kedua tangannya itu terhias sepuluh cincin bukan emas melainkan tembaga dengan batu akik se­ luruhnya hitam­hitam. Lalu mulutnya temut­temut, seperti merapalkan suatu rentet kata, tapi tidak jelas bunyinya. Jadi, gampang­gampang saja, boleh anggap ini kerbau yang mengigau. Tapi, walau begitu, sekali lagi: mau bilang apa kalau nyata­ www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo nya Nia percaya? Sehabis menyabet­nyabetkan kedua garan lidi itu, Semar meminum air bunga dari dalam loyang di hadapannya, lalu menyemburnya ke muka Jeng Retno. “Cuh!” Sekonyong terjadi guncangan di tubuh Jeng Retno. Semar sendiri terkejut dan memandangnya dengan mulut menganga. Mula­mula Jeng Retno memamah­mamah, lantas me­ mekik lantang, kemudian berceloteh seru dalam bahasa Inggris, kayaknya hafalan larik­larik puisi. “Take this kiss upon the brow! And, in parting from you now, Thus much let me avow— You are not wrong, who deem That my days have been a dream…” Semar merasa heran, sebab setidaknya dia tahu, bahwa yang diucapkan Jeng Retno itu bukanlah seperti yang lazim terjadi pada seseorang yang kemasukan roh. Biasanya orang yang disebut kerasukan—katakanlah dirinya menjadi korban atau medium—akan berceloteh dengan suara orang lain, yaitu suara asing dari luar diri yang meminjam tubuh sang korban atau sang medium untuk memperagakan kemauan­ kemauannya. Tapi yang ini lain. Jeng Retno berceloteh dengan suaranya sendiri. Artinya, tidak ada kemungkinan roh jahat dari luar diri yang meminjam tubuhnya untuk berceloteh. Malahan, siapapun yang punya latarbelakang apresiasi terhadap sastra Amerika, tentu kenal larik­larik puisi yang diucapkan Jeng Retno tersebut. Tak salah, larik­larik puisi itu adalah comotan dari karya Edgar Allan Poe, A Dream Within a Dream. 594 Remy Sylado Jadi, kalau Jeng Retno tidak kerasukan, lantas apa yang terjadi atas dirinya? Nia tidak tahu. Dia masih percaya pada anggapannya yang semula. Ditambah lagi, Semar, dukun yang kulina menerima uang, berkata kepada Nia: “Yang masuk dalam tubuh Ibu ini adalah roh orang Barat.” “Lantas bagaimana?” “Paling sedikit sepuluh kali dia harus disemburi air bunga yang sudah saya jampi­jampi,” kata Semar. Jelas, di balik kata­katanya itu Semar membayangkan akan mendapat sepuluh kali bayaran Rp300.000,00 ditambah yang di sebut ‘oleh­oleh’, satu slof rokok 234. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 595 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 109 DHARSANA tidak peduli pada cerita Lukman tentang Jeng Retno—yang meniru kata Yayu: kesambet—dan disampaikan­ nya dengan wajah yang menunjukkan rasa masygul. Dharsana hanya merengut, mecucu, dan melempar kuping mendengar cerita Lukman itu. Kentara jelas lewat airmukanya, betapa Dharsana benar­ benar telah membuat hatinya menjadi kayu bakar. Di luar dugaan Lukman, tapi sepenuhnya tidak pula me­ ngejutkannya mengingat dia mengenal betul tabiat Dharsana, betapa Dharsana berkata dengan amat benci. “Biar saja perempuan itu mampus.” Lukman diam. Terus menyetir. Matanya awas melihat ke depan. Waktu sekarang menjelang magrib. Matahari sedang pamit meninggalkan siang. 596 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Sementara, ganjil, bulannya sudah Juni tapi tidak lazim: turun hujan rintik­rintik sepanjang jalan tol dari Sentul sampai Cibubur. Ini membuat Lukman mesti memasang mata dengan baik. Memasuki jalan keluar ke Kampung Rambutan, Lukman bertanya ke mana tujuan Dharsana malam ini, sebab dari tadi Dharsana belum berkata apa­apa soal itu. “Kita ke kiri atau terus, Pak?” tanya Lukman. (Yang dia maksudkan, jika ke kiri berarti menuju ke ujung jalan tol T.B. Simatupang, Pondok Indah, yang masih berlanjut ke Pondok Aren tapi jalanan ke situ belum lagi terhubung saat cerita ini terjadi, di mana di dalam sana ada rumah kayu­papan nan indah itu. Lalu jika terus bablas memasuki tol dalam kota, berarti ke arah tengah, ke Tebet, di mana ada rumah kosong yang suram itu). Dengan yakin Dharsana menjawab, “Kita ke kiri.” Mobil pun melaju ke sana. Setibanya di rumah kayu­papan, maka bersamaan dengan itu, mobil Ibu Intan sedang bergerak ke luar. Ibu Intan hendak pergi bersama Hutami dan Mimit. Tibanya mobil Dharsana yang hendak masuk ke dalam, karuan membuat jalan Ibu Intan terhalang. Ibu Intan jengkel. Dia klakson kuat­kuat mobilnya, me­ nyuruh mobil Dharsana mundur. Malahan Dharsana buru­buru memanfaatkan keadaan ini, keluar dari mobilnya, lekas­lekas mendatangi mobil Ibu Intan. Alih­alih penampilannya tampak tolol. Niscaya tujuannya mengambil hati, merayu, meminta pembenaran akan kesung­ guhannya. “Ma, tunggu, jangan pergi dulu,” kata Dharsana, kepala goyang­goyang kayak film India. Ibu Intan tak hirau, tak percaya, nyinyir. Katanya gusar, “Mundurkan mobilmu!” 597 Hotel Pro deo Dharsana mencoba mengulur. Katanya memohon dengan dua tangan di depan mulut, “Sebentar, Ma.” Ibu Intan makin gusar. Dia ulangi kata­katanya tadi dengan intonasi yang lebih keras. Katanya, “Mundurkan mobilmu!” “Ma…” Ibu Intan pun berteriak. “Munduuur!” Dharsana tersentak. Bergetar badannya. Terpaksa dia ber­ putar badan, kembali ke mobilnya, lantas menyuruh Lukman melakukan apa yang dimaui Ibu Intan. Setelah itu Ibu Intan menancap gas, dengan senang karena merasa menang, meluncurkan mobilnya menuju ke Jakarta Pusat. Sedianya Ujang siap­siap hendak menutup gerbang, tapi tidak jadi, sebab dia melihat mobil Dharsana akan masuk ke dalam halaman rumah, ke garasi. Ujang tetap seperti biasa, menyambut Dharsana dengan cara zaman kolonial: menunduk­nunduk badan, nyaris seperti si bongkok, tidak berani menatap muka majikannya. “Jang,” kata Dharsana kepadanya, “Ibu bilang nggak sama kamu: dia mau ke mana?” “Tidak tuh, Pak.” “Oh.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ibu Intan sedang ke TIM. Dia memenuhi undangan dari Pusat Kebudayaan Prancis, CCF, untuk menonton balet dari Prancis yang akan menafsir musik khusus karya Mozart yang ditulis di Paris 1778: Les Petits riens. Di atas jalan menuju ke TIM di Cikini, Ibu Intan bersungut, mengingat kedatangan Dharsana yang tiba­tiba menghalang mobilnya. Maka, sambil menyetir mobilnya, Ibu Intan menyuruh Hutami menghubungi Juminah dengan memakai 598 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado ponselnya. Jaringan pun terhubung, dan Ibu Intan langsung me­ ngeluhkan gelisahnya menghadapi perkembangan yang sedang berlangsung ini. “Dharsana berada di rumah saya,” katanya. “Apa yang harus saya lakukan, Mbak?” Juminah malah bertanya pula. “Ibu juga sekarang ada di rumah?” “Tidak nih,” jawab Ibu Intan. “Saya sedang di jalan.” “Hm.” Juminah berpikir. “Jam berapa Ibu pulang?” “Kira­kira setelah dua jam,” jawab Ibu Intan. “Saya mau menonton dulu. Tidak enak kalau saya tidak menonton. Saya diundang menonton balet.” “Apa?” tanya Juminah terkesiap. “Menonton balet?” “Ya, Mbak,” sahut Ibu Intan, “Saya diundang oleh Centre Culturel Français menonton balet di TIM. Sekarang saya sedang di jalan menuju ke TIM.” Juminah makin terkesiap. “Lo, Bu?” katanya. “Saya sudah di TIM nih. Saya juga mau menonton balet ini.” “O ya?” kata Ibu Intan girang. “Kalau begitu kita bicara di situ saja.” “Baik.” Bertemu di TIM, sebelum menonton, dialognya tidak di­ mulai tentang Dharsana yang datang ke rumah kayu­papan de­ ngan wajah berbekas pukulan, tapi dimulai dari pertanyaan Ibu Intan yang tertegun mengetahui Juminah akan menonton juga balet Prancis tersebut. “Surprise,” kata Ibu Intan. “Ternyata Mbak juga akan menonton balet ini. Tidak disangka­sangka. Apa Mbak juga di­ undang oleh CCF?” “Ya,” sahut Juminah. “Saya kan sedang belajar bahasa Prancis di CCF Salemba.” 599 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “O ya? Oh la la. J’entends bien.” Dari dalam gedung terdengar gong ditakol. Itu tanda bah­ wa pertunjukan akan dimulai. Baru sehabis pertunjukan balet ini usai, pembicaraan yang tadi itu dilanjutkan lagi. Sambil berjalan ke tempat parkir yang pohonnya rindang dan lampu tamannya temaram, Juminah berkata seperti saran­ nya beberapa hari lalu: “Saya rasa sikap yang paling tepat: Ibu antepi saja dia.” “Saya takut,” kata Ibu Intan “Apa yang Ibu takutkan?” “Rasa ragu pada diri sendiri.” “Yang mananya?” “Bagaimanapun status dia: suami.” “Hm,” Juminah menimbang­nimbang, memahami perasa­ an yang diutarakan Ibu Intan, dan segera menemukan simpai­ nya. “Kalau begitu, biar saja dia berpikir Ibu adalah istrinya, sampai nanti bakal kecele mendapat surat dari kami. Pendek kata, setelah informasi yang kami butuhkan sudah lengkap, kami akan kirim surat resmi kepadanya untuk kita bawa ke mejahijau. Rencananya besok saya akan ke Nusakambangan mencari KC.” Ibu Intan menarik dan menghembus nafas tanpa berkata apapun. “Nah, tidak usah takut, Bu,” kata Juminah. “Saya ragu membayangkan langkah­langkah saya pada jam­jam yang berjalan ini.” “Hm.” Juminah tersenyum. “Tidak usah ragu juga. Sebentar Ibu pulang ke rumah, dan ingat, rumah itu rumah Ibu.” *** 600 www.bacaan-indo.blogspot.com Di rumah kayu­papan Dharsana menunggu dengan ha­ rapan akan diwelasi Ibu Intan melihat keadaan mukanya yang bertanda­tanda pukulan. Untuk itu dia akan berusaha sepan­ dainya atau lebih tepat: seliciknya, berpenampilan sebagai anak domba. Maka, tidak seperti yang dibayangkan Ibu Intan ten­ tang rasa ragu menapakkan langkah ke rumahnya, Dharsana memperlakukannya lebih dari seorang budak terhadap seorang maharatu. Dharsana segera meloncat dari sofa demi mendengar klak­ son mobil Intan yang menyuruh Ujang membukakan gerbang. Sambil melarang dengan isyarat tangan kepada Ujang untuk jangan membuka gerbang, karena dia yang ingin membuka gerbang itu, maka Dharsana melakukannya dengan sigap. Ibu Intan terkejut di dalam mobilnya, dan kecewa pula, melihat Dharsana berdiri di balik gerbang yang dibukanya itu. Tangan Dharsana pun mengawe­awe kepada Ibu Intan, persis seperti cara tukang­tukang parkir di jalanan. Maunya, sudah tentu, ingin tampil sempurna sebagai seorang suami galan yang sangat menghormati istri. Apa Ibu Intan percaya siasat itu? Ibu Intan bahkan jijik, serasa ingin muntah. Dharsana menyongsongnya, membukakan pintu, dan Ibu Intan tidak hirau samasekali. Dia langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya lantas menguncinya dari dalam. Dharsana mengetuk pintu itu. Dia memohon­mohon supaya Ibu Intan membukanya. “Ma, apa Mama tidak punya lagi kata maaf kepada orang yang sudah memohon­mohon ampun seperti aku ini…” Ibu Intan mendengar itu, tapi dia tidak peduli. Dia duduk di atas ranjang, bertopang, lalu tengkurap. Rasanya pening mendengar suara Dharsana di luar kamar, mendayu­dayu, Hotel Pro deo sama falsnya antara kokok ayam pelung yang terjangkit flu dan kucing kampung yang minta kawin. “Ma, tolonglah buka pintu ini. Lihatlah betapa merananya aku sekarang. Aku datang padamu untuk mengaku, tidak ada malaikat yang melebihi malaikat dalam dirimu. Bukalah pintu ini, Sayang. Aku suamimu, Mama istriku. Kita bukan orang asing. Memang aku pernah melukaimu, sampai Mama melihat diriku sebagai orang asing. Tapi sumpah, demi Tuhan, aku tobat. Mari kita mulai kembali dari awal. Aku siap menjadi kacungmu di rumah ini, tapi ampuni aku, sayangi aku…” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Besoknya, pada pagi hari di kamarmakan, ketika Ibu Intan sarapan sambil membaca koran di mejamakan, Dharsana mengemis­ngemis perhatian Ibu Intan, dan menakjubkan bahasanya sebab kata­kata yang terucapkan di bibirnya itu melebihi cengengnya lagu­lagu pop anak singkong. Yang paling vulgar adalah kata­kata khas lagu cengeng: “mengapa oh mengapa.” Ketika dia ingin mengecup pipi Ibu Intan, yang disebut ini menghindar, dan karenanya Dharsana sedih—mukanya mi­ rip seperti uang seribu rupiah yang sobek—sambil membuka tangan meratap kata­kata pop tersebut: “Mengapa, oh mengapa? Aku ini suamimu, Sayang.” Lalu, besoknya ketika dia hanya hendak memegang tangan Ibu Intan, dan yang disebut ini menyampluk tangannya, lagi Dharsana berkata menurut selera lagu pop yang cengeng itu: “Mengapa, oh mengapa, Sayang?” Besoknya lagi dia mengucapkan kalimat yang sama. Lalu besoknya lagi, besoknya lagi, sampai berbesok­besok, dan akhirnya sudah seminggu Dharsana kembali ke rumah kayu­ papan ini, ngotot berpenampilan wajar­wajar sebagai suami yang tidak bermasalah dengan istrinya. 602 Remy Sylado Dan, celakanya, apa yang diragukan Ibu Intan seperti yang pernah dia katakan kepada Juminah, adalah benar: Dharsana merasa dirinya kepala rumahtangga, dan karenanya dia merasa berhak menyuruh­nyuruh dan memerintah­merintah baik Ujang maupun Hutami. Hutami mengeluh pada Ibu Intan dengan peribahasanya yang terbalik. “Bu, ini yang namanya: ‘sudah ditimpa tangga, jatuh pula’,” katanya. Ibu Intan hanya menarik nafas dan menghembusnya. Harus diakui, dia kewalahan, seakan­akan hilang akal, tapi tetap benci pada Dharsana. Selama Dharsana kembali di rumah kayu­papan ini, anak­ anak Dharsana dari istri pertamanya itu sudah datang dua kali ke sini dan bertindak semaunya. Pasti itu akan memperburuk suasana. Jika mesti terjadi keributan, keributan itu wajar. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 603 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 110 DI antara bangsa manusia yang paling buruk rupa sekaligus kurangajar di mata Ibu Intan, tak lain tak bukan adalah Sri Hartini, yang dalam imaginasi Ibu Intan: sama dengan lele dumbo. Malam­malam, pada jam 22.00 dia datang ke rumah kayu­ papan milik Ibu Intan, ketika ayahnya, DB Dharsana—yang ngotot bertahan di sini selaku suami resmi Ibu Intan—sedang leha­leha seorang diri di ruang tengah sambil menonton TV, dan Ibu Intan sedang berada di ruang makan, duduk di depan mejamakan, tempat yang paling disukainya untuk membaca majalah­majalah perempuan: Femina, Kartini, Dewi, dan se­ kali dua tempo Paris Match. Rupanya Sri Hartini tahu Ibu Intan sedang duduk mem­ baca majalah di mejamakan itu. Dia ke situ. Dengan sikap yang samasekali tidak sopan, dia merampas majalah bahasa Prancis yang sedang dibaca oleh Ibu Intan. 604 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Sambil merampas dia berkata, “Baca apa sih ini?” Lalu majalah itu diangkatnya, ditaruh di depan mukanya, sambil membaca keras­keras, dan dengannya dia melakukan pameran kebodohan, tidak mengerti cara melafal bahasa Prancis, yang harusnya diucapkan ‘pari matsy’ dibacanya sok Inggris ‘Peris Mec’. Diperlakukan dengan cara tidak sopan begitu, betapapun membuat Ibu Intan yang selama ini nrimo, tiba­tiba geram, menjerkah dengan suara melepuh. “Kok kurangajar sekali sih kamu?” “Siapa?” Sri Hartini menantang, Tanpa menjawab, terjebak oleh panas di hati, Ibu Intan merebut kembali majalah yang baru dirampas Sri Hartini. Gilanya Sri Hartini menyauk, merampas ulang majalah itu lantas berlari ke ruang tengah di mana ayahnya sedang menonton TV, Ibu Intan mengejarnya. Setibanya di situ Sri Hartini membuang majalah itu ke bawah, ke kakinya. Ibu Intan memungut. Sri Hartini menginjak. Akibatnya majalah itu sobek. Ibu Intan benar­benar marah. DB Dharsana hanya diam. “Hei!” hardik Ibu Intan kepada Sri Hartini sembari menge­ tahui bahwa Dharsana mendengar. “Biadab!” Sri Hartini kaget dikatai biadab. Dia tampar muka Ibu Intan. Terasa pening. “Seenaknya ngata­ngatain gua,” kata Sri Hartini. “Lu yang biadab, tau nggak!” DB Dharsana hanya diam. Ibu Intan kecewa. Cepat­cepat dia masuk ke kamar. Me­ ngunci diri di situ. Dharsana mengetuk pintu. 605 Ibu Intan tak hirau. Dia tengkurap di atas ranjang. Sedih mengalir bersama dendam di dalam sukmanya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ibu Intan percaya apa yang baru dilakukan Sri Hartini pasti bisa berulang lagi, entah besok, entah lusa, entah tulat, entah tubin. Dan, kalau itu terjadi dia percaya pula sikapnya yang selama ini pasrah, nrimo, dan manut, harus berubah. Setidaknya rasa percayanya itu menjadi kuat setelah dia bertemu dengan Juminah. Juminah telah memberi gambaran­ gambaran pengharapan kepadanya. Kini dia sedang masuk ke gerbang pembentukan harkat kemanusian yang bercita­cita. Bahwa manusia yang hadir dan menjadi utuh lahir dan batin dibentuk oleh rasa percayanya pada cita­citanya itu: cita­cita asasi untuk hidup merdeka dari rasa takut pada tekanan, keke­ rasan, teror, dan cinta yang pura­pura. Boleh dikata besok­besok, dimulai pada hari sekarang ini, dalam berdiam diri di dalam kamar, dan tak peduli ada ketukan di pintu yang meminta keluar, dia berjanji pada dirinya untuk menjadi tegas. Besok, pas seperti yang diduganya, Sri Hartini datang lagi malam­malam dengan sikapnya yang awet seperti malam ini. Sambil membuka kulkas dia bertanya dengan suara macam gergaji listrik. “He, Intan, mana Papa gua?” Dengan menyendok makanan di mulut—ini terjadi di ruang makan—Ibu Intan menjawab dengan kagok, “Nggak tau.” Sri Hartini membalik badan, memandang Ibu Intan dengan cara meremehkan, mulut dicibirkan, dan dada dibusungkan se­ raya tidak sadar diri bahwa payudaranya datar seperti tripleks: tidak menarik bagi lakilaki dan tidak menjanjikan apa­apa bagi generasi. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Nggak salah tuh jawabnya?” kata dia. “Ngakunya bekas istri diplomat Prancis, kok etiketnya nol: nggak tau bahwa kalau makanan sedang di mulut tidak boleh bicara.” Ibu Intan tidak ambil pusing. Jengkel memang ada. Tapi seperti selalu, Ibu Intan kepalang sudah terbiasa nrimo, dan walaupun dalam sadarnya dia tahu keadaan seperti ini akan segera berakhir melalui mejahijau, memilih diam dianggapnya lebih baik. Demikian, dia tetap melanjutkan makannya, dan ti­ dak hirau di depannya ini berdiri seorang perempuan jelek— jelek tampang dan jelek tabiat—yang melihatnya sebagai musuh. Sri Hartini memukul meja kuat­kuat, dan piring di hadapan Ibu Intan ikut bergetar. “He, Intan, budeg ya lu!” hardik Sri Hartini. “Gua tuh ngo­ mong sama kamu, tau nggak?” Ibu Intan tak menanggap. Dia memilih tak bicara. Diam. Itu membuat Sri Hartini disepelekan, dan karuan sikapnya menjadi liar, belingsatan. “He! Diajak omong kok diam sih? Apa lu sedang mraktekin peribahasa Inggris: ‘silence is golden’?” Ucapan kalimat di atas diakhiri dengan tertawa. Ketawanya meniru akting dalam sinetron­sinetron tolol. Yaitu, mulut ter­ buka lebar ke langit­langit sambil sedakap. Entah apa yang diilusikannya dengan gaya norak begitu. Barangkali dia merasa mencapai orgasme di situ. “Tau nggak lu, Intan? Memang ‘silence is go…’ Di Amerika, ‘go’­nya berarti ‘go­lden’. Tapi di Indonesia ‘go’­nya berarti ‘go­ blog’. Nah, denger nih supaya lu tau, lu tuh goblog bin bebal bin tolol.” Ibu Intan tak sanggup menghabiskan makannya. Dia balikkan sendok­garpu di atas piring. Itu pertanda dia berhenti makan. 607 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Melihat itu Sri Hartini menghardik. Perempuan jelek ini— berumur akilbalig dan mengaku masih perawan: barangkali kupingnya yang perawan—memang sedang mencari gara­ gara. Agaknya dia belum puas menampar Ibu Intan kemarin. Kelihatannya dia ingin melakukannya lagi sekarang. Gerangan begitu memang dunia naluri. Sekali merasa puas, ingin meng­ ulangnya lagi berkali­kali. Sri Hartini tidak tahu, bahwa kata­kata Juminah di res­ toran sekitar Senayan dan tempat parkir TIM soal: jangan takut, rumah itu rumah Ibu—karuan itu bergaung kuat di hati Ibu Intan, dan astaga, yang disebut ini merasa heran sendiri mengapa sekarang tiba­tiba dia harus melawan. “Kamu mau mengatai saya seenaknya, boleh, asal jangan lagi coba­coba main tangan seperti kemarin,” kata Ibu Intan sembari berlalu tak acuh. Sri Hartini sendiri marah oleh kata­kata Ibu Intan. Mata­ nya melotot seperti hendak meloncat dari kelopaknya. “Lu ngancem?” Dengan membelungsing begitu Sri Hartini menarik dengan kasar bahu Ibu Intan. Katakanlah, jika begitu boleh dianggap perbuatan Sri Hartini tersebut telah memenuhi syarat untuk disebut tindakan ‘main tangan’. Sebab, yang dilakukannya itu adalah merentak sambil mencengkeram. Ada rasa tidak enak di bahu Ibu Intan. Maka, tak diduga Sri Hartini, hanya setengah detik dari huruf terakhir atas kata menantang yang diucapnya itu, Ibu Intan berbalik badan dengan cepat lantas meninju kuat­kuat di mulut Sri Hartini. Caranya meninju pas persis seperti lakilaki menggebug maling. Karuan perempuan jelek itu kaget, dan sertamerta kehilangan hikmah untuk berpikir, apalagi berbuat. Dia jatuh. 608 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Mestinya Sri Hartini bisa segera berdiri tegak, tapi sebelum pikiran itu mewujud di dalam kepalanya, tiba­tiba Ibu Intan menyepak perutnya, sehingga dia terjungkal. Setelah itu, entah dari mana gagasan ini muncul, tahu­ tahu Ibu Intan mengambil garpu di atas piring makannya tadi, lalu dengan sigap menghunuskan ke muka Sri Hartini. “Saya sudah bilang, jangan main tangan, tapi kamu setan iblis keturunan Beelzebul malah mencengkeram bahu saya. Nah, mau apa kamu, hah?” Garpu di tangan Ibu Intan diputar­putar di depan mata Sri Hartini. Dan, sungguh garib, wajah Sri Hartini mendadak pucat seperti kain kafan. Belum lagi tubuhnya gemetar. Lalu, tahu­ tahu dia terkencing­kencing. Dia merasa dirinya telah menjadi kambing di hadapan harimau. Maka dia menjerit ketakutan. “Tolong!” Dalam takut, dan bingung, dia meronta. Tujuannya sekadar bisa melepas diri dari tubuh Ibu Intan yang menindihnya sambil menghunus garpu. Kakinya didorong­dorong ke atas. Pada satu gerakan kakinya mengena perut Ibu Intan. Akibatnya tubuh Ibu Intan merenggang. Malahan Ibu Intan sempat terguling, Buru­buru Sri Hartini bangkit meloloskan diri. Dia lari. Namun tak jelas dia hendak ke mana. Dia hanya menjadi se­ perti tikus yang asal bisa lari karena tiba­tiba berpijar cahaya di dalam ruang yang gelap. Pokoknya dia lari agar bisa dapat tempat untuk sembunyi. Ibu Intan bangun lantas mengejar Sri Hartini. Baginya tak sulit mencari di mana Sri Hartini bersembunyi di dalam ru­ mahnya ini. Sebab, dalam berlari ketakutan, terbirit­birit, Sri Hartini bukannya diam tapi malah berteriak­teriak panik. Jadi, maksud hati hendak bersembunyi, apa daya, suara teriaknya gampang dicari. Belakangan teriakannya menjadi ngawur. “Tolong! Ada orang gila mau membunuh aku!” 609 www.bacaan-indo.blogspot.com Demikian dia berteriak mengulang­ulang kalimat yang sama di dalam WC yang nyeni itu. Ibu Intan menggedor pintu WC. “Keluar kamu!” “Tidak!” Ibu Intan mendobrak pintu WC itu. Pintu terbuka. Tapi, begitu pintu terbuka, Sri Hartini melesat keluar. Dia berlari ke depan hendak ke luar. Bersamaan dengan itu, muncul DB Dharsana di situ. Laki­ laki yang masih resmi menjadi suami Ibu Intan tapi sebentar lagi bakal merana tanpa setahunya, baru saja hendak memasuki rumah setelah sopir memarkir mobilnya di depan garasi. Di pintu masuk dia bertubrukan dengan Sri Hartini yang melating hendak keluar ke luar. “Lo?” Dharsana heran. “Ada apa Ci?” Dia menyebut Sri dengan Ci, panggilan sayang sejak kecil. “Intan mau membunuh aku, Pa,” kata Sri Hartini. Ibu Intan sudah tiba di situ. Serunya keras, “Bohong!” “Bener, Pa. Intan meninju aku, menyepak aku, dan mau menikam aku dengan garpu.” Tanpa berkata apa­apa Ibu Intan menerjang, menjambak rambut Sri Hartini, lalu menamparnya. Sri Hartini terjengkang di lantai. DB mendorong dada Ibu Intan. Dia memarahinya. “Ada apa sih kamu?” Tumben Ibu Intan menyalak, “Kamu bertanya ada apa? Baik, saya jawab. Saya baru saja menampar anakmu. Kemarin dia menampar saya di depanmu, kamu tidak bertanya. Kenapa sekarang saya menampar dia di depanmu, kamu bertanya. Dengar, Mas, ini rumah saya, maka saya yang menentukan se­ muanya: termasuk menghajar anakmu yang tidak tahu adat. Nah, suruh anakmu itu pergi dari rumah saya ini.” Remy Sylado Dharsana terkinjat, terperangah, lantas membelangah. Aneh, seumur­umur Intan yang dikenalnya adalah seorang ibu yang nrimo, kok sekarang tiba­tiba tampil beda: sangar, garang, bahadur. Ketika dia masih terbengong, hilang kata­kata di mulutnya, Ibu Intan sudah masuk cepat­cepat ke kamar, membanting pintu dari dalam, lalu menguncinya. Selanjutnya, ada satu hal yang masing­masing berkembang dalam diri Ibu Intan, Dharsana, dan Sri Hartini. Yaitu, waktu berjalan dengan perkasa, dan setiap peran dalam kehidupan mesti memainkan rolnya, masuk ke terowongan katastrofa. Yang jadi soal, apakah ketiganya mau bersikap semad­ yanya? Kelihatannya keadaan hati Ibu Intan mengendur. Benar­ kah begitu? Apabila benar begitu, dan dia menyadari sendiri masalahnya, niscaya dia bakal gerah, binaut, susah, karena dia merasa tak berdaya pada akalnya, betapa akal tak sanggup mengelola persoalan­persoalan hati. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 611 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 111 “KOK aku tidak berdaya?” Begitu Ibu Intan tercenung sendiri mengenang­ngenang kejadian­kejadian terakhir, hadir dalam ingatannya seperti potongan­potongan adegan film: begitu terang, begitu nyata, namun begitu miris. Dia baru tertidur setelah jarum jam menunjukkan waktu larut menjelang pukul 02.00. Pas hanyut dalam kantuknya, dan cendera dalam tidurnya, dia bermimpi gambaran yang telah dua kali hadir dalam diri­ nya: berjumpa dengan sang ‘gaung­suara­kebenaran’ yang so­ soknya serupa dengan KC tersebut. Kali ini kehadiran sang ‘gaung­suara­kebenaran’ itu sa­ ngat singkat sekali. Sosok mirip KC yang tidak dikenalnya ini tersenyum dingin kepadanya, seakan kubra, sambil berkata: “Anda ini hangat­hangat tai ayam.” 612 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Ibu Intan tercengang. Tampaknya dia gusar. Tapi juga terbawa tenahak. “Apa maksudnya itu?” kata dia. Jawab sang ‘gaung­suara­kebenaran’, “Anda terlalu mudah terlena dan lupa untuk awas dan waspada.” Sehabis mengatakan itu, ujug­ujug sang ‘gaung­suara­ kebenaran’ itu lenyap dalam asap warna­warni. Maka Ibu Intan pun berteriak memanggilnya. “Tunggu! Kembali!” Berulang­ulang Ibu Intan berseru memanggilnya, dan me­ rasa gemas gregetan karena suaranya kembali ke telinganya sebagai sipongang yang memanjang­manjang. Maka dia me­ lawan sipongang suaranya itu dengan berteriak makin keras, dan makin lama makin panik, berujung dengan jeritan antara menangis sedu­sedan dan putusasa, berlanjut dengan me­ raung­raung. Tak sadar bahwa dalam meraung­raung seperti itu tubuhnya terbeleng­beleng bagai guling di atas ranjangnya. Suara raungnya itu membangunkan Dharsana yang ber­ ada di kamar sebelah. Dharsana kaget, lantas berdiri dari ran­ jangnya, ke depan kamar Ibu Intan, mengetuk­ngetuknya. Dia tetap menyapa Ibu Intan sebagai ‘mama’. “Ma! Mama!” Ketukan di pintu disertai suara Dharsana yang keras, en­ tah cemas atau entah pula nifak, karuan membangunkan Ibu Intan di dalam sana. Raung suara Ibu Intan di dalam sudah teduh. Dharsana bertanya di luar, “Ada apa, Ma?” Ibu Intan mendengar tapi tidak menjawab. Hutami, yang tidur bersama Mimit, ikut terbangun karena suara­suara tadi. Mulanya dia berpikir buruk. Dan hal itu bisa dimengerti. Dia sangat menguatirkan diri Ibu Intan. Dia cemas kalau­kalau terjadi sesuatu oleh Dharsana terhadap Ibu Intan. 613 Hotel Pro deo Tapi melihat Dharsana berdiri di luar kamar mengetuk­ngetuk pintu untuk membangunkan Ibu Intan di dalam, maka agak surut prasangkanya terhadap Dharsana. Dia mencairkan prasangkanya dengan pertanyaan sosial kepada Dharsana. “Ada apa, Bapak?” “Tidak tahu,” jawab Dharsana, tampaknya mukhlis dan peduli, selebihnya wallahualam bissawab. “Mungkin Ibu bermimpi,” kata Hutami lebih mengencerkan prasangkanya. “Mungkin,” jawab Dharsana pula. “Oh!” Hutami mengangguk­angguk, plong. Setelah itu dia berdiri menempelkan telinga di daunpintu kamar Ibu Intan seraya bertanya, “Ibu tidak apa­apa?” Lega perasaan Hutami karena jawaban Ibu Intan di dalam kamarnya cukup jelas terdengar di luar, “Gak apa­apa, Mi.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di dalam kamarnya Ibu Intan termengung­mengung mengingat mimpinya yang baru berlalu. Dia bersila di atas ranjang, tafakur. Ketika dia merasa ini suatu tafakur, maka yang hendak dirasanya dengan hati terbuka adalah suatu ke­ sempatan untuk memperoleh wujud rahmat dan karunia akal sehat dari yang maha kuasa, bukan dengan kata­kata nan cendekia seperti bahasa orang­orang pandai—berhubung dia tahu kecendekiaan pun ada batasnya—tapi cukup dengan kata­ kata sederhana sebagai seorang ibu yang berserah—berhubung dia tahu pula dalam kesederhanaan justru hal­hal istimewa bisa hadir dalam jiwa—dengan syukurnya melihat kenyataan betapa luar biasanya arti hidup. Rasanya dalam tafakur ini dia merasa wajib secara suka­ rela bercakap antara dirinya dengan dirinya. Dalam pan­ dangannya, kemauan bercakap dengan diri sendiri adalah galib­ 614 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado nya sebuah ekawicara nan tulus, atau sebuah monolog yang jujur. Tapi ketika sebuah ekawicara atau monolog berlangsung dengan kesadaran menyertakan di dalamnya suatu kekuatan berkesimpulan serba maha kuasa yang tak terlihat oleh mata, maka pada hakikatnya sifat percakapan sendiri ini bukan lagi sebuah monolog, tapi tulennya adalah sebuah dialog. Dan ke­ kuatan serba maha kuasa yang tak terlihat itu akhirnya mesti disadari Ibu Intan sebagai wujud asasi Tuhan yang rahmani dan rahimi. Maka dialog dengan­Nya itu tak pelak lagi nama­ nya adalah: doa. “Ya, Tuhan, bukalah akalku. Barangkali aku terlalu lemah, sehingga aku lalai melihat kebenaran yang telah datang dalam gaung ajaib; “Lagi aku bertanya pada­Mu, Engkaukah gaung yang mun­ cul dalam mimpiku ini? Aku sungguh tidak mengerti; “Lihatlah aku, tiliklah kalbuku, aku memang tidak berdaya pada akalku. Aku hampir lena, memercayai tindaktanduk orang yang berulang­ulang menyatakan maaf dan ampun. Aku memang tidak percaya, tapi Engkau lihat, aku tidak berdaya, sehingga aku mengabaikan sikap awas dan waspada yang kun­ jung lewat gaung dalam mimpi­mimpiku; “Bagaimana caranya aku memberi pembenaran pada mimpi, sedangkan dalam bukan mimpi, aku merasa hidup da­ lam mimpi? Sungguh, aku tidak mengerti. Maka berilah aku pengertian; “Apa arti kalimat sang ‘gaung­suara­kebenaran’ yang me­ ngatakan aku: hangat­hangat tai ayam?” Ibu Intan memejamkan mata, mencoba dengan sulit me­ ngembalikan ingatan mimpi yang berlangsung dalam tidurnya. “Jangan­jangan itu mengingatkan bahwa aku harus se­ gera meminta Juminah menyelesaikan masalahku dengan Dharsana. Selama ini aku mengaku aku terlalu lembek, tidak 615 Hotel Pro deo tegas terhadap Dharsana dan anak­anaknya yang merecok ru­ mah ini; “Aku pikir­pikir, apakah keadaan itu muncul karena aku takut, ataukah karena aku teledor? Di mana aku harus menaruh harkatku ini? Aku harus tegas; “Siang nanti aku harus ke Juminah, memintanya segera membawa persoalanku dengan Dharsana ke pengadilan.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Agak siang Ibu Intan mengajak Hutami dan Mimit be­ rangkat ke kantor Juminah. Sambil makansiang di restoran Jepang Miyama di lantai tiga Hotel Borobudur—sebelumnya Ibu Intan menawarkan antara masakan Spanyol di Plaza de Espana di Crowne Plaza Hotel atau masakan Itali di Porta Venezia di Aston Hotel—dan semuanya sepakat makan di restoran Jepang dilanjutkan dengan runding serius. Ibu Intan mendesak Juminah untuk secepatnya me­ ngirimkan surat kepada Dharsana, supaya perceraian segera diputuskan, dan dia hidup tenang dengan menyerahkan nasib kepada yang maha kuasa. Dia merasa sumpeg di rumahnya. “Di samping itu, saya tidak mau diingatkan lagi oleh mimpi­mimpi yang membuat saya merasa pandir,” kata Ibu Intan. “Saya berjanji, Bu,” kata Juminah. “Saya tinggal mem­ butuhkan dua lagi keterangan. Pertama dari orang bernama KC dan kedua Mayang.” Ibu Intan kaget. “O, ya, Mayang? Di mana dia?” “Kami sedang mencarinya. Konon dia di Magelang. Sedang orang yang bernama KC itu di Nusakambangan. Hari Rabu besok saya sendiri yang akan mendatanginya.” *** 616 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 112 SEMENTARA keadaan Dharsana yang sok­militer itu diam­ bang cutel. “Rasanya kamu harus ke rumah saya malam ini.” Begitu Rachmat Wirjono berkata kepada Dharsana. Kede­ ngarannya ini bernada undangan, tapi ciri seruannya adalah sebuah perintah. Ada apa gerangan itu? “Ini soal biasa,” kata Rachmat, “Soal pertemuan hati ke hati kita sebagai teman lama.” Kendati begitu, ini aneh, tidak biasanya Dharsana deg­ degan begini. Pernyataan Rachmat itu dirasanya garib, tapi juga tidak lazim, antara ramah namun resmi, sebab ada kata ‘harus’ yang dengan sendirinya memiliki sanksi­sanksi tertentu jika tidak dilaksanakan. Dalam kenyataannya memang Dharsana harus menelan pil pahit di hadapan Rachmat. 617 www.bacaan-indo.blogspot.com Begitu dia tiba di rumah Rachmat, setelah menunggu be­ berapa menit di ruangtamu, Rachmat merangkulnya dan mem­ bawanya ke ruangkerjanya di depan, sambil berkata sesuatu yang membuat hatinya tawar. “Begini, Dhar, ini memang tidak enak, dan saya menyesal harus menyampaikannya kepada kamu. Saya memilih menyam­ paikan ini di rumah, sebab bagaimanapun, walaupun keduduk­ an kita terbedakan oleh pangkat, kita tetap adalah teman karib.” “Soal apa ini? Soal majalah Australia itu?” “Kompleks, Dhar.” “Ya. Bagaimana?” “Kamu dibebastugaskan.” “Apa?” “Begitu, Dhar.” “Dari dwifungsi?” tanya Dharsana salah tafsir. Jawab Rachmat tak searah dengan pertanyaan Dharsana, “Kamu kan tahu, Dhar, kita sudah berada di gerbang milenium ketiga.” “Jadi?” tanya Dharsana mengerut dahi. Jawab Rachmat datar, “Petanya sudah berubah.” “Tegasnya bagaimana?” tanya Dharsana mendesak. “Yang saya maksudkan, kamu dibebastugaskan,” jawab Rachmat tegas. Dharsana mendelik, menatap Rachmat dalam rasa tidak percaya. Ucapannya berikut ini terlafazkan sebagai perlawanan: “Yang benar?” Tak segera Rachmat menjawab. Dia pandang dulu muka Dharsana dengan mulut agak manyun. “Bukan saya yang menentukan.” Dharsana termangu. Ini berita yang tidak menyenangkan baginya. Dia bahkan menganggap ini suatu peremehan terhadap kesungguhan dirinya sebagai alat negara. Maka gumamnya pada dirinya sendiri yang terdengar juga www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado oleh Rachmat: “Bagaimanapun juga aku seorang prajurit sejati.” Pernyataan itu memang menunjukkan lebih dari suatu ungkapan verbal tapi adalah maunya merupakan kesejatian jiwanya lahir dan batin. “Anda kan tahu jiwaku yang tulen,” katanya antara suatu jajakan apologia sekaligus gagasan justifikasi. “Anda kan pasti ingat bagaimana sikapku ketika KSAD Hartono mengeluarkan pernyataan bahwa ABRI merupakan kader Golkar lantas mem­ perlengkapkan uniform dengan jaket kuning. Aku menolak memakai jaket kuning, sebab kataku waktu itu, jaket seorang prajurit ABRI hanya satu, yaitu jaket hijau.” “Ya, aku ingat,” kata Rachmat mengingat itu. “Aku tahu, Dhar. Tapi, kamu pun tahu, tatanan sekarang sudah jelas, kamu tidak bisa mengelak darinya, bahwa di dalam reformasi yang diperjuangkan oleh sipil untuk suatu tatanan demokrasi yang ideal, militer bukan ABRI, tapi TNI, dan POLRI bukan ABRI, kemudian ABRI diisyaratkan kembali ke barak, menghindar dari politik praktis.” “Ideal? Ideal katamu? Tidak bisa begitu.” “Sekali lagi, Dhar, tatanan sudah berubah. Malahan dalam bayangan yang muncul di mataku, pada tahun­tahun mendatang ini, aku lihat jendral­jendral yang sudah bebas tugas dan hendak berpolitik menjadi pemimpin tertinggi republik ini, sebagai presiden, mesti bertarung dulu secara demokratis lewat pemilu dengan kendaraan­kendaraan partai politik. Aku melihat dalam bayanganku itu bahwa dalam waktu dekat ini, tidak sampai memasuki dasawarsa belasan abad ke­21, bakal tumbuh partai­partai politik yang dibentuk oleh pensiunan jendral, untuk bersaing dalam pemilu memperebutkan kedudukan pimpinan negara. Suka atau tidak suka, kita pasti memasuki realitas itu, Dhar.” Dharsana mencibir. “Kau benar, Mat,” katanya. “Aku me­ 619 Hotel Pro deo mang tidak suka memasuki realitas itu.” Rachmat tersenyum masam. Maka katanya dengan jarak perbedaan pendapat yang dijaganya, “Tidak apa. Tapi, rasanya aku harus menasehati kamu, Dhar. Ada ucapan Seneca yang bagus buat seorang prajurit sejati. Yaitu: ‘orang yang paling kuat adalah yang sanggup menguasai dirinya’. Aku belum me­ lihat itu dalam dirimu.” “Apa arti kesanggupan menguasai diri kalau faktanya sipil memiliki kekuasaan terhadap militer?” “Apa yang ada dalam pikiranmu?” “Bangsa kita ini masih kelas TK. Anak­anak TK mem­ butuhkan contoh disiplin—disiplin yang dimiliki ABRI—bukan kritik, sementara prodemokrasi kerjanya cuma kritik melulu. Percayalah, kritik tidak akan sanggup membangun tatanan.” “Kamu bicara seperti seorang moralis. Apakah cermin di rumahmu terlalu kecil?” “Oh! Itu kritik yang sangat sipil juga.” “Ini tidak ada hubungannya dengan sipil dan militer. Kalau cermin di rumahmu terlalu kecil, kamu hanya bisa melihat ku­ mis di atas mulutmu itu, tapi tidak bisa melihat kancing di baju dan ritsleting di celana: apakah sudah tertutup atau belum.” “Ck.” “Dhar, ingat, polisi bukan militer. Tatanan sekarang sudah berubah.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 620 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 113 DI siang kering ini, ketika pukulrata semua napi sudah sangat menyegani KC sebagai jagoan baru, datanglah Juminah me­ ngunjunginya. Napi yang lain bersuit­suit, biasa, selalu terjadi di sarang lakilaki. Apalagi melihat perempuan yang cantik. Sambil berdiri di depan bangku dalam ruang terbuka se­ belah luar bangunan terungku, yang biasa dipakai untuk mem­ pertemukan napi dengan penjenguk, Juminah pun meng­ ulurkantangan, menyalam. “Saudara KC?” kata dia. “Ya,” jawab KC menyambut uluran tangan. “Saya Juminah.” KC kelesah. Rasanya nama yang disebut perempuan itu sangat langka. Boleh dibilang nama seperti itu tergolong berani untuk ukuran zaman sekarang di mana perempuan­perempuan kota, yang tumbuh dan menjadi besar dari keluarga yang mem­ 621 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo perhatikan gizi, cenderung mengimpor nama­nama dari luar negeri. Nama wanita macam Juminah terkesan jadul dan Jowo ndeles, seakan­akan Indonesia masih dijajah Belanda pukimak itu. Tak heran KC tersenyum. Rasa­rasanya seumur hidupnya KC belum pernah jumpa, apalagi kenal perempuan bernama Juminah ini. Mestinya dia bertanya siapa Juminah, tapi dia urungkan niatnya. Dari melihat cara duduknya yang regang di bangku, dengan kedua ujung jari­jari tangannya direjah­rejah, cukup menjelaskan pe­ rasaannya yang tersimpan di benak, bahwa dia penasaran ingin tahu siapa sebenarnya Juminah, dan mau apa pula perempuan ini menjumpainya. “Begini, KC, saya sedang menangani kasus yang berhu­ bungan dengan Saudara,” katanya, menatap dalam­dalam. KC tercengang. “Lo?” Hanya satu patah kata ini yang ter­ ucapkan di mulutnya. Yang tidak terucapkan, tertahan di dalam benaknya, adalah, “Penanganan apa lagi?” Dengan pertanyaan yang tidak terlisankan ini kiranya menyambung kalimatnya pada kenyataan yang memprihatin: “Kan saya sudah divonis!” Tapi penasaran di benak KC ini berangsur terjawab. Juminah membuatnya terkesiap. Katanya, “Begini Saudara, kami mendapati keganjilan atas mayat Marc.” Berkerut dahi KC. “Saya tidak mengerti,” katanya. “Justru itu,” kata Juminah. “Barangkali yang saya mengerti bisa membuat Saudara mengerti. Yang ingin saya ketahui, bagaimana cara Saudara memukul Marc sampai Marc mati.” “Tunggu,” kata KC memotong, tak tahan menyimpan pe­ nasarannya itu. “Ibu ini siapa? Polisi?” “Pengacara.” “Lo!” seru KC lagi. “Dalam pemeriksaan polisi saya sudah menjawab, dan jawaban itu sudah diajukan jaksa ke pengadilan, lantas kenyataannya saya sudah divonis hakim, dan sudah jalan empat tahun jadi penghuni Nusakambangan ini.” 622 www.bacaan-indo.blogspot.com “Memang begitu,” kata Juminah. “Tiga tahun yang lalu itu 1998, sekarang 2001.” “Apa bedanya?” kata KC. “Saya masih harus menjalankan hukuman saya 17 tahun lagi.” “Hm. Memang Nusakambangan ini tidak berbeda dalam semua zaman. Zamannya saja yang berganti. Tiga tahun lalu kita menyebut Indonesia zaman Orde Baru. Sekarang kita me­ nyebutnya zaman Orde Reformasi.” “Lalu? Apa untungnya buat saya?” “Mungkin Saudara pikir ini tidak ada untungnya buat Saudara. Kalau begitu anggap saja saya yang akan mendapat untung dari Saudara.” KC acuh tak acuh. “Silakan,” katanya. “Baiklah,” kata Juminah. “Yang ingin saya katakan, di zaman yang berubah ini, penguasa yang tidak tersentuh hukum di masa lalu, sekarang rentan. Kebetulan kasus yang saya ta­ ngani sekarang, ada hubungannya dengan Saudara. Saya harus mendapatkan keterangan dari Saudara, tentang bagaimana Saudara memukul Marc sampai mati. Saya ragu, jangan­jangan Marc mati oleh rekayasa seseorang.” “Apa?” KC terperanjat. “Begitu, KC,” sahut Juminah. “Makanya saya ingin Saudara mengingat kembali kejadian malam itu. Siapa tahu ingatan Saudara bisa menguntungkan bagi saya. Nah, apa Saudara yakin Saudara meninjunya sampai mati?” “Ya. Saya begitu kalap.” “Tapi apa Saudara ingat bagaimana cara Saudara me­ ninjunya?” “Sudah saya bilang, saya kalap, dan saya tahu tinju saya memang pernah mematikan lawan di atas ring.” “Saudara percaya itu?” “Saya, eh, kenapa pertanyaan ini muncul sekarang?” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Seperti saya bilang, keadaan Indonesia sekarang berubah, Saudara. Saya ingin membuktikan prestasi kerja yang riil dalam perubahan paradigma di zaman Reformasi ini. Aparat zaman sekarang berbeda dengan aparat zaman itu. Dalam rangka mencari dan menemukan bukti­bukti akurat tentang rekayasa yang saya maksudkan itu, saya harap Saudara bisa membantu saya. Yang saya perlukan soal kejadian malam itu. Bisakah Saudara mengingat rincian kejadiannya?” KC terbingungkan. Rasanya dia menggeleng. Pening. Tak paham. Tak bisa mencerna pikiran Juminah. Beberapa lema yang diucapkan Juminah bahkan asing di telinga KC. Ujungnya dia menyatakan perasaannya dengan kesal. “Bu, sumpah kojor, omongan Ibu membingungkan,” kata­ nya. “Apa itu ‘rekayasa’, apa itu ‘reformasi’, apa itu perubahan para… para diana? Ah, demi Tuhan, atau setan, saya tidak mengerti. Saya cuma mengerti: masih 17 tahun lagi saya men­ jalani hukuman di Nusakambangan ini.” Memang betul. KC tidak terbiasa berbicara dengan kata­ kata wacana. Latarbelakangnya yang dari kecil hobi berkelahi, dan tidak menonjol di kelas, sulit mencerna omongan yang biasa diucapkan oleh orang­orang bersekolah. Juminah ber­ pendidikan S1 di UGM Yogyakarta, S2 di Unpad Bandung. Sekali lagi, dia cantik, tapi dia tidak kolokan, cengeng, dan kemayu seperti perempuan cantik yang biasa menangis­menangis da­ lam sinetron­sinetron tolol. Juminah menyederhana. “Saya sih berharap Saudara tidak usah menjalani sisa hukuman yang 17 tahun.” “Ah.” KC menyegak. “Saya kira kesempatan grasi terbuka,” kata Juminah. “Untuk itu saya ingin Saudara membantu saya.” “Aneh.” “Ya.” Juminah mengucapkan kata ini dengan intonasi khas untuk membuat KC yakin akan kesungguhannya. “Saya akan 624 Remy Sylado datang lagi menemui Saudara. Dan, kalau ada hal­hal yang aneh bisa Saudara ingat dari kejadian di atas jembatan layang Senen itu, ceritakan rinciannya kepada saya.” KC mendengus seperti sapi bunting. “Ya deh.” Nada ucapannya terdengar alakadar. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Walaupun berlangsung rasa tidak percaya pada dirinya sendiri, dan menganggap omongan Juminah sebagai hembusan angin surga, toh KC sempat bimbang, asan tak asan, jangan­ jangan memang benar ada hal yang harus dipandangnya aneh pada peristiwa tiga tahun lampau di atas jembatan layang Senen. Malam ini, di atas ambinnya dia menerawang, berkelana pikirannya ke 1998, tahun yang panas oleh gerakan­gerakan politik kaum muda yang telah teguh hati hendak melengserkan sang Bapak Pembangunan. “Apa ada yang aneh waktu itu?” Dia termenung, mencoba mengembalikan ingatan malam itu, mulai berangkatnya dari rumah kontrakan di wilayah timur luar Jakarta sampai di Jl. Mangga Besar. Di sana dia menunggu setengah jam di warung kopi. Lalu, ketika istrinya keluar dari tempat kerja mesumnya, dan telah siap duduk di tempat boncengan sepeda motor bututnya, dia harus mencopot busi dan membersihkannya lebih dulu karena mesin motornya ngadat tak bisa distater. Dia jengkel pada motornya itu. Perasaan ini masih terbawa sampai di atas jembatan layang Senen, sehingga marahnya menjadi kalap ketika motornya ditabrak dan istrinya tewas. Lantas? Dia masih belum mendapat jawaban atas pertanyaan Juminah tentang hal­hal yang aneh. 625 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Demikian pula kata dia kepada Juminah ketika Juminah datang lagi pada selang dua minggu kemudian. Tapi alih­alih Juminah berkata, “Waktu itu Saudara ber­ teriak?” “Ya,” jawab KC. Dan ajaib, sekonyong dia berseru, “Astaga, soal teriak itu. Ya, ya. Bolehkah itu disebut aneh?” Juminah bergairah. “Ceritakan.” “Ketika motor saya ditabrak dari belakang, terjadi bunyi hebat, dan saya berteriak keras karena mengetahui istri saya tewas. Waktu itu tidak ada polisi yang datang ke situ. Tapi sewaktu gadis itu berteriak melihat pacarnya mati, secepatnya polisi datang ke situ, menahan saya.” “Hm.” Juminah menalar. “Apa cerita saya ini boleh dianggap aneh?” “Hm.” Juminah berpihak. “Rasanya teriakan saya lebih keras daripada teriakan gadis itu, tapi kenapa kok polisi tidak mendengar suara saya.” “Hm.” Juminah memahami. “Itu kan aneh toh?” “Hm.” Juminah menimbang­nimbang. KC gregetan. “Apa maksud Ibu bilang ‘hm’?” Juminah tersenyum. Tidak menjawab lisan. KC mendesak, mengulang pertanyaannya, “Apa yang saya anggap aneh itu tidak aneh buat Ibu?” Juminah hanya menatap sambil mengulang dehem yang sama. “Hm.” “Ah!” KC menggerutu. “Ibu cuma hm­hm melulu.” Juminah tersenyum, mengendalikan pikirannya. “Saya sedang berpikir untuk mencari jawabannya,” kata dia. “Dan, kayaknya saya sedang menemukan itu.” Lalu dia berdiri. “Terimakasih sebab Saudara sudah memberi waktu kepada saya.” Dia ulurkan tangan. 626 Remy Sylado KC menyambut uluran tangan itu, “Cuma itu?” “Kita akan bertemu lagi,” kata Juminah. Ketika Juminah berkata begitu, dia merasa telah men­ dapatkan kesimpulan berharga dari cerita KC. Niscaya dia berharap bakal bisa mengembangkan ihwal itu dengan simpai temuan yang sudah didapatnya selama ini tentang apa yang dikatakannya sebagai keganjilan atas kematian Marc. Dia segera mengatakan kesimpulannya itu kepada Purnomo Ipong, koleganya di kantor Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dia hubungi Ipong lewat telefon dalam kamarnya di hotel tempatnya menginap dua malam di Jl. Sutomo, Cilacap. Katanya, “Dugaanku mulai mendekati titik terang.” Bertanya Ipong, “Apa KC mengingat sesuatu?” “Ya,” ujar Juminah. “Apa betul, Mbak?” “Menggembirakan.” “Tapi Mbak bilang KC itu bebal, telmi, dan aikyunya jong­ kok.” Juminah tertawa. “Ya. Tapi dia kan bukan monyet. Dia masih manusia yang punya akal. Dengan mengingat kemba­ li kejadian malam itu—yang dibilangnya aneh—jelas menun­ jukkan dia bernalar.” “O, begitu toh, Mbak?” Ipong tertawa, seakan tak percaya. “Ya, Pong, dia sendiri bisa merasa aneh: kenapa teriakan Mayang didengar polisi di bawah jembatan layang, sementara jeritannya yang nyaring menyusul tabrakan yang keras, tidak didengar oleh polisi­polisi itu.” “Jadi, kesimpulanmu bagaimana?” 627 Hotel Pro deo “Sudah jelas sekarang, polisi­polisi itu memang dipasang di jejeran warung Padang di bawah jembatan layang Senen. Yang mengatur itu Dharsana sendiri.” “O? Menarik itu, Mbak.” “Sekarang kamu kontak dulu Ibu Intan. Minta kita ketemu lusa pagi. Saya akan pulang ke Jakarta sore ini.” “Oke, Mbak, saya hubungi Ibu Intan sekarang.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 628 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 114 IPONG menelefon Ibu Intan. “Kalau bisa kita bertemu jam 15.00 hari ini di kantor,” kata Ipong. “Itu lebih baik,” sambut Ibu Intan. “Dia ada di sini.” “Dia? Siapa, Bu?” Ibu Intan membalik badan, memelankan suaranya, tak ingin percakapan ini didengar oleh orang yang disebutnya ‘dia’ itu. Ipong tak paham. Dia bertanya lagi. “Dia siapa, Bu?” “Sss. Dia: dia!” kata Ibu Intan dengan tekanan suara yang khas menyergah tapi dengan cara yang mirip bisik. “Oh!” sahut Ipong, kelihatannya ngeh. Ketika Ibu Intan menerima hubungan telefon dari Ipong, pada waktu itu Dharsana—yang tak salah lagi adalah dia yang disebut ‘dia’—bersikeras kembali ke rumah kayu­papan, dan 629 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo sudah berusaha mati­matian menunjukkan kesungguhannya menyesali diri akan tindakan­tindakannya yang lalu, seraya membuat dirinya seakan­akan berwelasasih. Dengan penampilan yang menunjukkan sikap kesungguhan menyesali dirinya yang lalu itu, dan kini sedang memperbaikinya, maka dengan itu dia sedang memperagakan dirinya sebagai serigala berbulu domba. Untung saja Ibu Intan tidak terkecoh, kendati tak bisa pula dihindar bahwa dalam waktu­waktu yang berjalan, pada besok hari, besoknya, dan besoknya lagi itu, Ibu Intan toh merasa sulit memandang kenyataan nan kasatmata ini sebagai sesuatu yang bisa disepelekan, sehingga oleh karena itu dia merasa harus terus waspada dan eling. Setengah jam setelah menerima telefon dari Ipong, Ibu Intan segerta meninggalkan rumah menuju kantor Mawar Saron. Lagi, bersama Hutami dia memacu mobilnya ke sana. Dharsana bertanya hendak ke mana. Ibu Intan enggan menjawab. Setiba di kantor Juminah, dia gembira, karena Juminah mengatakan perkembangannya untuk menyeret Dharsana ke mejahijau sudah bisa dilaksanakan dengan mengirim surat kepadanya pada hari Senin pekan depan. “Secepatnya, paling Senin minggu muka kita sudah bisa bikin surat untuk memanggilnya,” kata Juminah. “Dari Nusa­ kambangan kita sudah punya keterangan yang kita perlukan. Saya sudah ketemu dengan orang yang bernama KC itu.” Dan secepatnya Ipong mengingatkan. “Tapi kita perlu juga mendengar cerita Mayang.” “Hm.” “Ya,” kata Ibu Intan. “Tiba­tiba, setelah berjalan sekian lama, saya baru curiga: jangan­jangan dia terlibat.” “Kami bermaksud mencarinya besok.” 630 Remy Sylado *** www.bacaan-indo.blogspot.com Besoknya Ipong seorang diri ke rumah Jeng Retno hendak menemui Mayang. Di rumah Jeng Retno tak ada Mayang, tak terlihat Jeng Retno, tapi yang ada sudah tentu Yayu. “Di mana Mayang?” tanya Ipong kepada Yayu. Dengan lugu Yayu menjawab, “Neng Mayang sudah lama tidak ada di sini.” “Dia ke mana?” “Setahu saya dia di Magelang. Tapi di mana di Magelang­ nya saya tidak tahu.” “Yang tahu siapa?” “Ya, ibunya.” “Mana ibunya?” “Baru saja diantar Neng Nia ke Mauk.” “Neng Nia itu siapa?” “Adiknya almarhum Pak Kandar.” “Ke Mauk mau apa?” “Berobat. Tapi sudah dua hari ini tidak pulang.” “Sakit apa?” “Kesambet.” “Kesambet?” “Ya. Neng Nia juga percaya itu. Makanya Neng Nia bawa Ibu ke Mauk. Saya lihat­lihat itu sama dengan Neng Mayang dulu.” “Maksudnya Mayang juga kesambet?” “Ya. Begitu, Mas, eh Pak, eh Bang.” *** Pas di saat Ipong bercakap dengan Yayu, Dharsana meng­ hampiri Ibu Intan di kamarmakan yang sedang minum kopi sore hari sambil membaca majalah Paris Match. 631 www.bacaan-indo.blogspot.com Begitu Dharsana mendekatinya, Ibu Intan berdiri, meng­ hindar, cepat­cepat masuk ke kamar. “Ma,” kata Dharsana mengejarnya. “Sebentar dong, Ma. Aku rindu bicara dengan Mama.” “Tidak,” kata Ibu Intan, sengak, meluah, meloya. “Kepalaku pusing.” “Ayolah, Ma.” Suara Dharsana mendayu. “Tidak!” Suara Ibu Intan membelungsing. Dharsana memegang lengan Ibu Intan, maunya menahan, menarik ke arahnya. Ibu Intan mengebas tangannya, menyampluk, menggeser badannya dari Dharsana. “Aku tidak suka dipegang­pegang,” kata Ibu Intan men­ jauh. “Mengapa?” kata Dharsana membujuk. “Tidak suka saja,” jawab Ibu Intan. “Ya, tapi mengapa? Mengapa, oh mengapa? Mengapa tiada maaf darimu.” “Ih, jijay,” kata Ibu Intan. “Sudahlah, tidak usah hafal­ hafal lagu pop tolol itu. Aku tidak terhibur. Aku jijik.” “Eh!” Ibu Intan tak hirau. Lekas­lekas dia masuk ke dalam ka­ mar, mengunci diri di situ. Dharsana loyo. Dia garuk kepala. Dia kembali ke kamar­ makan, meminta Hutami membuatkan kopi susu buatnya. Sambil duduk di kursi depan mejamakan menunggu kopi susu yang akan dibuatkan oleh Hutami, iseng Dharsana meng­ ulurkan tangan meraih majalah Paris Match yang ditinggalkan Ibu Intan di atas meja itu. Tak disangka, ketika Dharsana memegang majalah bahasa Prancis itu, tiba­tiba dia teringat pada majalah yang lain, Remy Sylado majalah Australia tentang James Winata. “O, ya, di mana majalah itu?” tanyanya dalam pikiran. Dia coba mengingat­ingat di mana majalah itu. Tapi, aduh, dia tidak berhasil mengingatnya. Maka dia maki dirinya sendiri, “Sontoloyo!” Bersamaan dengan itu samar­samar dia menyadari akan sisi rawan dirinya menghadapi besok­lusa­tulat­tubin. Aslinya, dia merasa getir di balik penampilannya yang sepenuhnya sekadar jaim, seakan­akan dia masih tetap seorang perwira aktif. Ibu Intan pun tidak tahu bahwa dia sudah dibebastugas­ kan. Resminya sekarang Dharsana adalah mantan kombes. Dan, seandainya saja Ibu Intan tahu, bahwa ada poin buruk dalam catatan bebastugasnya. Hal itu niscaya dikaitkan dengan antaralain isi majalah Australia yang tak pernah disadarinya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 633 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 115 SEBELUM melayangkan surat dari kantornya untuk DB Dharsana menyangkut gugat cerai Ibu Intan karena alasan ke­ kerasan, Juminah berpikir untuk mengatur strategi yang pintar dalam memenangkan perkara kliennya. Artinya, dengan berpi­ kir begitu Juminah bersiap­siap menghadapi serba kemungkin­ an, kalau­kalau masalah yang harusnya bisa diselesaikan dengan cepat malah boleh jadi berkembang menjadi berbelit­ belit dan ruwet di pengadilan. Pertama, DB berlatar kombes. Kedua, sebagai bekas anggota DPRRI, Dharsana ini tipe manu­ sia Orde Baru yang menganggap kekuasaan sama dengan keke­ rasan. Juminah tak tahu karier kepolisian Dharsana sudah tamat. Bagaimanapun Juminah menyadari akan terbukanya kemungkinan­kemungkinan jelimet di pengadilan, ketika nanti dipertanyakan mengenai alasan­alasan bercerai, kemudian 634 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado contoh­contoh kekerasan yang dimaksud, maka bisa jadi jawaban­jawabannya meluas ke masalah naluriah, masalah asasi berkaitan dengan kecurigaan Ibu Intan tentang kematian Marc yang menurut kliennya direkayasa oleh Dharsana. Berdasarkan pikiran itu, pada jam 15.00, setiba Ibu Intan di kantor Mawar Saron, Juminah membuat pertemuan, meminta saran­saran, terutama pendapat dari Ipong mitranya. Juminah percaya Ipong bisa memberikan pendapat yang diharapkannya itu, sebab mitranya ini—walau harus dikatakan dengan iba akan tampangnya yang amburadul sehingga membuat perempuan­ perempuan cepat kenyang melihatnya, antaralain karena mu­ lutnya mancung dan giginya prongos, pendek kata bagi orang­ orang yang kurang pandai berkias akan mengatakannya seperti bemo padahal sebetulnya lebih mirip bajaj—adalah pria lajang yang cerdas. Dengan cerdas Ipong berkata, “Sebenarnya, kalau kita ingin tahu persis, apakah betul ada rekayasa di balik kematian putra Ibu Intan, yang harusnya segera kita temui adalah Mayang. Jangan tunda­tunda.” “Hm.” Juminah tersentak. “Kuncinya terletak pada Mayang,” kata Ibu Intan. Juminah bergairah. “Memang,” katanya. “Sayang sekali,” kata Ipong. “Kenapa?” tanya Juminah. “Soalnya Mayang sekarang di Magelang.” “Magelang kan tidak sejauh Manado, Manokwari, Madrid, atau Massachusetts,” kata Ibu Intan. “Memang. Tapi di Magelang, Mayang adalah pasien rumah sakit jiwa Prof Dr Soerojo.” “Astaga.” Ibu Intan prihatin. “Kalau Mbak mau saya ke Magelang, menemui Mayang, saya siap berangkat hari ini juga.” Yang berkata begini Ipong. 635 Hotel Pro deo “Hm.” Juminah mengangguk­angguk. “Bagaimana, Mbak?” tanya Ipong. “Ya, ya. Kita berangkat bareng besok pagi.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Juminah dan Ipong berangkat dengan pesawat Garuda ke Yogyakarta, terbang tigaperempat jam dari bandara Soekarno­ Hatta ke bandara Adisucipto. Dengan mobil sewaan jam­jaman mereka meluncur ke utara, ke Magelang, persisnya ke daerah yang bernama Kramat. Di rumah sakit yang halamannya luas di pinggiran jalan lurus yang menuju ke Semarang, Mayang dirawat untuk dipu­ lihkan jiwanya dari keadaan rongsok, dan nyatanya itu tak gampang. Mayang sudah berada di rumah sakit itu lebih dua tahun, dan belum juga sembuh. Saban­saban, di saat dia datangbulan, dia berkata kepada perawat, bahwa dia ingin pulang ke rumah karena dia sudah sembuh, tidak sakit lagi. Selama ini bayang­bayang aneh selalu terjadi dalam hayal­ nya. Mula­mula, pada satu tahun lalu, dia merasa dirinya se­ bagai diva yang bisa menyanyi lebih sensual daripada Madonna. Apabila dia berteriak­teriak, dia mengatakan itu model seni suara kontemporer. Dan, dia paling sering berteriak­teriak ka­ limat “Papa don’t preach,” sebuah larik dari lagu Madonna. Setelah berselang setahun, dia lebih banyak diam. Jika perawat bertanya kepadanya mengapa dia diam, jawabannya ajeg, dia sedang melakukan tafakur. Pada tiga bulan terakhir ini dia sering kejet­kejet, meng­ geliat­geliat, serta mulut mangap­mangap dan mata mendelik­ mendelik. Tanpa ditanya oleh perawat, dia berkata sendiri: “Saya merasa diri saya adalah anak domba kurban dan seekor ular sawah membelit saya mau menelan saya.” Lebih sembilan 636 www.bacaan-indo.blogspot.com kali dia mengatakan ini kepada perawat bernama Karyati. Hari ini, menjelang jam 10.00, ketika Juminah dan Ipong berada di rumah sakit jiwa ini, mereka melihat sendiri keadaan Mayang: parah namun lucu. Karyati menemui Mayang di bawah pohon, mengatakan kepadanya bahwa ada dua orang yang ingin bertemu dengan­ nya. Dengan girang Mayang berkata kepada sang perawat, “Pasti orang­orang itu malaikat dari surga ketujuh yang diutus untuk membebaskan aku dari kebon binatang ini.” Omongan gila itu dibenarkan oleh Karyati. “Ya, malaikat­ nya dua orang: satu laki satu perempuan.” “Oh, betapa sukacita hatiku,” kata Mayang, berlari­lari ceria, meloncat­loncat dengan irama yang laras menurut rasam topeng monyet. Sesampai di kantor, di tempat Juminah dan Ipong me­ nunggunya, Mayang langsung merangkul dari belakang kursi Juminah, sembari berkata, “Hallo malaikat cantik. Dikau diutus ke sini untuk mengajak aku keluar kan?” Karyati segera berkata, “Mayang, sebenarnya malaikat cantik itu advokat.” “Apa? Alpuket?” “Pengacara, Mayang.” “Pengacara? Oh! Orang yang mau bikin acara konserku untuk menyanyi ‘Papa don’t preach’?” “Mungkin. Tanya saja sendiri.” Mayang bergeser dari belakang kursi Juminah lalu maju dengan membesut­besut kaki ke depan, memandang Juminah dengan membuat dirinya tersipu, seakan­akan segan dan malu­ malu kucing. Lalu, sambil menutup mulutnya dengan tangan­ nya, dia bertanya kepada Juminah: “Benar, Malaikat? Malaikat mau bikin konser?” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Juminah terdaulat. Jawabnya gampang­gampangan, “Ya.” Karyati menimpal. Katanya kepada Mayang, “Kamu ke­ pingin menyanyi toh, Mayang?” “Ya, Zuster, aku kan sudah sembuh,” sahut Mayang. “Lihat deh aku. Aku kan tidak sakit. Aku ingin pulang.” “Benar kamu sudah sembuh, tidak sakit?” “Benar, Zuster.” “Bagaimana kamu yakin bahwa kamu sudah sembuh, tidak sakit?” “Buktinya aku sudah tidak merasa lagi sebagai anak dom­ ba kurban yang dibelit ular sawah yang mau menelanku. “ “O ya? Bagus itu. Jadi, kamu betul­betul tidak lagi merasa dirimu sebagai anak domba kurban yang dibelit ular sawah yang mau menelanmu ya?” “Ya.” “Alhamdulillah.” “Tapi, yang jadi masalah, ketika aku merasa bukan lagi sebagai anak domba kurban, bagaimana perasaan ular sawah sendiri terhadap aku?” “Lo? Ada apa?” “Begini, Zuster, aku memang benar­benar bebas dari pe­ rasaan bahwa aku ini anak domba kurban. Maksudku, aku tidak lagi menganggap diriku anak domba kurban. Tapi bagaimana pandangan ular sawah itu padaku? Apakah dia pun tidak meng­ anggap aku ini anak domba kurban? Aku kuatir, jangan­jangan ular sawah itu masih belum bebas dari anggapannya bahwa dia ular sawah yang akan membelit dan menelan aku.” “Hm.” Juminah prihatin. Katanya sendiri dalam hati, “Oh, alah, ternyata kamu belum sembuh.” *** Kesimpulannya, Juminah tidak berhasil mendapat kete­ 638 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado rangan apa­apa dari Mayang. Selain itu, payahnya, bertanya­ tanya pada perawat sebagai orang gajian, suasananya sangat Indonesia, tidak ramah dan tidak menyenangkan. Memang, se­ betulnya orang Indonesia bangsa yang tidak ramah. Buku­buku sekolah dasar tentang sejarah, kemasyarakatan, serta panduan pariwisata yang menyebut­nyebut orang Indonesia sebagai bangsa yang ramah, kesannya onani. Orang Indonesia yang asli, terutama di kantor­kantor negeri, hanya mungkin menjadi ramah dan ramahnya remeh kalau dikasih uang. Kalau tidak, mukanya asam kayak cuka yang membusuk, dan menjawab pertanyaan­pertanyaan dengan ketus. Ipong yang cerdas itu segera merasakan suasana yang sangat Indonesiawi ini. Oleh karena itu, sebelum pamit karena terpaksa, dia berbisik kepada Juminah, untuk memberi uang kepada perawat tak ramah itu. Dan ajaib, terbukti keramahan Indonesia adalah keramahan komersial. Karyati menjadi sangat manis. Malahan tanpa diminta, Karyati berkata sesuatu yang terkesan menghamba. “Kalau Ibu mau tahu lebih banyak tentang Mayang, ba­ rangkali baik kalau Ibu bertemu neneknya di Badrawati, Borobudur. Saya mau mengantar Ibu ke rumah neneknya di sana. Neneknya banyak tahu soal sebab­musabab dan asal­usul mengapa Mayang jadi gila.” Tentu saja Juminah menyambut senang tawaran itu. Kata­ nya singkat, “Boleh.” Gesit sekali sang perawat membantu. Dia duduk di sebe­ lah sopir mobil sewaan, sementara Juminah dan Ipong duduk di belakang. Dengan duduk di depan dia mengambil inisiatif sebagai penunjuk jalan. Setelah berada di jalan depan candi, dia menunjuk jalan ke kiri arah jalan Badrawati menuju Tuk Songo. Jalannya agak mendaki. Jika jalan ini diikuti sampai ke atas lagi, ke Majaksingi, mereka akan tiba di sebuah hotel mewah di bawah perbukitan yang disebut­sebut sebagai 639 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo ‘Buddha tidur’. Masih sekitar dua kilometer dari sana, di kelokan yang tumbuh pohon randu, Karyati meminta sopir memelankan mobil dan memasuki halaman sebuah rumah berwarna kuning. Yang menarik perhatian dari rumah itu adalah pintunya ber­ gambar Kumbokarno, sosok johan dalam pewayangan. Di rumah itu tinggal Bu Purwanto, janda 70­an tahun, ibu­ kandung Jeng Retno, atau nenek asli Mayang. Beda dengan Jeng Retno yang bicaranya keinggris­ inggrisan, Bu Purwanto—pensiunan guru bahasa Indonesia— bercakap dengan bahasa Indonesia yang tertib. Bu Purwanto sangat kenal Karyati. “O? Ibu Kar?” katanya seraya membuka pintu bergambar wayang tersebut. Setelah itu tampak airmuka Bu Purwanto berubah jegang. Wajahnya mewakili pertanyaan di dalam hati: apakah keda­ tangan perawat rumah sakit jiwa ke rumahnya ini hendak menyampaikan sesuatu yang buruk tentang cucunya. “Ada apa, Ibu Kar?” Karyati membaca rasa syak di benak Bu Purwanto, dan oleh karena itu dia meramahkan diri dengan tawa yang amikal. “Ini lo, Bu Pur, ada tamu dari Jakarta, mau sowan saja.” “O.” Wajah Bu Purwanto kendur. “Mari, silakan.” Juminah dan Ipong memberi salam, mengulurkan tangan, dan mereka berjabatan. Bu Purwanto membuka tangan supaya tamu­tamunya ini masuk ke dalam rumahnya. Di dalam, di bagian serambi depan tergelar tikar dari bahan rotan. Bu Purwanto mengulangi lagi kata­katanya. “Mari, sila­ kan.” Dan, manakala Juminah dan Ipong masuk, melihat tidak ada kursi­kursi sebagaimana lazimnya, kecuali tikar penjalin itu, kelihatan wajah keduanya ragu. Bu Purwanto cepat­cepat bersila supaya tamu­tamunya 640 Remy Sylado pun bersila pula. “Ya, beginilah,” katanya. “Barangkali cuma di rumah ini berlaku kata ‘silakan’ menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar. Arti ‘silakan’, ya, seperti ini: kita bersila.” Suasana pun menjadi hangat, akrab, dan kekeluargaan. Mudah­mudahan dalam pembicaraan nanti hal­hal yang di­ perlukan Juminah dan Ipong bisa diperoleh dari Bu Purwanto, menjadi kekuatan atau kalau tidak adalah bukti yang dapat memenangkan Ibu Intan dalam perkaranya di pengadilan. Jika tidak begitu, artinya tidak didapat keterangan apa­ apa karena Mayang dibawa ke Magelang dalam keadaan sudah tidak bisa bicara yang benar. Sementara itu, orang yang membawa Mayang di Magelang, Jeng Retno, sekarang pun tidak bisa bicara yang benar. Barang­ kali sebentar lagi akan menjadi teman yang sungguh­sungguh menurut bahasa Indonesia dikatakan ‘senasib­sepenanggungan’ dengan anaknya, Mayang, di rumahsakit Kramat. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sebetulnya yang bisa dipercaya: di mana Jeng Retno sekarang ini? Tunggu dulu. Ada bayang­bayang sosok perempuan bergerak di balik gorden rumah Bu Purwanto ini. Siapa sosok perempuan itu? Pasti Bu Purwanto tidak akan mengatakannya. Dia malu. Dan sangat terpukul. Sosok perempuan yang bergerak di balik gorden itu adalah sebenarnya Jeng Retno. Nia membawa Jeng Retno ke sini di hari yang sama ketika Yayu berkata kepada Ipong: “Berobat. Tapi sudah dua hari tidak pulang.” Ternyata pada saat itu Nia sudah menyimpulkan, bahwa Jeng Retno tidak kesambet, dan tidak perlu dirawat oleh dukun, tapi sebaliknya harus dirawat di RSJ karena jiwanya 641 Hotel Pro deo terganggu. Istilah legalnya: gila! Selintas Karyati mengenal bayang­bayang sosok Jeng Retno yang bergerak di balik gorden itu. Karenanya, tanpa ragu dia bertanya: “Apa itu ibunya Mayang, Bu?” Bu Purwanto sulit mengakui itu. Bersamaan dengan itu terdengar piring dibanting dan pecah di belakang. Buru­buru Bu Purwanto masuk ke dalam. Orang­orang yang bersila di ruang depan tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam, tapi bisa mendengar jelas erangan ketakutan suara Jeng Retno: “Please. Don’t kill me. Mas, don’t kill!” Juminah dan Ipong saling pandang. Yang melintas dalam pikiran Juminah adalah ingatan di rumahsakit tadi. Maka dia membatin: “Di sana tadi Mayang mengerang ‘papa don’t preach’, di sini entah siapa di dalam ini mengerang ‘mas don’t kill’. Di sana ‘domba dibelit ular’, di sini apa ya?” Tak lama setelah itu terdengar Jeng Retno melafal puisi Edgar Allan Poe, A Dream Within a Dream itu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 642 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 116 SEPULANG Juminah dari Magelang, dibuat lagi pertemuan dengan Ibu Intan di kantor Mawar Saron untuk membahas langkah akhir menjelang penanganan perkara gugatan cerai pada Dharsana. Terlebih dulu, dengan masygul Juminah menyampaikan kepada Ibu Intan, bahwa keterangan yang diharapkan bisa di­ dapat dari Mayang untuk melengkapi catatannya ternyata nihil, dan karenanya dilupakan saja, sebab yang disebut namanya ini sudah lama menjadi pasien RSJ Prof Dr Soerojo. Karuan Ibu Intan terkejut dan prihatin mendengar itu. Dia tidak punya kata­kata yang siap diucapkan untuk menyatakan perasaannya ini, selain ucapan iba yang lumrah. “Kasihan,” katanya singkat. Namun, setelah itu, “Kenapa bisa begitu?” Juminah membuka tangan dengan sedikit menggerakkan bahu, menyatakan sesuatu yang alami. “C’est la vie,” kata dia. 643 www.bacaan-indo.blogspot.com Lalu, “Kasihan,” kata Ibu Intan lagi, sambil menggelengkan kepala, dan diakhiri dengan hembusan nafas pendek. Kemudian, yang membuat Ibu Intan terkesiap, adalah kata Juminah, “Ibu pasti bisa makin kaget kalau saya menyampaikan, bahwa ibukandung Mayang sekarang juga menderita penyakit yang sama dengan Mayang.” Tak pelak Ibu Intan berseru nanap. “Apa?” Memang, Ibu Intan kaget sekali, bahkan lebih kaget dari sifat­sifat kaget yang lumrah: dahi mengencang kaku, duduk jegang dengan kedua tangan menekan kursi. Dengan suara gemetar, dia bersoal, “Lo, ibukandung Mayang itu kan Retno?” “Ya, itu betul, Bu,” sahut Juminah. “Namanya Retno, dan konon selalu minta dipanggil Jeng.” “Ya.” Tak terucapkan kata ini. Soalnya Ibu Intan seperti tidak yakin. Ini seperti mimpi. Tidak ada dalam pikirannya selama ini mewasangkai hal ini. Maka katanya, “Yang benar?” Matanya terbuka lebar, namun sayu, memandang tegang ke muka Juminah. “Apa Mbak mau bilang: Retno itu menderita penyakit gangguan kejiwaan?” “Ya, betul, ibu dan anak itu sama­sama menderita sakit jiwa,” kata Juminah lebih memperjelas istilah. “Mayang di­ rawat di RSJ Kramat, sementara Jeng Retno masih dijaga oleh ibukandungnya di desa Borobudur.” Ibu Intan terbengong­bengong, antara rasa lega seperti lepas dari belenggu, tapi juga rasa ganjil yang mengganjel pikirannya terhadap kenyataan yang tak pernah diduganya ini. Apabila dia mesti mengatakannya dengan lisan, maka kalimat­ nya yang berkencenderungan alami berikut ini semata­mata sebuah ekspresi keberserahan. “Tuhan maha adil.” Lalu dia termangu. Dia berpikir­pikir, apakah persoalan ini ada hubungannya dengan keadaan Dharsana yang belakangan www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado ini berbeda perangainya: selalu pulang ke rumah kayu­papan dengan sikap berbaik­baik kepadanya? Dia tak bisa menjawab. Katanya sederhana, “Masakbodoh.” Mestinya: “Persetan.” Sebab, sudah tetap keputusan hati Ibu Intan, bahwa walau terlihat dengan menyolok gejala perubahan di diri Dharsana, dan boleh jadi itu tulus, toh hal itu tidak akan bisa mengubah konsentrasinya untuk meneruskan urusan gugatannya itu ke­ pada Dharsana. Ibarat tanggul yang sudah retak­retak, dan kekuatannya sudah berkurang untuk menampung air di tasik, maka ditambah hujan sehari bisa langsung jebol, demikian pula keadaan hati Ibu Intan yang sesungguhnya saat ini. Karenanya, tidak ada alasan untuk berpikir membatalkan rencana gugatannya. Sekarang inilah, waktu yang ditunggu­tunggu untuk menjadi kuat. Kata Juminah, meyakinkannya, “Senin besok kita bisa ki­ rim surat kepada Dharsana. Keterangan­keterangan yang kita perlukan semua sudah kuat. Malahan, satu keterangan saja dari KC di Nusakambangan itu sudah cukup untuk bisa mem­ buka semua tudung kejahatan ‘suami’ yang Ibu ragukan selama ini. Paling tidak, gugatan cerai Ibu, dikuatkan dengan implikasi tindakan kriminal yang diduga dilakukan oleh Dharsana dengan terencana itu, datanya sudah memadai. Dan seandainya terjadi kemacetan di dalam sidang, kita percaya akan mendapatkan saksi­saksi—yang sekarang ini belum kita ketahui orangnya—tapi mudah­mudahan nanti muncul secara tiba­tiba. Percayalah, Bu. KC yang saya temui di Nusakambangan sebagai salah seorang saksi yang penting memang lugu, dan seperti saya bilang kepada Ipong, IQ­nya jongkok, tapi orangnya jujur, dan bicaranya nanti—saya yakin—bisa menjadi seperti skak mati terhadap Dharsana.” 645 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “KC?” tanya Ibu Intan. Dia teringat pada nama KC yang dulu mengirim surat kepadanya dengan tulisan mesin tik hu­ ruf italik. Demi mengingatnya, karena namanya disebut oleh Juminah dengan rasa hormat tertentu, timbullah rasa pena­ saran Ibu Intan. “Tampang orang yang bernama KC itu seperti apa sih?” Juminah membuka map di hadapannya, mengambil be­ berapa foto KC di situ. “Ini foto­foto dirinya yang saya buat di Nusakambangan,” kata Juminah sambil membeberkannya di atas meja. Ibu Intan mengambilnya. Dia melihatnya. Sekonyong wajahnya berubah takjub. Dia berseru dengan mata terbelalak, “Ya, ampun, orang ini persis seperti si ‘gaung­suara­kebenaran’ yang selama ini datang di dalam mimpi­mimpi saya. Sungguh. Tidak salah. Saya bersumpah dengan semua kitabsuci. Orang ini persis dengan si ‘gaung­suara­kebenaran’.” Juminah dan Ipong sama terheran­heran. “Berarti ini bukan kebetulan,” kata Juminah. Juminah tertegun melihat ketakjuban Ibu Intan. Rasanya dia tidak yakin akan apa yang dikatakan Ibu Intan, tapi dia pun mesti percaya pada matanya bahwa dia melihat bagaimana yakinnya Ibu Intan akan apa yang dikatakannya itu. Dengan itu dia pelan­pelan mengerti, bahwa di bawah kolong langit ini segala hal dalam kehidupan insani bisa saja terjadi hal­hal garib: yang mustahil bagi seseorang bisa maujud dan jali bagi banyak orang. Sementara, demi melihat foto KC itu, pikiran Ibu Intan secepatnya berpindah ke corong ingatan­ingatan hari lalu, da­ lam mimpinya yang kini harus diakuinya ajaib, perihal nasehat­ nasehat si gaung­suara­kebenaran kepadanya. Rasanya mimpi­ 646 Remy Sylado nya itu tidak lagi dikatakannya mimpi. Barangkali betul itu ada­ lah semacam penampakan, sesuatu yang dulu pernah dia pa­ dankan dengan jenis mimpi para sosok rohani beberapa wanita Prancis yang dikenal dalam sejarah kebudayaannya. Maka katanya dalam hati, “Di jalanku sekarang sudah terbentang karpet merah. Aku akan berjalan bersama Tuhan. Aku percaya pengalaman­pengalaman buruk telah membuat aku menjadi kuat. Aku percaya hidupku harus begini. Beginilah hidup. Inilah hidup. C’est la vie.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 647 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 117 HARI ini Ibu Intan dan Juminah akan ke panitera pengadilan untuk mendaftarkan gugatan cerai terhadap Dharsana (yang masih tetap tinggal di rumah kayu­papan). Pagi­pagi Ibu Intan berangkat ke kantor Mawar Saron dengan membawa di hatinya perasaan bimbang yang kian kental, jangan­jangan Juminah tidak berhasil memenangkan perkaranya di pengadilan. Karenanya, wajahnya mewakili pe­ rasaan campuraduk, antara takut kalah di pengadilan dan itu berarti hidupnya makin terbebani kesulitan sebagai perempuan yang terjajah. Dialog pertama yang terucapkan pada Juminah di kantor Mawar Saron adalah, “Saya benci, sebab sulit bergerak di rumah saya sendiri.” “Hm.” Juminah memahami kejangaran Ibu Intan. “Dharsana tetap ngotot menganggap dirinya sebagai sua­ mi yang punya hak tinggal bersama saya,” kata Ibu Intan. 648 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Hm.” Juminah menganggukkan kepala, kemudian berkata mencabar­cabarkan perasaan Ibu Intan tersebut. “Tidak usah kuatir, Bu. Yakin, Ibu pasti menang.” “Saya memang berdoa untuk itu,” kata Ibu Intan. “Tapi, sekarang, saya ingin dia cepat keluar dari rumah saya. Saya takut dia terus bertahan di rumah saya. Anak­anaknya pun makin kurangajar, mengira rumah saya itu adalah rumah Dharsana. Saya takut kalau­kalau rasian yang sudah muncul dalam mimpi saya itu bakal benar­benar terjadi...” “Tenang, Bu,” kata Juminah. “Kita ke panitera pengadilan pagi ini untuk membereskan itu: mendaftarkan gugatan cerai kepada Dharsana. Pertama kita daftarkan gugatan secara per­ data. Nanti pengadilan, melalui panitera, akan membuat relaas kepada Dharsana.” “Relaas? Apa itu?” tanya Ibu Intan. “Ya, Bu,” jawab Juminah. “Relaas itu adalah surat pang­ gilan yang dibuat panitera. Dalam hal ini surat panggilan ke­ pada suami yang bermasalah.” “Oh.” Ibu Intan menarik nafas panjang­panjang lalu meng­ hembusnya. “Tolong, jangan bilang lagi: suami.” “O, ya, maaf,” kata Juminah. “Relaas itu nanti akan di­ serahkan secara langsung oleh panitera pengadilan kepada Dharsana.” Tampaknya Ibu Intan puas mendengar keterangan Juminah. Namun tak urung dia bertanya, “Lantas bagaimana kelanjutannya? Apakah Dharsana bisa segera keluar dari rumah saya? Saya sungguh­sungguh takut lo, Mbak, dia terus berada di rumah saya.” “Hm.” Juminah memandang tajam ke wajah Ibu Intan. “Begini, Bu. Nanti kita atur, supaya ketika panitera pengganti membawa relaas itu kepada Dharsana, maka bersamaan waktu­ nya saya pun akan memberi somasi kepada Dharsana untuk keluar dari rumah Ibu itu.” 649 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Somasi?” “Ya, Bu. Somasi itu akan saya serahkan kepada Dharsana setelah dia menandatangani relaas dari panitera pengadilan. Bersamaan dengan itu juga, diserahkan hukum acara pidananya. Jadi, ini yang namanya sekali dayung dua pulau terlewati.” “Maksudnya, bisa diurus sekaligus dua­duanya, perdata dan pidana?” “Bisa, Bu,” kata Juminah. “Pidananya harus ke kepolisian dulu.” “Ke polisi? Kenapa begitu? Tidak bisa langsung diurus di pengadilan?” “Kalau Ibu ingin Dharsana keluar dari rumah Ibu, pidana­ nya harus diurus di kepolisian dulu, dibuat BAP di hadapan penyidik dengan laporan KDRT, dan harus disertai dengan alat bukti yang cukup. Kalau BAP sudah selesai, pihak polisi bisa mengingatkan, dan kemudian mengeluarkan Dharsana secara paksa dari rumah Ibu.” “Kesannya berbelit.” “Tidak, Bu. Itu prosedur biasa.” “Bukan itu maksud saya. Saya kuatir…” “Kuatir apa, Bu?” “Jangan lupa Dharsana itu bekas perwira polisi.” “Jadi?” “Pasti dia punya bawahan yang terpaksa harus takut meng­ hadapinya. Artinya yang putih bisa menjadi hitam.” Juminah sempat tertegun mendengar keluhan Ibu Intan itu. Tapi dia mencoba meyakinkan Ibu Intan dengan lebih khu­ sus meyakinkan dirinya sendiri, bahwa apa yang dikeluhkan oleh Ibu Intan tersebut tidak perlu membuat hatinya takut menghadapi waktu yang berjalan ini. “Ibu tidak perlu takut,” kata Juminah. “Kita sama­sama akan menghadapi masalah yang rumit ini. Dan kita harus yakin, sekali lagi, Ibu akan menjadi pemenangnya.” 650 Wajah Ibu Intan tampak berseri, tanpa berkata apa­apa, menunggu Juminah yang melanjutkan bicaranya. “Jadi, agenda kita hari ini, Bu, pertama kita ke panitera pengadilan, lalu dari sana kita ke polisi membuat BAP. Di situ Ibu menandatangani BAP itu di hadapan penyidik. Kita atur supaya semua, baik relaas maupun surat peringatan polisi ke­ pada Dharsana itu, bisa dilaksanakan pada hari yang sama, dan jam yang sama juga. Artinya, proses hukum acara perdata dan hukum acara pidana kita laksanakan secara berbareng.” “Itu bisa ya?” “Pasti, Bu. Kita akan ajukan perceraian Ibu itu menurut UU Nomer 1 Tahun 1974.” “Bagaimana itu?” “Bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan karena memang tidak ada lagi alasan untuk bisa mendamaikan dua hati: yang satu terlukai dan satunya melukai. Dasarnya adalah Pasal 39 ayat 1. Dan, bahwa dengan itu Ibu dan Dharsana tidak bisa rukun lagi. Pegangan ini disebut di ayat 2 pasal yang sama.” “Ya, ya,” kata Ibu Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Kemudian, dengan satu mobil, mobilnya Ibu Intan, Juminah dan Ipong meluncur ke kantor panitera pengadilan. Di sini Juminah mendaftarkan dulu perkaranya untuk dibuat relaas tersebut kepada Dharsana. Dan dari sini mereka ke kantor polisi, ke Polda, ke bagian Pelayanan Masyarakat (biasa disingkat Yanmas), diterima di meja khusus pengaduan. Terjadi percakapan khas yang biasa dihadapi pengacara hukum dengan polisi di meja pertama ini. Kata polisi yang menerima pengaduan Juminah itu, “Ya, kami terima pengaduan Ibu. Kami sendiri tidak bisa memutus­ www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo kan apakah ini memenuhi syarat atau tidak untuk dilanjutkan.” “Kenapa?” tanya Ibu Intan, berprasangka. “Eh, begini, Bu,” kata polisi itu, “Nanti kami sampaikan ke pihak kepala tim. Pengaduan ini akan digodok di situ. Dari situ diserahkan ke penyidik. Kalau memenuhi syarat pengaduan, baru dilaksanakan.” “Wah,” seru Ibu Intan. “Kok mbulet begitu?” “Prosedurnya memang begitu, Bu.” “Berarti, itu akan makan waktu lama?” tanya Ibu Intan. “Bergantung, Bu,” jawab sang polisi. “Bergantung bagaimana?” tanya Ibu Intan. Juminah membisik di telinga Ibu Intan, “Ini memang kebiasaan di sini, Bu.” Sang polisi berkata sambil cengenges, “Ini kan hari akhir pekan, Bu.” “Jadi?” “Hari mepet, Bu.” “Tapi bisa dibikin cepat kan?” kata Juminah kepada polisi itu. “Oh, bisa, bisa, Bu,” kata polisi itu. “Tapi, ya, itu, yang saya bilang tadi, persoalannya sangat bergantung pada syarat­syarat tidak tertulis…” Ibu Intan memahami itu, tapi dia bertanya juga, sekadar memanjangkan percakapan. Katanya, “Apa itu?” “Kalau dulu istilahnya ‘uang rokok’, Bu. Tapi sekarang, dalam program kesehatan WHO, ‘uang rokok’ diganti istilahnya menjadi ‘uang transpor’ atau ‘uang pulsa’.” “Ah, itu tidak soal,” kata Ibu Intan. “Saya mengerti. Itu soal kecil.” Sang polisi ketawa lebar. Saking lebarnya ketawanya itu, maka kelihatan mulutnya membesar sampai ke kuping, kira­ kira kepala anjing kecil pun bisa masuk ke dalam mulutnya itu. 652 Remy Sylado “Nah, kalau ada pengertian begitu dari Ibu, soal pelaksana­ an dari pihak penyidik pasti cepat, Bu,” kata sang polisi. Juminah menjamin dengan mengingatkan pernyataan Ibu Intan tersebut. “Seperti kata Ibu, itu soal kecil.” “Ya, Bu,” kata sang polisi. “Kalau begitu, saya yakin ketua tim yang mengkaji ini akan segera menuntaskan.” “Kapan?” tanya Ibu Intan. “Paling lambat seminggu, Bu,” sahut sang polisi. “Jadi pas Jumat yang akan datang. Nanti saya bilang pada ketua tim, supaya ‘dalam tempo yang sesingkat­singkatnya’ akan sampai di tangan penyidik, dan penyidik langsung bisa ‘action’.” Ibu Intan mesem mendengar istilah yang dipakai oleh sang polisi, antara bahasa dalam teks proklamasi kemerdekaan dan bahasa yang biasa diserukan oleh sutradara film. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Setelah menyelesaikan urusan di dua tempat—ke panitera pengadilan, kemudian ke kantor polisi di Polda bagian Yanmas, dan kini telah mengetahui kapan surat buat Dharsana itu bisa disampaikan—maka dalam perjalanan pulang ke rumah kayu­ papan dengan lebih dulu mengantar Juminah dan Ipong di kantor Mawar Saron, Ibu Intan menelefon Rachmat Wirjono dan Juminah menelefon Tuminah. Kata Ibu Intan kepada Rachmat, “Saya ingin Mas bisa da­ tang ke rumah pas pada hari dua surat, masing­masing dari pa­ nitera pengadilan dan Yanmas, diserahkan kepada Dharsana.” “Kapan itu?” tanya Rachmat. “Setelah saya tahu kapan persisnya, saya akan kabari Mas.” “Oke, saya pasti datang, Mbakyu.” “Terimakasih, Mas.” 653 Hotel Pro deo *** Lain lagi omongan Juminah lewat telefon dengan Tuminah yang masih di Surabaya. Di luar kebiasaan, aneh, Juminah merasa agak bimbang, entah mengapa, sehingga dia merasa perlu bicara dengan kembarnya itu yang kebetulan polisi. “Jadi kapan kamu pindah ke Jakarta?” tanya Juminah. “Pasti minggu depan,” jawab Tuminah. “Kenapa?” “Aku waswas.” “Lo?” “Yang aku hadapi ini pensiunan perwira polisi.” “Lantas?” “Dia tergolong ular beludak, harimau, singa, dan seterus­ nya.” “Kalau kamu yakin bahwa kamu benar, kenapa takut?” “Aku ingin kamu bantu aku.” “Gampang. Pokoknya minggu depan begitu aku sudah mendapat tempattinggal di Jakarta, aku kontak kamu.” “Hm.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 654 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 118 PAGI ini Dharsana bakal tercengang­cengang. Surat dengan kertas kop bertuliskan Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron berupa somasi kepada Dharsana sebentar lagi akan dibawa oleh Juminah. Setelah itu relaas dari panitera pengadilan akan dibawa juga oleh petugasnya. Khususnya somasi dari Juminah itu ada di dalam amplop sebesar kertas kuarto berwarna oker, tidak dilem melainkan diikat benang di bulatan mirip kancing. Sebelum Juminah dan Ipong tiba di rumah milik Ibu Intan ini, pagi­pagi kurang jam 08.00 anak­anak Dharsana: Sri Hartini dan Singgih—yang kelakuan keduanya hanya beda­ beda tipis dengan hewan­hewan tertentu yang liar dan giras— sudah lebih dulu nongol di sini tanpa diketahui apa maunya, kecuali kedatangan mereka ini akan langsung mengubah suasa­ na yang tenang menjadi gaduh kayak pasar lelang ikan. 655 www.bacaan-indo.blogspot.com Kedatangan kedua anak Dharsana di rumah kayu­papan pada hari sepagi ini barangkali untuk meminta uang dari ayah mereka. Entah jam berapa mereka meninggalkan rumah mereka tadi, mengingat hari ini Senin, dan biasanya pada hari ini semua jalanan dari pinggir­pinggir kota dipadati oleh kendaraan­kendaraan yang memacetkan Jakarta. “Nah, kebetulan,” kata Ibu Intan dalam hati ketika dia melihat kedatangan si kerempeng dan si homreng. Sebagaimana biasa, kedua anak Dharsana dari istri perta­ ma yang tersiasia itu masuk ke rumah kayu­papan dengan sifat buruk berangasan: yang laki liar seperti celeng, yang perempuan giras seperti beroga. Mereka gerudag­gerudug masuk ke dalam rumah, langsung ke kamarmakan di bagian belakang, pas di saat Ibu Intan sedang duduk di kursinya hendak mendulang sepotong roti berisi pindakas campur mesis ke mulut Mimit, dan bersamaan dengan itu Hutami sedang menuangkan kopi di cangkir untuk Dharsana. Dalam hari­hari belakangan ini, atas saran Juminah, Ibu Intan sengaja mengubah penampilannya dari kaku menjadi lunak, membuat sikap yang teduh terhadap Dharsana, dan hal itu membuat Dharsana terkecoh. Dharsana mengira, bahwa berkat kemampuannya memainkan peran kepalsuan—tapi se­ kaligus juga tiadanya pilihan yang wajar mesti dilakukannya setelah Jeng Retno mengecewakannya dan kini gila—maka dalam anggapannya, Ibu Intan sekarang melembek, dan dia pun menyimpulkan Ibu Intan telah menerimanya kembali sebagai suami yang sekitar lebih setahun didiamkan, dicueki, dijutaki. Di lain pihak anak­anaknya, Sri dan Singgih, tidak tahu apa­apa soal itu. Mereka pun tidak tahu betapa rawannya keadaan masa depan Dharsana menjelang datangnya Juminah dan Ipong membawa surat di dalam amplop berwarna oker tersebut. Dan celakanya, karena tabiat mereka dari sono­ www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado nya memang kurangajar terhadap Ibu Intan, maka ketika mereka datang ke sini, mereka hanya memberi salam kepada Dharsana, mencium tangan, lalu duduk seenaknya di kursi depan mejamakan, mengabaikan Ibu Intan di hadapan mereka yang sedang mengurus Mimit seperti mengasuh anak sendiri. Malahan, melihat ada setengah potong roti di depan Mimit, tanpa nembung Sri mengambilnya lantas memakannya. Ketika dia mengambil roti itu, tangan kirinya menyilang di muka Ibu Intan, sambil sengaja menggesek dagu Ibu Intan. Karuan Ibu Intan geram, menegur keras kelakuan Sri yang tidak sopan itu. Katanya sambil memandang muka Sri dengan marah, “Heh, kok nggak sopan sih kamu?” Bukannya sadar dan cepat memperbaiki diri, sebaliknya Sri mengucapkan gerutu yang berkadar menantang. “Ah, nggak sopan apa sih?” katanya. Pas Dharsana berjalan ke mejamakan dengan wajah yang dibikin manis kayak gula ilegal. Sri pun berdiri dari kursinya, menyongsong Dharsana. Sambil mengunyah­ngunyah roti yang tadi dimasukkannya utuh­utuh ke dalam mulutnya, dan karenanya pipinya meng­ gembung jelek seperti pipi kuda nil, berkata Sri dengan nada antara merengek dan mengasut pada Dharsana, “Pa, masak Ci dikatai nggak sopan sama si Intan.” Ibu Intan berdiri pula. Dia langsung menyalak. “Heh, tidak usah mengasut bapakmu. Kamu memang tidak sopan. Kurangajar. Masuk rumah orang, bukannya dengan kulonuwun, tapi malah seenaknya main slonongboi.” “Lo?” Sri menggandeng tangan Dharsana dengan gaya kolokan yang sepenuhnya norak. “Gua ke sini kan mau ketemu bapak gua, bukan mau ketemu lu. Gua nggak ada urusan ama lu.” Ibu Intan makin menyala. Dia menghardik dengan suara lantang dan mata yang nyalang. “Heh, dengar kamu. Ini bukan 657 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo rumah bapak kamu!” Mau tak mau semua terkesima. Tak diduga betapa Ibu Intan segarang ini. Yang dihardik Sri, tapi yang kena Dharsana. Apa boleh buat, Dharsana terpaksa diam. Dia mengkerut ciut atas serapah Ibu Intan. Dia merasa dipaku di lantai, serba salah, serba risau. Namun dia coba menyeimbangkan perasaannya. Sertamerta dia menemukan caranya melalui nalurinya. Kodratnya sebagai lakilaki, yang terbiasa menempatkan diri sebagai kepala keluarga, dirasanya mesti sanggup bertindak arif, sementara apa rumusan ‘arif’ sendiri bagi seorang per­ lente yang berhati bengkok seperti dirinya, takkan pernah dipahaminya, kecuali sikap memegahkan diri menurut cara lazim prawira kepada prajurit. Kiranya dia memilih membela Ibu Intan. Ini bukan ke­ mauan yang datang dari hati, tapi akal, yaitu sebuah cara yang diungkapkan oleh para pandai siasat sebagai: mengalah dalam bertempur untuk menang dalam berperang. Kata Dharsana berarif­arif di hadapan Ibu Intan dengan jalan menyalahkan Sri, “Kamu memang salah, Ci. Kamu tidak boleh begitu. Itu tidak baik.” Sri ngeyel. Mukanya terbembeng. “Tidak baik apaan?” Singgih ikut nimbrung. Tapi omongnya sekadar njeplak. “Bukan Ci yang tidak baik.” Maka Ibu Intan pun beralih ke Singgih. “Lantas, kamu mau bilang: yang tidak baik itu saya?” Singgih nekat. Jawabnya, “Iya, memang gitu kok.” Ibu Intan pun mendamprat Singgih. Tangannya teracung ke atas, pas di muka Singgih yang masih duduk. “Kurangajar. Kamu pikir saya ini apamu? Keluar kamu dari sini. Keluar!” Bersamaan dengan itu, terdengar bel dibunyikan dari luar pagar. Ibu Intan tahu, yang membel itu tentu Juminah. Tanpa disuruh, Hutami bergegas ke depan, dibuntuti 658 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Mimit di belakangnya. Di depan sana, gerbang sedang dibuka oleh Ujang. Juminah dan Ipong masuk. Hutami mempersilakan Juminah dan Ipong duduk di serambi depan. Dari serambi ini Juminah dan Ipong bisa mendengar suara Ibu Intan yang marah kepada kedua anak Dharsana. Di situ Ibu Intan menghardik lantang kepada Singgih. “Ayo, keluar sana kamu! Keluar! Kalian berdua keluar!” Berbareng dengan itu Dharsana berpikir memperoleh gagasan untuk melunakkan kemarahan Ibu Intan. Dikiranya gagasannya ini benar, tapi ternyata keliru. “Ma, sudahlah. Jangan keras­keras. Ada tamu di depan,” katanya. Sebaliknya Ibu Intan malah bengok, “Justru saya ingin tamu di depan itu mendengar semua ini.” Dia maju, mendekati Sri, lalu menarik lengan Sri dengan cara menyeret sampai ke depan, kemudian menjorokinya hingga yang disebut ini terjengkelit di lantai. Serapahnya berlanjut. “Kapok kamu!” Dharsana galau. Seakan dia terdaulat untuk tidak bisa bicara, membuka mulut. Setidaknya di saat yang begini darurat, dia belum berhasil menggunakan akal, atau baginya okol adalah akal, untuk bertindak. Dia hanya mengekor di belakang Ibu Intan, lantas berdiri di dekatnya, melihat dengan kesal ke arah Sri yang terpelaka di lantai. Ibu Intan tidak peduli. Dia kembali ke belakang, mengusir Singgih yang baru berdiri terbengong­bengong. Kepada lakilaki homreng ini, Ibu Intan menghardik pula dengan suara jeritnya yang cumengkling di kuping. “Kamu juga keluar!” Singgih keder. Dia terbirit­birit ke depan, berlindung di belakang Dharsana. Dengannya kentara jelas kodrat aslinya: lelaki berhati batu tapi bernyali ubi. Sambil menarik lengan baju Dharsana, berkata Singgih dengan cemas dan kolokan, “Pa, Papa, itu si Intan benar­benar 659 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo kesurupan gitu.” Seperti didorong naluri kebapakan untuk melakukan sesu­ atu yang menurutnya benar, Dharsana mencoba tampil sebagai seorang suami yang bijak terhadap Ibu Intan. Dia menghalau Ibu Intan dengan nada bicara yang lembut. “Ma, sudahlah, nanti Papa suruh mereka pulang,” katanya. Ibu Intan tak kendor. Dia menuding­nuding. Katanya ketus, “Jangan nanti. Sekarang! Suruh mereka angkat kaki sekarang juga dari rumahku ini.” Kemudian Ibu Intan berjalan mendekati Juminah dan Ipong. Lanjutnya, “Sebelum mereka pergi, lebih dulu, biar mereka menyaksikan apa yang akan diberikan oleh tamu­tamu ini. Nah, biar aku kenalkan mereka padamu. Mbak ini bernama Juminah, dan Mas ini bernama Ipong. Mereka pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. Mereka ke sini membawa surat untuk Bapak DB Dharsana yang selama ini pura­pura jadi suamiku: surat untuk perkara perceraian.” Dharsana tersentak kaget di tempatnya. “Apa?” Ibu Intan tidak hirau pertanyaan Dharsana, sebaliknya mempersilakan Juminah dan Ipong menyerahkan amplop ber­ warna oker tersebut. “Silakan, Mbak.” Juminah maju, menghampiri Dharsana, memberikan am­ plop itu kepada Dharsana. “Silakan, Pak,” katanya. Dharsana menerima amplop itu. Bersamaan dengan itu Ibu Intan berkata, “Tidak seperti lazimnya, surat itu dibawa langsung oleh pengacara untuk mengurus gugatan cerai.” Dharsana bingung, memandang bergantian wajah Ibu Intan, Juminah, dan Ipong. “Kenapa? Ada apa?” “Pertanyaan itu akan dijawab di pengadilan,” kata Ibu Intan. “Terlalu lama aku hanya hidup sebagai pongpongan di rumahku ini, dan kamu terus menyiksa batinku, bermain gila 660 di luar. Sekarang, setelah Retno menjadi gila, lantas kamu mau kembali ke sini.” Dharsana tercengang. Wajahnya seperti mayat. Dia tidak sangka Ibu Intan sudah mengetahui keadaannya. Tiba­tiba, yang tidak disangka­sangka terjadi seperti adegan komik film India: Dharsana meratap sambil berlutut di hadapan Ibu Intan. “Jangan perlakukan aku seperti ini, Sayang,” kata Dharsa­ na. “Demi Tuhan, maafkan aku, Sayang.” Ibu Intan menghindar. “Sudah terlambat,” katanya. “Sam­ pai jumpa di pengadilan.” Sri Hartini dan Singgih terpukul melihat adegan itu. Yang satu mau menangis, yang satunya lagi sudah menangis. Dan, apabila mereka menangis, muka mereka seperti ketumpahan cuka. Namun, tak disangka­sangka, tiba­tiba Dharsana menjadi sangat tegar. Sambil mengeluarkan vulpen dari saku baju, dan menaruh surat dari Juminah tersebut di atas meja, dia berkata, “Kalau memang harus begini, baik, saya tandatangani surat ini.” Dia lakukan itu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 119 SETELAH Dharsana membubuhi tandatangan di atas kertas itu, Ibu Intan pun berdiri di tengah­tengah pengacaranya antara Juminah dan Ipong, berhadap­hadapan dengan Dharsana dan kedua anaknya yang liar itu, sambil berkata, “Nah, sampai jumpa di pengadilan, Kombes Bebas Tugas DB Dharsana.” Mendadak wajah Dharsana kusam lecek seperti kain poplin zaman Perang Dunia II yang kelunturan muntah, jelek sekali, sementara tampang kedua anaknya seperti tikus basah, putus harapan memandang adegan cela ini. Mereka tiga berdiri kaku, terhenyak dan keki mendengar pernyataan Ibu Intan atas sebutan “Kombes Bebas Tugas DB Dharsana,” yang diucapkan dengan intonasi khas sandiwara amatir di gedung kesenian, sehingga kesannya terasa sebagai cemooh. Dan, anehnya, Dharsana yang biasa sangar dan mudah bertindak emosional, misalnya menggebug, tumben kali ini seakan terpaku di tempat­ nya, berdiri seperti patung bernafas. 662 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dengannya Ibu Intan merasa seperti sedang sampai di ambang kemenangan. Lalu, melihat ketiga orang yang me­ muakkan itu masih belum juga beranjak dari tempatnya, ber­ katalah Ibu Intan kepada mereka, “Nah, Dharsana, di depan pengacara saya ini, saya ingin melihat kalian cepat keluar dari rumah saya, tapi saya lupa mengatakan, bahwa keluarnya ka­ mu dari rumah ini disaksikan juga oleh Mas Rachmat Wirjono, atasanmu. Saya sedang menunggu kedatangan Mas Rachmat ke sini. Saya sudah minta kepadanya untuk hadir menyaksikan ini.” Wajah Dharsana berubah lagi. Dia tegang mendengar Ibu Intan menyebut nama Rachmat. “Rachmat?” desisnya. “Ya, kamu tidak salah mendengar,” kata Ibu Intan, dan langsung mengalihkan mukanya ke kanan, memanggil Hutami. “Tami.” Hutami muncul di situ. “Ya, Bu.” “Coba kontak Pak Rachmat Wirjono,” kata Ibu Intan. “Tanya posisinya sekarang di mana.” “Ya, Bu,” jawab Hutami, dan buru­buru mengangkat telefon. Dharsana benar­benar kehilangan hikmah untuk berkata. Tapi dalam sulitnya menemukan kata­kata yang tepat mewakili rasa tersudutnya, dia hanya mampu mendengus dengan kata­ kata kalah, “Kenapa begini, Sayang.” Ibu Intan menertawai Dharsana. Katanya tak hirau, “Perse­ tan dengan sayang­sayang palsumu itu. Kembali ke istrimu yang lumpuh karena perbuatanmu itu. Dialah yang memerlukan sa­ yangmu. Itu, lihat anak­anakmu, juga perlu sayangmu. Sayang­ mu di sini sudah selesai.” Di serambi tengah, di mana Hutami menelefon Rachmat, percakapannya terdengar tergesa­gesa. 663 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Maaf, Pak, Ibu Intan bertanya Bapak teh parantos aya di mana ayeuna.” Jawaban Rachmat tak terdengar oleh keenam orang di situ. Kata­kata Hutami yang terdengar, “O, ya, Pak, sumuhun,” Lantas Hutami menutup telefon, kemudian berjalan ke serambi depan, dan berkata kepada Ibu Intan, didengar oleh semuanya, “Pak Rachmat sudah di depan rumah, Bu.” Klakson mobil Rachmat terdengar di luar gerbang. Ujang membukanya. Mobil itu pun masuk ke pekarangan, distir oleh seorang perwira pertama Tahi Sihombing. Melihat itu pikiran Dharsana makin kacau. Berkali­kali dia menarik­narik celana, bukan lantaran longgar, tapi karena gugup. Ibu Intan tak peduli itu. Dia segera menyambut Rachmat. Katanya, “Terimakasih, Mas, sudah datang ke sini.” Rachmat memandang Dharsana tanpa berkata apa­apa, tapi kira­kira kalau diucapkan kalimatnya barangkali berbunyi, “Kamu membikin masalahmu sendiri, Dhar.” Setelah berada di tengah­tengah serambi, Ibu Intan mem­ perkenalkan Juminah dan Ipong kepada Rachmat, “Mas, saya perkenalkan, ini penasehat hukum saya yang akan menangani tuntutan saya di pengadilan untuk dua kasus.” Rachmat menyalami Juminah dan Ipong tanpa bertanya maksud Ibu Intan soal “dua kasus” tersebut. Dharsana melihat dengan rasa terlecehkan. Maunya, dia bisa menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan harapan, misalnya Rachmat bisa membantunya untuk berperan sebagai jembatan, tapi celakanya dia sendiri merasa seperti menjadi bodoh. Sungguh sesuatu yang tidak laras dengan tabiatnya dan penampilannya selama ini yang sangar dan licik. Dia heran, mengapa dia bisa jadi begini belegug, begok, kemplu. Ibu Intan tak peduli itu. Keputusan hatinya sudah tetap. Kepada Rachmat dia berkata, “Tentu Mas Rachmat mau me­ 664 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado lihat bagaimana akhirnya Dharsana meninggalkan rumah saya untuk pulang ke rumahnya. Di rumah saya ini hanya tinggal pakaiannya, sepatunya, topinya, dan lukisannya itu. Jadi mudah membawanya. Kalau ada lagi yang lain­lainnya, itu gampang, Hutami bisa bungkus dengan buntelan dalam waktu sesingkat­singkatnya.” Rachmat hanya diam, tak mengangguk, tak menggeleng, kecuali tertegun melihat Ibu Intan yang selama ini sabar dan nrimo. Dengannya dia mengakui dalam dirinya, bahwa hati seorang perempuan ayu, luwes, dan anggun, yang kepalang di­ lukai batinnya, bisa menjadi keras dan tegas seperti Ibu Intan sekarang ini. Rachmat memandang Dharsana tanpa berkata sehuruf pun. Tapi seandainya diamnya sekarang ini diterjemahkan dengan kata­kata, mungkin yang tersusun dalam kepalanya ada­ lah kalimat: “Memang kamu harus cepat pergi meninggalkan rumah ini, Dhar.” Artinya Rachmat tidak mungkin membantu Dharsana. Dia lebih berpihak pada Ibu Intan. Karenanya dia menghampiri Dharsana, menepuk bahunya tanpa bicara apa­apa. Tapi, kira­kira jika sikapnya ini dinyatakan dengan kata­kata, maka kalimatnya berarti: “Ayo, Dhar, turuti saja kemauan Intan.” Tapi, sekonyong­konyong hal yang tak terduga­duga me­ ledak dari mulut Dharsana. Dia berteriak sekerasnya. “TIDAK!” Dia naik ke atas meja. “Dengar! Tidak ada seorangpun yang boleh menghina aku dengan cara begini!” Semua terkejut, termangu. Kedua anak Dharsana senang. Rupanya emosi yang ditekannya dari tadi dengan diam seperti belegug, begok, kemplu, tak bisa ditahannya lebih lama. Akhirnya itu meledak. Dia kalap. Setelah berteriak seperti gorila 665 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com begitu, Dharsana meloncat dari atas meja lantas menangkap Ibu Intan dan mencekiknya. Sambil mencekik dia ulangi kata­ kata yang baru diucapnya. “Dengar! Tidak ada seorangpun yang boleh menghina aku dengan cara begini!” Ibu Intan menjerit­jerit minta tolong. Keadaan menjadi tidak karuan. Rachmat membujuk. “Jangan memperburuk keadaanmu, Dhar,” katanya sambil melihat Tahi Sihombing, dan bawahan­ nya mengerti arti pandangan itu. “Tidak!” kata Dharsana keukeuh sambil mundur menyeret Ibu Intan dalam cekikannya itu, mata melotot seperti akan co­ pot dari kelopaknya. Rachmat mendekat Dharsana. Tahi pun siap­siap. Apabila jarak Rachmat dengan Dharsana hanya tinggal setengah depa, Rachmat berkata lembut, menyuruhnya tenang. “Kalem, Dhar, kalem,” kata Rachmat. Tapi jarak yang dekat ini merupakan peluang yang tidak dipikir oleh Dharsana karena kalapnya itu, membuat Rachmat segera bertindak dengan tepat dan cepat. Dia tonjok hidung Dharsana sehingga yang disebut ini terantuk ke belakang, dan secepat itu pula Tahi membekuk Dharsana. Rachmat memarahi Dharsana. “Kamu benar­benar me­ malukan, Dhar,” katanya. “Memalukan sekali.” Tahi membawa Dharsana diiringi muka kecut anak­anak­ nya, ke atas mobil, keluar ke luar. *** 666 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 120 TERPAKSA Dharsana harus angkat kaki dari rumah kayu­ papan milik Ibu Intan pada hari ini juga. Ke mana sekarang? Ke arah Tebet, pasti. Mau­tak­mau Dharsana harus menempati rumah di wila­ yah Tebet yang selama ini kosong, hanya dijadikan tempat pertemuan­pertemuan rahasia untuk melakukan tindakan­ tindakan kejahatan. Ke rumah di Tebet ini menjelang senja. Dan, ke sana Dharsana—seperti biasa—distiri oleh sopir­ nya, Lukman. Selama perjalanan ke sana Dharsana terus muring­muring, memarahi orang lain, mengomeli Lukman, padahal sebetulnya dia tidak berdaya melihat dirinya sendiri menjadi seseorang yang terkecundangkan begini. 667 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dia menyuruh Lukman memacu mobilnya kencang­ kencang di antara kendaraan­kendaraan lain yang padat di jalanan menuju ke Tebet. “Ayo, ngebut saja,” katanya dengan suara tinggi kepada sang sopir. Lukman menjadi kagok. Katanya, “Jalannya memang pa­ dat, Pak.” “Alah, tolol kamu,” kata Dharsana. “Padat kan tidak berarti jalan tertutup. Ayo, kebut.” Dalam keadaan seperti diteror, Lukman menyalip kendaraan di depannya, dan dia sendiri merasa tidak yakin bisa melakukannya dengan baik, maka dia mengurungkan niatnya itu, kembali lagi ke lajur semula. Karuan Dharsana marah, “Lo? Kenapa tidak jadi?” “Sulit, Pak,” kata Lukman. “Dari depan sana ada truk.” “Ah, tolol banget sih kamu,” kata Dharsana, “Kalau kita sudah di tengah, truk itu pasti bakal ngasih jalan buat kita.” Truk itu lewat kencang­kencang dari arah depan. “Nah, ayo kebut,” kata Dharsana. “Salip lagi mobil yang ada di depan kita ini.” Lukman pun mengambil jalan kanan hendak menyalip kendaraan di depan, tapi sial, dari arah depan pengendara mo­ tor yang juga menyalip mobil di situ telah berada pas di tengah­ tengah, sehingga tak terelakkan terjadi tabrakan muka dengan muka. Pengendara motor seakan terbang di atas mobil lantas jatuh ke jalan, tidak bergerak beberapa saat, tapi tidak mati. Keadaan itu malah membuat Dharsana makin marah. Dia memaki Lukman, mengata­ngatainya dengan kata­kata yang sama, antara tolol, goblog, bodoh, dan seterusnya, dan hal itu membuat Lukman merasa semakin terteror. Toh Lukman meminta maaf kepada Dharsana. 668 www.bacaan-indo.blogspot.com Sementara itu orang­orang yang ada di pinggir jalan ber­ teriak marah, menyuruh Lukman meminggirkan mobilnya, dan bertanggungjawab terhadap pengendara motor itu. Tapi Dharsana melarang, menyuruh Lukman terus saja maju dengan mobilnya. “Sudah, antepin,” kata Dharsana. “Terus saja jalan. Pengendara motor itu memang ugal­ugalan, dia pantas mati.” Lukman sudah biasa mendengar Dharsana bicara seenak­ nya begitu, tapi kali ini, aneh, dia merasa tidak mathuk, seperti mendengar sebuah nada yang sumbang. Toh dia tidak bisa bilang apa­apa untuk sesuatu yang dirasakannya. Dalam tidak tahu harus bilang apa, Lukman hanya meng­ gumam singkat. “Pak…?” Sambil menggumam begitu, Lukman meminggirkan mo­ bilnya di kiri jalan, lalu keluar dari dalamnya, berjalan meng­ hampiri pengendara motor yang bersamaan dengan itu sedang bangun dan berdiri. Segera Lukman membopong pengendara motor itu ke sisi jalan. Dan, beruntung, sebab pengendara motor itu bisa dituntun ke pinggir jalan, sehingga orang­ orang Indonesia—yang biasa mengamuk kalau melihat mobil menabrak orang—tidak jadi mengepruk Lukman. Dharsana sendiri akhirnya keluar juga dari dalam mobilnya lalu mendatangi pengendara motor itu. Dari dalam dompetnya dia mengeluarkan dua lembar uang kertas merah bergambar proklamator kemerdekaan Indonesia, dan memberinya kepada pengendara motor itu. “Hati­hati di jalan,” kata Dharsana, pasti tidak tulus, cuma sekadar pamer kepada orang banyak yang berkerumun di situ, bahwa dia seseorang yang berperhatian. Hanya beberapa menit saja setelah itu, ketika Dharsana kembali duduk di dalam mobil, sebelum Lukman menghidupkan mesin mobil ini, Dharsana menyuruh keluar lagi. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Lihat dulu tuh, bagaimana keadaan mobil akibat tabrakan tadi,” katanya, “Kalau parah, gajimu saya potong.” Lukman turun dari mobilnya, melihat ke depan, dan setelah berdiri di sisi kiri mobil, dekat tempat duduk Dharsana, dia berkata, “Lampu kanannya pecah, rambangnya sempal, tutup kapnya penyok, Pak.” “Kamu goblog sih,” kata Dharsana, lalu, “ya, sudah naik, ayo cepat jalan.” Lukman kembali menyetir mobil Dharsana ke daerah Tebet. Sepanjang perjalanan ini, dia tidak menghitung berapa kali Dharsana mengulang­ulang kata makiannya. Dan, berbareng dengan itu, tanpa setahu Dharsana, telah berkembang keputusan mendadak dalam hati Lukman, yang apabila diucapkannya nanti niscaya akan mengejutkan Dharsana. Terlebih dulu Lukman menyelesaikan pekerjaannya, ikut membantu mengangkat beberapa barang yang ada di dalam mobil, dan menaruhnya ke dalam rumah, kemudian berdiri di hadapan Dharsana, menyatakan isi hatinya itu. “Pak, maaf saya mengecewakan Bapak,” kata Lukman. Dharsana tidak hirau. “Alah, sudahlah,” katanya. “Belum, Pak,” kata Lukman. Pernyataan itu membuat Dharsana penasaran. “Apa mak­ sudmu?” tanyanya. “Ya, Pak, maaf saya mengecewakan Bapak, sebab saya tolol, bodoh, goblog, dan seterusnya. Karenanya, mulai hari ini saya pamit, tidak bekerja lagi pada Bapak. Untuk semua kerugian karena tabrakan tadi, Bapak tidak usah memotong gaji saya, sebab saya pun rela tidak usah dibayar gaji saya selama tiga bulan ini.” Dharsana kaget. “Tiga bulan apa?” “Ya, Pak,” sahut Lukman. “Sudah tiga bulan Bapak lupa 670 Remy Sylado menggaji saya.” “Apa katamu?” “Ya, Pak,” sahut Lukman lagi. “Gaji yang tiga bulan itu anggap saja sebagai ganti rugi atas tabrakan yang membuat mobil Bapak rusak.” “Tidak!” seru Dharsana, antara menyesal dan buncah. “Tidak bisa begitu.” “Ya, Pak, tapi memang begitu,” kata Lukman teguh. “Saya minta diri. Saya harus cepat pulang ke rumah. Di rumah saya pada jam delapan malam ini ada pengajian. Kuatir kalau sampai saya terlambat. Tidak enak.” Wajah Dharsana tampak seperti terlabur kapur. Dia ber­ diri dari kursinya, mencoba dengan sia­sia untuk mencegah Lukman supaya tidak pergi, namun Lukman memang sudah tetap dengan keputusan hatinya. Dengan ragu dia berkata, “Besok kamu ke sini lagi kan?” Jawab Lukman mengambang secara verbal tapi teguh secara batin, “Terimakasih, Pak.” Dan Lukman pergi dan tidak pernah kembali lagi. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dharsana menyadari, dia telah ditinggalkan… Barangkali dalam satu­dua jam mendatang dia akan merasa kesepian, sunyi, sebatang kara di rumah besar dengan pohon­ pohon rindang ini. Dalam perasaan sepi itu barangkali dia bisa merenung hal­hal kebajikan, kalau memang hatinya membuka diri. Sayang sekali lema itu tidak ada dalam kamusnya. Atas maunya dia memilih menutup diri. Dia ambil arak Cina, ciu, lantas meminumnya. Di saat mendatang barangkali pula mi­ num ciu akan menjadi kebiasaan baru baginya. *** 671 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 121 DI rumahnya di wilayah Tebet itu Dharsana melamun, me­ ngumpulkan semua pikiran jahat dari neraka ke otaknya untuk suatu tindakan yang hendak mencelakakan orang, dan orang itu tidak lain adalah Ibu Intan. Tadi malam, dan untuk malam­malam selanjutnya dia akan tidur seorang diri di rumah Tebet ini. Pagi­pagi pada hari Minggu dia akan dikunjungi oleh Rachmat Wirjono. Dengan mobil yang distiri oleh Tahi, Rachmat meninggal­ kan rumahnya di wilayah Bogor, menuju ke rumah Dharsana di wilayah Jakarta Selatan ini. Sebagai sahabat lama semata­mata, yang prihatin, namun juga kecewa pada Dharsana, Rachmat menemuinya untuk bicara hal­hal yang semestinya diindahkan oleh sahabatnya itu, siapa tahu dengan nasehat yang mungkin terakhir kali bisa dikatakannya ini, bisa mengubah bayangan jalan hidup 672 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dharsana yang kelihatannya rawan, seperti memasuki lorong batas katastrof yang paling gelap. Di depan Dharsana, dalam duduk berhadap­hadapan di meja bundar yang tetap ajeg diterangi lampu 5 wat, Rachmat berkata, “Maaf, Dhar, bukan maksud saya mencampuri urusan­ mu dengan Intan, sungguh, tapi bagaimana, saya sendiri tidak bisa melihat seorang sahabat mengalami kesulitan rumit seperti masalahmu ini. Kita sama­sama sudah sepakat dulu, ketika masih di akademi, untuk tetap saling menjaga kehormatan kita setelah menjadi perwira…” “Sudahlah, tidak usah bicara itu lagi,” kata Dharsana mutung. “Saya serius, Dhar,” kata Rachmat meyakinkannya. “Alah, sudahlah,” kata Dharsana tak suka. “Kamu toh bisa juga bilang, zaman dulu itu abad lalu, sekarang sudah tahun 2000­an. Saya bisa mengerti kalau kamu berubah kok.” “Tidak, Dhar,” kata Rachmat. “Itu keliru. Kamu sendiri tahu, saya tetap yang selama ini berjuang untukmu. Kamu kombes, dan kamu bisa duduk di DPRRI sebagai Fraksi ABRI di waktu lalu itu, karena saya betul­betul komit dengan kesepakatan kita dulu itu. Di luar itu, ketika kamu duduk di legislatif, saya tahu kamu menguasai bidangmu di Komisi X, kecerdasanmu, kecendekiaanmu, semua melebihi jendral­ jendral. Makanya kamu tetap di DPRRI sampai perubahan di era Reformasi. Sekarang, ABRI tanggal dari lembaga legislatif, karena memang tatanannya sudah berubah. Suka atau tidak, kenyataannya Reformasi sudah terjadi, memenangkan kelom­ pok pro­demokrasi yang dulu mengganggu konsentrasi kita. Nyata, Dhar, di tatanan yang berubah ini, kita mesti menye­ suaikan diri dengan zamannya. Yang saya sesalkan dari kamu, sebagai sahabat, kamu tidak ikut berubah dalam tatanan yang berubah ini. Bersamaan dengan itu juga, saya lihat kamu bah­ kan sengaja membiarkan dirimu masuk ke dalam masalah yang 673 www.bacaan-indo.blogspot.com jelimet ini. Sekarang, Dhar, menghadapi masalahmu itu, kamu harus juga menyiapkan diri dengan seorang pengacara yang bisa membelamu di pengadilan. Kamu harus tahu, pengacara yang menangani kasus Intan itu bukan sosok yang sepele. Dialah orangnya yang dulu pernah kita selidiki berpidato pro­ demokrasi di kampus UI Salemba.” “Dari mana kamu tahu?” “Intan yang mengatakan itu,” jawab Rachmat. “Makanya, Dhar, melihat bahwa pembela Intan yang akan memperkarakan kamu di pengadilan—dari kasus perceraian sampai kasus lain yang melatari kemauannya untuk cerainya itu—adalah ahli hukum yang pandai, maka saya ingin kamu pun mencari dan menemukan penasehat hukum yang bisa membela dirimu. Jangan lupa, Dhar, kamu sekarang bukan ABRI, bukan polisi, tapi sipil. Kamu tidak bisa bermain­main rekayasa seperti dulu.” “Saya tidak percaya.” “Jangan.” “Kenapa?” “Kamu mempersulit dirimu sendiri.” “Kalau kamu betul sahabat, kamu bisa menolong sesuai dengan kesepakatan kita dulu.” “Tidak juga, Dhar. Dua bulan lagi saya pensiun.” “Yang benar?”‘ “Itu benar, Dhar. Kita hidup di dalam waktu yang tidak bisa kita taklukkan. Usia kita harus menjadi bagian dari kodrat sekaligus takdir kita.” “Jadi, apa yang bisa kamu buat untukku?” “Saya tetap komit pada kesepakatan kita dulu itu. Saya bisa bantu memberi saran buatmu, seperti yang sudah saya sebut tadi, carilah dan temukanlah penasehat hukum yang bisa jadi pembelamu di pengadilan.” www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dharsana mengendor. Tampaknya dia sudah masuk ke alur persoalan yang diarahkan Rachmat. Katanya, “Tapi siapa?” Jawab Rachmat secepatnya, “Kakaknya Tahi ini.” Dan, kepada Tahi dia bertanya, “Siapa nama kakakmu itu?” “Saut Sihombing, Pak,” jawab Tahi. “Nah, itu,” kata Rachmat kepada Dharsana. “Mungkin kamu perlu Saut.” Dalam kesadaran akan keterbatasan yang sudah digambar­ kan oleh Rachmat, toh sifat sombong Dharsana tetap menonjol dalam kalimatnya berikut ini, “Kenapa saya harus merasa perlu?” Jawab Rachmat, “Pengadilan itu adalah arena sabung, Dhar, jangan lupa. Di dalam pengadilan pembela harus pandai, supaya dia memenangi sabung. Dan, di dalam tatanan yang berubah, para pembela seakan­akan mendapat angin untuk bicara kebenaran sesuai dengan hati nurani.” “Tatanan memang berubah, Mat, tapi toh yang namanya jaksa dan hakim adalah manusia­manusia yang tidak tahan hi­ dup dalam kemiskinan.” “Kok kamu masih belum bangun, Dhar. Berhentilah ber­ prasangka. Sekali lagi, tatanan sekarang sudah bukan seperti empat atau lima tahun lalu. Ada saatnya kita harus membuka diri, merenung hal­hal yang salah di masa lalu, dan memperbaiki sekarang untuk masa depan. Apa itu sulit buatmu?” Wajah Dharsana berubah tak curiah, terpencar dari hati yang memang menolak nasehat. Dia sendiri mengakui itu de­ ngan bangga. “Barangkali memang aku keraskepala, Mat,” kata Dharsana. “Soalnya aku memang bukan tape singkong. Manusia hanya sekali saja hidup. Persetan dengan reinkarnasi. Tidak ada pengertian yang sahih tentang kesalahan. Yang ada hanya dari sudut mana pertimbangan soal salah­benar itu dipandang. Aku 675 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo ingin berdiri dalam kodrat diriku. Kalau kamu anggap ini salah, setidaknya hatiku mengatakan aku benar.” Rachmat menyesal. “Aku hanya ingin bicara sebagai sahabat lama dengan keadaan yang kuranglebih sama. Sebab, seperti aku bilang, dua bulan lagi aku akan menjadi sipil juga. Di saat itu kita bukan lagi warganegara kelas satu. Kita, kamu dan aku, tidak bisa lagi seperti sebelum 1998. Itu sebabnya saya ingin melihat kamu berpandangan jembar.” “Apa saya kurang jembar?” “Mungkin. Tapi yang saya lihat, kamu tidak merasa kuatir menghadapi kasusmu.” “Memangnya apa yang harus dikuatirkan?” “Astaga, Dhar. Intan memang hanya ingin bercerai dengan kamu. Tapi, apa kamu tidak melihat lebih jauh ke depan, bahwa dengan membawa masalah cerai ke pengadilan dengan seorang pengacara—yang dulu merupakan macan dalam demonstrasi anti rezim militer di mana kita sama­sama menjadi bagiannya— maka masalahnya menjadi rumit, tidak enteng. Sebab, masalah yang semata­mata hanya penuntutan cerai, pasti bisa melebar ke alasan­alasannya yang akan terungkap secara verbal di sidang. Kamu toh tidak mungkin menghadapi masalahmu di persidangan tanpa seorang pembela yang cerdas dan cendekia.” “Lantas?” “Saya tidak bisa berbuat apa­apa, kecuali memberimu saran untuk memilih pembela yang cerdas dan cendekia itu. Sekali lagi, sidang pengadilan itu adalah arena sabung. Siapa yang cerdas dan cendekia yang bisa mengalahkan tuntutan.” Ketika Rachmat berkata begitu, pikirannya terikat pada kesadaran yang melengket dalam ingatannya, bahwa Dharsana sungguh berada dalam masalah besar. Bukan hanya kasusnya dengan Retno, tapi juga yang paling rawan adalah rahasia tentang isi majalah Australia itu. Terhadap saran dan nasehat Rachmat itu Dharsana 676 Remy Sylado berkata sekadar rasam, “Terimakasih sebesar­besarnya.” Memang, pikiran dan hati Dharsana tidak tulus ke situ. Pikirannya masih ajeg seperti tadi sebelum Rachmat ke sini, melamun tindakan curang. Berarak­arak kata ‘balas dendam’ di kepalanya atas peristiwa di rumah kayu­papan ketika dia disuruh keluar dari sana. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dengan dendam itu pada malam harinya dia menyetir sendiri mobilnya—berhubung Lukman sudah minta berhenti bekerja padanya—menuju ke tempat bilyar di Cikini. Ke sana dia mencari preman yang bernama julukan Bon Jovi. Dengan menemui preman ini maka jelas kata­kata bagus dari Rachmat tidak mendapat tempat di hatinya. Tadi, sepeninggal Rachmat di rumah Dharsana, ada juga prasangka itu di dalam dirinya. Rachmat bisa menyimpulkan dengan mudah, bahwa Dharsana menutup diri terhadap saran dan nasehatnya. Menyadari hal itu, pada malam yang sama ketika Dharsana meluncur ke Jakarta Pusat mencari Bon Jovi, Rachmat me­ nelefon Ibu Intan. Dia merasa kuatir akan keselamatan Ibu Intan. Mengapa timbul perasaan itu di hatinya, dia sendiri tidak merasa perlu mencari alasannya. Begitu dia berkata kepada istrinya. “Saya merasa perlu menelefon Intan,” katanya. “Ada apa?” tanya istrinya. “Saya tidak percaya pada Dharsana,” jawabnya. “Tiba­tiba saya menaruh curiga berat pada Dharsana.” Hubungan telefon tersambung dengan Ibu Intan. Dan begitu Ibu Intan yang kebetulan mengangkatnya sendiri di rumahnya, berkata Rachmat dengan nada bicara yang gamak, “Mbakyu, kalau ada tempat lain yang bisa Mbakyu manfaatkan 677 Hotel Pro deo untuk tempattinggal sementara di luar rumah kayu­papan, lebih baik Mbakyu menyingkir dulu sampai sidang dimulai.” Ibu Intan syak. “Ada apa, Mas?” “Ya, Mbakyu, sekadar tindakan preventif,” jawab Rachmat. “Saya kenal betul tabiat Dharsana.” “Baiklah, Mas,” kata Ibu Intan. “Terimakasih.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Rachmat betul tentang Dharsana. Dharsana menemui Bon Jovi di saat yang sama ini memang untuk pekerjaan jahat. Dari dalam ruang bilyar Dharsana mengajak Bon Jovi ke kedai kopi di beberapa petak sebelah kanannya, langsung bicara bisik­ bisik dengan muka yang mewakili jiwa iblis, “Ada pekerjaan buat kamu. Tapi, saya ingin kamu melakukannya dengan pintar, tidak tolol seperti Todung.” Bon Jovi menunduk­nunduk, “Baik, Pak Bos,” katanya, dan aneh, dia tidak berprasangka apa­apa mendengar omongan Dharsana yang kepalang menyebut nama Todung yang sudah hilang itu. Mestinya, kalau Bon Jovi pintar, dia bisa curiga menerima pekerjaan dengan ancaman “jangan tolol seperti Todung.” Kalau dia cerdas, harusnya dia bisa menyimpulkan bahwa hilangnya Todung tersebut niscaya berhubungan dengan pernyataan Dharsana yang baru terucapkan ini. Tapi, memang, karena Bon Jovi preman yang seperti kebanyakan manusia dari kelas pelaku­pelaku kejahatan yang mendapat order dengan upah tertentu dalam jumlah yang bahkan tidak wajar, demikian Bon Jovi tidak berpikir sampai ke situ. Otaknya tidak punya cukup alasan untuk dibilang mampu berpikir wajar. Barangkali ukuran otaknya hanya sebesar sendok teh. Tapi Dharsana percaya kepadanya untuk melakukan pekerjaan jahat ini. Menerima kata­kata Dharsana tentang “ada pekerjaan 678 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado buat kamu”, ditanggapi Bon Jovi dengan pertanyaan yang diucapnya dengan bisik­bisik pula dan girang, “Pekerjaan apa, Pak Bos?” Jawab Dharsana, “Pekerjaan yang gampang. Tidak pakai reka­rekaan seperti dulu terhadap anaknya.” Dahi Bon Jovi kerung. “Siapa, Pak Bos?” “Ya,” kata Dharsana setengah menyentak dalam suara bisik­bisiknya. “Dulu anaknya. Dan pekerjaan menyelesaikan anaknya itu atas usul Todung, berbelit­belit, maunya sok pin­ tar, tapi tetap saja bodoh. Sekarang, terhadap ibunya harus sederhana, singkat, tidak usah jelimet.” Berkerut dahi Bon Jovi mendengar omongan Dharsana, kelihatannya berpikir. Jadi, walaupun tergolong IQ jongkok, dengan berkerutnya dahinya itu, maka Bon Jovi rambang juga, menduga­duga siapa orang yang dimaksudkan Dharsana untuk dilakukan “pekerjaan” tersebut. Sederhana pertanyaan yang terucapkan di mulutnya. Katanya, “Yang Pak Bos maksudkan itu siapa?” “Perempuan yang tinggal di rumah kayu­papan,” jawab Dharsana. Bon Jovi kaget, seakan tak yakin, maka dua huruf yang diucapnya berikut terdengar ragu. “Lo?” Dharsana geram. “Sudah!” sentaknya. “Tidak usah pakek ‘lo’ segala lu. Nanti pelaksanaannya akan saya kasih tahu kamu kalau saya sudah ketemu caranya. Ngerti?” Bon Jovi menunduk­nunduk di kursinya. “Ya, Pak Bos, iya,” katanya. “Dan, sekali lagi, laksanakan dengan bagus. Jangan tolol seperti Todung.” “Ya, Pak Bos.” “Sekarang, tentukan siapa orang yang akan bekerja dengan kamu. Besok kabari saya.” “Baik, Pak Bos.” 679 www.bacaan-indo.blogspot.com 123 Rachmat sendiri pun tinggal menunggu waktu­waktu terakhir meninggalkan kantornya di Jl. Trunojoyo, dan menjadi sipil sebagai sosok mantan perwira tinggi yang relatif bersih. Bersamaan dengan itu Tuminah, kembaran Juminah, su­ dah bertugas di Jakarta, dan pagi menjelang siang datang ke ruang kantor Rachmat, memperkenalkan diri. Arkian, dalam pertemuan pertama ini, Rachmat sempat terbengong beberapa saat, memandang Tuminah dengan heran. Seakan­akan Rachmat tidak percaya melihat perempuan beruniform polisi, lengkap dengan pangkatnya, berdiri di depan meja kerjanya. Baru saja tangan Tuminah terangkat di depan wajahnya, memberi hormat kepada Rachmat, yang disebut berkata, “Lo? Kamu memakai uniform polisi juga?” Tuminah menjadi rikuh dan heran juga. “Ya, Pak. Kenapa, Pak?” kata dia. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya, ya,” kata Rachmat, “Apa urusannya kamu pakai uniform itu?” Tuminah berdiri dengan sikap tegak. “Siap, Pak,” katanya. “Saya baru dipindahkan dari Polda Jatim ke sini, menjadi staf Bapak.” “Apa tidak salah?” “Tidak salah? Tidak salah apa, Pak?” “Saya lihat kamu tiga hari lalu di rumah Ibu Intan.” “Ibu Intan?” “Ya. Ibu Intan. Ibu­ibu yang mau bercerai dengan suami­ nya.” “Ibu Intan itu siapa, Pak?” “Kan kamu yang jadi penasehat hukumnya.” Baru Tuminah paham. Begitu mendengar kata “penasehat hukum”, tahulah Tuminah, bahwa Rachmat memaksudkan Juminah kembarannya. “O, ya, Pak, itu Juminah, saudara kembar saya,” kata Tuminah sambil menunjukkan tulisan namanya di dadanya. “Saya Tuminah, Pak.” Rachmat ngeh. Dia tertawa. “Jadi, kamu kembar?” katanya sambil berdiri dari kursinya, memperhatikan Tuminah, memba­ ca nama di dadanya, lantas mengangguk­angguk. “Tuminah?” “Ya, Pak.” “Namamu kok desa banget,” kata Rachmat. Tuminah tersenyum bangga. “Ya, Pak. Saya memang orang ndeso, Pak,” katanya. “Ndeso, tapi tidak ndesani.” Rachmat terbahak. Berjalan berputar di belakang Tuminah, lalu berdiri di sebelah kanannya. “Menyenangkan,” katanya menepuk punggung Tuminah, memperlakukannya seperti terhadap anak. “Saya sudah kenal kembaranmu.” “O, ya, Pak?” 681 Hotel Pro deo “Sebelum Mai 1998 kembarmu itu termasuk orang yang dibidik karena dianggup mengasut­asut pro­demokrasi.” Tuminah tersenyum alakadar. Katanya dalam nada yang sangat sosial, “Sekarang kan bukan 1998 lagi, Pak?” Rachmat tertawa, tidak menanggapi, tapi buru­buru mengulurkan tangan, menyalam. “Selamat bertugas di jajaran kita,” katanya. “Terimakasih, Pak,” kata Tuminah. Rachmat berjalan kembali ke kursinya sambil berkata, “Kasus yang akan ditangani kembarmu itu termasuk bisa meng­ hebohkan. Kalau kamu bisa bekerjasama dengan kembarmu itu, itu baik.” “Ya, Pak.” Setelah itu Tuminah terpinga­pinga, berpikir­pikir, dan segera menyimpulkan bahwa perkara yang akan ditangani Juminah itu memiliki nilai kebenaran yang menonjol untuk ditangani dengan baik. Nanti Tuminah akan sampaikan itu kepada Juminah sembari bertanya­tanya sendiri di dalam hati, mengapa Rachmat begitu merasa terbantun pada kasus itu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tuminah menceritakan itu kepada Juminah. Setelah empat hari berada di Jakarta, baru Tuminah bertemu dengan Juminah. Itu setelah Tuminah menelefon Juminah untuk bertemu hari Minggu pagi di Nehemiah, kanisah Jawi sebelah Carrefour, Lebak Bulus. Dari kanisah mereka ke toserba milik Prancis tersebut, membeli ikan kakap hidup dan bumbu­bumbunya yang bakal mereka bikin masakan kuah. Di rumah Tuminah yang tak jauh dari sini—arah selatan, belok kanan, dan tempatnya di sebelah kiri—sambil mengiris­ iris ikan, Tuminah bertanya kepada Juminah soal Intan yang diketahuinya dari Rachmat. 682 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Siapa sebetulnya Ibu Intan itu?” tanya Tuminah. “Atasan­ ku bilang perkaranya itu bisa menghebohkan. Kenapa?” “Dia itu istri Dharsana, kombes yang pernah aku tanyakan sama kamu dulu,” jawab Juminah. “Sekarang aku tahu, Dharsana itu sahabat Rachmat, orang yang menjadi saksi dalam perkawinan Ibu Intan. Kalau Rachmat, atasanmu itu, mengatakan bahwa perkara ini bisa mengebohkan, memang ya, sebab Dharsana membunuh anaktirinya, Marc, yaitu anak­ kandung Intan dengan suami pertamanya Margaux, diplomat Prancis yang tewas di Angola. Cara Dharsana membunuh anaktirinya itu berbelit, menggunakan tangan petinju songong KC, dengan memperalat pacar Marc, Mayang, yang sekarang gila dirawat di rumahsakit Kramat, Magelang. Mungkin sekali yang dimaksudkan Rachmat atasanmu itu sebagai sesuatu yang menghebohkan, sebab di luar yang berhubungan dengan Intan, agaknya Dharsana masih punya catatan kriminal lain yang selama ini tersembunyi tapi diketahui betul oleh Rachmat. Sampai saat ini, yang baru aku simpulkan dari beberapa wawancara dengan sejumlah orang, Dharsana menjadi rusak selain karena bawaannya—yang menyebabkan DB­nya dipleseti sebagai ‘doyan banget’—juga karena selingkuhannya Retno, wanita ambisius, istri bankir Iskandar, sekarang sudah gila juga. Retno itu diperalat oleh Dharsana untuk membunuh Iskandar karena sebidang tanah di Jepara. Pelaksanaan pembunuhan­ nya disaksikan oleh petinju KC. Nah, itu semua benangmerah kasus Dharsana yang sudah aku punyai.” “Hm.” Tuminah juga biasa ber­hm seperti Juminah. “Bagaimana pendapatmu?” tanya Juminah. “Ruwet banget sih.” “Aku benar­benar mendapat tantangan untuk menembusi tirai yang ruwet itu.” 683 Hotel Pro deo “Lanjutkan. Aku mendapat kesan dari Rachmat, bahwa dia capek melihat kelakuan Dharsana. Dia mengharapkan aku bisa membantu kamu.” “Apa dia bilang begitu?” “Garis besarnya begitu.” “Baguslah. Tadinya aku berprasangka, sebab aku tahu Dharsana itu sahabat Rachmat.” Mereka omong­omong begini sambil sama­sama menyi­ apkan sop ikan dengan bumbu jahe, cabe, daun sereh, daun jeruk—yang membuat ikan tidak hanyir tapi gurih—sampai matang. Setelah itu, sambil makan di meja kecil yang hanya bisa menampung dua kursi, mereka terus membicarakan peri perkara yang bakal ditangani Juminah. Kata Juminah, “Aku bertekad harus memenangkan Ibu Intan dan mengirim Dharsana ke Hotel Pro Deo. Aku terkesan pada kepribadian Ibu Intan. Orangnya sederhana, padahal kaya, ayu, anggun, luwes, dan untuk banyak hal sangat wigati.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ketika Ibu Intan meninggalkan rumah kayu­papan, dia lupa mengatakan kepada Juminah, bahwa sekarang dia berada di vilanya, La Joli, di kawasan Cimacan wilayah Cianjur, yang dulu sejuk sekali tapi sekarang sudah berkurang—kata orang­orang pintar yang segera menjadi bahasa kakilima, sebagai akibat dari “global warming”—sehingga pada malam hari pun orang tidak lagi memakai heater tapi malah memasang kipasangin. Demi mengingat bahwa dia lupa mengatakan dirinya sekarang menyingkir dari rumah kayu­papan ke vilanya di Cimacan ini, maka dia pun menelefon Juminah. “Maaf, saya lupa mengatakan pada Mbak, saya menyingkir dulu di daerah Cimacan,” kata Ibu Intan. “Tapi, kalau Mbak mau menghubungi saya, ini nomer ponsel saya.” 684 Remy Sylado “O, ya, ya, saya akan simpan nomer Ibu,” kata Juminah. “Kalau sudah pasti waktunya, saya akan kontak Ibu. Paling lambat Senen pekan depan, Bu,” “Baik,” kata Ibu Intan. “Bertenang­tenang saja di sana, Bu.” “O, ya, ya, di sini memang tenang. Sambil bertenang­ tenang begini, saya membaca. Saya sedang membaca novel Stephen King terjemahan Indonesia. Sayang terjemahannya kurang bagus. Ini memang kekurangan dari karya terjemahan. Penerjemah selalu melakukan terjemahan sebagai ‘translasi’, padahal itu tidak mungkin, sebab latar budaya yang berbeda mestinya diperhatikan.” “Hm.” Juminah tertarik mendengar itu. Rasanya seperti berada di dalam sebuah seminar bahasa. Maka, Juminah pun merasa sangat wigati untuk bertanya. “O, ya, terjemahannya bagaimana, Bu?” “Lebih pas terjemahan untuk karya tulis kreatif, katakan­ lah sastra, bukan ‘translasi’, tapi ‘transkreasi’.” “Hm.” Juminah tertegun. Dia senang mendengar pengetahuan yang dimiliki Ibu Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 685 www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 122 SELEPAS subuh Ibu Intan menyuruh Hutami siap­siap be­ rangkat ke Cimacan, berteduh­teduh di vilanya La Joli . “Jangan lupa bawa barang­barang yang kita perlukan di sana,” katanya. Dia sendiri tidak lupa membawa beberapa buku fiksi Amerika terjemahan Indonesia yang baru dibelinya kemarin di toko buku dalam Mal Pondok Indah. Sebelum fajar menyingsing, mobil dengan tiga orang—Ibu Intan, Hutami, dan Mimit—meluncur ke selatan, melewati jalan tol Jagorawi, ke atas, di jalan mendaki dan bertikung­tikung di perkebunan teh, berhenti di Puncak Pas, sarapan di restoran hotel sebelah kiri tikungan turun. Nanti, besok atau lusa, ketika Dharsana berpikir telah menemukan cara untuk menghabisi Ibu Intan, dan memercaya­ kan tugas itu pada Bon Jovi dan kedua keparat temannya, dia 687 Hotel Pro deo akan kecele, sebab tak berhasil menemui sasarannya itu di rumah kayu­papan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dharsana menyuruh Bon Jovi dan kedua keparat, yang diharapkan sanggup melakukan tugas jahat itu, datang pa­ da siang hari—ketika Ibu Intan sudah berada di vilanya di Cimacan—untuk diberinya pengarahan. Dharsana berpikir cara paling tepat melakukan kejahatan itu sesuai dengan keadaan Jakarta belakangan ini, ketika jurang kaya­miskin menjadi pemicu paling rawan ke arah kekerasan: perampokan, penodongan, pencopetan, tawuran, pemerasan, pelecehan seksual, perkelahian massal, pengeroyokan, dan se­ terusnya. Sebagai bekas polisi Dharsana tahu betul langkah­ langkah itu. “Jadi, begini,” kata Dharsana di ruang tengah rumah Tebet yang mejanya disinari lampu lima wat itu. “Pura­puranya kalian merampok di rumah itu. Jadi, kalian ambil empat lukisan di dalam WC. Copot bingkainya, copot spanramnya, gulung kanvasnya, setelah kalian selesai membunuh perempu­ an pemilik rumah kayu­papan itu. Jadi, kalau nanti polisi me­ meriksa itu, polisi akan menyimpulkan, bahwa perampok yang merampok itu memang bertujuan mengambil lukisan­lukisan itu. Ngerti?” Ketiga bajingan mengangguk lantas menundukkan kepala. “Kalian harus masuk ke pekarangan rumah itu sekitar jam 02.00,” kata Dharsana. “Biasanya perempuan pemilik rumah itu melilir pada jam 03.00. Di saat dia ke WC itulah, kalian sergap lantas bunuh. Ngerti?” Lagi ketiga bajingan mengangguk lantas menundukkan kepala. 688 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Tidak ada pertanyaan?” tanya Dharsana. “Tidak, Pak Bos.” Dan dua cum­suisnya ikut mengulang kata­kata yang baru diucapkan Bon Jovi. “Kalau begitu, laksanakan malam ini juga,” kata Dharsana, melotot kepada ketiganya. “Laksanakan dengan pintar. Jangan bodoh seperti Todung. Ngerti?” Lagi Dharsana sudah mengulang pernyataan tentang Todung, dan kelihatannya Bon Jovi tidak menaruh prasangka apa­apa. Apa betul Bon Jovi terlalu bodoh, sehingga dia ti­ dak sanggup menyimpulkan bahwa hilangnya Todung dari ‘peredaran’ berkaitan dengan kasam yang tersirat dalam bahasa ancam Dharsana. Bon Jovi memandang Dharsana dengan kepala agak tun­ duk, menunjukkan dirinya telah mengerti apa yang dimaui Dharsana, sambil menunggu tindakan atau omongan tertentu yang diinginkannya untuk dikatakan juga oleh Dharsana tanpa dia melisankannya. “Ngerti, Pak Bos,” kata Bon Jovi diikuti dengan angguk­ angguk kedua temannya. Kemudian Dharsana mengeluarkan uang satu juta rupiah—astaga, hanya satu juta—ditaruhnya di atas meja, pas di depan Bon Jovi. “Segitu dulu,” kata Dharsana. “Ke sini besok pagi setelah selesai. Nanti saya tambah lagi segitu.” Ketiga jahanam itu saling pandang, kemudian mengangguk kepala kepada Dharsana, menyukai pekerjaan dengan imbalan yang tidak masuk akal bagi yang berakal sehat. “Ya, Pak Bos,” kata mereka bersamaan. *** 689 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Apa mau dikata, ketiga bajingan suruhan Dharsana ini memang harus gigitjari, tidak menemukan siapapun di rumah kayu­papan, kecuali hanya Ujang. Kata Ujang kepada mereka, “Ibu bersama Hutami dan Mimit menyingkir ke daerah Cianjur.” “Di mana alamatnya?” tanya Bon Jovi sembari menampar menempeleng. “Aduh, tidak tahu,” kata Ujang menyembah­nyembah. Bon Jovi tahu, dia tidak bisa memaksa. Maka, bersama dua temannya dia meninggalkan rumah kayu­papan tanpa hasil. Dan, karena tugasnya membunuh, dan orang yang mesti dibunuh itu tidak ada, maka bersama temannya itu dia segera pergi meninggalkan rumah kayu­papan tanpa berpikir mencuri keempat lukisan di WC. Dia tidak pernah tahu bahwa ukuran elit, gengsi, dan kayanya seseorang di Jakarta saat ini, dipandang dari koleksi lukisannya yang ada di dalam rumah, bukan dari mobilnya yang terlihat di jalan­jalan raya kota. Maka, dengan tangan kosong Bon Jovi dan teman­ temannya itu datang ke rumah Tebet pada pagibuta, melapor pada Dharsana tentang keadaan nyata yang mereka hadapi. Dharsana geram, kecewa, makanbawang. Setelah sekian menit termangu­mangu, teringa­inga, akhirnya dia berprasangka terhadap seseorang di balik ini semuanya. Ini ditimbang­ timbangnya dari kalimat Ujang yang ditirukan oleh Bon Jovi: “Ibu bersama Hutami dan Mimit menyingkir…” Dia berpikir: “Istilah ‘menyingkir’ itu mengandung arti, ada orang lain yang menyuruhnya untuk jangan tinggal di rumah kayu­papan. Berarti orang yang menyuruh Intan itu mengerti betul gerakan kepolisian atau kemiliteran. Apa orang itu Rachmat?” *** 690 Remy Sylado Demi mengingat nama Rachmat, maka dengan cadangan dengki yang memboboti hatinya yang kayu yang batu itu, Dharsana langsung mengangkat telefon, mengontak Rachmat yang siap­siap berangkat dari rumahnya ke Trunojoyo. “Mat, kamu tahu Intan ada di mana?” kata Dharsana, tak bisa menyembunyikan rasa gagalnya. Rachmat sendiri segera bisa menyimpulkan kesan perasaan gagal itu dalam langgam bicara Dharsana. Tapi jawab Rachmat bersifat semadyanya, “Wah? Mestinya kamu dong yang lebih tahu.” “Tidak,” jawab Dharsana. “Apa kamu sudah ke rumah kayu­papan?” tanya Rachmat. Dharsana waham. Dia syak, pertanyaan Rachmat itu bisa menjebak. Maka, dia tahu cara menjawab yang cerdik. “Aku mau ke situ, tapi aku ragu.” “Oh?” Rachmat jeda sejenak, kemudian berkata dengan cergas, “Kalau ragu, ya, tidak perlu dulu ke situ. Aku rasa itu akan menjadi sikap yang bijak darimu.” “Ya,” kata Dharsana, tapi tetap penasaran, tetap berpra­ sangka pada Rachmat, bahwa Rachmat yang menyuruh Intan ‘menyingkir’ ke suatu tempat di wilayah Cianjur yang tidak pernah diketahuinya selama menjadi suami Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 691 www.bacaan-indo.blogspot.com 125 Dharsana judeg sekali terhadap bajingan­bajingannya. Dia menyuruh Bon Jovi dan cum­suis­nya harus datang di rumah Tebet pada jam 10.00, tapi sampai satu jam, dua jam, tiga jam, orang­orang yang ditunggunya itu belum juga nongol. Maka, panas benar hati Dharsana, merasa dirinya diabai­ kan, disepelekan. Panas hatinya berimbang dengan panasnya matahari Jakarta. Padahal matahari Jakarta konon, panasnya melebihi matahari di kota­kota besar lain antero Indonesia: bercampur dengan polusi asap knalpot bus, truk, mobil, motor, yang pating klumpruk di sini (dan itu bisa dilihat kotornya di bendera­bendera depan gedung­gedung pemerintah ataupun swasta sepanjang jalanan­jalanan protokol: merah­putih telah berubah menjadi marun­oker). Karena panas, terasa sumuk di dalam rumah, yang kebetulan pula listriknya padam—karena aksi sepihak PLN—sehingga www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado alat­alat pendingin, AC dan fan, tak berfungsi; maka Dharsana pun memilih duduk berangin­angin di luar, menunggu dengan tampang terbembeng seperti nangka busuk berbelatung. Dharsana mengangkat sendiri kursimalasnya, membawa ke luar, ke halaman belakang di mana sebuah pohon beringin merindanginya, menutup seluruh bidang tanah. Di situ dia berbaring, seperti tidur, padahal sebenarnya dia tidak mungkin tidur dalam keadaan panas hati, berbareng dengan otaknya suntuk berpikir, ke mana sesungguhnya Ibu Intan pergi me­ ninggalkan rumah kayu­papan. Selang seperempat jam setelah terbaring di kursimalasnya itu, ponsel di sakunya berbunyi. Yang mengontak Bon Jovi di luar rumah. “Pak Bos, kami sudah ada di depan rumah,” katanya. “Masuk saja,” kata Dharsana menyentak sambil tetap ber­ baring di kursimalasnya. “Pintu tidak dikunci. Saya di belakang.” “Ya, Pak Bos.” Bon Jovi masuk bersama jahanam lainnya—kini menjadi empat orang—menemui Dharsana di belakang yang sengaja tidak mau bangun dari kursimalasnya itu. Dengan tetap berbaring begitu Dharsana tampak cuek terhadap Bon Jovi dan kawanannya itu. Tapi ada sesuatu yang tak disadari Dharsana. Dalam hal ini Dharsana memang cerdik, dan betapa dekatnya kata cerdik dengan licik, namun kali ini dia melakukan sesuatu yang ceroboh, menyuruh Bon Jovi dan teman­teman bedebahnya masuk ke halaman belakang rumah. Sebab, nanti mata Bon Jovi akan melihat sesuatu yang ganjil di situ. Bon Jovi mungkin tidak terlalu pintar juga dibanding de­ ngan Todung yang dikata­katai tolol oleh Dharsana. Walau begitu, mata Bon Jovi sanggup melihat hal­hal yang aneh atas keadaan tanah kebun. Dharsana tidak pernah tahu latarbelakang 693 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Bon Jovi sebelum menjadi bajingan di Jakarta. Bahwa Bon Jovi adalah orang kampung dari desa sekitar Subang yang keluar­ ganya semua peladang dan pekebun, dan karenanya pengeta­ huannya tentang tanah dan tanaman lumayan melengket dalam ingatannya. Dia segera melihat keganjilan di belakang kursimalas Dharsana. Di belakangnya itu tampak gundukan tanah yang bagian tengahnya amblas dan di atasnya ada dua pot besar tanaman anthurium yang terbiar­biar. Kalau di dalam tanah itu pernah dipendam bangkai hewan, tentunya itu bukan an­ jing berukuran kecil seperti jenis terrier atau spaniel atau chihuahua, tapi barangkali anjing yang berukuran lebih besar dari greyhound, sebab onggokan yang amblas itu menyolok sekali besarnya. Sayang, Bon Jovi tidak tahu, bahwa yang ada di dalamnya sana itu adalah mayat manusia, temannya, Todung, yang sudah sekian tahun menjadi tanah di situ. Bon Jovi maju mendekati Dharsana dengan perasaan yang biasa, antara takut­takut dan sungkan, berjalan dengan kepala mengangguk­angguk. Sebelum dia bicara apa­apa, keburu Dharsana membentak, memarahinya. “Hei, tolol!” seru Dharsana, bangkit dari tidurannya, lantas duduk di kursimalasnya itu, sambil menunjuk­nunjuk arloji di tangan kirinya. “Lihat ini! Sudah jam berapa ini? Kamu disuruh datang jam sepuluh, malah munculmu sudah hampir jam tiga. Pakek jam apa sih kamu? Jam Mesir? Jam Turki? Hah?” “Maaf, Pak Bos, jalanan di mana­mana macet, ada demon­ strasi,” kata Bon Jovi. Mendengar kata ‘macet’ dan ‘demonstrasi’, kemarahan Dharsana menurun. Dia pasti tahu, seperti semua orang di Jakarta memahami arti ‘macet’ dan ‘demonstrasi’. Memang, se­ telah makzulnya Bapak Pembangunan, telah menjadi mode dan gaya hidup Jakarta: orang­orang menunjukkan muka­muka 694 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado sangar marah di jalanan sambil mengibar­ngibarkan bendera dan panji golongannya, berteriak­teriak mengkritik kebijakan pemerintah yang justru dirasa tidak bijak. Dan, gambaran umum orang di Jakarta atas kata ‘macet’ dan ‘demonstrasi’ di zaman setelah Presiden Kedua lengser, adalah jalanan ter­ sumbat dengan dua ciri sosial yang menyolok: pertama, pihak penggerak demonstrasi yang membagi­bagi uang kepada para demonstran merasa girang telah berhasil memberdayakan se­ kaligus memperdayakan orang miskin menyuarakan protes; dan kedua, pihak pengguna jalan yang membayar tol merasa rugi lantas bersungut­sungut sebab macet berarti membuang­ buang bensin sembari kemeng dan capek menginjak­injak pedal kopling, gas, dan rem mobilnya. Memahami itu, maka berkata Dharsana dengan jengkel, “Ya sudah. Sekarang bilang, bagaimana laporanmu soal tugas mencari tempat sembunyi perempuan dari rumah kayu­papan itu.” (Bayangkan belegugnya Dharsana, dia menyebut Ibu Intan sebagai ‘perempuan dari rumah kayu­papan’). “Maaf, Pak Bos,” kata Bon Jovi. “Tapi saya janji, malam ini juga, saya sudah dapat jawabannya.” Dharsana menguji kemampuan Bon Jovi. Katanya, “Bagai­ mana caranya kamu mendapat jawabannya itu.” Pernyataan Bon Jovi berikut ini sangat berkasad me­ nyenang­nyenangkan bos. Kalimatnya hanya bisa dirasa dalam bahasa Sunda. Katanya, “Teu langkung ti Bapak we.” “Ya, sudah,” kata Dharsana tak paham, tapi kira­kira mengerti arah bicara Bon Jovi itu, bahwa yang disebut ini menghormatinya karena takut. “Laksanakan. Dan kalian tahu cara menyelesaikannya.” “Baik, Pak Bos,” kata Bon Jovi, menunduk kepala, dan sekali lagi matanya melihat gundukan tanah yang amblas itu, 695 lantas bergerak mundur­mundur beberapa langkah, kemudian berputar, dan keluar. Sebelum Bon Jovi dan teman­temannya keluar, dari kursi­ malas di latar depan onggokan tanah itu Dharsana berseru kepada mereka, “Tutup lagi pintunya.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Setelah menutup pintu rumah, dan termasuk juga menutup gerbang di depan, Bon Jovi dan teman­teman bedebah itu naik ke Toyota Hardtop berwarna merah lombok menuju ke tempat bilyar di Cikini. Sepanjang perjalanan dari Tebet ke sini, mereka bicara soal cara melaksanakan kerja kejahatan, yang harus beres nanti malam, dan sebetulnya mereka sendiri pun masih tidak yakin bisa menuntaskannya. Dari ucapan Bon Jovi sendiri terlihat keraguan itu. “Tidak mungkin kacung di rumah kayu­papan itu tidak tahu alamat majikannya. Tapi kita sudah paksa dia, dan dia tetap tidak mau mengaku.” “Begini saja,” kata salah seorang yang tampangnya paling jelek, sehingga sulit dirinci dengan memakai pegangan beberapa jenis penghuni Ragunan. “Kita bisa ke kantor telkom, melihat catatan masuk dan keluarnya hubungan telefon di rumah itu. Dari situ kita bisa mencari lokasinya. Pasti kacung di rumah kayu­papan sering membuat hubungan dengan majikannya. Begitu juga majikannya selalu membuat hubungan dengan kacung itu.” Bon Jovi senang. “Ya, itu betul,” katanya. Tapi seorang lainnya menyelang. “Kita baru bisa ke kantor telkom besok pagi. Apa yang bisa kita bikin malam ini?” Bon Jovi menggaruk­garuk kepala sebagaimana kebiasaan orang Indonesia menghadapi masalah. “Padahal Pak Bos ingin malam ini juga kita harus menuntaskan tugas kita ini,” katanya. “Artinya kita harus mendapat alamat ibu itu malam ini Remy Sylado juga,” kata si tampang jelek. “Ya,” jawab Bon Jovi. “Kalau begitu, begini saja, Bon,” kata si tampang jelek. “Kita suruh kacung rumah kayu­papan itu menelefon majikannya. Dengan begitu kita bisa tahu lokasinya.” “Lantas?” tanya Bon Jovi. “Begitu tahu nomer telefonnya, kan kita bisa lacak.” Bon Jovi mengangguk­angguk, walaupun dia tidak se­ penuhnya mudeng yang dikatakan temannya itu. Toh dia ber­ kata dengan sok­wibawa sebagai pemimpin, “Ya, sudah, kita laksanakan nanti malam.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 697 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 124 UJANG sendiri ketar­ketir menghadapi hari­harinya. Dalam dua hari ini dia sudah beberapa kali mencoba mengontak Ibu Intan di nomer ponselnya—untuk mengatakan tentang “kawanan perampok” yang telah masuk ke rumahnya tapi tidak jadi merampok di rumahnya itu—namun nomer ponsel Ibu Intan selalu tidak terhubungi sebab tidak ada jaringan di sana. Baru setelah Ibu Intan sendiri menelefon Ujang dengan nomer telefon rumah yang tidak diketahui Ujang, maka Ujang pun melapor kepada Ibu Intan tentang “kawanan perampok” tersebut, “Bu, dua hari lalu ada kawanan perampok masuk ke rumah ini,” kata Ujang. Ibu Intan tergegau. “Lantas?” “Iya, Bu, kawanan perampoknya menyiksa saya. Saya di­ gebug, ditendang, disiksa…” “Terus? Yang dirampok apa?” 698 Remy Sylado “Justru itu, Bu, kawanan perampok itu tidak jadi me­ rampok.” “Lo? Apa maksudmu mengatakan: ‘kawanan perampok itu tidak jadi merampok’?” “Iya, Bu, benar. Kawanan perampok itu marah­marah se­ bab saya bilang: tidak tahu Ibu ada di mana.” Ibu Intan termangu. Rasanya dia menyimpulkan sesuatu dengan pandai. Katanya dengan suara datar, dan hanya dia sendiri pula yang bisa mendengar, “Berarti mereka bukan pe­ rampok.” Sekarang dia paham, mengapa Rachmat menyarannya un­ tuk meninggalkan rumah kayu­papan, menyingkir di vila La Joli, Cimacan. Sesaat dia menyerana di kursinya, membayang­bayangkan peristiwa itu, kemudian berdiri setengah meloncat, mengangkat telefon, merasa harus mengatakan ini secepatnya kepada Rachmat. “Mas, ada berita aneh,” katanya. “Rumah saya dirampok, tapi perampoknya cuma memukul Ujang, bertanya saya ada di mana, lalu pergi tanpa merampok apa­apa.” Dengan cepat dan tepat Rachmat menyimpulkan, “Itu arti­ nya, perampok itu bukan perampok.” Pikiran Rachmat langsung ke Dharsana. Dia segera ter­ ingat akan pertanyaan Dharsana tentang di mana Ibu Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Manakala Rachmat langsung berpikir bahwa Dharsana ada di balik cerita tentang “perampok yang tidak merampok” tersebut, maka di menit yang sama ini Dharsana sedang me­ lakukan hubungan telefon juga dengan Bon Jovi. Dharsana menyuruh Bon Jovi datang ke rumahnya di Tebet untuk mengatur operasi yang harus dilakukan oleh ban­ dit­bandit itu malam nanti. 699 Hotel Pro deo “Datang sekarang juga,” kata Dharsana kepada Bon Jovi. “Jam 10.00 kamu sudah harus ada di rumah Tebet.” “Ya, Pak Bos,” jawab Bon Jovi. *** www.bacaan-indo.blogspot.com Tidak salah Rachmat berpikir bahwa “perampok yang tidak merampok” itu adalah orang­orang bodoh yang dipercayai oleh Dharsana untuk melakukan tindakan kejahatan. Maka, masih dalam hubungan telefon dengan Ibu Intan, Rachmat berkata, “Mbakyu harus hati­hati. Jangan dulu kem­ bali ke rumah kayu­papan. Nanti saya atur dengan bawahan saya yang pintar, Tuminah, untuk mengawasi rumah kayu­ papan. Saya kok kuatir orang­orang suruhan Dharsana akan kembali lagi ke rumah kayu­papan dalam waktu dekat ini, mungkin malam nanti, mungkin juga besok. Jadi, lebih baik Mbakyu jangan berada dulu di rumah kayu­papan.” “Ya, Mas,” kata Ibu Intan. “Sesuai dengan saran Mas, saya ngisis di Puncak,” “Itu bagus,” kata Rachmat. “Lebih baik Mbakyu di sana saja, sampai waktunya aman, diurus oleh pengacara yang Mbakyu pilih itu. Kebetulan, Juminah adalah saudara kembar Tuminah, polisi pintar yang saya sebut itu. Biar Tuminah yang saya suruh mengawasi rumah kayu­papan.” “Apa perampok­perampok itu akan kembali?” “Saya kira, ya. Dan, saya ingin Tuminah menangkap mereka untuk mengaku, bahwa Dharsana yang menyuruh mereka.” *** Ketika Rachmat berkata begitu dengan pasti sekali, me­ mang dia tidak bisa lagi mempertahankan janji dan kesepakatan masa teruna dulu tentang persahabatannya yang langgeng de­ ngan Dharsana. Dia tidak bisa mempertahankan itu, sebab 700 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado dia yakin pikirannya berubah karena hatinya tidak mathuk dengan tindakan­tindakan Dharsana yang makin ngawur. Dengan hatinya itu dia merasa kecewa pada Dharsana, melihat Dharsana yang makin tua bukan makin baik, tapi sebaliknya makin jahat. Tak ayal hati Rachmat sekarang mesti tegas mengambil jarak dengan Dharsana. Baginya ini suatu kewajiban yang bersifat sukarela untuk menentukan pilihan tegas ini. Sebab dia percaya, tanpa harus mengatakannya, bahwa sang waktu berubah, dan cepat atau lambat, hati pun niscaya berubah juga di dalamnya. Perpisahan hati dengan hati telah menjadi isyarat alam yang laras dengan perubahan jarum jam. Maka dia panggil Tuminah menghadapnya di ruangkerja­ nya untuk membahas masalah ini. “Saya minta kamu awasi Dharsana,” kata Rachmat kepada Tuminah. “Akal sehat Dharsana sekarang sungguh­sungguh sudah kedodoran. Saya kecewa sekali.” Rachmat terdiam sesaat. Dia menerawang. Tuminah menatap, menunggu lanjutan bicara Rachmat. “Saya curiga, kalau­kalau Dharsana menyuruh orang ke rumah kayu­papan untuk melakukan tindakan mata gelap,” kata Rachmat dengan suara pelan, tandanya dia berpikir de­ ngan sulit akan realitas yang rumit ini. “Saya harap kamu bisa melaksanakan tugasmu dengan baik.” “Ya, Pak,” kata Tuminah. “Coba kamu cari dan temukan cara untuk melakukan peng­ awasan itu,” kata Rachmat. “Ingat, Dharsana juga polisi. Dia mengerti betul siasat­siasat tradisional. Makanya, jangan pakai ilmu yang sama dengan yang diketahuinya. Kamu harus cerdik, mencari dan menemukan ilmu yang berbeda dalam melakukan pengawasan terhadap orang yang memiliki ilmu sama.” “Saya mengerti, Pak,” kata Tuminah. “Burung gelatik yang sama bentuk dan warna juga memiliki perbedaan dalam 701 Hotel Pro deo mengatasi satu dengan lainnya.” “Saya senang mendengar itu,” kata Rachmat. “Lakukanlah dengan baik.” “Ya, Pak,” kata Tuminah. “Saya akan melakukan yang ter­ baik, mengawasi sambil mengintai.” “Apapun,” kata Rachmat. “Yang penting, hentikan ke­ cenderungan setani Dharsana.” “Ya, Pak.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Lebih dulu Tuminah menghubungi Juminah. “Aku ingin tahu persisnya lokasi rumah klienmu itu,” kata Tuminah dalam hubungan telefonnya dengan Juminah. Kata Juminah dalam kalimat tanya, “Apa kamu ingin ke­ temu Ibu Intan?” “Aku ingin tahu saja lokasi rumahnya,” jawab Tuminah. “Aku antar kamu besok ke sana,” kata Juminah. “Tapi Ibu Intan tidak ada di sana.” “Sudah aku bilang, aku cuma ingin tahu persis lokasi rumahnya.” “Ya, sudah, aku antar kamu besok.” “Jangan besok,” kata Tuminah. “Aku minta kamu antar aku ke sana sore ini juga. Sebab aku akan operasikan anakbuahku ke sana nanti malam.” “Hm.” Juminah bangkit dari kursinya. “Oke. Satu jam lagi kita ketemu.” “Di mana?” tanya Tuminah. “Aku yang ke sana,” kata Juminah. “Kita ketemu di dekat­ dekat markasmu di Trunojoyo sana.” “Oke, di mana?” “Di Angus House, Ambhara.” “Hm. Oke. Satu jam dari sekarang ya?” 702 Remy Sylado “Ya. Mudah­mudahan nggak macet.” Kebetulan memang jalanan tidak macet, jadi Juminah sudah bisa sampai di tempat yang dimaksud lebih awal sepuluh menit, dan Tuminah malah muncul telat sepuluh menit. Itu membuat Juminah mengejek kembarnya. “Ah, dasar polisi, selalu datang terlambat,” kata Juminah. Dan Tuminah berkata remeh, “Ah, jancuk kon.” “Ayo berangkat,” kata Juminah sambil berdiri. Mereka pun berangkat ke arah Pondok Aren. Tuminah yang menyetir mobil ini. Mobil ini bernomer sipil tapi dengan kode seri yang dikenal oleh polisi­polisi lalulintas sebagai mobil dinas rahasia. Setelah tiba di jalan tempat berdirinya rumah kayu­papan, Tuminah merekam dengan cepat dan jitu di dalam ingatannya, bagaimana keadaan sekitar sini untuk operasi anakbuahnya nanti malam. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 703 www.bacaan-indo.blogspot.com 126 SEKEMBALINYA di markas, Tuminah memilih polisi­polisi yang dipercayainya dapat melaksanakan tugas yang dikatakan­ nya sebagai pengawasan yang bersifat pengintaian, terhadap kemungkinan­kemungkinan kejahatan yang akan dilakukan oleh Dharsana melalui tangan­tangan kotor orang suruhannya. Tuminah menunjuk tiga orang polisi anakbuahnya, nanti malam menyamar sebagai orang kebanyakan, untuk berada di sekitar rumah kayu­papan. Mereka itu adalah Hidayat Nur, menyamar sebagai tukang wedang ronde dengan gerobag khusus. Dia akan berjalan men­ dorong gerobagnya itu dari ujung jalan sebelah timur ke barat, lantas nanti berhenti di perempatan sekitar 100 meter dari ru­ mah kayu­papan. Kemudian yang satunya, namanya Abulhayat, menyamar sebagai tukang sate madura, juga dengan gerobag khusus, www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado berpakaian hitam dengan kopiah yang dipasang melintang. Dia sudah berada di perempatan, sambil duduk di kursi bundar bergaristengah 25 sentimeter yang dibawa­bawa dalam gerobagnya itu. Dan, terakhir, Rustam Lubis, menyamar sebagai gelan­ dangan kere, dodok jongkok di depan toko kecil model mart (yang belakangan tumbuh di mana­mana pada tahun­tahun terakhir setelah tumbangnya Orde Baru) di dekat perempatan. Sambil dodok jongkok dia mengisap rokok. Ketiga anakbuah Tuminah ini diturunkan di wilayah ini sejak jam 20.00. Sementara Tuminah sendiri berada di dalam mobil yang diparkir di jarak yang bisa dikontak dengan menggunakan alat walkie­talkie. Ketika toko dari jaringan mart (toko serba ada berukuran kecil yang sekarang banyak berdiri di perkampungan Jabotabek) itu tutup pada jam 22.00, dan tempat di sekitar situ menjadi sepi, satpam yang bekerja dobel sebagai juga tukang parkir, memperhatikan keberadaan gelandangan yang masih juga do­ dok jongkok di depan situ. Melihat keadaan Rustam yang tampak sangat miskin— dan selamanya orang miskin di Indonesia diwasangkai bukan sebagai manusia berharkat: yang kalau mati malah disukuri— maka satpam yang disebut ini pun mencurigainya. Dengannya dia tidak menyadari bakal terjadi sesuatu yang merugikan diri­ nya sendiri. Mula­mula satpam ini berkata kepada satpam yang satu­ nya di situ. Kedua satpam ini—yang seperti kebanyakan satpam toko di sepanjang Jabotabek berciri badan besar tapi berotak kecil—kira­kira berumur sekitar 30­an. “Lihat gelandangan itu,” kata satpam pertama kepada satpam kedua sambil menunjuk Rustam dengan mulut yang dimonyongkan seperti pantat ayam. “Gelagatnya mencuriga­ kan.” 705 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Satpam kedua segera melihat Rustam yang tetap dodok jongkok di situ. Dia mengangguk, “Ya,” katanya. “Kayaknya dia maling yang lagi ngincer, mau menggarong di sini.” “Ho oh. Kayaknya gitu. Dia itu garong.” “Lantas, kita apain dia?” “Sebab dia garong, kita bekuk saja.” “Ayo.” Kedua satpam mendatangi Rustam, berdiri di sebelah kiri dan kanan dengan sikap yang legeg dan mentang­mentang. “He, lu, nunggu apa di sini, heh?” kata satpam pertama sambil meniki pinggang, congkak sekali. Rustam terhenyak, bersikap sopan, dan hal itu dinilai oleh kedua satpam ini sebagai pertanda takut. “Saya menunggu teman, Mas,” kata Rustam mendangak melihat kedua satpam sambil tetap dodok jongkok. “Nunggu siapa?” kata satpam kedua. “Teman, Mas. Namanya Nur dan Hayat.” “Bohong,” kata satpam pertama. “Omong yang bener lu.” “Iya, Mas.” Satpam kedua mulai kasar. Dia menyepak kaki Rustam yang masih tetap dodok jongkok di bawah. “Kalau bicara, berdiri lu,” kata satpam kedua. Rustam pun berdiri dengan gaya takut­takut, dan itu membuat kedua satpam menjadi lebih sok­kuasa, artinya siap melakukan tindakan menindas. Satpam pertama mendorong dada Rustam. “He, lu bilang nunggu temen. Siapa itu, heh?” Jawaban Rustam berikut ini malah membuat kedua sat­ pam makin merasa disepelekan. Satpam pertama pun me­ renggut baju Rustam seraya menyembat ke arahnya. Satpam yang disebut mengira dia bisa melakukan itu dengan gampang. Dia terlambat berpikir, bahwa ketika tangannya itu merenggut 706 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado baju Rustam, maka itu berarti dia telah melakukan tindakan paksa yang karuan dijawab dengan reaksi refleks oleh Rustam melalui gerakan khas mengkilir tangan satpam ini dan dengan sikutnya menyinggang mulutnya. Satpam ini berteriak sakit. Lalu satpam satunya siap maju hendak memukul Rustam, dan tanpa diduga, dengan cepat sekali Rustam telah mencabut pis­ tol dari pinggangnya kemudian ditodongnya ke muka satpam ini, sambil berkata: “Kamu bergerak, kamu mati.” Kedua polisi lainnya yang menyamar sebagai tukang sate dan tukang wedang ronde segera datang ke sini. “Ada apa ini?” kata Hidayat Nur. Satpam yang kesakitan karena tangannya dikilir, mencoba berdiri, lantas mengadu, “Tolong, Mas. Ini garong.” Abulhayat mengeluarkan pistolnya sambil menghardik, “Diam di tempat. Itu bukan garong, tolol. Dia polisi. Kami polisi.” Kedua satpam menganga, langsung berjongkok, takut. “Ampun, Pak,” kata satpam pertama. Bersamaan, alat komunikasi milik Hidayat bergerak­ge­ rak sebagai tanda panggil. Hidayat menjawab. Dan hanya satu menit kemudian dua mobil polisi, salahsatunya yang di­ tumpangi Tuminah, datang di situ. Tuminah membuka jendela mobil, bertanya kepada ketiga anakbuahnya yang menyamar itu, “Ada masalah?” Yang menjawab Rustam. “Dua satpam ini mengacau,” katanya. Maka, kedua satpam itu dimasukkan ke mobil, dibawa pergi. *** 707 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 127 KEMBALI polisi yang menyamar itu beroperasi dengan alat peragaannya masing­masing, berjalan dari ujung ke ujung jalan di depan rumah kayu­papan, sambil memperhatikan dengan awas keadaan sekitar. Pada jam 24.00 keadaan sudah sepi sekali. Tidak ada tanda­tanda mencurigakan akan adanya orang­orang suruhan Dharsana yang bakal melakukan kejahatan di situ. Karenanya Rustam menghubungi Tuminah yang mobilnya masih terparkir di jarak dua kilometer dari tempat yang di­ curigai akan didatangi kawanan bajingan pimpinan Bon Jovi. “Bu, kelihatannya tidak ada tanda­tanda mencurigakan,” kata Rustam kepada Tuminah lewat alat komunikasinya. Tuminah menjawab dengan kesal tapi juga dengan teguh pada pendiriannya. “Tugasmu tetap mengawasi rumah kayu­ papan itu,” katanya tegas dan keras. 708 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Nada bicara Tuminah yang menyentak itu membuat Rustam mengendor. “O, ya, Bu,” katanya. Masih satu jam lagi baru mata Rustam dan dua lainnya, Hidayat dan Abulhayat, terbuka lebar. Dari tempatnya masing­ masing di jalanan sekitar rumah kayu­papan ini, mereka bisa melihat sebuah mobil Toyota Hardtop tahun 1980­an, bergerak pelan­pelan mendekati rumah kayu­papan, berhenti di jarak 100 meter dari gerbang kayu jati yang di gapuranya tertulis “rumah kayu­papan” tersebut. Segera ketiga polisi yang menyamar ini saling mengontak satu sama lainnya, kemudian mengontak juga Tuminah di dalam mobilnya yang tak nampak di situ. Hidayat, yang berada paling dekat dengan tempat berhentinya Hardtop itu, melihat dengan jelas bagaimana Bon Jovi yang tidak dikenalnya berjalan ke gerbang rumah kayu­papan diikuti oleh tiga orang lainnya. Segera Rustam menghubungi Tuminah. Katanya, “Bu, orang yang dicurigai sedang mendekati gerbang rumah kayu­ papan.” Perintah Tuminah dari dalam mobilnya, “Semua siaga.” Mobil yang dipakai Tuminah pun bergerak pelan­pelan menuju ke situ. Bersamaan Rustam mencopot pentil­pentil Hardtop sampai jip ini kempes. Dan kini keempat bajingan telah berhasil masuk ke dalam pekarangan rumah kayu­papan. Salah seorang di antara kawanan Bon Jovi ini kelihatannya sangat ahli dalam membuka kunci pagar. Hanya dengan mengutak­ atik pakai paku maka gembok besar yang mengaitkan rantai di gerbang kayu jati setinggi 2,5 meter itu pun sudah terbuka, dan keempat bajingan telah pula masuk ke dalam, leluasa berada di dalam rumah. Ujang yang tertidur di sofa serambi depan—dan pintu ke sini sudah juga berhasil dibuka oleh si ahli kunci—kaget, tapi telat bertindak, sebab salah seorang lainnya telah mendekapnya 709 Hotel Pro deo dan menutup mulutnya. “Jangan berteriak,” kata orang yang menutup mulutnya itu. “Bilang, majikanmu tidur di kamar yang mana.” Ujang menggeleng­geleng kepala, tak bisa menjawab per­ tanyaan orang itu sebab mulutnya memang ditutup. Si bajingan marah sebab Ujang tidak menjawab. Dia tinju Ujang. Dengan begitu tangan yang menutup mulut Ujang itu melepas. “Tidak ada,” jawab Ujang. Si bajingan menarik leher Ujang lantas memukulnya lagi. Sementara bajingan­bajingan yang lain masuk ke setiap kamar yang tidak ada siapa­siapanya. Kata si bajingan yang memukul Ujang, “Ke mana majikan­ mu?” “Ke luar kota,” jawab Ujang menahan sakit. “Berapa nomer telefonnya?” “Tidak tahu.” “Tidak mungkin. Kamu pasti tahu.” “Demi Tuhan, Bang, saya tidak tahu.” Si bajingan menendang perut Ujang. Ujang terjungkal. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Bersamaan dengan itu, ketiga polisi yang menyamar telah masuk juga ke pekarangan rumah kayu­papan, masing­masing memegang senjata laras pendek yang siap dinyanyikan. Abulhayat masuk ke serambi depan di mana Ujang sedang diinjak oleh bajingan yang memaksanya untuk meminta nomer telefon Ibu Intan. Dengan mudah Abulhayat menggetok kepala bajingan itu lantas menghajarnya tanpa ampun, artinya tanpa memberi kesempatan untuk melawan atau membalas. Seorang di antara bajingan­bajingan itu, yang keluar dari kamar, kaget melihat Abulhayat di situ, lantas menyerangnya. Dengan pisau di tangan dia siap menikam Abulhayat, tapi tidak diketahuinya dari sebelah kirinya telah lebih dulu siap Hidayat 710 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado yang berada di balik lemari hias. Hidayat menembak kaki bajingan itu. Letusan peluru ini memancing kedua bajingan yang lain. Bon Jovi segera berlari dari belakang ke bagian tengah rumah, juga dengan pistol di tangan. Dia pun tidak tahu, dari belakangnya Rustam menodongkan pistolnya. “Jangan bergerak, atau peluru pistol ini akan segera meng­ hancurkan kepalamu,” kata Rustam. Gila, Bon Jovi tidak hirau. Dia menjatuhkan diri sambil menembakkan pistolnya ke arah Rustam. Rustam yang tidak siap menghadapi ini terlambat kaget, sebab peluru dari pistol Bon Jovi telah mengena lututnya. Rustam tumbang. Tapi bunyi letusan ini membuat Abulhayat menembak ke arah bajingan yang satunya. Yang disebut ini langsung terjengkang. Peluru dari pistol Abulhayat mengenai kakinya. Terjadi tembak­menembak ramai. Tuminah tiba di situ. Bersama dengan anakbuahnya yang lain—yang tadi membawa pergi kedua satpam sok jagoan itu— seluruhnya tujuh orang, merangsek ke dalam rumah, siap dengan senjata­senjata laras panjang. Dengan corong di mulut Tuminah mengultimatum bajingan­bajingan di bawah Bon Jovi itu untuk segera menye­ rah. “Kalian semua sudah terkepung,” kata Tuminah, “Keluar cepat dan menyerah. Kalau tidak kalian semua akan mati. Saya hanya menghitung sampai tiga kali saja. Satu!” Empat orang bajingan dengan satu yang kelenger dan satu lagi sudah tertembak, bisa mendengar dengan jelas ancaman Tuminah tersebut, dan itu membuat mereka tegang, cemas, dan gelisah. Beberapa saat mereka diam kaku di tempat yang mereka anggap aman, sembari bingung, gugup, dan empot­ empotan. Di luar terdengar lagi suara Tuminah mengancam, me­ 711 www.bacaan-indo.blogspot.com lanjutkan hitungannya, “Dua!” Hitungan kedua ini disertai juga dengan kalimat yang menyuruh kawanan Bon Jovi itu menimbang dan mengambil keputusan dengan cepat. “Kalian tidak mungkin bisa lolos lagi. Ayo, cepat keluar, menyerah, taruh tangan di kepala. Kalau tidak kalian akan mati konyol semua di sini.” Lalu, “Tiga!” Bon Jovi dan ketiga temannya benar­benar ketakutan. Mereka semua keluar dengan dua tangan di atas kepala. Abulhayat dan Hidayat, kecuali Rustam yang tertembak, segera menggiring keempat bajingan itu keluar ke luar, dibekuk, dan disuruh naik ke mobil yang tadi dipakai membawa kedua satpam untuk ditahan. Ujang memandang dengan senang. Sambil menunduk­ nunduk kepala terhadap Tuminah—yang pasti dikiranya Juminah—Ujang berkata, “Terimakasih, Neng Pengacara.” Tuminah pun memberi senyum kepada Ujang. Sebelum meninggalkan rumah kayu­papan ini Tuminah berkata kepada Ujang, “Sudah, kembali tidur saja. Keadaan sudah aman.” “Iya, Neng Pengacara,” kata Ujang. “Mereka itu perampok yang datang ke sini beberapa hari lalu menanyakan Ibu. Teuing rek naon eta belegug teh.” Tuminah tertarik mendengar itu. “Menanyakan Ibu?” tanyanya kepada Ujang. “Iya, Neng Pengacara,” jawab Ujang. “Tanya apa?” “Tanya nomer telefon Ibu.” “Hm.” *** Mobil yang membawa empat bajingan ini tiba di kantor polisi pada jam 02.30. Satu demi satu mereka diperiksa. Yang kakinya ditembak tadi, diobati, tapi jalannya tetap pincang, www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado melangkah dengan meloncat­loncat seperti kodok. Tiga orang di antara mereka menjawab yang sama, “Kami cuma membantu Bon Jovi.” Karenanya pemeriksaan terhadap Bon Jovi—yang sebenarnya sudah diketahui Tuminah akan siapa sebenarnya yang berada di belakang kejahatan ini—menjadi sangat ketat. Pertama, ditanya dari mana dia mendapatkan pistol­pistol asli yang merupakan senjata resmi kepolisian. Jawab Bon Jovi apa adanya, dan Tuminah percaya, langsung mencatat dalam ingatannya, sebuah nama yang disebut dengan terang. “Saya beli pistol itu dari Anto Irawan,” kata Bon Jovi. “Siapa?” tanya Tuminah, dahinya berkerut, mencoba mengingat­ingat apakah dia pernah mengenal nama itu. “Apakah itu nama seorang oknum polisi?” “Kelihatannya ya,” jawab Bon Jovi. “Jangan main tekatekian. Jawab yang betul. Apa maksud­ mu mengatakan ‘kelihatannya ya’?” “Ya, memang begitu, Bu. Mungkin dia sudah mati.” “Apa katamu?” “Ya, Bu, kelihatannya dia sudah mati.” “Dari mana kamu tahu dia sudah mati?” “Soalnya sudah lama saya tidak ketemu dia. Dulu dia selalu hadir dalam pertemuan­pertemuan di rumah Pak Bos di Tebet. Sekarang, sejak tiga tahun lalu, dia hilang, mungkin mati.” “Hm.” Lantas pertanyaan beralih ke nama Dharsana. Tuminah langsung menyebut nama ini. “Sekarang, jawab yang betul, kalian bukan merampok di rumah itu, tapi kalian disuruh oleh Dharsana untuk membunuh ibu pemilik rumah itu.” Jawab Bon Jovi, “Ya, betul.” 713 Hotel Pro deo “Hm.” Tuminah merasa interogasi sudah cukup sampai di sini. Besok akan dilanjutkan lagi. Dia merasa letih. Ingin tidur. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tuminah pulang ke tempat tinggalnya di dekat Pondok Pinang sana pas subuh. Masjid di dekat tempat tinggalnya itu sudah selesai mencorongkan imbauan “lebih baik salat ke­ timbang tidur”. Dengan hanya membasuh muka dan melap­lap badan de­ ngan handuk basah, kemudian memakai daster batik, Tuminah menjatuhkan diri di atas ranjang, lalu hanya beberapa menit kemudian dia sudah tertidur, bahkan mendengkur dengan suara sayup­sayup yang mirip dengan bunyi parut kelapa. Namun tidurnya hanya pulas sejenak. Pada jam 06.00 dia sudah bangun—jadi hanya 30 menit dia menyatu di atas ranjang—lantas buru­buru mandi dan siap­siap ke kantornya. Di kantor dia tidak melapor pada Rachmat, karena yang disebut ini pun belum tiba di ruangkerjanya, tentang hasil penangkapan Bon Jovi dan kawanannya, tapi dia mengatakan itu kepada kembarannya Juminah. Itu pun dia katakan setelah Juminah mengontaknya dengan ponselnya ketika dia baru saja tiba di kantornya. Pertanyaan Juminah setelah jaringan selularnya terhu­ bungkan, “Kenapa dari tadi malam ponselmu nggak aktif sih?” “Aku mengintai dan aku berhasil,” jawab Tuminah. “Kamu pasti senang, sebab ini ada hubungannya dengan perkara yang sedang kamu tangani.” “Ibu Intan?” tanya Juminah. “Ya,” jawab Tuminah. “Bajingan­bajingan itu sudah meng­ aku, bahwa mereka disuruh Dharsana membunuh klienmu itu.” 714 Remy Sylado “O ya?” Juminah senang. “Ya,” jawab Tuminah. “Siang ini akan kami bikin laporan tertulisnya.” “Hm.” Siangnya Tuminah kaget melihat wajah­wajah bajingan itu. Mulai dari wajah Bon Jovi sampai wajah­wajah temannya, pada siang harinya sudah berubah dipenuhi bengkak­bengkak mirip bakpao, bakso kasti, roti unyil, dan seterusnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 715 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 128 TIAP hari Juminah mencek ke kejaksaan, mempertanyakan, apakah berkas acara pidana atas Dharsana sudah dikirim oleh pihak kepolisian untuk disidangkan. Seminggu lalu Juminah mendapat jawaban dari kejaksaan, bahwa berkas yang dimaksud itu sudah diterima dari kepolisian, dan selanjutnya berkas itu sudah disimak dan dipelajari oleh jaksa. Lagi, setiap hari pula setelah itu, dalam seminggu ini Juminah bertanya, apakah perkaranya sudah bisa disidangkan, dan jawaban yang diperolehnya masih tetap sama, masih di­ pelajari oleh jaksa yang akan menjadi penuntutnya. Hari ini, dalam perjalanan ke arah Cimacan untuk menemui Ibu Intan di vilanya, Juminah menelefon lagi ke kejaksaan. Jawaban yang sama itu, bahwa jaksa sedang mempelajarinya, disampaikan oleh Juminah kepada Ibu Intan. 716 www.bacaan-indo.blogspot.com Ibu Intan merasa tidak puas mendengar keterangan Juminah. Dia merasa seperti diulur­ulur. “Kenapa begitu lama sih?” katanya kepada Juminah sambil membuka gorden bagian sebelah pintu, dan sempat melihat langit yang cerah, tampak gunung tidak dihalangi awan di luar sana. “Ini memang menjengkelkan, Bu,” kata Juminah menang­ gapi rasa kesal Ibu Intan. “Ck,” gerutu Ibu Intan sambil duduk, lantas memanggil Hutami untuk membuatkan minuman panas, lalu kepada Juminah dan Ipong di sebelahnya, “Kopi ya?” Juminah dan Ipong menjawab, “Ya, Bu.” “Kinerja jaksa lamban begitu ya?” kata Ibu Intan. “Ya, Bu, begitulah kejaksaan,” sahut Juminah. “Dari dulu sampai sekarang, sering menjengkelkan begitu, Bu. Hanya za­ mannya saja yang sekarang disebut Era Reformasi. Tapi ke­ lakuan jaksa­jaksanya masih tetap awet sebagai tawanan Orde Baru.” “Apa jaksanya mau uang?” tanya Ibu Intan. “Astaga, Bu,” kata Juminah. “Mana ada jaksa yang nggak mau duit?” Ibu Intan menggeleng­geleng kepala, masygul, tapi juga geram dan benci. “Hu,” keluhnya. “Republik apa ini?” “Republik yang rusak oleh kelakuan pejabat yang menjadi penjahat, atau bisa juga dibalik, penjahat yang menjadi pejabat,” kata Juminah. “Istilah dulu, ‘bromocorah’ adalah penjahat, tapi ‘mohocorah’ adalah pejabat. Rupanya kita belajar dari perangai­ nya Ken Arok. Sebelum merebut kekuasaan dengan membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok adalah bromocorah, tapi setelah menjadi raja, dia adalah ‘mohocorah’. Sejarah selalu berulang, Bu.” Hotel Pro deo “Ya, sudah, kalau jaksa itu minta uang, kita kasih saja uang,” kata Ibu Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tumben, hanya satu jam kemudian, ketika Juminah sudah berada di vila Ibu Intan, ndilalah jaksa yang mengaku akan menjadi penuntut atas Dharsana menelefonnya. “Saya Untung Surapati SH,” kata sang jaksa memperkenal­ kan diri. Pasti ayah­ibunya dulu memilih nama ini karena menyukai sosok sejarah di zaman kolonial dulu: budak yang berkasih­mesra dengan putri seorang edeler. “Ya, Pak,” sahut Juminah. “Begini,” kata jaksa yang bernama Untung tersebut. “Saya yang akan menjadi JPU­nya.” “O, ya, Pak Untung,” kata Juminah dengan sikap hormat kepada Untung Surapati yang memperkenalkan dirinya sebagai JPU, sebutan populer kalangan hukum di pengadilan untuk ‘jaksa penuntut umum’, orang yang biasa digunjingkan sebagai dua vowel ‘an’, bisa menjadi ‘tuh­an’ dan bisa juga menjadi ‘set­an’. “Begini, lo,” kata Untung, “Dalam rangka melengkapi berkas tertulis yang sudah jelas terbaca dan mengerti sekali, ternyata saya masih ingin mendengar langsung dan lisan dari Ibu Intan sendiri menyangkut persoalan yang berhubungan dengan perasaan.” “Hm.” Juminah mengangguk sambil menoleh ke Ibu Intan. “Begitu ya, Pak?” “Ya,” sahut Untung. “Maksud saya, apa kita bisa bertemu sore ini?” Tanpa bertanya kepada Ibu Intan, Juminah menjawab, “Bisa sekali, Pak.” 718 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com Sesudah itu baru Juminah menyampaikan keinginan sang JPU tersebut kepada Ibu Intan, dan Ibu Intan pun menyambut dengan plong. “Oke,” kata Ibu Intan. “Kita turun saja ke Jakarta seka­ rang.” “Ya, Bu,” kata Juminah. “Kira­kira berapa persiapan yang harus saya bawa?” tanya Ibu Intan. “Maksud Ibu?” tanya Juminah. “Maksud saya, dana,” jawab Ibu Intan. “Kira­kira JPU itu mau minta berapa?” “Tidak tahu, Bu,” jawab Juminah. “Nanti dia sendiri yang akan menyebutnya. Kita tunggu saja, Bu. Yang jelas, karena dia meminta pertemuan sore ini, maka dengan begitu tempatnya bukan di kantor kejaksaan, tapi di luar. Sudah bisa terbaca niatnya itu, Bu.” “Ya,” kata Ibu Intan. Kemudian Juminah menghubungi Untung. Tanyanya, “Kita bertemu di mana, Pak?” “Yang gampang, jam 18.00 di Pasar Festival saja,” kata Untung. “Baik, Pak Untung.” Juminah menutup ponselnya, lalu berkata kepada Ibu Intan soal waktu dan tempat yang diingini Untung tersebut. Dan, Ibu Intan melihat jam sebelum menjawab. Jam dinding di vilanya ini sekarang pukul 15.00. “Ya, sudah,” kata Ibu Intan, “Kita turun saja sekarang.” *** Jalanan turun dari Cimacan ke Bogor melewati perkebunan teh yang berkelok­kelok, pada hari ini alih­alih agak macet karena kendaraan dari atas sangat padat. Keadaan 719 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo itu seperti selalu dimanfaatkan oleh polisi lalulintas untuk mencari uang. Caranya, jalanan ke bawah sengaja ditutup, sampai mobil­mobil terpaksa mengantri panjang mengular berkilo­kilo meter di jalan yang berkelok­kelok itu. Lalu nanti, apabila mobil ingin meluncur cepat ke mulut tol Jagorawi di Ciawi, polisi menawarkan voorrijder dengan bunyi sirene, dengan membayar sejumlah uang kepadanya. Tanpa malu­malu polisi itu meminta uang Rp250.000 kepada Ibu Intan. Mulanya karena Ibu Intan bertanya kepada polisi yang memalang jalanan dengan motor besarnya. “Ini ada apa sih, Pak, kok jalan ditutup begini?” “Kendaraan dari bawah padat, Bu,” jawab polisi itu dengan cuek sekali. “Tapi dari tadi saya tidak melihat ada kendaraan padat dari bawah kok,” kata Ibu Intan. Polisi itu—di dadanya tertera namanya Kasmin—hanya berjalan meninggalkan Ibu Intan, seakan­akan melihat manusia tanpa martabat apa­apa. Maka Ibu Intan menyusulinya. Katanya, “Hei, Mas, saya bertanya, kok Bapak tidak menjawab.” Dengan sombong Kasmin menjawab, “Saya sudah bilang, kendaraan di bawah padat, prioritas jalan ke atas ini diberikan buat mereka dulu. Tapi kalau kamu mau ke bawah, bayar ongkos buka jalan, dan kamu akan dikawal ke bawah.” Wah, Juminah yang tersinggung mendengar sikap tidak sopan Kasmin. Polisi yang disebut ini bahkan bicara berkamu­ kamu. Maka dia pun menelefon pada Tuminah. “Tum, kalau kamu bisa ke sini sekarang, ke Puncak, lihat deh, jajaranmu di bawah ini sungguh­sungguh merusak citra kepolisian,” kata Juminah. “Seenaknya polisi ini memeras orang dengan 250.000 rupiah. Kalau kamu bisa ke sini sekarang juga, kamu bisa lihat sendiri.” 720 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Di mana?” “Di perkebunan teh Puncak. Apa memungkinkan buatmu untuk datang ke sini?” “Kenapa tidak? Kan kami punya helikopter untuk bisa segera sampai di sana.” “Ya, sudah, datang sendiri membuktikan.” “Lokasinya di mana?” “Di bawah Riung Gunung.” “Hm.” Juminah mematikan ponselnya, lalu menghampiri polisi yang seenaknya itu. Di saat itu Ibu Intan masih bersitegang mulut dengan Kasmin. Ibu Intan pun akhirnya berkamu­kamu kepada Kasmin. “He, dengar, saya bukan tidak bisa bayar 250.000 itu, tapi kalau saya tidak mau kasih kamu uang itu, alasannya sebab saya tidak membiarkan kamu menjadi tukang peras kepada rakyat. Kamu sudah digaji oleh rakyat untuk menjadi pelayan masyarakat, bukan menjadi musuh masyarakat.” Kasmin marah. “Jangan sembarang omong. Saya tahu apa yang saya kerjakan. Jalanan macet. Jadi harus dibuka­tutup begini.” “Buktinya jalanan tidak macet. Kendaraan dari bawah kosong kok.” “Sudah! Jangan banyak bacot kamu. Kalau tidak mau bayar, silakan saja tunggu, antri.” Sehabis berkata begitu Kasmin melengos dan pergi ke bawah, ke motor besarnya. Giliran Juminah yang geram melihat tindaktanduk Kasmin. Maka dia berteriak sambil mengejar Kasmin. Juminah pun berkamu­kamu kepadanya. “Hei, kamu,” seru Juminah menyuruh polisi itu berhenti. 721 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Namun Kasmin tidak hirau. Dia tetap berjalan sejarak 100 meter ke tempat di mana motor besarnya dipalangkan di tengah jalan. Juminah mengejar menyusulinya, lantas berdiri di depan motor besar itu. Orang­orang yang berada di dalam mobilnya masing­masing lantas keluar, menyaksikan adegan berikut ini dengan rasa penasaran, tegang, dan senang. “Kamu polisi tidak sopan,” kata Juminah. “Disaksikan sekian banyak orang, tidak malu, bertindak seperti preman.” Kasmin tidak bisa mengendalikan diri. Dia berteriak sekerasnya sambil mencabut pistolnya, “Diam kamu!” Juminah mundur selangkah, sedikit kaget oleh teriakan Kasmin, tapi tidak ciut oleh gertakannya. “Tunggu,” kata Juminah. “Kalau kamu mau kita selesaikan ini, ayo selesaikan secara hukum. Paling lima menit lagi akan tiba di sini Komisaris Tuminah.” Kasmin ketawa. Maksudnya dia menertawai Juminah. Dia naik ke atas motornya. Tapi tidak dihidupkannya mesinnya. Dia hanya ingin bergaya di situ, menunjukkan wibawanya. Dengan begitu dia mengejek Juminah. “Mau ngapain komisaris itu di sini,” katanya, “Mau menangkapmu karena kamu sudah merusak citra Kepolisian Negara Republik Indonesia,” kata Juminah. “Harus­ nya, tugasmu, sesuai Undang­undang Nomer 2 Tahun 2002, adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, me­ negakkan hukum, dan memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tapi yang kamu lakukan sekarang, selain merugikan masyarakat, juga merusak citra polisi. Nah, saya minta kamu buka jalan ini dengan cepat, dan membiarkan mobil­mobil itu semua jalan.” “Tidak.” 722 Remy Sylado “Ya sudah.” Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi mesin helikopter di atas. Dari atas sana pasti Tuminah dapat melihat di bagian mana pangkal berhentinya mobil­mobil. Maka dengan cantik pilot yang membawa helikopter ini berhenti di depan sana. Dari dalamnya keluar Tuminah dengan pakaian dinasnya. Kasmin tercengang­cengang melihat helikopter kepolisian itu, dan benar­benar melongo melihat Tuminah, yang wajahnya sama dengan Juminah, mendatanginya. “Nah, ini dia, Tum,” kata Juminah. “Tanya dia, berapa penghasilannya dalam sebulan dari cara memeras masyarakat di jalan ini.” Kasmin ketakutan. Dia seperti tikus basah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 723 www.bacaan-indo.blogspot.com 129 KEMUDIAN mobil dipacu secepatnya, dan juga sebisanya di tengah mobil­mobil yang memang padat menuju ke Ciawi. “Terimakasih,” kata Ibu Intan kepada Juminah. “Saya tidak kira, Mbak punya saudara kembar yang polisi.” “Hm.” Juminah tersenyum. “Kalau Dharsana mbulet, nan­ ti kembar saya yang tangani.” “Saya yakin, dia memang pasti mbulet,” kata Ibu Intan. “Saya sendiri sudah berencana, akan meminta kepada JPU untuk memberi tugas kepada saya, menyuruh Dharsana ke pengadilan,” kata Juminah, “Dan saya setengah percaya bahwa Dharsana akan melecehkan saya, lalu setelah itu saya minta kembar saya itu yang mengurusnya.” “Itu bagus,” kata Ibu Intan. Mobil sudah meluncur di jalan tol Jagorawi. Awalnya lancar sekali. Tapi melewati Cibubur ke pintu tol Taman Mini, www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado jalanan tersumbat. Padahal pas di situ, jam yang disepakati untuk bertemu di Pasar Festival sudah tiba saatnya. Juminah pun menelefon Untung, menyatakan maaf, bah­ wa jalanan macet. Dan Untung, seperti semua orang Jakarta mengerti betul arti macet, menjawabnya dengan pernyataan biasa, “Tidak apa­ apa.” Jadi, terlambat 45 menit pertemuan di Pasar Festival. Pertemuan masih diawali juga dengan basabasi yang me­ mang sudah basi dalam percakapan sosial di Jakarta, tentang jalanan yang macet tersebut. Setelah basabasi soal macet tersebut, barulah Untung membuka percakapan yang tadi sudah dikatakannya lewat telefon dengan Juminah. “Ya,” katanya sambil membagi arah pandangan ke Ju­ minah, Ibu Intan, dan Ipong. “Sayalah yang akan bertindak sebagai JPU.” “Terimakasih,” kata Ibu Intan. “Saya benar­benar ingin keadilan ditegakkan.” “Itu pasti,” kata Untung. “Anda tahu, Pak Untung, saya merasa seperti orang sakit jiwa selama ini, berpura­pura bisa menerima kenyataan anak saya mati, padahal sesungguhnya hati saya seperti diiris­iris sembilu lantas dituangi cuka…,” kata Ibu Intan. “Saya mengerti,” kata Untung. “Makanya, demi keadilan itu, saya ingin hukuman setimpal kepadanya,” kata Ibu Intan. “Sekarang, saya minta tolong kepada Bapak untuk menegakkan hukum itu. Saya tidak tahu, bagaimana saya harus menyatakan kepada Bapak soal charité saya terhadap Bapak.” Untung menatap wajah Ibu Intan di bawah lampu yang redup, gerangan tidak mengerti akan istilah charité yang di­ ucapkan oleh Ibu Intan, sebuah kosakata bahasa Prancis yang 725 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo barangkali secara kamus hanya berarti antara ‘derma’, ‘sum­ bangan’, ‘amal’, tapi dalam pengertian etis bisa mengandung makna kasih sayang yang bersumber dari Tuhan. Maka bertanya Untung akan istilah itu dengan melafalnya sesuai dengan bunyi yang ditangkap telinganya. “Sarite?” “Ya, Pak Untung,” sahut Ibu Intan dengan segera. “Saya mengerti cara menyampaikan rasa terimakasih. Saya tidak lupa berterimakasih atas tenaga dan pikiran orang yang membantu saya.” Sambil berkata begitu, Ibu Intan mengeluarkan buku cek dari tasnya, dan menaruh di atas meja. Untung melihat itu dengan wajah tersenyum. Baik Ibu Intan maupun Juminah dan Ipong tidak mengerti perasaan apa yang berlangsung dalam hati Untung ketika dia tersenyum begitu. Kemudian Ibu Intan memencet bolpoin dan siap menulis di atas buku cek itu. “Apakah ada angka yang bisa saya tulis di cek ini, Pak Untung?” “Angka apa?” tanya Untung, berganti senyum dengan ke­ rut heran di wajahnya. “Ya, Pak Untung,” jawab Ibu Intan, “Soal charité untuk Bapak.” “Maksud Ibu, Ibu mau memberi saya uang?” “Charité, Pak Untung.” Pernyataan Untung menyangkut angka yang diminta Ibu Intan untuk dibilang, sertamerta membuat ketiga orang ini— Ibu Intan, Juminah, dan Ipong—asli kaget dan terheran­heran. “Nol, Ibu Intan,” kata Untung. “Bagaimana, Pak?” tanya Ibu Intan seakan tak yakin. “Ya, nol, Ibu Intan,” sahut Untung. “Barangkali ada jaksa lain bernama Untung yang mencari keuntungan dari perkara apapun di persidangan, tapi saya bukan Untung yang meminta­ minta uang dari orang­orang yang berperkara. Saya ingin Anda 726 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado tahu, bahwa tidak semua jaksa senang bermain uang. Di antara seribu memang barangkali hanya satu. Dan sayalah yang satu itu.” Ibu Intan, Juminah, dan Ipong tertegun. Mereka kecele. Mereka tidak bisa bilang apa­apa. “Nah,” kata Untung kepada Ibu Intan. “Masukkan kembali buku cek Ibu itu. Saya bukan jaksa hitam.” Ibu Intan merasa malu, dan juga hormat pada Untung. “Maaf,” kata dia. “Saya ingin kita bertemu sekarang ini, sebab, sebagai JPU dalam sidang nanti itu, saya ingin mendengar lagi keterangan­ keterangan yang tidak ada dalam berkas. Yang saya ingin dengar langsung dari Ibu Intan, untuk catatan saya sendiri, adalah latarbelakang bagaimana Ibu Intan pertama kali memutuskan kawin dengan polisi jahat.” Ibu Intan menarik nafas. Berhenti. Menghembus. Tapi tidak bisa menjawab dengan mudah pertanyaan Untung. Karenanya Untung berkata, “Di dalam berkas perkara, disebutkan, bahwa Ibu Intan selalu direcoki oleh anak­anak Dharsana, dan dari anak­anak itu juga merupakan awal dari suasana tidak harmonisnya Ibu dan anak Ibu, Marc, di satu pihak, dan Dharsana beserta anak­anaknya di lain pihak. Begitukah?” “Ya,” sahut Ibu Intan. “Lalu, di balik itu, ternyata ada seseorang, yaitu orang ketiga, namanya Retno, atau Jeng Retno, yang berselingkuh dengan Dharsana, dan kebetulan konangan oleh Marc putra Ibu. Begitukah?” “Ya,” sahut Ibu Intan pula. “Nah, bagaimana cerita perkenalan Ibu dengan Dharsana sampai Ibu memutuskan nikah dengannya.” 727 Hotel Pro deo “Itu memang tindakan ceroboh saya,” jawab Ibu Intan, tercenung sekian detik, mengambil nafas keluh, lalu, “Itu terjadi ketika saya mengantar anak saya Marc ke ulangtahun teman sekolahnya Niken yang putri jendral Rachmat Wirjono…” “Ya,” kata Untung, “Bagian itu tidak ada dalam berkas yang saya baca.” “Memang,” kata Ibu Intan. “Apa hubungan Niken dengan Marc?” “Teman dekat.” “Bukan pacarnya?” “Bukan. Pacar Marc itu Mayang, putri Retno. Dialah yang diperalat oleh Dharsana.” “Saya harap dia bisa dihadirkan di sidang.” Juminah yang jawab. Katanya, “Jiwanya sudah terganggu sejak dia merasa menyesal atas kematian Marc. Sekarang dia masih dirawat di RSJ Kramat, Magelang.” “Oh?” Untung tersingahak. “Begitukah?” “Ya,” kata Juminah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 728 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 130 SIANG hari Juminah mengontak Dharsana, mengatakan kepa­ danya bahwa pada hari Senin pekan depan ini dia harus hadir di pengadilan untuk gugatan cerai, melaksanakan proses hukum acara perdata dan hukum acara pidana secara bersamaan. Mendapat telefon dari Juminah, langsung Dharsana mem­ bantingnya sambil berteriak marah, “Persetan!” Juminah menunggu sepuluh menit, lantas menelefonnya lagi, dan Dharsana mengangkat telefon, menyerapah dengan nama hewan haram sembari membanting lagi telefonnya. Itu memang aneh. Dharsana makin tidak karuan. Otaknya seperti tidak waras lagi. Dua hari ini—setelah Bon Jovi dan teman­temannya tidak muncul­muncul dan dia masih tidak tahu keadaan yang sebenarnya—dia memilih meminum arak Cina untuk menenangkan pikirannya. Dia keliru, memang, sebab arak Cina yang terasa manis dan enak untuk satu botol 729 www.bacaan-indo.blogspot.com saja, akan pasti memabukkan juga setelah diminum berbotol­ botol. Terlihat di meja bundar ruang tengah yang di atasnya diterangi lampu lima wat itu berbelas botol ciu yang sudah ko­ song, isinya berpindah ke perut Dharsana. Kini terlihat sesuatu yang paradoks: Dharsana yang secara lahir tampak sangar sebagai seorang perwira perkasa, ternyata batinnya rapuh. Nanti, ketika dia bertindak ganas seperti hewan buas dalam menghadapi keadaan dirinya yang sebenarnya ini, maka sebetulnya tindakannya itu semata­mata sebagai perla­ wanan batin atas ketidakmampuannya menyeimbangkan diri antara sifat­sifat alami nalurinya dengan sikap­sikap asasi nuraninya. Yang terakhir ini, jika dinilai dengan menggunakan buku rapor seperti di sekolah dulu, maka angkanya untuk itu adalah nol. Kiranya masalah yang tumpang­tindih dalam pikirannya itu sudah dimulai dan tak bisa diakhirinya sejak peristiwa di rumah Jeng Retno, ketika dia merasa tertipu oleh panasnya perempuan yang disebut ini, yang berujung dengan dikepruknya dia oleh massa di jalan. Kemudian, ditambah pula dengan beban yang mengganggu pikirannya soal James Winata yang ternyata masih hidup di Australia. Lalu, terakhir somasi dari Juminah bahwa dia harus keluar dari rumah kayu­ papan disaksikan oleh anak­anaknya. Semua itu membuat dia merasa hargadirinya sungguh­sungguh telah dihinakan. Tapi sebagai akibatnya, dia sekarang bertindak ngawur. Yang paling ngawur, tentu, menyuruh Bon Jovi membunuh Ibu Intan. Dan, dia tidak sadar, hari depannya sudah terancam masuk jurang, menghadapi kiamat khusus di pengadilan. Juminah yang akan membawanya ke pengadilan, sudah berjanji pada Ibu Intan untuk pasti memenangkannya, dan www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado selanjutnya mengirim Dharsana ke Hotel Pro Deo. Tuminah pun sudah juga menguatkan tekad kembarnya untuk mem­ bantunya, sebab Rachmat, yang teman lama Dharsana dan sekian tahun sudah menolongnya tapi sekarang angkat ta­ ngan, telah menyuruh Tuminah bertindak bijaksana sesuai hukum. Artinya, ketika Dharsana membanting telefon sambil mengucapkan “Persetan”, itu makin memperburuk hari depannya itu. Rupanya, dalam tidak sadarnya akan jembatan di atas jurang menuju Hotel Pro Deo, Dharsana masih asyik berilusi akan masa silam sekian tahun silam sebelum 1998, tentang kekuatan pada kekuasaan dan dalamnya anggota angkatan bersenjata mengejawantahkan praktik nomina itu dalam tindakan­tindakan kekerasan. Mendapat jawaban yang tidak sopan dari Dharsana le­ wat telefonnya itu, maka Juminah pun segera menghubungi Tuminah. Dia ceritakan tentang sikap Dharsana itu. Dan, kata Tuminah kepada Juminah, “Kamu temui saja itu Dharsana.” Berkerut dahi Juminah. Katanya, “Harusnya tidak begitu.” “Anggap saja ini sama seperti aturan rambu di jalan raya,” kata Tuminah. “Apa maksudmu?” tanya Juminah terhadap ungkapan Tuminah itu yang tak segera dipahaminya. “Ya,” jawab Tuminah. “Lampu hijau yang berarti boleh jalan, toh bisa juga harus berhenti kalau di depanmu ada keretaapi yang lewat.” “Hm.” “Nah, sudah, coba kamu temui dia, lantas ingatkan,” kata Tuminah. “Kalau dia lecehkan kamu, sebab memang aku sudah mendapat gambaran persis soal perangainya, itu bagus.” “Lo? Piye toh?” “Iya. Kalau sampai dia lecehkan kamu, aku yang maju, dan 731 Hotel Pro deo dia akan tetap mengira aku adalah kamu.” “Oke,” kata Juminah, riang. “Yang jadi soal, aku sendiri belum tahu alamatnya. Aku cuma tahu ponselnya.” “Nanti aku tanya sama cecunguknya yang dipanggil Bon Jovi,” kata Tuminah. “Aku segera kabari kamu.” “Oke. Aku tunggu.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tuminah pun menemui Bon Jovi di selnya. “Hei,” katanya kepada Bon Jovi. “Rumah Dharsana di Tebet itu di jalan apa?” “Jalannya saya tidak tahu,” jawab Bon Jovi. “Tapi dari Lapangan Ros masuk jalan perboden menuju ke selatan, belok ke kiri di pertigaan, lantas sekitar 100 meter belok kanan, lalu kiri lagi ketemu jalan besar, terus sampai di prapatan yang ada pohon jambu, di situ ada jalan yang pakai portal, masuk ke sana, belok ke kiri, ketemu jalan buntu, dan di ujungnya rumah besar dengan pekarangan yang rimbun.” “Hm.” Tuminah mencamkan keterangan Bon Jovi, memindahkan keterangan itu ke dalam daya ingatnya, lalu menyampaikannya kepada Juminah, persis seperti yang diucapkan Bon Jovi. Dengan itu sekaligus menunjukkan betapa cerdas dan cendekia­ nya Tuminah mengingat dengan tanpa salah akan kata demi kata yang diucapkan Bon Jovi. Kata Tuminah kepada Juminah, “Nah, catat ini dalam ingatanmu, alamat Dharsana.” “Oke,” kata Juminah. “Di mana?” “Rumahnya di Tebet.” “Jalan apa?” “Begini: dari Lapangan Ros masuk jalan perboden menuju 732 Remy Sylado ke selatan, belok ke kiri di pertigaan, lantas sekitar 100 meter belok kanan, lalu kiri lagi ketemu jalan besar, terus sampai di prapatan yang ada pohon jambu, di situ ada jalan yang pakai portal, masuk ke sana, belok ke kiri, ketemu jalan buntu, dan di ujungnya rumah besar dengan pekarangan rimbun.” Juminah mengeluh, “O, alah! Apa kamu suruh aku main petak umpet?” “Wis toh,” kata Tuminah. “Pokoknya alamatnya seperti itu. Cari sendiri dan harus ketemu.” “Yo, yo, yo, yo.” “Bisa hafal nggak?” “Bisa,” jawab Juminah, dan dia pun melafal kata­kata yang baru diucapkan Tuminah tanpa salah pula. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Setelah itu, bersama dengan Ipong yang menyetir mobil, Juminah mencari rumah Dharsana di wilayah Tebet. Walaupun arahan jalannya sudah menempel di dalam daya ingat Juminah, ternyata tidak mudah menemukan alamat itu. Lagi pula, di Jakarta, orang yang bertanya alamat kepada orang­orang yang tengak­tenguk di pinggir jalan biasa dijawab seenaknya, atau jika tidak malah dibelusukkan, yang harusnya ke utara di­ bilangnya di selatan. Sekitar satu jam baru mobil Juminah memasuki jalan bun­ tu yang dicari. Juminah dan Ipong turun dari mobilnya. Ipong memencet bel di gerbang, tapi dia yakin, setelah memencetnya berkali­kali, ternyata bel ini tidak berfungsi lagi. Namun di­ lihatnya gerbang ini tidak terkunci. Maka didorongnya pintu pagar ini, lalu dia masuk ke dalam pekarangan yang memang rimbun ini, ke rumah, mengetuk pintu di depan, disertai de­ ngan ucapan antara “spada”, “kulo nuwun”, “punten”, dan 733 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “salam lekum”. Dari dalam, terlihat dari luar, bayangan sosok yang ber­ gerak ke pintu. Terdengar pintu dibuka. Lalu pintu pun terbuka. Di situ berdiri Dharsana memegang botol ciu. Melihat Juminah dan Ipong, dia pun segera mengenal wajah­wajahnya, lantas sertamerta menghardik mereka. “Kamu?” kata Dharsana. “Ngotot! Mau apa kamu ke sini? Keluar dari sini.” “Sebentar, Pak,” kata Juminah. “Saya datang untuk meng­ ingatkan Bapak, supaya Anda hadir di pengadilan pada hari Senen nanti.” “Persetan!” kata Dharsana sambil melempar botol ciu itu ke lantai dan pecah berkeping. “Hei, apa kamu kira hukum bisa berlaku pada saya? Tidak ada satu setan pun boleh menggertak saya.” “Maaf, Pak Dharsana,” kata Juminah. “Barangkali yang menggertak Anda bukan setan tapi Tuhan.” Dharsana marah. Mukanya merah. Dia menghilang seje­ nak, masuk ke dalam, lalu keluar lagi dengan pistol di tangan, sambil berkata, “Coba bicara lagi. Saya ingin lihat apakah Tuhan tetap bisa hidup dengan satu timah panas menembus kepalamu.” Ipong mengingatkan, “Jangan gegabah, Pak.” “Persetan,” kata Dharsana. “Kalau ingin peluru ini tidak keluar dari dalam pistol saya ini, cepat keluar. Cepat!” “Baiklah, Pak,” kata Ipong, mundur, sambil memegang tangan Juminah untuk sama­sama mundur. Tapi Juminah masih tetap mengingatkan Dharsana, “Hari Senen, Pak, jangan lupa.” “Tidak!” seru Dharsana, menarik pintu, dan memban­ tingnya. Juminah dan Ipong terbengong sesaat. Dan selagi kedua­ nya masih berdiri tertegun, Dharsana membuka kembali pintu 734 Remy Sylado yang baru dibantingnya itu sambil berteriak keras. “Keluaaar!” Tumben timbul rasa percayadiri yang kuat dalam diri Juminah, sehingga dengan tegar dia berkata, “Ditunggu jam 09.00 pagi hari Senen di pengadilan, Pak.” Dharsana berteriak sehabisnya, “Pergiii!” *** Apa boleh buat Juminah pergi meninggalkan rumah Te­ bet ini. Di dalam mobil menuju kembali ke kantornya, dia menelefon Tuminah tentang kejadian yang baru dialaminya. Lalu, bertanya Tuminah untuk lebih yakin akan masalah yang sebenarnya sudah dikatakan oleh Juminah, “Memangnya kapan Dharsana diminta hadir di pengadilan?” “Senen pagi jam 09.00,” jawab Juminah. “Ya, sudah,” kata Tuminah. “Biar aku yang jemput dia pada hari Senen pagi. Kamu tunggu saja di pengadilan.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 735 www.bacaan-indo.blogspot.com 131 RENCANA Tuminah yang telah menjadi tekadnya itu, dan sudah dikatakannya kepada Juminah, masih dilapornya juga kepada Rachmat Wirjono pada hari ini, Jumat menjelang senja, jadi tiga hari sebelum waktu yang ditentukan bagi Dharsana untuk hadir di pengadilan. Ketika Tuminah melapor kepada Rachmat, dia juga ber­ harap jendral, yang diketahuinya dulu adalah karib Dharsana, berkenan memberi arahan kepadanya. Namun, kepada Tuminah sang jendral bersikap semadyanya, setidaknya ajeg pada pendiriannya yang memang sudah berubah terhadap Dharsana, malahan menyerahkan sepenuhnya urusan hukum sebagai tanggungjawab Tuminah. Kata Rachmat kepadanya, “Semuanya saya serahkan sepe­ nuhnya kepada wewenangmu. Saya mendukung. Laksanakan yang terbaik.” www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Baiklah kalau begitu, Pak,” kata Tuminah. “Saya tidak bisa lagi menolong Dharsana,” kata Rachmat, berkerut dahi disertai hembus nafas yang bermakna keluh, tampak sekali betapa inginnya dia bebas dari beban yang dipi­ kulnya dalam jiwanya. Melihat itu Tuminah berdiri dari kursinya sambil berkata, “Saya permisi, Pak.” Sebaliknya Rachmat menyuruhnya jangan pergi. “Tunggu,” kata Rachmat. “Mumpung kembarmu yang menangani kasus hukum, dan kamu membantunya untuk tugas kepolisiannya, biar saya bicara kepadamu, supaya kamu tahu juga bagaimana pikiran saya sebagai pribadi terhadap Dharsana…” Tuminah diam di kursi. Dia menunggu. “Begini,” kata Rachmat. “Saya benar­benar kewalahan. Sudah cukup pertolongan saya selama ini kepada Dharsana. Gara­gara dia, saya harus menanggung dosanya. Oh, tidaklah! Tidak lagi. Saya tidak mau meninggalkan tugas kebayangkaraan negara dengan utang dosa kepada Tuhan, kepada bangsa, dan kepada tanahair. Kamu tahu, sebentar lagi saya pensiun. Dan saya ingin pensiun sebagai abdi negara yang bersih, tidak ber­ cacat, seperti Hoegeng. Yang lain­lain, mau meneruskan ke­ bohongannya pada publik, silakan. Saya tidak seperti yang lain­ lain itu; “Dharsana itu tidak pernah belajar dari kesalahan­kesa­ lahannya di masa lalu, sehingga dia berulang kali meng­ hayati kesalahannya yang sama, membiarkan dirinya menjadi tawanan pikiran­pikiran cemar, dan malah semakin karib de­ ngan pelanggaran­pelanggaran rohani, dan masyuk di situ; “Dia tertawan di situ, sebab dia tidak pernah mendekatkan rohnya dengan roh Allah taala. Padahal Imam Shadiq berkata, ‘Siapa yang menggali sumur untuk mencelakakan orang lain, niscaya Allah akan memperosokkannya’. Ya, itu betul; 737 Hotel Pro deo “Ah, kok tiba­tiba saya berkhutbah kepadamu…” “Saya mencamkan kok, Pak,” kata Tuminah. “Pokoknya begitu,” kata Rachmat. “Terserah kamu. Apapun yang kamu lakukan secara hukum, itu sah. Mudah­ mudahan jerat hukum kepadanya bisa membuatnya berubah, sadar, eling, tobat.” “Ya, Pak.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tuminah semakin yakin memperoleh dukungan untuk bertindak tegas terhadap Dharsana yang dulu memang me­ rupakan sahabat akrab Rachmat Wirjono. Tindakan seperti apa yang akan dilakukan Tuminah pada hari yang ditentukan itu? Bersama dengan anakbuahnya Hidayat dan Abulhayat kecuali Rustam yang masih luka itu, ditambah dengan sepuluh lagi anggota polisi dengan uniform lengkap disertai dengan senjata­senjata laras panjangnya masing­masing, pada hari Senin pagi jam 07.00 Tuminah datang ke rumah Dharsana di wilayah Tebet tersebut. Dharsana pasti akan kecele. Pagi ini Tuminah datang ke rumahnya dengan sengaja berpakaian sipil. Begitu juga Hidayat dan Abulhayat. Mula­mula Tuminah masuk lebih dulu ke halaman ru­ mah. Anakbuahnya Hidayat dan Abulhayat mengawal di bela­ kangnya. Dia ketuk pintu rumah. Beberapa kali Tuminah me­ ngetuk. Makin lama makin keras. Rupanya di dalam Dharsana telah melihat lewat kaca ber­ tirai transparan yang bisa melihat jelas dari dalam dan tidak diketahui dari luar. Demi melihat bahwa sosok di luar itu adalah kembaran Juminah—yang tidak dikenalnya—buru­ buru Dharsana mengambil pistolnya—yang seharusnya sudah bukan lagi wewenangnya untuk memiliki itu sebab dia sudah 738 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado dibebastugaskan—lantas membuka pintu dengan langsung mengarahkan senjatanya itu kepada orang yang justru punya hak untuk memegang itu. Sambil membuka pintu, dan pintu telah terbuka, berkata Dharsana dengan pongahnya kepada Tuminah, “Kamu nekat! Kamu mau mencari mati?” Dharsana bukan hanya berkata begitu, tapi di ujung kali­ matnya dia menarik triger, lantas menembak ke tanah, mengira bahwa Tuminah bisa terteror dengan gertakan itu. Tuminah tidak bergerak. Justru karena bunyi tembakan itu Hidayat dan Abulhayat mengeluarkan senjata mereka masing­masing dan mengarah­ kannya kepada Dharsana, dan bersamaan dengan itu kesepuluh anggota polisi yang masih di luar, segera merangsek ke dalam halaman yang rimbun, siap dengan senjata laras panjangnya masing­masing, siap menyanyikannya ke arah Dharsana. Melihat itu Dharsana terkejut. Matanya mendelik. Harus­ nya dia gentar menghadapi ini. Tapi dia mewibawa­wibawakan dirinya. “Apa ini?” katanya. “Jatuhkan saja senjata itu, Pak Dharsana, atau Anda mati konyol di sini,” kata Tuminah. “Apa urusannya?” kata Dharsana dengan pongah. “Kamu cuma seorang pengacara. Kamu tidak berhak menekan saya.” Tuminah tidak hirau. Katanya, “Sekali lagi, Pak Dharsana, jatuhkan senjata di tangan Anda.” Dharsana maju. Dia berteriak kepada polisi­polisi yang sedang membidiknya, “Hei, kalian! Kalian tahu siapa saya ini. Saya Dharsana. Saya perwira tinggi.” Tuminah membentaki Dharsana, “Diam!” katanya. “Anda bukan polisi lagi. Anda sudah dibebastugaskan dengan tidak hormat dua tahun lalu.” 739 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Tidak!” seru Dharsana sambil maju dua langkah, dan da­ lam dua langkah itu berarti badannya mendekat pada Tuminah, sekaligus dengan itu dia meninju Tuminah. Tapi dia salah berhitung, memang, sebab dia tidak tahu bahwa Tuminah adalah juga polisi dengan prestasi beladiri yang terpuji dan beberapa kali menang dalam pertandingan di Jawa Timur. Dharsana mengira dia meninju barang mati yang tidak bisa bereaksi apa­apa. Tanpa diduga Dharsana—yang tubuhnya mulai tidak gesit seperti kebanyakan perwira pensiunan dan bebas tugas—maka Tuminah menghindar dengan cepat dan elok dari pukulan Dharsana, lantas bersamaan dengan gerakan yang tak terduga dan tak terbaca, kakinya menyepak selangkang Dharsana, pas mengena di bagian yang paling rawan. Dharsana sempat menjerit kesakitan sebelum jatuh dengan pantat tertada di atas lantai. Setelah itu, sebelum Dharsana bisa berbuat apa­apa, Tuminah mencabut pistolnya sendiri lantas mengarahkannya ke Dharsana. “Nah, berdiri, Pak,” kata Tuminah, wajahnya benar­benar mewakili kesungguhan hatinya untuk tidak main­main. “Anda berhadapan dengan kembaran pengacara yang tiga hari lalu Anda hinakan di sini. Saya bukan dia. Saya polisi. Saya yang akan bawa Anda pagi ini ke pengadilan. Anda minta dibawa dengan paksa, maka saya memaksa Anda sekarang. Ayo, berdiri.” Dharsana berdiri. Dari wajahnya tampak bahwa dia seperti tidak percaya pada matanya sendiri melihat apa yang terjadi di hadapannya ini. Selain itu, dalam rasa tidak percayanya, dia juga nasteng, merasa telah terhina ditendang oleh seorang perempuan yang dalam pikirannya selalu meremehkan perem­ puan. Karenanya, sembari berdiri, timbul rasa ingin memukul perempuan yang diremehkannya ini. Demikianlah, setelah merasa kedua kakinya tegak di lan­ 740 Remy Sylado tai, dia pura­pura patuh hendak berjalan masuk ke dalam rumah, tapi secepat itu juga dia berputar dan menendang pinggang Tuminah. Kali ini Tuminah memang kurang awas, sehingga tendangan Dharsana itu memang mengena ke tempat yang diingininya. Tuminah sempat berubah tempat berdiri, terseok ke belakang. Secepatnya Dharsana maju, menerjang, menyerang. Dia pun berhasil memukul Tuminah sampai yang disebut ini jatuh. Tapi Abulhayat dan Hidayat segera meloncat ke arah Dharsana, satu di kirinya dan satunya lagi di kanannya dengan senjata diarahkan ke kepalanya, Bersamaan Hidayat dan Abulhayat berkata, “Berhenti!” Dharsana terpaksa diam. Tuminah berdiri. Tuminah maju. Dia tarik baju Dharsana lantas menggamparnya. Bukan hanya sekali. Tapi dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, sampai Dharsana terputar­putar seperti gasing, dan akhirnya tumbang seperti pohon pisang. Beberapa saat Tuminah diam, berdiri di hadapan Dharsana, memperhatikannya dengan jengkel. “Sekali lagi, Pak Dharsana,” kata Tuminah, “Cepat bersiap­ siap untuk berangkat. Anda diharuskan berada di pengadilan hari ini pada jam 09.00. Saya hanya punya lima menit untuk menunggu Anda.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 741 www.bacaan-indo.blogspot.com 132 Dalam sidang perkara perdata, urusannya gampang beres: Dharsana tidak berkutik melawan kemauan Ibu Intan untuk bercerai, dan karenanya soal cerai, selesai. Tapi kemudian, perkara pidana, sidang pengadilannya memasuki saat­saat pelik, ramai, dan menarik perhatian banyak orang, lantaran sikap Dharsana dalam jawaban­jawaban yang dikawal oleh pengacaranya, Luhut Petrus Situmeang, serba berbelit­belit, ngeyel, dan menjengkelkan. Sidang pengadilan perkara pidana itu terjadi setelah ditunda sampai dua minggu, menunggu Dharsana menemukan pembela yang disebut itu untuk membelanya sesuai dengan undang­undang yang berlaku. Dharsana sendiri yang mencari Luhut. Dulu dia ditawari oleh Rachmat untuk memakai seseorang yang dianggap baik, tapi dia tidak peduli, bahkan meremehkan. Sekarang dia www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado diharuskan hadir di pengadilan dengan seorang pembela, dan karenanya dia pilih Luhut, sosok sarjana hukum yang lumayan populer: pernah bermain sinetron kelas sampah dan dengan kualitas akting yang kaku pula, kemudian saat ini duduk pula di kursi lembaga legislatif mewakili partai berwarna langit setelah sebelumnya berganti­ganti warna partai dari merah ke kuning, dan dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi III DPRRI sering bicara meledak­ledak seperti mercon banting tapi sekaligus tidak bermutu, persis seperti tong kosong bunyi nyaring. Sebelum hadir sebagai pembela Dharsana di pengadilan, pada kemarin malam Luhut sengaja pergi ke salon, mencat rambutnya supaya tampil beda dengan warna coklat kepirangan, entah ilusi apa yang bermain dalam otaknya dengan mode remaja gaul seperti itu. Kiranya yang mudah disimpulkan dari diri pengacara ini, adalah, pribadinya pecah, tak serasi kerja­ sama antara otak dengan hatinya. Ketika memasuki ruang sidang, dimulai dari berjalan sete­ lah memarkir mobilnya di bawah pohon, ke gedung utama tempat akan diselenggarakannya peradilan, sedikit­sedikit dia memberi senyum disertai dengan anggukan kepala yang berlebihan kepada siapapun yang berpapas dan melihatnya, rumangsa dirinya adalah selebritas yang dielu­elu penggemar. Buset deh! Di dalam ruang sidang, ketika hakim mempersilakan Untung Surapati selaku JPU atas perkara tuntutan Ibu Intan, dan sang JPU belum lagi bicara apa­apa, maka buru­buru mulut Luhut sudah lebih dulu bunyi­bunyi. Katanya setelah memberi hormat kepada majelis hakim yang dipimpin oleh Ny Nanin Permadi SH, MH, “Saya mohon kepada Ibu Ketua Hakim yang mulia, bahwa demi keadilan yang didasari oleh akal sehat dan nurani yang bersih berasaskan Pancasila, kiranya tidak perlu melanjutkan gelar sidang ini, 743 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo sebab ini sungguh suatu gagasan salah wesel yang boros. Klien kami merasa sudah selesai tuntas dengan perdata. Dengan tuntutan bekas istri klien kami yang meminta cerai, maka cerai sudah terjadi di bawah hukum, dan itu berarti sudah selesai, sudah tuntas. Kami tidak melihat hubungan perdata dengan pidana. Tuntutan bekas istri klien kami adalah cerai, dan itu sudah beres: klien kami bukan lagi suami atas bekas istrinya, dan begitu pula bekas istrinya itu bukan lagi istri dari bekas suaminya. Jadi, maaf Ibu Ketua Hakim, menurut hemat kami, melanjutkan perkara perdata yang sudah rampung dan tuntas ke perkara pidana—yang sangat bertendensi politis—sungguh merupakan pemborosan tenaga yang tidak pada tempatnya. Perlu kita ingat bersama, bahwa dalam era reformasi sekarang ini, pemborosan bisa juga berpintu dan berjendela korupsi. Oleh karena itu, sekali lagi, Ibu Ketua Hakim, mohon dipertimbang­ kan, bahwa kasus cerai sudah selesai, sebab cerai memang merupakan tujuan bekas istri klien kami tersebut.” Untung menangkis dengan tenang. Katanya dengan santun yang terjaga kepada majelis hakim, “Ibu Ketua Hakim, alasan cerai Ibu Intan memang tujuan, tapi di dalam menuju ke tujuan, ternyata ada bagian­bagian penting yang harus diurai secara pidana, sebab justru alasan cerai itu berangkat dari sana, yaitu kekerasan dalam rumahtangga dengan diawali pembunuhan berencana.” Luhut menuding dengan congkaknya ke arah Untung sem­ bari memandang majelis hakim. “Itulah tuduhan keji terhadap klien kami, Ibu Hakim Ketua,” katanya menggebu­gebu. “Tidak ada bukti apa­apa soal itu.” Namun Ny Nanin Permadi selaku ketua hakim menolak permintaan tegas Luhut yang merasa sok­pintar itu. “Saudara tidak bisa bicara soal itu, soal bukti, sebelum sidang digelar,” kata ketua hakim. “Supaya bukti bisa dilihat, maka sidang ini diperlukan. Nah, dengan ini sidang dibuka. 744 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Saya minta Saudara Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutannya.” “Terimakasih, Ibu Ketua Hakim,” kata Untung dengan hormat yang alami sambil menundukkan kepala, kemudian menggelar catatan­catatannya. Catatannya rapi, tertulis dalam beberapa belas lembar, dengan kalimat­kalimat bahasa Indonesia yang tertib, kecuali dengan kutipan bahasa Belanda—karena memang KUHP Indonesia merupakan kelanjutan dari sistem KUHP zaman Belanda—yang diucapnya dengan lafal yang benar. (Banyak ahli hukum Indonesia saat ini yang melafal istilah hukum bahasa Belanda dengan keliru, cenderung keinggrisan, dan itu membuat tertawa bagi orang, seperti Juminah, yang belajar bahasa Belanda di Erasmus Huis, Jl. HR Rasuna Said Kav. S3 Kuningan, Jakarta). Walau gugatannya tersedia dalam bentuk catatan, yang telah diketik rapi, Untung tidak membacanya, tapi mengurainya secara lisan dengan kata demi kata yang tidak jauh berbeda dengan apa yang maktub dalam catatannya itu. Poin­poin yang mencengangkan Dharsana—tapi yang di­ sebut ini berusaha menyembunyikan kebingungannya—adalah pertama, tanpa tedeng aling­aling Untung berkata lancar, “Saudara Dharsana diyakini oleh klien kami sebagai pihak yang merekayasa pembunuhan terhadap putra tunggalnya, yaitu Marcel, dipanggil Marc, melalui cara yang sangat rapi sekaligus licik, memanfaatkan tangan seorang petinju temperamental, yaitu KC, dalam sebuah tabrakan sengaja di atas jembatan layang Senen pada lima tahun lalu, persisnya awal 1998. Jadi, petinju itu ditabrak dari belakang, sehingga istri yang di­ boncengnya mati, lalu, dalam keadaan marah KC memukul Marc. Rupanya Saudara Dharsana tahu betul bahwa pukulan KC sangat mematikan. KC sendiri dipecat dari tinju profesional 745 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo karena temperamennya itu, terakhir membunuh lawannya di atas ring. Padahal, kematian Marc bukan karena pukulan KC. Sebelum Marc dipukul oleh KC, terlebih dulu Mayang pacarnya, atas suruhan Dharsana menyuntikkan racun narkoba ke tubuh Marc. Racun itulah sebetulnya yang mematikan Marc, bukan pukulan KC.” “Semua itu isapan jempol,” kata Dharsana, muka merah, marah, tapi juga dalam hatinya serasa hilang hikmah, seperti ditelanjangi tanpa ruang sembunyi. “Itu seratus persen fitnah. Saya keberatan.” Hakim ketua mengingatkan Dharsana dengan memukul palu di atas meja. “Nanti giliran Saudara menjawab. Bukan sekarang.” Tapi Dharsana ngeyel, “Ya, Ibu Hakim, cerita itu karang­ karang belaka,” katanya. Lagi hakim ketua memukul meja, menyuruh Dharsana tertib, “Sekali lagi, giliran Saudara bicara, nanti.” Lalu, kepada Untung dia berkata, “Silakan lanjutkan.” “Terimakasih, Ibu Hakim,” kata Untung. “Sekaligus, da­ lam melanjutkan uraian kami tadi, kami ingin juga memberi pandangan, bahwa cerita yang dikatakan sebagai karang­ karang oleh Saudara Dharsana, memang jalannya mirip seperti itu, mirip cerita film India. Dan, menurut kami, hal itu aneh sekali. Pertama, menyebut sesuatu yang merupakan realitas, malah nanti akan menjadi senjata makan tuan, kalau kita sampai pada pembuktian dengan saksi­saksi mata.” “Apa Saudara punya saksi­saksi mata itu?” tanya hakim ketua. “Punya, Ibu Hakim,” jawab Untung. “Semua yang saya sebut namanya tadi adalah saksi­saksi yang bisa ditampilkan di persidangan ini, Ibu Hakim.” 746 Remy Sylado Dharsana membelalak. Tapi dia mencibir. Dia mencoba tampil seperti benang basah yang ingin tegak mececang. “Yang kedua, Ibu Hakim, apa yang dikatakan Saudara Dharsana sebagai fitnah, setidaknya bisa pengacaranya maju sebagai saksi mata, bahwa Saudara Dharsana memang punya bakat sebagai pembunuh berdarah dingin, sebab pengacara Ibu Intan melihat dengan matanya sendiri, bagaimana Saudara Dharsana menembak seorang demonstran di depan kampus Atma Jaya. Sehabis menembak, Saudara Dharsana menyuruh sopirnya cepat­cepat memundurkan mobil kembali ke arah utara, lantas menghilang di prapatan Casablanca. Sopirnya itu bernama Lukman. Lebih jauh, tentang Lukman, kami siap mengajukannya di sini sebagai saksi.” Setelah mengurai semua tuduhan secara rinci, pada ujung­ nya Untung memohon kepada majelis hakim untuk menahan Dharsana, dan majelis hakim setuju. Dharsana segera digiring masuk ke mobil tahanan, dibawa ke rumah tahanan. Dharsana marah, menyerapah, menolak dipegang oleh petugas. Semua orang yang menyaksikan, yang hadir dalam sidang ini, antara­ lain Rachmat, Tuminah, anakbuahnya, termasuk Ibu Intan sebagai orang yang berkepentingan, sama­sama melihat Dharsana dengan perasaan yang berbeda: yang prihatin, yang syukur, yang masabodoh, dan seterusnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 747 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 133 DI dalam tahanannya, di mana Dharsana bicara dengan Luhut dibatasi jeruji besi bergaristengah 3 cm, berlangsung dialog menyangkut seseorang yang selama ini telah hilang dari bisnis perkeliruan, dan bahkan oleh Bon Jovi, dalam pemeriksaannya beberapa waktu lalu dikatakannya: “Mungkin sudah mati.” Siapa yang dimaksud, yang sedang dicakapkan oleh Dharsana kepada Luhut di rumah tahanan ini? Dia tak lain adalah Anto Irawan. Anto sekarang ini preman. Arti ‘preman’ sesuai dengan kosakata serapan dari bahasa Belanda ‘vrijman’ yang dilafal ‘freiman’, adalah aslinya dimaksudkan sebagai seseorang yang tidak lagi berdinas baik dalam ketentaraan maupun dalam kepolisian. Sebagai preman yang memang tidak berdinas lagi di ke­ polisian karena dipecat enam bulan sebelum Dharsana dibebas­ 748 www.bacaan-indo.blogspot.com tugaskan, Anto sekarang tinggal di Pekalongan bersama istri barunya, istri keempat, seorang janda kaya beranak empat yang pengusaha batik. Sejak menjadi preman dan beristri janda kaya itu, Anto benar­benar sudah tutup buku atas bisnis perkeliruan tersebut— ya narkoba ya senjata—dan sekarang mengaku sudah sadar, sudah tobat, sudah eling, tak mau lagi melakukan hal­hal yang dulu biasa dia lakukan. Mudah­mudahan saja pengakuannya itu sejati. Tiba­tiba saja Dharsana berpikir tentang diri Anto. Dharsana mengharapkan sesuatu darinya. Apabila Dharsana berharap, dan itu terjadi di dalam tahanan, maka dapat dengan mudah disimpulkan, bahwa hal itu niscaya berkaitan dengan tindakan kejahatan. “Tolong temui Anto Irawan,” kata Dharsana, “Dan, bilang saya membutuhkan dia.” Tapi Dharsana sendiri tidak tahu alamat persisnya di Peka­ longan. Dia hanya berkata, bahwa pedagang­pedagang batik di kota pesisir itu pasti mengenal istrinya. Sebagai pembela Dharsana, Luhut siap berangkat ke Pekalongan mencari Anto. Ini di luar kebiasaan para advokat yang biasanya bicara hitung­hitungan rupiah terlebih dulu untuk segala hal sebelum bekerja. Memang, bagi , ketika dia menyatakan mau menjadi pembela Dharsana—yang mantan perwira polisi—dasarnya bukan uang seperti lazimnya mata pencarian advokat, melainkan harapan di baliknya untuk men­ jadi perhatian publik. Apabila kerjanya menjadi perhatian publik, itu berarti pers akan ambil bagian dalamnya, dan berita yang disebarkan pers dengan sendirinya menjadi alat promosi dirinya. Begitulah gerangan, Luhut segera berangkat ke Pekalongan malam ini juga, memakai keretaapi eksekutif Semarang­ Tawang dari Jakarta­Gambir, sampai di tujuan pada pagi hari Hotel Pro deo sekitar subuh. Dari stasion dia dibawa becak memasuki jalan sepanjang Jl. Hasanuddin yang lebih dikenal sebagai Keplekan Kidul ke Jl. Sultan Agung yang lebih dikenal sebagai Keplekan Lor. Dia cari hotel untuk beristirahat sejenak, mandi, ganti baju, lalu ke alun­alun tempat terdapat beberapa penjual batik. Di situ dia bertanya, mencari informasi tentang seorang janda pengusaha batik yang sekarang menjadi istri mantan polisi. Tak perlu bertanya ke sana­sini, cukup pada satu orang saja, maka Luhut sudah tahu alamat pengusaha batik tersebut. Namanya Ibu Endang Wahyuni, umur 40 tahun, tinggal di Pesindon da­ erah Jl. Hayam Wuruk, dari stasion keretaapi ke kanan. Anto menyambut Luhut dengan perasaan asing. Namun, setelah memperkenalkan diri sebagai advokat yang akan mem­ bela perkara Dharsana, barulah Anto membuka diri. “Pak Dharsana mengharapkan sekali Bapak untuk datang mengunjunginya di tahanan,” kata Luhut. “Menurut Pak Dharsana, hanya Bapak yang bisa menolongnya.” “Menolong apa?” “Entahlah.” “Baiklah. Kita berangkat dengan keretaapi malam nanti.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dengan keretaapi malam tersebut Anto dan Luhut ke Jakarta. Keesokan harinya, ditemani oleh Luhut, Anto mendatangi tempat tahanan Dharsana. Kepada Luhut, Dharsana meminta bicara empat mata dengan Anto, dan Luhut pergi. Dalam percakapan empat mata ini, dengan suara yang dipelankan nyaris bisik­bisik, Dharsana berkata kepada Anto, “Kamu ingat sopir saya Lukman?” “Ya, Pak,” sahut Anto. 750 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Dia terlalu banyak tahu urusan kita dulu,” kata Dharsana membuka inti percakapan dari pertemuan ini. Lalu, “Kamu mengerti maksud saya?” Anto tidak menjawab lisan, tapi dari cara dia memandang Dharsana, naga­naganya dia paham arah percakapan yang baru didengarnya itu. Dia menatap. Dengannya dia menunggu apa kelanjutan percakapan Dharsana itu. “Maksud saya, saya minta tolong dari kamu,” kata Dhar­ sana. “Ya, Pak,” kata Anto, masih tetap menunggu kelanjutan percakapan Dharsana. “Selama ini saya sudah meminta tolong kepada orang­ orang bodoh,” kata Dharsana. “Saya lupa, bahwa saya punya kamu, yang pintar dan setiakawan. Sungguh mati, saya sampai lupa kamu, padahal harusnya dari dulu saya meminta tolong kamu.” Mestinya Anto paham akan arah percakapan Dharsana, tapi pada kalimat­kalimat yang terakhir ini terasa kabur, entah ke mana tujuan bicaranya itu. Maka dia bertanya, “Ada apa sebetulnya, Pak?” Jawab Dharsana, “Seperti saya bilang tadi, Lukman, sopir saya itu terlalu banyak tahu urusan saya. Sementara, di peng­ adilan namanya sudah disebut­sebut oleh pembela mantan istri saya. Jadi, tidak ada jalan lain, saya minta tolong kamu, supaya menyingkirkan Lukman.” Anto terkejut. Yang terucap hanya tiga huruf disertai tanda interjeksi, “Pak!” Sebaliknya Dharsana bersikap dingin, seolah tidak ter­ pancing oleh sikap Anto yang terkejut itu. Katanya, “Sebelumnya, terimakasih sebesar­besarnya karena perhatianmu untuk mau menolong saya.” Lagi Anto mengucapkan kata yang sama. Kali ini nadanya bukan tanda seru melainkan tanda tanya, “Pak?” 751 Hotel Pro deo Dan, lagi­lagi Dharsana tidak hirau akan pikiran yang berlangsung di otak Anto. Katanya, “Hanya kamu yang saya yakin bisa melaksanakan ini. Rumahnya, saya yakin kamu tahu. Di depan lapangan terbang Pondok Cabe, ada jalan kecil, di gang kedua belok kanan, dan rumahnya model rumah­rumah Betawi zaman dulu: bukan pakai kaca tapi kawat jaring…” “Saya tahu, Pak,” kata Anto. “Nah, saya percayakan semuanya pada kamu,” kata Dhar­ sana. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Anto berangkat ke alamat Lukman. Tiba di rumah Lukman menjelang asar. Tak jauh dari rumah Lukman kebetulan ter­ dengar lewat corong masjid suara muazin menyerukan sem­ bahyang. Beberapa saat Anto berdiri di depan rumah Lukman. Seorang wanita, rupanya tetangga di sebelah rumah Lukman, bertanya kepada Anto, hendak mencari siapa. Cara bicaranya khas Betawi pinggiran yang kesundaan. “Nyari siapa, Pak?” Sambil menunjuk rumah Lukman, Anto berkata, “Ini ru­ mah Lukman?” “Iya tuh,” jawab wanita itu. “Entu, suara Bang Lukman nyang lagi jadi bilal.” Anto tertegun nanap. “Apa?” “Iya,” sahut wanita. “Entu suara Bang Lukman. Sekarang Bang Lukman nyang jadi modin di masjid kampung sini. Emang Abang, eh, Bapak, dari mana?” Anto agak gelagap. Jawabnya kagok. “Nggak,” katanya. “Cuma mau ketemu aja. Tapi ya udah, entar aja ke sini lagi.” Aneh, tiba­tiba Anto mundur beberapa langkah, lalu buru­ buru pergi, setengah berlari ke jalan besar di depan, menunggu taksi yang bisa membawanya ke Jakarta Pusat. 752 Remy Sylado Sepanjang jalan, sampai ke hotel tempatnya menginap di sekitar Pasar Senen, pikirannya terganggu, agaknya nuraninya yang mengimbau hatinya untuk tidak melakukan apa yang di­ harapkan oleh Dharsana. Kepalanya tidak menggeleng, tapi hatinya terus mengatakan tidak: “tidak sanggup dan tidak mau.” “Demi Tuhan, aku tidak mungkin melakukan itu,” katanya. “Aku pernah berjanji pada nuraniku untuk tidak lagi melakukan hal­hal yang jahat. Ya, Pak Dharsana, maaf, saya tidak mau melakukan itu.” Dia merasa enteng, tidak ada beban apa­apa, ketika dia pulang kembali ke Pekalongan. Dengan keretaapi malam dia pulang ke kota itu. Tinggal bagaimana nanti dalam persidangan Dharsana, yang disebut ini terkinjat, Lukman akan hadir memberikan kesaksian. Itu pasti. Dan barangkali juga Anto sendiri bisa hadir dalam persidangan itu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 753 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 134 SIDANG pengadilan kembali digelar setelah seminggu ber­ selang. Sidang hari ini khusus memberi kesempatan kepada Luhut, sebagai pembela Dharsana, untuk melakukan pembelaannya. Maksudnya jelas, pembelaan berarti juga penyangkalan, yaitu menolak semua yang sudah dikemukakan oleh JPU dalam tuntutannya pada sidang yang pertama. Dalam sidang hari ini tampak pengunjung yang ingin menyaksikan sidang lumayan banyak, semua kursi penuh di­ duduki. Niscaya mereka membaca koran pada terbitan pekan lalu tentang sidang hari ini. Yang menarik, tentu, karena yang diperkarakan adalah Dharsana, sosok bekas perwira yang di­ sebut sebagai ahli masalah Cina di DPRRI. Selain orang awam yang penasaran hendak menyaksikan sidang ini, ada juga pemerhati hukum, mahasiswa, serta ter­ 754 www.bacaan-indo.blogspot.com lihat juga Rachmat dan Tuminah, dan anak­anak Dharsana yang giras seperti unggas tertentu yang mendadak terkurung dalam kandang. (Nanti hakim ketua akan memerintahkan petugas pengadilan untuk mengeluarkan kedua anak Dharsana ini, karena mereka ribut di dalam persidangan: suit­suit, meng­ acung­ngacungkan tangan, dan menjerit­jerit.) Setelah membuka sidang ini, hakim ketua mempersilakan kepada Luhut untuk memberi pendapat, atau tangkisan, atau pembelaan, terhadap kliennya, Dharsana. “Hari ini kita akan mendengar pendapat Saudara Pembela atas tuduhan Saudara Jaksa Penuntut Umum yang sudah dibacakan dalam sidang minggu lalu,” kata sang hakim ketua Ny Nanin Permadi. Luhut pun menganggukkan kepala kepada hakim ketua, mengucapkan rasa terimakasihnya, kemudian bicara dengan badan tegak di belakang meja dengan gaya bicara yang me­ nyebalkan, agaknya terbawa­bawa dengan cara intonasi dialog dalam sinetron­sinetron sampah yang pernah diikutinya de­ ngan akting jelek. Hari ini tidak seperti pekan silam. Hari ini rambut pirangnya sudah dipangkas. Yang disisakannya hanya bagian kecil, dibuatnya sebagai kuncir pendek di belakang kepala, se­ panjang sepuluh sentimeter, persis kayak ekor tikus got. “Begini, Ibu Ketua Hakim,” kata Luhut, sangat congkak, niscaya karena sekarang menjadi anggota DPRRI di Komisi III, di samping gaya tengilnya seperti kebanyakan pemain sinetron yang tidak berbakat. “Saya tidak terpanggil untuk bicara panjang­lebar menanggapi tuntutan Saudara JPU yang me­ wakili Ibu Intan itu, eh ya sorry deh, sebab dengan satu kalimat pendek saja, saya ingin berkata: tuntutan itu bullshit.” Kedua anak Dharsana yang kampungan itu lantas bersorak­sorak gembira. “Yeh, bullshit!” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Hakim ketua mengetuk meja. Dia tak suka melihat ke­ lakuan kedua anak Dharsana itu. Tapi yang dia tegur adalah Luhut. “Tolong, gunakan bahasa Indonesia kalau Saudara hendak berkata sesuatu yang Saudara tidak setujui,” kata hakim ketua. “Apa maksud Saudara menyebut kata bullshit?” Kedua anak Dharsana yang kampungan itu malah mencibir di kursinya. “Huuu.” Secepatnya Luhut menjawab pertanyaan hakim ketua. Katanya, “Maaf, Ibu Hakim Ketua, saya memang tidak bisa menahan rasa gelak tawa lucu atas tuduhan Saudara JPU pada sidang yang lalu itu, sebab menurut hemat saya, tuntutannya itu keliru, dalam bahasa Inggris­Amerika, maaf, memang ada­ lah bullshit.” Kedua anak Dharsana yang kampungan itu ketawa keras­ keras. Sejauh ini ketua hakim belum bertindak apa­apa, tapi ma­ kin merasa direcoki, karenanya dia pun memukul­mukul meja. “Yang saya tanyakan, dan belum Saudara jawab, apa mak­ sudnya Saudara menyebut kata bullshit?” kata hakim ketua. “Ya, Ibu Hakim Ketua,” kata Luhut, “Menurut kamus bahasa Inggris, bullshit adalah ‘foolish talk’ atau ‘nonsense’.” “Pakai kamus bahasa Indonesia saja,” kata hakim ketua. “Nah, bisakah Saudara tidak menggunakan istilah itu?” Luhut seperti tertempelak. Jawabnya singkat dan men­ cari­cari apologia, “Bisa, Ibu Ketua Hakim.” “Baik,” kata ketua hakim, “Lanjutkan.” “Terimakasih,” kata Luhut, kesannya sopan, tapi penam­ pilannya tetap tengil dan memualkan. “Saya pikir, tuntut­ an yang sudah dibacakan oleh Saudara JPU minggu lalu itu merupakan kekeliruan besar. Seperti saya katakan pada sidang yang lalu, itu hanya cerita karang­karang isapan jempol 756 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado belaka. Semuanya tidak disertai dengan bukti. Oleh karena itu, demi hukum dan keadilan yang berdasarkan pada Pancasila, saya mohon dikabulkan oleh majelis hakim, untuk segera membatalkan tuntutan isapan jempol tersebut.” Kedua anak Dharsana yang kampungan itu lagi­lagi ketawa keras di kursinya. Majelis hakim mulai marah melihat kedua anak itu, saling bisik, tapi masih belum meledak, artinya masih bisa menahan marahnya itu, sambil tetap memusatkan pikiran pada bicara Luhut yang tampak sekali sombong yang songong. “Mengapa saya mengatakan sidang ini seyogyanya mem­ batalkan tuntutan yang isapan jempol itu?” kata Luhut me­ lanjutkan kalimat panjangnya. “Sudah jelas, ini persoalan rumahtangga yang hendak dibawa ke urusan politik. Kerangka­ nya, terlihat nuansa hendak merusak citra kepolisian negara…” Kedua anak Dharsana yang kampungan itu lantas berseru girang di kursinya. “Ya, itu betul!” Akhirnya hakim ketua marah, memukul­mukul meja, lan­ tas berkata dengan suara keras, “Coba keluarkan kedua pe­ ngacau itu! Cepat keluarkan mereka!” Petugas yang berdiri di belakang, dua orang, segera ber­ tindak, menyeret kedua anak Dharsana itu keluar ke luar. Keadaan sidang agak sedikit heboh, dan pasti akan ada surat­ kabar yang memberitakan sidang ini pada keesokan paginya, lantas dibaca oleh sejumlah orang. Kembali Ny Nanin Permadi selaku hakim ketua memukul meja untuk menenangkan gemremeng orang­orang di ruang sidang. “Lanjutkan,” kata sang ketua hakim, mengarahkan tangan­ nya pada Luhut. “Terimakasih, Ibu Ketua Hakim,” kata Luhut. “Jadi, begini, Ibu Ketua Hakim, yang ingin saya katakan, memang sekarang 757 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo klien kami pensiunan anggota kepolisian, tetapi, tuntutan cerai dari istrinya itu sudah dimulai ketika klien kami masih aktif sebagai polisi, sebagai perwira tinggi. Artinya, sebagai anggota polisi dari jajaran perwira tinggi, klien kami merupakan contoh teladan bayangkara negara yang teruji pada penegakan hukum, sesuai dengan tata kerja Polri sendiri, yaitu, berjalan di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 54 Tahun 2001, Bab 1 Pasal 2. Nah, manalah mungkin seorang bayangkara nega­ ra melakukan hal yang bertentangan dengan panggilan jiwanya untuk setia pada negara dan patuh pada hukum? Sungguh, samasekali itu tidak rasional. Oleh sebab itu, tanpa berpanjang­ panjang bicara, dengan segala hormat kepada Ibu Ketua Hakim dan anggota Mejelis Hakim, saya mohon tuntutan Saudara JPU yang tidak rasional itu dibatalkan.” Di akhir kalimatnya, yang diucapkan dengan intonasi yang dibuat­buat, sehingga kesannya artifisial, dan orang­orang yang hadir di sidang ini tampak gemas seakan ingin melempar tahi ke mukanya, Luhut berdiri dari kursinya, menganggukkan kepala kepada majelis hakim. “Dari saya cukup sekian,” katanya menambahkan. Sikap agul Luhut itu sertamerta ditanggapi oleh Untung. Katanya kepada majelis hakim, “Maaf, Majelis Hakim, apa yang dikemukakan oleh Saudara Pembela menunjukkan lemahnya kemauan untuk menegakkan benang basah. Selain itu, penam­ pilannya overakting, mengira pengadilan di Indonesia ini sama dengan pengadilan di Amerika. Barangkali Saudara Pembela penggemar film Hollywood…” Ketua hakim memalu meja. “Bukan Saudara yang menilai itu, tetapi kami,” kata Ny Nanin Permadi. “Bicara yang relevan dengan masalah.” “Maaf, Ibu Ketua Hakim,” kata Untung menyadari teguran sang ketua hakim. “Maksud saya begini, Ibu, berhubung dalam sidang kemarin itu saya sudah menyebut nama­nama yang 758 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado bisa jadi saksi untuk hadir di sini, maka saya harap hal itu bisa dilaksanakan.” “Apa Saudara sudah siap dengan saksi­saksi itu pada hari ini?” tanya sang hakim ketua. “Eh, maaf, Ibu Hakim Ketua, belum,” jawab Untung, dan Luhut pun mencibir di seberang meja, di antara Dharsana yang duduk pas di tengah­tengah. “Tapi, saya bisa bawa nama­nama yang sudah saya sebut itu dalam sidang yang akan datang. Dua nama, masing­masing KC dan Mayang, tidak tinggal di Jakarta. Mayang dirawat di rumahsakit Kramat, Magelang, sudah empat tahun ini. Dan KC juga sudah jalan lima tahun di Nusa­ kambangan. Jika KC akan dihadirkan di sini, maka perlu surat keterangan dari majelis. Tapi dua nama yang lain, masing­ masing Bon Jovi dan Lukman, tinggalnya di Jakarta. Keduanya bisa saya hadirkan di sidang ini.” Dharsana melempar senyum ke Luhut. Dia tahu bahwa Lukman sudah dihabisi oleh Anto. Senyumnya kepada Luhut ini mengandung arti ejek. Luhut sendiri pun membalas senyum ejek itu dengan senyum yang sama pula. Kendati begitu, nanti seusai sidang hari ini, toh Dharsana bertanya kepada Luhut tentang rahasia yang bahkan tidak diketahui oleh pengacaranya ini. Sementara itu, mendengar jawaban Untung untuk nanti bi­ sa membawa KC di persidangan ini, Ny Nanin Permadi menoleh ke anggota hakim—di kirinya seorang lelaki empatpuluhan tahun tapi rambutnya putih semua seperti kapas, dan di kanannya seorang perempuan berkacamata silindris—lantas memutuskan dengan mengetuk meja. “Bisa,” kata hakim ketua. “Membawa keluar dari Nusa­ kambangan ke sidang ini sebagai saksi, harus mendapat izin dari menteri.” “Baik, Ibu Hakim Ketua,” kata Untung sembari meng­ arahkan matanya ke Juminah. 759 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Juminah pun mengangguk. Lalu kata hakim ketua, “Kalau begitu, sidang dilanjutkan setelah Saudara JPU berhasil mendapatkan surat izin menteri, dan saksi dimaksud dihadirkan di sini.” Sidang bubar. Kemudian, baik Dharsana maupun Ibu Intan sama­sama didekati wartawan, yang lantas mewawancarai me­ reka masing­masing, dan keduanya menyerahkan jawaban­ jawabannya kepada Untung dan Juminah mewakili Ibu Intan, dan Luhut mewakili Dharsana. Dari mulut Luhut terdengar pernyataan sok­pede, “Saya yakin majelis hakim akan mengabulkan usul saya. Soalnya, yang bener aja dong, masak seorang perwira berpangkat komisaris besar, artinya setingkat kolonel, kok melakukan tindakan cero­ boh seperti tuduhan JPU. Di samping itu, keliru dong, hanya berdasarkan perintah dadakan, tanpa menunjukkan bukti­ bukti, kok klien saya langsung ditahan. Nggak betul dong itu. Ya nggak?” Tanya wartawan kepada Luhut, “Tapi kalau ternyata yang dituduhkan JPU itu benar, bagaimana?” “Ah,” jawab Luhut, “Seperti saya bilang di sidang tadi, itu bullshit.” Pada bagian lain, pertanyaan terhadap Ibu Intan, yang dijawab dengan santun oleh Juminah dengan kalimat yang terucapkan secara semadyanya, halnya disambut pula semadya­ nya oleh wartawan yang mewawancara. Kata Juminah, “Nanti kita lihat saja dalam persidangan. Dalam pengadilan orang harus berpikir positif. Berpikir positif barangkali tidak otomatis memberikan kepuasan, tapi rasanya tidak ada kepuasan yang lahir dari bukan berpikir positif.” *** 760 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 135 KEESOKAN harinya dua suratkabar dengan huruf­huruf berwarna merah—sehingga istilahnya menjadi ‘koran merah’, dibedakan dengan istilah di luar ‘yellow paper’—memuat berita persidangan tersebut dengan wawancara pada kedua pihak, masing­masing pembela Ibu Intan dan pembela Dharsana. Sekejap terasa berita ini panas. Maksudnya, model pem­ beritaannya memang bertendensi memanas­manasi keadaan dengan mengompor­ngompori pihak­pihak yang berselisih ter­ sebut. Rupanya model pemberitaan seperti itu sudah menjadi gaya jurnalisme setelah jatuhnya Orde Baru, cenderung liberal, tapi dengan peranti apologia ‘cek & ricek’ yang dulu merupakan ayat suci undang­undang pers dan ditakuti wartawan karena dengannya ada ancaman pencabutan Surat Izin Terbit dan kemudian Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Kedua pihak yang berselisih membaca berita yang dilansir kedua suratkabar tersebut. 761 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Juminah bersikap semadyanya terhadap pemberitaan itu. Di kantornya dia berkata kepada Ibu Intan, bahwa pers telah menjalankan tugasnya sebagai alat kontrol sosial. Dia menunjukkan pengertian itu kepada Ibu Intan dalam kalimat yang berbunyi: “JPU baru menguraikan kronologis kejadian, tetapi belum­belum sudah ditanggapi oleh pembela Dharsana untuk membatalkan tuntutan karena katanya itu bullshit, isti­ lah yang langsung ditegur oleh ketua hakim, dianggap tidak pantas.” Maka berkata Juminah pada Ibu Intan sambil membeber­ kan suratkabar itu di meja, “Nah, ini, Bu. Ini langsung mem­ bentuk opini masyarakat, bahwa pembela Dharsana itu tidak sopan.” “Jadi, kira­kira itu bagaimana?” tanya Ibu Intan. “Ya, kalau terdakwa tidak sopan, barangkali majelis ha­ kim melihat itu sebagai tidak mengertinya terdakwa di dalam persidangan, tapi kalau pengacara tidak sopan, padahal peng­ acara hidupnya di sekitar pengadilan, tentu saja itu menjadi hal tajam di mata hakim yang bisa mempengaruhi vonisnya,” kata Juminah. Lain lagi dengan tanggapan Luhut. Demi membaca berita itu, maka dia pun mencak­mencak di kantornya. Kalimat yang diterima semadyanya oleh Juminah, malah dicaci oleh Luhut, bahkan sekoran­korannya pun dibantingnya di atas meja. “Ah, pukimaknya wartawan ini,” katanya, dan dia tahu juga pemberitaan itu telah membentuk opini publik, bahwa dirinya tidak sopan. “Masak dibilangnya awak tidak sopan. Tidak ada itu. Hakim tidak bilang begitu kok. Pukimaknya memang wartawannya.” Siangnya dia ke rumah tahanan, dan dia tunjukkan juga koran itu kepada Dharsana. 762 Remy Sylado Tanggapan Dharsana, “Tuntut saja wartawannya.” Tapi Luhut hanya menggaruk­garuk kepala. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di luar sana, di tengah masyarakat luas yang kebetulan membaca pemberitaan itu, adalah Nia adik kandung marhum Iskandar yang dengan sendirinya bibi bagi Mayang dan ipar bagi Jeng Retno. Nia terkesima membaca suratkabar itu. Dia beli koran itu di kios Stasion Gambir setelah membeli tiket menuju ke Yogyakarta, dan dari sana ke Magelang, hendak menjenguk keponakannya di RSJ Kramat. Sebagai bibinya Mayang, Nia biasa menjenguk keponakan­ nya itu di Magelang. Kebetulan pekan ini liburnya panjang. Jadi, maunya dia akan menginap di Yogyakarta selama dua hari, menyewa mobil di Jl. Dagen untuk bisa mengantarnya ke mana yang dia suka. Lantas nanti, setelah menjenguk Mayang di rumahsakit Kramat itu, dia akan juga menemui Jeng Retno di desa Borobudur. Bagaimana keadaan anak dan ibunya itu yang selama ini diketahui terganggu jiwanya? Kelihatannya Mayang masih tetap dalam bayang­bayang lama: takut dimangsa hewan ganas. Keadaannya belum berubah apa­apa. Kecuali rambutnya yang tidak panjang. Dia sendirilah yang memotong rambutnya itu dengan menggunakan gunting tumpul sampai kepalanya kelihatan seperti pitik tukung. Di samping itu Mayang pun masih suka menyanyi­ menyanyi. Lagu yang disukainya adalah lagu­lagu baru yang sedang populer diputar di radio­radio. Artinya, dia sangat akrab dengan radio, dan anehnya dia bisa menghafal lagu­lagu baru, mulai dari nyanyian Britney Spears yang mendunia sampai nyanyian Mata Band yang menusantara. 763 www.bacaan-indo.blogspot.com Sekarang ini sedikit­sedikit—tak soal sedang makan atau­ pun sedang berak—Mayang menyanyi­nyanyi: “Oh, oh, kamu ketahuan, pacaran lagi…” Berbeda dengan Mayang, ibunya, Jeng Retno, tampak kuyu, dan tidak peduli pada keadaan dirinya yang dulu sibuk disemprot­semproti minyak­minyak wangi. Wangi­wangian yang dulu semerbak dari tubuhnya sebab bermacam merek parfum yang disemprot atau dilelet di situ, kini berganti de­ ngan sejumlah minyak gosok. Itu artinya, bahwa dulu dia memanfaatkan minyak­minyak wangi supaya ditaksir banyak lelaki, kini dia memanfaatkan minyak­minyak gosok sebab di­ taksir banyak penyakit. Hebatnya, ketika Nia menunjukkan suratkabar yang me­ muat berita tentang pengadilan Dharsana, bahwa Dharsana dijerat tuduhan berat pembunuhan terhadap anak tirinya, maka Jeng Retno berbinar­binar girang. Terucapkan kata­kata mirip menyumpah dari mulutnya, dan awet dengan kesukaannya bicara beringgris­inggris ria. “Go to hell! Biar dia mampus di neraka!” Nia seperti tidak percaya pada telinganya mendengar per­ nyataan Jeng Retno. Dia terkejut sekali. Sejenak dia meman­ dang wajah Jeng Retno, dan menatap matanya dalam­dalam. Dengannya dia menyimpulkan, atau paling tidak dia berpikir untuk membenarkan perasaannya, bahwa Jeng Retno sadar akan apa yang diucapkannya itu. Walau begitu, tak urung Nia bertanya juga dalam perasaan penasaran yang muncul berangsur dalam hatinya. “Mbak ingin Dharsana mampus di neraka?” Jawaban Jeng Retno makin mengejutkan perhatian Nia. Sebab, sepintas terasa jawabannya itu seperti lepas dari konteks pertanyaan, khas berlangsung di tengah orang­orang gila, tapi sangat nalar jika ditimbang dari sudut pengalaman merenung. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Kata Jeng Retno, “Hidup adalah sebuah kapal di mana setiap penumpang berharap ingin cepat tiba di dermaga meng­ injakkan kakinya di tanah tepi…” Nia bengong sejenak, terpancing untuk berpikir tentang makna yang ada di latarannya. Maka katanya kepada Jeng Retno, “Apa Mbak ingin tiba di dermaga itu?” “Oh my God. Dengar deh. Kalau aku tiba di sana, aku akan menulis surat buatmu. Aku akan kirim surat panjang­lebar tentang iblis Dharsana yang mampus di neraka. Yes. Biar dia mampus!” Dan, tiba­tiba Jeng Retno ketawa cekakak dan keras seperti terhilang kesadaran diri. Nia menatap lagi mata Jeng Retno, mencoba menyimpul­ kan, yang memang tidak tersimpulkan, bagaimana keada­ an jiwa iparnya ini yang sebenarnya, waras atau majenun. Kesimpulannya yang sederhana, dengan memperhatikan per­ nyataan spontan yang menyumpahi Dharsana, maka kira­kira hal itu boleh dianggap waras, artinya Jeng Retno mengerti apa yang dikatakan oleh Nia. Tapi, setelah itu teriakannya yang dilakukannya sambil ketawa cekakak, menunjukkan ke­ sadarannya tidak berimbang dengan isyarat waras. Nia prihatin. Dia peluk Jeng Retno sambil menepuk­nepuk belakang punggungnya. Dengannya dia berbisik di telinga Jeng Retno sebuah kalimat etis. “Aku berdoa untukmu, Mbak, supaya lekas sembuh.” Di luar dugaan, Jeng Retno melepas diri dari pelukan Nia seraya berkata dengan ajeg bergaya nginggris, “Oh my God! Come on, please, aku tidak sakit kok, Nia.” “Ya, ya,” kata Nia sekadar menunjukkan pedulinya. Dan, Jeng Retno malah berdiri di jarak dua meter dari Nia, memutar badan, lalu menghadap kembali ke Nia, “You see, I’m OK, kan?” katanya. 765 Hotel Pro deo Lagi Nia mengucapkan pernyataan pedulinya, “Ya, ya,” katanya, “Mbak oke banget.” Lalu Nia mengecupnya. Dan, aneh, bukan ‘thank you’ yang diucapkan Jeng Retno sesuai dengan kebiasaannya nginggris, tapi “Matur nuwun.” *** Tak habis Nia berpikir, merenung, merasa iba mengingat keadaan Mayang dan Jeng Retno. Demikian dia terus berpikir sampai dia pulang kembali ke Jakarta dengan keretaapi dari Yogyakarta­Tugu ke Jakarta­Gambir. Sesampainya di Jakarta dia mencari fotokopi majalah Australia yang memuat cerita tentang James Winata, lalu mem­ bacanya kembali, dan menaruh di atas meja yang gampang terlihat oleh matanya. “Siapa tahu majalah ini penting buat pengacara Ibu Intan,” katanya sendiri. Dalam hati dia berjanji akan hadir, menonton, sidang lanjutan terhadap Dharsana. Teringat dan terbayang sumpah Jeng Retno: “Biar dia mampus.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 766 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 136 JUMINAH yang mengurus surat izin dari menteri untuk bisa membawa keluar KC dari Nusakambangan dan hadir sebagai saksi di pengadilan di Jakarta. Setelah mendapat surat itu, Juminah langsung berangkat ke Nusakambangan dengan mobil yang distiri Ipong, mengatakan kepada KC tentang maksud kedatangannya di pulau Hotel Pro Deo yang paling menakutkan sejak zaman Belanda. KC heran, “Lo?” katanya dengan duduk menegakkan ba­ dan. “Saya sudah mendekam di sini sekian lama, kok mau di­ utik­utik lagi. Apa kurang kerjaan?” “Kesaksianmu diperlukan.” “Ngapain lagi?” “Siapa tahu vonis yang sudah kamu jalani ini bisa dikoreksi lagi.” “Apa maksudnya itu?” 767 Hotel Pro deo “Kalau vonis yang dulu itu keliru, harus dikoreksi se­ karang.” “Maksudnya, apa saya bisa bebas?” “Siapa tahu.” “Ya, ya, ya, ya, mau dong.” *** Setelah itu, Juminah kembali ke Jakarta, menghubungi Untung, dan selanjutnya Untung pun menyatakan kesiapannya kepada hakim, untuk kembali menggelar sidang lanjutan de­ ngan membawa saksi­saksi tersebut. Hakim ketua melihat jadwal kerjanya di buku hariannya. Kemudian katanya kepada Untung, “Baik. Sidang lanjutan dengan saksi yang dimaksud itu jatuh pada hari Kamis tanggal 14.” “Baik, Bu,” kata Untung. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sidang yang disebut ini lebih ramai lagi, dikunjungi oleh sejumlah orang yang membuat ruang sidang tampak sesak dan sumpeg. Nia termasuk salah seorang di antara orang banyak yang menempati kursinya di baris kedua dari belakang. Manakala sidang dibuka oleh hakim ketua, maka Luhut langsung bunyi­bunyi mulutnya. Dia mengkritik penahanan terhadap Dharsana sebagai tindakan yang salah prosedur. Cakapnya seperti biasa, tengil, sok­pinter, dan menjengkelkan. Toh tak lupa omongannya dimulai dengan basabasi yang sama­ sekali tidak menghibur. “Selamat pagi, Majelis Hakim yang mulia,” katanya dengan senyum artifisial yang lebih mirip cengir kuda. “Begini, Ibu Hakim Ketua, sebelumnya saya ingin mengajukan keberatan serius…” 768 www.bacaan-indo.blogspot.com Langsung hakim ketua memotong. “Soal keberatan nanti saja,” katanya. “Baiklah, Ibu Hakim Ketua,” kata Luhut. “Tetapi, saya ingin mengemukakan pendapat yang menurut saya serius sekali…” “Itu nanti,” kata hakim ketua. “Maaf, Ibu Hakim Ketua, masalahnya urgen, demi ke­ adilan.” Ketua hakim diam. Kelihatannya dia bersedia memberi kesempatan bagi Luhut untuk bicara. Dia tidak menyatakannya secara literal tapi dengan menyorongkan tangannya ke depan ke arah Luhut. “Terimakasih, Ibu Ketua Hakim,” kata Luhut. “Begini, Bu, selama beberapa hari ini saya mendapat suara dari malaikat di surga, bahwa telah terjadi kesalahan sengaja yang dibiarkan, menyangkut prosedur penahanan terhadap klien kami Komisa­ ris Besar Polisi DB Dharsana. Kesalahan itu adalah jelas me­ rupakan tindakan yang terlalu dipaksakan. Saya khawatir, Ibu Ketua Hakim, bahwa Saudara JPU telah keliru dan tersesat melaksanakan hukum kita soal asas praduga tak bersalah. Dalam asas itu, sudah kita maklumi bersama, bahwa secara hu­ kum seseorang tidak boleh ditangkap dan ditahan hanya ber­ dasarkan perintah, tetapi semestinya harus berdasarkan alat bukti. Sementara dalam sidang ini, kita masih belum tuntas mempersoalkan bukti­bukti tersebut sebab saksi­saksi pun belum dihadirkan. Justru saksi­saksi itulah yang diharapkan sebagai vinculum yang bisa memberikan link yang bersifat konektif terhadap bukti­bukti dimaksud dalam sidang hari ini. Oleh karena itu, dengan hormat, saya memohon kepada ma­ jelis hakim, supaya memulai kembali pengadilan ini dari awal. Maksud saya, kalau sidang pengadilan ini dimulai kembali dari awal, maka itu berarti, demi keadilan Pancasila, klien kami www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo harus terlebih dulu dilepas dari status tahanannya.” Ny Nanin Permadi yang ketua hakim, dengan tanggap, ce­ pat, dan tegas menjawab, “Keberatan Saudara ditolak. Sekaligus dengan itu, saya ingatkan Saudara, supaya tidak menyebut terdakwa sebagai ‘komisaris besar polisi’, sebab terdakwa sudah dibebastugaskan dari kepolisian, dan kedudukannya sekarang adalah preman.” Luhut mengacung, mengucapkan kalimat berikut dengan percayadiri yang mengandung kesan meremehkan orang lain, “Maaf, Ibu Hakim Ketua, boleh jadi benar bahwa klien kami sudah dibebastugaskan, tetapi samasekali ini suatu penghinaan menyebutnya sebagai preman.” Hakim ketua jengkel. “Apa Saudara mengerti bahasa Indo­ nesia?” Dengan stel yakin Luhut menjawab sambil menegakkan dada, “Mengerti sekali, Bu. Kata ‘preman’ itu bukan kata yang sosial, sebaliknya antisosial.” Hakim ketua memberi isyarat kepada hakim anggota un­ tuk menjawab kritik itu. Rupanya hakim anggota menguasai benar masalah bahasa. Maka kata hakim anggota yang berkacamata tebal, melototi Luhut, “Kalau Saudara tidak menguasai bahasa, jangan bicara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tercantum dua arti atas entri ‘preman’ tersebut. Sebutan yang dipilih oleh majelis hakim, dalam hal ini hakim ketua, adalah ‘preman’ dalam arti pertama. Yaitu, ‘preman’ berarti ‘sipil’. Ini diserap dari kosakata bahasa Belanda yang lazim dipakai pada zaman kolonial, yai­ tu ‘vrijman’, artinya ‘onafhankelijk mensch, zakendrager te Rotterdam die niet behoeft te loten, doch gekozen kan worden’. Apa Saudara mengerti bahasa Belanda?” Luhut termangu. Tak menjawab. 770 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Pengunjung menertawai Luhut. Langsung sang hakim anggota menggasaknya lagi. Kata­ nya, “Kalau mau belajar hukum di Indonesia, belajar juga bahasa Belanda, supaya tidak bodoh.” Juminah ketawa di tempatnya. Dia memang belajar bahasa Belanda di Erasmus Huis. Luhut mencoba berdalih. Namun yang terucap hanya kata penghubung intrakalimat yang bermakna deviasi: “Tetapi…” Kata itu terhenti di situ, karena hakim ketua memotong dengan tandas: “Cukup!” Lalu, selekasnya mengalihkan pan­ dangan matanya ke arah sang JPU, memajukan tangannya kepadanya. “Saudara jaksa penuntut umum, apakah Saudara sudah menyiapkan saksi­saksi?” “Sudah, Ibu Hakim Ketua,” jawab Untung. Astaga! Jawaban Untung itu mengejutkan sekaligus me­ negangkan indra Dharsana. Jantungnya berdenyut kencang. Matanya mendelik, sambil mengerling ke arah Luhut. Pasti Dharsana terkimbang­kimbang karena curiga. “Apa benar?” katanya sendiri, dan jawabnya sendiri pula, “Mustahil.” Dia menghibur hatinya sendiri, bahwa salah seorang sak­ si niscaya sudah tidak ada, sebab dia percaya Anto telah me­ nyingkirkannya. Meski begitu, dia pun deg­degan soal nama yang lain, dalam hal ini Bon Jovi, yang tidak pernah kembali kepadanya setelah tugas yang gagal itu. Dia curiga, tapi dia memang belum ngeh duduk soal yang sebenarnya. Ketegangan Dharsana agak reda setelah Untung berkata kepada majelis hakim, bahwa dalam sidang hari ini dia baru bisa menghadirkan KC. KC masuk ke ruang sidang seperti beruk tersesat di kota: tingak­tinguk sambil berjalan jinjit­jinjit. 771 www.bacaan-indo.blogspot.com Pengunjung ketawa melihatnya. Sebelum duduk di kursinya, terlebih dulu KC disumpah sebagaimana lazimnya—kitabsuci ditaruh di atas kepala—me­ nirukan kata­kata yang dituntun oleh seorang ulama. Kemudian, dalam menjawab pertanyaan­pertanyaan ke­ padanya, baik oleh JPU, pembela Dharsana, maupun majelis hakim, pengunjung yang menyaksikannya sering tersenyum dan tertawa kecil, karena jawaban­jawaban KC sangat lugu, dan betapa keluguan memang amat dekat dengan kedunguan. Untung mulai pertanyaan tentang awal KC memukul Marc sehingga dia dituduh pembunuhnya lantas dikalimatkan ke Nusakambangan. “Coba ceritakan, bagaimana Saudara memukul Marc…” “Wah, saya tidak tahu namanya Marc,” kata KC. “Orang yang Saudara pukul sampai mati di jembatan la­ yang Senen itu bernama Marc.” “Oh, ya, lupa,” kata KC. “Soalnya sudah jauh di belakang sana. Tahun berapa itu ya?” “1998,” kata Untung mengingatkan. “Oh, ya, ingat,” kata KC. “Betul. Saya memang memukul, tapi aneh, badan saya yang kehilangan keseimbangan, terputar dan jatuh. Gila.” “Kenapa begitu?” “Sebagai petinju, saya tahu: kenapa begitu,” jawab KC. “Berdasarkan pengalaman sebagai petinju, kesimpulannya, kalau saya memukul dan pukulan itu kena, maka orang yang saya pukul itulah yang harusnya kehilangan keseimbangan, terputar dan jatuh. Kok ini, terbalik, saya memukul dan saya yang kehilangan keseimbangan, terputar dan jatuh. Artinya, benar saya memukul, tapi karena badan saya yang kehilangan keseimbangan, terputar dan jatuh, maka kesimpulannya: pukulan saya luput, tidak kena ke sasaran, eh, siapa namanya Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com tadi?” “Marc.” “Oh, iya, Marc.” *** Giliran Luhut yang bertanya kepada KC, suasana dalam ruang sidang terlihat makin cair. Pengunjung yang menyaksi­ kan cara jawab KC seperti mendapat tontonan tragikomedi yang menggemaskan. “Saudara KC,” kata Luhut memulai pertanyaannya, “Sau­ dara bilang, Saudara memukul?” “Sebelum saya jawab, ralat, bukan ‘kace’ tapi ‘keisi’,” kata KC. Terpaksa Luhut mengulang pertanyaannya dengan melafal ‘KC’ secara Inggris ‘keisi’. “Baik ‘keisi’,” kata Luhut. “Pertanyaan saya: apa benar Saudara memukul?” “Ya, saya bilang saya memukul,” jawab KC. “Saya bilang saya memukul tapi saya bilang saya yang jatuh. Lucu nggak tuh?” Pengunjung berhahaha. Luhut senguk. “Tidak,” jawabnya, “Tidak lucu. Yang pen­ ting jawaban Saudara, Saudara memukul.” “Ya, memukul angin,” kata KC. “Dan, berhubung yang saya pukul itu angin, maka saya dianggap bersalah, saya diinterogasi polisi, saya disuruh tandatangan surat yang dikonsep oleh polisi, eh, nama polisi itu, eh, Anto Irawan, dan disaksikan oleh itu, Bapak yang itu.” Ketika berkata “bapak yang itu”, KC menunjuk Dharsana sambil ketawa, kemudian mengangkat tangan kanannya seperti lazimnya memberi tabik secara tentara, lalu, “Hallo, Pak.” Lagi pengunjung berhahaha. 773 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Hakim ketua membiarkan saja. Luhut yang menjadi sedikit kikuk. Namun dia bertanya pertanyaan yang sama dengan maksud menjebak. Katanya, “Saudara bilang, pukulan Saudara tidak kena? Apa benar?” “Benar sekali.” “Apa Saudara tidak melihat orang yang Anda pukul itu jatuh di jalan?” “Lihat sih.” “Jadi Saudara lihat Marc jatuh di jalan.” “Lihat dong.” “Saudara tahu bahwa dia jatuh karena mati?” “Waduh. Wallahualam. Kan soal mati itu urusan Tuhan.” “Tapi apa Saudara percaya kematian seseorang bisa di­ akibatkan oleh seseorang?” “Urusannya tetap Tuhan.” “Apakah Saudara mau mengatakan, bahwa petinju yang mati di tangan Saudara, yang menyebabkan Saudara dipecat dari tinju profesional, juga urusan Tuhan?” “Oh, iya dong.” “Jadi Saudara membenarkan bahwa seseorang bisa mati oleh pukulan Saudara?” “Itu lain.” “Lainnya?” “Itu olahraga. Dan kematian itu risiko dari pilihan profesi.” “Tapi Saudara ingat, dalam profesi itu Saudara memang mengalahkan lawan Saudara.” “Oh, iya dong. So pasti itu. Saya petinju profesional, men­ dapat bayaran untuk mengalahkan lawan.” “Dan lawan Saudara mati?” “Ya.” Luhut menundukkan kepala kepada majelis hakim dengan wajah berseri, merasa puas, sambil berkata, “Dari saya cukup dulu sekian, Ibu Hakim Ketua.” 774 Remy Sylado Sidang berlanjut sampai siang. Ada istirahat makan. Kemu­ dian berlanjut lagi dengan pertanyaan­pertanyaan yang lebih rinci, pelik, dan dipenuhi gelak pengunjung, sampai akhirnya ketua hakim menyatakan sidang ini dilanjutkan dengan saksi­ saksi yang lain. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 775 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 137 RACHMAT Wirjono memanggil Tuminah ke ruangkerjanya untuk membahas hal menarik yang tidak pernah diketahuinya. Setelah Tuminah duduk di hadapannya, berkatalah Rachmat, “Begini, Tuminah, menyangkut pengadilan atas Dharsana, saya melihat sesuatu yang bisa menguatkan kembar­ mu itu, kalau kiranya kembarmu itu punya alat bukti otentik tentang kejahatan Dharsana. Barangkali saksi­saksi yang akan dihadirkan dalam sidang itu bisa cepat membuka tudung keja­ hatan Dharsana, tapi bisa juga mentah sebab disangkal dengan cerdik oleh Dharsana sehingga majelis hakim terpengaruh. Satu hal yang harus diakui, Dharsana itu cerdik, dan dengan kecerdikannya, melalui kemampuannya berbicara, dia bisa menggiring orang untuk masuk ke dalam pikirannya.” “Nanti saya sampaikan kepada Juminah, Pak,” kata Tu­ minah. 776 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com “Satu hal yang mungkin belum pernah kamu ketahui ada­ lah kejahatan Dharsana itu pernah disinggung oleh pengakuan seseorang, namanya James Winata, korban kerusuhan Mai 1998, dalam sebuah majalah terbitan Melbourne, Australia. Nah, kalau kembarmu Juminah bisa mendapatkan majalah itu, tentu itu bisa dijadikan sebagai bukti awal yang paling meng­ guncangkan.” “Majalah apa itu, Pak?” “Majalah yang seperti kebanyakan pandangan politik se­ bagian orang Australia amat meremehkan Indonesia.” “Hm.” “Dulu kita punya satu eksemplar majalah itu, tapi dibawa oleh Dharsana, dan hilang, entah di mana. Nah, sekali lagi, ka­ lau saja kembarmu Juminah bisa mendapatkan majalah itu, itu akan cukup untuk menjadi pertimbangan majelis hakim seba­ gai bukti otentik kejahatan Dharsana.” “Itu majalah terbitan kapan, Pak?” “Wah, persisnya saya lupa. Kira­kira sekitar tiga tahun lalu.” “Hm.” “Jadi begini, Tuminah, menurut pendapat saya, yang patut dipikir oleh Juminah—maka katakan ini kepadanya—bahwa kalau kita ingin mengabdi pada kemanusiaan dan kebenaran universal di dalamnya, haruslah kita tidak letih mencari dan menemukan semua yang berhubungan dengan rahasia tersem­ bunyi dan hilang.” “Ya, Pak, nanti saya sampaikan itu kepada Juminah.” *** Tuminah menelfon Juminah, menyuruh menemuinya di Jl. Trunojoyo secepatnya. Di situ Tuminah menyampaikan apa yang baru dikatakan oleh Rachmat kepadanya. 777 www.bacaan-indo.blogspot.com “Ini saran Pak Rachmat, Jum,” kata Tuminah. “Kamu ha­ rus bisa mendapatkan majalah Australia yang memuat peng­ akuan James Winata, korban kerusuhan Mai 1998 dalam mana Dharsana bertindak sendiri atas maunya. Kira­kira majalah itu terbit sekitar tiga tahun lalu, dan kelihatannya itu majalah lokal, hanya beredar di kota Melbourne. Pak Rachmat tidak kasih tahu dari mana dia dapatkan majalah itu. Tapi dia pernah punya majalah itu, dibawa oleh Dharsana, dan tidak tahu lagi di mana hilangnya.” “Hm.” “Kalau kamu bisa mendapatkan majalah itu, Jum, kamu bisa menjadikannya sebagai senjata pamungkas untuk menghalau saksi­saksi yang kemungkinannya menyangkal dan mencabut hasil pemeriksaan di kepolisian.” “Kalau saksi­saksi menyangkal, setidaknya aku bisa jadi saksi juga. Aku sudah sampaikan itu kepada JPU, bahwa aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana Dharsana menembak mahasiswa di depan kampus Atma Jaya.” “Oh, begitu?” “Ya, Tum, aku melihat sendiri. Aku berada di tengah­ tengah mahasiswa yang berdemonstrasi di sana. Aku bahkan meneriaki Dharsana supaya berhenti ketika mobilnya mundur melarikan diri. Sekarang, tinggal mencari sopir yang menyetir mobil Dharsana itu. Dia harus dibuat sebagai saksi juga.” “Itu bagus. Tapi, juga bagus kalau kamu mencari majalah Australia itu. Itu pegangan otentik. Sebab, majalah, atau semua terbitan pers, bisa dibaca di aspek tekstualnya. Lebih dari itu, kalau kasus Dharsana ini ditarik ke situ, yaitu keterlibatannya secara pribadi dalam kerusuhan Mai 1998, maka hal itu bisa membuka tudung sebenarnya, betapa sudah meluas gunjingan dan prasangka bahwa seakan­akan lembaga kepolisian ikut terlibat.” Juminah ketawa. Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com “Kenapa kamu ketawa?” tanya Tuminah. “Ya,” jawab Juminah. “Tentu kamu harus membela lem­ bagamu.” “Tidak, Jum,” kata Tuminah, “Pak Rachmat sendiri yang memberi jalan untuk menyingkap ini. Beliau sudah benar­ benar kecewa pada Dharsana.” “Hm.” Juminah mengangguk. “Baguslah.” “Kamu lihat sendiri, tatanan sosial sudah begini kacau. Masyarakat melakukan kejahatan karena mereka takut pada kejahatan. Ini harus ditata ulang. Akibat kerusuhan Mai itu, yang menyebabkan masyarakat curiga pada polisi, terlihat juga ketakutan terhadap kejahatan sebagai reaksi terhadap oknum­ oknum polisi—dalam hubungan ini ya Dharsana—yang me­ lakukan juga kejahatan tersebut. Reaksi masyarakat itu sifatnya formal, yaitu berharap kepada pemerintah untuk menindak pelaku kejahatan itu seberat­beratnya, sementara pemerintah sendiri sulit melaksanakannya tanpa bukti­bukti akurat dan otentik, sehingga cenderung timbul reaksi masyarakat yang sifatnya informal, yaitu bertindak main hakim sendiri di atas rasa ketakutannya terhadap kejahatan tersebut.” “Melenyapkan kejahatan itu mustahil, Tum. Tapi berpikir untuk mengurangi kejahatan itu perkenalan pada kearifan.” “Oke, dalam rangka menghayati kearifan itu, mulailah kita sama­sama menemukan salahsatu bukti yang bisa menggiring Dharsana ke pidana. Kalau kita tidak mendapatkan majalah yang memuat James Winata itu, ya, kita harus menemui James Winata­nya sendiri.” “Oke, aku akan bilang itu pada Ibu Intan.” *** Juminah mengatakan itu kepada Ibu Intan. Ibu Intan menyambut dengan sekali. Malahan dia sempat tertegun dengan mulut setengah terbuka, lantas mengucapkan kataseru yang menandakan takjub. 779 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Ya, ampun! Jadi ternyata James Winata masih hidup?” “Ya, Bu,” sahut Juminah sekadarnya. Oleh perasaan besar hati, maka Ibu Intan pun memanggil Hutami di belakang, mengatakan dengan girang soal ini. “Tami!” Hutami datang dari belakang diikuti Mimit. “Aya naon, Bu?” Kata Ibu Intan, “Kamu tahu, Mi? Itu James Winata masih hidup di Australia lo.” Hutami pun terkesima, lantas mengucapkan peribahasa yang terbalik­terbalik seperti biasanya. Katanya, “Oh, Bu, air pun surut ada pasangnya.” Harusnya: air pun ada pasang surutnya. Ibu Intan hanya ketawa, mengenal betul kebiasaan Hutami yang telah dianggapnya sebagai saudaranya. Kini, yang sedang berlangsung di hatinya adalah perasaan senang disertai keinginan untuk melihat bagaimana keadaan James Winata. Katanya kepada Juminah, “Kalau memang perlu kita ke Austiralia untuk mencari James Winata, ya, apa salahnya kita sana. Nah, bagaimana saran Mbak sendiri?” “Itu baik, Bu,” kata Juminah. “Yang perlu kita ingat, ma­ jalah itu terbit sekitar tiga tahun lalu. Apakah James Winata masih di Australia, atau sudah pindah ke negeri lain.” “Ya juga sih,” kata Ibu Intan tercenung. Tapi, “Kita harus cari tahu, di mana dia sekarang. Saya merasa berkepentingan untuk bertemu dengannya. Dia baik pada saya. Kebaikan orang harus tetap diingat. Orang yang baik selalu diingat sebagai pihak yang memancarkan kebenaran ilahi…” “Hm.” *** 780 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 138 JUMINAH sendiri yang mencari Lukman di rumahnya sekitar Pondok Cabe. Baginya, menyenangkan sekali berbicara dengan Lukman. Semua pertanyaan—yang direkamnya dengan lebih dulu menanyakan kesediaannya—dijawab oleh Lukman dengan lancar tapi juga prihatin dengan sedikit­sedikit menggaruk­ garuk perut. Juminah memulai pertanyaannya menyangkut pengalam­ annya sendiri pada masa demonstrasi mahasiswa di depan kampus Atma Jaya, Semanggi. “Pak Lukman ingat nggak, setelah menembak mahasiswa di Semanggi, dan Bapak memundurkan cepat­cepat mobil yang Bapak kemudikan sampai di bawah jembatan layang terusan Casablanca ke Tanah Abang, ada teriakan seseorang di belakang yang menyuruh Bapak menghentikan mobil.” Lukman mengingat­ingat itu. Dia tersenyum pahit. Dia mendengus. 781 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Ya,” jawabnya singkat. “Ingat ya, Pak?” tanya Juminah. “Ya,” jawab Lukman, “Ingat. Ingat sekali.” “Bapak tahu siapa yang berteriak itu?” tanya Juminah. “Waduh,” jawab Lukman. “Saya melihat dari kaca spion, tapi saya tidak tahu siapa orang itu. Pokoknya dia perempuan. Dia berteriak ‘heiii’.” “Hm.” Juminah senang. “Jadi Pak Lukman ingat ya?” “Ya, ingat. Tapi saya tidak tahu siapa dia.” “Itu saya, Pak.” “Masya Allah.” Lukman terkesima, memandang Juminah seakan tidak percaya, sambil berpindah menggaruk­garuk leher. “Ya, Pak, itu saya,” kata Juminah menandas ingatan. Lagi Lukman berseru kaget. “Astagfirullah.” Lalu, “Ya, Neng, sebenarnya saya sudah bilang pada Pak Dharsana supaya berhenti, tapi Pak Dharsana membentak saya, memaki saya, sambil mengarahkan pistolnya itu di kepala saya. Saya takut, jadi saya terus saja memacu mobil itu.” “Hm, Bapak takut? Memangnya apa yang dikatakan Pak Dharsana sampai Bapak memacu mobil karena takut?” “Ya, Neng bayangkan saja dong, pistolnya ditodong di kepala saya sembari memaki ‘tolol’, ‘goblog’, ‘bodoh’, dan se­ terusnya, kan ngeper dong, Neng.” “Bapak takut kalau Pak Dharsana benar­benar menembak kepala Bapak?” “Ya, ilah, saya kenal banget itu Pak Dharsana.” “Jadi, Bapak takut, ya?” “Ya­lah.” “Kalau sekarang Bapak diminta menjadi saksi di pengadilan tentang peristiwa itu, apa Pak Lukman masih takut juga?” 782 Remy Sylado Lukman ketawa disertai gelengan kepala. “Saya sudah merasa tua kok, Neng.” “Hm. Jadi apa artinya itu?” “Saya sudah tidak takut lagi pada ancaman kematian. Hidup ini pun lillahi taala. Di dunia ini saya merasa hanya sekadar lewat saja. Seperti berjalan dari satu ujung ke ujung yang lain. Dengannya saya merasa siap, kapanpun jalan untuk saya berujung pada batas yang yang sudah ditentukan oleh khalikul alam. Sungguh, Bu, eh, Neng, subhanallah.” Juminah terkesan. Dia memuji Lukman tanpa melisan­ kannya melalui mulut tapi melafalkannya melalui hati. *** www.bacaan-indo.blogspot.com Cerita tentang Lukman disertai dengan rekaman dengan ponselnya kemudian disampaikan Juminah kepada Untung untuk dijadikan bahan pertanyaan dalam sidang selanjutnya. Sudah pasti pengakuan Lukman di sidang nanti akan membuat Dharsana klenger. Dharsana tidak tahu apa­apa soal itu. Sampai saat ini, kendatipun ada perasaan tegang di hati­ nya, Dharsana masih tetap mengira—atau lebih tepat: mengira dalam berharap—bahwa Lukman benar­benar sudah dihabisi oleh Anto Irawan. Kapankah Lukman dihadirkan sebagai saksi di dalam sidang? Untung akan bermain seperti sebuah pertunjukan drama. *** 783 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 139 SIDANG lanjutan hari ini pasti bakal mencengangkan Dharsana. Oleh jaksa penuntut umum dibuatlah saksi­saksi yang diha­ dirkan itu seperti pertunjukan drama, membuat orang­orang bertanya dalam diri: apa yang akan terjadi pada adegan berikut. Mula­mula JPU menghadirkan Juminah sebagai saksi awal yang dijadikannya sebagai pengacu wyakti atas gambaran sifat­sifat jahat alami Dharsana. Melihat yang dihadirkan sebagai saksi ini adalah Juminah, maka buru­buru Luhut mengacung, menyatakan keberatannya kepada majelis hakim. “Maaf, Ibu Ketua Hakim, saya mohon majelis hakim meninjau dulu soal dibolehkannya pengacara dari Saudara Penggugat untuk menjadi saksi dalam sidang ini. Tidak ada dalam teori, bahwa pengacara dari penggugat bisa dihadirkan sebagai saksi.” Ketua hakim menjawab dengan tanggap, “Kita memang 784 www.bacaan-indo.blogspot.com tidak melaksanakan teori di sini. Di sini sekarang kita sekarang sedang melaksanakan praktik. Keberatan Saudara ditolak.” Orang­orang yang duduk menonton sidang ini serentak grrr. Tak ayal itu merupakan pertanda alami bahwa mereka tidak suka melihat penampilan Luhut yang tengil menyebalkan itu. Mereka yang hadir dalam sidang hari ini lebih banyak lagi dari yang lalu, sampai berjejal di luar ruang, berdiri mendengar di situ. Di antara mereka, yang penting disebut adalah juga Nia, tetap menyukai duduk di kursi deret belakang. Di baris yang sama dengan deret kursi yang diduduki Nia, tampak juga Hutami dan Mimit. Di kursi saksi Juminah duduk setelah disumpah terlebih dulu di bawah kitabsuci. Kemudian Jaksa Untung mengajukan pertanyaan prinsip kepadanya. “Saudara katakan bahwa Saudara melihat dengan mata kepala sendiri perihal kejadian Saudara Terdakwa menembak seorang mahasiwa yang berdemonstrasi di depan kampus Universitas Atma Jaya. Apa betul begitu?” “Ya, betul,” jawab Juminah. “Apakah Saudara bisa menceritakan kronologis kejadian yang Saudara lihat itu?” tanya Untung. “Ya, bisa,” jawab Juminah. “Waktu itu mahasiswa­ mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta terkonsen­ trasi di situ, dari depan kampus di sisi timur dan depan bank di sisi barat, sebab jalan menuju ke selatan terjaga ketat. Sementara dari arah utara, Jl. Sudirman, tiba­tiba melaju mo­ bil Saudara Terdakwa, ingin menembusi jalan itu ke selatan. Sopir mobil itu mengklakson­klakson, menyuruh mahasiswa yang meriung di situ memberi jalan kepadanya. Karena seorang mahasiswa, namanya Asep Sutarya, berdiri menghadang jalan yang akan dilalui Saudara Terdakwa, maka Saudara Terdakwa keluar dari mobilnya, marah, mengeluarkan pistol, langsung www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo menembak, lantas buru­buru naik kembali ke mobilnya, melaju mundur, dan menghilang. Mahasiswa­mahasiswa lainnya termangu melihat temannya mati, sehingga tidak sempat bertindak, mengejar mobil Saudara Terdakwa yang melarikan diri itu. Tetapi, memang ada satu­satunya orang yang berteriak menyuruh mobil itu berhenti…” “Ada satu­satunya orang yang berteriak menyuruh mobil itu berhenti?” “Ya.” “Kalimat apa yang diteriaki oleh satu­satunya orang itu?” “Bukan kalimat tapi kata.” “Baik. Kata apa yang diteriakinya?” “Heiii!” “Saudara kenal siapa orang satu­satunya yang berteriak ‘hei’ itu?” “Ya. Namanya Juminah. Saya sendiri.” Untung mengangguk, menyatakan kepada majelis hakim bahwa pertanyaan yang disampaikannya kepada saksi sudah cukup. Maka, hakim ketua pun memberi kesempatan bertanya kepada pengacara Dharsana. Luhut memandang dulu Juminah dengan lagak tengilnya, kemudian berkata dengan nada mengejek terhadap nama sang saksi, “Saudara Juminah…” Kalimat Luhut yang mengarah melecehkan itu langsung dipotong oleh Ny Nanin Permadi. Kata sang hakim ketua dengan tegas, “Saudara pembela! Saudara dipersilakan menyebut se­ cara resmi kedudukan saksi, bukan namanya.” Luhut mengangguk seakan patuh. Namun kesombongan­ nya tetap melekat dalam dirinya. Dengan kesombongan yang memuakkan itu dia bertanya kepada Juminah, “Apa benar Saudara berada di tengah de­ monstran yang menutup jalanan ke Senayan di Semanggi?” “Saya duduk di sini dengan sumpah di bawah kitabsuci,” 786 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado kata Juminah. “Itu bukan jawaban yang saya maui,” kata Luhut. “Saudara cukup menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Nah, baik, saya ulangi lagi pertanyaan saya. Apakah benar Saudara berada di tengah de­ monstran yang menutup jalanan di Semanggi ke Senayan?” “Ya.” “Baik,” kata Luhut. “Sekarang pertanyaan saya, apa benar Saudara melihat dengan mata kepala Saudara bahwa yang keluar dari mobil, lantas menembak, kemudian pergi itu adalah klien kami?” “Ya. Saya bahkan punya foto adegan itu.” “Foto adegan apa?” “Foto adegan mobil itu kencang­kencang melarikandiri.” “Saya tidak perlu foto itu.” Ny Nanin Permadi malah meminta Juminah menunjukkan foto yang dimaksud itu. “Tidak,” kata sang hakim ketua. “Kami perlu Saudara Saksi menunjukkan foto itu kepada kami.” Juminah meminta pada Ipong untuk menyerahkannya ke­ pada majelis hakim. Dan ketiga hakim pun bergantian mem­ perhatikannya. Kemudian Ny Nanin Permadi mempersilakan Luhut me­ lanjutkan pertanyaannya. “Teruskan.” “Baik,” kata Luhut. “Kebetulan berbicara tentang foto, pertanyaan saya sekarang: siapa yang membuat foto itu?” “Saya,” jawab Juminah. “Dengan kamera sendiri.” “Saudara berada di Semanggi dengan membawa­bawa kamera? Apa pekerjaan Saudara? Apakah Saudara wartawan?” “Saya mahasiswa, bersama­sama dengan mahasiswa lain, ikut berdemonstrasi di Semanggi, di TKP.” “Tunggu,” kata Luhut, timbul ide hendak menyikat Ju­ 787 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo minah dengan pertanyaan mengumpan. “Sudah berapa tahun Saudara menjadi penasehat hukum, bekerja sebagai advokat?” “Enam tahunan.” “Dalam bekerja enam tahunan itu Saudara lulus sebagai sarjana hukum?” “Ya.” “Tetapi Saudara bilang Saudara masih mahasiswa? Bagai­ mana ini logikanya? Seorang sarjana tetapi seorang mahasiswa? Padahal peristiwa Semanggi itu belum lagi enam tahun. Apa Saudara mau bilang bahwa Saudara bekerja sebagai advokat selagi Saudara masih mahasiswa?” “Lo?” Juminah gregetan. “Barangkali Saudara merasa sudah cukup dengan gelar SH yang Saudara sandang. Saya belum. SH itu baru S1. Saya, setelah S2, masih kuliah lagi untuk S3. Artinya, saya memang adalah seratus persen mahasiswa, yaitu mahasiswa pasca sarjana. Astaga, jalan pikiran apa yang Saudara pakai? Apakah realitas sederhana ini perlu digiring­ giring ke masalah logika?” Luhut terpaku, kaget, kehilangan sima. Pengunjung yang duduk sesak di ruang sidang serentak menertawai Luhut. Cepat­cepat Ny Nanin Permadi mengambil kembali ken­ dali sidang dengan mengetuk­ngetuk meja. “Sidang ini bukan arena untuk saling mengejek,” kata sang hakim ketua. Kata Juminah dengan santun, “Maaf, Ibu Hakim Ketua, saya sekadar mengingatkan hal yang dilupakan oleh Saudara Luhut.” Ny Nanin Permadi menegur Juminah, mengingatkan dengan kata­kata yang tadi sudah diucapkan kepada Luhut. Katanya, “Tolong hindari menyebut nama pribadi. Sebutlah 788 Remy Sylado kedudukannya dalam persidangan ini saja.” “Baik, Ibu Hakim Ketua, maaf.” Lagi Ny Nanin Permadi mengetuk meja. Dengannya dia berkata, “Kami kira cukup bagi Saudara Saksi. Sekarang kepada Saudara Jaksa Penuntut Umum. Apakah Saudara sudah siap dengan saksi­saksi lainnya untuk dihadirkan di sini?” Jawab Untung, “Sebenarnya materi kami untuk sidang hari ini adalah khusus menghadirkan saksi mata atas kejahatan yang dilakukan Saudara Terdakwa.” “Kalau begitu, kapan Saudara siap menghadirkan di sini saksi­saksi lain yang sudah Saudara sebut nama­namanya da­ lam sidang yang lalu itu?” tanya Ny Nanin Permadi. “Kami mengikuti saja ketentuan hari yang dipilih oleh Majelis Hakim,” jawab Untung. “Baiklah,” kata Hakim Ketua. “Kalau begitu, sidang selanjutnya akan kami kabari setelah Saudara menyatakan siap dengan saksi­saksi Saudara.” “Ya, Ibu Hakim Ketua.” Dharsana melengos. Dalam hati dia mengejek. Dia masih mengira Lukman sudah dihabisi oleh Anto Irawan. Memang dia bermimpi. Nanti dia gigit jari. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 789 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 140 SEHABIS sidang yang baru berlangsung, Nia menemui Ibu Intan yang sedang berjalan bersama­sama dengan Juminah, Hutami, dan Mimit menuju ke tempat parkir. Dengan akrab dia menyapa Ibu Intan, menyalaminya. Ibu Intan pun membuka diri. Dari dialog pertama yang diucapkan Nia, sertamerta Ibu Intan menyimpulkan bahwa Nia adalah seseorang yang entah dengan alasan apa, termasuk orang yang tidak menyukai Dharsana. “Saya mendukung Anda,” kata Nia kepada Ibu Intan. “Anda harus memenangkan perkara ini. Yang bersalah harus dihukum berat.” “Terimakasih,” kata Ibu Intan menyambut sikap peduli Nia, tapi juga bertanya­tanya dalam hati: siapa gerangan orang yang begitu peduli padanya ini. 790 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Juminah pun berpikir begitu juga sambil berdiri tegak di sebelah kanan Ibu Intan, mendengar percakapan, dan barangkali juga akan menjawab pertanyaan yang diarahkan kepada kliennya itu. “Saya ingin lihat bagaimana Dharsana dihukum, divonis hakim ke bui,” kata Nia lagi, dan dengannya Ibu Intan makin sali bertanya­tanya dalam hati: apa hubungan wanita muda ini dengan Dharsana? Tapi Ibu Intan menjawab, “Tentu, Mbak.” Juminah pun mengangguk di sebelah Ibu Intan. “Hm.” Pertanyaan dalam hati Ibu Intan ini masih tersimpan demikian rupa sampai akhirnya Nia membuka gulungan foto­ kopi yang dipegangnya di tangan kirinya. Sambil membuka gulungan fotokopi itu Nia berkata, “Saya ingin memberikan fotokopi sebuah majalah yang barangkali bisa berguna buat Anda dalam sidang yang akan datang.” Yang menyambut Juminah. “Fotokopi majalah?” tanya­ nya. “Ya,” sahut Nia, lantas memberikan yang dimaksudnya itu kepada Juminah, “Saya yakin itu bisa berguna untuk meleng­ kapi tuntutan jaksa dalam sidang berikut.” Selagi Nia berkata begitu, Mimit memegang rok Ibu Intan, dan Hutami segera menarik putrinya itu untuk berdiri di bela­ kang Ibu Intan. Lalu, sambil membuka gulungan fotokopi itu, Juminah ber­ tanya dalam pikiran yang diduga­duganya akan mengejutkan dan menyenangkan perasaan Ibu Intan dan dirinya sendiri pula: “Fotokopi apa ini ya?” Jawab Nia, “Itu fotokopi yang saya buat dari majalah Australia.” 791 www.bacaan-indo.blogspot.com Demi mendengar kata ‘majalah Australia’, Ibu Intan, Juminah, dan juga Hutami sama­sama tersentak kaget dan sa­ ling pandang seketika. Berbareng Ibu Intan dan Juminah berkata dalam kalimat tanya yang bersuasana girang, “Majalah Australia?” “Ya,” jawab Nia. “Majalahnya saya simpan. Namanya Hygiene.” Gulungan fotokopi itu terbuka, dan jelas terlihat wajah James Winata di situ. Ibu Intan menatap wajah James Winata dalam kertas fotokopi itu dengan perasaan takjub. “Kami memang mencari­cari majalah ini,” kata Ibu Intan. Di belakangnya Hutami membisiki Ibu Intan dengan melafal pepatah yang—biasa—terbalik­terbalik, “Bu, ini yang namanya ‘ulam tiba di pucuk cinta’.” Ibu Intan tertawa, dan secepatnya menyambut Nia dengan ucapan terimakasih kepadanya. “Oh, syukur Anda memberi majalah ini kepada kami,” kata Ibu Intan. Disambung dengan perasaan sama oleh Juminah. “Ya, te­ rimakasih banyak lo, Mbak. Eh, Mbak…” “Saya Kurniati,” kata Nia menyambut uluran tangan Juminah. “Saya dapat majalah itu di rumah kakak ipar saya…” “Hm.” Juminah memandang dengan akrab dan ramah pada Nia. “Ipar Mbak?” “Ya,” kata Nia, sedikit tersendat, tapi kemudian calak dan fasih. “Ipar saya itu, eh, perempuan yang tidak pantas dikenang akan kejiwaannya—eh, saya malu mengatakannya, tapi, ya, apa boleh buat, dia memang ipar saya—karena skandalnya di­ gunjingkan orang di sana­sini, termasuk dengan Dharsana itu.” Tampaknya Ibu Intan bisa meraba­raba siapa ipar yang dimaksudkan oleh Nia, namun dia tidak bertanya. Dia tahan rasa inginnya untuk bertanya. Dia diam saja. Dengan diam dia Remy Sylado menunggu sampai Nia sendiri yang mengatakan siapa yang dikatakannya ‘kakak ipar’ tersebut. Benar juga dugaan sekaligus harapan Ibu Intan. Hanya dalam hitungan detik saja, setelah mengikuti jeda karena menghela dan menghembus nafasnya, Nia berkata, “Ipar saya itu Retno. Seperti saya katakan, saya malu menyebutnya, tapi apa mau dikata, dia memang kakak ipar saya. Maaf.” Ibu Intan sempat terbengong mendengar itu. Sekilas ter­ pampang dalam ingatannya, wajah Jeng Retno, dan lenjehnya dalam menyeru ‘Oh my God’. Tapi, buru­buru Ibu Intan bersikap tak peduli. Dia alihkan percakapan dengan menawarkan pada Nia untuk pergi ke salahsatu kafe, menyambung percakapan yang akrab ini. “Begini,” kata Ibu Intan. “Harusnya kita omong­omong sambil ngopi di HI.” Semua sepakat. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dengan dua mobil yang melaju di kemacetan Jakarta, mereka ke HI, dan duduk di restoran yang terpajang lukisan besar di dinding kanan hasil renovasi Cak Kandar. Di situ, lagi­lagi Ibu Intan berterimakasih kepada Nia karena pemberiannya fotokopi majalah Australia itu. Setelah itu berlangsung percakapan sosial yang khas Indonesia, yaitu selang­seling ketawa sebagai ciri keramahannya, sampai akhir­ nya cerita tentang keadaan Jeng Retno. “Keadaan Retno kelihatannya membaik, tidak seperti Ma­ yang keponakan saya yang kelihatannya belum menunjukkan kemajuan dalam empat tahun ini.” Itu kata Nia. Dan ketika dia berkata begitu, Juminah yang sudah juga menjumpai keduanya, baik Mayang maupun Jeng Retno, hanya diam mendengarkan. Ibu Intan yang merasa terpanggil untuk bicara. Katanya, 793 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Kasihan benar itu Mayang. Dia anak baik.” Lalu Ibu Intan menerawang, mengingat­ingat betapa mes­ ranya putranya Marc dengan Mayang. Setelah itu, tiba­tiba timbul keinginan untuk bertemu dengan Mayang di rumahsakit Kramat di Magelang sana. Itu pun langsung dikatakannya dalam ucapan yang mirip bisik. “Saya ingin ketemu Mayang,” katanya. “Dia terkungkung dalam rasa bersalah,” kata Nia. “Mungkin kalau saya bisa bicara dengannya, dia bisa ber­ ubah,” kata Ibu Intan tanpa menimbang­nimbang, kecuali nurani yang sekonyong mengimbaunya. Nia menanggapi dengan mengangguk, menatap, tanpa kata. Nanti Ibu Intan terjelengar sendiri, mengapa dia bisa berpikir untuk berkata begitu. Rupanya rasa haru menyentuh nuraninya. Selanjutnya rasa haru itu membentuk sukmanya dalam perasaan welasasih yang demikian tulen. “Memang saya pernah kecewa pada Mayang,” katanya. “Tapi itu sudah lama terjadi. Waktu itu saya kecewa sekali, kenapa kok Mayang terlalu lugu, mudah diperdaya oleh Dharsana…” Nia ikut prihatin dan mengakui pula keadaan jiwa Mayang keponakannya yang rapuh itu. Dia tidak mengakui dengan kata­kata, tapi dengan keluhkesah dalam menghembus nafas keras­keras. “Ah, sudahlah,” kata Ibu Intan. “Konsentrasi saya sekarang adalah pengadilan ini. Saya senang karena sekarang saya me­ miliki fotokopi majalah Australia ini.” “Majalah aslinya ada di rumah saya,” kata Nia. “Saya me­ nyimpannya sejak Retno terganggu jiwanya. Sejak itu, setelah membacanya, saya menghubungi rumahsakit di Australia itu untuk bertanya alamat James Winata, dan setelah itu beberapa kali saya bicara dengan James Winata melalui telefon.” 794 Remy Sylado “Berarti Mbak punya alamatnya di Australia?” tanya Ibu Intan. “Ya,” kata Nia. “Saya punya alamatnya dan nomer telefon­ nya.” “Oh?” Ibu Intan gembira, membagi rasa gembiranya itu kepada Juminah dengan cara memegang tangannya kuat­kuat. “Kita bisa menemuinya untuk mengajak ke Indonesia, sebagai saksi paling kuat di persidangan.” Juminah membenarkan pernyataan Ibu Intan. Tapi kemu­ dian bertanya pada Nia: “Apa alamatnya dan telefonnya masih sama sampai sekarang ini?” “James Winata memang sudah memutuskan untuk pindah di Australia dan berbisnis di sana,” kata Nia. “Hm.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dan, di tahanan Dharsana, terlihat Luhut sedang ditanyai Dharsana sesuatu yang membuatnya deg­degan. Dharsana tidak mengaku, dan tidak pernah berkata kepada Luhut, bahwa dia meminta Anto Irawan menghabisi Lukman. Jadi memang Luhut tidak tahu pula, sampai sekarang, bahwa di dalam diri Dharsana berlangsung perasaan tertentu, antara mula­mula tenang tapi kemudian tegang. Pertanyaan dalam diri yang membuatnya tegang, adalah, apakah benar Anto sudah membunuh Lukman supaya yang disebut ini tidak bisa dibawa jadi saksi dalam persidangan, berhubung Lukman memang tahu semua tindak kejahatan Dharsana. “Begini, Luhut,” kata Dharsana. “Saya ingin kau ke Pe­ kalongan lagi, cuma untuk bertanya kepada Anto Irawan supa­ ya saya percaya bahwa keadaan aman.” “Pertanyaan apa, Pak?” tanya Luhut. “Pertanyaan sandi,” jawab Dharsana. “Kau cukup bertanya: apa sudah ada salam perkenalan dengan Ibu Pertiwi. Itu saja. 795 Kalau bisa kau berangkat besok, dan kembali lusa. Artinya masih ada waktu enam hari lagi baru sidang lanjutan.” “Baik, Pak,” kata Luhut. *** Demikian, Luhut ke Pekalongan, menemui Anto Irawan di alamat yang pernah didatanginya itu. Pertanyaan yang dipesankan oleh Dharsana, diucapkan pula oleh Luhut pada Anto Irawan. Jawab Anto, yang tidak dimengerti arahnya, padahal jelas kata­katanya mengandung makna penyangkalan dan isyarat penampikan, “Katakan saja pada Pak Dharsana: saya berubah pikiran.” Luhut penasaran. Dia justru terpancing untuk bertanya ada apa di balik pernyataan itu. Katanya, “Ada apa sebetulnya?” Anto tidak mau menerangkan itu. Katanya tetap sesuai de­ ngan pernyataan tadi, “Bilang saja begitu pada Pak Dharsana.” Luhut mendesak. “Saya tidak mengerti.” Anto tidak mau mengatakannya. Kukuh jawabnya, “Bilang saja begitu. Pasti Pak Dharsana mengerti.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Pernyataan Anto itu pun disampaikan kepada Dharsana, sekembali Luhut di Jakarta, dan menemui Dharsana pada siang hari di rumah tahanannya. Tiba­tiba Dharsana menjerit marah. “Bangsat itu Anto!” Rasa penasaran Luhut yang sudah diucapnya di depan Anto kembali pula ditanyakannya kepada Dharsana. “Ada apa sebetulnya, Pak?” Dharsana tidak menjawab. Pikirannya ruwet. Rasa deg­ degan yang kemarin­kemarin sempat mengganggu pikirannya itu sekonyong kembali berulang saat ini. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado *** 797 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 141 KEPALANG berkata kepada Nia bahwa Ibu Intan ingin bertemu dengan Mayang, maka keinginannya segera dilaksanakannya. Dengan pesawat Garuda pada penerbangan pagi hari, Ibu Intan ditemani Juminah yang sudah bertemu dengan Mayang di rumahsakit itu, berangkat ke Yogyakarta untuk selanjutnya ke RSJ Kramat di Magelang. Baru sekarang inilah waktunya, setelah sekian tahun ber­ selang, pas di sela waktu­waktu tegang menghadapi pengadilan yang membuatnya tidak gampang tidur, Ibu Intan merasa perlu sekali bertemu muka dengan Mayang. Cerita Nia kemarin tentang keadaan Mayang itu—yang betapapun mesti diingat sebagai gadis yang pernah dicintai marhum putranya Marc— memang membuat perasaannya diboboti iba. Ketika mereka bertemu di rumahsakit, manakala Mayang mengadu pandang dengan Ibu Intan dan Ibu Intan mengadu 798 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com pandang dengan Mayang, maka aneh, secepat itu meleleh air­ mata di pipi mereka masing­masing. Ibu Intan tak dapat menahan haru. Mayang tak dapat menahan haru. Apakah dengan mengatakan Mayang terharu, berarti bo­ leh disimpulkan bahwa pikirannya pulih dari gangguan yang membuatnya selama ini tidak merdeka sebagai penghuni rumahsakit. Baik Ibu Intan maupun Juminah sama­sama tidak bisa menjawab pertanyaan pelik itu. Tapi Karyati—perawat yang mengantar Ibu Intan dan Juminah ke ruang tempat Mayang merasa bebas menyanyi­ nyanyi lagu sesuka hati, potongan­potongan dari nyanyian­ nyanyian populer Madonna, Jennifer Lopez, Mariah Carey, Christina Aguilera—yang mengatakan sesuatu tentang Mayang dengan gambaran membingungkan. Kata Karyati, “Sekarang ini keadaan Mayang aneh: kadang­kadang kelihatan sembuh total, lantas menulis puisi dan membacanya sambil guling­guling di lantai, tapi kadang­ kadang juga kelihatannya sakitnya parah, menggigil, gemetar, ketakutan, pada bayangan­bayangan ular yang akan menelan­ nya.” “Bagaimana kata dokter sendiri tentang hal itu?” tanya Juminah dan diekori oleh Ibu Intan pula. “Oh,” sahut Karyati, “Kalau Ibu ingin bertanya langsung pada dokter, kebetulan dokternya baru datang.” “Ya, ya, tentu,” kata Ibu Intan. *** Karyati mengantar Ibu Intan dan Juminah ke ruang dokter, wanita 50­an tahun yang berwajah indo, berambut pendek, dan kelihatan lebih muda 10­an tahun dari usianya. Dia adalah Dr dr Anastasia Samekto. 799 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Demikian terbaca pada ukiran kayu yang ditaruh di atas mejakerjanya. Orangnya ramah. Dia segera menyambut Ibu Intan dan Juminah, berdiri dari kursinya, kemudian berkata­kata dengan suasana yang ikrab, layaknya seperti sudah lama kenal. “Ini memang rumit,” kata sang Doktor dokter setelah Ibu Intan bertanya soal keadaan Mayang. “Mulanya kami mengira Mayang hanya menghadapi masalah psikosa yang berhubung­ an dengan sindrom otak organik, tapi setelah itu kami ragu.” “Kenapa?” tanya Ibu Intan. “Bagaimana?” “Oh,” kata Anastasia Samekto sambil duduk menyandar di kursinya. “Itu adalah salahsatu dari gangguan fungsi mental menyangkut hal menilai sesuatu yang berhubungan dengan realitas kasatmata, hubungannya dengan persepsi, serta tang­ gapannya yang efektif sampai taraf tertentu pada kesimpulan tidak sanggup melakukan hal­hal verbal.” “Hm.” Juminah menangguk, dahi mengkerut. Sementara Ibu Intan, yang berperhatian pada masalah­ masalah kesehatan dan karenanya senang membaca buku­buku bidang itu, bertanya soal ‘sindrom otak’ organik yang disebut oleh Anastasia. Dan jawab sang dokter, “Ya, begitulah, karena melihat Mayang sering berubah­ubah penampilan, maka memang rumit memastikannya hanya dari satu sudut psikosa. Walau begitu, saya harus berkata antara mesti yakin namun juga mesti ragu, bahwa kesimpulannya cenderung dianggap sebagai psikosa fungsional. Artinya, secara teoritis ini meliputi semua unsur psikotik yang bisa ditemukan hanya pada pengertian kerusakan patologik atau sejalan dengan faal jaringan otak meliputi gejala­gejala afektif, paranoid, dan skizofrenia...” “Kedengarannya itu kompleks sekali, Dok, ya?” kata Ibu Intan dengan serius, memandang tajam wajah Anastasia de­ ngan mata tidak berkedip. 800 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya, begitulah, Bu,” kata Anastasia, mengucapkan kalimat­ nya dengan cerdik. “Dan, sekali lagi, pikiran ini secara teoritis meliputi gejala­gejala yang memang kompleks. Yaitu, teorinya, seseorang yang disebut mengalami gangguan dalam pengertian umum psikosa fungsional, cenderung inkoherensi: cirinya tidak sanggup menyusun kata­kata menjadi kalimat. Tapi ini aneh bin ajaib, dalam praktiknya Mayang bisa sewaktu­waktu dalam keadaan tidak terduga­duga malah sanggup membuat puisi. Artinya, Mayang menunjukkan kemampuan yang luar biasa menjalinkan kata­kata dalam acuan yang harmonis seperti yang dipahami secara khusus dalam wacana kaidah­ kaidah estetika. Puisi­puisinya itu ditulis di atas kertas cebok, dan semuanya berjudul Buat Marc.” “Apa?!” Ibu Intan tercengang, memandang wajah Anastasia dengan wajah berkerut tapi ceria, pangkal hidungnya tampak melengkung, dahi dan pipinya tampak menaik kendor. “Ya, Bu,” sahut Anastasia. “Ini memang aneh tapi, Bu, nyata. Mayang bisa menulis. Artinya, dengan begitu teori inkoherensi yang saya sebut tadi, sewaktu­waktu bertolak belakang, dan bahkan menjadi koherensi. Dan, kemampuannya menjalinkan kata menjadi kalimat itu, penuh dengan kejutan­kejutan. Terusterang, saya bukan ahli sastra, tapi saya meminati, dan saya membaca juga puisi­puisi Sapardi Djoko Damono, maka saya berani mengatakan: puisi yang ditulis Mayang di atas kertas cebok dan semuanya berjudul ‘Buat Marc’ itu termasuk puisi­puisi yang menawan dan memberi perenungan hayati tersendiri yang kaya buat saya.” Ibu Intan terpikat mendengar pernyataan Anastasia. Ka­ renanya dia bertanya dalam kesan tak sabar ingin menyimak­ nya. “Puisinya itu seperti apa sih, Dok?” “Oh, ya, ini,” kata Anastasia sambil membuka laci mejakerjanya, mengeluarkan beberapa lembar kertas cebok— yang sebagaimana biasanya kertas cebok keadaannya lecak, 801 Hotel Pro deo yang ini pun ya—semuanya bertuliskan puisi Buat Marc. “Nah, ini beberapa puisinya yang terakhir dia buat, saya simpan di sini. Coba baca nih.” Ibu Intan dan Juminah segera meraih kertas­kertas lecak itu lantas membacanya. Semuanya memang diberi judul Buat Marc. Pertama, yang dibaca Ibu Intan, adalah: Aku lihat wajahmu di semua parfum kau bilang akan kembali nanti malam Aku tulis namamu di semua daun yang gugur kau tidak bilang malam berlanjut satu abad. Kedua, puisi yang dibaca Juminah, adalah: Malam terlalu berat dipikul seorang diri menunggu pekerjaan yang tak pernah rampung Kita menjadi orang asing yang saling papasan di antara kekasih dalam secangkir susu kambing. Ketiga, puisi yang dibaca Ibu Intan, adalah: Dengan sabda cinta dibangun Tuhan yang kapitalis Dengan serapah benci dibangun Setan yang pancasilais www.bacaan-indo.blogspot.com Keempat, puisi yang dibaca Juminah, adalah: Aku terlambat berdiri di garis awal terbangun sebelum tiba di garis akhir Dalam hitungan ketigabelas berlanjut tahayul aku membuntuti mimpi lantas terperosok di loyang. 802 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Betul­betul aneh kan?” kata Anastasia menawarkan pem­ benaran. “Pikiran yang laras tiba­tiba dibawa dengan simpai yang lucu dan sindir yang sarkastis.” “Ya,” kata Ibu Intan, mengangguk­angguk sambil me­ nerawang, lena dalam rasa takjub. “Memang aneh.” “Seperti kata saya, saya tidak mengerti sastra, tapi saya bisa menikmati imajinasi Mayang yang melahirkan kata­kata terpilih seperti itu, sesuatu yang memenuhi isyarat­isyarat estetis.” Kini Juminah yang bilang, “Ya.” Bersamaan dengan itu, sekonyong pikiran Ibu Intan me­ loncat ke tempat lain. Pertanyaan Ibu Intan berikut ini mewakili pernyataan yang tercetus dari rasa penasarannya. “Omong­omong, maaf, siapa yang menanggung biaya pe­ rawatan Mayang selama ini di sini?” tanya Ibu Intan. “Keluarganya,” jawab Anastasia dalam sikap yang amat laras dengan rasa hormat. “Tantenya, Kurniati, biasa mengirim uang ke sini lewat BRI. Saya kenal juga tantenya yang tinggal di Amerika, di New York.” “Oh?” kata Ibu Intan. Lalu, asan­tak­asan, “Ibunya, Retno, bagaimana?” “Sekali­dua, dia ke sini bersama ibunya yang tinggal di Borobudur itu.” Ibu Intan mengangguk tanpa berkata apa­apa, dan tanpa pula berpikir buruk. Ketika dia mesti memilih untuk berkata, maka yang di­ katakannya ini bertalian dengan perasaan keberserahan. “Mudah­mudahan Mayang bisa cepat sembuh,” katanya. “Tentu,” kata Anastasia lembut. “Ini rumahsakit, Bu. Semua penyelenggara rumahsakit terpanggil untuk melayani masyarakat manusia. Dalamnya kami mesti percaya, bahwa se­ 803 www.bacaan-indo.blogspot.com mua penyakit harus disembuhkan dengan obat. Dan, disertai dengan tidak lupa pada kemauan hati untuk berkata: insya Allah.” Ibu Intan takzim pada sang dokter yang optimistis itu. Sembari berdiri minta diri hendak meninggalkan rumah­ sakit ini, Ibu Intan mengulurkan tangan untuk bersalaman. “Omong­omong,” kata Ibu Intan, menyalam tangan Anastasia dengan hangat. “Apakah boleh saya bawa puisi­puisi Mayang itu. Marc yang dicantumkan sebagai judul puisi­puisi itu adakah putra saya, sudah meninggal.” “Oh!” Anastasia puguh memberi apresiasi pada permintaan Ibu Intan. “Boleh saja, Bu. Tapi, lebih baik nanti saja saya buat salinannya dulu, lalu saya kirim buat Ibu. Soalnya begini, Bu, sebagian puisi Mayang yang lain, masih saya simpan di rumah. Puisi­puisi Mayang itu saya jadikan sebagai contoh bahasan imajinasi dan dorongan kreatif dalam matakuliah saya menyangkut Einfuehren.” “Baik,” kata Ibu Intan, menghormati apa yang dikatakan oleh Anastasia. “Tidak apa­apa.” Tapi Ibu Intan mengeluarkan cek senilai dua juta rupiah dan diserahkannya kepada Anastasia. Alasannya, sekadar untuk tambah­tambah apa yang diperlukan Mayang. Setelah itu mereka berpisah. Dengan kendaraan sewaan yang tadi datang dari Yogya­ karta ke Magelang, dan kini akan kembali dari Magelang ke Yogyakarta, Ibu Intan dan Juminah duduk di dalamnya semba­ ri tak putus­putusnya membincang tentang bakat Mayang yang aneh bin ajaib itu. *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 142 SEBELUM sidang lanjutan digelar, Juminah dan Ibu Intan bertemu dengan Untung di gedung JW Marriott. Adalah Ibu Intan yang mengusul pertemuan di Restoran Sailendra, lantai dasar gedung itu. Yang ingin dibicarakan oleh Juminah dalam pertemuan ini adalah mencari saksi kunci yang lain, bekas polisi yang juga dipecat karena tindakan kejahatannya, dan sekarang ini berusaha menjadi orang baik­baik dengan istrinya yang terakhir di Pekalongan. “Siapa?” tanya Untung. “Anto Irawan,” jawab Juminah. “Nanti saya akan minta tolong pada saudara saya untuk membawa orang itu ke Jakarta.” “Kenapa dia menjadi penting?” tanya Untung. “Pak,” jawab Juminah. “Untuk mengurai jejak kejahatan Dharsana menyangkut senjata api, harus dilihat hubungan itu pada nama Anto Irawan. Senjata­senjata api yang ada di tangan 805 Hotel Pro deo Bon Jovi dan kawanan bajingannya adalah senjata­senjata api polisi yang dicuri—seakan­akan dicuri—oleh Anto Irawan melalui jalan Dharsana.” “Begitu?” “Setidaknya memang begitu jalan pikiran yang ada.” “Itu menarik. Itu akan menjadi kejutan.” “Ya, Pak, kami bermaksud menghadirkan Anto Irawan dalam sidang yang akan datang. Dugaan saya, dalam sidang besok, kelihatannya bajingan yang menamakan dirinya Bon Jovi itu sudah distir untuk menyangkal, padahal jawaban tentang dari mana senjata api miliknya dengan mudah membuatnya mengaku tanpa sadar mengenai hubungan kejahatan itu.” “Itu bagus,” kata Untung, tertawa. “Kita bikin seperti per­ tunjukan drama.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Selanjutnya Juminah bicara dengan Tuminah, meminta kembarnya itu yang mencari Anto Irawan di Pekalongan. Kemudian Tuminah bertukar pikiran dengan Rachmat, dan Rachmat setuju sekali. “Silakan,” kata Rachmat. “Bawa anakbuah yang pintar menyamar itu. Jangan lupa, Anto Irawan itu bekas polisi juga.” “Ya, Pak.” “Laksanakan dan sukses.” “Hm.” Yang segera terbayang dalam pikiran Tuminah, adalah polisi­polisi bawahannya: Hidayat, Abulhayat, dan Rustam, yang pada waktu lalu sukses menyamar dan membekuk Bon Jovi dan teman­teman bajingannya. Kata Tuminah kepada ketiga bawahannya itu di dalam ruangkerjanya, “Kita besok ke Pekalongan.” Ketiganya menjawab bersama­sama dan serempak, “Siap.” 806 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com *** Tuminah memimpin ketiga anakbuahnya itu ke kota yang disebut­sebut sebagai Kota Batik, mencari dan menemui Anto Irawan. Orang yang disebut namanya ini tampak waham melihat keempat polisi berpakaian sipil ini datang ke rumahnya. Seba­ gai bukan lagi polisi—yaitu polisi yang dipecat—Anto Irawan segera tahu gelagat keempat orang yang datang ke rumahnya ini pasti anggota­anggota polisi yang sedang menjalankan tugas. Maka dia pun bertanya dalam nada menyimpulkan rasa curiganya itu, “Apa saya akan ditangkap oleh kalian?” Istri Anto, yang janda pengusaha batik, menguping per­ cakapan ini di balik pintu. Jawab Tuminah, tersenyum, “Ah, tidak. Saudara hanya dimintai menjadi saksi di dalam sidang pengadilan di Jakarta.” “Saksi?” tanya Anto Irawan. “Saksi untuk kasus apa?” “Mantan Kombes DB Dharsana,” jawab Tuminah. Dan, di luar sangkaan Tuminah, Anto Irawan malah membeber apa yang dimintakan Dharsana kepadanya pada be­ berapa waktu lalu untuk menghabisi Lukman. “Ah, ada­ada saja Pak Dharsana,” katanya. “Dia meminta saya menghabisi bekas sopirnya. Tapi saya tidak mau. Saya bukan yang dia kenal dulu, lima­enam tahun lalu.” “Hm.” Tuminah puas. “Justru itu, kami datang untuk meminta Saudara hadir dalam persidangan Dharsana.” “Waduh.” Anto kaget. “Kalau disuruh begitu, saya repot…” Bersamaan dengan itu istri Anto keluar, membawa baki dengan cangkir­cangkir teh panas disertai penganan kecil. Munculnya sang istri ini membuat percakapan teralihkan. Sambil menaruh cangkir­cangkir teh yang panas itu, istri Anto berkata dengan ramah, “Mari diminum unjukannya ini.” “Terimakasih,” kata Tuminah diikuti yang lainnya. 807 Hotel Pro deo Lalu, sambil menaruh penganan di atas meja, berkata lagi istri Anto, “Mari, coba diicip talam kentang khas Pekalongan. Ini cuma ada di Pekalongan lo: talam kentang dilapis santen, dulunya terkenal cuma di Kraton Kidul, buatan Nyah Siju. Monggo, monggo…” Percakapan yang teralihkan ke urusan perut ini tetap di­ sambut oleh Tuminah dengan basabasi khas Indonesia. Kata Tuminah, “O, ya, matur nuwun, Jeng.” Dan, istri Anto pun ikut duduk bersama­sama di ruang depan rumahnya ini, menanggapi omongan Tuminah tadi yang sempat teralihkan. “Saya dengar percakapan tadi itu, Mbak,” kata istri Anto. “Memang, beberapa waktu lalu Mas Anto ini dikunjungi oleh seorang yang mengaku utusan perwiranya dulu. Mas Anto tidak bilang apa­apa soal itu. Tapi sepulang Mas Anto dari Jakarta, baru diceritakannya persoalan tadi itu. Terusterang saya men­ dukung Mas Anto kalau Mas Anto mengaku di pengadilan.” Anto Irawan menoleh ke istrinya itu. Hatinya seperti tanah kering yang tiba­tiba diguyur hujan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 808 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 143 IBU Intan merasa lega ada dua nama penting yang menyatakan siap menjadi saksi di dalam sidang pengadilan atas kejahatan Dharsana. Kedua orang itu tak lain Lukman dan Anto Irawan. Sebentar lagi Ibu Intan akan lebih lega lagi kalau dia bisa ke Australia, menemui James Winata, untuk memintanya pula menjadi saksi di sidang pengadilan ini. Saksi yang akan dihadirkan hari ini, Bon Jovi, diragukan akan kejujurannya. Sepekan lalu Luhut menemuinya di sel ta­ hanan polisi. Entah apa yang dicakapkan oleh Luhut kepada­ nya. Tapi, kira­kira, yang diwasangkai Juminah, agaknya Bon Jovi akan bersikeras menyangkal semua pengakuan yang sudah dinyatakannya di dalam pemeriksaan polisi. Sebagai salah seorang polisi yang ikut memeriksa Bon Jovi, adalah Tuminah, hadir bersama Rachmat Wirjono dalam sidang hari ini, sama­sama mengenakan pakaian sipil, duduk 809 www.bacaan-indo.blogspot.com di kursi paling belakang, hampir berdekatan dengan Nia yang memang lebih suka duduk di bagian situ. Hakim ketua membuka sidang pada pas jam 10.00. Kepada Untung Surapati sebagai jaksa penuntut umum, Ny Nanin Permadi sebagai hakim ketua bertanya, apakah orang­orang yang pernah dijanjikan untuk menjadi saksi di sidang ini sudah ada? “Sudah, Ibu Ketua Hakim,” jawab Untung. Lalu dihadirkanlah Bon Jovi. Yang disebut ini sama tengil­ nya dengan Luhut. Begitu pantatnya terteru di atas kursi, dia pun memangku kakinya, dan langsung ditegur oleh petugas sidang. Pertanyaan awal dari Untung pada Bon Jovi adalah, apakah saksi kenal terdakwa? Bon Jovi menoleh ke arah Dharsana, berlagak berkerut dahi, seakan­akan mengingat sesuatu, lantas jawabnya tanpa ragu, “Tidak.” Dharsana senyum. Dalam hati dia berkata, “Bagus.” Untung mendesak. “Yang benar!” katanya keras. “Saudara disumpah. Jawab yang benar.” “Ya, Pak.” “Saya bertanya sekali lagi. Apakah Saudara kenal pada Saudara Terdakwa itu?” “Tidak, Pak. Demi ibu saya, nenek saya, dan moyang saya, saya tidak kenal.” Dharsana senyum lagi. Dalam hati dia berkata pula kata yang sama, “Bagus.” “Dalam pemeriksaan polisi, sesudah Saudara dan teman­ teman Saudara datang ke rumah kayu­papan, Saudara menga­ kui disuruh membunuh oleh seseorang bernama Dharsana. Orang yang bernama Dharsana itu adalah itu, Saudara Terdakwa.” “Saya tidak kenal orang itu. Kami memang ke rumah kayu­ www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado papan untuk merampok. Kami ingin merampok lukisan­lukisan yang dipasang di WC rumah kayu­papan itu. Tapi sebelum kami merampok, kami ditangkap polisi.” Dharsana puas. Dia pura­pura tidak pedulikan tanya­ jawab Untung dengan Bon Jovi. Padahal dengannya dia me­ masang telinga lebar­lebar, mendengar dengan girang jawaban­ jawaban Bon Jovi. “Jadi Saudara menyangkali hasil pemeriksaan Saudara di kepolisian?” “Saya bukan menyangkal, Pak. Saya mencabut. Waktu itu saya ditekan, dipaksa, disiksa untuk mengakui yang saya tidak mengerti samasekali.” “Kalau Saudara berkata, Saudara hanya mau merampok lukisan di rumah itu, kenapa Saudara dan teman­teman Sau­ dara membawa pistol?” “Itu biasa, Pak. Sebagai perampok profesional, begitu.” Pengunjung ketawa karena istilah ‘perampok profesional’ tersebut. Untung melanjutkan, “Memangnya bagaimana kalau pe­ rampok profesional itu?” katanya. Jawab Bon Jovi, “Ya, begitu, Pak. Kalau pemilik rumah yang dirampok itu bertahan, atau melawan, atau coba­coba berteriak, ya kami dor.” “Dalam pengakuan Saudara di depan polisi, Saudara meng­ aku mendapat pistol­pistol milik Saudara dan teman­teman Saudara itu dari membelinya. Benar begitu?” “Benar, Pak.” “Apa Saudara kenal orang yang menjual senjata­senjata itu?” “Tidak, Pak.” “Tetapi dalam pengakuan Saudara pada pemeriksaan di kantor polisi, Saudara menyebut nama Anto Irawan. Apa Saudara masih mau mengakui nama itu, atau Saudara mau me­ 811 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo nyangkal lagi dan mencabut juga pengakuan itu?” Bon Jovi kelihatan gugup. Dia mengerling ke Dharsana. Dan, sertamerta Untung menghardiknya. “Saya bertanya pada Saudara,” kata Untung. “Tidak usah meminta pembenaran pada Saudara Terdakwa.” Hardikan itu langsung diprotes oleh Luhut. Katanya ke­ pada majelis hakim, “Keberatan, Ibu Ketua Hakim. Saudara jaksa sudah melakukan teror dengan kata­kata. Bagaimanapun, teror dengan kata­kata atau teror dengan bom adalah sama, sebab dalamnya orang menjadi panik.” Ny Nanin Permadi tidak membenarkan protes Luhut. Katanya tegas, “Keberatan Saudara ditolak.” Lalu kepada Untung, “Silakan lanjutkan.” Untung mengucapkan terimakasih pada majelis hakim, lantas mengarahkan kembali mukanya pada Bon Jovi. “Pertanyaan saya masih sama dengan yang tadi, yang be­ lum Saudara jawab,” kata Untung pada Bon Jovi. “Apa Saudara membeli senjata itu dari orang bernama Anto Irawan.” “Kalau tidak salah,” jawab Bon Jovi. “Kalau tidak salah bagaimana?” cecar Untung. “Kalau tidak salah namanya sekitar­sekitar begitu, Pak,” kata Bon Jovi. “Sebetulnya saya lupa. Yang saya tidak lupa cuma nama­namanya artis. Misalnya Iwan Fals dan Rhoma Irama.” Pengunjung ikut jengkel tapi ketawa. Di kursi deret belakang Rachmat berbisik pada Tuminah. “Tugasmu mencari informasi tentang Anto Irawan sekarang. Dulu Kapolres di Jakarta Pusat, dipecat karena beberapa kasus, selain narkoba, juga senjata ilegal.” “Ya, Pak,” kata Tuminah. Di depan, ketua hakim menegur Bon Jovi. Kata Ny Nanin Permadi, “Saudara hanya menjawab yang ditanyakan.” “Ya, Bu,” kata Bon Jovi clingak­clinguk. “Saya memang 812 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado lupa nama orang yang menjual senjata itu. Soalnya banyak, Bu.” Ny Nanin Permadi kembali mempersilakan Untung me­ lanjutkan pertanyaannya. Maka berkata Untung kepada Bon Jovi, “Dalam pemerik­ saan polisi, Saudara bilang ‘barangkali Anto Irawan sudah mati’. Dari mana Saudara tahu bahwa Anto Irawan barangkali sudah mati?” “Ah, terusterang saya cuma asbun­asbun saja kok, Pak,” jawab Bon Jovi cengengesan. “Saudara cuma asbun­asbun mengatakan bahwa Anto Irawan itu barangkali sudah mati?” Pertanyaan menjebak itu tidak disadari oleh Bon Jovi. Dengan naif Bon Jovi mencoba menjawab dengan gaya yang dikiranya memenuhi syarat diplomatis. “Ya, kira­kira begitu.” Ibarat silat, Untung langsung memasang kuda­kuda di kaki, melanjutkan jebakannya. “Memangnya berapa lama sih Saudara tidak bertemu dengan Anto Irawan sehingga Saudara asbun­asbun menga­ takannya: barangkali Anto Irawan sudah mati.” Bon Jovi berlagak berpikir. “Eh…” Untung menggiringnya untuk masuk dalam jebakannya itu, “Oh, Saudara lupa ya?” “Ya, kira­kira begitu.” Ketika dia baru saja mengira jawabannya ini berkelas diplomatis, dan sesungguhnya diplomatis kampung, tiba­tiba dia terkejut sendiri karena merasa telah terpancing. Dia ingin meralat, tapi dia tahu pula, hal itu tidak mungkin. Karenanya, dalam kemestian menjawab, dia bicara belepotan. “E, eh, ya, Pak, saya memang lupa. Ini, yang Bapak maksudkan, siapa? Anto Irawan yang mana ya, Pak?” Sekalian Untung berlagak pilon juga. Katanya, “Oh, iya ding, saya lupa juga tuh, Anto Irawan mana yang saya sebut 813 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo tadi itu lo ya? Coba deh ingatkan. Apa Saudara ingat?” Bon Jovi menggelengkan kepala. Dia berlagak serius dalam sikap yang kentara berpura­pura. “Oh, ya, Saudara lupa, memang,” kata Untung. “Anto Irawan yang saya sebut itu adalah Kapolres di Jakarta Pusat saat kejadian pembunuhan terhadap anak tiri Saudara Terdakwa…” “Eh, eh, eh…” Dengan sulit Bon Jovi mencoba mencari dan menemukan jawaban yang pas, tapi itu memang sia­sia, sebelum pikirannya bisa dipercayai melalui penampilannya yang laras, keburu Untung menyatakan sesuatu yang menyepelekannya. Kepada majelis hakim, Untung berkata, “Dari saya cukup begitu dulu pertanyaan saya.” “Baik,” kata Ny Nanin Permadi, lalu mengalihkan pan­ dangannya ke Luhut. “Silakan.” Luhut pun memberi hormat kepada majelis hakim, lantas memandang Bon Jovi dengan wajah diserius­seriuskan, tapi dia tidak mengaca, bahwa kesannya malah seperti topeng monyet yang kira­kira hanya bisa menghibur pantaran anak­anak TK. “Begini, Saudara Saksi,” kata Luhut, dan pasti menyimpang ke topik lain terlebih dulu untuk menunjukkan dirinya pandai. “Saya menghormati HAM…” Ny Nanin Permadi langsung memotong omongan Luhut. Katanya, “Tolong diuraikan perkataan itu. Apakah yang Saudara maksudkan itu ‘ham’: daging babi yang diasapi dalam leluri bangsa­bangsa Barat, ataukah ‘ham’: sebagai singkatan bahasa Indonesia untuk perkataan bahasa Inggris ‘human rights’?” Pengunjung di kursinya sempat ketawa. Sepertinya me­ reka puas melihat hakim menggasak Luhut. Niscaya hakim ketua sendiri sengaja memotong omongan Luhut karena sepat matanya melihat penampilan pengacara ini yang memang njelehi. Dan, karena omongannya disilang dengan cara begitu oleh 814 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Ny Nanin Permadi, maka Luhut sempat grogi terpengaruh oleh ketawa pengunjung, lantas mencoba mewajar­wajarkan diri, namun tetap saja wagu. Kata Luhut atas pernyataan Ny Nanin Permadi, “Ya, Bu, yang saya maksudkan adalah HAM, yaitu ham dengan huruf­ huruf kapital, singkatan dari Hak Ajasi Manusia.” “Baik,” kata Ny Nanin Permadi. “Kalau memang harus diucapkan secara jelas, silakan, jangan disingkat. Dan, bukan Hak Ajasi Manusia, melainkan Hak Asasi Manusia.” Pengunjung ketawa, menertawai Luhut. Luhut bermaksud ngeyel, sok­tahu. “Tapi, Ibu Ketua, ditulisnya pakai huruf Jet…” “Bukan Jet, tapi Set. J itu huruf ke­10 Latin, dan Z itu huruf ke­26 Latin. Tetapi, mengeja yang betul bukan dengan huruf ke­26 melainkan dengan huruf ke­19 Latin, yaitu S. Jadi yang betul Asasi bukan Azasi. Kalau ada yang mengeja dengan Z itu keliru. Yang benar, lihat kamus, ejaannya dengan S, jadi Asasi. Maka, ingat, bunyinya sssss, seperti bunyi ular!” Pengunjung dibuat tertawa lagi. Luhut makin grogi oleh tertawa itu dan dia pun kelabakan menghadapi pembetulan atas bahasa Indonesianya. “Ya, Bu, Asasi.” Dan cepat­cepat dia mengarahkan pan­ dangan ke Bon Jovi. “Nah, begini, Saudara Saksi, dalam rangka itu tadi, eh,eh, Hak Asasi Manusia, maka harus terlebih dulu diingat, bahwa hak Saudara Saksi menyangkal dan mencabut hasil pemeriksaan pihak kepolisian tersebut. Dengan kata lain, pengakuannya di depan kepolisian soal nama Anto Irawan harus dianggap tidak benar, sebab, Saudara Saksi sudah mengaku bahwa dia disiksa untuk mengakui nama itu. Dalam hal ini, mari kita ingat asas legalitas dalam konstitusi yang dimasukkan dalam amandemen kedua UUD 1945, pasal 281 815 ayat 1. Ini, saya bacakan…” Luhut mengambil catatannya di atas meja, lantas mem­ bacanya: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak ajasi, eh, asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun…” Ny Nanin Permadi dengan cepat berkata, “Ya, itu pasal 281 ayat 1. Coba Saudara baca pasal 281 ayat 2. Saudara simak saja. Saya hafal betul bunyinya: ‘Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang­undang dengan maksud se­ mata­mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tun­ tutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai­ nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis’.” “Ya, Bu,” kata Luhut. Selanjutnya terjadi silang pendapat. Namun Ny Nanin Permadi menerima itu. Dasarnya, kata Ny Nanin Permadi, “Hukum Pidana harus diejawantah melalui interpretasi yang laras.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 144 ATAS pernyataan Ny Nanin Permadi, bahwa hukum pidana harus diejawantahkan melalui interpretasi yang laras, maka Untung Surapati pun menanggapi itu dengan wacana yang lebih luas, sehingga sidang pengadilan ini selintas menjadi se­ perti sebuah diskusi hukum di ruang kuliah. Kata Untung, “Apa yang baru diarahkan Ibu Ketua Hakim itu betul. Sudah menjadi wacana dasar ilmu hukum, bahwa jelas ancaman segala tindak pidana dasarnya adalah untuk mengingatkan orang­seorang supaya jangan berbuat kejahatan. Dasarnya laras dengan ajaran tiga agama samawi yang ber­ sinambung dalam sejarah peradaban, mulai dari bani Yahudi antara Talmud dan Torah, kemudian Kristen dalam Injil, dan Islam dalam Quran. Bahwa, dengannya dapat dicamkan dengan jelas asas legalitas itu, menyangkut hukuman sebagai hukum Tuhan terhadap pelaku kejahatan. Pada Talmud kita melihatnya 817 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo dalam Mysna dan Gemara, lalu pada Injil kita melihatnya dalam surat Roma 5: 13, dan pada Quran kita melihatnya dalam Surah Al Israa’ 15. Tuhan yang menyelenggarakan hukum itu satu. Sesuai dengan asas Pancasila kita. Tetapi memang, sebutannya dari ketiga agama samawi itu berbeda. Yahudi menyebut­Nya Elohim dan Yahweh, Kristen menyebut­Nya Theos dan Kyrios, dan Islam menyebut­Nya Allah dengan Asmaul Husna…” Ny Nanin Permadi menyela bicara Untung itu. Katanya, “Saya hargai pengetahuan Saudara, tetapi supaya kita tidak ter­ jebak dalam keasyikan bicara dalam model mempertahankan disertasi—berhubung kita memang sedang berada dalam ruang sidang pengadilan—maka saya minta Saudara bicara pada kon­ tekstur tuntutan pidananya saja. Kalau terjadi perkembangan atas kontekstur itu, kerangkanya harus tetap di rel, jangan ke mana­mana. Nah, apa ada hal yang ingin Saudara kembangkan dari kontekstur itu?” “Ya, Ibu Ketua,” jawab Untung. “Kami bermaksud meng­ ajukan dua saksi lain di sini—saksi à charge—menyangkut pertanyaan soal kepemilikan senjata api, yang menurut kami sangat berkait dengan Saudara Terdakwa.” “Silakan.” Untung pun meminta supaya dihadirkan Anto Irawan. Yang disebut itu lantas memasuki ruang sidang dikawal oleh petugas pengadilan. Begitu Anto Irawan muncul di ruang sidang ini, wajah Dharsana mendadak berubah seperti tikus basah. Niscaya pra­ sangkanya terhadap Anto Irawan lebih besar ketimbang rasa percayanya yang tiba­tiba melorot ketika mendengar istilah ‘saksi à charge’ tersebut. Setelah disumpah dan duduk, Anto Irawan langsung di­ tanyai oleh Untung menurut ketentuan yang berlaku. 818 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Saudara bernama Anto Irawan, pernah bertugas dalam kepolisian, tetapi dipecat karena kasus kriminal. Apakah itu benar?” “Benar.” “Kalau boleh kami tahu, coba Saudara katakan di hadapan majelis hakim, kasus kriminal apa yang membuat Saudara dipecat dari kepolisian.” “Narkoba dan senjata api.” “Bagaimana itu narkoba dan senjata api?” “Narkoba: mengedar, dan senjata api: menjual.” “Baik. Saya khususkan soal senjata api. Dari mana Saudara dapat senjata api yang Saudara jualkan itu?” “Itu perdagangan bebas.” “Bukan itu pertanyaan saya. Saya bertanya, dari mana sen­ jata api itu Saudara peroleh sebelum Saudara menjualnya.” “Dari seseorang di dalam kepolisian.” “Apa seseorang yang Saudara maksudkan itu berpangkat perwira tinggi?” “Bukan. Pangkatnya perwira menengah.” “Bisakah Saudara menyebutnya lebih jelas keperwiraan­ nya itu?” “Ya. Komisaris Besar. Kalau di dalam kemiliteran itu sama dengan Kolonel.” “Apa Saudara ingat nama Komisaris Besar itu?” “Ingat.” “Siapa namanya?” “Kombes DB Dharsana.” Tiba­tiba Dharsana berteriak di kursinya. “Itu tidak be­ nar!” Petugas pun segera menjaga Dharsana. Untung meneruskan pertanyaannya tanpa hirau pada te­ riakan Dharsana itu. 819 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Apa Saudara bisa menunjukkan orang yang Saudara sebut namanya itu di dalam ruang sidang ini?” “Ya,” kata Anto Irawan sambil menunjuk Dharsana. “Itu yang baru saja berteriak.” Pengunjung gemuruh. Ny Nanin Permadi menyuruh pengunjung tenang. Kemu­ dian dia mempersilakan Untung melanjutkan lagi pertanyaan­ nya. Namun, dengan hormat Untung berkata kepada Ny Nanin Permadi, “Untuk sementara dari saya cukup, Bu.” Hakim ketua pun mempersilakan Luhut bertanya pada Anto Irawan. Dengan lagaknya yang tengil Luhut bertanya pa­ da sang saksi. “Tadi Saudara bilang, senjata­senjata yang Saudara peroleh itu berasal dari perdagangan bebas. Apa betul?” “Ya, betul.” “Berarti, dalam perdagangan bebas itu, bukan hanya dari satu sumber saja Saudara dapatkan senjata­senjata itu.” “Memang perdagangan senjata itu meluas, bukan hanya dari satu sumber saja.” “Baik,” kata Luhut cepat­cepat, dan langsung mengarahkan pandangannya ke majelis hakim, “Saya ingin ini dicatat, Ibu Ketua Hakim: Saudara Saksi mengakui bahwa perdagangan senjata di Indonesia bukan hanya dari satu sumber. Jadi, mak­ sud saya, saya tidak perlu lagi bertanya soal dari mana senjata itu didapat, sebab memang sumbernya banyak, pengedarannya banyak, dan pemakainya juga banyak. Ini sesuai dengan lapor­ an PBB di bawah United National Register on Conventional Weapons seperti yang disiarkan oleh majalah Newsweek 23 Agustus 1999—ini saya bawa kopinya—bahwa telah berlangsung penjualan senjata api berbagai jenis yang diekspor pihak Ame­ 820 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado rika ke negara­negara berkembang. Dan, catatan yang saya punyai secara eksklusif, senjata­senjata yang masuk ke Indo­ nesia, melalui banyak jalan dan banyak sumber…” Anto Irawan mengacung, meminta perhatian majelis hakim, kelihatannya hendak menambahkan sesuatu. “Maksud saya begini…” Tapi buru­buru Luhut memotongnya. Katanya, “Kami sudah mendapat inti dari maksud Saudara. Terimakasih.” “Sebentar…” Anto Irawan mencoba menambahkan, tapi lagi­lagi Luhut memotong omongannya. “Ya, saya mengerti,” kata Luhut. “Saudara sudah mengata­ kan dengan jelas. Bahwa penjualan senjata api di Indonesia bukan hanya dari satu sumber. Cukup.” “Maksud saya…” “Ya, ya, ya, saya mengerti apa yang Saudara maksudkan.” Pengunjung gregetan melihat cara Luhut mengarahkan Anto Irawan. Termasuk pengunjung yang duduk di deret paling belakang, Nia, menggerutu sendiri. “Huh!” Untung saja Ny Nanin Permadi segera mengambilalih kendali percakapan. Katanya dengan menunjuk Anto Irawan, “Apa ada kata­kata lain yang Saudara rasa belum terucapkan?” “Ya, Ibu Hakim,” kata Anto Irawan, “Saya tidak menyim­ pulkan bahwa seakan­akan senjata api yang saya jual itu berasal dari berbagai sumber, tetapi sebetulnya dari satu tangan.” Pengunjung gemremeng. Segera Ny Nanin Permadi menanyakan itu. “Dari satu ta­ ngan bagaimana?” “Ya, Bu,” sahut Anto Irawan. “Dari Pak Dharsana.” Pengunjung bersorak. Ny Nanin Permadi menyuruh pengunjung tenang. 821 Bagaimanapun pernyataan Anto Irawan yang tanpa ragu itu kembali membuat pengunjung seperti terhibur, menyambut dengan suara mirip kor tanpa satu pun kata yang sama. Namun, jika diperhatikan secara khusus, agaknya Nia termasuk salah seorang di antara pengunjung­pengunjung itu yang melafalkan kata­katanya dengan jelas. “Nah, lu, kapok,” kata Nia. Tuminah sempat mendengar itu. Tuminah mengerling pada Nia. Sidang berlanjut dengan masih mempersoalkan jual­beli senjata yang berbelit ceritanya. Tak terasa sidang ini sudah berlangsung tiga jam. Pada pas jam 13.00 Ny Nanin Permadi mengatakan jeda untuk makansiang. “Sidang dilanjutkan jam 14.00,” katanya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 145 JEDA satu jam yang diisyaratkan oleh Ny Nanin Permadi, sekalian dimanfaatkan oleh Untung Surapati untuk menunai­ kan salat dan berlanjut dengan makansiang. Sidang dimulai lagi pada jam 14.10. Dalam sidang ini Anto Irawan masih ditanyai soal hubung­ annya dengan Dharsana. “Ya,” kata Anto tanpa gairah apa­apa. “Saya memang dekat sekali dengan Kombes Dharsana.” “Supaya resmi, harap Saudara tidak menyebut Saudara Terdakwa sebagai Kombes, sebab Saudara Terdakwa memang sudah dibebastugaskan, dan Saudara Terdakwa di sini sebagai sipil.” “Ya, Pak,” kata Anto. “Baik,” kata Untung. “Saya ulangi pertanyaan saya: bagai­ mana hubungan Saudara dengan Saudara Terdakwa.” 823 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Saya dekat sekali dengannya.” “Sedekat apa?” “Wah, pokoknya dekat banget, Pak.” “Apa itu artinya Saudara sering bertemu dengannya?” “Ya. Itu dulu. Empat­lima­enam tahun yang lalu.” “Jadi, apa itu artinya setelah empat­lima­enam tahun ini pertemuan Saudara dengannya tidak sesering dulu lagi?” “Ya. Bahkan tidak pernah lagi. Sebab saya sudah pindah di Pekalongan.” “Setelah Saudara pindah di Pekalongan, Saudara bilang, Saudara tidak pernah lagi bertemu dengan Saudara Terdakwa?” “Benar.” “Kapan terakhir kali Saudara bertemu dengannya?” “Yang terakhir itu, ya, yang bulan lalu.” “Apa Saudara ingat secara persis waktunya?” “Saya menemuinya di rumah tahanan.” “Saudara menemuinya di rumah tahanan? Untuk urusan apa?” “Mula­mula saya ditemui oleh Saudara Pembela di Peka­ longan.” Luhut langsung mengacung. “Ah, ngaco kau.” Ny Nanin Permadi pun segera menegur Luhut. “Tenang!” Untung melanjutkan. “Saudara bilang Saudara Pembela menemui Saudara di Pekalongan?” “Ya, Pak. Saudara Pembela datang ke rumah saya. Dia memperkenalkan diri. Dan dia minta saya menemui Pak Dharsana di tahanannya.” Dharsana dan Luhut sama­sama tegang. Lagi Luhut mengacung. Kini maunya meminta izin dari hakim ketua untuk membiarkannya bicara. “Maaf, Ibu Ketua…” Tapi Ny Nanin Permadi tak hiraukan. Katanya, “Giliran 824 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Saudara nanti.” Untung pun melanjutkan pertanyaannya. “Jadi, Saudara Pembela datang menemui Saudara di Pekalongan untuk me­ minta Saudara menemui Saudara Terdakwa. Benar begitu?” “Benar, Pak.” “Apa Saudara ingat percakapan Saudara dengan Saudara Terdakwa waktu itu?” “Ya, Pak. Pak Dharsana meminta saya menghabisi bekas sopirnya bernama Lukman.” Kini bukan Luhut yang berteriak, tapi Dharsana. Teriakan Dharsana bukan juga hanya gusar, tapi gugup dan belingsatan. “Itu tidak benar!” serunya. Ny Nanin Permadi mengetuk meja, menyuruh Dharsana diam. “Nanti giliran Saudara bicara.” Dharsana mecucu, bersungut­sungut, ngutruk, tak jelas apa yang dikatakannya. Yang tampak, mukanya sepat, kecut, pahit, dan seterusnya. Untung melanjutkan pertanyaannya kepada Anto Irawan. “Tolong Saudara ulangi pernyataan Saudara. Tadi Saudara bi­ lang, Saudara Terdakwa meminta Saudara menghabisi sese­ orang bernama Lukman. Apa benar begitu?” “Ya, benar.” “Dan, apakah Saudara sudah menghabisinya?” “Tidak, Pak.” “Kenapa tidak?” “Saya tidak melihat alasan untuk melakukan itu.” “Begitu?” “Ya.” “Menurut Saudara apa alasan Saudara Terdakwa ingin menghabisi orang yang bernama Lukman itu?” “Saya tidak tahu.” “Saudara tidak tahu?” 825 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Saya tidak mau dialiri frustrasinya. Itu urusannya. Saya bukan bagian dari frustrasinya.” Untung menghadapkan wajahnya ke majelis hakim. Kata­ nya, “Sementara cukup dari saya.” Maka Ny Nanin Permadi mempersilakan Luhut bertanya. Sejenak Luhut tampak limbung. Pasti dia merasa kehilangan hikmah. Kendati begitu, dia harus memanfaatkan kesempatan yang diberi hakim ketua untuk bertanya pada Anto Irawan. “Begini,” kata dia. “Saudara bilang Saudara kenal saya.” “Ya. Saya kenal Saudara.” “Saudara pendusta. Saya tidak kenal Saudara.” “Waduh, saya bingung. Yang pendusta itu saya atau Sau­ dara?” “Saudara yang pendusta.” “Wah, kita harus bikin seminar bahasa dulu soal kata ‘kenal’ ini. Setahu saya, dan seingat saya, ketika Saudara datang ke rumah saya, Saudara memperkenalkan diri Saudara. Saudara menyebut nama Saudara dan saya pun menyebut nama saya. Artinya, sejak saat itu, kita saling kenal.” Lalu, kepada majelis hakim, “Apakah pengetahuan bahasa saya salah?” Pengunjung ketawa. Karena ketawa pengunjung itu Anto merasa seperti men­ dapat dukungan dari mereka. Maka kata Anto kepada Luhut, “Nah, Saudara yang pen­ dusta.” Pengunjung ketawa lagi. Berbareng dengan itu, tiba­tiba Luhut tidak kuasa mengendalikan emosi. Dia berteriak keras. “Diam kamu!” Cara teriaknya ini persis aktingnya yang jelek dalam sinetron­sinetron sampah—sinetron yang melecehkan tingkat intelektualitas pemirsa terpelajar—atau persis juga gayanya 826 Remy Sylado dalam penampilannya yang disaksikan dalam berita TV ketika dia menginterupsi sidang­sidang tertentu di lembaga legislatif di mana dia mewakili partainya. Sementara, Anto Irawan yang diteriaki ‘diam’ oleh Luhut, lantas balik berteriak pula kata yang sama. “Kamu yang diam!” “Kamu, monyet! Kamu yang diam!” Pengunjung jadi gaduh. Mereka bertepuk tangan. Karuan Ny Nanin Permadi mengetuk­ngetuk meja, me­ nyuruh semua orang di dalam sidang pengadilan ini segera tenang. “Tenang!” seru Ny Nanin Permadi. “Semuanya tenang!” Berangsur pengunjung menjadi tenang. Lalu kata Ny Nanin Permadi secara khusus pada Luhut, “Kalau Saudara tidak bisa menjaga kesopanan, saya keluarkan Saudara dari sidang pengadilan ini.” Luhut ciut, tapi tetap dongkol, “Maaf, Bu,” katanya. Ny Nanin Permadi tidak hiraukan kata maaf Luhut. Kata­ nya tergesa­gesa karena jengkel, “Sidang hari ini diskors, di­ tunda sampai lusa. Dan saya ingatkan kepada semua, jangan berperilaku seperti hewan, menggonggong, meringkik, mengaum. Kita semua manusia berbudaya dan beradab.” Dan Ny Nanin Permadi pun mengetuk meja tanda sidang selesai sampai di sini dulu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di luar sidang Nia menemui Ibu Intan dan Juminah yang masih berdiri di depan gedung pengadilan, menjabat tangan, sambil berkata, “Sudah makin jelas bukti­buktinya.” “Ya,” jawab Ibu Intan. “Mudah­mudahan ini cepat beres.” “Saya ikut senang, Bu,” kata Nia. Ketika Nia berkata begitu, dia membayangkan juga hadir­ 827 nya saksi bernama James Winata. “Terimakasih,” kata Ibu Intan atas pernyataan apresiasi dari Nia itu. Dan, tanya Nia, “Kapan Ibu berencana ke Australia?” “Secepatnya,” jawab Ibu Intan. Kemudian, Juminah yang berdiri di sebelah Ibu Intan, menyambung, “Dalam sidang yang akan datang, saya harap saksi James Winata bisa menuntaskan seluruhnya.” Ibu Intan mengingatkan, “Masih ada saksi Lukman yang belum dihadirkan hari ini.” “Ya,” kata Juminah. “Keburu Luhut bertindak kampungan. Tapi lusa Lukman akan bersaksi.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 146 SEGERA Ibu Intan mengontak James Winata di Australia dengan nomer telefon yang didapatnya dari Nia. Terjadi percakapan riang dan haru. Juga disertai dengan perasaan damai. Setelah itu Ibu Intan menyatakan kepada James Winata, bahwa dia akan ke Melbourne, menemuinya. James Winata senang mendengar itu. Sekarang Ibu Intan dan Juminah masih mengurus ke­ berangkatan mereka ke Australia. Mestinya tidak mudah mengurus visa ke Australia pada tahun­tahun setelah 2000. Kedutaannya di Kuningan berlaku sangat ketat terhadap orang Indonesia yang ingin ke sana. Petugas kedutaan memeriksa dulu jumlah uang pemohon yang tersimpan di bank, kayaknya kuatir banget kalau­kalau orang Indonesia bakal mencari kerja di sana. Selain itu, terasa juga sikap diskriminatif terhadap orang Indonesia, kayaknya kuatir 829 Hotel Pro deo lagi dalam tingkat prejudis dan fobia pada khususnya nama­ nama tertentu dengan keyakinan yang minoritas di Australia. Tapi, lumayan ajaib, bahwa urusan Ibu Intan dan Juminah di kedutaan Australia ini terbilang lancar sekali. Hanya 30 menit, teken, selesai, beres, dan itu membuat seorang ibu yang mengantri di belakang Ibu Intan menggerutu, sebab dia mengaku sudah tujuh kali bolak­balik ke kedutaan ini untuk melengkapi surat­surat tetekbengek, bahkan dengan tiket pesa­ wat yang sudah dibeli untuk enam orang dan akan hangus dua hari lagi, toh masih terus saja dipersulit oleh kedutaan untuk bisa masuk ke Australia. Karuan perasaan Ibu Intan dan Juminah lega. Mereka merasa dipermudah oleh kedutaan Australia. Niscaya kedua nama mereka tidak termasuk dalam daftar hitam pemerintah negeri itu. Sejauh itu, ketika Ibu Intan dan Juminah telah mendapat visa, dan siap berangkat ke Melbourne, James Winata hanya mengira Ibu Intan ke Australia untuk semata­mata melancong. Ibu Intan memang sengaja belum mengatakan maksudnya menemui James Winata untuk memintanya hadir sebagai saksi di pengadilan, sehubungan dengan pengakuannya di majalah Australia sekian tahun lalu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Konsentrasi Ibu Intan dan Juminah pada hari yang sudah ditentukan oleh Ny Nanin Permadi untuk sidang lanjutan ada­ lah menghadirkan saksi Lukman. Hari di mana Lukman dihadirkan dalam sidang, pas kena tanggal 10 bulan ini, yang kebetulan merupakan hari­ulang­ tahun Ibu Intan yang ke­47. Pengunjung yang hadir dalam sidang pengadilan hari ini makin banyak dari yang terakhir. 830 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Sebelum sidang dimulai, terlebih dulu Ny Nanin Permadi mengingatkan lagi soal tatatertib dalam ruang sidang. Walau matanya tidak secara khusus diarahkan ke Luhut, tapi pengun­ jung yang memenuhi kursi dalam pengadilan ini kiranya tahu, bahwa kata­kata peringatan ini memang lebih spesial ditujukan kepada Luhut. “Tolong berlaku sopan di dalam sidang,” kata Ny Nanin Permadi. “Jangan berteriak seperti dalam sinetron­sinetron yang tidak jelas juntrungannya.” Pengunjung tertawa sambil melihat Luhut. Dengan begitu jelas berarti mereka menertawai Luhut. Dalam kalimat pembukaannya, di luar kelaziman, Ny Nanin Permadi menyatakan, bahwa dari sidang yang lalu maje­ lis hakim sudah mencatat sekian poin dari saksi­saksi yang di­ hadirkan. Kemudian Ny Nanin Permadi bertanya pada Untung, “Apa masih ada saksi lain yang akan dihadirkan dalam sidang hari ini?” “Ada, Ibu Ketua,” jawab Untung. “Sekurangnya masih ada dua orang.” Dharsana mendelik dan dahi mengencang. Pasti dia ber­ tanya dalam hati: Siapa gerangan dua orang yang dimaksud itu? Barangkali yang seorang dia tahu, itu Lukman, sebab dalam sidang lalu Anto Irawan sudah mengaku: tidak jadi membunuh bekas sopirnya itu. Tapi, siapa pula seorang yang satunya? Dharsana memang tidak tahu soal rencana Ibu Intan dan Juminah yang akan ke Australia untuk menemui James Winata. Rencana itu pun sudah disampaikan Juminah pada Untung: bahwa akan ada seorang lagi saksi penting yang diharapkan hadir pada sidang mendatang. Ny Nanin Permadi pun berkata kepada Untung, “Silakan hadirkan saksi itu.” 831 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Lukman diantar masuk. Dharsana menahan nafas. Setelah disumpah dan duduk di kursi saksi, Lukman menun­ dukkan kepala, berkomat­kamit mengucapkan doa: “Allaahum­ ma innii atawajjahu ilaika binabiyyika nabiyyirrahmati, wa ahli baitihilladziinakhtartahum ‘ala ‘ilmin ‘ala ‘aalamiin. Allaahum­ ma fadzallil lii shu’uubatahaa wa huzuunatahaa, wakfinii syar­ rahaa fainnakal kafiil mu’aafii wal ghaalibul qaahirul qaadir.” Melihat Lukman berkomat­kamit, Ny Nanin Permadi me­ nunggu sampai selesai melafal doa, dan setelah itu bertanya: “Apakah Saudara sudah siap bersaksi?” “Siap, Bu,” jawab Lukman. Lalu, lebih dulu Untung bertanya hal­hal mendasar akan hubungannya dengan Dharsana. Dan akhirnya persoalan inti menyangkut dirinya sebagai saksi atas tindakan­tindakan keja­ hatan Dharsana. Di antara sekian banyak tindakan kejahatan yang bisa berkembang dalam tanya­jawab ini, Untung hanya menanyakan satu saja, yaitu soal yang sebelumnya diakui Juminah sebagai saksi, tentang penembakan mahasiswa yang berdemonstrasi di Semanggi. “Apa Saudara tahu, Saudara Terdakwa menembak sese­ orang dari antara kerumunan mahasiswa di Semanggi?” tanya Untung. “Ya, saya tahu,” jawab Lukman. “Bagaimana Saudara mengetahuinya?” “Saya tahu karena saya melihat.” “Saudara melihat bahwa Saudara Terdakwa menembak?” “Ya. Saya melihat. Saya melihat mulai dari Pak Dharsana mengambil pistol dari dalam laci mobil, turun dari mobil, me­ nembak, masuk kembali ke mobil, lalu menyuruh saya cepat­ cepat mundur dengan moncong pistolnya ditodongkan ke kepala saya.” 832 www.bacaan-indo.blogspot.com Dharsana geram. Dia berdiri dari kursinya. Menghardik. “Babi lu, Lukman!” Segera Ny Nanin Permadi memukul meja, menyuruh Dharsana sopan di dalam persidangan. Rachmat Wirjono yang duduk di belakang prihatin melihat kelakuan Dharsana yang tidak perwira menghadapi pengadilan ini. Untung melanjutkan pertanyaannya setelah jeda sejenak, sampai keadaan tenang kembali. “Saudara bilang, Saudara ditodong di kepala?” “Ya, benar.” “Kenapa Saudara ditodong?” “Sebab saya meminta kepada Pak Dharsana supaya jangan melarikan diri.” “Kenapa Saudara berpikir: tidak melarikan diri?” “Dari belakang kami ada perempuan yang berteriak heiii.” “Memangnya apa yang ada dalam pikiran Saudara tentang teriakan itu?” “Saya merasa teriakan itu sebagai suatu penghinaan kepada seorang perwira.” “Penghinaan bagaimana?” “Ya, Pak. Masak seorang perwira melarikan diri. Saya yang bukan aparat saja malu diteriaki seperti itu, kok Pak Dharsana tidak malu…” Lagi Dharsana berdiri dari kursinya. Menghardik. “Babi lu, Lukman!” Pun, lagi Ny Nanin Permadi menegur Dharsana karena sikapnya yang tidak santun itu. Sementara, pengunjung yang menyaksikan ini, semakin gemas dan sebal melihat baik Luhut maupun Dharsana. Di ujung kalimat Ny Nanin Permadi yang menegur Dharsana, maka Untung menyimpulkan dengan gancang dan campin, bahwa pertanyaan darinya kepada Lukman sudah tidak ada lagi. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Ny Nanin Permadi menganggukkan kepala pada Luhut, mempersilakan kepadanya untuk menggunakan haknya ber­ tanya pada Lukman. Tumben Luhut seperti kehilangan sayap. Dia tingak­tinguk, mencari pegangan kata apa yang mesti dia punyai untuk bertanya, seperti biasa, dengan maksud men­ jebak, tapi kelihatannya dia tidak memiliki khazanah itu hari ini. Katanya, “Untuk sementara saya belum punya pertanyaan terhadap Saudara Saksi.” Dharsana jengkel mendengar pernyataan Luhut itu. “Sangkal dong,” katanya kepada Luhut. Luhut malah bengong. Maka Ny Nanin Permadi berkata kepada Untung, “Apa saksi yang seorang lagi akan dihadirkan sekarang?” Untung menoleh ke Juminah sebelum menjawab per­ tanyaan Ny Nanin Permadi. Di tempatnya Juminah menggelengkan kepala. Dan, kata Untung, “Belum sekarang, Ibu Ketua.” “Kapan?” tanya Ny Nanin Permadi. “Saya minta izin berkoordinasi dulu,” jawab Untung. “Silakan,” kata Ny Nanin Permadi. Untung mendatangi Juminah yang duduk berdekatan de­ ngan Ibu Intan, berbisik­bisik sejenak, lalu kembali ke kursi­ nya. “Bagaimana?” tanya Ny Nanin Permadi. “Kami minta waktu tiga minggu,” kata Untung. Ny Nanin Permadi melihat dulu buku agendanya, lalu bercakap­cakap dengan hakim anggota, mencocokkan jadwal mereka masing­masing, dan setelah memutuskan: “Ya, 21 hari dari sekarang, itu jatuh pada tanggal 12.” Sidang hari ini pun ditutup. *** 834 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 147 MAKA berangkatlah Ibu Intan dan Juminah menemui James Winata. Ke sana mereka terbang dengan Garuda. Setelah magrib pesawat yang ditumpangi Ibu Intan dan Juminah itu lepaslandas dari Bandara Soekarno­Hatta menuju ke Bandara Ngurah Rai. Di Denpasar ini mereka tertunda selama enam jam karena cuaca di tenggara sana kurang bagus. Pesawat baru terbang lagi pada jam 24.00. Tiba di Melbourne pada saat langit sudah terang. Sebelum berangkat kemarin, Ibu Intan mengontak James Winata, menyebut pesawatnya dan nomer penerbangannya, dan atas mau James Winata sendiri, yang disebut ini menawarkan diri untuk menjemputnya di Bandara Hilton International. Pertemuan pertama di bandara ini sangat mengharukan. Sampai­sampai Ibu Intan tak sadar telah melelehkan airmata di pipinya, menyabak karena senangnya. 835 Hotel Pro deo “Ini semua mukjizat,” kata Ibu Intan. “Saya baru baca Hygiene sekitar tiga minggu lalu dari Nia.” “Oh, ya, itu majalah lama,” kata James Winata. “Tapi majalah itu penting, sebab itu akan menjadi petunjuk di dalam sidang,” kata Juminah. James Winata memandang dengan kerut di dahi. “Oh ya?” “Juminah ini yang menangani perkara saya di pengadilan, untuk menyeret Dharsana ke Hotel Pro Deo,” kata Ibu Intan. “Oh ya?” Mereka berjalan ke tempat parkir, ke mobil James Winata, sambil bicara soal pengadilan. Dari bandara ini, masih tetap bi­ cara soal yang sama, yang menyebabkan Ibu Intan dan Juminah ke Melbourne, mereka menuju ke pusat kota, ke Southern Cross Hotel & Arcade yang luasnya antara Bourke Street sampai Little Collins Street. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Nanti, pada makansiang di hotel, barulah Ibu Intan bicara dari hati ke hati dengan James Winata tentang maksudnya da­ tang ke Melbourne. “Saya,” kata Ibu Intan, dan sambil melihat Juminah, segera mengganti pronomina tunggal ini dengan pronomina jamak, “Kami, ya, kami sangat berharap Pak James bisa membantu kami, ke Jakarta, menjadi saksi di pengadilan, soal peristiwa Mai itu.” “Aduh,” kata James Winata, menghembus nafas panjang. “Itu sudah lama terjadi. Memang saya tidak mungkin melupakan itu, tetapi tidak mungkin juga mengingat­ingat terus sampai saya menjadi tawanan atas ingatan buruk itu. Sebab, kalau saya terus terbawa dalam ingatan buruk di be­ lakang sana itu, bisa­bisa saya tidak bisa berpikir maju, untuk hidup, dan bertanggungjawab atas hidup, atas nafas kehidupan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, kepada saya; 836 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Tapi saya berpikir, supaya saya tidak terbawa dalam ingatan buruk itu, saya merasa tidak perlu lagi tinggal di Indonesia. Saya memang berdarah Cina, tapi saya tetap merasa diri sebagai bangsa Indonesia; “Peristiwa yang saya alami, bersama dengan orang­orang keturunan Cina lainnya di Indonesia, menunjukkan betapa je­ las ada masalah ‘api dalam sekam’ di bagian akar yang kadung sudah rusak, sulit diperbaiki, dan pemerintah pun tidak sungguh­sungguh mau memperbaikinya, kecuali sibuk dalam retorika ‘bhinneka tunggal ika’ sembari tetap membiarkan ber­ langsungnya penindasan terhadap minoritas, baik etnisitas maupun religiositas…” “Kalau Pak James bisa bersaksi di pengadilan, soal keja­ hatan Dharsana—yang waktu itu kedudukannya sebagai peme­ rintah—kita harap kesaksian Pak James itu bisa membuka mata, mencerahkan pikiran membersihkan hati.” Ibu Intan berkata begitu karena dia benar­benar berharap James Winata mau diajak menjadi saksi di pengadilan Jakarta. Namun, James Winata menunjukkan rasa tidak yakinnya pada dirinya sendiri. “Apalah artinya seorang James Winata, Bu,” katanya. “Tidak, Pak James,” kata Ibu Intan. “Saya benar­benar berharap Pak James menjadi orang yang dapat memberikan pernyataan mutiara di hadapan majelis hakim, sehingga Dharsana tidak berkutik lagi, dan dia harus segera dijebloskan ke Hotel Pro Deo Nusakambangan.” “Pernyataan mutiara?” James Winata tersenyum pahit. “Dari sebuah bacaan, ketika saya masih dirawat, saya ingat akan bunyi nas, betapa mubazirnya mutiara jika mutiara itu diberikan kepada babi­babi.” “Memang benar,” kata Juminah, “Tapi, rasanya kalau kita tidak mencoba, mempraktikkan bunyi nas itu, kita tidak pernah tahu diri kita, sampai di mana jauh mutiara itu benar­ 837 www.bacaan-indo.blogspot.com benar mubazir diberikan kepada babi­babi. Maksud saya begini, Pak James, saya akan bersalah dan bertanggungjawab pada kesalahan itu, kalau saya tidak mencoba melakukan kebaikan yang saya anggap benar. Untuk memperbaiki kesalahan saya harus melakukan kebaikan.” Ibu Intan menyambung. “Betul, Pak James. Kami berharap sekali Pak James menolong, memberikan sebiji sesawi kebaikan Pak James itu. Datanglah ke Jakarta barang sehari­dua. Tolong­ lah kami.” James Winata tersenyum. Dia mencoba mengartikan ‘tidak’ dalam senyumnya itu. “Kalau saya meninggalkan Melbourne untuk sehari­dua, saya bisa mengganggu pekerjaan saya di sini yang baru saya rintis dari nol.” Sekadar mengulur percakapan untuk menjadi semakin terbuka, Ibu Intan bertanya, “Bisnis Pak James sekarang apa?” “Oh,” kata James Winata, “Saya mulai dari yang kecil­kecil saja. Saya menjual barang­barang impor dari Cina di Victoria Market. Anda tahu, semua cendramata yang berurusan dengan pariwisata Australia, mulai dari kulit kanguru sintetis, bulu domba sintetis, sampai ke topi model Crocodile Dundee yang khas Australia, semuanya buatan Cina. Bukan cuma itu, semua barang­barang listrik, mulai dari kulkas, alat­alat dapur, bahkan pesawat telefon rumah dan televisi, banyak yang berasal dari Cina. Bisnis saya di situ sekarang.” “Bisnis Pak James yang di Indonesia?” “Sudah saya lupakan juga. Saya tidak mengambil sedikit pun modal dari sana. Lagian, modalnya dulu berasal dari ke­ luarga istri saya. Sekarang saya hanya sendiri, tidak beristri, tidak beranak, jadi untuk apa mengingat­ingat hal yang sudah tidak ada.” Remy Sylado Ibu Intan dan Juminah memandang dengan susah, masing­masing berpikir sebagai pelari maraton yang berhasil sampai di garis finis tapi oleh wasit dinyatakan tidak menang. “Maaf,” kata James Winata. *** Ibu Intan dan Juminah merasa terdayuh. Sepeninggalan James Winata, mereka bersawala sendiri soal tidak bersedianya James Winata diajak kembali ke Jakarta untuk menjadi saksi. “Saya bisa mengerti, kenapa Pak James menolak,” kata Ibu Intan. “Dia begitu trauma.” “Padahal, kalau dia bersedia, dia membuka dua pertanyaan sekaligus: Kejahatan orang yang duduk di dalam lembaga ne­ gara, yang otomatis kejahatan pimpinan negara yang memberi peluang orang­orang salah—wrong man on the wrong place— dalam lembaga negara tersebut.” “Yah,” kata Ibu Intan menyatakan keluhnya yang tak ter­ lafal dengan rinci, “Tapi kita masih tetap berharap.” “Kalau begitu, kita punya waktu untuk meyakinkan James Winata, bahwa dalam mengharapkan kebenaran dijunjung, manusia tidak boleh berdiam diri, sebaliknya bicara, dan bicara justru bagian dari ikhtiar untuk berbuat.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Namun, selama tiga hari di Melbourne, sebelum Ibu Intan dan Juminah kembali ke Jakarta pada keesokan harinya, pada malam terakhir jumpa dengan James Winata, sambil ngobrol di Steampacket Garden yang menghadap ke pantai Corio Bay, masih tetap terucapkan keengganan James Winata kembali ke Jakarta, bahkan untuk satu­dua hari sekalipun. 839 Hotel Pro deo Kendati begitu, sikap akrab dan hormat James Winata pada Ibu Intan masih tetap hangat pula, sampai dia sendiri pula yang menawarkan untuk menjemput di hotel dan mengantar Ibu Intan dan Juminah ke bandara. Dan, di luar dugaan Ibu Intan dan Juminah, setiba di bandara, sebelum berpisah, sebelum Ibu Intan dan Juminah masuk ke dalam, ke bagian penumpang yang akan berangkat, James Winata mengulurkan tangan pelan­pelan dengan wajah yang amat tulus, sambil berkata kepada Ibu Intan: “Memangnya sidang lanjutan akan digelar kapan lagi?” Yang jawab Juminah, “Tanggal 12 bulan depan.” “Oh,” kata James Winata, sambil menjabat tangan Ibu Intan dengan lebih kuat. “Begini. Saya sudah merenung­renung dan menimbang­nimbang tadi malam, bahwa saya merasa ter­ panggil untuk memenuhi permintaan Ibu.” Ibu Intan dan Juminah kaget karena senang. Tak sadar Ibu Intan melepas jabatan tangan James Winata, langsung me­ rangkulnya, menyatakan rasa girangnya. “Terimakasih, Pak James,” kata Ibu Intan. “Ya,” kata James Winata. “Tanggal 11 saya sudah akan ber­ ada di Jakarta.” “Nanti kami yang menjemput, Pak James,” kata Ibu Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 840 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 148 SEKEMBALI Juminah di tanahair dari Australia, dia mengabari Tuminah tentang siapnya James Winata datang ke Indonesia menjadi saksi di pengadilan Dharsana. Tuminah pun menyampaikan itu kepada Rachmat Wirjono di kantornya. Agak nanap Rachmat mendengar itu. Tapi dia merasa plong juga. Katanya, “Sudah saya duga dari awal, perkara ini akan berpindah ke wilayah politik, dan pasti LSM­LSM yang biasa mengkritik polisi akan memanfaatkannya sebagai isu panas lewat peranti opini publik, baik pers cetak maupun eletronik.” “Bergantung persnya juga, Pak,” kata Tuminah. Rachmat tertegun karena tertarik mendengar pernyataan Tuminah itu. Dia pandang wajah Tuminah dengan mata terbu­ ka lebar diantarai meja kerjanya. 841 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Katanya, “Apa kamu punya pikiran brilian yang bisa kamu katakan kepada saya?” “Menurut saya, Pak, kalau pers mau membuka, ya buka saja,” jawab Tuminah, dan Rachmat tertarik. “Apa?” tanya Rachmat. “Ya, Pak,” sahut Tuminah, “Menurut pendapat saya, apa yang disebut ‘police crime’ dan ‘police corruption’ itu memang sudah merupakan tatanan faktual dalam studi sosiologis­ empiris yang mendunia, ada dan kasatmata di mana­mana, kendatipun teori hukum menyebutnya sebagai ‘perfect crime’, artinya tidak mudah terungkap oleh berbagai alasan.” “Pertanyaannya, apa benar?” “Ya, Pak, saya juga bertanya begitu.” “Apa yang ada dalam pikiranmu?” “Seperti Bapak bilang, LSM­LSM bisa menjadikannya sebagai isu hangat dengan memanfaatkan pers.” “Lantas?” “Satu dan lain hal, Pak, kita sadar selama ini memang polisi sering melakukan tindakan­tindakan yang melebihi wewenang­ wewenang hakim. Dalam menerjemahkan arti kekuasaan, biasa kita bersikap pribadi dan bukan lembaga, di bawah hak dan bukan wewenang, untuk melakukan tugas­tugas polisional mulai dari penyelidikan, penangkapan, penahanan, sampai penyidikan…” “Lalu? Hubungannya dengan pers tadi?” “Kalau ini dibuka di pengadilan, dengan Dharsana dijadi­ kan sebagai korban…” “Tidak,” potong Rachmat. “Dharsana bukan dijadikan korban oleh siapapun, kecuali oleh dirinya sendiri. Dia memang yang mencari masalah dalam hidupnya, sehingga dia sendiri juga yang menjadikan dirinya sebagai korban. Dalam wataknya tersurat juga nasibnya.” 842 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Justru itu, Pak, maksud saya, pengadilan dengan saksi James Winata bisa membuatnya telanjang, dirinya sebagai pri­ badi yang mencoreng lembaga. Ini bisa menjadi entri paling distink untuk menunjukkan kesungguhan lembaga kepolisian mereformasi diri sesuai dengan paradigma yang berkembang, yang secara teoritis sudah kita laksanakan. Menurut saya, pers bisa jadi mitra kita untuk mengungkapkan itu.” “Apa iya?” “Kok Bapak skeptis?” “Melihat perkembangan pers sekarang, kok mengerikan.” “Hm.” Percakapan terjeda sesaat. Kelihatannya pikiran Rachmat terganjel. Tapi, setelah itu, “Bayangkan, hampir saban hari, pasca tergulingnya Orde Baru, berita­berita kekerasan yang dilansir pers, terutama elektronik, cenderung melahirkan masalah baru dalam kekerasan,” kata Rachmat. Tuminah tak menanggap. Dia ikut berpikir apa yang di­ pikirkan oleh Rachmat. Kata Rachmat lagi, “Kekerasan yang terlihat melalui pers elektronik itu, yang membuat pers menjadi mengerikan, adalah dipertontonkannya ekspresi agresif yang bernuansa kebencian. Dan, saya belum mendengar, membaca, atau melihat, apakah sudah ada LSM yang mencoba berpikir jernih, kritis, yang artinya bertanggungjawab untuk misalnya melakukan penelitian yang mendasar, menyeluruh, dan komprehensif tentang kon­ sekuensi yang imbas, yang telah mempengaruhi masyarakat akibat pemberitaan­pemberitaan visual seperti itu. Yang saya lihat, pers malah cenderung menayangkannya semata karena urusan rating, urusan bisnis, urusan kelontong, urusan pasar yang dengan sendirinya melangkahi urusan etika. Kalaupun ada apologia yang mengatakan bahwa bisnis memiliki etika ter­ 843 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo sendiri, maka etikanya itu adalah hewan bercelana: siapa yang kuat dia yang benar.” “Jadi apa yang Bapak takutkan dari situ?” “Prinsipnya bukan takut, tapi ragu, apakah pers bisa objek­ tif menilai perubahan kita.” “Hm.” “Di luar itu semua, saya benci pada diri sendiri kalau­kalau saya harus bersaksi untuk Dharsana.” Dan Rachmat terenap, menerawang pikiran ke masa lalu. Tuminah memandang tapi tidak memindai. Dia memahami perasaan Rachmat. Apabila dia mesti menanggapi sebagai cara menghormati, dia akan berkata sesuatu yang mengarah ke sifat semadyanya, yaitu menyaran namun tidak menggurui. “Bapak bisa menentukan pilihan yang kena, apakah men­ jadi saksi à décharge atau à charge,” kata dia. “Tentu,” kata Rachmat, menyambut dengan teduh. “Sebe­ tulnya begini, Tuminah, sebagai teman lama Dharsana, saya sudah mencoba bertahan pada janji yang dulu pernah kami ikrarkan, yaitu, sebagai seorang sahabat yang mengerti arti kesetiakawanan. Di bawah perasaan setiakawan itu sepantas­ nya saya masygul melihat Dharsana menjadi korban. Bayang­ kan, dia korbankan cita­cita masa lalu. Tetapi, di samping itu, kenyataan yang tidak boleh saya korbankan, adalah sebagai bayangkara negara yang sebentar lagi pensiun, saya sendiri tidak mau meninggalkan nama buruk pada lembaga kita ini. Sebab, nama buruk itu, selain akan dicatat sejarah dengan tidak hormat, juga menyiksa diri sendiri dan keluarga dalam kepura­ puraan yang sia­sia.” Tampaknya Tuminah tercenung. Dia berpikir, pernyataan apa dan bagaimana yang patut atau yang tidak patut dia ungkap­ kan untuk menanggapi isi hati Rachmat yang demikian terbuka di depannya. Dan, ini bukan yang pertama Rachmat berbicara 844 Remy Sylado seperti ini. Maka, lagi dia memilih bicara semadyanya tanpa kesan mengarah­arahkan atasannya namun sebolehnya arif. “Pak, saksi­saksi yang di luar James Winata memang cu­ kup terang membeber kejahatan Dharsana, tapi apa yang nan­ ti dibeber oleh James Winata tentu akan lebih telak mene­ lanjanginya.” “Nah, di situlah soalnya, Tuminah,” kata Rachmat, “Timbul rasa bimbang—sesuatu yang memang harus saya hadapi—bahwa di masa pensiun saya nanti, saya harus tampil di pengadilan memberi kesaksian apa adanya tentang Dharsana.” “Apa yang membuat Bapak bimbang?” “Kamu tidak tahu, selama ini saya menutup kesalahan Dharsana, padahal kesalahan Dharsana itu adalah kejahatan yang sudah terbeber dalam pengadilan. Ini rumit. Kejahatan Dharsana bukan cuma terhadap lembaga kita, kepolisian, tetapi juga terhadap kemanusian secara am, umum, universal.” “Hm.” “Kalau sampai saya harus bersaksi, dan pengadilan itu baru berlangsung pada bulan depan, itu berarti pada saat itu saya bukan lagi seorang perwira tinggi polisi, tetapi pensiunan Inspektur Jendral Polisi. Nah, kamu bayangkan itu.” “Hm.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 845 www.bacaan-indo.blogspot.com 149 JAMES Winata tiba di Jakarta dua hari sebelum sidang yang akan menghadirkannya sebagai saksi. Ibu Intan dan Juminah menjemputnya di bandara, meng­ antarnya ke Grand Mahakam Hotel di Jakarta Selatan, bagian dari Blok M, untuk menginap di situ. Di hotel ini Ibu Intan menunjukkan beberapa lembar foto kepada James Winata—foto­foto para bajingan yang tertangkap di rumah kayu­papan, dan sekarang masih ditahan—bertanya kepadanya siapa­siapa di antara mereka itu yang mungkin masih diingat atau dikenalnya. Salahsatu dari foto­foto itu langsung membuat James Winata terbelalak. Itu adalah foto Bon Jovi. Mendadak wajah­ nya tampak mewakili rasa ngeri di hati. Dengannya ingatan buruknya kembali ke peristiwa durjana Mai 1998. Dan badannya pun terasa lemas. Kering kerongkongan ketika dia mesti berkata sesuatu sambil menunjuk foto itu. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ini orangnya…” “Ini?” tanya Juminah dalam nada menandas sendiri yang sudah diduganya. “Ya,” kata James Winata, “Saya tidak mungkin lupa tam­ pang orang ini. Dia yang memperkosa istri saya di hadapan saya dan anak­anak saya, lantas membunuhnya sebelum mem­ bunuh anak­anak saya dan juga saya sendiri…” Wabakdahu, James Winata menjerit histeris, mirip me­ lolong, tak tahan membendung perasaan mencekam mengingat angkara yang menimpa dirinya itu. Di ujung bunyi jeritnya itu dia terduduk di kursi dengan mata terbelalak, menyangkak bulu roma. Juminah mengambil inisiatif menepuk­nepuk punggung James Winata seraya berkata lembut, “Sabar, Pak.” Lama setelah itu, kira­kira seperempat jam kemudian, barulah nanar dalam pikiran James Winata mengendur, dan dia berusaha memasang senyum di wajahnya sambil berkata, “Sori.” Juminah menganggukkan kepala dengan ekspresinya yang khas tanpa bentuk verbal tertentu namun bermakna ramah yang alami. “Hm.” Ibu Intan yang kembali bertanya soal foto­foto itu, khusus­ nya foto Bon Jovi, “Jadi, memang ini keparatnya itu ya, Pak?” “Memang,” jawab James Winata. “Hanya dia satu­satunya, Pak?” tanya Juminah. “Tidak,” jawab James Winata, “Mereka ada beberapa. Tapi bukan juga foto­foto yang lain ini. Salah seorang di antara mereka, saya ingat betul tampangnya, adalah yang memimpin mereka. Dia paling rasialis.” “Mukanya tidak ada dalam foto­foto ini?” tanya Juminah. “Tidak,” jawab James Winata, tapi dia amat­amati kembali foto­foto itu, dan memang tidak melihat tampang orang yang disebutnya memimpin jahanam­jahanam itu. 847 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Niscaya yang dimaksud James Winata itu adalah Todung. Apa nanti akan terungkap bahwa tumpukan tanah yang ambles di halaman belakang rumah di Tebet itu adalah kuburan Todung? Entah, belum tentu, wallahualam. Sekarang, yang dipikir Juminah, keterangan­keterangan dari James Winata, termasuk foto Bon Jovi itu, mesti disam­ paikannya sebagai bahan bagi Untung Surapati untuk dibeber dalam sidang lusa. Di antara keterangan yang paling menarik bagi Juminah, adalah James Winata memiliki indra pendengaran yang peka, bisa mengingat suara­suara keparat yang melakukan kejahatan kemanusiaan di rumahnya. Kata James Winata, “Tampangnya yang satu itu, yang memimpin mereka melakukan pembantaian di rumah saya, kelihatannya memang tidak ada dalam foto­foto ini. Siapa tahu dia sudah operasi plastik sehingga mukanya berubah. Tapi, Bu, percayalah, kalaupun orang itu sudah operasi plastik, dan mukanya berubah, saya yakin bisa ingat suaranya.” Juminah tertegun kagum pada cerita James Winata. Per­ tanyaannya berikut ini menunjukkan kemauan tulusnya untuk menghargai. “Pak James yakin?” “Oh, ya, saya termasuk orang yang kebetulan dikaruniai oleh Tuhan sepasang telinga yang peka,” kata James Winata. “Telinga saya punya sifat­sifat rekam yang lumayan tajam.” “Hm.” Juminah merasa mendapat pahala. Ibu Intan teringat akan isi majalah Australia, tentang orang yang tidak diingat wajahnya, tapi yang menolong, dan lantas disebut ‘malaikat’. “Pak James, apa Pak James ingat wajah orang, yang Pak James sebut ‘malaikat’ itu?” 848 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Waduh, tidak,” jawab James Winata. “Pokoknya, buat saya, siapapun namanya, dia adalah malaikat, dan saya berutang selain budi juga nyawa. Maka terimakasih setulus­ tulusnya padanya. Bayangkan, dalam sadar­tak­sadar, ketika mata saya kabur, tidak bisa lagi melihat apa­apa, telinga saya mendengar dengan jelas kata­kata surgawinya…” “Apa kata­kata surgawi itu?” tanya Juminah, tertarik pada istilah yang dipakai James Winata tersebut. Dan jawab James Winata, “Orang itu berkata: ‘Bukan manusia yang menentukan kematianmu tapi Tuhan’.” Juminah mengulang kalimat yang baru diucapkan James Winata meniru kata­kata orang yang disebutnya ‘malaikat’ itu. “Bukan manusia yang menentukan kematianmu tapi Tuhan?” “Ya,” jawab James Winata. “Dan, sekali lagi, saya tidak ingat muka orang itu, tapi saya ingat sekali suaranya.” “Hm.” Tiba­tiba Ibu Intan menyelang, teringat akan sesuatu dari percakapan yang awal tadi. “Tunggu,” katanya, “Orang yang Pak James bilang me­ mimpin pembantaian di rumah Pak James itu, bercakap de­ ngan logat khas yang kental, semua ‘e’ dilafalkan ‘E’?” “Ya, ya, dia, dia...” jawab James Winata. “O, saya tahu dia siapa,” kata Ibu Intan. “Namanya Todung.” “Ya, ya, dia, dia…” kata James Winata. Juminah mengangguk­angguk, membayangkan titik te­ rang di depan sana: besok­lusa­tulat­tubin. *** Maka, hal­hal yang diceritakan oleh James Winata itu kemudian disampaikan kembali dengan gairah tertentu oleh 849 Hotel Pro deo Juminah kepada Untung Surapati pada sehari sebelum sidang digelar. Dengan bestari dan cendekia, sambil duduk bersandar di kantornya, Untung menyimpulkan cerita tentang James Winata itu dalam ungkapan yang lebih luas gapaiannya namun puguh konteksnya. Kata Untung, “Pada galibnya semua manusia ingin menge­ tahui segala yang terlihat ataupun tidak terlihat dalam hidup ini.” Juminah membenarkan. Dia menyambut kata­kata itu dengan sari pikiran yang tadi tersimpan dalam sukmanya. “Sudah terlihat titik terang di depan sana,” katanya. Tentu sidang pengadilan yang diharapkan membuka tirai untuk melihat titik terang itu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 850 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 150 ADA salah seorang pengunjung di antara sekian banyak pengunjung dalam sidang pengadilan hari ini yang tidak duduk di belakang seperti sidang­sidang yang lalu. Pada sidang hari ini, orang yang dimaksud itu, Nia, memilih duduk di deret kedua depan. Dengan duduk di depan, dia bermaksud memberi supor kepada James Winata—yang akan bersaksi hari ini— supaya jangan ragu untuk bicara benar. Tadi pagi, tiga jam sebelum sidang sekarang ini, selagi James Winata masih bersiap­siap di dalam kamar hotel, Nia su­ dah menelefonnya, dan sudah pula bercakap­cakap mengenai dukungan moralnya terhadapnya. Nia menelefonnya pagi­ pagi setelah mendapat keterangan dari Ibu Intan soal tempat menginapnya James Winata di Jakarta. Melalui telefon Nia berkata kepada James Winata, bahwa dia berharap Dharsana dikalimatkan bersalah oleh majelis hakim. 851 www.bacaan-indo.blogspot.com “Saya termasuk orang yang ingin sekali Anda membeber semua kejahatan Dharsana, supaya dia segera dikirim ke Hotel Pro Deo,” kata Nia di telefonnya. “Jangan lupa, Dharsana itu penjahat asli. Sudah banyak korban jatuh. Bukan hanya ipar saya, tapi juga keponakan saya…” “Ya, Nia, saya akan ingat,” jawab James Winata. “Saya juga korbannya kok.” Ketika James Winata berkata begitu, memang tidak ada lagi rasa kasam yang membakar kepalanya, namun tak bisa juga dikatakan dia melupakan peristiwa zalim itu. Dia hanya mencoba mengganti dendam dengan ketulusan yang alami. Sifat­sifat itu pula yang dipancarkan James Winatas saat ini ketika dia berjalan ke kursi depan majelis hakim dan sempat melihat Nia yang duduk di kursi deret depan. Tampak sekali khuluk penampilan James Winata yang konfiden di dalam sidang ini. Itu berlainan dengan Dharsana yang tampak terperanjat dan gugup melihat hadirnya James Winata di sini. Tiba­tiba Dharsana merasa hilang percayadiri. Ini tumben, sebab dalam sejarah hidupnya sebagai perwira yang terlatih menghadapi berbagai ancaman, kali ini dia benar­benar merasa jarak per­ adabannya dikabuti oleh gamang: tangannya dingin namun berkeringat. Untuk melawan perasaan aneh ini, Dharsana menggigit keras­keras bibir bawahnya, sampai bibirnya itu cabir dan merah oleh darah, maksudnya supaya terpindah gugupnya ke konsentrasi pikiran yang lain. Ny Nanin Permadi tidak secara khusus melihat itu, tapi Juminah memperhatikan dengan rinci. Manakala Ny Nanin Permadi memberi kesempatan ke­ pada Untung Surapati untuk bertanya pada James Winata, maka sebelum menjawab, yang disebut ini menyempatkan diri memberi senyum disertai anggukan kepala kepada Dharsana. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Dharsana kikuk, salah tingkah, merasa benci, entah pada dirinya sendiri atau entah pada siapapun, barangkali pada Tuhan barangkali pula pada setan. Dia diam. Itu memang lebih aman. Sementara, dalam mengajukan pertanyaannya, Untung se­ ngaja mengarahkan James Winata untuk memperkenalkan diri terlebih dulu menurut cara lazim urut­urutan kartu identitas. Berkata Untung, “Saya minta, Saudara menyebut rincian diri Saudara menurut cara yang lumrah dalam KTP: nama, tem­ pat dan tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan. Bisakah Saudara mengatakannya?” “Bisa,” jawab James Winata. “Silakan,” kata Untung. “Nama saya James Winata terlahir sebagai Oey Eng Koen; lahir di Pare­pare 7 Agustus 1959; jenis kelamin laki­laki; alamat Loders Road wilayah Moorooduc South, bagian Mornington Peninsula, Melbourne, Australia; agama Tri Dharma atau San Kauw It Kauw, yaitu tiga agama rakyat asal Cina dari Tao, Konghucu, dan Buddha; pekerjaan berdagang; Warga Negara Indonesia.” Untung menyela, “Apa masih ada yang kurang?” “Apa ya, Pak?” tanya James Winata. “Saudara belum menyebut status Saudara dalam kehidup­ an sosial, dalam keluarga dan masyarakat,” kata Untung. “Nah, apakah Saudara berkeluarga?” “O, ya, maaf, Pak Jaksa,” kata James Winata. “Sekarang saya duda. Sebelum Mai 1998 saya masih punya seorang istri dan dua orang anak…” “Ada apa dengan istri dan anak­anak Saudara?” Sebelum menjawab, James Winata memandang Dharsana di kursinya, dan Dharsana pun membuang muka. “Istri saya diperkosa dan dibunuh bersama anak­anak saya…” 853 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Ny Nanin Permadi mengingatkan Untung, bahwa perta­ nyaan yang sudah dijawab itu supaya dipersingkat lagi, jangan sampai terlalu dipanjang­panjangkan. “Pertanyaan Saudara pada poin­poin pentingnya saja yang secara langsung berhubungan dengan terdakwa.” “Baik, Ibu Hakim Ketua,” kata Untung menunjukkan pengertiannya, “Tetapi menurut pendapat kami, jawaban dari Saudara Saksi menyangkut keluarganya yang dibantai dengan keji pada peristiwa Mai 1998 itu, nanti akan terungkap—atau katakanlah akan dibuktikan—bahwa hal itu berhubungan de­ ngan Saudara Terdakwa.” “Hubungannya seperti apa?” tanya Ny Nanin Permadi. “Pengakuan dari Saudara Saksi sendiri yang tersua dalam majalah Australia, Hygiene,” kata Untung. “Kalau kiranya bo­ leh, saya akan tunjukkan kepada Majelis Hakim.” “Silakan,” kata Ny Nanin Permadi. “Terimakasih,” kata Untung sambil berdiri dan berjalan mendekati meja majelis hakim, menyerahkan fotokopi majalah yang dimaksud. “Ini majalahnya, Bu.” Dharsana tegang di kursinya. Mukanya kusut. Dia isap­ isap bibir bawahnya yang luka tadi itu. Di depan sana Ny Nanin Permadi mengangkat fotokopi majalah itu sampai menutup setengah wajahnya. Tanpa mem­ baca isinya, tapi segera melihat foto James Winata di majalah itu, Ny Nanin Permadi bertanya pada Untung: “Apa hubungan majalah ini dengan Saudara Terdakwa?” “Ya, Ibu Hakim Ketua, majalah itu menjawabnya dengan jelas sekali,” jawab Untung. “Di dalam majalah itu, yang pasti sudah dibaca meluas secara internasional pada empat tahun lalu, terang­terangan dinyatakan oleh Saudara Saksi sebagai korban peristiwa Mai 1998 itu, bahwa pemerkosaan dan pembunuhan terhadap istri dan anak­anaknya dilakukan oleh orang­orang 854 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado yang bekerja pada Saudara Terdakwa. Salah seorang di antara orang­orang itu adalah yang dalam sidang lain di sini menyang­ kal semua hasil pemeriksaan polisi.” Dharsana makin tak menentu sikapnya. Dia coba me­ ngendalikan diri supaya kelihatan wajar, tapi sulit, dan Juminah pun memperhatikan upaya Dharsana yang siasia itu. Duduknya malah usreg, seolah­olah di kursinya penuh kutubusuk yang mengigit­gigit pantatnya. Di depan, Ny Nanin Permadi memberikan fotokopi majalah Australia itu kepada hakim anggota di sebelah kanannya. Kemudian dia memandang tajam ke arah Untung, dan sebelum dia berkata sesuatu, dia terdiam sejenak, berpikir. Setelah itu dia berkata dalam nada datar kepada Untung: “Saksi yang Saudara sebut itu harus dihadirkan kembali.” “Baik, Ibu Hakim Ketua,” kata Untung. “Tetapi,” kata Ny Nanin Permadi menjeda, “Sebelum itu kami ingin mendengar dulu dari Saudara Saksi sendiri tentang kesimpulan Saudara Jaksa mengenai ‘orang­orang yang bekerja pada Saudara Terdakwa’ yang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan.” “Baik, Ibu Hakim Ketua,” kata Untung. “Tidak,” kata Ny Nanin Permadi, “Bukan Saudara. Kami ingin mendengar itu dari mulut Saudara Saksi. Silakan.” James Winata yang dipersilakan itu lantas mengangguk dan berkata, “Ya, Bu. Salah seorang di antara orang­orang itu saya kenal namanya. Namanya Todung. Dia rasialis. Saya tidak sangka.” “Tunggu,” kata Ny Nanin Permasi. “Apa yang menyebab­ kan Saudara menyimpulkan istilah ‘rasialis’ itu?” “Pernyataan Todung sendiri waktu itu. Saya tanya, kenapa dia menyiksa dan mau membunuh kami, jawabnya: ‘Salah kamu, kamu Cina’.” 855 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Ny Nanin Permadi terdiam sejenak, seperti biasa berpikir, dan akhirnya menyimpulkan: “Orang yang bemama Todung itu harus dihadirkan.” Mendengar itu, dalam usregnya Dharsana melengos. Kira­ nya cuma dia satu­satunya yang tahu di mana harus mencari orang yang bernama Todung tersebut… “Kami akan coba mencarinya, Ibu Ketua Hakim,” kata Untung menanggapi arah bicara Ny Nanin Permadi. Berbareng dengan pernyataan Untung tersebut, petugas pengadilan telah masuk membawa Bon Jovi ke dalam ruang sidang. Untung membiarkan Bon Jovi duduk dulu di kursi yang disediakan untuknya, lantas sambil menunjukkan tangannya ke arahnya, dia bertanya pada James Winata: “Apakah Saudara kenal orang itu?” Dalam perasaan giris mengingat peristiwa lima tahun la­ lu itu, James Winata berkata, “Saya tidak kenal, tetapi saya mengenali tampangnya.” Ny Nanin Permadi menegur, “Harap Saudara tidak meng­ gunakan kata ‘tampang’ tetapi ‘wajah’.” “Maaf,” kata James Winata, “Tetapi apa bedanya, Bu?” “Memang tidak ada bedanya, tetapi di konteks ini bisa berarti negatif, memberi gambaran sosial sebagai kondemnasi terhadap seseorang yang dianggap otomatis bersalah, padahal asas hukum kita dasarnya adalah praduga tidak bersalah.” Luhut ketawa puas di tempatnya. Rasa senangnya di­ bagikannya pula pada Dharsana. Dan Dharsana menyambutnya dengan memberi tanda jari jempol pada Luhut. “Baik, Bu,” kata James Winata kepada Ny Nanin Permadi. Ny Nanin Permadi menekankan ulang pertanyaannya yang tadi. “Jadi, Saudara tidak kenal, tetapi mengenali wajahnya. Benar begitu?” 856 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Benar, Bu.” Ny Nanin Permadi pun memberi isyarat kepada Untung Surapati untuk melanjutkan pertanyaannya. Lalu Untung bertanya lagi pada James Winata. Katanya, “Saudara yakin betul, bahwa Saudara mengenal wajahnya?” “Ya,” jawab James Winata yakin dan tegar. “Dia yang memperkosa istri saya, memain­mainkan penisnya di hadapan saya dan anak­anak saya, dan ketika anak­anak saya menjerit­ jerit ketakutan dia juga yang menembak anak­anak saya.” “Apakah dia juga yang membunuh istri Saudara?” “Ya. Mengerikan. Sambil memperkosa istri saya, dia me­ nembak sampai istri saya tewas.” “Dia menembak di bagian apa tubuh istri Saudara?” “Di kepala.” “Lalu?” “Lalu, saya tidak sadarkan diri, sebab saya juga ditembak, sampai saya sempat siuman sebentar, dan saya hanya ingat sekilas, bahwa saya berada di sebuah rumahsakit di Bogor— pasti dilarikan oleh seseorang yang selalu saya sebut dirinya ‘malaikat’—lalu baru benar­benar sadar setelah peluru di dalam dada saya dikeluarkan, dan itu terjadi di Melbourne.” Rachmat Wirjono yang duduk bersama Tuminah di deret belakang ruang sidang pengadilan ini, menahan nafas men­ dengar kisah James Winata itu. Kata Rachmat, “Itu mukjizat.” Tuminah menyambung, “Siapa malaikat itu?” “Yang jelas mesti dilihat dalam pikiran, bahwa ada se­ seorang yang tahu, bahkan curiga, akan terjadi sesuatu terhadap James Winata,” kata Rachmat. “Kenapa khusus pada James Winata, padahal kerusuhan Mai itu terjadi terhadap semua etnis Cina?” tanya Tuminah. 857 Hotel Pro deo “Itulah tugas pengadilan ini untuk mencari jawabannya. Masalahnya, apakah hakim punya keinginan atau tidak untuk mencari jawaban itu. Kalau hakim capek, letih, dan bosan terhadap pekerjaan pengadilan sebagai kegiatan rutin semata­ mata, maka dengan itu hilanglah rasa keinginan tersebut. Keinginan dalam pikiran khas manusia adalah motor dari sega­ la bentuk kerja kreatifnya.” Sidang tetap berlangsung… Sri dan Singgih datang terlambat. Mereka tak bisa duduk di dalam. Mereka terpaksa berdiri di luar. Di luar ada juga rohaniwan­rohaniwan dari Rumah Ru­ kun yang bangunannya sendiri sudah berantakan itu, memper­ hatikan dengan seksama jalannya sidang. Tentu saja masalah yang menarik bagi mereka—Ahmadun Najib, Ignastius Susetyo, dan Nyoman—adalah pengakuan­pengakuan James Winata. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 858 www.bacaan-indo.blogspot.com 151 GILIRAN Luhut bertanya pada James Winata. “Saudara Saksi, ada sesuatu dari cerita Saudara yang ke­ dengarannya aneh di kuping, yang membuat saya terpesona sekaligus juga prihatin. Eh, begini, Daeng. Oh, ya, Saudara lahir di Sulawesi Selatan, jadi bolehkah saya memanggil Saudara dengan sebutan khas Makassar, Daeng? Atau, apakah Saudara ingin saya panggil Engkoh?” Ny Nanin Permadi memotong omongan Luhut. “Saudara sudah diingatkan untuk berbahasa santun di pengadilan ini,” katanya. “Gunakan bahasa resmi.” Luhut mencoba membantah dengan cara yang congkak, sok­tahu, dan itu menyebalkan sekali. “Apakah ada yang salah dari bahasa Indonesia saya, Ibu Hakim Ketua?” katanya dengan nada tanya yang jemawa. “Rasanya saya menggunakan bahasa sosial sebagai bagian pen­ ting dari realitas kerukunan bhinneka tunggal ika, Bu.” www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Ny Nanin Permadi rongseng dan mangkel. Katanya ke­ ras, “Ini bukan pasar ikan untuk berlagak bicara sosial. Ini pengadilan. Pakailah bahasa Indonesia yang tertib dan resmi. Sejak awal republik ini dibangun oleh bapak­bapak bangsa, konsensus kita untuk menyebut pronomina maupun nomina dalam konteks sosial dan politik, baik dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, adalah ‘saudara’.” Luhut cemberut. Pengunjung ketawa. Terpaksa Luhut harus menerima arahan sang hakim ketua. “Baiklah, Saudara Saksi,” katanya pada James Winata, “Ada dua hal yang membuat saya terpesona dari keterangan Saudara. Terpesona, sebab menurut hemat saya, keterangan Saudara itu pintar, tetapi sekaligus tidak logis dan tidak rasio­ nal. Ini menyangkut terma yang saya sebut tadi ‘rasialis’. Nah, begini pertanyaan saya yang pertama: Apa benar terjadi sesuatu yang menurut Saudara itu rasialis?” “Benar,” jawab James Winata. “Sekarang begini, kalau boleh pertanyaan saya digali dari akar. Apakah Saudara tidak merasakan bahwa sikap rasialis itu merupakan dampak, katakanlah sebagai gejala aksi­reaksi?” James Winata terdiam sesaat. Dia berpikir. Dan dia tahu pertanyaan Luhut itu umpan. “Baiklah,” kata Luhut, “Saya sederhanakan pertanyaan itu pada komprehensi yang praksis. Saya mulai dari pengakuan Saudara soal keyakinan. Saudara bilang, agama Saudara itu Sam Kau, eh, apa tadi tuh…?” “Sam Kauw It Kauw,” kata James Winata. “Atau bahasa Mandarinnya Han San Wei Yi. Yaitu tiga agama Cina: Tao, Konghucu, Buddha yang menjadi satu…” “Ya, ya, ya, itulah itu,” kata Luhut sinis. “Padahal Saudara 860 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado tahu, pada sebelum terjadinya peristiwa Mai itu, pemerintah Indonesia menolak Konghucu sebagai agama. Apa artinya itu? Itu artinya, secara praksis Saudara melawan kebijakan pemerintah. Tetapi, di luar itu, yang kedua, di dalam perlawanan itu Saudara malah bersikap rasialis sendiri, karena agama itu memang tidak universal tetapi rasial, artinya semata­mata parental dan maternal bangsa Cina atau katakanlah ancestral ras mongoloid saja dan bukan world­wide yang membangsa­ bangsa, padahal ciri agama itu universal.” “Apakah itu dosa?” “Saudara terlalu naif melihat tatanan sosial budaya kita, Indonesia. Saudara menyebut agama Saudara agama Cina. Bukankah dari situ saja sudah jelas terlihat kesan eksklusivisme yang mengarah ke praktik dasar rasialisme? Agama Cina bu­ kan agama Indonesia. Dengan tajam Saudara membuat dam­ pak perlawanan terhadap Saudara. Yaitu dampak terhadap eksklusivisme yang Saudara anut dalam pikiran dan perasaan Saudara. Maka, kesimpulannya Saudara yang membangun rasialisme itu dalam eksklusivisme tersebut.” “Jadi Saudara menganggap eksklusivisme di dalam agama itu salah?” “Buktinya…” “Supaya Saudara tahu, tidak ada satupun agama di dunia ini, termasuk agama samawi dengan kitabsuci yang furqan, yang tidak berciri eksklusif. Tidak ada agama apapun yang tidak mengatakan bahwa ajarannya yang paling benar. Semua agama dianut oleh orang­orang yang memposisikan akal, nalar, dan hati, sebagai promotor atas kebenaran agamanya itu. Ini lumrah di mana­mana. Yang tidak lumrah adalah, di Indonesia, orang melihat perbedaan tentang hal itu, yaitu tentang omnipresensi Tuhan dalam keyakinannya dan penghayatan spiritualnya 861 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo itu, bukan dengan jalan dialog sebagai jalan berbudaya dan beradab, tetap dengan jalan kekerasan sebagai jalan buaya dan biadab.” “Mungkin benar,” kata Luhut, “Tetapi menyebut agama Saudara sebagai agama Cina—yang salahsatu di antara tiga itu tidak diakui sebagai agama oleh negara Indonesia—maka dengan sendirinya merupakan sikap perlawanan politik yang berdampak keras di tatanan sosial. Apakah Saudara tidak me­ lihat sisi buruk dari eksklusivisme Cina dalam penghayatan spiritual itu?” “Sudah saya katakan, semua agama mengandung ciri­ciri eksklusif.” “Eksklusif, ya, tetapi eksklusivisme dengan perilaku ‘over­ akting’ dan ‘overdosis’ dari jurang ciri­ciri perbedaan ekonomi dalam sikap sosial dengan sendirinya bisa disimpulkan sebagai bentuk cari gara­gara. Coba Saudara pikir: Saudara menganut suatu agama rasial yang tidak diakui di Indonesia. Bukankah itu punya dampak politis bagi masyarakat di akar rumput yang melihat perbedaan ekonomi sebagai alasan untuk marah? Ketika Saudara bersikeras pada pendirian itu, maka dengan sendirinya Saudara sudah dengan sengaja memusuhi realitas budaya ma­ syarakat yang memercayai keyakinan yang dibenarkan negara. Keyakinan Saudara dalam agama yang tidak diakui negara, yang jelas­jelas asing dan tidak asli Indonesia, dengan sendirinya berisiko friksi dalam tatanan budaya masyarakat.” “Saya tidak mengerti jalan logika itu: negara mencampuri keyakinan seseorang secara spiritual sekaligus individual, lantas menggiring­giringkannya ke suatu pandangan masyarakat, padahal sesuatu yang statistik dalam masyarakat, tidak dengan sendirinya sahih dalam keyakinan seseorang secara individual, sementara yang namanya keyakinan agamawi adalah persoalan keputusan individual seseorang menyangkut kebutuhan spiri­ 862 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado tualnya yang bebas. Itu pertama. Yang kedua, saya pun tidak mengerti jalan logika yang menempatkan kebangsaan Indo­ nesia sebagai seakan­akan merupakan kebangsaan dengan su­ atu ras murni. Sudah jelas, nama Indonesia merupakan ikhtisar dari bangsa­bangsa Indo yang menempati Nesia­nya ini dengan bentuk budaya kawin­mawin, atau budaya mempelai, atau de­ ngan istilah yang lebih lazim: akulturasi…” “Tetapi…,” Luhut bermaksud menyelang. “Tunggu,” kata James Winata, sambil menganggukkan kepala kepada majelis hakim, meminta izin untuk melanjutkan bicaranya. “Saya belum selesai, Bu Hakim.” “Silakan,” kata Ny Nanin Permadi. “Saudara Pengacara tidak membaca sejarah Indonesia dengan betul,” kata James Winata. “Saudara tidak menyimak kata ‘Indonesia’ sebagai dua kata asing antara ‘Indo’ dan ‘Nesia’, artinya, kita adalah bangsa indo yang menempati nesia yang berpulau­pulau. Sebagai bangsa indo, jelas kita bukan suatu bangsa dengan satu ras yang asli, tetapi adalah ras yang indo. Dengan begitu, agama yang dianut masyarakat pun— yang Saudara katakan diterima negara, dan menurut saya pe­ merintah melakukan kejahatan diskriminasi karena keliru mengejawantah antara hak dan wewenang—adalah juga bukan asli Indonesia, tetapi berasal dari negeri­negeri luar dengan tradisi bangsanya yang berbeda­beda meliputi bahasa dan isti­ lah­istilah teologisnya. Misalnya, agama Hindu yang dianut di Bali, adalah jelas berasal dari India, maka istilah­istilah agamawinya pun adalah Sansekerta. Agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara berasal dari Arab, maka istilah­istilah agamawinya pun adalah bahasa Arab. Agama Kristen berasal dari Palestina yang ditolak Israel dan berkembang melalui Roma Italia, maka istilah­istilah agamawinya pun adalah bahasa Latin, Yunani, dan Ibrani. 863 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com Lantas sekarang, bagaimana dengan agama suku, seperti umpamanya Permalim yang hanya ada di Batak, sementara pada abad ke­19 ada teori model kedai kopi ‘utak­atik suai’ yang mengatakan bahwa nama Samosir berarti ‘seperti Mesir’, mengingat bahwa di tanah Batak dikenal mayat yang dibalsem di dalam keranda batu sarkofagus seperti Firaun dalam piramid di Mesir. Lantas, bagaimana pula dengan Kejawen di Jawa. Apakah ini seratus persen asli? Jelas jawabnya, tidak.” Ny Nanin Permadi menghentikan pembicaraan itu. “Sebentar,” katanya. “Kami menghargai pengetahuan Saudara di bidang itu semua, tetapi bukan itu poin yang mesti dibicarakan dalam sidang ini.” Luhut yang berinisiatif menyahut karena dia merasa telah tersodok oleh pernyataan James Winata. “Ya, betul itu, Ibu Hakim Ketua,” katanya. Tapi Ny Nanin Permadi secara khusus menegur Luhut. Katanya, “Kepada Saudara Pengacara, kami minta Saudara me­ ngemukakan pertanyaan­pertanyaan yang relevan saja dengan kehadiran Saudara Saksi di dalam sidang ini menyangkut ke­ terlibatan Saudara Terdakwa dalam kasusnya.” “Baik, Ibu Hakim Ketua,” kata Luhut. “Tetapi,” kata Ny Nanin Permadi, “Berhubung sekarang sudah jam 12.30, sidang dijeda sebentar, sambil memberi ke­ sempatan kepada mereka yang berniat menunaikan ibadah, dilanjutkan dengan makansiang. Kita bertemu lagi di sini pada jam 14.00.” *** 864 www.bacaan-indo.blogspot.com 152 DI saat majelis hakim meninggalkan ruang sidang, Nia menemui James Winata yang berdiri dikitari Ibu Intan, Juminah, dan Ipong, sementara Rachmat dan Tuminah masih duduk di be­ lakang. Sambil menyalami James Winata, berkata Nia dengan riang, “Tadi itu bagus, Pak James.” Bersamaan dengan itu, dua orang wartawan menghampiri James Winata pula, sambil mengajukan pertanyaan dengan mengulurkan alat rekamnya ke muka sosok yang menarik per­ hatian ini. Pertanyaan yang diajukan oleh wartawan pertama adalah sekitar pernyataan James Winata tadi tentang diskriminasi yang dilakukan pemerintah terhadap golongan minoritas. “Pak James, apakah Anda akan mengatakan bahwa pe­ merintah sengaja membiarkan masyarakat bertindak rasialis terhadap minoritas etnis dan agama?” tanya wartawan itu. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Saya tidak mengatakan ‘akan’ tetapi ‘sudah’: sudah me­ ngatakan bahwa letak kesalahan dasar kemanusiaan ada di tangan pemerintah yang memang menjalankan kekuasaannya dengan motif skismatik: memberi prioritas kepada yang disebut ‘pri’ dan diskriminasi kepada yang disebut ‘nonpri’ tetapi sem­ bari memeras ‘nonpri’ untuk memperkaya diri sendiri. Akibat­ nya timbul dendam di akar rumput yang sewaktu­waktu men­ jadi amuk.” “Apa Anda berkata begitu sebab Anda sudah menjadi warga negara Australia?” “Tidak. Saya masih warga negara Indonesia. Dan, saya mengkritik ini bukan di luar Indonesia, melainkan di dalam Indonesia.” Wartawan yang seorang bertanya pula, “Sebagai warga negara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia, apa Anda kecewa terhadap Indonesia?” “Kecewa terhadap Indonesia? Tidak. Indonesia adalah tanahair saya. Tetapi ya, kecewa terhadap pemerintah yang memerintah Indonesia. Pejabat­pejabat pemerintah Indonesia, mulai dari pusat sampai daerah, dalam semua rezim, adalah orang­orang yang haus kekuasaan, memandang kekuasaan semata­mata sebagai cara untuk sampai di tujuan bebas dari kemiskinan. Padahal kemiskinan paling dasar dari pejabat­ pejabat pemerintah yang serba korup dimulai dari kemiskinan rohaninya. Hanya mulutnya saja yang kelihatan sangat rohani, berkoak­koak sebagai bangsa ber­Tuhan, sementara tindakan­ tindakannya adalah perpanjangan tangan iblis. Pejabat­pejabat Indonesialah yang menjadi contoh paradoks: berpenampilan hebat seperti nabi, berkelakuan bejat seperti babi.” “Apa dengan begitu nanti Anda akan meninggalkan ke­ WNI­an Anda seperti banyak etnis Cina lain yang sekarang 866 Remy Sylado melarikan diri ke Australia, Amerika, dan Eropa, lantas menjadi warga negara sana?” “Saya tidak melarikan diri. Saya hanya kebetulan mendapat ladang kerja yang baru, yang dimulai dari nol, di Melbourne. Toh banyak juga orang Indonesia lain, yang katakanlah ‘pri’, yang bekerja di luar negeri. Anggap saja saya ini sekarang TKI, tenaga kerja Indonesia, yang harus bekerja keras di negeri orang.” Wartawan itu tertawa. Buru­buru Ibu Intan menyelang, “Kita makansiang dulu ya?” “Baik,” kata James Winata. Dan, bersamaan dengan itu Tuminah dan Rachmat Wirjono yang selama sidang tadi duduk dengan serius memperhatikan di belakang, menghampiri James Winata, dan memberinya selamat pula. “Selamat datang di Indonesia,” kata Rachmat. James Winata menyambut salaman tangan Rachmat de­ ngan hangat tapi sekaligus garib pula. “Terimakasih, Pak,” katanya. Dan, demi melihat Rachmat berada di tengah mereka, Ibu Intan pun berkata kepadanya, “Sekalian, Mas, kita makansiang bareng ya.” “Oh?” kata Rachmat. “Terimakasih, Mbakyu.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Jadi, seluruhnya sembilan orang—Ibu Intan, Juminah, Ipong, Hutami, Mimit, James Winata, Nia, Tuminah, dan Rachmat Wirjono—dengan dua mobil, mereka ke Lembur Kuring, makansiang di sana, sambil menunggu waktu sidang kembali pada jam 14.00. 867 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dalam makansiang ini James Winata sering terdiam de­ ngan dahi mengerut jika melihat Rachmat Wirjono bicara beramah­ramah dengan Ibu Intan. Salahsatu kalimat Rachmat yang menarik perhatian Ibu Intan, dan dengannya membuat James Winata melihat wajah perwira itu, adalah, “Bulan depan saya sudah pensiun.” “Oh, iya toh, Mas?” kata Ibu Intan. “Ya, Mbakyu,” kata Rachmat. Disambung cepat oleh Tuminah, “Pak Rachmat akan kem­ bali menjadi sipil.” Dan, sambil ketawa setelah menelan makanan di mulutnya, berkata Rachmat, “Godaan dalam hidup seorang polisi adalah menjaga dirinya untuk tidak dibujuk setan, tapi setelah seorang polisi pensiun dan menjadi sipil godaannya adalah menjaga dirinya untuk tidak membujuk setan.” Tuminah merengut. Katanya, “Pepatah Inggris mengatakan ‘the devil tempts all, but the idle tempts the devil’.” “Susahnya,” kata Ibu Intan menyambung, “Dharsana men­ jadikan dirinya sebagai kembaran setan.” “Itulah hidup,” kata Rachmat menarik nafas, “Tuhan menentukan garis hidup manusia, tapi kadang­kadang setan lebih dulu merampas hak Tuhan, lalu Tuhan membiarkan, mempermainkan hidup manusia.” James Winata terus memandang Rachmat dengan telinga yang terbuka lebar­lebar dan awas. Dia tertarik pada kata­kata Rachmat itu. Tidak seorangpun yang tahu pikiran apa yang berlangsung dalam diri James Winata ketika dia memandang Rachmat Wirjono dengan cara seperti itu. *** Mereka kembali lagi ke gedung pengadilan pada sepuluh menit sebelum jam 14.00. 868 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Di dalam sidang lanjutan ini Ny Nanin Permadi yang lebih dulu mengajukan pertanyaan untuk membuka kemungkinan dalam jawaban­jawaban tentang bagaimana James Winata me­ nyimpulkan tentang keterlibatan Dharsana dalam peristiwa Mai 1998 yang tidak berperikemanusiaan itu. “Kami sudah membaca majalah Hygiene yang memuat pengakuan Saudara Saksi, bahwa orang­orang yang membunuh istri, anak­anak, dan bahkan Saudara sendiri itu, adalah orang­ orang yang bekerja pada Saudara Terdakwa,” kata Ny Nanin Permadi. “Pertanyaan kami: apakah Saudara tidak salah me­ nyimpulkan?” Kata James Winata dalam menjawab pertanyaan itu, “Saya bukan menyimpulkan, Bu. Saya melihat. Dan saya merekam wajah­wajah mereka dalam ingatan saya.” “Pertanyaannya, apa Saudara tidak salah melihat?” “Tidak, Bu. Seperti kata saya, saya tahu nama yang se­ orang, yaitu Todung, tapi tidak kenal nama yang sekarang dihadirkan di sini. Dan, sekali lagi, walaupun saya tidak kenal, saya mengenali mukanya. Dialah yang paling biadab melaku­ kan pemerkosaan dan pembunuhan.” Di ujung kalimatnya James Winata tersengut­sengut di­ sertai dengan mata berkaca­kaca. Pasti sebentar lagi dia be­ rundung­rundung menahan tangis. Memang. Akhirnya dia menahan tangisnya dengan susah, terisak­ isak, sesenggukan. “Baiklah,” kata Ny Nanin Permadi, tanpa mengerti apakah kata yang diucapkannya ini mempunyai arti tertentu untuk mencegah tangisan, atau tidak. Dia berbisik pada kedua anggota hakim, yang di kiri dan di kanannya, apakah mereka akan bertanya sesuatu kepada James Winata, dan dijawab oleh keduanya dengan menggelengkan kepala. 869 www.bacaan-indo.blogspot.com Setelah itu Ny Nanin Permadi mempersilakan Luhut mengajukan pertanyaannya. Tetap dengan gayanya yang tengil, Luhut berkata kepada James Winata, “Saya minta Saudara Saksi menerangkan ulang soal pengakuannya, bahwa ‘orang yang bekerja’ dalam tanda­ petik, pada Saudara Terdakwa: melakukan dua hal sekaligus, yaitu memperkosa dan membunuh. Mengapa saya bertanya? Karena saya rasa ada yang ganjil di situ. Bagaimana mungkin seseorang yang sedang melakukan pemerkosaan, artinya se­ dang melakukan persetubuhan, yaitu dalam posisi penis di­ dorong­dorong ke dalam vagina, lantas bersamaan dengan itu membunuh pula orang yang sedang disetubuhinya itu.” “Apanya yang ganjil?” “Ya lah,” kata Luhut. “Manalah mungkin orang yang sudah mati karena ditembak, masih terus disetubuhi?” Tiba­tiba James Winata berdiri dari kursinya, menjerit keras, meloncat menghampiri Bon Jovi. “Tolol! Itulah yang saya maksud orang ini biadab!” katanya sembari menggabruk Bon Jovi dan memegang leher keparat itu. “Orang ini bukan manusia. Lebih dari binatang. Kamu iblis!” James Winata benar­benar tak sanggup menahan emosi­ nya mengingat peristiwa Mai lima tahun yang lalu itu. Buru­buru petugas pengadilan melerai, menarik tangan James Winata untuk kembali duduk di kursinya. Pengunjung semua berdiri dari kursi masing­masing me­ nyaksikan kehebohan ini. Ny Nanin Permadi lekas­lekas mengetuk meja, meminta perhatian kepada semua yang ada di dalam ruang sidang ini supaya tenang dan tertib. Bilamana keadaan menjadi tenang, hanya terdengar se­ dikit suara­suara gemremeng, maka Ny Nanin Permadi pun berkata, “Sidang hari ini diskors sampai waktu yang akan di­ tentukan.” www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Untung Surapati selaku JPU mengacung, meminta pada majelis hakim untuk menentukan waktu yang dimaksud itu secara lebih pasti. Katanya, “Kalau boleh, Bu, soal waktu yang Ibu rencanakan itu ditentukan saja sekarang. Apakah itu bisa besok, ataukah bisa lusa, pokoknya yang pasti. Pertanyaan saya ini berhubungan dengan keberadaan Saudara Saksi yang tidak tinggal di Jakarta, Indonesia, tetapi Melbourne, Australia. Di Jakarta saat ini Saudara Saksi menginap di hotel.” Ny Nanin Permadi berembug dengan berbisik­bisik pada hakim anggota di kiri dan kanannya, dan setelah itu, “Silakan berunding dulu soal itu.” Untung meminta Ibu Intan, Juminah, dan James Winata berembug soal waktu yang dimaksudkan itu. “Kira­kira bagaimana, Pak James?” kata Untung. “Tentu Pak James tidak bisa tinggal di sini sampai satu minggu atau sepuluh hari.” James Winata tersenyum. Dia tidak menjawab dengan kata­kata tertentu. Juminah mencoba menawarkan waktu yang lebih singkat. Katanya, “Bagaimana kalau dua­tiga hari lagi, Pak James?” “Tidak apa­apa kok,” kata James Winata. “Demi kebenaran, saya siap menunggu di sini sampai empat­lima hari.” Ibu Intan girang sekali. “Oh! Terimakasih, Pak James.” “Baik,” kata Untung. “Akan saya tawarkan itu kepada ma­ jelis hakim.” Lalu, “Ibu Hakim Ketua, kami baru berembug. Saudara Pengacara dari pihak Penggugat menawarkan dua­tiga hari kepada Saudara Saksi, tapi Saudara Saksi bisa menunggu di Jakarta sampai empat­lima hari.” Ny Nanin Permadi saling bicara bisik­bisik di belakang mejanya di depan sana, dan setelah itu memutuskan, “Baiklah. Empat hari dari hari ini. Itu jatuh pada hari Senen tanggal 16 pekan depan.” 871 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo *** 872 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 153 DARI tutur para wartawan antara yang satu dengan lainnya tentang pengadilan yang lalu, maka sidang hari ini, tanggal 16, makin disesaki oleh pers yang ingin meliput. Termasuk empat media elektronik telah datang lebih awal di pengadilan ini, memasang kamera­kameranya di kiri dan kanan ruang, masing­masing dua di belakang kursi pengacara, dan dua lagi di belakang kursi jaksa. Tidak seperti sidang­sidang yang sebelumnya, pada sidang hari ini terlihat juga beberapa orang cacat yang berdiri di luar ruang, ikut mendengar dan menyaksikan jalannya proses meng­ adili orang yang bernama DB Dharsana. Orang­orang cacat itu adalah mereka yang pada Mai 1998 kebetulan berada di daerah Tanah Tinggi—di bagian wilayah Jakarta Pusat yang disebut­ sebut sebagai tempat paling rawan karena di situ banyak orang miskinnya yang dendam pada keadaan, lantas memilih jadi garong, jadi maling, jadi bangsat—dan ramai­ramai disirami 873 www.bacaan-indo.blogspot.com Yang menarik dari sidang pengadilan hari ini adalah ter­ bukanya hal­hal yang lebih lebar menyangkut sepakterjang Dharsana di waktu lalu. Siapa nyana, dari pengakuan James Winata tentang se­ bidang tanah di Jepara yang akan djual oleh Dharsana itu, bisa menghadirkan saksi lain, misalnya Kurniati atau Nia, yang me­ ngetahui betul soal tanah di pesisir Jepara itu yang sekarang milik marhum kakaknya Iskandar, dan nama yang disebut ini punya istri dan putri yang masih hidup tapi sama­sama di­ anggap sakit jiwa… Niscaya keadaan ini akan menjadi tidak sederhana. Tapi, menduga bahwa keadaan ini pelik, Ny Nanin Permadi menyatakan sidang akan dilanjutkan sampai tiga minggu ke depan. Katanya, “Majelis hakim merasa perlu untuk jaksa meng­ hadirkan saksi yang bernama Todung.” Dan, demi mendengar pernyataan sang hakim ketua ter­ sebut, kelihatan Dharsana kelimpungan di kursinya. Buru­buru Dharsana berbisik pada Luhut, meminta di­ hadirkannya Rachmat Wirjono sebagai saksi à décharge yang diharapkannya dapat menolongnya. Maka, begitu pulalah yang pinta Luhut kepada Ny Nanin Permadi. Ny Nanin Permadi menoleh ke kiri dan kanannya, ke dua anggota hakim lainnya yang bersama­sama menganggukkan kepala. Setelah itu, kata Ny Nanin Permadi, “Baik.” *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 154 KEHADIRAN James Winata sebagai saksi dirasa sangat cukup memberi jawaban penting mengenai Dharsana. James Winata kembali ke Melbourne, diantar oleh Ibu Intan, Juminah, Ipong, dan Nia ke bandara. Sebelum masuk ke bagian khusus tempat orang­orang yang akan berangkat, James Winata sempat memberi janji khu­ sus kepada Ibu Intan. “Kalau pengadilan masih memerlukan saya, saya siap da­ tang lagi ke Jakarta, Bu.” “Terimakasih, Pak James,” kata Ibu Intan. Pas di saat yang sama, TV yang terpasang di bandara, di atas tempat mereka sama­sama berdiri, sedang menayangkan berita pengadilan kemarin. Orang­orang lain yang di sekitar situ, yang ikut menonton tayangan itu, juga memperhatikannya. 875 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com *** Bukan hanya di Jakarta khalayak menyaksikan tayangan itu. Juga nun di desa wilayah candi Borobudur sana. Di sana, alih­alih Jeng Retno duduk melipat kaki di atas tikar—sesuai dengan kemauan ibukandungnya di rumahnya untuk mela­ raskan kata ‘silakan’ sebagai arti ‘bersila’—menonton berita pengadilan kemarin itu. Matanya terbuka lebar menonton TV­nya. Pertanyaan yang layak diajukan di sini adalah, apakah de­ ngan menonton tayangan itu, dan mengenal orang­orang yang direkam dalam sajian gambar wajah yang besar, maka boleh disimpulkan bahwa Jeng Retno dapat memirsanya seperti lum­ rahnya orang­orang yang waras, tidak sakit jiwa? Yang bisa menjawab itu tentu saja dokter ahli jiwa yang pernah merawatnya. Namun, yang jelas tampak saat ini, adalah Jeng Retno berada di dalam rumah ibunya, desa Borobudur, bukan di RSJ Kramat, Magelang, di mana Mayang putrinya sudah berada di sana dalam empat tahun lebih karena dianggap masih belum waras. Pertanyaan berikut adalah, sampai di mana jauh pengertian sakit jiwa itu boleh disimpul atas ibu dan anak tersebut? Atau, bilanglah, siapa yang lebih parah sakit jiwanya antara Jeng Retno dan Mayang? Dengan melihat Jeng Retno bersila di depan TV, menonton tayangan yang merekam wajah Dharsana dalam gambar besar—atau istilah perfilman: close up—dan dengannya Jeng Retno merasa puas, maka perasaan itu boleh gerangan ditafsir sebagai asnad atau paling tidak: petunjuk, bahwa Jeng Retno sekarang dalam keadaan bukan sakit. Setidaknya ibukandung Jeng Retno yang sudah tua tapi sehat lahir­batin, adalah satu­ satunya orang yang tahu persis keadaan putrinya ini. Dia tahu, 876 Remy Sylado bahwa Jeng Retno kadang­kadang bisa dianggap tidak sakit, tapi kadang­kadang pula boleh dianggap sakit. Kali ini—ketika dia menonton berita di TV tentang James Winata yang bersaksi tentang hubungan kejahatan Todung dan Bon Jovi dengan Dharsana—dia kelihatan waras, tidak sakit jiwa. Lihat saja, apa yang terjadi setelah dia selesai menonton tayangan berita itu. Dia berdiri dari silanya di lantai, ke meja telefon, memencet nomer­nomer tertentu di tut pesawat telefon itu, dan dia me­ lakukan semuanya tanpa kesan bahwa dia punya masalah de­ ngan daya ingatnya, sehingga galib saja jika dikatakan dirinya tidak sakit. Ketika dia memencet angka­angka di tut pesawat telefon itu, kelihatan dia begitu terampil dan begitu hafal akan nomer telefon siapa yang hendak dihubunginya. Nun di nomer telefon yang ditujunya itu, ada mesin pen­ jawab yang segera menyahut panggilannya. “Sori saya sedang tidak di rumah. Tinggalkan pesan. Nanti saya hubungi kembali.” Rupanya suara orang yang berada di dalam mesin penja­ wab itu adalah Nia. Yang disebut ini masih berdiri bersama­ sama dengan Ibu Intan, Juminah, Ipong, di bagian luar bandara, mengantar James Winata yang hendak berangkat ke Australia. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Nia memang mengantar James Winata yang akan kembali ke Australia, tapi dalam kemauannya untuk mengantar ini, ada juga keinginannya untuk berkata sesuatu, yang selama ini seperti terapung­apung dalam pikirannya menyangkut percakapannya dengan James Winata pada sekian tahun silam. Sambil menjabat tangan James Winata dengan hangat, 877 Hotel Pro deo sebelum yang disebut ini masuk ke bagian dalam tempat penum­ pang pesawat dicatat, berkatalah Nia dengan harapan tertentu: “Kalau Pak James masih mau berpikir tentang tanah di Jepara yang dulu pernah menarik perhatian itu, apa salahnya gagasan itu dilanjutkan lagi.” “Waduh,” kata James Winata seperti terkejut. “Jangan rangsang saya dengan ambisi itu, Mbak Nia.” “Mungkin dulu belum waktunya,” kata Nia. “Siapa tahu sekarang ini waktunya.” “Waktu ya?” “Ya. Siapa tahu Pak James mau kembali lagi ke Indo­ nesia…” “Oh, ya, tentu. Kalau soal ke Indonesia, itu pasti. Dan, ke Indonesia bukan berarti kembali, tapi pulang. Ke Australia saat ini adalah sekadar kembali, bukan pulang. Ke Indonesia nanti, itu berarti pulang. Sebab, bagaimanapun di sinilah tanahair saya. Di tanahair saya mesti pulang. Dan itu entah kapan.” Ibu Intan yang menyelang. “Kita menunggu Pak James pulang ke Indonesia lagi.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Bersamaan dengan itu ponsel Nia berbunyi. Rupanya Jeng Retno yang menelefon ke sini karena mesin penjawab di telefon rumahnya mengatakan Nia tidak di rumah. Nia melihat ponselnya, dan mengetahui siapa yang me­ nelefonnya itu. “Ya, Mbak,” katanya. “Aku baru menonton TV,” kata Jeng Retno. “Aku lihat ancukan itu diadili. Aku harap dia membusuk di neraka. Kalau tidak aku yang akan kirim dia ke neraka.” Nia hanya tertawa di ponselnya, sekadar merespon omong­ 878 Remy Sylado an yang kedengarannya serius itu. Dan, memang Jeng Retno bicara serius. Katanya menan­ das, “I mean it, Nia. He is my enemy.” “Not a huckleberry?” “Oh my God. I swear to God, I will kill him.” “?” *** Lantas bagaimana kalau nanti Jeng Retno menyaksikan lagi tayangan TV jika Rachmat Wirjono tampil di sidang perkara Dharsana itu? Tak seorangpun bisa menduga, bagaimana dan apa yang akan dikatakan oleh Rachmat Wirjono. Dalam sidang mendatang Rachmat akan menjadi saksi à décharge. Semua orang menunggu itu. Ibu Intan tegang. Dia berharap—demikian dia katakan ke­ pada Tuhan dalam diamnya—semoga yang salah betul­betul salah dan yang benar betul­betul pula benar… www.bacaan-indo.blogspot.com *** 879 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 155 PADA malam hari, sebelum sidang pagi besok, ketika badan terasa letih, dan sudah terbaring di ranjang dengan mengucap­ kan kata­kata tertentu sebagai doa, telefon rumah Ibu Intan berdering. Hutami yang masih duduk di depan TV sambil mengelus Mimit yang sudah lelap di pangkuannya segera berdiri, lantas mengangkat telefon itu, dan, “Hallo.” Dari satu tempat di luar sana, entah karena mimpi apa, terdengar suara Sri, anak Dharsana yang giras itu, meminta bicara dengan Ibu Intan. “Mana si Intan,” kata dia. Jawab Hutami, “Ibu sudah tidur.” “Lu jangan ngibul, babu,” sentak Sri, sangat mengabaikan keramahan. “Panggil dia cepat.” “Nggak,” jawab Hutami mengimbangi sentak. “Ibu sudah tidur.” 880 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Suara Hutami yang menunjukkan rasa jengkel itu karuan menarik perhatian Ibu Intan di kamarnya. Maka, dia bangun dari ranjangnya, keluar dari kamar, berdiri di tengah serambi, bertanya pada Hutami. “Telefon dari siapa, Mi?” “Ah,” kata Hutami, dan sempat­sempatnya juga berperi­ bahasa terbalik—mestinya berbunyi ‘lidah tak bertulang’—tapi dikatakannya, “Itu, Bu, si tulang tak berlidah.” Ibu Intan tak hirau. Dia mundur. Maunya dia kembali ke kamar, ke ranjang, dan tidur, tapi aneh, perhatiannya pada peribahasa yang terbalik itu membuat pikirannya berubah. “Sini,” katanya, menghampiri Hutami, meminta dengan mengambil gagang telefon itu, lantas langsung bertanya kepada Sri, “Ya, mau apa?” “Eh, Intan, gua cuma mau bilang, lu jangan kelewat pede deh,” kata Sri dengan suara melengking dan tuturan yang sa­ ngat mengabaikan unggah­ungguh, “Om Rachmat yang bakal jadi saksi besok itu teman kental bapak gua sejak di akademi dulu, tau nggak lu?” Sekonyong Ibu Intan terpancing untuk bicara. Tapi dia bicara seperlunya. “Ya, udah,” katanya. “Lihat aja besok deh.” Dan, sehabis berkata begitu, Ibu Intan menutup telefonnya dengan membantingnya. Hutami tersenyum. Ibu Intan kembali ke kamar. “O, ya,” katanya berbalik dan berhenti. “Tami, itu, Mimit bawa ke ranjang saya.” Hutami melakukannya. *** 881 www.bacaan-indo.blogspot.com bensin kemudian dibakar tanpa alasan apa­apa kecuali bahwa mereka dikata­katai Cina. Pengunjung yang begini membeludag, semua menyaksikan pengadilan ini seperti menonton sebuah pertunjukan teater yang menegangkan atas pertanyaan­pertanyaan dan jawaban­ jawaban menyangkut kejadian­kejadian—apa yang terjadi, bagaimana urutan kejadiannya, dan alasan yang membuatnya terjadi seperti itu—terhadap James Winata selaku saksi hidup atas kejadian mengerikan pada Mai 1998, dan sekarang peng­ adilan sedang membidik Dharsana di kursi terdakwa sebagai seorang auctor intellectualis. Pada giliran Untung Surapati bertanya pada James Winata soal Todung yang bersama­sama dengan Bon Jovi sebagai orang­orang yang bekerja pada Dharsana, tersimpulkan secara bertahap dalam jawaban sang saksi ini, bahwa di balik rencana pembunuhan terhadap dirinya dan istri­anaknya pada sebuah masakre yang belum jelas siapa biangkerok sesungguhnya, toh Dharsana sudah disimpulkan sebagai salah seorang dari sebuah konspirasi besar politik pecahbelah dengan sentimen­ sentimen SARA di akarnya, yang memanfaatkan masakre itu sebagai dendam pribadinya. Simpai itu langsung disanggah oleh Luhut ketika yang disebut ini diberi giliran bertanya pada James Winata. Dengan tengilnya yang angger menjengkelkan di mata pe­ ngunjung, Luhut bertanya kepada James Winata, “Jadi Saudara menyimpulkan, bahwa orang bernama Todung dan temannya yang ada di depan kita, yang dipanggil Bon Jovi ini, direka oleh Saudara Terdakwa untuk membunuh keluarga Saudara?” Jawab James Winata, “Maaf, itu kesimpulan Saudara sen­ diri. Saya tidak berkata begitu. Saya berkata, Todung dan orang yang dipanggil Bon Jovi itu, adalah orang­orang yang bekerja untuk Dharsana.” www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Itu artinya, bahwa dengan pernyataan itu Saudara hendak memberi kesan untuk berpikir seolah­olah hanya satu orang, yaitu Saudara Terdakwa, yang dalam hal ini adalah Bapak DB Dharsana, klien kami, sebagai aktor intelektualnya.” “Maaf, saya tidak memakai istilah itu.” “Tapi Saudara memberi kesan untuk berpikir begitu. Saudara sudah mengondisikan di depan pengadilan ini, bahwa seakan­akan klien kami adalah aktor intelektual atas peristiwa Mai 1998. Ini suatu fitnah keji yang dengan sendirinya harus dipandang sebagai kasus tersendiri pidana.” “Saya hanya menjawab apa yang saya tahu berdasarkan apa yang saya lihat dan karenanya saya yakin bahwa ada Pak Dharsana di belakang Todung dan orang itu yang membunuh keluarga saya.” Ny Nanin Permadi menggenggang di sini. “Tunggu,” katanya. “Saudara Saksi tidak bisa mengatakan begitu, bahwa Saudara lihat maka Saudara yakin. Tetapi, kalau bisa Saudara uraikan tentang apa alasan yang membuat Saudara berkata yakin atas apa yang Saudara tahu itu.” “Pak Dharsana pernah memaki saya ‘dasar Cina’ hanya karena saya batal membeli sebidang tanah di Jepara yang di­ akuinya sebagai miliknya tetapi tanpa surat yang sah,” kata James Winata. Sekilas Ny Nanin Permadi menyerana. Tampaknya dia memperoleh keterangan tersendiri dari pernyataan yang baru diungkapkan James Winata tersebut. Segera setelah Ny Nanin Permadi terdiam, Luhut me­ nyelang dengan pertanyaan berondong. “Jadi, karena dasar kesimpulan itu Saudara berpikir, bah­ wa Pak Dharsana, yang notabene adalah klien kami, adalah aktor intelektual di balik pembunuhan anti Cina?” “Itu bahasa Saudara. Saya tidak mengatakan begitu.” 883 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Luhut pun berang lantas membentak James Winata. “Bagaimana sih Saudara ini? Jelas­jelas di dalam pengadil­ an ini Saudara sudah mengatakan bahwa klien kami sebagai aktor intelektual, tapi Saudara bicara berbelok­belok. Saya minta Saudara berkata lempang tidak berbelok­belok. Nah, dengar baik­baik dan dengar yang betul: Apa Saudara me­ ngatakan klien kami sebagai aktor intelektual di balik peristiwa anti Cina pada Mai 1998? James Winata menjawab dengan tenang setelah meng­ ambil nafas panjang disertai hembusan yang bersimpai keluh. “Itu istilah Saudara. Bukan saya.” Luhut bicara lantang, jelas tidak sanggup menahan emosi­ nya. “Yang benar jawabnya!” Ny Nanin Permadi pun memarahi Luhut. “Jangan berteriak­teriak, Saudara Pengacara.” Luhut mencari alasan. “Jawaban Saudara Saksi ngaco.” Ny Nanin Permadi pun mengoreksi omongan Luhut. “Saudara juga memakai istilah yang ngaco,” katanya. “Dari tadi bolak­balik Saudara memakai istilah yang ngaco.” Dengan congkak Luhut mengelak. “Lo? Bicara ngaco bagaimana, Ibu Hakim Ketua?” “Ya,” kata Ny Nanin Permadi. “Bolak­balik Saudara me­ ngatakan ‘aktor intelektual’. Apa maksud Saudara dengan isti­ lah itu?” Kecongkakan Luhut kini tampak dalam nada yang me­ nyepelekan. “Bu,” katanya, “Istilah ‘aktor intelektual’ itu kan berarti ‘orang yang merencanakan kejahatan pada sebuah peristiwa tertentu’.” Ny Nanin Permadi berlagak lugu. Dia pura­pura kagum pada bicara Luhut. 884 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Oh? Itu maksud Saudara toh?” Jawab Luhut petakilan, “Ya, Bu. Itu kan istilah lazim dalam dunia pidana. Bahwa di balik tindakan pidana tertentu yang menyangkut massal, pelaku di belakangnya itu kan disebut ‘aktor intelektual’, Ibu Hakim Ketua.” Ny Nanin Permadi menggebrak meja. “Saudara yang ngaco. Saudara salahkaprah memakai isti­ lah!” Pengunjung senang mendengar omongan sang hakim ketua. Mereka akan lebih senang lagi karena dalam gebrakan Ny Nanin Permadi, Luhut akan terpaku dan mulutnya terkatup karena dicecar omongan yang membuatnya sebagai dungu. Kata Ny Nanin Permadi, “Kalau Saudara maksudkan peng­ ertian yang Saudara sebut itu, maka istilahnya bukan ‘aktor intelektual’ tetapi ‘auctor intellectualis’. Jangan salah ucap, apalagi salah eja. Dengar, ‘auctor’, bukan ‘aktor’. Yang disebut ‘auctor’, dieja dengan a­u­c­t­o­r, memang dimaksudkan sebagai ‘perencana kejahatan’. Kata ini turun dari ‘aucto’, dieja a­u­c­t­o, sebagai frequentativum dari ‘augeo’, maknanya ‘memperkaya’ atau ‘menambahbanyakkan’. Sedangkan ‘intellectualis’, dieja i­n­t­e­l­l­e­c­t­u­a­l­i­s, maknanya adalah sesuatu yang da­ pat ditangkap dengan pancaindra. Kalau Saudara mau meng­ indonesiakan istilah ini, boleh, yaitu mengganti ‘c’ dengan ‘k’, tetapi lafalnya tetap harus benar, yaitu ‘auktor intelektualis’, bukan ‘aktor intelektual’. Lah, kalau ‘aktor intelektual’ itu artinya pelakon­pelakon teater atau film yang terdidik secara akademis sehingga kelasnya bukan tukang melainkan cendekia. Ya, itu kira­kira Slamet Rahardjo atau Deddy Mizwar deh. Paham ya, Saudara?” Pengunjung ketawa, mengetawai Luhut. Luhut sendiri cemberut, bermuka masam. *** 885 Di atas ranjangnya Ibu Intan teringa­inga. Omongan Sri itu sempat mengganggu kantuknya. Dia tidak bisa segera tidur. Hanya tiga jam saja setelah dia sungguh­sungguh terlelap, seperti Mimit di sebelahnya yang ngorok dengan muka senyum­ senyum, dia pun terbangun lagi pas pada waktu kebiasaannya melilir, dan setelah itu tidak bisa lagi tidur sampai pagi. Pagi­pagi, jam 06.00, dia menerima telefon dari Juminah, dimulai dengan pertanyaan, apakah dia sudah bangun. Juminah hanya merasa perlu memberi semangat kepadanya untuk tetap teguh, walaupun saksi yang akan dihadirkan nanti di pengadil­ an adalah Rachmat Wirjono. Toh Ibu Intan terpengaruh juga oleh ingatan kata­kata Sri tadi malam. Karenanya, penting tak penting, dia merasa perlu juga mengatakan itu kepada Juminah. “Ya,” katanya. “Saya teguh kok, Mbak. Teguh, biarpun tadi malam saya diintimidasi oleh anaknya Dharsana.” “Cuekin saja, Bu,” kata Juminah. “Bahkan teror pun adalah kelemahan orang yang takut karena salah.” “Iya sih,” kata Ibu Intan. “Anjing menggonggong kafilah berlalu.” Hutami yang berada di dekat Ibu Intan ketawa senang. Di tempatnya Juminah ketawa kecil, tetap dalam kesung­ guhan menyemangati Ibu Intan. “Hm,” katanya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Empat jam setelah itu, di pengadilan tampak Sri datang telat ketika sidang sudah dibuka. Dia datang bersama Singgih, berdiri di pintu yang bisa dilihat oleh Ibu Intan dari tempatnya duduk sebagai penggugat. Dari pintu yang ada juga beberapa orang lain berdiri di situ, Sri mengejek Ibu Intan dengan cara menunjuk­nunjukkan Remy Sylado jari jempolnya ke bawah, sambil mencibir, membuat mukanya yang jelek menjadi bertambah jelek lagi seperti setan (dalam lukisan­lukisan Eropa abad pertengahan). Dia membuka mulut lebar, sampai kira­kira bola kasti bisa masuk di situ, mengatakan sesuatu tanpa membunyikannya, tapi gerangan dapat dipahami maknanya oleh orang­orang punya waktu untuk tidak bekerja apa­apa selain tengak­tenguk di jalan. Huruf­huruf yang dimaksudnya itu adalah K­A­L­ A­U­T. Ini biasa diartikan oleh para penjudi kelas kakilima sebagai makna ‘gagal’, ‘kalah’, ‘rugi’. Ibu Intan melihatnya, tapi dia tidak peduli, masabodoh, cuek. Dia menunggu dalam tenang dan pasrah, apa yang akan terjadi dalam jam­jam yang bergerak ke depan pada sidang yang akan menghadirkan Rachmat Wirjono tersebut. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 887 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 156 SEBENARNYA inilah waktu yang paling tidak diharapkan oleh Rachmat Wirjono, tapi terpaksa mesti dijalaninya, bahwa tiga hari setelah pensiun sebagai perwira tinggi polisi—artinya sekarang dia sudah menjadi sipil, atau dalam istilah yang benar: sudah menjadi preman—maka dia harus duduk di kursi pengadilan untuk, atas permintaan sahabat lamanya Dharsana, menjadi saksi à décharge. Sanggupkah mantan perwira tinggi ini tampil di pengadil­ an dengan menohok kesadaran nuraninya, sementara yang menjadi terdakwa untuk dibuktikan oleh jaksa penuntut sebagai pelaku kejahatan adalah orang yang pada puluhan tahun silam telah sama­sama berjanji untuk saling menolong dalam susah dan senang? Entahlah. Rachmat Wirjono tak berani berjanji apa­apa pada siapa­ pun kecuali pada nuraninya: suatu wujud yang boleh dibilang 892 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado sebagai mahkamah ilahi paling tinggi dalam sosok insani yang setia mengimbau­imbau kebenaran. Soal paling asasi dalam dirinya, yang disadarinya dengan nalarnya sebagai potensi rohani paling manusiawi, adalah, dia sangat mengerti isyarat zaman, bahwa yang dihadapinya se­ karang ini adalah keperkasaan sang waktu menentukan nilai dalam kehidupan: waktu yang sudah bergulir begitu pasti me­ ninggalkan masa lampau yang sentimental dan romantis, dan itu tidak laras lagi dengan masa kini yang membutuhkan takrif realistis. Sang waktu yang berubah dan mesti, memang membawa perubahan yang pasti dalam pikiran dan perasaannya. Itu ma­ kin dipahaminya saat ini ketika dia membandingkan dirinya dengan Dharsana. Padahal dia tahu betul, bahwa waktu yang tersedia bagi semua orang, termasuk dirinya, matranya sama, yaitu satu hari terdiri dari 24 jam. Dan, untuk itu dia bisa mengikuti perubahan yang terjadi dalam semua waktu, se­ dangkan Dharsana tidak. Dalam anganan Dharsana, ketika dia meminta Rachmat Wirjono sebagai saksi à décharge, maka perwira tinggi itu akan tetap menolongnya sebagaimana selalu sudah terbukti di waktu­ waktu lalu. Di samping itu, ketika terjadi peristiwa­peristiwa yang menyebabkan dirinya sekarang menjadi terdakwa pidana, dianggapnya hal itu tidak lepas dari kedudukannya sebagai bayangkara negara di mana dia menjadi bawahan dan Rachmat menjadi atasan. Dharsana ingat, yang membuatnya rumangsa akan di­ tolong oleh saksi à décharge, adalah Rachmat jualah yang dulu mengarahkan bawahan, yaitu dirinya, untuk berpedoman pada tanggungjawab yang mengisyaratkan bahwa tidak ada yang salah, disalahkan, atau tersalahkan bagi seorang bayangkara dalam melakukan tugas membela negara dan tanahair serta rakyatnya, karena memang undang­undangnya jelas menga­ 893 www.bacaan-indo.blogspot.com takan: bahwa peran polisi dalam pemerintahan negara harus memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mene­ gakkan hukum, melindungi, mengayom, dan melayani masya­ rakat. Semua yang dia lakukan itu dianggapnya sudah suai dengan undang­undang tersebut. Kendati begitu, wajah Dharsana tampak tegang melihat Rachmat masuk ke ruang sidang, dipersilakan duduk di kursi saksi yang menghadap ke meja majelis hakim. Setelah melewati aturan­aturan yang biasa bagi seorang saksi untuk ditanyai, Rachmat duduk menunduk sambil ber­ komat­kamit. Pertanyaan jaksa yang paling penting di antara pertanyaan­ pertanyaan lain adalah menyangkut senjata­senjata yang diakui oleh Anto Irawan pada sidang yang lalu, berasal dari tangan Dharsana. Jawab Rachmat, “Soal itu saya tidak tahu.” “Tapi Saudara adalah atasan Saudara Terdakwa,” kata Untung. “Bagaimana mungkin Saudara menjawab tidak tahu?” “Saya memang atasannya, tapi urusan pelanggaran yang dilakukannya, yang saya ketahui hanya pada tindakan me­ nyimpang dalam urusan seks semata­mata.” Keterangan Rachmat itu, di luar rencana malah telah me­ lebar ke soal yang sangat privat. Untung Surapati memanfaatkan keterangan itu ke per­ tanyaan cecar yang lebih tajam. Kata Untung, “Apa maksud Saudara mengatakan soal ‘tindakan menyimpang dalam urusan seks semata­mata’ yang dilakukan Saudara Terdakwa?” “Maaf,” jawab Rachmat. “Dari dulu, sewaktu masih di akademi, nama singkatan DB­nya dipleseti sebagai ‘doyan ba­ nget’ vagina.” Pengunjung gemuruh. Dharsana cemberut. www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Lanjut Untung, “Apa itu berarti Saudara mau mengatakan bahwa Saudara Terdakwa biasa melakukan seks bebas?” “Saya lebih suka menyebutnya ‘fornikasi’.” Ny Nanin Permadi menyelang. Katanya kepada Rachmat, “Uraikan apa yang Saudara maksudkan dengan kosakata itu supaya persepsi di sidang ini bisa selaras.” “Baik,” kata Rachmat. “Fornikasi dari sudut diksioner berarti: model relasi­relasi seksual di luar perkawinan resmi, tapi fornikasi pada studi etika dimaksudkan sebagai perzinaan, bersetubuh dengan banyak pasangan semata­mata untuk me­ lampiaskan nafsu belaka.” Buru­buru Luhut mengacung, meminta perhatian majelis hakim untuk menyudahi omongan Untung. “Keberatan, Ibu Hakim Ketua,” katanya. “Ini tidak relevan. Ini sudah melebar di luar konten. Yang diungkapkan itu adalah persoalan privasi seseorang secara pribadi di dalam kamar yang terkunci.” Ny Nanin Permadi menanggapi itu dengan memberi ke­ sempatan kepada Untung Surapati memberi definisi verbalnya. Dan, berkata Untung, “Menurut saya, Ibu Hakim Ketua, ini berkaitan dengan realitas sehari­hari yang berulang kali disiarkan oleh pers. Bahwa sejumlah kejahatan pidana yang terjadi di Indonesia, berpangkal pada moralitas yang kedodor­ an. Pejabat­pejabat pemerintah cenderung melakukan korupsi, antaralain karena kebutuhannya akan dana lebih yang diman­ faatkannya semata­mata untuk rekreasi seksnya: selain istri empat juga selir berpuluh­puluh seperti Sultan Sepuh. Yang sekarang kita sedang cari jawabannya adalah: dari mana dana yang dimaksud itu diperoleh Saudara Terdakwa sehingga dia bisa membiayai rekreasi seksnya, yang pasti mahal, sementara gajinya sebagai Komisaris Besar Polisi—sesuai dengan Peraturan 895 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Pemerintah Nomer 14 Tahun 2003, 17 Februari 2003—jumlah­ nya Rp1.131.600—serta tunjangan jabatan struktural dari Kepu­ tusan Presiden Nomer 5 Tahun 2003, 21 Januari 2003—jum­ lahnya Rp1.000.000. Nah? Tidak rasional kalau Saudara Saksi mengatakan tidak tahu. Jelas harus dibuktikan bahwa di balik itu semua ada tindakan korup yang tersembunyi. Harusnya Saudara Saksi tahu hal itu.” Luhut mengacung. Dia ngotot. “Ibu Hakim Ketua,” katanya. “Ini samasekali tidak ada hubungannya dengan delik korupsi. Delik korupsi yang dike­ tahui polisi adalah rumusannya dalam KUHP pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435. Sementara yang dikemukakan oleh Saudara JPU tidak bisa dihubungkan dengan pasal­pasal itu.” Ny Nanin Permadi menerima keberatan Luhut. Katanya, “Keberatan Saudara diterima.” Lalu, “Silakan Saudara Jaksa to the point pada konteks saksi yang mengetahui atau tidak­ mengetahui soal tindakan Saudara Terdakwa yang melanggar hukum.” “Baik, Ibu Hakim Ketua,” kata Untung, lantas mengarah­ kan wajahnya ke Rachmat. “Begini, Saudara Saksi. Sebagai perwira tinggi polisi tentunya Saudara tahu, bahwa Undang­ Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, jelas terbaca dalam tinjauan umumnya— nah, baik saya bacakan itu di sini—bahwa ‘undang­undang ini mengatur pembinaan profesi dan kode etik agar tindak­ an pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secara teknik dan terutama hak asasi manusia’. Aneh di kuping, bahwa Saudara mengatakan hanya mengetahui tindakan seks Saudara Terdakwa yang menyimpang, yang notabene dilakukan 896 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado di kamar terkunci, sedangkan tindakan penyalahgunaan we­ wenang, yaitu menjualbelikan senjata milik negara, Saudara tidak tahu. Di mana letak tingkat petinggi Saudara sebagai atasan soal ‘mengatur pembinaan profesi dan kode etik’ itu terhadap bawahan Saudara?” “Saya harus menjawab apa, kalau pembinaan yang saya lakukan itu tidak diperhatikan?” “Apa?” “Ya. Itu yang ingin saya katakan. Saya terpaksa harus berkata apa adanya di sidang ini, yang tidak seperti dalam harapan sebagai saksi à décharge. Untuk itu, maaf, saya tidak bisa memenuhi keinginan Saudara Dharsana, sahabat lama saya, untuk menjadi saksi à décharge di sini. Saya sudah berulang kali menegurnya, supaya sadar, tetapi seperti sudah saya katakan, sahabat saya ini tidak memperhatikan teguran saya.” Untung menyela. Katanya, “Ini tidak lazim secara organi­ sasi. Saudara bilang, Saudara menegur sebagai sahabat. Padahal dalam kedudukan organisasi, Saudara adalah atasannya dengan pangkat jendral, dua tingkat lebih tinggi darinya. Kenapa Saudara hanya menegur sebagai sahabat, bukan sebagai atasan kepada bawahan sesuai dalam peraturan organisasi? Maksud saya, Saudara toh bisa bertindak menurut prosedur sebagai atasan terhadap bawahan. Di mana letak keperwiraan Saudara dalam kinerja organisasi? Saya pertanyakan ini sesuai dengan disiplin keanggotaan polisi yang diatur dalam Peraturan Peme­ rintah Nomer 2 Tahun 2003. Kalau Saudara lupa, baik saya bacakan itu di sini; “Dikatakan dalam peraturan ini: ‘Organisasi yang baik bukanlah segerombolan orang yang berkumpul dan bebas bertindak semaunya. Organisasi harus punya aturan tatatertib 897 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo perilaku bekerja, bertindak, maupun bergaul antaranggota Kepolisian Negara Republik Indonesia… Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang punya aturan tatatertib intern yang baik dan kuat. Aturan tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik, maupun kode jabatan’; “Nah, camkan itu; “Yang saya pertanyakan, Saudara tidak mengindahkan kode etik jabatan sebagai atasan kepada bawahan, tetapi lebih memandang persoalan tatatertib dari sudut persahabatan. Justru itu yang menjadi koreksi reformasi atas Orde Baru. Salah, Saudara tidak tegas secara organisasi terhadap bawahan.” Rachmat menyanggah, dan sanggahannya mengejutkan semua. “Baiklah, saya akan mengaku di sini, dan pengakuan saya ini memang tidak sesuai dengan harapan sebagai saksi à décharge. Bahwa, dengan mengacu pada kode etik jabatan tersebut, saya yang merekomendasi, dan saya juga yang menandatangani surat bebastugasnya Saudara Dharsana. Itu memang istilah saya kepadanya, ‘bebas­tugas’. Padahal, secara organisasi, Saudara Dharsana dipecat dari kepolisian.” Semua tercengang. Pengunjung ramai. Dharsana kelenger. Luhut bengong, garuk­garuk kepala. Setelah itu Untung masih sempat bertanya, sebelum Ny Nanin Permadi menyudahi. “Jadi, Saudara Saksi yang merekomendasi pemecatan ter­ hadap Saudara Terdakwa?” tanya Untung. “Ya,” jawab Rachmat tegas. “Karena perbuatannya memang merusak kepercayaan umum terhadap kepolisian. Semua yang dituduhkan kepadanya dengan keterangan saksi­saksi memang 898 Remy Sylado benar merupakan kejahatan Saudara Dharsana…” Ruang sidang gemuruh. Dua orang di antaranya, yang duduk di tengah­tengah, malah menjerit­jerit kampungan. Kedua orang yang dimaksud ini adalah anak Dharsana yang perempuan dan laki itu. Dharsana sendiri langsung lesu, tubuhnya seperti kehi­ langan tulang­tulang. Tapi, tiba­tiba dia berteriak, menghardik Rachmat. “Babi lu, Mat!” Ny Nanin Permadi memberi tanda, bahwa sidang hari itu akan dilanjutkan dengan tuntutan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 899 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 157 LAGI, tidak ketinggalan Jeng Retno menyaksikan tayangan TV soal berita sidang pengadilan perkara Dharsana yang kali ini akan menampilkan Rachmat Wirjono sebagai saksi à décharge. Wajahnya serius sekali, seakan semua urat yang ada di kepalanya dalam keadaan tegang, melihat dan mendengar sua­ ra penyiar TV memberitakan sidang itu. Komentar penyiar dalam penayangan berita itu amat me­ narik perhatiannya. Kata penyiar itu, “Ini fenomena unik dalam sejarah sidang pengadilan kita, bahwa seorang saksi yang diharapkan oleh terdakwa sebagai sosok à décharge, malah telah menjadi sosok à charge: bukan meringankan tapi memberatkan terdakwa.” Di lantai tempatnya bersila ketika menyaksikan tayangan berita itu, Jeng Retno berseru girang dan sumoreh, sampai­ sampai pantatnya mumbul di atas lantai ubin berlapis karpet. “Kapok kowe!” katanya sendiri. 888 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Arkian, ketika dia berkata girang begitu, kelihatannya dia sadar sekali, dan bahkan boleh dikata kadar kewarasannya cenderung tidak diragukan. Benarkah? Hanya Tuhan, dan juga iblis, yang bisa menjawab itu. Kini, setelah tayangan itu berakhir, dan berganti dengan berita yang lain, buru­buru Jeng Retno berdiri dari silanya di lantai, dan langsung memencet angka­angka di telefon rumahnya, menghubungi nomer di telefon selular Nia. Nun di Jakarta, Nia melihat dulu nama yang tercantum di telefonnya itu, lantas menjawab asan tak asan, “Ya, Mbak…” Dan, segera Jeng Retno berkata, ajeg dengan gaya nging­ grisnya, “Will you do me a favor, Nia?” “Ada apa toh, Mbak?” tanya Nia. “Kirimi aku duit,” kata Jeng Retno. “Aku pingin ke Ja­ karta.” “Yang benar, Mbak?” “Eh, ala! Do you think I’m not serious?” Mau tak mau Nia menjawab, “Iya deh, Mbak.” “Oh, you’re so kind, Nia,” kata Jeng Retno. Nia berkata datar, “Mau minta dikirimi berapa?” “Secukupnya,” jawab Jeng Retno. “Untuk ongkos pesawat Yogya­Jakarta.” “Oke,” kata Nia. “Rp750.000,00 ya?” “Oh my God,” kata Jeng Retno. “Kok tanggung banget sih?” “Kan Mbak bilang secukupnya,” kata Nia. “Apa itu tidak cukup buat tiket pesawat?” “Cukup sih cukup…” “Lantas?” “Mbok dibulatin saja, ngono lo, Nia.” Nia merengut. “Dibulatin? Itu kan sudah bulat.” “Oh my God. Please, Nia. I mean, if you don’t mind, mbok dibulatin menjadi one million, gitu lo.” Nia diam sejenak. Lalu, “Butuhnya kapan toh, Mbak?” 889 Hotel Pro deo “Sekarang,” jawab Jeng Retno tanpa beban apa­apa. “Biar besok pagi aku ke Yogya, lantas terbang ke Jakarta jam siang­ siang. Nanti aku kasih tahu, jam berapa pesawat take off dari Adi Sucipto dan jam berapa pesawat landing di Soekarno­ Hatta.” Lagi Nia diam sejenak. Apabila dia menjawab, dia akan berkata dengan rasa ragu, tapi toh dia harus mengatakannya. “Iya deh,” katanya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Pagi­pagi pada keesokan harinya Jeng Retno menelfon Nia pada nomer ponselnya. “Nia, aku tiba di Jakarta pada jam empat nanti,” katanya benar­benar yakin dan meyakinkan. “Jemput aku ya?” Jawab Nia pun sangat tulus, “Ya, Mbak.” Jam yang disebut oleh Jeng Retno itu masih sembilan jam lagi dari sekarang. Dalam perkiraan Nia, jika jalanan macet di pintu­pintu tol menuju ke bandara, maka sekitar jam 13.00 dia sudah harus meluncur ke sana. Sesampai di bandara, Nia membaca di bagian informasi pesawat­pesawat yang tiba pada jam 16.00 seperti yang dika­ takan Jeng Retno. Ternyata tidak ada pesawat dari Yogya yang turun pada jam tersebut. Supaya dirinya benar­benar yakin, Nia pun bertanya pada siapapun yang berpakaian dinas di bandara ini, apakah pada jam­jam sekitar pukul 16.00 ada pesawat dari Yogya yang akan datang atau sudah datang di Jakarta. Dari bagian penerangan, Nia ketahui bahwa pesawat dari Yogya itu akan masuk lagi pada 19.00 nanti. Apa boleh buat, Nia memutuskan untuk tidak pulang, tapi menunggu saja tiga jam lagi. Pada jam yang dimaksud, dia menunggu di depan tempat keluar, dan memperhatikan semua penumpang, satu per satu, 890 Remy Sylado sampai seluruh penumpang keluar, dan akhirnya dia menya­ dari bahwa Jeng Retno tidak ada di antara orang­orang itu. Dengan jengkel dia menelefon ke Borobudur di nomer kepala 0293. Yang mengangkat telefon rumah di sana adalah ibukandung Jeng Retno yang selalu tertib berbahasa Indonesia. “Ya, hallo, siapakah gerangan ini?” “Bu, saya Nia,” sahut yang empunya nama. “Mbak Retno ada?” “Ada,” jawab sang ibu, “Sedang menonton televisi.” Bukan alang kepalang geramnya Nia. Dia mencentang dahinya. “Gila!” serunya sambil menurunkan tangan yang meme­ gang ponselnya itu. Sisa suaranya yang mengatakan ‘gila’ itu sempat terdengar di telinga ibukandung Jeng Retno. Dan, demi mendengar itu, dia hanya mengangkat bahu, kemudian meletakkan kembali gagang telefon di rumahnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Jeng Retno sendiri, yang memang sedang menonton TV, dengan bersila santai di atas lantai, bertanya kepada ibunya, “Siapa yang menelefon itu.” Jawab ibunya prihatin, “Nia.” “Omong apa dia?” tanya Jeng Retno seakan­akan acuh. “Entah,” jawab ibunya. “Harusnya aku ke Jakarta,” kata Jeng Retno. “Tapi aku masih ingin melihat TV tentang berita pengadilan. Aku se­ nang bakal melihat Jendral Rachmat Wirjono menelanjangi Dharsana. Kapok dia. Kapok!” *** 891 www.bacaan-indo.blogspot.com 158 WALAUPUN kesaksian Rachmat Wirjono sudah memenuhi keterangan yang diperlukan untuk tuntutan, Juminah masih berpikir: harus ada bukti telak dari kejahatan Dharsana yang bisa didapat dari satu­satunya orang yang sekarang menghilang, yaitu Todung. “Kita harus cari Todung,” katanya “Pasti Lukman tahu di mana rumah Todung,” kata Ibu Intan. “Kita harus tanya Lukman. Saya yakin dia akan menunjuk rumah Todung.” Maka, segera mobil yang distir oleh Ipong meluncur ke arah Pondok Cabe, melewati beberapa bagian kota yang macet sebagaimana lumrahnya Jakarta. Mobil ini diparkir di pinggir jalan yang di seberang kanan­ nya ada lapangan­terbang. Buru­buru seorang penganggur di jalan raya ini menghampiri sambil mengaba­aba, bertindak www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado sebagai tukang parkir, dan berharap diberi uang Rp1.000,00 oleh pengemudi. Dengan sok ramah, juru parkir ini bertanya kepada Ipong, mereka hendak ke mana. Dan, yang menjawab Juminah, “Ke gang rumah Pak Lukman,” katanya. “Oh, iye,” kata juru parkir itu. “Nyang entu, depan masjid.” Dari sikap dan logat bicara juru parkir itu, Juminah me­ nyimpulkan, bahwa Lukman dikenal dan dihormati orang di perkampungan dalam sana. Jika begitu, Ibu Intan pun percaya, seperti sudah dilihat­ nya pula di pengadilan ketika Lukman dihadirkan di sana sebagai saksi, bahwa memang bekas sopir Dharsana ini telah memilih berjalan di jalan yang benar. Di rumahnya Lukman sedang siap­siap ke masjid untuk sembahyang isya bersamaan dengan telah hilangnya sinar lem­ bayung di ufuk barat sana. Melihat Ibu Intan hadir di rumahnya, Lukman segera me­ nundukkan badan, takzim sekali, seraya membagi arah pandang­ nya ke Juminah dan Ipong untuk menunjukkan sikapnya yang ramah kepada tamu­tamunya ini. Dia bilang maaf kepada tamu­ tamunya ini karena dia akan ke masjid, dan meminta mereka menunggu sampai dia selesai menunaikan salatnya. Istri Lukman, seperti banyak orang Betawi pinggiran yang ramah dengan bahasa Melayu logat sawareh, segera me­ nuangkan teh panas di cangkir, lantas menghidangkannya kepada ketiga tamunya. Terjadi percakapan sosial yang seketemunya selama sekian menit sampai Lukman kembali ke rumah. Pulang­pulang dari masjid, Lukman duduk di kursi dekat pintu masuk yang menghubungi ruang belakang, sambil ber­ tanya langsung kepada Ibu Intan dengan langgam Betawi ping­ gir yang santun: Apa yang bisa dia bantu untuk Ibu Intan. 901 Hotel Pro deo Bukan Ibu Intan yang menjawab pertanyaan itu melainkan Juminah. Kata Juminah, “Begini, Pak Lukman. Barangkali Pak Lukman masih ingat rumah Todung.” Kata Lukman dengan yakin sambil mengarahkan matanya ke Ibu Intan, “Oh, ya, rumahnya di Bogor, daerah Dramaga, luar kampus IPB, Bu.” Dan Ibu Intan pun berkata sembari menunjuk Juminah, “Nah, itu, Man, barangkali kamu bisa memberi arahan peta daerah itu kepada Mbak Juminah ini.” “Ada beberapa jalan kecil­kecil di sebelah kampus IPB itu, Bu, tapi saya tidak hafal nama­namanya,” kata Lukman. Juminah agak tawar. “Hm.” Tapi kata Lukman kepada Ibu Intan, “Kalau Ibu mau, saya bisa antar Ibu ke sana.” “Oh, itu lebih baik, Pak,” kata Juminah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Besok pagi mereka sepakat untuk berangkat ke Bogor me­ lalui jalan tradisional, jadi bukan dengan jalan tol, yaitu melewati Sawangan dan Parung, bablas sampai pertigaan jalan: yang terus berarti Jl. Soleh Iskandar dan kanan berarti ke perumahan Yasmin. Di jalan yang terakhir disebut ini mobil tiba di stanplat Bubulak, belok ke kanan arah hutan Ciphor, dan terus sampai ke gerbang IPB, lalu pas di jembatan yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil, Lukman menyuruh Ipong berbelok ke kiri. Di situlah daerah yang disebut Cangkurawok. Setelah memarkir mobil di bagian jalan yang agak sela, mereka semua, didului oleh Lukman, turun, dan berjalan kaki menuruni gang yang ujungnya di bawah sana adalah Sungai Ciapus. Rumah Todung—atau lebih tepat rumah milik istrinya yang asli orang kampung situ—merupakan rumah kecil sekitar 902 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado 15 meter dari jalan aspal yang bagian depannya dijadikan warung. Teh Rum, begitu panggilan bagi istri Todung ini, yang menjaga sendiri warungnya itu. Dengan bahasa Sunda khas pinggiran Bogor yang tidak ‘lemes’ seperti bahasa Sunda sekitar Priangan, Teh Rum me­ nyambut keempat tamunya sambil mengelus­elus kepala anak kecil di gendongannya. Di rumah yang kecil ini, dengan zice yang jok plastiknya sudah burudul, langsung terasa sesak oleh empat orang tamu yang duduk di situ. Demi melihat Lukman, sebelum mempersilakannya ma­ suk ke rumahnya ini, tampak wajah Teh Rum ini seperti akan menangis, berlapis suasana batin dalam dirinya antara rasa haru karena asa yang terganggu namun juga rasa rindu akan sesuatu yang niskala. “Bang Todung nggak pernah pulang lagi tuh, Pak Lukman,” kata istri Todung. Baik Ibu Intan maupun Juminah yang sama­sama berharap bisa mengetahui rimbanya Todung, kontan termangu, merasa upayanya jauh­jauh ke sini ini akan mubazir. Maka Ibu Intan pun berbisik pada Juminah yang duduk berdempet di sebelahnya. “Nah, saya pesimis,” katanya tasyaum. Juminah tidak terpengaruh. Dia mengucapkan sesuatu de­ ngan mulut yang terkatup seperti biasanya. Yaitu, hanya dua huruf yang terdengar satu lafal. “Hm.” Dengan begitu Juminah menunggu saja, mudah­mudahan Teh Rum bisa berkata sesuatu yang puguh menjadi kesimpulan penting untuk dilacak. Mula­mula Lukman berkata kepada istri Todung tentang teman kental Todung, yaitu Bon Jovi, bahwa nama orang yang disebut ini tertangkap basah sebagai perampok. 903 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Saya nggak tahu tuh,” kata Teh Rum. “Bon Jovi sendiri nggak pernah ke sini hampir dua tahun ini.” Ibu Intan tidak berbisik lagi, menyatakan bahwa hatinya tawar karena diterpa tasyaum, tapi dalam hanya diam mengerling ke Juminah, sisikmeliknya tergambar. Rupanya hal itu kini cukup beralasan mempengaruhi perhatian Juminah. Akhirnya Juminah berdiri dari kursi, keluar ke luar sambil melangkahkan kakinya ke jalan aspal, menelefon Tuminah dengan ponselnya. Katanya kepada kembarnya itu, “Tum, aku sedang berada di Bogor, di rumah Todung, tapi aku tidak ketemu orangnya, dan tiba­tiba aku curiga.” “Curiga bagaimana?” tanya Tuminah. “Begini lo, Tum,” kata Juminah. “Kalau misalnya yang aku curigai ini benar…” “Soal apa?” “Bahwa, kemungkinan besar Todung itu sudah mati…” “Lantas?” “Polisi menangkap kembali itu Bon Jovi.” “Lo? Bagaimana? Dia kan sudah menjalankan vonisnya oleh hakim.” “Justru itu, Tum. Hakim kan sudah memvonis dia hanya sebagai perampok yang tidak merampok apa­apa. Kalau bisa, polisi menangkapnya lagi.” “Atas tuduhan apa?” “Lo? Kamu yang polisi kok. Ya kamu dong yang punya ilmu untuk menuduhnya.” “Lantas? Apa kamu kira dia bisa menghidupkan orang yang kamu curigai sudah mati itu?” “Bukan itu soalnya. Aku ingin Bon Jovi itu menjadi petunjuk bahwa tidak adanya Todung, atau lebih jelas: hilangnya Todung, pasti berhubungan dengan kejahatan Dharsana.” “Kenapa kamu berpikir begitu?” 904 Remy Sylado “Pengakuan James Winata di majalah Australia itu.” “Hm.” “Dan, di dalam sidang, James Winata mengatakan dengan jelas soal Todung sebagai orangnya Dharsana. Lantas, setelah mengetahui bahwa James Winata masih hidup, sementara tugas membunuh padanya merupakan tanggungjawab Todung, maka Dharsana marah, dan Dharsana pun membunuhnya.” “Itu masak akal juga. Tapi yang jadi soal, Bon Jovi masih menjalankan hukumannya di Cipinang sampai tahun depan.” “Hm.” Juminah melengung. Dia berpikir pelik. Dengannya dia percaya pada pikirannya, bahwa dia pasti berhasil membuka tudung di balik hilangnya Todung. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dia masuk kembali ke rumah istri Todung. Dia tanya, apakah Teh Rum kenal keluarga Bon Jovi. Jawab Teh Rum sa­ ngat menggembirakan, sebab dengannya langsung membuka jalannya menuju ke anganannya. Kata Teh Rum, “Istri dan anak Bon Jovi tinggal di utara. Istrinya berasal dari daerah sini juga. Rumahnya di Carangpulang.” “Di mana itu?” tanya Juminah terangsang untuk menge­ tahui lebih rinci. “Kampung di belakang kampus IPB ini namanya Carang­ pulang,” jawab Teh Rum. “Gampang kok nyarinya. Lewatin sungai. Lantas tanya rumahnya Pak Pandi. Istrinya itu anaknya Pak Pandi, tukang bangunan.” Setelah mendapat gambaran jalannya ke sana, dan Ipong mencamkan dengan cermat, pergilah mereka semua ke kampung Carangpulang di belakang kampus IPB. Tak su­ lit menemukan rumah yang disebut Teh Rum. Kampung 905 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Carangpulang ini termasuk padat rumah­rumahnya tapi sepi orang­orangnya. Itu sesuai dengan asal­usul namanya sendiri yang berarti ‘jarang pulang’, maksudnya penduduk lelaki di kampung itu umumnya bekerja di luar kampung dan jarang pulang ke rumah. Istri Bon Jovi menyambut tamu­tamunya dengan perasaan asing, nyaris seperti takjub. Apalagi pertanyaan yang diajukan Juminah adalah soal suaminya. Istrinya tahu nama asli Bon Jovi yang berasal dari Krawang, tapi dia pun memanggilnya Kang Jopi, khas lidah Sunda untuk semua yang ‘f’ ataupun ‘v’ dilafal ‘ep’ atau ‘pe’. Di luar dugaan Juminah, istri Bon Jovi, nama panggilannya Ceu Kokom, geram ditanyai soal suaminya itu. “Ah, teuing di mana manehna,” katanya. “Kalau dianya mau kawin lagi sama perempuan lain, kajeun, saya mah tidak peduli. Tapi cerai dulu atuh meureunan.” “Memangnya kapan Bon Jovi pulang ke sini?” tanya Juminah. “Ah, teuing, sudah lupa tuh,” jawab Ceu Kokom. “Tidak kasih uang belanja?” “Ngasih sih.” “Terus?” “Bilangnya, nanti mau ngasih lagi kalau kerjaannya tos anggeus.” “Dia bilang nggak, kerjanya sama orang yang dipanggilnya Pak Bos?” “Ya.” “Hm.” Juminah terdiam. Rasanya dia mendapat gagasan bagus. Bersamaan dengan itu kelihatan cairan dari mata Ceu Kokom meleleh di pipinya. Dengan itu, maka geramnya tadi, seakan­akan dia benci pada Bon Jovi, dan ingin cerai dengan 906 lelaki itu, gerangan hanya emosi sesaat dari ketidakmampuan­ nya menyeimbangkan antara perasaan dan pikiran. Dari luar rumah datang berlari­lari anak kecil berumur sekitar tiga tahun. Anak itu langsung melendot di pangkuan Ceu Kokom. “Itu anak Bon Jovi?” tanya Juminah. “Ya,” sahut Ceu Kokom menahan isak. “Kang Jopi teh sayang pisan sama anaknya ini.” “Hm.” Juminah mengeluarkan uang Rp10.000,00 lantas me­ manggil anak kecil itu. “Nih, buat jajan ya,” katanya. Anak itu tidak berani menghampiri. Dia menutup muka­ nya ke paha ibunya. Melihat itu Juminah makin yakin akan gagasan bagus yang dipikirnya tadi. Gagasan itu nanti akan dikatakannya kepada Bon Jovi kalau dia bertemu dengannya di penjara Cipinang. Dia keluarkan tustel kecil dari tasnya dan siap dijepretnya. “Nih, lihat sini,” katanya. Dengan bantuan ibunya, anak itu menoleh ke Juminah. Dan, jepret, Juminah memotretnya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 159 JUMINAH meminta Tuminah menemui Bon Jovi di dalam penjara Cipinang: penjara dengan kelas­kelas tertentu antara yang enak dan tidak enak tempat tidurnya, bergantung pada berapa rupiah yang bisa diberikan oleh tervonis kepada sipir­ nya. Juminah meminta Tuminah yang pergi ke penjara itu sebab prakiraan yang dianggap lumrah, kalau­kalau tampilnya seorang polisi di situ untuk memeriksa napi lebih dimudahkan pelayanannya ketimbang orang sipil. Manakala Bon Jovi dipertemukan dengan Tuminah di ba­ gian ruang yang berpintu, kelihatan sekali sikap Bon Jovi sangat meremehkan Tuminah: orang yang dulu menangkapnya. “Ada apa lagi ini?” kata dia dengan langgam benci. Tuminah tenang, tak terusik oleh sikap Bon Jovi yang menyepelekan dirinya. Dengan penampilannya yang tenang itu 908 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Tuminah membuka pelan­pelan tasnya, lantas pelan­pelan pu­ la mengeluarkan foto yang dibuat Juminah di Carangpulang. “Kabarnya kamu sangat mencintai anakmu,” kata Tuminah, membalikkan foto di tangannya itu, maksudnya supaya Bon Jovi tidak melihat wajah siapa dalam foto itu. Sementara, pernyataan Tuminah yang lebih sebagai per­ tanyaan pancingan, telah membuat muka Bon Jovi merengut, terbias dari hatinya yang bertanya­tanya. Akhirnya dia ucapkan perasaan yang tersembunyi di dalam hatinya itu. “Memangnya kenapa?” katanya. “Ya, kalau kamu mencintai anakmu, itu bagus,” kata Tu­ minah, dan secepatnya membalikkan foto di tangannya, lalu menaikkan tangannya itu, menunjuk foto itu ke muka Bon Jovi. “Anakmu itu yang ini kan? Dia anak cantik.” Alangkah tercengangnya Bon Jovi melihat foto anaknya itu dipegang oleh Tuminah. Segera dia bergerak hendak me­ rampasnya, tapi Tuminah menarik tangannya. Dari tangan yang dimundurkan ke belakang, Tuminah menunjukkan kembali. “Ya, anakmu cantik, dirangkul oleh ibunya, Ceu Kokom,” kata Tuminah. Bon Jovi berdiri dari kursinya, menerjang hendak me­ rampas foto itu, tapi begitu badannya terangkat dari kursi, dengan sigap Tuminah menendangnya, sehingga Bon Jovi pun terjungkal. “Duduklah manis­manis, Bon Jovi,” kata Tuminah, “Kalau kamu bisa duduk manis­manis, dan kita berunding, percayalah, kamu bakal bebas dari penjara ini dalam keadaan hidup.” Gertakan Tuminah termakan juga. Dalam keadaan sadar bahwa dirinya harus manut, toh Bon Jovi bicara keras, mendesak. “Bilang! Apa maksudnya ini?” kata dia tegang. “Ya,” sahut Tuminah santai. “Sederhana kok…” 909 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Apa?” “Jadi benar, ini anakmu?” “Ya. Itu anakku.” “Hm.” “Apa yang terjadi?” “Tidak. Tidak terjadi apa­apa. Kecuali kalau kamu sendiri yang membuatnya sampai terjadi apa­apa atas diri anakmu itu.” “Tidak!” “Baiklah. Jadi kamu tidak mau kalau sampai terjadi apa­ apa atas diri anakmu itu?” “Sumpah mampus, kalau sampai terjadi apa­apa atas diri anak gua, gua bunuh lu.” Tuminah tertawa, “Kamu bicara seperti ayam kentut saja. Bagaimana bisa? Kamu sekarang dipenjarakan di sini. Kalau saya tembak kamu di kepalamu sekarang, apa kamu bisa omong sombong, mengancam­ancam seperti itu?” Di akhir kalimatnya ini, Tuminah mengeluarkan pistol kecil dari dalam tas—dan dia melakukan dengan cepat tanpa terbaca gerak­geriknya—lantas mengarahkan moncong pistol kecil itu di kepala Bon Jovi. “Nih!” kata Tuminah. “Sekali dor, kamu langsung dut.” Muka Bon Jovi langsung pucat, nyalinya langsung ciut, badannya langsung merinding, dan dia pun langsung berkata, “Jangan.” “Nah, makanya,” kata Tuminah sambil memasukkan kem­ bali pistol kecilnya itu ke dalam tasnya. “Saya senang, kamu bisa mengerti.” Dalam keadaan ragu, bimbang, dan gugup, Bon Jovi ber­ kata, “Apa yang mesti saya lakukan?” “Saya tidak meminta kamu melakukan apa­apa,” kata Tuminah menjawab pertanyaan Bon Jovi itu. “Saya cuma minta kamu bicara.” 910 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Bicara? Bicara apa?” “Bahwa kamu mau disuruh­suruh oleh Dharsana untuk melakukan kejahatan sebab kamu takut ditembak di kepalamu, dan kamu dut. Ya kan?” “Ya.” “Memangnya apa yang dia bilang?” “Pak Bos selalu bilang, ‘jangan goblog, jangan tolol, jangan bodoh seperti Todung’.” “Memangnya apa yang terjadi dengan Todung?” “Saya tidak tahu. Barangkali Todung sudah dihabisi Pak Bos.” “Kenapa kamu bilang begitu?” “Ancaman Pak Bos supaya saya jangan tolol jangan bodoh jangan goblog seperti Todung, menunujukkan bahwa Todung tolol bodoh goblog dan makanya dia sudah dihabisi oleh Pak Bos.” “Kamu curiga Todung dibunuh oleh Pak Bos?” “Ya, tuh. Soalnya Todung menghilang setelah Todung di­ suruh menghadap Pak Bos.” “Kenapa kamu bisa bilang: kamu curiga?” “Ada yang aneh di halaman belakang rumah Pak Bos di Tebet. Saya curiga, jangan­jangan itu adalah kubur Todung.” “Apa?” “Ya, Bu. Saya bisa tahu keadaan tanah. Onggokan tanah kubur pasti mendelep dalam waktu tertentu kalau yang ditanam di dalamnya itu makhluk manusia.” “Hm.” “Onggokan tanah yang mendelep itu ditaruh pot tanaman hias supaya kelihatan tidak mencurigakan.” “Tapi kamu curiga?” “Ya tuh, Bu.” “Hm.” 911 *** www.bacaan-indo.blogspot.com itu. Tuminah girang sebab sudah mendapat informasi berharga Dalam perjalanan kembali ke kantor dengan mobil yang distirnya sendiri dari penjara Cipinang, dan masuk jalan layang dari pintu tol Pisangan, dengan tangan kiri memegang stir dan tangan kanan menggenggam ponsel, Tuminah bicara dengan Juminah. “Jum, ini berita bagus buat kamu,” katanya pada kembar­ nya nun di kantornya. “Dengar baik­baik nih. Kamu bakal langsung memenangkan perkara klienmu. Tinggal atur baik­ baik dengan JPU. Semuanya akan beres.” Juminah gembira kendati belum mengerti, belum ngeh, belum mudheng, belum dhong, akan kalimat wara­wara yang diucapkan oleh kembarnya itu. “Gimana, Tum?” tanya Juminah kepada Tuminah. “Wis toh,” jawab Tuminah meyakinkan sekali. “Pokoknya berita bagus ini langsung menuntaskan semuanya. Dharsana akan segera dikirim ke Hotel Pro Deo.” Dalam gembiranya itu Juminah bertanya, dan sekilas da­ lam nada pertanyaannya terasa aneh sendiri, “Kamu di mana sih sekarang?” “Aku sedang meluncur ke kantorku, dan dari sana aku akan ke Bogor,” kata Tuminah, lalu, “Apa kamu mau ikut?” “Ngapain di Bogor?” “Ke rumah Pak Rachmat Wirjono. Mau ngasih tahu beliau soal berita bagus ini. Bagaimanapun, walaupun beliau sudah pensiun, dan selesai tugasnya di kantor, toh beliau masih tetap komit untuk mendukung aku menuntaskan perkara ini.” “Hm.” Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dari kantornya, dengan mobil yang kali ini distiri oleh Hidayat, Tuminah meluncur ke Bogor. Di rumah Rachmat Wirjono, tenggara kota Bogor, bagian permukiman Villa Duta, Tuminah menceritakan semuanya yang didapatnya dari mulut Bon Jovi di penjara Cipinang. Rachmat melengung mendengar cerita Tuminah tentang onggokan tanah yang ditumpuki pot tanaman hias di halaman belakang rumah Tebet itu. Seakan­akan Tuminah sudah me­ lihat sendiri onggokan tanah yang dimaksud. Memang, cara dia menutur sangat filmis, seperti dia sudah melihatnya, dan ceritanya itu membuat wajah Rachmat tampak begitu masygul. Rachmat pun menggeleng­geleng kepala dengan gerak yang lemau, kecewa, dan susah sangat mengatakan perasaan apa dan bagaimana yang ada dalam hatinya. Apakala dia mesti mengatakannya, maka dia akan berkata tanpa mengucapkan­ nya, dan itu tak terdengar oleh telinganya sendiri, apalagi telinga Tuminah. “Selalu kerakusan mendorong orang melakukan tindakan durjana,” katanya membatin, mata terbuka lebar, tiba­tiba te­ rasa lengai, diam sesaat, tercenung. Tapi, setelah itu dia menghembus nafas dengan membuka mulutnya, lantas berkata dengan sikap yang teguh dalam nada bicara yang derana: “Semua menjadi wewenangmu sekarang. Silakan bertin­ dak untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Lebih dulu, jangan lupa, bikin surat perintah untuk masuk ke halaman belakang rumah Tebet itu dan menggali onggokan tanah yang mencurigakan tadi.” “Ya, Pak. Dilaksanakan.” *** 913 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 160 TUMINAH memimpin penggalian tanah onggok yang mendelep di halaman belakang rumah Tebet. Ada beberapa orang polisi yang dipimpinnya menggali tanah onggok itu. Mula­mula mereka menyingkirkan pot tanaman hias di atas tanah itu, kemudian dua orang mencangkulnya. Polisi­polisi yang lain, yaitu Abulhayat, Rustam, dan Hidayat—yang dulu bertugas menyamar di rumah kayu­papan untuk meringkus Bon Jovi dan begundal­begundalnya—berdiri memperhatikan. Sedikit demi sedikit tanah dipaculi lantas disingkupi keluar dari liang, sampai akhirnya terlihat yang diinginkan itu. Pelan­ pelan singkup mengangkat tanah yang menimbun tulang­ belulang Todung yang masih terbungkus baju dan celana. Dengan hati­hati mereka yang menggali itu, membawa kerangka tulang dan tengkorak Todung ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut. 914 Remy Sylado Peluru yang ada di dalam kerangka ini diperiksa secara khusus, dan secepatnya dapat disimpulkan, berasal dari pistol milik Dharsana. Juga beberapa benda yang ada, masing­masing arloji di tulang tangan, cincin di tulang jari, kalung di tulang leher, serta dompet di saku celana, segera disimpan. Penemuan ini memang tak pelak merupakan sekak mati bagi berbelit­belitnya Dharsana. Dengan ini, maka karuan per­ kara Dharsana, menyangkut masa depannya, akan selesai. Tuminah menelefon Juminah untuk datang ke laborato­ rium, menyaksikan penemuan ini. Dan, selagi masih di sekitar laboratorium, sekeluarnya dari pintunya, Tuminah menelefon Rachmat Wirjono, me­ nyampaikan berita hebat ini. Kata Tuminah, “Pak, kami sudah menemukan tulang­ belulang yang diduga adalah Todung.” Rachmat lega, menjawab singkat, “Selamat, sukses.” Di saat yang hampir bersamaan Juminah menelefon Ibu Intan, menyatakan kegembiraannya. “Bu, besok kita temui Jaksa Untung,” katanya. “Tulang­ belulang yang diduga kuat adalah Todung sudah ditemukan di halaman belakang rumah Dharsana di Tebet.” Betapa takjubnya Ibu Intan mendengar itu. “Oh, Tuhan memang tidak tidur,” katanya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Setelah itu, lekas­lekas pada siang ini juga, ketika mata­ hari sedang berangkat ke barat, Juminah dan Ipong me­ macu mobilnya menuju ke Bogor, menemui istri Todung di Cangkurawok, timur luar pagar kampus IPB daerah Dramaga, mengajaknya ke Jakarta, melihat barang­barang milik Todung. 915 Demi melihat barang­barang itu, istri Todung, Teh Rum, langsung melelehkan airmata, tidak sanggup menjawab per­ tanyaan Juminah: apakah dia mengenal arloji, cincin, kalung, dan dompet yang kini disimpan oleh polisi. Dengan tidak menjawab, tapi menangis, maka Juminah segera menyimpulkan bahwa benar barang­barang yang di­ tunjukkannya itu adalah milik Todung. Namun, kata Juminah untuk membuat dirinya sendiri yakin pada apa yang dilihatnya, “Jadi Teh Rum kenal barang­ barang ini semua ya?” Teh Rum menangis terisak­isak. Jawabnya, “Cincin mas ini dibeli di Cikini. Suratnya masih saya simpan…” Juminah mengangguk­angguk. Tak ada kata yang di­ ucapkannya melihat kesedihan Teh Rum, kecuali dua huruf konsonan yang biasa dibunyikannya di mulutnya: “Hm.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sungguhpun jaksa sudah memiliki bukti mematikan terha­ dap penyangkalan Dharsana, sengaja tidak segera dibeber­ kannya. Malahan dalam sidang berikut dihadirkan Teh Rum untuk membuat pengakuan soal uang yang diberikan Dharsana kepadanya. Itu hanya kiat permainan ketegangan semata. Kepada Teh Rum sang JPU bertanya—dan tanya­jawab ini sudah direka dan dihafal di luar sidang—soal uang yang di­ berikan oleh Dharsana kepadanya. “Saudara pernah menerima uang dari Saudara Terdakwa?” tanya Untung kepada Teh Rum. “Ya, Pak.” “Uang untuk apa itu?” “Katanya: buat tambah­tambah belanja.” www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Kenapa Saudara diberi uang?” “Tidak tahu.” “Apa Saudara minta?” “Tidak.” “Bagaimana bisa begitu?” “Waktu itu saya datang bersama Bon Jopi ke rumah Pak Bos, mau menanyakan soal suami saya, Kang Todung. Lantas Pak Bos bilang suami saya mau dikasih kerjaan tapi tidak datang­datang.” “Saudara tidak curiga kenapa suami Saudara tidak datang­ datang lagi?” “Curiga kumaha, Pak?” “Bahwa misalnya suami Saudara itu sudah dibunuh de­ ngan menggunakan pistol otomatik yang selama ini dibawa­ bawanya dan diberi oleh Saudara Terdakwa.” “Mulanya tidak.” “Mulanya tidak bagaimana?” “Tidak curiga apa­apa.” “Sekarang Saudara curiga?” “Ya.” “Saudara curiga bahwa Saudara diberi uang supaya Sau­ dara diam tutup mulut karena suami Saudara sudah dibunuh dengan pistol otomatik itu?” Sebelum Teh Rum menjawab, Dharsana memegang tangan Luhut dengan kuat dan gemetar. Matanya menjadi liar. Maka Luhut mengacung, memprotes. “Ibu Hakim Ketua, saya keberatan,” katanya. “Ya,” jawab Ny Nanin Permadi mendengarkan. “Mestinya Hakim Ketua memotong pertanyaan Saudara Jaksa, sebab pertanyaan itu bukan lagi pertanyaan, tetapi per­ nyataan, dan sifatnya teror,” kata Luhut. “Saya mengkritisi sikap majelis hakim yang terhormat.” 917 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Meng­’apa’ kata Saudara?” tanya Ny Nanin Permadi enteng. “Mengkritisi, Ibu Hakim Ketua,” kata Luhut. “Seharusnya Ibu Hakim memotong pernyataan itu.” “Coba Saudara bicara dengan bahasa yang betul,” kata Ny Nanin Permadi, dan segera pengunjung tersenyum. Dengan congkak dan tengil Luhut berkata stel yakin, “Apa bahasa saya tidak betul?” “Ya,” kata Ny Nanin Permadi. “Saudara ikut­ikutan me­ makai istilah yang maunya menjadi eksklusif, ‘mengkritisi’, padahal ngawur dan ngaco. Apa sih ‘mengkritisi’ itu?” “Kalau majelis hakim tidak menghentikan pernyataan teror dari Saudara Jaksa, maka saya mengkritik.” “O?” Ny Nanin Permadi pura­pura terpesona. “Jadi, yang Saudara maksudkan itu ‘mengkritik’?” Lalu, “Ya, sudah pakai kata itu saja dong, ‘mengkritik’. Kenapa ‘mengkritisi’? Kritisi, dari bahasa Belanda ‘critici’ adalah nomina jamak. Tunggalnya ‘criticus’. Sama seperti ‘musicus’ dan ‘politicus’ untuk tunggal, dan ‘musisi’ dan ‘politisi’ dari ‘musici’ dan ‘politici’ untuk arti jamak. Sudah deh, Saudara jangan asbun­asbun.” Pengunjung ketawa, menertawai Luhut, senang melihat orang tengil dan congkak disikat di dalam sidang ini. Akhirnya, dengan dengki Luhut berkata, “Ya, begitulah.” “Begitu bagaimana?” cecar Ny Nanin Permadi. “Bahwa pernyataan Saudara Jaksa adalah teror, supaya Saudara Saksi terdaulat untuk masuk ke dalam jebakannya, bahwa seakan­akan suami Saudara Saksi dibunuh oleh klien kami.” Kelihatannya Ny Nanin Permadi memberi peluang bagi Untung untuk mengubah pertanyaan yang telah menjadi per­ nyataan itu. “Ya, keberatan Saudara Pengacara diperhatikan,” kata Ny Nanin Permadi. 918 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Luhut senang karena merasa diperhatikan protesnya. Namun, semuanya yang berada di dalam ruang sidang pengadilan ini, kecuali Ibu Intan, Juminah, dan Ipong, serta Tuminah di kursi belakang, sama­sama terperanjat, sebab Untung Surapati berdiri dari kursinya sambil mengacung, dan bicara lantang. “Memang saya tidak mengucapkan pertanyaan, tapi per­ nyataan,” kata Untung. “Pernyataan saya ini, harap dicatat, adalah Saudara Terdakwa memang seorang pembunuh keji. Dia membunuh suami dari Saudara Saksi, dan mayatnya di­ kuburkannya di halaman belakang rumahnya di Tebet.” Sekonyong wajah Dharsana pucat pasi seperti mayat yang terhisap darahnya. Mulutnya menganga, seperti melihat setan lewat, entah kapan terkatup. Untung sendiri tidak menyia­nyiakan waktu. Dia meminta izin kepada majelis hakim untuk mengambil bukti­bukti berupa arloji, cincin, kalung, dan dompet, serta peluru yang bersarang di tengkorak. “Nah, ini semua bukti­bukti yang didapat dari penggalian polisi di rumah Saudara Terdakwa, Ibu Hakim Ketua.” Mulut Dharsana masih menganga. Tanya Untung kepada Ny Nanin Permadi, “Apakah saya perlu menanyakan barang­barang ini kepada Saudara Saksi?” “Silakan,” kata Ny Nanin Permadi. Mulut Dharsana masih menganga. “Saudara Saksi, apakah Saudara kenal barang­barang ini?” tanya Untung kepada Teh Rum. “Ya,” jawab Teh Rum, terisak. “Surat cincin mas itu masih saya simpan di Bogor. Kang Todung dan saya membelinya di pasar mas Cikini empat­lima tahun lalu.” Mulut Dharsana masih menganga. Mulut itu baru tertutup setelah Ny Nanin Permadi berkata, “Apakah Saudara Terdakwa mau berkata sesuatu?” 919 Hotel Pro deo Mulut Dharsana memang tertutup, dan karenanya dia tidak bisa bilang apa­apa. Luhut sendiri bingung, tidak tahu harus bicara apa. Maka, akhirnya Ny Nanin Permadi memutuskan, “Kalau begitu, dalam sidang yang akan datang Saudara Jaksa boleh mengajukan tuntutannya.” “Siap, Ibu Hakim Ketua,” jawab Untung. “Setelah itu, giliran Saudara Pengacara menyiapkan juga pembelaannya.” Baik Untung maupun Luhut sama­sama menganggukkan kepala menyepakati kata­kata Ny Nanin Permadi. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 920 www.bacaan-indo.blogspot.com 161 USAI sidang, Dharsana dibawa kembali ke ruang belakang bangunan pengadilan untuk siap­siap diantar lagi ke sel ta­ hanannya. Anak­anaknya, Sri dan Singgih menemuinya di ruang belakang bangunan pengadilan ini, menangis, menyatakan kemarahannya pada Untung yang telah menghadirkan Teh Rum sebagai saksi di pengadilan ini. “Apa­apaan sih perempuan kampungan dihadirkan di pengadilan, disuruh melihat kalung dan cincin segala,” kata Sri, dengki sekali. “Apa urusannya, coba?” Aneh, mengapa kok Sri begitu benci pada Teh Rum. Barangkali Teh Rum salahsatu saksi perempuan yang dihadirkan di sidang pengadilan bapaknya. Jadi, ketika Sri mengata­ngatai Teh Rum sebagai ‘perempuan kampungan’, yang muncul dalam otaknya hanya dendam semata­mata ter­ www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo hadap sesama perempuan, yang di matanya menjadi penting disorot kamera­kamera TV. Artinya, ketika dia rumangsa Teh Rum menjadi penting, dan tampak diperlakukan sebagai perempuan yang dihormati dan diperlukan di dalam sidang pengadilan, maka dengannya dia mengukur dengan dirinya sendiri yang pernah diusir oleh Ny Nanin Permadi karena dianggap kelakuannya tidak sopan. Karuan terucapkan secara khisit dan sirik pernyataan lak­ nat yang tumbuh dari otaknya. “Ih, gua pengen bunuh deh itu perempuan kampungan,” katanya. Celakanya, Dharsana seperti menabuh gong, mendukung omongan Sri itu dengan sikap menyuntik anjing gila. “Apa yang kamu pikir benar, itu pasti benar, Ci,” kata Dharsana, dan bahkan bisa­bisanya dia menambahkan, “Manu­ sia yang ingin hadir memang harus sanggup membuat yang lain tersingkir.” Dan, syahdan, tiba­tiba Singgih seperti kerasukan roh ifrit pukimak. “Ya, ayo, kita singkirkan dia sekarang,” katanya. Singgih menarik tangan Sri, buru­buru keluar, mencari Teh Rum, apakah orang disebut ‘perempuan kampungan’ ini masih ada di sekitar pengadilan. Mereka girang, sebab ternyata Teh Rum memang masih ada di luar sana, sedang berjalan bersama Tuminah ke tempat parkir, ke mobil Tuminah, akan diantar pulang ke Cangkurawok, Bogor, ke rumahnya yang berbatasan dengan tembok kampus IPB itu. Lekas­lekas Sri dan Singgih ke mobil mereka—mobil Dharsana yang kini mereka pakai sehari­hari—dan siap­siap membuntuti mobil Tuminah. Mereka membuntuti dari jauh, dari jarak yang bisa melihat ke mana arah perginya mobil Tuminah. 922 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Di jalan tol Jagorawi mereka bisa melihat dengan mudah mobil Tuminah itu meluncur ke Bogor. Apa yang ada di dalam otak Sri saat ini? Jika yang diucapkannya, “gua pengen bunuh itu perempuan kampungan”, memangnya bagaimana caranya? Sepanjang jalan tol, sampai mobilnya keluar di pintu Bara­ nang Siang, Sri belum punya cara bagaimana membunuh orang yang disebutnya ‘perempuan kampungan’ itu, yang dalam waktu begini singkat telah membuatnya sangat benci. Di depan sana mobil yang distir oleh Tuminah sudah keluar di gerbang tol, masuk ke Bogor lewat Jl. Raya Pajajaran menuju ke arah Kedung Badak, belok ke kiri, Jl. Soleh Iskandar, yang lebih populer disebut Jalan Baru, kiri lagi ke arah kompleks perumahan Taman Yasmin, sampai di Terminal Bubulak ke kanan menuju IPB, melewati hutan Ciphor sampai Setu Gede, ke kanan dan setelah jembatan ke kiri, Cangkurawok. Tapi, agaknya Teh Rum tidak sampai di Cangkurawok… Melewati Bubulak, di jalan yang paling sepi dan sunyi menuju hutan Ciphor itu, Teh Rum minta diturunkan saja di kanan jalan, di mulut gang, karena dia ingin ke kampung situ menemui saudaranya yang tinggal di dalam sana. Melihat mobil Tuminah berhenti di sisi kanan jalan yang sepi dan sunyi ini, Sri dan Singgih ribut sendiri mempersoalkan berhentinya mobil Tuminah itu. “Pelan­pelan, pelan­pelan,” kata Sri kepada Singgih yang menyetir mobil ini. “Mau apa mereka berhenti di depan situ?” Dari jarak sekitar 70 meter di belakang mobil Tuminah, mereka melihat pintu kiri depan mobil Tuminah itu dibuka, dan bakal keluar dari dalamnya bukan yang menyetir tapi yang menumpang. Maka, baru saja kaki kiri Teh Rum menginjak tanah, cepat­ cepat Sri menyuruh Singgih menancap pedal gas. 923 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Ayo, maju, gas pol, tabrak perempuan kampungan itu!” kata Sri. Dan Singgih pun melakukannya. Dengan kencang sekali mobilnya melaju, lantas menabrak Teh Rum yang baru berdiri dengan kedua kakinya dan siap berjalan masuk ke dalam lorong di sebelah kanan sana. Tabrakan yang kuat itu mempelantingkan Teh Rum, mumbul setinggi satu meter dan terlempar sejauh sepuluh meter, lantas terinjak roda pula, dan pasti mati. Tuminah kaget sekali. Segera dia keluar dari mobilnya, menghampiri Teh Rum yang tergeletak di jalan aspal, tak bernyawa. Di jarak sekitar 50 meter di depan sana, mobil yang distir Singgih itu berhenti. Dari kaca spion dia melihat keadaan di belakangnya. Dia melihat Tuminah sedang berusaha meng­ angkat tubuh tak bernyawa itu untuk dibawa ke mobilnya. “Eh, pengacara si Intan”—dikiranya Tuminah adalah Juminah—“Mau mengangkat perempuan kampungan itu.” Sri pun menoleh ke belakang, melihat Tuminah masih berjongkok di depan mayat Teh Rum. Cepat­cepat dia suruh adiknya memutar mobil, balik ke belakang lagi. “Ayo, cepat, putar balik lagi ke sana,” kata Sri. “Sikat sekalian pengacara si Intan itu.” Maka Singgih pun melaksanakan yang disuruh kakaknya. Dia memutar balik mobilnya, kembali memacu dengan ken­ cang hendak menabrak Tuminah yang dikiranya Juminah. Melihat bahaya yang mengancam dirinya itu, Tuminah pun bangkit dari jongkoknya di hadapan mayat Teh Rum, segera mencabut pistolnya, mengarahkan langsung senjatanya ini ke sasaran orang yang hendak menabraknya. Satu dor, dua dor, tiga dor, empat dor, luar biasa, peluru­ peluru itu seperti sudah punya namanya masing­masing, me­ 924 nembus kaca mobil, lantas bersarang di kepala dan dada Sri dan Singgih. Dalam keadaan seperti terbang, mobil itu mabal di luar jalan, lantas langsung menabrak pohon, moncong ringsek, tutup bagasi terbuka sendiri, di mesinnya keluar asap, selesai, tidak ada tangis iba. Sampai sejauh ini, di jalan yang sepi dan sunyi ini, belum ada orang lain yang menyaksikan peristiwa hebat ini. Setelah Tuminah menelefon ke kantor polisi di Bogor, pada setengah jam kemudian datanglah polisi­polisi itu ke sini, memeriksa dan mengevakuasi. Tuminah menghembus nafas keluh. Dia hendak berkata sesuatu, bukan kepada siapa­siapa, tapi kepada dirinya sendiri. “Seseorang tidak pernah kandas kecuali karena kebodoh­ an,” katanya sendiri, dalam hati. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 162 JENG Retno di desa Borobudur sana—yang tiap harinya meng­ habiskan waktu di depan pesawat TV menonton apa saja— malah mengetahui berita kematian Sri dan Singgih, yang justru tidak diketahui oleh Dharsana. Dia tak peduli kematian Sri dan Singgih. Yang dia inginkan adalah kematian Dharsana. Maka, lagi­lagi, dalam keadaan dendam mengharapkan kematian Dharsana, setelah menonton tayangan sidang peng­ adilannya di TV, Jeng Retno segera menelefon Nia di Jakarta. Pada saat itu Nia kebetulan sedang sibuk dan repot me­ main­mainkan kakinya di atas pedal kopling, pedal rem, dan pedal gas di Jl. Gatot Subroto, salahsatu jalanan paling macet di Jakarta pada setiap Jumat sore antara magrib dan isya. Mendapat sambungan telefon dari Jeng Retno yang bicara­ nya sulit diguguh, dan di jalanan yang macet pula, merupakan pengalaman tersendiri yang memusingkan pikiran, tapi yang terpaksa dinikmati saja sebagai kutukan khas Jakarta. 926 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya, ada apa, Mbak?” kata Nia setelah melihat nama Jeng Retno yang tercantum di dalam kaca kotak ponselnya. “Aku kepingin ke Jakarta, Nia,” kata Jeng Retno. “Oh, ya, mau minta dikirimi lagi uang untuk ongkos tiket pesawat?” kata Nia dalam pertanyaan sindir sekaligus tem­ pelak. “Oh my God,” kata Jeng Retno dengan kalimat tawanan yang paling disukainya itu. “Begitu ya begitu tapi mbok ya jangan begitu toh ya.” Tapi Nia mendesak. “Lantas? Kan begitu toh?” “Shit!” kata Jeng Retno. “Emangnya gua gila?” Nia ketawa. “Ha­ha­ha.” “Kenapa ketawa?” kata Jeng Retno gemas, lantas menandas tegas. “Hei, benar nih. I’m OK. You may ask me anything to jog my brain. Aku sehat. It is well with my soul.” Lagi Nia ketawa. “Ha­ha­ha.” “Huh, ketawa lagi lu,” kata Jeng Retno jengkel. “Gini lo, Nia, dengar ya. Aku kepingin ke Jakarta, melihat bagaimana hakim memvonis itu iblis, deuce, damn it! Biar dia mampus.” “Oh ya?” Nia hanya sekadar menyambung kata dalam ragu. “Are you sure, Mbak?” “Emangnya kenapa sih?” kata Jeng Retno, merengut, sete­ ngah geram, tapi bicaranya lancar. “Aku baru saja nonton TV nih. Menurut berita TV, tanggal 4 bulan depan nanti jaksa akan membacakan tuntutannya. Pasti rame. Aku mau ke Jakarta…” Dan ujug­ujug, tanpa alasan apa­apa, Jeng Retno menyanyi dengan suara sember. Yang dinyanyikannya alih­alih adalah lagu populer Koes Bersaudara: “Ke Jakarta, aku kan kembali­i­i Walau apa pun yang kan terjadi…” Lalu ujug­ujug pula, tanpa alasan apa­apa, Jeng Retno me­ matikan ponselnya. 927 Hotel Pro deo Nia menggaruk­garuk kepala, merasa geli, tapi juga gon­ dok, lantas mengutruk. “Dasar edan,” katanya sendiri. Tapi apakah pernyataannya itu benar merupakan pe­ nilaian yang mengandung pengertian medis, ataukah sekadar pengertian sosial yang lazim dalam pergaulan? Nia tidak mau bilang ya untuk kedua pengertian yang ber­ beda itu. Soalnya, dia tidak pernah yakin pada dirinya sendiri, melihat keadaan Jeng Retno yang kasatmata. Yang bisa dia simpulkan tanpa harus mewacanakannya, adalah keadaan Jeng Retno itu tidak sama dengan keadaan putrinya Mayang. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sekarang apa yang dilakukan Jeng Retno di rumah ibu­ kandungnya di desa Borobudur ini? Nia tidak bisa melihat. Di rumah yang tidak berzice, kecuali karpet di atas ti­ kar rotan untuk bersila, Jeng Retno kembali menonton TV. Maksudnya, dia memang bersila di atas tikar penjalin lapis karpet di depan TV itu, tapi tampaknya dia tidak menyimak gambar­gambar bergerak yang tersaji di situ. Pikirannya menerawang ke suatu tempat. Ke mana itu? Agaknya di matanya terlihat Nusakambangan, tempat sua­ minya Iskandar mati pada sekian tahun silam. Mengapa dia melihat Nusakambangan di matanya? Yang benar, dia bukan melihat, tapi dia mengingat, artinya membayangkan dengan aktif akan keadaan pulau penjara itu. Lalu, di luar maunya—ini hadir dengan sendirinya, sangat kuat, dan bahkan memaksa—muncul kalimat­kalimat yang ter­ susun rapi di benaknya. Kalimat­kalimat itu seperti rangkaian ekawicara yang menawan kemauannya untuk tidak bebas dari kungkungan takdir, dan ajaib dia menyukainya. 928 Bolehkah Nia menyimpulkan gila dalam pengertian medis jika dia tak punya cukup indra yang bisa mendengar suara hati yang ada dalam diri Jeng Retno saat ini? Kalimat­kalimat yang ada di dalam benak Jeng Retno ini benar­benar pelik, antara asap dendam dan bara kesumat. Ajaib, memang, ekawicara ini bisa terangkai dengan kalimat­kalimat yang jelas. “Hai haram jadah Dharsana. Aku tidak membiarkan diri­ ku pikun untuk melupakan aib yang kamu tumpahkan pada harkatku. Kepada paduka iblis, pangeran atas segala durjana, aku sudah meminta supaya menjemputmu di neraka. Aku tulis sumpahku ini di semua patung yang ada di Candi Borobudur. Betapa sakitnya aku. Sampai­sampai badanku ringkih. Semua minyak gosok aku beli untuk membalur badanku ini, mengganti minyak wangi yang dulu membuat aku percayadiri pada kecantikanku…” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 163 NANTI Nia terkejut, sebab pagi­pagi benar di hari libur ini, Minggu tanggal 3—yang besoknya akan dilangsungkan sidang penuntutan jaksa Untung Surapati terhadap DB Dharsana— muncullah Jeng Retno di rumahnya: rumah yang memang harus dikatakan miliknya, tapi sudah ditinggalkannya sejak peristiwa aib itu, dan sekarang dimanfaatkan oleh iparnya. Di rumahnya yang berlantai dua ini tidak terlihat perubah­ an apa­apa yang boleh dibilang menyolok, kecuali warna din­ ding bagian luar dan dinding bagian dalam yang seluruhnya dilabur biru muda. Warna ini terasa bakupar dengan jok pada zice dan sofa serta gorden, daun pintu, bingkai jendela, dan kusen yang sama­sama berwarna biru tua. Pembantu yang melayani Nia di rumahnya ini, ternyata masih juga Yayu, perempuan setengah baya yang penuh pengertian, dan mengetahui betul semua rahasia Jeng Retno soal kehidupan seksnya sampai tiba hari nahas itu. 930 Remy Sylado Yayu yang membukakan pintu gerbang ketika Jeng Retno memencet bel di luar. Dia berlutut memegang tangan Jeng Retno, saking senangnya, menyambutnya tanpa sedikitpun merasa syak kalau­kalau keadaan bendaranya ini masih seperti yang pernah dikatakannya sendiri tempo hari: kesambet roh jahat. “Mana Nia?” tanya Jeng Retno sambil berjalan masuk ke dalam rumah. “Masih tidur tuh, Jeng,” sahut Yayu. Lalu, sambil mengetuk pintu kamar, Jeng Retno memanggil nama iparnya itu dengan keras dan riang. “Nia! Ayo bangun! I’m home nih.” Nia bangun dan bangkit dari ranjang, cepat­cepat keluar dari kamar, terkejut memang, bahwa Jeng Retno berada di rumahnya ini, lantas segera memeluk iparnya itu. “Kok nggak bilang­bilang,” kata Nia. “Lo?” kata Jeng Retno, melepas rangkulan, berjalan ke kursi di ruangmakan, duduk di situ. “Aku kan sudah bilang minggu lalu, kepingin ke Jakarta, mau nonton sidang pengadilan itu si iblis keparat.” “Ya,” kata Nia. “Sidangnya besok.” Yayu membungkuk di hadapan Jeng Retno. “Kopi susu, Jeng?” “Tidak,” kata Jeng Retno. “Kopi tubruk, Yu, please.” Sambil duduk di kursi depan Jeng Retno yang diantarai meja, Nia menyambung, “Saya kopi tubruk juga, Yu.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Dengan kopi tubruk di cangkir yang mulai dihirup panas­ panas, kedua perempuan beripar ini telah langsung membahas hari depan dengan menggagas menjual rumah milik Jeng Retno yang kini ditempati oleh Nia. “Terusterang aku ingin menjual rumah ini, Nia,” kata Jeng Retno, huruf­huruf terucap dengan jelas. “Aku tidak mau tinggal 931 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo di Jakarta lagi. Aku ingin tinggal di Jawa Tengah, di Magelang, persisnya Borobudur, bukan Yogya, Solo, atau Semarang. Maksudku, kalau rumah ini terjual, aku akan beli tanah di sekitar perbukitan atas Amanjiwo, di mana aku bisa melihat matahari di belakang stupa candi Borobudur…” Nia mengangguk. Pertanyaannya berikut ini mungkin ngeres, mengingat dia pernah menyebut iparnya ini ‘tamasya’, tapi kadung terucapkan dalam keadaan ragu semata. “Lantas Mbak mau kawin dengan siapa di sana?” kata Nia. Di balik pertanyaan yang kebacut lepas dari mulutnya ini, Nia masih dibayangi sangsi: apakah iparnya ini tidak sakit seperti selama ini kepalang dicap begitu? “Kawin?” kata Jeng Retno, ketawa, tapi tidak alami, sekadar ketawa­ketawaan. “Maksudmu: nikah? Oh my God. No way.” “Kenapa?” “Nikah itu merupakan gagasan jelimet menyatukan pikiran dan perasaan yang tidak mungkin kembar. Itu tidak realistis, Nia. Makanya lebih bagus seperti kamu ini, hidup lajang, tapi tidak menolak seks. Sebab, sampai mati pun, tidak pernah ada manusia yang bisa menyatukan pikiran dan perasaan yang secara alami memang beda dan harus berbeda. Nah, istilah ‘menyamakan persepsi’ itu seratus persen harus dianggap melecehkan HAM. Dengan kata lain, menyatukan pikiran dan perasaan dalam pernikahan dengan sumpah dan janji setia, sehidup­semati yang dicatat di KUA, sungguh merupakan gagasan jelimet yang tidak realistis dengan perkembangan zaman: zaman dengan realitas adanya bank sperma, inseminasi, bayi tabung, operasi selaput dara, KB, dan seterusnya…” Nia kaget, terpukau, mata terbelalak. Pikiran yang serta­ merta melintas dalam sadarnya adalah: ternyata Jeng Retno bisa berbicara dengan kalimat yang urut, dan dengan logika yang menarik, setidaknya logika yang dianggapnya sahih, diba­ 932 www.bacaan-indo.blogspot.com ngunnya sendiri di dalam potensi rohaninya yang adikara. Karena kaget dan terpukau melihat lancarnya Jeng Retno berbicara soal kehidupan yang belum dialami oleh Nia, maka Nia memilih diam, termenung, sambil menunggu saja kata­ kata apa lagi yang bakal diomongkan oleh iparnya itu. Buru­buru Jeng Retno melengkapi pokok pikirannya yang adikara itu. Katanya, “Nah, itu beda dengan kawin, Nia. Kawin tidak sama dengan nikah. Kawin adalah urusan naluriah. Kawin itu merupakan gagasan sederhana menyatukan hanya tubuh, hanya badan, hanya daging, dalam rasa sama­sama suka, sama­ sama senang, sama­sama perlu. Dalam kawin ada rasa ke­ menangan yang indah setiap kali manusia menghadapi dorong­ an seksnya dengan partner yang bukan terikat dalam pernikahan dengannya, tapi dengan suami orang yang melangsungkan kawin, yaitu sekadar menyatukan kelamin dalam kesepakatan suka sama suka dengan kita. Di situ getaran kemenangan yang indah itu mewujud melebihi keindahan larik­larik puisi Edgar Allan Poe dan interval­interval simfoni Ludwig von Beethoven. Nah, coba kamu bayangkan betapa indahnya kita, perempuan, dalam keadaan telanjang, telentang, melipat dan menjepit kaki lelaki yang berada di atas tubuh kita, sambil menyesuaikan gerakan­gerakan yang dilakukan oleh lelaki itu…” Nia termangu. Pikirannya makin jernih melihat keadaan Jeng Retno yang tulen. Dari kalimat­kalimat panjang yang baru diucapkan Jeng Retno itu, barulah Nia berani menentukan pe­ nilaian yang semestinya terhadap iparnya ini. “Gilanya bukan masalah medis, tapi masalah etis,” kata Nia dalam hati. “Dia tidak membutuhkan dokter, tapi barangkali kyai atau pastor.” *** Lantas, kembali soal gagasan hendak menjual rumah. “Rumah ini tidak membawa damai,” kata Jeng Retno. “Makanya, aku ingin jual cepat, supaya bisa membeli cepat juga Hotel Pro deo di Borobudur sana, di mana aku dambakan kedamaian itu.” Nia tidak menanggapi. Dia hanya menatap dengan pan­ dangan yang nyanyang. Diam. Sebab, siapa tahu besok­ besok pikiran Jeng Retno berubah lagi, bukan menjual tapi mengontrakkan saja. Karenanya Jeng Retno bertanya, “Bagaimana pendapat­ mu?” Jawab Nia seadanya, “Iskandar itu kakakku, Mbak istrinya, jadi istrinya yang berhak menentukan, apakah rumah ini mau dijual atau tidak.” “Setidaknya ini baru angan­angan,” kata Jeng Retno. “Tapi setiap orang hidup harus punya angan­angan yang mewujud jadi cita­cita untuk mengubah hidup. Aku harus berubah, Nia. Many people find it difficult to accept change. I am not.” “Great,” kata Nia. “Omong­omong, kalau Mbak ingin men­ jual rumah ini, Mbak ingin berapa?” “Tidak tahu, Nia,” jawab Jeng Retno. “Tapi, rasanya harga tanah di Jakarta untuk 400 meter, kira­kira bisa mendapat 4000 meter di desa. But, like I said, I don’t know. Bagaimana pendapatmu? Apa itu mungkin?” “Aku juga tidak tahu, Mbak,” kata Nia. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 934 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 164 HARI demi hari sebelum sidang lanjutan yang akan mende­ ngarkan tuntutan jaksa pada tanggal 4 bulan depan, Dharsana terkimbang­kimbang menunggu Sri dan Singgih datang men­ jenguknya di rumah tahanan, dan dia tidak tahu bahwa kedua anaknya itu sudah mati karena ulah mereka sendiri. Ketika Luhut menemui Dharsana di tahanannya itu untuk membahas poin­poin yang mesti dipunyainya untuk dijadikan bahan tangkisan menghadapi tuntutan Untung pada sidang tanggal 4 tersebut, maka di situlah Dharsana menyatakan tidak tahannya membendung rasa rindunya berjumpa dengan kedua anaknya itu. Dia meminta Luhut menemui kedua anaknya untuk datang menjenguknya di rumah tahanan ini. “Saya merasa tidak enak,” kata Dharsana, “Sudah bebe­ rapa hari ini Sri dan Singgih tidak menemui saya. Padahal keda­ 935 www.bacaan-indo.blogspot.com tangan mereka di rumah tahanan ini dan di sidang pengadilan, sungguh merupakan pemacu semangat buat saya.” “Tulis surat saja, Pak,” kata Luhut, “Nanti saya berikan kepada mereka.” Tak segera Dharsana menjawab itu. Dia terdiam lebih dulu, termenung, seolah­olah kehilangan cadangan kata. Yang terucap hanya, “Ya.” Luhut pun memberi secarik kertas dengan vulpen Mont Blanc palsu seperti juga arlojinya sama Mont Blanc palsu. Buru­buru Dharsana menulis di secarik kertas itu, me­ nyuruh kedua anaknya segera datang menjenguknya. Surat ini dibawa Luhut ke rumah tempat kedua anak Dharsana itu tinggal bersama ibu mereka: yaitu bekas istri Dharsana, istri pertama, yang ditinggalkannya tersia­sia dalam keadaan lumpuh. Istri Dharsana itu ke pintu dengan kursiroda, menyambut Luhut, menerima surat yang hanya secarik kertas tanpa amplop ini dengan airmuka yang menunjukkan rasa ragu bercampur wasangka. Sambil memegang roda kursinya dengan tangan kiri, bekas istri Dharsana ini meraih kertas surat tanpa amplop itu dengan tangan kanannya. “Itu dari Bapak buat Sri dan Singgih,” kata Luhut. Bekas istri pertama Dharsana tak berkata apa­apa. Dia hanya memegang surat itu dengan wajah gundah­gulana. Pandangannya terlihat kosong menembusi sekat waktu dengan ingatan­ingatan harubiru yang tak gampang ditolaknya. Mana­ kala dia mesti menyatakan isi hatinya, maka dia berkata dengan susah, bahwa kehidupan di balik sekat waktu itu tidak mungkin kembali lagi. Sambil menahan kesusahan, akhirnya bekas istri Dharsana berkata, “Takdir tidak lagi mempertemukan ayah dengan anak.” *** www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Pernyataan itu dihafal Luhut untuk kemudian pada ke­ esokan harinya dikatakannya pada Dharsana di rumah tahanan­ nya. Mendengar itu Dharsana sedih, namun tetap tidak meng­ erti bahwa bekas istrinya itu sudah berkata dengan ungkapan sanepa tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi atas kedua anaknya Sri dan Singgih. Rasa sedih itu kemudian berangsur mempengaruhi jiwanya dan melenyaikan raganya. Setelah itu, dia merasa seperti dihantui rasa sepi, sendiri, dan sebatangkara. Di saat seperti begini memang Dharsana terlambat mem­ bangun rasa optimisme di ceruk sukmanya. Kebalikannya, kepalang perasaan pesimisme pelan­pelan menguasai jiwa­ raganya. Karenanya dia termangu terlama­lama, sepanjang malam, sampai pagi, dan berlanjut siang, ke sore, dan malam lagi. Keesokan harinya, ketika Luhut datang lagi ke sel taha­ nannya, sebuah keputusan aneh, ajaib, tapi nyata, diucapkan dengan tasdik oleh Dharsana. “Kalau begitu, tolong bawa surat saya kepada ibu dari anak­ anak saya itu,” kata Dharsana. “Saya akan tulis surat kepadanya, bahwa saya membutuhkan dia untuk sekadar duduk saja di antara pengunjung­pengunjung sidang, mengikuti bacaan tun­ tutan jaksa sampai vonis hakim.” “Baik, Pak,” kata Luhut. “Kapan surat Bapak itu saya bawa kepadanya?” “Sekarang,” jawab Dharsana yakin sekali, mendambakan harapan. Lantas, buru­buru dia menulis surat dengan vulpen Mont Blanc palsu milik Luhut, di atas kertas kuarto yang diberikan oleh pengacaranya itu. Suratnya dimulai dengan keanehan dalam menyapa wa­ nita yang melahirkan Sri dan Singgih tersebut, yaitu, dia menyebutnya: Mama Vi, dan dirinya: Papa. Begini suratnya: Mama Vi 937 Hotel Pro deo Aku merasa hari­hariku makin kelam. Sambil meminta maaf dan ampun darimu atas kesalahanku selama ini, dengan ini mohon tolong, hadirlah dalam sidang pengadilan yang sedang berjalan ini, mulai dari tuntutan jaksa, pembelaan advokat, sampai vonis hakim. Aku sungguh sangat berharap, sumpah demi Allah, keha­ diranmu di sidang pengadilan akan membuat aku bersema­ ngat. Tolonglah aku, Mama Vi. Sekali lagi, maaf dan ampun atas semua kesalahanku ke­ padamu selama ini. Dari aku yang merindukan uluran tanganmu. Papa Surat ini dibawa oleh Luhut pada hari itu juga, sembari menunggu sampai hari tanggal 4 yang ditentukan oleh majelis hakim untuk mendengarkan tuntutan jaksa. Maukah bekas istri pertama Dharsana—yang melahirkan Sri dan Singgih itu—hadir dalam persidangan yang dimaksud? www.bacaan-indo.blogspot.com *** 938 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 165 SIDANG tanggal 4 hari ini—di mana barangkali Untung akan menuntut hukuman berat terhadap Dharsana: entah hukuman mati atau barangkali seumur hidup, dan semuanya bergantung pada vonis hakim di sidang yang lain—memang dihadiri oleh Jeng Retno. Sebelum ke gedung pengadilan itu, selagi masih sarapan di rumahnya, Nia berkata kepada Jeng Retno, bahwa jika iparnya ini ingin duduk di depan untuk bisa menyaksikan lebih dekat wajah­wajah orang yang berperkara—antara terdakwa, jaksa, pembela, hakim, dan penggugat—haruslah berangkat pagi­ pagi ke sana. Sebab, kata Nia lagi, masyarakat awam dan para mahasiswa hukum serta pers yang ingin meliput jalannya sidang pengadilan ini, seperti yang sudah­sudah, luar biasa ramai, dan selalu ditandai dengan bangku­bangku yang tersedia di 939 www.bacaan-indo.blogspot.com dalam ruangan penuh suksukan manusia dengan berbagai bau: keringat bercampur minyak gosok dan minyak wangi. Sejak dinyatakan sakit, dan menyingkir di Borobudur, Jeng Retno sendiri tidak lagi sibuk menyemprot­nyemprotkan minyak wangi di bagian­bagian tubuhnya. Sejak itu malah dia akrab sekali dengan minyak­minyak gosok. Sebagaimana selalu dia katakan sendiri dalam monolog yang sepenuhnya diboboti oleh rasa dendam, bahwa akibat peristiwa nahas dulu itu, dia sakit—mulanya hati, lalu seluruh badan—hingga dia ringkih, kerap merinding kedinginan, dan karenanya dia terbiasa me­ makai sejumlah minyak gosok untuk sewaktu­waktu digahar di tubuhnya itu. “Aku tidak perlu duduk di depan ruang pengadilan,” kata Jeng Retno. “Aku malah memilih duduk di kursi paling belakang. Yang penting, aku bisa ketawa di sana. Kalau ada telor busuk, aku akan lempar ke muka si iblis itu.” Nia ketawa alakadar untuk menunjukkan pedulinya. Lalu, “Mbak begitu dendam.” “Ya,” sahut Jeng Retno, dan tanpa sadar dia melisan se­ suatu yang mengejutkannya sendiri. “Sebetulnya aku ingin, mbok pengadilan meminta aku jadi saksi, supaya aku akan bilang di depan batang hidung si iblis, bahwa yang membunuh Mas Iskandar itu adalah DB Dharsana.” Wajah Nia mendadak sontak mengencang. Dia amat tercengang. “Apa?” kata dia dengan eksklamasi yang meninggi tapi dengan lafal yang bergetar bagai ejakulasi tapi asli merupakan bentuk artikulasi syak­wasangka. Sungguh! Nia tidak menduga akan mendengar pengakuan Jeng Retno yang luar biasa itu. Maka, dia mendesak Jeng Retno untuk menggali kebenaran yang mungkin terendap menjadi rahasia di dalam diri iparnya itu. Remy Sylado “Mbak, bilang: Dharsana yang membunuh Mas Is? Bagai­ mana? Bagaimana caranya? Bilang, Mbak!” Desakan itu membuat Jeng Retno balik terkejut pula. Dia bingung mendapat pertanyaan curiga seperti itu. Secepatnya dia mencari dan menemukan cara menyatakan penyangkalan dengan kalimat penolakan yang diharapkannya bisa segera menghapus kemauan untuk bertanya­tanya. “Ah, tidak,” kata Jeng Retno. “Aku cuma berprasangka.” “Tapi kelihatannya Mbak mengatakan dengan rasa percayadiri yang pasti,” kata Nia menguji. “Tidak,” kata Jeng Retno menandas dengan kesan sungguh. “Seperti aku bilang: aku berprasangka. Barangkali sebab selama ini aku terpengaruh oleh tontonan TV, bahwa semua orang yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan Dharsana, menyatakan si iblis itu biangkerok tindakan kejahatan itu. Jadi, gampang­gampangan saja aku menyimpulkan: siapa tahu kematian Mas Is itu ada hubungannya dengan si iblis. Ya, Nia, oh my God, aku cuma berprasangka buruk doang. Swear!” Apologia Jeng Retno ini kelihatannya lumayan meyakin­ kan. Karuan, Nia terpaksa percaya pada apologia itu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Besoknya Jeng Retno pergi seorang diri ke pengadilan. Dia masuk ke ruang pengadilan sejam sebelum sidang dimulai, duduk di kursi paling belakang, seorang diri, sebatang kara, sambil mengipas­ngipas mukanya dengan kipas kertas buatan Cikarang tapi bercap Made in USA. Niscaya tidak seorangpun yang pernah mengenalnya di masa lalu akan mengenalnya sekarang. Sebab, dia datang ke ruang pengadilan ini dengan mengenakan busana tradisional bangsa­bangsa Semit, yaitu Arab dan Yahudi—dan sebagai bu­ sana tradisional, ini sama­sekali tidak berkasad agamawi, atau 941 Hotel Pro deo katakanlah bukan pakaian keagamaan seperti banyak disangka orang—berupa kain hitam tipis yang mencadar wajahnya. Di kursinya itu Jeng Retno duduk anteng, lungguh, dan sangat tak acuh kepada siapapun, menunggu dengan sabar sampai majelis hakim membuka persidangan. Setelah kursi­kursi dan bangku­bangku di dalam ruang pengadilan ini dipenuhi pengunjung—dan baik terdakwa dan pengacaranya maupun jaksa dan penggugat beserta pembelanya sudah duduk pula di tempatnya masing­masing— maka pas pada jam 10.10 Ny Nanin Permadi menyatakan si­ dang ini dibuka, dimulai dengan bicara pendahuluan tentang pengadilan ini, lantas setelah itu memberi kesempatan kepada jaksa Untung Surapati untuk membacakan tuntutannya terhadap Dharsana. Dharsana layu, loyo, dari tadi mengarahkan mata ke pintu, melihat kalau­kalau orang yang diharapkannya, yang di dalam surat kepadanya disebutnya Mama Vi, akan hadir di ruangan ini untuk memberinya semangat, sesuai dengan harapannya. Namun, apa boleh buat, Mama Vi tidak hadir… www.bacaan-indo.blogspot.com *** 942 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 166 TAPI, sekonyong­konyong terjadi keributan di pintu masuk ruang pengadilan. Semua pengunjung yang berada di dalam ruang sidang terpepas untuk melihat ke sana. Di situ, di pintu masuk, muncul Mama Vi dengan kursi­ rodanya, meminta dengan suara lantang kepada orang­orang yang berdiri di situ, supaya minggir, sebab dia ingin masuk ke dalam. Petugas yang menjaga di situ menahan kursirodanya, menghalaunya untuk masuk. Maka Mama Vi pun menghardik dengan suara lengking sehingga Hakim Ketua Ny Nanin Permadi mengangkat tangan ke arahnya setelah mengetuk meja. 943 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Ada apa itu?” Mama Vi menampakkan diri dengan menerobos orang­ orang di pintu itu lantas mengimbau dari situ. “Bu, tolong saya,” katanya pada Ny Nanin Permadi. “Saya memang benci pada terdakwa Dharsana itu, tapi saya datang ke sini untuk memberinya semangat. Sebagai istri yang disia­siakannya selama ini saya terpanggil untuk memenuhi permintaannya supaya hadir di sini, memberi semangat meng­ hadapi hukumannya.” Mula­mula, tentu saja Dharsana yang merasa tergetar hati melihat kehadiran bekas istrinya itu. Setelah itu, semua orang yang berada di dalam ruang sidang, baik Ibu Intan yang dinikahi secara resmi oleh Dharsana, maupun Jeng Retno yang sekadar selingkuh dengan Dharsana, sama­sama terkejut karena kehadiran Mama Vi yang tak di­ sangka­sangka di situ. Dan, demi melihat keadaan Mama Vi yang payah di atas kursirodanya, maka perasaan kewanitaan Ny Nanin Permadi sertamerta timbul di hatinya, sehingga atas dasar itu juga dia mengizinkan Mama Vi masuk. Ny Nanin Permadi bahkan me­ nyuruh petugas pengadilan memberi tempat untuk Mama Vi di sisi kiri depan ruang sidang. Kemudian, setelah meminta semua orang tenang, Ny Nanin Permadi memberi lagi waktu kepada Untung Surapati untuk melanjutkan bacaan tuntutannya yang terdiri dari 29 lembar kertas folio. Namun, di luar dugaan lagi, niscaya karena suasana dalam ruang sidang ini sumpeg sekali oleh manusia­manusia, semen­ tara dalam bertahun­tahun lamanya Mama Vi hidup tenang di rumahnya dan tidak bergaul dengan lingkungan tetangga lantaran keadaan fisiknya yang lumpuh itu, maka terjadi gaduh lagi yang menghebohkan pengadilan. Ya! Astaga! 944 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Tiba­tiba Mama Vi ambruk dari kursirodanya. Dharsana hendak berdiri, untuk barangkali ingin meno­ longnya, tapi segera ditahan petugas supaya duduk di tempat. Dan bagaimana dengan Jeng Retno? Jeng Retno tidak hirau samasekali. Yang terpanggil untuk menolong wanita malang itu adalah Ibu Intan. Ibu Intan segera berdiri dari kursinya dan bergegas men­ datangi Mama Vi, menolongnya. “Cepat, bawa keluar,” kata Ibu Intan setelah memperhati­ kan dengan cepat dan dengan cepat pula menyimpulkan keadaan tubuh Mama Vi. Dalam pikiran Ibu Intan, Mama Vi keracunan: gejala yang kelihatan pada awalnya sehat tapi mendadak sakit. Petugas pengadilan segera melaksanakan yang dipinta Ibu Intan, membawa Mama Vi keluar ke luar. Di luar, Ibu Intan menyuruh menelentangkan tubuh Mama Vi itu ke atas meja yang kebetulan ada di situ. Dalam keadaan begini dia melakukan pernafasan buatan untuk mengeluarkan udara yang mampet di paru­paru. Ibu Intan mengerti benar apa yang dilakukannya, sebab selain dia punya masalah dengan nafasnya sehingga ke mana­ mana dia membawa inhaler, dia juga suka membaca buku ten­ tang penyakit, sehingga dia tahu pula gejala­gejala toksikologi umum tetang apa yang diderita Mama Vi saat ini. Sambil memandang wajah wanita malang yang telentang di hadapannya, Ibu Intan iba, menguatirkan akan kemungkinan yang diketahuinya dari bacaan­bacaan tentang penyakit, bahwa agaknya ada sisa racun di dalam lambung, dan karenanya mesti dipaksakan muntah dengan cara merangsang dinding faring atau hulu tenggorok dengan memberikan obat­obat tertentu— tapi tentu obat­obat itu tidak ada di pengadilan—misalnya apomorfin 5­10 mg subkutan. 945 www.bacaan-indo.blogspot.com Karena di pengadilan ini tidak ada obat itu, maka yang gampang dicari dan ditemukan di sini adalah garam dapur. Bergegas­gegas Ibu Intan ke kantin, membeli garam dan segelas air hangat, lalu mengaduk­aduknya, lantas mencekok dua sen­ dok teh ke mulut Mama Vi. Ibu Intan melakukannya dengan welasasih, dan karenanya sangat hati­hati. Kiranya dia tahu, kalau andainya Mama Vi dalam keadaan parah, misalnya koma, tindakan yang di­ upayakannya, supaya Mama Vi bisa muntah, sangatlah riskan. Dia tahu, berdasarkan apa yang pernah dibacanya itu, bahwa dalam merangsang: muntah, untuk lavage lambung, bisa terjadi robek pada esofagus. Tapi, jika Mama Vi dibawa ke dokter, niscaya dokter pun akan melakukan tindakan sama seperti yang dilakukan oleh Ibu Intan ini. Malahan, dia tahu juga, bahwa sering dokter yang gugup menghadapi pasien dalam kasus penyakit seperti Mama Vi ini, harus sembunyi­sembunyi di belakang pasien membaca dulu vademecum perobatan antara pengobatan antidotum kimiawi dan antidotum fisiologik. Ternyata yang dilakukan Ibu Intan berhasil menyembuh­ kan Mama Vi dari keracunannya di ruang sumpeg tadi. Kendati begitu Mama Vi tidak dibolehkan masuk kembali ke ruang pengadilan untuk menyaksikan jalannya sidang tun­ tutan jaksa terhadap Dharsana. Luhut, atas nama Dharsana memprotes itu, tapi Ny Nanin Permadi teguh pada keputusan yang dikatakannya: demi kemanusiaan. *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 167 MAKA kembali Ny Nanin Permadi mempersilakan Untung Surapati membaca tuntutannya itu. Yang menarik dari tuntutan jaksa dalam naskah prose­ kusinya adalah, di bawah judulnya dihiasi dengan aforisme yang dipetik dari sebuah karya filologi awal tarikh Masehi ciptaan Seneca yang kini telah menjadi proverbia (mestinya dalam bahasa Latin tapi di sini dikutipnya dalam terjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia): “Vices creep into our hearts under the name of virtues— Kejahatan merasuk hati kita di bawah nama kebajikan.” Kemudian, dengan merinci semua keterangan saksi dan bukti­bukti kejahatan yang didapat selama persidangan, dan sudah juga dibeber di pengadilan ini, maka pada lem­ bar penghabisan dari naskah tuntutannya, akhirnya Untung Surapati meminta kepada majelis hakim, melalui pertimbangan 947 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo yang disebutnya berkeadilan Pancasila, supaya segera mem­ vonis hukuman mati terhadap Dharsana karena kejahatan­ kejahatannya itu. Kontan wajah Dharsana berubah kecut. Luhut menepuk­nepuk bahu kliennya sebagai cara bukan lisan untuk menyabar­nyabarkannya dan menjanjikannya pengharapan. Ny Nanin Permadi tersenyum di kursinya, semata untuk tidak membuat pengadilan ini menjadi tegang. Setelah itu, dia berkata kepada Luhut untuk menyiapkan pembelaannya dalam dua minggu ke depan. Di luar gedung, setelah pengunjung semua keluar ke luar, tampak sejumlah orang—termasuk khususnya Juminah dan Ipong serta Ibu Intan di antara para rohaniwan Ahmadun, Ignatius, dan Nyoman yang sama­sama berdiri—bergunjing dan berspekulasi, bahwa kemungkinan besar vonis hakim nanti akan jatuh pada kalimat hukuman seumur hidup. “Itu dugaan saya,” kata Juminah. “Tidak soal itu,” kata Ibu Intan. “Yang penting, kejahatan harus dikalahkan oleh kebaikan, ya toh?” Karena ujung kata Ibu Intan diucapkannya dengan me­ mandang Ignatius Susetyo, maka rahib SJ ini menjawab de­ ngan bayan: “Itu memang premis paling dasar dalam drama­drama klasik Yunani: Aeskhylus ataupun Sofokles.” Sekadar menyatakan simpai yang sambil­lalu Ipong ber­ kata kepada Ibu Intan: “Kelihatannya Ibu merasa tunai dengan benci Ibu pada Dharsana.” Ibu Intan mengelak. Pernyataannya berikut ini jelas meng­ acu pada koreksi atas pikiran Ipong. 948 Remy Sylado “Saya benci pada kejahatan yang dilakukan olehnya,” kata­ nya berandang. “Kejahatan bisa saja terjadi pada semua orang, seperti yang dilakukan olehnya.” “Itu memang betul,” kata Ahmadun mengimbuh. “Perang terjadi karena ada benci yang tidak bisa diobati. Obat paling mujarab untuk menyembuhkan benci adalah cinta.” Nyoman menyambung pula. Katanya, “Perang dan damai itu merupakan tema besar dalam karyanya Leo Tolstoy.” Ipong kembali ke pikirannya tadi. Katanya, “Tuntutan jaksa itu jelas. Dharsana adalah penjahat. Jadi, yang jahat orangnya, yang menyebabkan timbul tindakannya.” Ibu Intan tidak secara menjurus menanggapi pernyataan Ipong, sebaliknya lebih khusus memindai dirinya sendiri. “Bagaimanapun, saya pernah bodoh, memberi cinta pada orangnya, menerimanya sebagai suami,” katanya. Juminah segera menyudahi percakapan itu. Katanya, “Ayo, mari kita pulang.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Jeng Retno sudah pulang dari tadi. Tidak ada yang memperhatikan dia. Hanya Tuminah, yang duduk juga di deret paling belakang ruang sidang, secara kebetulan saja melihat Jeng Retno lewat di depannya, dan sempat mencium bau minyak­minyak gosok dari angin yang terjadi oleh langkahnya yang cepat. Tapi dia tidak peduli. Lagi pula dia tidak bisa melihat wajah Jeng Retno berbusana Semit: seluruh badan, mulai dari kepala sampai kaki terbungkus kain berwarna gelap. *** 949 Hotel Pro deo 168 www.bacaan-indo.blogspot.com DUA minggu setelah itu, pada kesempatan mendengarkan tanggapan Luhut atas tuntutan Untung—dan ini menarik per­ hatian khalayak yang mempelajari hukum—tampak serangan­ serangan Luhut, yang dimaksudkan sebagai tangkisan verbal, tidak mengena pada pokok persoalan pidana yang diperkarakan. Serangan yang dimaksudkan sebagai tangkisan atas tuntutan Untung itu berlangsung seperti: hidung yang gatal, telinga yang digaruk. Yang dipanjang­panjangkan oleh Luhut dalam tangkisan­ 950 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado nya ini cuma memanfaatkan pengakuan saksi Bon Jovi yang sepenuhnya tidak gathuk dengan konten perkara pidana Dharsana, sebab Bon Jovi dijebloskan ke penjara hanya dalam catatan ‘terbukti’ sebagai garong yang hendak merampok di rumah kayu­papan. Pleidoi yang lemah itu, yang hanya memakan 10 lembar kertas kuarto, toh disertai dengan catatan bertele­tele pula me­ nyangkut soal asas legalitas yang berkaitan dengan perundang­ undangan pidana yang justru belum rampung dibahas di DPRRI, antaranya bunyi Pasal 1 dan Pasal 2 RUU KUHP, bahwa “tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang­undangan yang berlaku pada saat itu dilakukan,” dan “dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi,” dengan keras dihantam oleh Untung pada giliran dia memberi tangkisan balik model defensi verbal terhadap Luhut. Di luar kebiasaan, Ny Nanin Permadi memberi keleluasaan kepada Untung untuk mengagak­agihkan defensi verbal itu ter­ hadap Luhut yang menangkis sambil menyerang. Ada sepuluh poin yang dikemukakan oleh Untung dalam menanggapi acuan hukum yang dicari­cari cantelannya oleh Luhut itu, yang dijawab dengan cendekia dan dengannya me­ nunjukkan di depan sidang ini bahwa Untung Surapati bukan kelas sarjana hukum yang sembarangan. Beberapa poin mena­ rik dari sepuluh poin yang diajukannya itu adalah: “Pertama, tatanan nilai dalam masyarakat sedang berubah menuju masa depan yang modern, maka oleh karena itu asas le­ galitas yang seyogyanya diterima berdasarkan realitas Indonesia, dengan sendirinya tidak bisa mutlak, sebab dampaknya secara praksis bisa menjadi bersifat diktatorial dalam pengejawantah­ an peradilannya, yaitu, satu dan lain hal karena hukum kita 951 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo pun mengakui adanya lex non scripta, hukum tak tertulis, yang bersinambung dalam budaya nasional kita mencakup sendi­ sendi moral; dan pemagaran terhadap asas legalitas itu sebagai lex temporis delicti, samasekali tidak bisa dihubungkan dengan perubahan perundang­undangan yang tengah digodog di DPRRI tanpa memperhatikan realitas sosial yang kasatmata dalam masyarakat tradisional yang majemuk sebagai penyumbang budaya nasional kita tersebut. Sementara, larangan untuk memberlakukan analogi tentang orang yang bisa dipidana walau perbuatannya tidak diatur dalam perundang­undangan, sungguh merupakan suatu paradoks dalam lucus a non lucendo paling absurd dalam peradaban kita.” Untung mengimbau untuk bersikap realistis terhadap ta­ tanan yang sedang berubah, tapi juga memperhatikan dengan takzim akan ketentuan­ketentuan etis yang dihayati masyarakat menyangkut kaidah­kaidah kemanusiaan yang diwariskan masa lalu. Di ujung tanggapan panjang yang membuat semua pe­ ngunjung dalam ruang sidang terdiam, termasuk juga majelis hakim di depan sana, akhirnya Untung sampai pada simpul yang sudah dikemukakan di sidang yang lalu. Katanya, “Atas dasar semua itu, maka sekali lagi, mengu­ lang tuntutan yang sudah kami kemukakan pada waktu lalu, adalah suatu keputusan yang adil sesuai dengan keadilan Pancasila, agar majelis hakim menghukum Saudara Terdakwa dengan hukuman yang seberat­beratnya, yaitu hukuman mati.” Orang­orang terdiam. Dharsana menunduk kepala. Juminah, Ipong, dan Ibu Intan saling tatap. Tuminah keluar dari ruangan, langsung ke tempat parkir. Nia tak terlihat di sana. Begitu juga Jeng Retno. 952 www.bacaan-indo.blogspot.com *** Di mana Jeng Retno ketika jaksa dan pembela serang­ menyerang mempersawalakan undang­undang pidana tadi? Setelah sidang tuntutan jaksa yang lalu itu, tiba­tiba Jeng Retno berkata mau pulang ke Borobudur, dan sekonyong­ konyong, sak­deg sak­nyet dia angkat koper lantas berangkat ke Gambir, dengan keretaapi malam ke Yogyakarta, dan me­ nyambung perjalanan ke Borobudur dengan kendaraan seke­ temunya. Walau tak menyaksikan sidang di ruang pengadilan, toh Jeng Retno menonton sawala itu dalam tayangannya di TV, sambil seperti biasa bersila di serambi depan rumah dengan minyak­minyak gosok di dekatnya, Lalu, seperti yang sudah­sudah pula, sehabis menonton tayangan itu, dia menelefon Nia di Jakarta. “Nia, aku akan ke Jakarta nanti pada saat hakim meng­ kalimatkan vonisnya kepada si iblis,” katanya. “Aku lihat di TV, bahwa vonis hakim itu akan dibacakan pada bulan depan tanggal 13.” “Ya, ya,” kata Nia, kesannya tak berselera. “Kamu tahu, Nia, angka 13 itu angka sial, jadi itu memang hari sialnya Dharsana. You know, I believe in superstition.” “Ya, ya,” kata Nia mengulang jawabannya yang tadi, yang kesannya tak berselera itu. “Sekalian, Nia, kita bahas kembali deh soal rumah,” kata Jeng Retno. “Enaknya dikontrakkan apa dijual saja ya?” “Terserah Mbak Retno saja,” kata Nia. “Monggo mawon.” *** Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 169 INI harinya, tanggal 13, yang dipercaya Jeng Retno—menurut tahayul bangsa­bangsa Barat—sebagai hari sial bagi Dharsana, sebab pada angka 13, jatuh pada hari Kamis, atau lazim juga disebut hari keempat, sementara bilangan 4— menurut leluri Cina yang sedikit diketahui Ibu Intan, dibaca: mati—merupakan hari terakhir bagi Ny Nanin Permadi untuk mengkalimatkan vonisnya terhadap Dharsana. Dengan mengatakan bahwa Dharsana berbelit­belit, ber­ penampilan arogan, dan bersikap tidak sopan—setali tiga wang dengan Luhut pengacaranya—maka dalam vonisnya, hakim ketua memerintahkan untuk segera menjebloskannya ke penjara, bukan hukuman mati seperti yang diisyaratkan oleh Untung—dan sudah diduga sebelumnya oleh Juminah— melainkan hukuman seumur hidup, dan akan dikirim ke Nusakambangan. 954 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Bacaan vonis yang dikalimatkan oleh Ny Nanin Permadi itu sertamerta membuat Ibu Intan berdiri riang­ria dari kursinya di dalam ruang pengadilan ini, mengangkat kedua tangannya sambil menengadah ke langit­langit, mengucapkan sesuatu yang tidak didengar oleh orang lain, tapi diketahuinya sendiri sebagai ucapan syukur kepada yang maha rahimi dan maha rahmani di aras­Nya. Hatta, yang diungkapkannya tapi tak diucapkannya, atau yang dinyatakannya tapi tak dilisankannya, adalah kata­ kata elok yang terendap dalam pikiran dan tercadang dalam perasaan. “Tuhan sudah menunjukkan yang benar adalah yang benar, dan yang adil adalah yang imbang, bahkan kalaupun semua orang bilang salah dan bilang batil, kenyataannya yang benar tetap benar. Terimakasih, ya, Tuhan. Dari sini aku belajar, bahwa aku mesti memahami kehidupan sebagai sesuatu yang lebih indah untuk dihayati ketimbang dipikiri, lebih elok dialami ketimbang digagasi. Karena akal selalu ada batasnya sementara hati tem­ bus ruang dan waktu. Aku makin mengerti, sekarang, bahwa dalam lingkaran hidup ini harus ada yang mesti diabaikan, dan ada pula yang mesti dipedulikan. Tidak ada kesumat yang aku pelihara di dalam hidupku ini. Aku sekarang plong. Terimakasih Tuhan, ya, terimakasih…” Lantas apa pula kata Jeng Retno mendengar vonis itu? Dia, yang mengharapkan kematian Dharsana karena terpeliharanya kesumat di dalam hidupnya, ternyata tak berkata apa­apa. Dengan busana tradisional bangsa­bangsa Semit yang telah menjadi mode khusus hanya dalam menghadiri sidang peng­ adilan, dia gandrung membatin kata­kata serapah. Kalaupun dikasih telor busuk yang dibayangkannya bagus untuk dilem­ par ke muka Dharsana, itu tak akan dilakukannya. Niscaya dia punya rencana lain, rencana yang mungkin lebih kena dibilang 955 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo gila, yang hanya dia sendiri tahu jalannya. Entah jalannya di Cipinang atau entah pula di Nusakambangan. Dari vonis yang dibaca oleh Ny Nanin Permadi, Jeng Retno tahu, bahwa Dharsana akan dibuang ke Nusakambangan. Sebelum dikirim ke pulau­penjara di seberang Cilacap itu, Dharsana dijebloskan dulu di Cipinang. Di Hotel Pro Deo paling besar, di Jl. Bekasi Barat, wilayah Jakarta Timur ini, Dharsana pun langsung menjadi hanya sekadar daging dengan nomer. Begitu dia masuk di Hotel Pro Deo peninggalan zaman Belanda ini—yang sekarang memang bukan lagi disebut menurut ba­ hasa Belanda gevangenis atau bahasa Indonesia dulu bui atau terungku atau lokap atau penjara melainkan Lembaga Pemasyarakatan—dia pun langsung didekati oleh sipir, dan di­ ajukan tawar­menawar gaya pasar tradisional: mau dikurung di blok yang enak selnya disertai sejumlah fasilitas dengan harga sekian­sekian, atau cukup saja di sel yang biasa­biasa dengan tarif yang lebih murah. Sebelum mengalaminya sendiri, selagi masih di dalam tahanan, Dharsana sudah diberi tahu tentang itu oleh Rachmat Wirjono. Di luar dugaannya, arkian Rachmat datang mengunjungi Dharsana di dalam tahanannya ketika yang disebut ini akan dibawa ke penjara Cipinang itu. Rachmat prihatin sangat me­ lihat Dharsana. Dari Rachmat inilah—yang katanya diketahui­ nya dari seorang narapidana kasus korupsi—bahwa di penjara Cipinang yang akan didiami oleh Dharsana untuk sementara sebelum ke Nusakambangan, banyak berlangsung praktik pungli dan pemerasan. Ketika Rachmat muncul, awalnya Dharsana menunjukkan sikap permusuhan yang sengit: benci, kecewa, dendam, dan seterusnya. 956 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Namun Rachmat menunjukkan sikap semadyanya, mem­ buka diri, dan tulus. Dia menjanjikan akan menolong Dharsana selama dalam penjara Cipinang. Dari Rachmat ini pulalah Dharsana mengetahui keadaan di dalam penjara sebelum dia mengalaminya sendiri. Yang dikatakan Rachmat sebelum Dharsana masuk ke penjara itu, adalah, “Sudah menjadi desas­desus santer bahwa penjara Cipinang itu memang sudah menjadi Hotel Pro Deo yang diingat dengan siasat dan cara akal­akalan para sipir untuk mencari keuntungan. Mereka menyebutnya cito. Ini artinya narapidana harus menyetor sekurangnya Rp8.000.000,00 se­ bagai pengajuan untuk bisa keluar dari penjara itu antara jam 06.00 sampai jam 20.00. Dan, ada 14 lembar amplop yang harus diisi uang Rp150.000,00 untuk dibagi­bagikan kepada petugas yang berjaga; “Kalau ada yang begitu­begitu, kamu hubungi aku, Dhar. Aku memang sudah pensiun, tapi sebagai teman, aku akan membantu kamu sebisa yang aku sanggup; “Kalau soal mendapat kamar di lantai dua, aku dengar tarifnya sampai Rp20.000.000,00, aku memang tidak sanggup, tapi kalau cuma memberi kamu ponsel, aku bisa.” Rachmat tidak bilang bahwa dia dengar juga dari nara­ pidana yang disebutnya itu, di blok­blok khusus, para nara­ pidana bisa berhubungan dengan luar melalui laptop.1 Dharsana melengung. Nanti dia akan mengalaminya sen­ diri. Entah berapa lama dia akan ditaruh di Cipinang sebelum akhirnya dihukum seumur hidup di Nusakambangan tanpa di­ jenguk oleh siapapun. Sebab, anak­anaknya sudah mati, dan sampai hari ini dia 1 Isi dialog dalam bagian tandakutip sepanjang 4 alinea di atas semuanya diambil dari catatan majalah Tempo, 17 Januari 2010. 957 Hotel Pro deo belum mengetahui persisnya. Lantas bagaimana dengan Luhut? Setelah vonis itu, Luhut bahkan tidak punya keinginan apalagi kemauan untuk banding. Dia takkan pernah disebut orang untuk kebajikan. Dia seperti hilang. Ke mana? Entah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Yang tak seorangpun menduga, seminggu setelah Dharsana mendekam di penjara Cipinang, justru yang datang menjenguknya adalah Ibu Intan. Maka, bukan alang­kepalang herannya Dharsana mene­ rima tamu yang sungguh tak diduganya. Beberapa tel dia melongo seperti dilewati setan ancol. Ya, begitulah kenyataannya, Dharsana yang sombong, yang angkuh, dan yang congkak, sekaligus yang bersukma kayu, yang berhati batu, dan berkalbu gamping, sekonyong­konyong menangis hebat di hadapan Ibu Intan, tanpa sepatahpun kata yang bisa terucap di mulutnya. Ibu Intan sendiri tidak menduga keadaannya akan menjadi seperti ini. Dia hanya diam, duduk tenang, melihat itu dengan tidak melibatkan perasaan apa­apa. Setelah terisak­isak beberapa detik, barangkali karena mesti menyatakan sesuatu dengan benar, barulah Dharsana sanggup berhuruf­huruf. Huruf­hurufnya pun disadarinya sa­ ngat terbatas. Lebih nyata huruf­huruf itu terendap di sukma sebagai tawanan. Namun huruf­huruf yang terucapkan ini, kiranya merupakan wujud dari penyesalan yang pelik sekaligus tidak berguna. Sebab, sekali lagi, keadaannya ibarat nasi sudah menjadi bubur. Bahkan iblis pun tidak bisa menolongnya. Huruf­huruf yang terucapkan ini adalah, “M­a­a­f­k­a­n 958 www.bacaan-indo.blogspot.com a­k­u.” Dharsana melafalkannya terbata­bata, terputus­putus, tergaguk­gaguk. Dan, kata Ibu Intan, amat bayan, disertai wajah yang berseri­seri, “Aku sudah maafkan kau, Dharsana.” “Terimakasih,” kata Dharsana. “Tapi,” kata Ibu Intan melanjut, “Aku datang ke sini seka­ rang untuk mengatakan yang sejujurnya, bahwa aku justru tidak memaafkan diriku sendiri yang telah bertindak amat bodoh memercayai seorang pengkhianat. Tapi, aku terpanggil untuk mengingatkan kau. Mudah­mudahan kau bertobat. Sebab, kalau maut datang menjemputmu di dalam penjara—di Cipinang sini atau di Nusakambangan sana—dalam keadaan tidak bertobat, itu akan berarti kau cuma menambah­nambah jumlah populasi penghuni neraka sebagai sekutu Beelzebul.” Dharsana tertempelak, termangu, dan terbengong dengan airmata yang terus membasahi pipinya tanpa kemauan me­ nyekanya. “Oh, ya,” kata Ibu Intan mengalihkan topik percakapan sebelum menyudahi pertemuan ini, “Apa kau sudah tahu anak­ anakmu Sri dan Singgih sudah tidak ada?” “Apa?” kata Dharsana, “Apa maksudnya?” Ibu Intan tidak menjawab. Dia berdiri dan bergerak mun­ dur, siap pergi. “Selamat siang,” katanya. “Tunggu,” pinta Dharsana. “Selamat siang,” kata Ibu Intan lagi sambil pergi. Dharsana tak sanggup mengejar. Dia berdiri kaku. *** Hotel Pro deo 170 www.bacaan-indo.blogspot.com IBU Intan sekarang lega. Beban yang dipikulnya dalam pikirannya selama ini sungguh­sungguh sudah berlalu. Kepada semua handaitaulan dia sampaikan terimakasih lewat kartupos berwarna jambon—lazimnya ini warna Valentine—bukan SMS dan bukan juga imel, bahwa selama ini mereka semua itu telah mendukungnya untuk memenangkan perkaranya. Kartupos itu sebenarnya merupakan undangan kepada handaitaulan tersebut untuk datang ke rumahnya, sekaligus merayakan hutnya yang kesekian. Tak disebutnya angkanya. *** Pas pada waktu bersamaan, Dharsana kebetulan dipin­ dahkan dari Cipinang ke Nusakambangan: penjara yang se­ sungguhnya untuknya, sebagai tempatnya seumur hidup, 960 Remy Sylado sebagai karmanya, tanpa siapa­siapa yang menjenguknya, memperhatikannya, mempedulikannya, namun juga tidak berarti tanpa orang­orang yang bersedia lupa akan kejahatan­ kejahatannya. Mayang jadi gila, dan barangkali tidak akan sembuh, ter­ masuk bagian dari kejahatannya. Ibukandung Mayang, Jeng Retno, barangkali memang bukan gila, tapi bisa melakukan tindakan yang gila­gilaan, kare­ na melengketnya dendam kesumat di dalam hatinya, karena menurutnya diperlakukan jahat oleh Dharsana. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Orang­orang yang mengenal Dharsana, yang hadir di pesta kecil hut Ibu Intan ini, bergunjing tentangnya. Di pesta kecil ini terlihat orang­orang yang selama ini dekat dengan Ibu Intan dan memberi dukungan kepadanya. Mereka adalah Rachmat Wirjono dan istri, Lukman dan istri, Untung Surapati dan istri, Juminah dan Tuminah, Ipong, Nia, dan James Winata yang jauh­jauh datang dari Australia, serta tentu saja para rohaniwan dari Rumah Rukun (yang rumahnya sudah hancur): Ahmadun Najib, Ignatius Susetyo, Nyoman Supendit. Sebelum Ibu Intan mengucapkan sambutan ‘resmi’ rasa terimakasihnya kepada tamu­tamunya itu, tamu­tamunya itu saling tutur latarbelakang masing­masing dalam keakraban yang mudah terbangun di rumah kayu­papan. Nia kebetulan duduk di sebelah Ahmadun dan istri Rachmat. Maka pada Nia lebih dulu terjalin keakraban itu dengan Ahmadun yang baru dikenalnya di sini. Ahmadun bertanya dan Nia menjawab. “Anda keluarga Ibu Intan?” 961 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Oh, bukan, hanya bersahabat,” kata Nia. “Dan Anda?” “Saya diminta berdoa di sini, bersama­sama itu dan itu,” kata Ahmadun menunjuk Ignatius dan Nyoman. “Saya akan berdoa secara Islam, dan mereka, ikhwan­ikhwan saya itu akan berdoa secara Katolik dan Hindu. Kami dari Rumah Rukun.” “O ya? Apa itu? Apa itu semacam LSM?” “Bukan. Kami orang­orang bersepakat, seperti gagasan Gus Dur, untuk menjadi bangsa Indonesia rukun dengan Pancasila, dengan asas bhinneka tunggal ika.” “Menarik sekali,” kata Nia sekadar memberi apresiasi. “Di mana pusat kegiatannya?” “Kami memang masih mencari tempat yang baru, sebab tempat kami yang lama ikut hancur pada peristiwa Mai 1998, dan sampai sekarang kami masih mencari tempat yang cocok.” “Cocok? Cocok yang bagaimana?” tanya Nia. Dia langsung membayangkan rumah Jeng Retno yang sekarang dimanfaat­ kannya. “Cocoknya di wilayah tertentu: Jakpus, Jakbar, Jaktim, Jaksel, atau Jakut?” “Yang sedikitnya punya enam ruang,” kata Ahmadun. “Oh? Saya mengerti,” kata Nia, dan lagi dia mengingat­ ingat rumah Jeng Retno, menghitung­hitung kamar­kamarnya, tapi tidak berkata apa­apa, sebab percakapan terhenti, berhubung Ibu Intan sudah berdiri di depan sana. Di tempatnya Ibu Intan berdiri sambil memegang kedua bahu Mimit—yang sudah dianggapnya sebagai anaknya— menyampaikan rasa sukacita kepada orang­orang yang hadir di rumahnya ini. Katanya, “Saya berbahagia sekali sebab Anda semua ber­ kenan datang ke rumah saya ini. Sebenarnya, selain merasa plong karena beban saya sudah berlalu, saya pilih hari ini untuk mengundang Anda semua ke sini, sebab pas pada hari ini saya 962 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado merayakan ulangtahun saya yang kesekian. Ah, saya tidak mau bilang. Ini rahasia setiap perempuan yang takut menjadi tua. Ya, dalam setiap kali merayakan ulangtahun, seperti hari ini, saya menyadari, bahwa bertambahnya usia satu tahun dalam ulangtahun, juga pengertiannya adalah berkurangnya waktu satu tahun itu dari masa kehidupan yang telah tersurat dalam takdir saya. Takdir itu sepenuhnya bagian dari rahasia kerahmanan dan kerahiman ilahi, khalik serwa sekalian alam. Dengan pengertian itu saya bermaksud mengatakan kepada kita semua, bahwa porsi kehidupan kita di atas bumi ini sudah ditentukan oleh Tuhan. Setiap kali manusia berkata ‘bertambah usia’ maka sebenarnya di situ berlaku juga ‘berkurang usia’. Maksudnya, dalam ulang­ tahun, saya menyadari bahwa tambah usia itu senantiasa harus dianggap berkurangnya porsi kehidupan dalam takdir yang mengikat keberadaan saya. Yang namanya takdir, mesti saya terima sebagai bagian urusan Tuhan yang sudah ditentukan­Nya jauh sebelum manusia lahir pun. Nah, begitu saja yang ingin saya sampaikan kepada Anda semua, seraya mengucapkan yang lupa saya katakan tadi, pernyataan terimakasih, thank you, merci beaucoup, dank u wel, matur nuwun, nuhun pisan…” Para tamu undangan bertepuk tangan memberi takzim kepada Ibu Intan disusul dengan nyanyian yang paling men­ dunia: Happy birthday to you! Lalu, tiga rohaniwan dari tiga agama, yang pertama Ahmadun Najib, kedua Ignatius Susetyo, dan ketiga Nyoman Supendit, melafal doa masing­masing sebelum para tamu me­ nikmati santap malam yang silakan pilih sendiri sesuai selera: mi Medan, gulai ikan Padang, karedog Bandung, gudeg Yogya, timlo Solo, rawon Surabaya, soto Kudus, sate Madura, konro Makassar, woku Manado, dan semuanya halal. Doa sang ustad ditutup dengan kata­kata “Laa hawla wa laa quwwata illa billaahi tawakkaltu ‘alal hayyil­ladzii yamuut, walhamdu lillaahil­ladzii lam yattakhidz shahibatan wa laa wa 963 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com ladaa, wa lam, yakun lahu syariikun fil mulki walam yakun lihu wa lyyun minadzdzuli, wa kabbirhu takbiraa.”1 Semuanya mengikuti doa itu dengan diam, menundukkan kepala, bersikap khusyuk. Sikap ini tetap terjaga pada giliran doa yang dua berikut ini. Doa yang kedua dari sang Jesuit ditutup dengan nyanyian “Ave Maria gratia plena, Dominus te cum, benedicta tu in mulierbus at benedictus fructus ventris tui Iesus, Sancta Maria, Mater Dei, ora pro nobis peccatoribus, nunc et in hora mortis nostrae, Amen.”2 Doa Nyoman dimulai dari hafalannya Sloka 9.26 Bhagavad­ Gita “Patram puspa phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakty­upahrtam, asnami prayatatmanah.”3 Kemudian, ramahtamah dalam arti sejati—yaitu terjalinnya perasaan sama­sama manusia yang memiliki sikap batin yang berbeda lantaran kerja alat driya masing­masing yang tidak sama—tercipta dalam suasana senang menghadapi hidangan makan. Orang­orang yang makan sebagai kebutuhan untuk hidup—dan hal itu tidak terjadi pada saat orang­orang hanya menjadikan lapar sebagai persoalan alami tapi juga makan sebagai persoalan asasi dalam kebersamaan seperti saat ini— maka di situ ramahtamah tersebut menjadi bagian penting dari isyarat adab, dari kerangka budaya, dari tujuan tamadun. Demikian semuanya merasakan tanpa mesti memikirkannya. Kini semuanya memilih makanan sesuai selera. Nama­ nama makanan yang telah disebut itu semuanya dipesan dari 1 Tiada daya kekuatan kecuali karena pertolongan Allah, aku tawakal penuh pada yang maha hidup tak pernah mati, segala puji bagi­Nya yang tiada beranak dan tak bersekutu di kerajaan­Nya, tak perlu perlindungan karena lemah, agungkan Dia sepenuhnya. 2 Salam Maria penuh rahmat, Tuhan sertamu, terpuji engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu Yesus, Santa Maria bunda Allah, doakan kami orang berdosa, kini dan saat kami mati, Amin. 3 Jika seseorang mempersembahkan daun, bunga, atau air dengan alasan cinta bhakti, Aku akan menerimanya. 964 www.bacaan-indo.blogspot.com restoran yang mewakili asal kotanya, yang tidak sulit didapat di Jakarta. Sambil menggigit sate dan hendak mengunyahnya, James Winata mendekati Rachmat Wirjono yang duduk di pojok. Selain untuk hendak beramah­ramah, James Winata juga ber­ maksud menghormati dengan percakapan yang lumrah dalam basabasi. “Sehat, Pak?” kata James Winata. “Ya, alhamdulillah,” jawab Rachmat. “Dan Anda sendiri?” “Ya, sama, Pak,” jawab James Winata. “Tetap hidup, he­ he­he.” Wabakdu, sesuatu yang dikatakan oleh Rachmat Wirjono membuat James Winata keselek. Kata Rachmat, “Tentu, tentu, Anda harus hidup. Sebab: bukan manusia yang menentukan kematianmu tapi Tuhan.” Tidak hanya keselek, juga piring yang dipegang oleh James Winata lepas dari tangannya, jatuh ke lantai, dan pecah. Ber­ samaan dengan itu James Winata berlutut di hadapan Rachmat Wirjono disaksikan semua tamu yang sama­sama kaget. “Astaga, saya ingat betul,” kata James Winata. “Saya tidak lupa ucapan itu. Itu memang ucapan Bapak. Bapaklah malaikat yang selama ini saya cari­cari.” “Sudahlah,” kata Rachmat Wirjono. “Berdirilah, ayo. Jangan berlutut begini. Ini tidak patut buat saya. Saya bukan sultan.” “Saya harus soja pada Bapak,” kata James Winata berkeras. “Kalau bukan Bapak, memang saya sudah mati. Sekarang saya ketemu malaikat saya. Selama ini sudah berulang kali saya bertanya pada Pak Wahid Rukmono di kedutaan RI di Canberra yang membawa saya ke Melbourne, tapi beliau bilang tidak kenal pada orang yang memintanya untuk mengantar saya ke Hotel Pro deo Australia. Ternyata malaikat itu adalah Bapak. Terimakasih, Pak, terimakasih.” Rachmat merasa canggung. Dia menepuk bahu James Winata yang soja di hadapannya, di bawah kursinya, menyuruh­ nya berdiri. “Sudahlah,” katanya lagi. “Duduklah di kursi. Kita sama­ sama manusia. Saya bukan malaikat.” “Ya, tapi hati Bapak malaikat.” “Ah, tidak, jangan terlalu berlebih­lebihan.” Semua menyaksikan adegan ini dengan perasaan yang berbeda­beda, tapi juga disertai haru dan bertanya­tanya. Diam­diam Tuminah mengagumi bekas atasannya itu. Namun, dia bertanya­tanya di dalam hati, apa alasan Rachmat menolong James yang waktu itu sekarat. Dan bagaimana Rachmat tahu bahwa James malam itu dibunuh oleh orang­ orang suruhan Dharsana? Pertanyaan itu menggodanya untuk melisankannya. Tapi fokusnya saat ini adalah makan, dan makan dalam sebuah pertemuan seperti malam ini memang merupakan wujud dari arti ramahtamah yang sebenarnya. Pertanyaan yang muncul dalam pikirannya ini nanti saja ditanyakan pada Rachmat Wirjono, di tempat yang lain dan waktu yang lain pula. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 966 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 171 Tuminah mengajak Juminah ke Bogor, ke rumah Rachmat Wirjono. Karena hari ini hari libur, jalanan yang disebut ‘bebas hambatan’ Jagorawi lumayan padat, apalagi di jam­jam men­ jelang siang, sehingga mobil­mobil tersendat di pintu tol me­ nuju Ciawi. “Kamu tahu,” kata Tuminah sambil memegang stir mobil­ nya. “Aku penasaran lo, kenapa kok Pak Rachmat itu bermain jadi malaikat.” “Kamu curiga?” tanya Juminah. “Tidak samasekali,” jawab Tuminah. “Aku justru kagum. Kok masih ada polisi baik seperti dia.” Juminah ketawa, mengejek. Katanya, “Oh, ya, itu berarti kamu mengakui di lembagamu itu banyak penjahatnya.” “Lo, iya, di Amerika juga kan ada istilah ‘bad cop’ dan ‘good cop’.” 967 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Ho’oh, tapi di Indonesia lebih banyak ‘bad cop’­nya.” “Prek. Tak antem lo kamu.” Juminah ketawa. Katanya, “Ngono wae kok nesu.” “Nggak,” kata Tuminah serius. “Dari Pak Rachmat memang ada pengetahuan tentang kepribadian polisi yang harus aku pelajari.” “Kalau soal, kenapa dia mau jadi malaikat, mungkin itu ada hubungannya dengan nilai sentimental masa lalu.” “Kira­kira menurutmu, apa latarbelakangnya?” “Kita tidak pernah tahu kecuali Pak Rachmat sendiri yang mengatakan itu kepada kita.” Tuminah mengangguk disertai dengan bunyi dua huruf yang khas sebagai ciri kebiasaan kembar ini, “Hm.” Lalu, Tuminah memacu kencang mobil yang distirnya, nyaris dikatakan ngebut, menyalip mobil­mobil lain yang ada di jalan tol, ingin cepat tiba di rumah Rachmat. Dalam pikirannya, dia ingin segera mendapat jawaban dari bekas atasannya itu soal pertanyaan menarik mengenai kepribadian polisi yang teladan. Sebelum berangkat tadi, dia menelefon dulu, mengatakan bahwa dia bersama kembarnya Juminah akan ke sana. Dia tahu, bahwa kalau dia tidak menelefon lebih dulu, boleh jadi Rachmat Wirjono dan istrinya tidak berada di rumah. Di rumah Rachmat, sang nyonyarumah menyambut se­ pasang kembar ini dengan keramahan yang sangat Indonesia: artinya orang Indonesia bisa menyenangkan melebihi jinaknya merpati dan patuhnya domba, tapi bisa juga memuakkan me­ lebihi kemprohnya celeng dan liciknya ular. Namun, dalam keramahan yang khas Indonesia—sebagai entah karunia surgawi atau kutukan neraka—sambil duduk me­ nikmati asinan khas Bogor, Tuminah mengutarakan maksud­ nya datang ke sini. “Begini, Pak,” katanya. “Bapak kan sudah janji untuk se­ waktu­waktu bertanya pada Bapak.” 968 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Ya,” kata Rachmat, maunya memberi jeda, tapi tak jadi, langsung melanjutkan omongan dengan pertanyaan yang cair. “Soal apa?” “Soal yang disebut ‘malaikat’ oleh James Winata itu, Pak,” kata Tuminah. “Saya ingin belajar ilmu yang Bapak punyai itu.” Rachmat tersenyum, sepertinya enggan menjawab per­ tanyaan yang diajukan Tuminah. Dia menarik nafas panjang­ panjang terlebih dulu, lantas menghembusnya lewat mulut. “Seperti sudah saya bilang sama kamu, dasarnya saya kecewa sekali pada Dharsana, sebab dia tidak mau mengubah kelakuannya,” kata Rachmat. “Ini soal yang menimpa James Winata, Pak,” kata Tuminah, mengarahkan Rachmat untuk membicarakan hal yang berhubungan dengan sebutan terhadapnya: malaikat. “Saya tahu akan terjadi hal itu, sebab saya bisa membaca gelagat Dharsana, bahwa dia bermaksud jahat terhadap James,” kata Rachmat. “Dengan memanfaatkan peristiwa Mai—yang sudah bocor sampai ke lembaga kita—yang akarnya dikait­kait­ kan dengan gejala anti Cina, dia menyuruh keparat­keparat yang selama itu biasa menjalankan bisnis hitam, untuk membunuh James dan keluarganya. Dharsana tidak tahu, bahwa saya tahu yang mau dilakukannya. Makanya, saya menyuruh Rustam dan Hidayat menyamar di sekitar rumah James. Begitu orang yang kemudian kita ketahui bernama Todung itu, dan kawanannya, keluar dari rumah James, memang telat Rustam dan Hidayat baru mengabari saya. Saya datang di tempat kejadian setelah semuanya dibunuh. Tapi saya lihat James masih bernafas. Maka saya menolongnya…” “Lo, Pak,” kata Tuminah. “Sebelum peristiwa Mai itu, saya kira Bapak termasuk orang yang apatis terhadap sepakterjang Dharsana yang anti Cina itu…?” “Apatis?” tanya Rachmat. “Apatis bagaimana? Apatis da­ lam pengertian baku: tidak mempunyai kemauan untuk suatu keyakinan tertentu? Ah, itu kesimpulan yang sesat.” 969 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo “Maaf, Pak,” kata Tuminah. “Itu kesimpulan yang saya petik dari pergunjingan orang soal Dharsana yang menduduki Komisi X DPRRI atas rekomendasi Bapak, bahwa Dharsana merupakan seorang polisi yang ahli tentang Cina.” “Dasarnya memang begitu, tapi praktiknya bergeser. Dharsana membuat tafsiran yang chauvinistis terhadap sikon politik waktu itu menyangkut PP 14/67. Pada waktu itu sikonnya memang sangat tajam mengisyaratkan diskriminasi terhadap semua unsur Cina: orangnya, budayanya, bahasanya. Dan, me­ mang Dharsana seakan mendapat pembenaran politik untuk berpikir dan bertindak rasis.” “Pembenaran politik?” “Begitulah,” jawab Rachmat. “Waktu itu sikap anti Cina sudah menjadi iktibar statistik, moralitas umum, kebenaran politik. Saya heran, kenapa bisa begitu. Saya pribadi tidak setuju dan prihatin sekali. Tapi, apa mau dikata, realitasnya memang seperti begitu: kita terbingkai dalam prejudis buruk terhadap luka­luka sejarah waris zaman Kertanegara, Valckenier, Diponegoro. Ibarat bisa masuk tapi tidak bisa keluar dari sebuah lorong gelap. Nah, di situlah perbedaan saya dengan Dharsana. Dharsana sengaja membuat dirinya menjadi besi berkarat dengan luka­luka sejarah tersebut, sementara saya selalu merasa perlu berubah mengikuti gaung reformasi. Berkali­kali saya bilang pada Dharsana, bahwa pandangan­pandangan politik rasis itu ketinggalan zaman, dan sebaliknya pluralisme, dengan mengingat semboyan Garuda Pancasila kita, ‘bhinneka tunggal ika’, merupakan suatu wawasan bangsa beriman, tapi Dharsana tidak mengerti, tidak mau mencoba untuk mengerti…” “Pengertian itu menarik, Pak,” kata Tuminah. “Saya ingin lebih banyak mengerti tentang pengertian itu. Bagaimana Ba­ pak bisa memelihara pengertian itu di dalam diri Bapak?” 970 www.bacaan-indo.blogspot.com “Setiap manusia, yang eksis pada hari ini, pasti memiliki apitan dua masa, masing­masing masa lalu dan masa depan,” kata Rachmat. “Di masa lalu saya ada bagian yang terikat dengan orang Cina di Bojonegoro. Dan, terusterang, saya terikat secara sukarela pada masa lalu itu, sebab saya tidak mau menjadi seperti: lupa kacang akan kulitnya.” Dan Rachmat pun menerawang ke masa lalu itu. Tuminah memandang wajah Rachmat dengan perasaan ganjil, tidak mengerti arah mana maksud Rachmat mengucap­ kan peribahasa tersebut. Dia menoleh ke Juminah. Tapi kembarnya memanyunkan mulut, mengartikan itu sebagai tanda tidak mengerti juga. Akhirnya, karena terjeda, bahwa setelah mengucapkan peribahasa itu Rachmat menerawang ke masa silam, maka Tuminah pun bertanya: “Apa maksud Bapak soal lupa kacang akan kulitnya?” “Begini,” kata Rachmat, “Saya berasal dari keluarga miskin di Bojonegoro. Di sana ada seorang Cina bernama Oey Tiong Tjien, pengusaha angkutan yang baik hati. Ayah saya bekerja di perusahaannya sebagai opas. Ayah saya ingin menyekolahkan saya di akademi kepolisian, supaya saya tidak hanya menjadi opas, tapi perwira polisi, namun tidak ada biaya. Ayah ber­ maksud meminjam uang dengan nanti memotong gajinya di perusahaan Oey Tiong Tjien, tapi yang tidak diduga­duga, Oey Tiong Tjien itu malah memberi uang tanpa ikatan apa­apa pada Ayah untuk semua biaya saya ke akademi. Bayangkan, mana mungkin saya melupakan kebaikan itu? Bahwa barangkali memang banyak orang Cina yang kelakuannya stereotip dan klise, melulu mencari uang, dan memandang manusia bukan harkat tapi harta, sehingga menjengkelkan pribumi miskin, tapi seorang yang baik seperti Oey Tiong Tjien tidak boleh juga dinafikan kenyataannya. Terusterang saya sangat berutangbudi pada orang Cina macam Oey Tiong Tjien. Makanya saya tidak www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo suka Dharsana—yang ahli masalah Cina—memelihara prejudis di kepala, bersikap gebyah­uyah, menganggap semua Cina adalah hewan ekonomi.” “Hm.” Tuminah mengangguk­angguk. “Itu alasannya kenapa Bapak mau menolong James Winata?” Rachmat tersenyum. Sikapnya tidak pamrih. Dia hanya mencoba menjadi semadyanya. “Begitulah,” katanya. “Terus,” kata Tuminah. “Kok bisa James Winata itu sampai dibawa ke Australia, Pak?” “Mulanya saya membawa James ke rumahsakit di Bogor sini untuk dikeluarkan peluru di tubuhnya, lalu, kebetulan Wahid Rukmono yang akan kembali ke posnya di kedutaan RI di Canberra, saya mintai tolong untuk membawa James ke rumahsakit di Melbourne.” “Berarti itu memakan biaya?” “Begitulah.” “Bapak memberi uang pada Wahid Rukmono itu?” “Wahid Rukmono itu adik kandung saya. Dulu, uang kuliahnya di Unair juga dibantu oleh Oey Tiong Tjien itu. Saya meminta pada Wahid untuk tidak usah mengatakan itu kepada James Winata.” Dua­duanya, baik Tuminah maupun Juminah, sama­sama mengucapkan dua huruf yang menjadi kebiasaan mereka: “Hm.” “Saya hanya ingin melakukan suatu ikhtiar yang lillahi taala,” kata Rachmat dalam rasa percaya yang wigati. “Dalam pandangan saya, membantu dan menolong orang sebagai tin­ dakan lillahi taala, bukan pamrih, dengan sendirinya dipahalai oleh Allah subhanahu wa taala.” Rasanya Tuminah dan Juminah mengerti sekali. *** 972 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 172 DI saat telah berlangsung rasa damai di hati Ibu Intan karena semua beban dalam pikiran dan perasaannya sungguh sudah berlalu, dia merasa terharu pula menerima surat yang dikirim untuknya. Hari ini, di luar dugaannya, pada sekitar jam 11.00 tukang pos membunyikan klakson motornya sambil memasukkan amplop surat ke dalam kotak khusus yang menempel gerbang rumah kayu­papan. Ujang mengambil surat itu—surat yang bukan hanya satu­ dua lembar kertas saja tapi berlembar­lembar kertas—lantas lekas­lekas membawanya ke hadapan Ibu Intan yang sedang duduk di depan mejamakan menunggui Mimit menghabiskan makanannya. Ibu Intan heran mendapat surat itu. Di amplop surat itu tertera siapa pengirimnya, hanya nama dan kota tanpa disertai alamat: 973 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com MAYANG MAGELANG Hanya begitu yang tertera. Maka, sertamerta timbul dalam hati Ibu Intan rasa haru yang pelan­pelan membuatnya ceria. “Astaga, Mayang mengirim surat ini?” katanya sendiri tanpa melisan. Cepat­cepat dia membuka amplop surat itu. Ternyata dalam amplop ini ada 20 lembar kertas dorslah ukuran kuarto berisi puisi­puisi ciptaan Mayang yang sudah diketik rapi menurut cara yang lazim—barangkali yang me­ ngetiknya adalah pegawai rumahsakit yang disuruh oleh Dr dr Anastasia Samekto—serta satu lembar tersendiri yang bukan berisi puisi tapi surat dalam satu­satunya kertas kuarto HVS. Lembar kertas HVS ini adalah surat dengan tulisantangan Mayang sendiri. Tulisantangannya naik­turun dan mencang­ mencong, agaknya sengaja mengabaikan imajinasi garis. begini tulisantangannya itu: Lalu lembaran­lembaran yang seluruhnya adalah kertas dorslah bertuliskan puisi itu dibaca satu per satu oleh Ibu Intan dengan perasaan kagum. Salahsatu puisi yang menarik perhatian Ibu Intan, karena kasad kata­katanya terasa seperti meloncat­loncat dengan 974 Remy Sylado kejutan­kejutan, adalah lagi­lagi berjudul Buat Marc, terdiri dari 14 baris, mirip seperti model soneta zaman baheula, kecuali sukukata­sukukata di akhir larik tidak bersajak. Puisi yang dimaksud adalah: Tembang asmarandana dinyanyikan perempuan meminta Dewi Sri suburkan sawah di rahimnya Jilid terakhir dari aksara tentang kehidupan selalu didului jilid awal tentang kematian : Dalam pintu tertutup kita sama­sama terbuka Jika suami membangun surga dengan sokoguru benci apa yang ada di atas kepala wanita sedang mens Jika istri membangun neraka dengan fondasi cinta huruf apa yang ada di bawah kaki suami tak sunat : Dalam telanjang kita sama­sama tidak malu www.bacaan-indo.blogspot.com Dari bahtera Nabi Nuh ular tak diutus melihat bah sebab ular yang sudah lepas takkan pernah kembali Merpati yang muncul di atas kepala domba kurban menyiar berita pengampunan dosa waris nenekmoyang. Ibu Intan menikmati betul puisi ini, termenung, meraba­ raba makna apa yang tersirat di dalam yang tersurat. Lembaran­ lembaran puisi yang 19 lainnya, yang juga berjudul Buat Marc dibaca Ibu Intan dengan perasaan haru yang awet. Dalam rasa haru yang membuatnya senang, bangga, dan suka, dia berhasil menyimpulkan bahwa semua puisi Mayang itu isinya meru­ pakan wara­wara akan sesuatu yang misterius dan cenderung berkesimpulan seperti kalah bertempur. Sejauh ini Ibu Intan tidak tahu apa­apa tentang apa yang terjadi pada hari yang bertepatan dia menerima surat Mayang 975 Hotel Pro deo ini dan membaca puisi­puisinya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** SEBENARNYA surat berisi 20 lembar berisi puisi Mayang itu dikirim dari Magelang pada tiga hari yang lalu. Yang mengirimnya memang Dr dr Anastasia Samekto. Sebelum menutup amplop surat itu, Anastasia menyuruh Mayang menulis surat pengantar di atas kertas HVS tersebut, dan Mayang pun menulisnya dengan huruf­huruf yang naik­ turun itu. Pas pada hari Ibu Intan menerima surat itu, dan mem­ baca semua puisi di dalamnya, telefon dari Anastasia me­ ngejutkannya. Mula­mula Anastasia bertanya, “Apa Ibu sudah terima surat dengan puisi­puisi Mayang yang saya kirim buat Ibu?” “Sudah, Dok, satu jam yang lalu,” jawab Ibu Intan. “Jadi Dokter yang mengirim?” “Ya,” jawab Anastasia. “Seperti janji saya pada Ibu.” “Terimakasih,” kata Ibu Intan. “Terimakasih banyak. Itu puisi­puisi yang mengagumkan. Saya heran dia bisa menulis seperti itu untuk Marc. Begitu intensnya.” “Ya, memang,” kata Anastasia, lantas agak tertahan, se­ hingga Ibu Intan menunggu ragu. Maka Ibu Intan pun menyapa, “Hallo, Dok, bagaimana?” “Ya,” kata Anastasia. “Ini memang berita mengejutkan...” Ibu Intan penasaran. Tapi tiba­tiba dia ragu untuk mem­ pertanyakannya secara lisan. Karenanya dia memilih diam, menunggu Anastasia sendiri yang menyatakan arti ‘berita me­ ngejutkan’ itu. “Sayang sekali, Bu,” kata Anastasia. “Mayang baru saja mengambil keputusan nekat...” 976 Ibu Intan tertegun, waham. Yang dia kuatirkan dalam pi­ kirannya tentang ‘kalah bertempur’ itu jangan­jangan terjadi. Maka dalam perasaan kuatir dan waham itu Ibu Intan bertanya: “Kenapa, Dok? Ada apa?” “Sayang sekali, Bu, Mayang baru saja menenggak racun serangga,” kata Anastasia. “Apa?!” seru Ibu Intan, sangat kaget, iba, tidak menduga bahwa yang dipikirnya tadi itu ternyata suai amat dengan firasat yang timbul ketika dia membaca puisi­puisi Mayang. “Kapan itu terjadinya, Dok?” “Baru saja, Bu,” jawab Anastasia. “Kira­kira setengah jam yang lalu.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** Memang memelas sekali hari terakhir Mayang. Dia dibawa ke rumah neneknya di desa Borobudur di mana ibunya Jeng Retno selama ini tinggal bertenang­tenang, menjauhkan diri dari hirukpikuk Jakarta. Mayat Mayang diletakkan di atas tikar penjalin beralas kain batik. Di situ Jeng Retno memeluk putrinya ini sambil menangis sedih, mengerang, kemudian sesenggukan. Dengan begitu tampaknya tidak ada kesan bahwa Jeng Retno terganggu jiwanya seperti selama ini gejala yang disebut itu melekat dalam dirinya, dalam tindaktanduknya yang di­ wasangkai banyak orang. Sambil memeluk Mayang dengan menangis begitu rupa, Jeng Retno mengucapkan kata­kata bernada marah, sumpah, maki, terhadap seseorang yang makin jelas dibencinya. Jangan­ jangan kemarahannya itu memang sudah mengendap lama di lubuk hatinya, sehingga dengannya membuat dirinya menjadi Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com tawanan dendam. “Aku tahu kamu menderita karena bajingan Dharsana, Nduk My Daughter Sayang,” katanya. “Oh, Mayang Honey, percayalah Mother bersumpah demi iblis, akan menambah lagi perhitungan dengannya karena kematianmu ini...” Semua yang mendengar serapah Jeng Retno, terutama Nia, membatin sesuatu yang disimpulkan sebagai igau yang aneh. Tidak seorangpun, memang, yang tahu asrar di balik kata­kata dendam ini. Jeng Retno tetap menangis dari rumah sampai ke kubur, namun tidak lagi bunyi­bunyi melafalkan serapah. Kerabat ibunya—sosok wanita yang dihormati di desa— mengusung mayat Mayang ke kuburan Kyai Mbarep di dusun Mbarepan Wanurejo di kecamatan Mungkid, Borobudur. Sepanjang jalan ke kuburan itu Jeng Retno merengut. Di depan liang lahat Anastasia, sebagai dokter yang mera­ wat Mayang, diminta memberi kata sambutan, dan sang dokter memilih membaca puisi yang paling akhir dibuat Mayang: Jangan ucapkan salam perpisahan bagi kekasih yang pergi lebih awal Di setiap peristiwa ada waktu pertamanya mesti dilewati dalam rasa kenyang sementara Sukacita sukma bersatu sukma yang paling sukma di hari aku memilih sendiri rindu­dendamku Pada kenyangku yang kekal di hari maktub aku madahkan larik­larik alhamdulillah Alaikumsalam hai kamu yang mesti mengalami takdir peninggalan adam yang berarti debu tanah. Jeng Retno menundukkan kepala. Apa yang dipikirnya, hanya dia sendiri yang tahu. 978 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado *** 979 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 173 BEGITU Dharsana tiba di pulau­penjara Nusakambangan, maka segera terjadi bisik­bisik di kalangan para napi tentang siapa sebenarnya dirinya. Niscaya bisik­bisik itu berarti sesuatu yang sangat buruk akan terjadi atas dirinya sebagai lelaki. Para napi itu tahu, bahwa Dharsana adalah seorang mantan polisi. Lumrah bagi para napi yang tergolong bromocorah, menyimpan dendam terhadap polisi—tak soal apakah polisi itu mantan atau pensiun, pokoknya tetap dianggap polisi— untuk membalas dendam di dalam penjara pada giliran polisi­ polisi itu tersandung pidana. Dendam para bromocorah itu sederhana, bahwa dalam ingatan mereka, tindakan kejahatan yang mereka lakukan, selalu dihalangi polisi, yaitu polisi menangkap mereka, dikurung di sel, dan dalam sel mereka biasa dijadikan bulan­bulanan. Bisik­bisik itu meluas setelah malam pertama Dharsana tidur di dalam selnya. Siangnya dia sudah diincar oleh Dul 980 Remy Sylado Osing bersama pesohor homreng: mereka yang sekian tahun lalu mau memperkosa KC dan menjadikannya korban eltonjon tapi gagal karena dilawan oleh KC. Kini Dul Osing bersama kedua sobat homrengnya telah masuk ke dalam sel Dharsana, siap memperkosanya dengan cara yang mereka sebut eltonjon itu. Dua lelaki homreng menyergap tangan dan kaki Dharsana, dan Dul Osing melucut celana Dharsana, tak pelak yang di­sir­ nya adalah pasti lobang pantat Dharsana. Dharsana terkejut, terbangun, segera melawan. Padahal dia sendiri tidak cukup bertenaga di usianya untuk mengalah­ kan homreng­homreng itu yang badannya lebih kekar, kuat, dan berbulu­bulu ketal. Dalam keadaan sulit dan hampir terkalahkan, akhirnya Dharsana menjerit keras­keras. Suaranya membangunkan seisi blok. Selanjutnya terjadi gaduh. Serapah dan maki­maki bersipongang di malam yang tadinya senyap. Dua orang sipir segera datang ke sel di blok tempat Dharsana, pura­pura memarahi homreng­homreng yang hen­ dak mengeltonjon Dharsana, padahal ketiga homreng itu bisa memasuki sel Dharsana karena permainan kedua sipir bangkotan ini: Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Paginya, pada jam sarapan, sejumlah mata melihat ke arah Dharsana. Di situlah bisik­bisik tentang dirinya meluas dan diendap di dalam hati masing­masing dengan persoalan pribadi yang berbeda­beda. Dan, walaupun persoalan mereka tidak sama dalam memandang Dharsana sebagai orang baru di antara mereka yang lama, mereka tidak semuanya menunjukkan sikap yang membuka diri, paling tidak dengan membiarkan airmuka mereka kelihatan kendor. Semuanya tegang melihat Dharsana. Mata mereka tampak seperti kumpulan singa melihat seekor kambing. 981 Hotel Pro deo Hanya satu orang saja—dialah si bisu yang atas maunya menyebut dirinya Daeng Pallu Ce’la—yang pada jam berangin­ angin di lapangan menjelang sore, menghampiri Dharsana. Setelah duduk di sebelah Dharsana, Daeng Pallu Ce’la berko­ munikasi dengan Dharsana melalui bahasa isyarat. Dharsana tidak paham makna yang disampaikan oleh Daeng Pallu Ce’la kepadanya melalui bahasa isyarat itu. Mula­mula Daeng Pallu Ce’la menggerakkan tangan kanan dalam keadaan telungkap di depan dada dan dilingkarkan ke depan. Begini: www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya: “Semua.” Setelah itu, tangan kanan dan kiri dinaikkan ke dada da­ lam keadaan jari ditutup, dan digerakkan ke bawah. Begini: Ini artinya: “Orang.” Lalu dia memandang ke samping, tubuhnya dalam posisi profil, sembari mengangkat tangan kanan dengan telapak ter­ buka ditaruh di pipi menutup telinga, digerakkan ke depan. Begini: 982 Ini artinya: “Akan.” Kemudian dia menghadap ke depan, dengan tangan dari leher turun ke dada, seperti akan menopi tangan kiri di bawah­ nya yang dibuat kaku. Begini: www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya: “Keroyok.” Lantas dia berdiri menyamping dengan tangan kanan yang digerakkan lurus di depan dada. Begini: Ini artinya: “Kamu.” Dan, dia berdiri menghadap ke kiri, posisi badannya kem­ bali dalam profil, dengan tangan kanan digerakkan ke depan setinggi batas kepala. Begini: Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya: ”Besok.” Terakhir, dia mengarah ke depan, dengan tangan kanan disilangkan ke dada di bawah leher dan tangan kiri menonggak di bawahnya. Begini: Ini artinya: “Siang.” Jadi kalimat yang dimaksudkan Daeng Pallu Ce’la itu me­ rupakan peringatan terhadap Dharsana, bahwa “Semua orang akan keroyok kamu besok siang.” Tapi Dharsana tidak mengerti. Dia tidak mencoba untuk mengerti kebajikan yang ditawarkan seorang bisu. Sementara, kemauan untuk tidak mengerti sendiri bisa berarti juga tidak menghiraukan orang yang telah memberi perhatian kepadanya. Kesimpulan yang sekilas bisa dilihat dengan jelas, adalah Dharsana cuek pada Daeng Pallu Ce’la sebab yang disebut ini hanya seorang bisu. Untuk menunjukkan cueknya, Dharsana malah berdiri dari tempatnya duduk, lantas pergi mencari tempat yang diharapnya tidak direcoki oleh orang bisu. Sikapnya yang 984 Remy Sylado sombong ini nyata juga dengan jelas bagaimana dia menghina seorang karena orang itu cacat. Dengan sikap itu, maka mudah disimpulkan pula, bahwa dia tidak pernah belajar untuk menjadi baik. Menjadi baik itu sebetulnya bisa dipelajarinya dari bagaimana bersikap sederhana, dan dia tidak tertarik, tidak mau. Hatinya terkunci untuk hal yang sederhana. Memang. Masalah dalam hati Dharsana yang paling sulit dilawannya untuk bebas dari sana adalah menyangkut kesom­ bongannya menaruh dirinya selalu sebagai subjek dan orang di luar dirinya sebagai objek. Kesombongan ini pula yang telah membawanya ke tindakan­tindakan kejahatan yang berakhir sebagai terhukum seumur hidup. Tapi astaga, apa dia tidak tobat, bahwa pidana seumur hidup baginya merupakan hukuman atas karma? Atau, apa dia punya cara untuk bisa bebas dari hukuman­ nya seumur hidup di pulau­penjara Nusakambangan? Hanya dia dan iblis yang tahu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 985 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 174 TANPA mengabari terlebih dulu lewat telefon seperti yang sudah­sudah, Jeng Retno muncul di Jakarta pada pagi kelabu karena mendung awal tahun. Dia tiba di rumahnya ketika Nia masih bermalas­malasan di atas sofa pada jam 08.00, sambilalu menonton tayangan TV hari Minggu yang pembawa acaranya seorang lelaki keperempuan­perempuanan dengan mulut yang dilebar­lebarkan untuk kata­kata tertentu. Begitu tiba di rumahnya, Jeng Retno langsung berkata sibuk, berputar­putar seperti gasing, “Nia, bagaimana caranya aku bisa dapat uang dengan cepat dari rumah ini ya?” Nia memang tahu, beberapa waktu lalu Jeng Retno pernah menggagas hendak menjual rumahnya ini, supaya, katanya waktu itu, bisa membeli tanah yang lebih luas di pedesaan sekitar Borobudur. Karenanya Nia pun bertanya kembali, apa­ kah iparnya ini masih tetap berpikir begitu. 986 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Maka Jeng Retno duduk, artinya tidak berputar­putar lagi, tapi di atas kursi dia usreg, sambil menjawab pertanyaan Nia tersebut. “Yang penting aku bisa cepat punya uang di tangan untuk cita­citaku,” katanya. “Cita­cita membeli tanah yang luas?” tanya Nia mengingat kata­kata Jeng Retno yang beberapa waktu lalu itu. “Oh,” kata Jeng Retno dengan mata dibulatkan sambil me­ nyandarkan kepala di kursi, “It’s a secret what God can do with my two hands. Ha­ha­ha.” “Menjual rumah tidak bisa cepat­cepat, Mbak,” kata Nia. “Tapi kalau dikontrakkan mungkin bisa lebih cepat.” Jeng Retno menatap dalam­dalam wajah Nia. Kelihatan­ nya dia tertarik mendengar pernyataan Nia yang bersifat usul itu. Akhirnya setelah berpikir dengan cepat, dia duduk dengan tegak, dan wajahnya berseri. “Well, I think, it’s OK,” katanya riang membayangkan kesenangan yang disebutnya cita­cita itu. “Memangnya secepat apa kita bisa mendapat orang yang mau mengontrak rumah ini?” “Aku ingat,” kata Nia sembari membayangkan wajah Ahmadun Najib yang bercakap­cakap dengannya tentang Ru­ mah Rukun di pesta kecil Ibu Intan. “Ada orang yang memang mencari rumah untuk kantor.” “Really?” kata Jeng Retno. “Siapa?” “Tunggu,” kata Nia, lantas berdiri ke meja telefon, melihat nama Ahmadun Najib yang sudah dicatatnya di buku telefon, kemudian, “Nah, ini dia. Apa Mbak mau saya bicara dengan­ nya?” “Ya,” jawab Jeng Retno, dilanjutkan pertanyaan yang me­ yakinkan bahwa dirinya tidak sembuh untuk satu hal ini. “Apa dia seorang lelaki ganteng? Is he a handsome man?” 987 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dan, giliran Nia yang mengucapkan kalimat yang paling biasa diucapkan Jeng Retno, “Oh my God.” Lalu, “Dia seorang ustad, Mbak.” “Lo?” kata Jeng Retno ngeyel, dan sikapnya ini memang makin memperjelas keadaan dirinya yang dulu, yang bahkan dengan bahasa khas kakilima: “Memangnya ustad bukan lelaki? Yang namanya lelaki ya punya penis dong.” “Ah,” gerutu Nia sambil menaruh kembali gagang telefon yang baru dipegangnya. “Ya, sudah, aku tidak jadi omong.” Jeng Retno menjerit kolokan sambil menghampiri Nia, katanya, “Oh, no, come on. Please, give him a ring, will you.” Akhirnya Nia mengangkat kembali telefon, memencet nomer­nomer tertentu, dan dari suatu tempat nun di luar sana Ahmadun menjawab panggilan ini. Kemudian terjalin saling tutur dalam suasana yang sangat Indonesia, yaitu basabasi, sesuatu yang tidak dianggap sebagai pemborosan pulsa dan pemubaziran kata­kata, tapi sesuatu yang konon bagian dari kepribadian dan budaya cangkem warisan nenekmoyang yang kudu dipelihara dalam tradisi. Dan, setelah itu barulah percakapan inti diucapkan. Ya, persislah dengan model pantun Indonesia sendiri: pakai sampiran sebelum isi diutarakan. Ibaratnya: Mangkuk tak retak Nasi tak dingin Engkau tak hendak Kami tak ingin Jadi, begitulah, tak mau menyediakan telinga untuk men­ dengar basabasi, ya sudah, tidak terjadi pula percakapan yang sampai ke titik masalahnya. Setelah berbasabasi menyangkut kesehatan—bahwa per­ tanyaan orang Indonesia saat ini adalah soal kesehatan, sebab memang belakangan ini orang Indonesia banyak mengidap 988 penyakit, mulai dari penyakit kekuasaan sampai penyakit ke­ miskinan rohani—maka pada akhirnya Nia mengutarakan niat­ an kakak iparnya. “Begini lo, Mas,” kata Nia, alih­alih menyebut Ahmadun Najib dengan sebutan: Mas. “Beberapa waktu lalu kan Mas Ahmadun bilang masih mencari­cari rumah kontrakan untuk pusat kegiatan Rumah Rukun. Apa Mas masih mencari?” “Ya?” jawab Ahmadun dalam nada tanya. “Nah, begini, Mas,” kata Nia. “Kalau Mas cocok, rumah yang saya tempati cukup besar, kamarnya banyak, bisa dipakai untuk kantor, ingin dikontrakkan dengan harga tidak mahal.” “O, ya?” jawab Ahmadun. “Berapa?” “Wah, Mas Ahmadun bisa lihat dulu, baru kita—maksud saya, kakak saya yang punya rumah ini—bicara harganya.” Ahmadun setuju. Nia menerangkan jalanan menuju ke rumah ini. Lantas Ahmadun bilang, dia akan ke sini bersama kedua mitranya Ignatius dan Nyoman. “Kira­kira satu jam lagi kami tiba di situ,” kata Ahmadun. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Sekitar sejam lebih baru Ahmadun, Ignatius, dan Nyoman tiba di rumah Jeng Retno. Nia memperkenalkan kakak iparnya, dan sebelum bicara mengenai pokok masalahnya, masih terjadi juga basabasi khas Indonesia yang bertele­tele itu. Setelah disuguhi minuman, ada yang kopi, teh, dan air dingin, barulah Jeng Retno angkat bicara sambil mengangkat kaki—tentu bukan gila tapi barangkali gila­gilaan, sebab, sampai celana dalamnya yang berwarna merah lombok kelihatan jelas, dihembus angin dari fan yang berada pas di depannya—disertai bau menucuh sejumlah minyak gosok yang kini mengganti minyak wangi di bagian­bagian khusus tubuhnya. www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Dengan gaya nginggris yang awet, berkata Jeng Retno kepada tamu­tamunya, “Let’s talk to the point.” Tamu­tamunya menunggu omongan dengan duduk diam memperhatikan gaya Jeng Retno yang memang sangat betina. Lanjut Jeng Retno, “Saya cuma butuh fifty thousand million rupiahs for two years only. Ini sangat murah sekali untuk rumah sebesar ini. Sebab, ini included perabot­perabot.” Ahmadun menoleh ke Ignatius dan Nyoman. Kedua mitranya memberi senyum tanda sepakat. Nyomanlah yang menyatakan secara lisan dengan meng­ ikuti gaya nginggris. “OK, deal,” kata Nyoman. Jeng Retno ketawa girang. Dia berdiri dari kursinya setelah mengebaskan dulu rok gombrang dari bahan batik yang belel (model yang digemari turis­turis bulek dari pedagang kakilima sepanjang Jl. Malioboro, Yogyakarta). Lalu dia menjabat tangan ketiga tamunya, dimulai dari Nyoman dan berakhir dengan Ignatius. “Kalian semua menyenangkan,” katanya. Tamu­tamunya itu pun mengangguk­angguk dengan ke­ ramahan Indonesiawi: artinya dipenuhi dengan inflasi he­he­ he. Setelah itu, tanpa bisa dipahami oleh ketiga tamunya, bahkan juga oleh iparnya, berkata Jeng Retno dengan megah, “You see, only woman can rule Indonesia.” Bahkan, bukan hanya itu, hebatnya Jeng Retno bisa menyaripati kata­kata yang dia baca dari prosa Prancis terjemahan Inggris, karya Balzac, The Other Diane,1 katanya, “I have heard woman, if you can call such creatures by that name, say they would give anything to have been born men, and I have always felt sorry for them…” 1 Bagian dari bentuk periodikal dalam judul “Une Princesse parisienne”. 990 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Semua hanya diam, tidak mudeng atas makna yang ter­ sembunyi di balik pernyataannya itu. Siapa tahu di dalamnya ada ambisi, atau ada juga kemarahan, atau barangkali sumpah serapah yang mengental di lubuk batin. Tak ada yang tahu, kecuali dirinya sendiri dan mungkin iblis. Tapi, setidaknya yang tampak jelas dan kasatmata di wajah Jeng Retno saat ini adalah keceriaan yang bersumber dari sukacita di hati atas gambaran angan­angan yang disebutnya cita­cita itu sedang mewujud dalam hidupnya. Apakah itu berhubungan dengan pikirannya, bahwa de­ ngan jumlah rupiah yang akan diperolehnya—dengan rincian Rp30.000.000,00 untuk membeli tanah di pedesaan, dan sisanya Rp20.000.000,00 untuk bersenang­senang karena manusia yang selama ini telah mengganggu jiwa raganya itu sudah dibuang di Nusakambangan—maka dia merasa telah hi­ dup kembali? Dengan mempersoalkan itu, bolehlah disimpulkan, bahwa pikiran Jeng Retno itu tidak seperti yang dipikirkan orang selama ini. Jika begitu, bagaimana keadaan Jeng Retno yang sebenar­ nya? Jawabnya, sekali lagi, hanya dirinya sendiri dan iblis yang tahu. Namun, tak disangkal, memang dalam bertahun­tahun ini keadaan fisiknya menurun, dan itu nyata dengan melihat sosok­ nya yang ringkih disertai dengan begitu banyak minyak gosok yang selalu dipakainya di antero tubuhnya manakala dia meng­ gigil karena rumangsanya masuk angin, flu, selesma, radang, akibat peristiwa terakhir yang membuatnya telanjang bulat di jalan raya… *** 991 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 175 PERINGATAN Daeng Pallu Ce’la, yang tidak diindahkan oleh Dharsana, akhirnya memang terjadi pada siang yang disebut itu, yaitu hari ini, pada jam makansiang. Ketika berlangsung makansiang, terlebih dulu si homreng Dul Osing, yang memang punya masalah dengan Dharsana pada kemarin malam itu, memalang kakinya ketika Dharsana lewat di depannya sambil membawa omprengan makannya. Kaki Dul Osing yang dipalangkan di depan Dharsana ini sertamerta membuat Dharsana terantuk lantas jatuh terpelaka dengan omprengannya. Tapi Dharsana segera bangkit dan berdiri, langsung me­ nyerang Dul Osing, menggabruk dengan cara seperti banteng yang menanduk lawannya, membuat Dul Osing terbawa mundur sampai tiga meter. Di tempatnya berhenti Dharsana memukul dengan dua tangannya secara bersamaan disimbalkan di kuping kiri dan kuping kanan Dul Osing. 992 www.bacaan-indo.blogspot.com Hanya sekali itu saja gerakan itu berhasil dibuat oleh Dharsana. Dia ingin melakukannya untuk kedua kali, tapi ke­ buru para napi telah serempak berdiri dari bangkunya masing­ masing lantas mengeroyoknya dari semua arah dengan suara gaduh dan gegapgempita. Ketika napi­napi itu melendong sambil memukul sekena­ nya, dengan suara keras sekali, melebihi teriakan siamang atau­ pun gorila, Dharsana berhasil memungut sendok, kemudian menikamkan bagian pegangan sendok itu ke perut Dul Osing. Sendok itu pun tertancap di situ dan mengeluarkan darah. Karuan Dul Osing berteriak­teriak memisahkan diri dari ke­ rumunan napi yang mengeroyok Dharsana. “Anjing,” seru Dul Osing, “Gua kena! Gua kena!” Namun suara Dul Osing tak berhasil melampaui gaduhnya suara napi yang riuhrendah. Lantas di mana KC? KC tidak ambil bagian di situ. Dia hanya duduk diam di pojok sambil mengunyah­ngunyah makanannya dengan mem­ perhatikan saja para napi lain yang mengeroyok Dharsana. Sementara, karena kegaduhan makin menghirukpikukkan keadaan, maka reka­rekanya muncul sipir­sipir, termasuk Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol, membunyikan prit, menyuruh napi­napi itu berhenti ribut­ribut, geger­geger, ingarbingar berkebuhan. Dalam keadaan seperti ini, memang aneh, bahwa napi­napi itu bisa segera kembali ke bangkunya masing­masing. Rupanya bunyi pluit sudah menjadi alat utama yang bukan hanya untuk tanda peringatan, tapi juga tanda ancaman bagi mereka supaya tertib. Dalam hal ini para napi tampaknya lebih tertib mendengar ancaman prit ketimbang orang­orang bebas di luar sana, di jalan­jalan raya yang melakukan pelanggaran lalulintas dan tidak hirau pada pritnya polisi. Dua orang napi yang dianggap bermasalah oleh sipir­sipir itu segera diamankan. Hotel Pro deo Dul Osing diobati karena luka di perutnya terbilang me­ nguatirkan. Apalagi sebagai homreng Dul Osing mengerang­ erang seperti anak kecil perempuan. Kemudian, Dharsana ditangkap, dikurung, pasti akan di­ kenai perlakuan tersendiri karena ulahnya menikam Dul Osing. Sudah pasti dia akan dikurung di sel isolasi. Begitu memang kenyataannya. *** www.bacaan-indo.blogspot.com Sebelum dibawa ke sel khusus itu, masih sempat Daeng Pallu Ce’la membahasakan sesuatu melalui tangannya yang bermakna prihatin terhadap Dharsana, tapi yang disebut ini sombong, tetap tidak mau mengerti. Maka di hadapan Dharsana, kali ini Daeng Pallu Ce’la menyatakan rasa prihatinnya dengan bahasa isyaratnya. Melalui tangan kanannya, dengan dua jari, yaitu jarimanis dan kelingking ditekukkan bersama jempol, Daeng Pallu Ce’la menghadapkannya ke depan dan menggerakkannya seperti gambar tandatanya dengan garis imajinatif dari mata ke pipi bawah dekat mulut. Begini: Ini artinya: “Kenapa.” Kemudian tangan kanan dengan telapak terbuka digerak­ kan dua kali ke kiri dan ke kanan pas di depan bahu kanan. Begini: 994 Remy Sylado Ini artinya: “Tidak.” Setelah itu, tangan kanan dan tangan kiri dalam keadaan terbuka ke atas dengan jari­jari yang melengkung di depan dada secara bersamaan diputar ke bawah. Begini: www.bacaan-indo.blogspot.com Ini artinya: “Mau.” Lalu, tangan kanan diangkat ke batas kepala, diletakkan di sisi telinga, dan telapaknya dibuka ke depan. Begini: Ini artinya: “Dengar.” Dan, terakhir tangan kanan dengan jari­jari ditutup kecuali kelingking, dirapatkan ke dada. Begini: 995 Hotel Pro deo Ini artinya: “Saya.” Jadi, memang Daeng Pallu Ce’la mencela Dharsana melalui pertanyaan yang sekaligus berarti pernyataan, “Kenapa tidak mau dengar saya.” Dengan jengkel dan tidak peduli serta sombong, Dharsana berkata, “Peduli amat. Saya tidak ngerti.” Pas KC menampakkan diri di situ. Rupanya KC sudah memperhatikan dari tadi di sebelah Daeng Pallu Ce’la. Maka kata KC, “Dia bilang: kenapa tidak mau dengar dia.” Sambil berkata begitu, KC berlalu ke arah kiri Daeng Pallu Ce’la. Dharsana bengong. Bersamaan dengan itu Daeng Pallu Ce’la berlalu juga ke arah perginya KC. Tinggal Dharsana sendiri di selnya menunggu Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol membawanya ke sel isolasi. www.bacaan-indo.blogspot.com *** GERANGAN inilah harinya Dharsana benar­benar merasa bagaimana sipir­sipir—seperti dua sosok yang dijuluki Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol—memperagakan diri mereka sebagai manusia­manusia yang bisa seenak udel mempermainkan na­ sib orang tanpa diketahui oleh atasan mereka baik di ibukota provinsi maupun di ibukota negara. Di bagian zaman yang di­ sebut reformasi pasca tergulingnya Orde Baru, banyak pejabat pemerintah yang kelihatan gagap menghadapi simbol­simbol 996 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado modern dalam kurun milinea ketiga: mengartikan jabatan bu­ kan sebagai amanah menyejahterakan rakyat, melainkan untuk bersenang­senang di atas penderitaan rakyat. Dharsana terpaksa tak bisa berbuat apa­apa terhadap per­ lakuan kedua sipir tersebut kepadanya. Dia terpaksa menerima dipentungi oleh Si Ongol­ongol dan Si Labu Siam ketika kedua sipir ini menyeretnya ke sel isolasi sebagai napi yang bertindak melawan dan sok jagoan. Itu istilah yang dipakai oleh Si Ongol­ongol. Sambil mementung kepala Dharsana, berkatalah Si Ongol­ ongol dengan mata melotot­lotot, sampai lebih terlihat putih­ nya ketimbang hitamnya, “Kamu mau jadi jagoan ya di sini?” Si Labu Siam juga ikut mementung kepala Dharsana sambil berkata, “Hei, kalau kamu mau jadi jagoan, nanti, di arena.” Dharsana hanya menahan gondok. Tak ada pilihan lain kecuali harus diam, tak berkata, tak bertanya, tak berbuat. “Ingat!” kata Si Ongol­ongol sambil menendang bokong Dharsana ketika dia telah sampai di sel isolasi. “Di arena.” Dan, sambil menarik pintu dan menutup, Si Labu Siam mengingatkan lagi. “Ingat!” katanya. “Nanti ya!” Dharsana tak paham itu. Nanti apa? Nanti bagaimana? Dia tidak tahu apa yang menjadi kebiasaan­kebiasaan Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol. Dia tunggu saja. Apa yang bakal terjadi, terjadi menurut takdir, dan semua­ nya terserah nasib. Apakah dengan begitu artinya ‘terserah’ sama dengan ‘menyerah’ ataukah masih ada harapan melalui kata ‘berserah’? Setiap manusia sudah ada porsi karmanya dalam kehidu­ pan yang fana, ini yang tak pernah mau dipahami Dharsana. 997 www.bacaan-indo.blogspot.com *** Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 176 HARI ini, di pertengah Januari, Ibu Intan menyuruh Hutami dan Ujang membersih­bersihkan rumah dari sisa­sisa masa lalu yang tidak menyenangkan untuk dilihat apalagi dikenang. Barang­barang yang menumpuk di gudang, dus­dus, ka­ leng­kaleng, botol­botol, serta majalah­majalah yang terfiaru di situ, dan dianggap hanya menjadi tempat beranaknya tikus, dibersihkan, dibuang, diloak. Salahsatu barang di antara tumpukan barang yang me­ menuhi ruang gudang yang mesti dibawa ke luar juga adalah lukisan cat minyak potret Dharsana yang masih tersosuru di belakang kardus­kardus besar. Sambil mengangkat lukisan besar itu dari dalam ke luar gudang, Ujang berkata kepada Ibu Intan, barangkali untuk mengambil hati atau bergurau: “Yang ini dibakar saja ya, Bu?” 999 www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo Ibu Intan tersenyum kendor. Apabila nanti dia berkata­ kata, maka dalam kata­katanya dia memberi pelajaran dasar tentang apresiasi seni yang seyogyanya dipahami oleh semua orang. “Jangan, Jang,” kata Ibu Intan. “Taruh saja dulu di luar. Nanti kita berpikir, ke mana baiknya lukisan itu dibawa.” Sambil menaruh lukisan itu di luar, Ujang bertanya, “Kena­ pa tidak dibuang seperti rongsokan­rongsokan yang lain, Bu?” “Sebagai karya seni, lukisan itu tidak salah apa­apa, Jang,” kata Ibu Intan. “Kita harus menghargai lukisan sebagai ciptaan keindahan dari seorang perupa. Jadi, objeknya, yaitu sosok, dalam hal ini wajah dalam lukisan itu adalah Dharsana, kita kenal sebagai penjahat, hanya bagian yang nyata dari dasar ilham perupa. Di dalam tradisi senirupa Barat, seperti taruhlah lukisan Grunewald yang sangat terkenal, yang kemudian di­ distorsikan oleh Salvador Dali, sosok Yesus yang baik justru menjadi sempurna karena ada dua penjahat yang digantung di sebelah kiri dan kanannya di atas bukit tengkorak. Kamu ngerti?” Pertanyaan Ibu Intan malah membuat Ujang bengong, samasekali tidak paham. Mestinya Ujang menggeleng untuk me­ ngatakan “Tidak,” tapi dia memilih diam untuk mengartikannya begitu. Karenanya Ibu Intan merasa terpanggil untuk menerang­ kan apa yang baru dikemukakannya, walaupun dia sendiri agak yakin bahwa keterangan yang akan disampaikannya berikut ini kemungkinan tetap tidak dimengerti oleh Ujang. “Tidak apa­apa, Jang, kalau kamu tidak mengerti,” kata Ibu Intan, tapi dengan kesungguhan apa yang dirasanya perlu diketahui oleh Ujang dan juga Hutami. “Ya, Jang. Boro­boro kamu. Sedangkan itu, banyak sarjana yang duduk di kursi 1000 www.bacaan-indo.blogspot.com birokrasi pun, yang artinya cukup punya kesempatan membaca sejarah kebudayaan di perguruan tinggi, toh ternyata tidak cukup mengerti makna rohani dari kesenian dalam kehidupan manusia yang beradab. Tapi kamu jangan kalah, Jang, walau kamu hanya lulusan SMP. Kamu harus tahu, sejarah kebu­ dayaan di negeri maju, selalu diukur kemajuannya pada antara­ lain apresiasinya terhadap kesenian, serta kesadarannya untuk memeliharanya. Kita tidak begitu, Jang.” “Ya, Bu,” kata Ujang, semata­mata supaya terdengar suara dari mulutnya itu, dan sebetulnya dia berbunyi atau tidak pun, tidaklah penting. Namun Ibu Intan seperti sudah bocor bicaranya. Dia ingin betul bicara soal lukisan itu. “Ibu ajari kalian supaya harus punya apresiasi pada kesenian,” katanya. “Di Indonesia memang orang sering abai terhadap masalah ini. Coba kalian ingat, ada berapa patung yang tadinya sudah dipasang di ruang publik, di jalan, begitu ganti pejabat, patung itu pun digusur. Nah, coba, yang salah siapa? Pejabat pemerintah atau perupanya?” “Nggak tahu tuh, Bu,” kata Ujang. “Saya nggak ikut campur kok, Bu.” Ibu Intan ketawa. “Baik,” kata Ibu Intan. “Surat pembaca di koran­koran biasanya menyalahkan pejabat pemerintah yang punya wewenang untuk melakukan itu. Maka katakanlah pejabat­pejabat itu kucluk. Tapi, yang tidak berbudaya, dan tidak berbudaya bisa juga berarti biadab, adalah perupanya sendiri. Coba saja, kok mau­maunya perupa disuruh menggusur patung yang sudah ada, yang artinya sudah lama, dengan patung yang baru dibuatnya. Menggusur karya seni yang sudah menjadi milik umum karena dipasang di ruang publik, lantas menggantinya dengan yang lain, yang baru dibuat oleh Hotel Pro deo seorang perupa yang memenangkan tendernya dari pejabat pemerintah, adalah pada dasarnya harus dikatakan sebagai tindakan vandalisme.” “Apa itu, Bu?” Yang bertanya ini bukan Ujang tapi Hutami. “Itu nafsu merusak karya seni yang sudah ada,” jawab Ibu Intan. “Tidak punya hati.” “Nah, itu teh namanya: makan jantung berulam hati,” kata Hutami dengan peribahasa yang terbalik seperti selalu. “Ah,” kata Ibu Intan, “Kamu tuh selalu terbalik­terbalik. Benarnya: makan hati berulam jantung. Ya, kita semua jengkel melihat kelakuan mereka. Samasekali tidak punya hati. Kalau toh mereka punya hati, pasti mereka tidak punya perasaan.” Paham­tak­paham toh Ujang berkata, “Gitu ya, Bu?” “Ya,” jawab Ibu Intan. “Jadi,” kata Ujang sambil mengangkat lukisan potret Dharsana itu keluar dari gudang ke luar. “Ditaruh di mana ini, Bu?” “Kita bawa ke rumah istri tuanya,” Jawab Ibu Intan. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Ujang pun membungkus lukisan besar ini dengan koran­ koran, lantas menaruhnya di atas mobil, dan mengikatnya di situ dengan tali plastik. Malamnya, ditemani Hutami dan Mimit, Ibu Intan me­ nyetir mobilnya—dia tidak pernah mau menyewa sopir, sebab dari bacaannya, dia tahu bahwa menyetir sendiri di Jakarta yang hirukpikuk itu baik untuk membuat saraf tidak cepat pikun—menuju ke rumah istri tua Dharsana: Mama Vi. Yang ingin ditemui, tidak ada. Yang ada, adalah seorang lelaki yang mengaku dirinya adik kandung Mama Vi. Yang disebut ini menyambut dengan kurang ramah. 1002 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado “Kami hanya ingin mengantar lukisan Bapak,” kata Ibu Intan. Hutami mengiris tali­tali plastik yang mengikat lukisan itu di atas kap mobil, kemudian menurunkannya, menaruhnya di depan rumah. “Lukisan apa sih?” kata sang adik. “Potret,” jawab Ibu Intan. Sang adik pun meminjam gunting yang dipegang oleh Hutami, kemudian menggunting kertas koran yang mem­ bungkus lukisan itu. Setelah terbuka, adik dari istri pertama Dharsana itu berdiri dengan wajah yang menanggung antara rasa marah dan jijik. Setelah itu dia pun berkata, “Buat apa lukisan ini dibawa ke sini? Ini manusia paling laknat di dunia.” Di ujung kalimatnya itu, dia pun menyepak lukisan tersebut sampai terlempar. Ibu Intan kaget. “Lo?” Ucapan ini menandakan rasa getunnya. Tapi adik Mama Vi itu malah tidak peduli. Dia angkat lu­ kisan itu, kemudian membantingnya, dan terakhir dengan sangar menyobek­nyobeknya memakai gunting yang masih di tangannya. Ibu Intan cepat­cepat mundur. Dia tarik lengan Hutami dan Mimit untuk cepat­cepat naik ke mobil. Di tengah perjalanan pulang, Ibu Intan melengung­ lengung. Dia merasa seperti baru saja melewati sebuah mimpi buruk. “Gila,” katanya. “Begitu hebatnya kemarahan adiknya itu pada Dharsana.” Setelah mobil maju beberapa belas meter, sambil meng­ ingat­ingat, berkata Hutami dengan lugu, “Itu lebih dari sandal­ isme ya, Bu.” 1003 Hotel Pro deo “Hus,” kata Ibu Intan, “Bukan sandalisme, tapi vandalisme, Tami. Vandalisme itu berasal dari kata Vandal, nama suatu bangsa yang perusak, merusak keindahan dan kesenian. Yang itu tadi bukan lagi vandalisme, tapi gila.” “He­he­he. Itu namanya: tagih kaya daripada gila.” Ibu Intan cuma mesem. Tidak menanggap. Dia tahu Hutami sengaja membalik­balikkan peribahasa, yang harusnya adalah: Tagih gila daripada kaya. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 1004 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 177 ADAKAH terjadi perasaan tertentu dalam diri Dharsana— katakanlah semacam pengaruh batin seperti yang dipercaya orang­orang zaman lampau terhadap potret—ketika adik man­ tan istrinya, Mama Vi, menghancurkan lukisan dirinya dengan luapan rasa benci dan marah yang hebat? Agaknya tidak. Rasanya tidak ada pengaruh apa­apa. Tapi ya, dalam waktu­waktu mendatang, kiranya akan ada pengalaman rasa sakit di batin yang mengganggu pikirannya, dan siasia dia berangan­angan untuk membalas sakitnya itu, sebab justru dia harus mengalaminya sebagai bagian dari wilayah karma atas segala tindakan yang pernah dia lakukan bagi orang­orang yang merasa disakiti olehnya. Karuan, dia tidak bisa bebas dari realitas itu. Dia mesti menghadapi wilayah karma tersebut. 1005 www.bacaan-indo.blogspot.com Memang, banyak orang yang merasa menjadi korban atas tindakannya, dan adanya dendam yang lahir dalam padahannya, memang tidak ayal merupakan bagian yang mengikat dengan karmanya itu. Namun, di antara banyak orang yang menaruh benci, dan ingin membalas dendam padanya, agaknya hanya satu orang saja yang sungguh­sungguh telah mengundang iblis mukim di hatinya, supaya hatinya tetap panas menyalakan semangat kebencian. Nah, siapakah orang yang dimaksud itu? Orang yang memelihara benci dengan cara yang luar biasa ini, adalah orang yang gampang mengucapkan kata cinta bukan sebagai perasaan tanggungjawab insani terhadap ilahi, tapi semata­mata sebagai kegandrungan badaniah, kecenderungan tubuhiah, pendek kata urusan kedagingan belaka, atau bilanglah melulu urusan kesenangan duniawi. Nah, sekali lagi, siapakah orang yang memiliki ciri lahiriah seperti itu? Dia adalah orang yang dengan sadar dan sengaja menjamu iblis di dalam hatinya, menyebut semua nama iblis yang maha dua—lawan dari Tuhan yang maha esa—mulai dari Ahriman, Asmodeus, Beelzebub, Lucifer, Pluto, sampai Seth, supaya hatinya terbakar namun tidak hangus, sampai tiba saatnya dia membalas sakit hatinya dengan kematian Dharsana. Pokoknya, selama sekian tahun, setelah persitiwa yang sangat mengguncangkan batinnya, dan urusannya berhubung­ an dengan harkatnya, maka orang yang dimaksudkan ini me­ nyimpan dendam, dan menernak kesumat terhadap Dharsana, telah berjanji kepada iblis untuk harus membunuh Dharsana. Nah, terakhir kali, pertanyaannya, siapakah orang yang begini keras hati menghendaki kematian Dharsana? James Winata­kah? www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Istri Todung­kah? KC­kah? Siapa­kah? Masya Allah, memang dia Jeng Retno. Bayangkan, orang yang paling suka menyebut­nyebut nama Tuhan dengan kalimat pilihannya dalam bahasa Inggris, Oh my God, ternyata orang paling akrab menjalin kemesraan dengan iblis yang maha dua itu. Apa­boleh­buat, hanya Jeng Retno yang mengalami peris­ tiwa paling heboh berurusan dengan masalah martabat meliputi akhlak, susila, pekerti, adib, dan seterusnya. Bayangkan, dia terpaksa berlari­lari di jalan raya dalam keadaan telanjang bulat. Dia melakukan itu karena takut. Panik. Bukan gila. Akibat peristiwa itu Jeng Retno trauma. Sekian bulan, sampai tahun, keadaan dirinya tidak stabil. Mula­mula jiwanya tampak terganggu. Seakan­akan gila. Ibukandungnya di desa Borobudur dengan welasasih me­ layaninya seperti ketika dia masih bayi sekian puluh tahun lalu. Maka berangsur­angsur pulih. Pulih dari kesimpulan yang salah kaprah orang­orang bahwa dirinya gila. Apabila sekarang dia kejet­kejet dan menggigil­gigil disertai dengan mata mendelik­delik, halnya semata karena gangguan raganya yang terjadi akibat yang diibaratkan peribahasa: makan hati berulam jantung. Pangkalnya barangkali mesti diingat pada peristiwa yang menghebohkan itu. Tak pernah diceritakan oleh Yayu, bahwa pada saat pembantunya ini membopong Jeng Retno kembali ke rumah, dalam keadaan gugup, gelagap, dan belingsatan, dia mengguyur tubuh Jeng Retno dengan sekurangnya lima ember air dingin dari bak kamarmandi. Dalam pikirannya, yang me­ 1007 Hotel Pro deo mang keliru, bahwa Jeng Retno kesambet, dan karenanya mesti disiramnya dengan air dengan baca­baca yang tak jelas. Naga­ naganya itulah benih masalah tubuhnya yang sampai sekarang sering kumat: tubuh kejet­kejet dan menggigil­gigil serta mata mendelik­delik, dan di saat begitu ibunya yang sudah sepuh tapi berpikir baik dan jernih, biasa menggosok badannya de­ ngan berbagai merek minyak gosok: gondopuro, minyak kayu­ putih, minyak tawon, balpirik, rheumason, PPO, Vicks, dan seterusnya, Setelah itu, tak heran, sekarang ini Jeng Retno terbiasa menggosok bagian­bagian khusus badannya dengan minyak­ minyak gosok tersebut, meninggalkan—entah sementara entah selamanya—kebiasaan menyemprot parfum­parfum di bagian­ bagian khusus tubuhnya itu. Itulah dia! Tak ada satu pun setan yang sanggup menghalang ke­ mauannya membalas dendam pada Dharsana. Soalnya, siapa­ pun yang menyediakan hati pada iblis atau setan, dengan sendirinya telah menjadi sekutunya dalam kesatuan yang maha dua itu. www.bacaan-indo.blogspot.com *** 1008 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com 178 BAGAIMANA dengan KC? Harusnya, wajar juga kalau KC menyimpan dendam di hati terhadap Dharsana, sebab adalah Dharsana jua yang sudah merekayasa untuk menjadikan KC sebagai terpidana di hotel pro deo Nusakambangan ini. Apakah ya, KC berpikir begitu? Arkian, KC masih tetap lelaki yang lebih menghargai soal otot lebih utama ketimbang otak. Kebetulan, di pulau­penjara ini dia diistimewakan, atau dipelihara, oleh dua sipir berhati bengkok, Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol, untuk dijadikan alat hiburan di arena tinju tanpa wasit. Setiap ada napi baru yang dianggap sok­jagoan pasti diadu dengannya. Kebetulan pula, selama ini tidak ada satu orang pun yang berhasil mengalahkan KC. Hari ini, tiba saatnya giliran Dharsana diadu dengan KC. Setelah dikeluarkan dari sel isolasi, Dharsana langsung di­ 1009 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com gelandang oleh Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol ke arena, dihadapkan dengan KC. Tak seorangpun yang tahu, baik napi­napi maupun sipir­ sipir, bahwa KC merupakan korban Dharsana pada enam ta­ hun lalu, ketika dalam Orde Baru, ABRI benar­benar menjadi momok yang menakutkan, bisa bermain kayu dengan leluasa, bahkan di dalam pengadilan, sehingga berhasil menjebloskan KC ke Nusakambangan ini. Sebelum Si Ongol­ongol dan Si Labu Siam menyeret Dharsana ke arena pertarungan, masih sempat Daeng Pallu Ce’la mengingatkan dengan bahasa isyarat pada Dharsana ten­ tang adu tinju itu, tapi lagi­lagi Dharsana tidak ambil pusing, tidak menggubris, tidak peduli samasekali. Memang, peringatan Daeng Pallu Ce’la tidak pula seperti yang kemarin­kemarin mengandung arti masygul, kali ini hanya membahasa­isyaratkan satu kata saja yang berarti: Dharsana akan menjadi orang sial. Yang dilakukan Daeng Pallu Ce’la dalam bahasa isyaratnya itu adalah: membuat tangan kanan dengan telapak terbuka ke depan di sebelah telinga kiri lantas bergerak ke bahu dan menungkapnya di situ. Begini: Ini artinya: “Sial.” Dharsana pura­pura tidak melihat. Keburu juga tangannya ditarik oleh Si Ongol­ongol untuk kemudian dihempaskan arena. Para napi segera mengitarinya seperti hendak menonton sabung ayam atau adu domba. Mereka bertempiksorak riuh. 1010 www.bacaan-indo.blogspot.com Kata Si Ongol­ongol sambil mementung Dharsana, “Bukti­ kan kalau kamu memang jagoan. Penonton menunggumu.” “Ya,” lanjut Si Labu Siam sambil mementungnya juga, “Jangan sok­jagoan aja kamu. Ayo tunjukkan sekarang sampai di mana jagoanmu itu. Kalau kamu kalah, kamu akan dikurung lagi di sel isolasi.” Setelah itu terdengar suara elu­elu yang lebih gempita ketika KC muncul di tengah situ. Mereka menyebut­nyebut nama KC menurut ucapan yang dimau KC: keisi! Dharsana tersentak melihat KC. KC menghampiri Dharsana. Dharsana berdiri tegak, memandang KC dengan awas. “Pak,” kata KC, “Waktu saya hadir sebagai saksi di peng­ adilan, sebenarnya saya ingin bilang: kamu setan. Tapi tidak jadi, sebab tidak kesampaian. Makanya sekarang saya akan bilang itu: kamu setan.” Dharsana terentak. Namun tidak terlihat bahwa dia tunduk. Malah dia memakai kata­kata yang dalam segi­segi tertentu boleh dianggap mengandung teror. “Kamu mulut besar.” Itu yang dikatakan Dharsana dengan congkak sambil me­ niki pinggang seperti Belanda minta pulau. “Hei, Pak,” kata KC. “Saya bisa bikin mati kamu di sini, kalau saya mau.” Lagi Dharsana mengucapkan kalimat yang baru diucap­ kannya. “Kamu mulut besar.” “Sumpah mampus disamber geledek, saya bisa bikin mati kamu di sini, tapi saya tidak mau,” kata KC. “Tiga bulan lagi saya dibebaskan. Ini berkat pengacara cantik yang suka bilang ‘hm­hm’ itu lo. Keputusannya sudah keluar. Saya bebas, sebab ternyata memang saya tidak salah. Dengan masukmu di sini, www.bacaan-indo.blogspot.com Hotel Pro deo maka jelas, kamu adalah setan: setan putih, setan kuning, setan hitam, setan hijau, setan merah, setan biru…” Dharsana memekik nyaring. “Aaa!” Lalu, “Kamu yang setan: goblog, tolol, bodoh!” Dan, astaga, hanya satu detik saja setelah kata serapah itu terucap di bacot Dharsana, tidak disangkanya kepalan tinju KC yang begitu kuat dan cepat telah bereban di congornya. Dharsana pun terjengkang, tiga langkah terhengkang ke bela­ kang, dan sedikit pening terasa di kepala. Namun, cepat­cepat Dharsana mengatur badan dengan berdiri memasang kuda­kuda di kakinya, menunggu pukulan KC yang lain, yang dipikirnya akan mudah ditangkisnya disertai dengan pukulan balasan. Dia mengerti betul, bahwa sekadar menangkis saja, yaitu menjadikan kedua tangan sebagai pe­ lindung terhadap suatu pukulan, nilainya terlalu a­b­c, atau terlalu elementer dalam metode tinju. Yang baik dan tepat, ini diketahuinya sekali, adalah dalam menangkis suatu pukulan, haruslah dengannya sekaligus disertai juga dengan pukulan balik yang berkadar menyerang. Demikianlah Dharsana merasa pintar dengan pikirannya itu, dan sekarang dia berdiri dengan kedua kaki yang bersikap kuda­kuda, siap menghadapi kemungkinan itu. Tapi, rupanya Dharsana keliru dalam melaksanakan hal yang di luar dugaan. KC memukulnya secara tiba­tiba dan tak terbaca gerakannya melalui kepal kiri yang lebih dulu dikirim dengan campin dan cekatan ke rahang Dharsana. Dan, sambil menundukkan kepala dengan gaya yang lincah—tanpa persiapan apa­apa dari pihak Dharsana—maka KC telah menyusulkan kepal kiri itu dengan kepal kanannya ke hidung Dharsana. Sebentar lagi pasti mengucur darah dari situ. Pukulan yang begitu kuat itu segera menjungkalkan Dharsana. Badannya oleng sebelum 1012 Remy Sylado www.bacaan-indo.blogspot.com jatuh bersamaan dengan kakinya yang membelengkok dan sa­ ling tubruk antara betis kiri dan lutut kanan. Semua penonton berhore riang­ria. Dharsana jengkel, menyadari dirinya menjadi olok­olok. Segera dia berdiri. Mendidih marah di dadanya. Nalurinya mengatakan: dia tidak kalah, dia harus menang. Kendati be­ gitu, celakanya, dengan naluri itu justru membuat Dharsana mengabaikan akalbudi. Padahannya adalah, dia menjadi ti­ dak nalar, tidak berpikir dengan benar, bahwa lawannya itu memang petinju asli, bahkan petinju yang pernah membikin mati lawannya di atas ring. Maka, memanjang­manjang waktu untuk melakukan tinju dengan pikiran akan menang terhadap seorang petinju macam KC, sungguh suatu pertimbangan yang sembrono dan pasti percuma. Akhirnya, salah sendiri, KC memukul Dharsana seperti memukul patung bernafas. Tak ada pukulan balasan Dharsana yang berhasil mengena muka KC. Pukulannya lebih banyak mengena udara kosong. Jika pukulannya mengena KC, itu hanya sebatas mengikis tangan dan lengan. Dalam satu menit ke depan, pukulan­pukulan KC telah membuat Dharsana ke­ payahan, dan berujung dengan tumbangnya secara tidak ter­ hormat. Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol, seperti kata mereka tadi sebelum tinju ini digelar, membawa Dharsana ke sel isolasi. Besok wajahnya akan dipenuhi bengkak­bengkak mirip roti unyil yang membuatnya kelihatan seperti hilang rupa. *** 1013 Hotel Pro deo www.bacaan-indo.blogspot.com 179 KETIKA Dharsana berada di sel isolasi, Jeng Retno menye­ berangi selat dengan feri dari Cilacap ke Nusakambangan. Dengan pakaian batik belel yang tidak harum pula oleh minyak­minyak wangi melainkan sekarang cengis oleh minyak­ minyak gosok, hampir­hampir kedua sipir yang ditemuinya, Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol, tidak mengenalinya. Tapi kalimat seru bahasa Inggris yang paling sering diucap dengan ganjen oleh Jeng Retno, dengan mudah membikin kedua sipir yang menemuinya di ruang terbuka untuk menerima­ nerima tamu langsung mengingatnya. Kata Jeng Retno yang mengingatkan kedua sipir itu, “Oh my God, masak kalian lupa sama saya?” Berbareng, Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol mengucapkan kata­kata yang sama, “Oh, ya, Jeng…?” “Good,” kata Jeng Retno. “Begini lo, ada dana dua kali lipat dari yang dulu itu.” 1014 www.bacaan-indo.blogspot.com Remy Sylado Mata kedua sipir yang kedodoran imannya ini sertamerta membelalak seperti burung bulbul, sambil menoleh ke kiri, kanan, dan belakang, seakan hendak meyakinkan diri mereka masing­masing bahwa keadaan aman, tidak ada orang lain di dekat­dekat situ yang bisa mendengar percakapan ini. Dengan semangat kadalnya, berkatalah Si Ongol­ongol de­ ngan suara yang dipelankan, nyaris bisik, tapi dengan artikulasi yang jelas antara vowel dan konsonannya. “Memangnya, siapa lagi nih orangnya yang menjadi musuh masyarakat?” “Namanya DB Dharsana,” kata Jeng Retno, pelan nyaris bisik pula, terucap dengan hati yang dipenuhi kebencian. “Itu anjing budugan paling hina yang pernah hidup di planet ini. Ngerti?” Baik Si Ongol­ongol maupun Si Labu Siam sama­sama mengangguk sambil membayangkan uang berjuta. “Dia sudah ditunggu di neraka oleh Ahriman, Asmodeus, Beelzebub, Lucifer, Pluto, Seth,” kata Jeng Retno. Kedua sipir yang mataduitan ini menganga, merasa asing menguping nama­nama yang sepanjang hidup mereka baru kali ini mereka mendengarnya. “Siapa tuh, Jeng?” tanya keduanya, bisa bareng pula. “The evil spirit,” jawab Jeng Retno nginggris dan ketus. “Sudah, kalian ngerti nggak?” “Ya, ya, ya,” jawab mereka bersama lagi. “Nah, kirim dia segera ke bosnya, Paduka Iblis, di neraka sana,” kata Jeng Retno. “Oh?” Si Labu Siam pura­pura bloon, mengerling ke Si Ongol­ ongol, padahal yang dipikirnya adalah jumlah uang yang di­ sebut oleh Jeng Retno bernilai dua kali lipat dari ‘honorarium’ mereka dulu dalam membunuh Iskandar. 1015 Hotel Pro deo Dan, dalam pura­puranya itu Si Labu Siam bertanya, “Tadi Jeng bilang angkanya dua kali lipat?” “Ya,” kata Jeng Retno, tegas dan mengilik. “Seluruhnya spuljut. Itu per orang. Pertama, uangmuka limjut, lalu sisanya limjut lagi kalau sudah selesai: dianya sudah goodbye, adios, sayonara, wasalam.” Si Ongol­ongol girang, tapi pura­pura juga bermahal diri. “Well?” kata Jeng Retno. “Yo wis, kalok kalian emoh, I shall say no more. Angka yang bisa saya sediakan only ten million rupiah. That’s all.” Sambil berkata kalimat yang terakhir itu, Jeng Retno me­ masukkan kembali uangnya. Ini hanya gertak pada kedua sipir, bahwa kalau mereka tidak mau, ya sudah tidak jadi. “Jadi dong,” kata Si Ongol­ongol terburu­buru. “Ya dong, Jeng,” lanjut Si Labu Siam. “Nah, gitu dong,” kata Jeng Retno sembari mengeluarkan lagi uang itu dari dalam tasnya. Bisnis selesai hari ini. Entah besok atau lusa atau tulat atau tubin Jeng Retno akan mendapat kabar dari kedua sipir ini. Jeng Retno memberikan nomer telefonnya di rumah ibu­ nya di desa Borobudur. “This is my number,” kata Jeng Retno. “Segera kontak saya kalau pekerjaan kalian sudah selesai. Saya akan datang ke sini membawa sisanya masing­masing limjut.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** 1016 www.bacaan-indo.blogspot.com 180 SI Labu Siam dan Si Ongol­ongol berpadu­padan soal bagai­ mana menghabisi Dharsana dengan cara yang alami, gampang, dan cepat. Setelah lumayan panjang memakai waktu untuk berkira­kira, berandai­andai, berura­ura, akhirnya keduanya menemukan jawaban yang dianggapnya jempolan: membawa Dharsana ke selatan pulau lantas membunuhnya di sana. Untuk melaksanakan rencana yang akan dibayar lagi sisanya sejumlah Rp5.000.000,00, mereka menunggu satu minggu sampai Dharsana keluar dari sel isolasi. Mereka membuat peraturan yang kedengarannya biasa­ biasa saja, didengar oleh napi­napi lain, bahwa Dharsana sebagai orang kalah harus bekerja mencari bahan batu­batu akik di pinggir jurang pantai selatan. Memang selama bertahun­tahun, dimulai sejak zaman Belanda, sudah menurun cerita tutur bahwa para napi bisa ber­ untung mencari dan menemukan batu­batu tertentu di selatan www.bacaan-indo.blogspot.com pulau untuk diasah dan dijadikan akik lantas dijual ke luar pulau. Hari yang ditentukan bagi Dharsana ke situ untuk pekerjaan itu dimulai pada jam 09.00. Si Ongol­ongol sudah janjian dengan Si Labu Siam, bahwa mereka akan melaksanakan tugas durjana itu pada jam 12.00, pas matahari negeri tropis berada di atas kepala dan keadaan perut sedang lapar­laparnya. Sebetulnya ada rasa curiga dalam diri Dharsana ketika dia dijaga oleh Si Ongol­ongol dengan cara pecicilan di atas tebing terjal yang kering, di mana di bawahnya sana terlihat karang besar yang begitu setia diempas­empas air laut dari Samudra India, samudra selatan yang misterius karena konon merupakan singgasananya Nyi Roro Kidul. Tapi, selain rasa curiga itu, timbul juga rasa ingin hidup seribu tahun lagi—seperti kalimatnya Chairil Anwar yang dahsyat itu—justru dalam rasa sadar yang kuat juga bahwa dia di sini ini: terhukum dan takterbebaskan. Dia berdiri menghadap ke selatan. Dari atas sini, yang terekam di selaput­jala­mata melulu hanya warna biru: biru laut dan biru langit. Di garis yang menghubungkan langit dan laut itu terlihat sebuah titik, niscaya kapal, yang bergerak pelan dari kiri ke kanan atau dari timur ke barat, barangkali dari benua Australia ke benua Afrika, entah, dan tiba­tiba itu membuatnya termenung: betapa mustahaknya arti kebebasan dalam ke­ hidupan, seperti leluasanya kapal di horison sana berlayar dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Memandang ke samudra sana, dengan pikiran yang tiba­tiba terpacu oleh gaung kebebasan ini, karuan membuatnya terdiam bagai tersihir. Tak sadar, justru di saat seperti begini pula bahaya paling besar makin dekat menghampiri takdirnya. Dan, apabila bahaya tersebut singgah dalam waktu dekat ini, maka pasti itu www.bacaan-indo.blogspot.com akan menjadi cerita singgah yang terakhir, singgah yang takkan berulang lagi dalam riwayat hidupnya untuk bisa dituturkannya besok. Pelan­pelan Si Ongol­ongol mendekatinya dari belakang. Tidak terdengar apa­apa. Debur air laut yang mengempas­ empas karang disertai angin yang merdeka menghembus di atas sini, sudah menghapus bunyi­bunyi alam yang lain. Di saat seperti itulah Si Ongol­ongol memainkan lakon durjananya dengan bengis: bukan hanya mementung dengan belantan yang biasa dibawanya, tapi mengepruk kepala Dharsana dengan batu besar yang diambilnya dari sekitar situ. Ketika dia mengepruk, dia memegang batu itu dengan kedua tangannya lantas memangkungnya kuat­kuat dari belakang. Dharsana pun jatuh tersungkur. Sungguh malang nasibnya, yang dikepruk adalah kepala tapi yang tidak kuat menahan badan adalah kaki. Lebih tepat harus dikatakan, sebenarnya Dharsana bukan hanya jatuh, tapi dia ambruk, bruk, mulut men­ cium tanah. Kelihatannya ada rasa pening yang menyulitkan penglihatannya, sebab matanya kedip­kedip, seperti melihat dirubungi ribuan kunang­kunang. Segera Ongol­ongol membunyikan peluit, memanggil Si Labu Siam yang ada di belakang sana, untuk lekas datang ke sini menuntaskan pekerjaan durjana ini. Si Labu Siam pun segera muncul dengan berlari membawa batang kayu. Ketika dia tiba di sini, pas Dharsana baru mencoba bangkit dengan sulit dan berdiri dengan parah. Tampaknya Dharsana sedang dikalahkan oleh perasaan tak percayadiri yang sulit dielakkan. Dalam gamang di ambang putusasa, sekadar naluri yang sisa, Dharsana berteriak keras­ keras tanpa ucapan kata­kata tertentu yang memiliki makna khas, kecuali hanya bunyi satu hurufhidup yang bersipongang panjang meluncur dari mulut yang terbuka lebar­lebar. www.bacaan-indo.blogspot.com “Aaa!” Dan, begitu Si Labu Siam melihat keadaan Dharsana yang gawat itu, tanpa membuang waktu, langsung dia menghantam kepala Dharsana dengan batang kayu di tangannya itu. Dengan sekali saja mengayunkan batang kayu itu ke kepala Dharsana, maka yang disebut ini pun tumbang seperti patung batu, ter­ sungkur lagi di tanah dan lagi­lagi juga mencium tanah. Naga­ naganya keadaan paling buruk sedang menghampiri nasibnya… Kemudian, masih dalam keadaan sangat kecil harapan untuk bisa sekadar berdiri, dengan cepat Si Labu Siam meng­ hantam lagi keras­keras kepala Dharsana dengan batang kayu di tangannya itu. Hantaman yang kuat ini karuan membuat Dharsana sampai ke dalam ketiadaan masa depan: tangan dan kaki kejet­kejet di atas tanah tebing itu, dan hanya beberapa detik saja setelah hal itu berlangsung, mendadak tubuhnya kaku, diam, tak bergerak lagi. Tak ayal ajalnya sudah merapat. Melihat keadaan Dharsana sudah tidak ada harapan apa­ apa—dan pengalaman merupakan guru paling pintar bagi manusia yang alah bisa karena biasa untuk pekerjaan jahat begini—maka dengan sigap Si Ongol­ongol menendangnya ke tepi tebing, gelundung tiga goletan, dan tersangkut di tumbuhan dekat batu. Si Labu Siam melompat ke situ, berjongkok, lantas menyorong tubuh Dharsana ke bawah, ke karang besar di sana yang sepanjang tarikh diempas­empas ombak gelombang. Di situ Dharsana jatuh dengan kepala menikam karang. Sudah pasti tengkorak kepalanya pecah. Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol merasa puas. Kendati begitu mereka pun merasa perlu berdiri beberapa saat di tepian tebing, memperhatikan dengan hati berdebar atas ‘hasil karya’ mereka di bawah sana: apakah tubuh sang korban masih akan bergerak lagi atau tidak. Ternyata memang tubuh Dharsana di bawah sana sudah tidak bergerak samasekali. “Sudah mati kok,” kata Si Labu Siam, ketawa. Si Ongol­ongol ketawa juga. Sembari membayangkan kese­ nangan karena uang sisa yang akan diberi lagi oleh Jeng Retno, dia berkata ceria, “Sisanya limjut lagi ya…” Lekas­lekas Si Labu Siam menarik tangan Si Ongol­ongol untuk pergi ke kantor penjara, melapor di sana bahwa Dharsana tidak kuat menahan stres beratnya yang melanda jiwa, sehingga akhirnya memilih bunuhdiri dengan melompat ke bawah tebing. Sejumlah orang disuruh turun ke bawah mengambil mayat Dharsana untuk dikuburkan. Sesudah itu, hari ini juga, ketika garis laut di bagian barat sana sudah melembayung karena matahari akan pamit pada siang, Si Ongol­ongol ditemani Si Labu Siam mengontak Jeng Retno di desa Borobudur, mengatakan kepada wanita itu bahwa pekerjaan yang ditugaskannya kepada mereka sudah tuntas. Jeng Retno girang mendengar itu. “Ya, besok saya ke sana,” katanya. Lalu Jeng Retno berdiri di depan cermin melihat wajahnya di bawah sinar lampu neon. Sambil ketawa kecil dia bicara dalam hati, memuji dirinya sendiri. “Buktinya perempuan lebih berkuasa daripada lakilaki,” katanya. Dan, “Goodbye, Mas. Poor Dharsana. See you in hell.” www.bacaan-indo.blogspot.com *** www.bacaan-indo.blogspot.com 181 BARU setelah enam hari kemudian Ibu Intan mendapat kabar tentang kematian Dharsana. Kabar itu tidak dibacanya dari koran, atau tidak dilihatnya dari TV, atau tidak didengarnya dari radio, melainkan diterimanya dari Rachmat Wirjono melalui telefonnya. “Mbakyu,” kata Rachmat. “Apa Mbakyu sudah dengar kabar bahwa Dharsana bunuhdiri di Nusakambangan?” Bukannya menjawab, Ibu Intan terdiam, antara kaget dan syak, seakan tidak percaya pada telinganya mendengar kabar aneh itu. Setelah jeda karena terdiam, baru Ibu Intan bertanya dalam nada percaya­tak­percaya. “Bunuhdiri? Kapan terjadinya?” “Minggu lalu, Mbakyu,” kata Rachmat disertai keluh. “Yah, sungguh tidak disangka. Hidup ini memang sebuah tandatanya.” www.bacaan-indo.blogspot.com Ajaib, tak terduga, sifat welasasih sekonyong berkunjung di sukma Ibu Intan. Dengan tulus dia mengucapkan satu­satunya kata yang mewakili beberapa kasad, antara empati, trenyuh, haru, dan barangkali dimaksudkannya sebagai sekadar ekawicara— percakapan antara akal dengan hati—tapi memang terkupingkan juga di telinga Rachmat. Kata yang diucapkan Ibu Intan itu adalah, “Kasihan.” Hutami yang berada di dekat Ibu Intan, melihat dengan jelas wajah majikannya yang telah menjadikannya sebagai keluarga— bahwa ada rasa iba yang tulen bercampur dengan rasa murung yang ganjil ketika syak beradu dengan kaget—dan terdengar suaranya bergetar dan tersendat melafalkan pernyataan kasihan tersebut. Hutami hanya diam, memasuki empati itu. Ibu Intan sen­ dirilah yang mengatakannya kepadanya setelah diam beberapa saat, sekilas terhanyut ke masa silam. “Aneh, Mi, Bapak bunuhdiri di Nusakambangan,” katanya, dan tumben dia menyebut Dharsana: Bapak, “Masak sih, Bu,” kata Hutami. “Kayaknya aneh.” “Kejadiannya memang begitu, Mi,” kata Ibu Intan, terbawa ke suasana aneh atas kata ‘aneh’ yang diucapkan Hutami dalam rasam basabasi. “Tragis sekali.” “Ya, Bu, itu tragis,” kata Hutami menggaungkan kata yang diucapkan Ibu Intan tersebut. “Kok sudah dipenjara, masih bunuhdiri juga.” Dan, dengan gampang diimbuhnya dengan kesukaannya menterbalikkan peribahasa, “Itu namanya, sudah tertimpa tangga, masih jatuh juga.” Ibu Intan melengung saja, tidak mengangguk, tidak pula berkata apa­apa. Dahinya berkerut tanda sulit memercayai kabar itu. Menjelang malam Ibu Intan mengontak Juminah, me­ nyampaikan kabar aneh itu kepadanya, dan tetap dengan eks­ presi welasasih yang kontinu, namun disertai juga dengan pe­ rasaan ragu yang masih tetap membahana dalam pikiran dan perasaannya. Ragu? Kenapa ragu? Dia sendiri tidak tahu kenapa dia ragu. Keraguan Ibu Intan tersebut dikatakannya pada Juminah tanpa menjelaskan juga alasannya. “Pokoknya saya ragu, tapi saya tidak tahu kenapa,” kata Ibu Intan lewat telefonnya pada Juminah. www.bacaan-indo.blogspot.com *** Nanti, yang bisa mengatakan dengan rinci akan rasa ragu itu justru Tuminah, setelah Juminah datang ke rumah kem­ barnya ini pada malam harinya, membahas kabar itu. Ketika Juminah menyampaikan kabar itu pada Tuminah, berkatalah Tuminah pada Juminah dengan tidak ragu, “Aku sudah dengar kabar ini dari Pak Rachmat, dan aku curiga.” Memang begitu. Bagi Tuminah, kabar bunuhdiri Dharsana—yang disimpulkan Rachmat kepada Ibu Intan: bahwa hidup merupakan sebuah tandatanya—bukan lagi sesuatu yang meragukan, tapi lebih dari itu malah mencurigakan. “Curiga bagaimana?” tanya Juminah, teraliri rasa curiga tersebut ke dalam pikirannya. “Ya,” jawab Tuminah dalam simpul yang mengejutkan. “Seorang ‘koboi seks’ kayak Dharsana yang aku ketahui dari cerita Pak Rachmat, adalah manusia DB, doyan banget vagina. Di otaknya itu melulu hanya vagina. Jadi boleh dibilang otaknya itu ‘otak itil’.” “Hus!” “Ya, Jum, yang aku ingin bilang, orang yang otaknya melulu www.bacaan-indo.blogspot.com mikirin vagina, tidak segampang itu mengambil keputusan bunuhdiri. Sebab, dengan bunuhdiri berarti melupakan ke­ sukaannya pada perempuan. Artinya, aku ingin bilang, orang yang gandrung seks, dan otaknya melulu vagina—seperti juga di kosokbalinya perempuan yang otaknya melulu mikirin penis—justru diperciri dengan semangat hidupnya yang tinggi: semangat hidup yang antaralain juga dengan kecenderungan­ke­ cenderungan kriminil.” “Ah, teori apa itu.” “Lo, piye toh kamu ini, kok tidak percaya,” kata Tuminah, membujuk kembarnya masuk ke dalam bingkai pikirannya. “Orang seperti Dharsana itu modelnya ajimumpung seks. Mak­ sudku, mumpung dia masih merasa punya manuk, dan bisa ereksi, dia pasti akan terus memanfaatkan hidupnya demi seks: seks sebagai rekreasi. Mangkanya lumrah banget ambisinya itu adalah terus hidup supaya bisa terus juga berkopulasi, koitus, pendek kata seks dalam fornikasi, dari satu vagina ke vagina yang lain. Pak Rachmat menceritakan semua kelakuan Dharsana mulai dari dulu. Kata Pak Rachmat, Dharsana itu MBAL: masak bodoh asal lobang. Nah, mana mungkin orang yang kulina lobang berani melakukan bunuhdiri? Nonsen banget deh.” “Hm. Jadi itu alasanmu bilang curiga?” ”Ya. Pokoknya tidak mungkin dia bunuhdiri. Kemauannya untuk hidup adalah keinginannya untuk mencari lobang.” “Uh, amit­amit jabang bayi,” kata Juminah sembari me­ nepuk­nepuk perutnya. “Tapi itu kan ceritanya kalau dia benar masih bisa ereksi toh? Persoalannya kan dia bukan lelaki muda. Bukan lelaki yang bertaraf ‘pandangan hidup’: hanya memandang saja manuknya bisa langsung hidup. Bagaimana kalau ternyata dia sudah bertaraf ‘pegangan hidup’: harus dipegang­pegang dulu baru manuknya bisa hidup?” “Lo,” kata Tuminah ngotot. “Kan ada viagra yang bisa dibeli di warung­warung. Coba saja baca iklan­iklan di koran. Ada yang namanya pil biru, kapsul kuning, alat bantu ini­itu, obat oles untuk bikin panjang, bikin keras, bikin tahan lama. Belum lagi bisnis jasa orang­orang yang mengaku ahli mengatasi impotensi dan ejakulasi dini: Mak Erot, Polan, Anu, dan seterusnya. Lalu, kalau semua istilah digabung dengan nama­nama tukang pijat 24 jam yang biasa memasang nomer ponselnya di iklan baris, kemudian itu disusun secara acak, bisa­bisa dibaca sebagai puisi bingung.” “Hm.” Juminah ketawa. Setelah itu, “Sekarang, kalau kamu bilang curiga, bahwa Dharsana tidak bunuhdiri, apa kamu mau menyelidik?” Jawab Tuminah pasti sekali, “Ya, itu tugas polisi.” Dan Juminah mendukung, “Ya sudah, kerjakan, aku siap bantu kamu deh.” *** Nah, akan sampaikah cerita ini ke situ. Niscaya cerita ini akan sampai di situ. Tapi sekarang cerita ini belum sampai ke situ. Sekarang cerita ini baru sampai di sini dulu saja. www.bacaan-indo.blogspot.com *** www.bacaan-indo.blogspot.com EPILOG YANG penting tokoh jahat sudah mati. Tapi, jangan salah, matinya tokoh jahat terjadi melalui kejahatan pula oleh tokoh jahat yang lain. Jadi, apa artinya itu? Itu artinya, kejahatan memang selalu menular. Maka, kesimpulannya, Dharsana hanya sekadar mati dalam arti tidak lagi makan dan tidak lagi berak. Tapi pikiran tentang kejahatan berlanjut menjangkiti orang lain yang dengan sadar memelihara dendam di hati untuk melakukan kejahatan balasan. Walau Dharsana sudah mati—mati dalam ukuran faal nafas­ nya, sebagai sesuatu yang berhembus di hidung sebagai wilayah kerahmanan dan kerahiman ilahi, telah lenyap dari tubuh insansi—namun percayalah itu tidak berarti kejahatan sudah tamat. Orang yang membunuhnya, pelaku dan pesuruh, nanti www.bacaan-indo.blogspot.com pun akan dibalas lagi oleh orang lain yang melakukan kejahatan sama terhadapnya. Demikian aksioma tentang naluri manusia sejak manusia terbedakan dengan hewan yang tidak berbaju dan manusia menjadi hewan yang berjas­dasi: bahwa kejahatan memang menular. Setidaknya kejahatan Dharsana itu—sebagai sisikmelik lahiriah manusia dalam sejarahnya—galib dibalas dengan ke­ jahatan imbangan, dan kejahatan itu memang sudah terjadi, sehingga dengannya dapat disimpulkan, bahwa tidak mungkin lagi lahir perdamaian yang langgeng dan kedamaian yang wigati di hati manusia seperti dalam imajinasi lagu­lagu pop remaja. Sudah menjadi ciri tipikal hati manusia, bahwa kejahatan dibalas dengan kejahatan, kendatipun sudah 21 abad usia ajaran tentang cinta­kasih dan kasih­sayang sanggup mengalahkan maut, terbaca dalam pelbagai berita kebajikan dan digaungkan dengan rajin oleh Ahmadun, Ignatius, dan Nyoman. Sekarang, sudah diceritakan, yang membalas kejahatan dengan kejahatan terhadap Dharsana di pulau­penjara Nusa­ kambangan itu, dalangnya adalah Jeng Retno. Dulu Jeng Retno diarahkan Dharsana untuk membunuh Iskandar dengan memakai jasa tangan­tangan kotor Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol. Tapi sejak sekian waktu berlalu, ketika Jeng Retno dinyatakan sakit jiwa, dan itu sudah pula dimaklumi oleh sejumlah orang yang mengenalnya, wasangka terhadap dirinya hampir boleh dianggap luput. Tidak terpikirkan oleh siapapun bagaimana Jeng Retno yang dianggap terganggu jiwanya itu masih sanggup bermain peran kejahatan untuk membunuh orang yang didendamnya. Kalau nanti Tuminah dan Juminah benar­benar menyelidik di cerita yang lain, bisa saja mereka terkecoh pula, mengira ada orang lain di luar Jeng Retno yang bermain di belakang layar, www.bacaan-indo.blogspot.com mengupah tangan­tangan kotor dari dalam pulau­penjara itu, untuk membunuh Dharsana, sebagai cara membalas kejahatan dengan kejahatan. Kalau Tuminah bilang dia curiga, mestinya dia segera me­ naruh wasangka pada adanya tangan­tangan kotor di Nusa­ kambangan itu yang hatinya bisa dibeli. Haruslah Tuminah dan Juminah mengetahui terlebih dulu bahwa kedua pukimak Si Ongol­ongol dan Si Labu Siam itu biasa melakukan hal yang mengabaikan peri­kemanusiaan asalkan diberi rupiah. Satu­satunya orang yang barangkali bisa ditanyai soal itu hanya KC, sebab KC pula yang menyaksikan kejahatan Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol terhadap Iskandar dulu itu. Tapi tidak pula mudah mengorek itu, sebab di saat Dharsana dibunuh di pinggir tebing, KC sedang berbincang soal kebajikan dengan Daeng Pallu Ce’la. KC bahkan tidak tahu, bahwa sudah dibuat laporan kematian Dharsana, dan laporannya samasekali bohong. Andai Juminah dan Tuminah membaca laporan tentang kematian Dharsana, kedua saudara kembar ini pasti makin tidak percaya Dharsana bunuhdiri. Jadi, kalau nanti Tuminah ditugaskan ke Hotel Pro Deo yang seram ini atas permintaannya sendiri, maka dia harus memulai dengan tekad yang dialas oleh rasa percaya, bahwa mustahil Dharsana bunuhdiri. Tuminah yakin ada seseorang di luar pulau yang bermain dengan orang di dalam pulau, yang membunuh Dharsana. Tapi dia tidak tahu itu adalah Jeng Retno. Dia bahkan tidak pernah berpikir bahwa perempuan dengan busana Semit serba hitam yang berlalu di depan bangkunya dalam salahsatu sidang pengadilan dengan meninggalkan bau minyak­minyak gosok itu adalah orang yang berkepentingan membunuh Dharsana. Juminah yang mengenali Jeng Retno pun masih percaya bahwa Jeng Retno belum sembuh dari gangguan jiwanya. Begitu juga, orang­orang yang dekat dengannya, kecuali Nia www.bacaan-indo.blogspot.com yang percaya­tak­percaya soal sakit jiwanya Jeng Retno, masih beranggapan begitu. Hanya orang yang paling dekat dengan Jeng Retno, yaitu ibukandungnya sendiri, tahu benar bahwa Jeng Retno tidak pernah dirawat di rumahsakit Prof D Soerojo (atau yang populer bagi orang di Magelang: RSJ Kramat) di mana anaknya Mayang sudah lama dirawat dan belum juga sembuh dari hayalnya sebagai domba yang dililit ular sampai waktunya yang disebut ini nekat menenggak racun serangga. Juga, salah seorang yang tahu betul kebiasaan Jeng Retno, dalam hal ini iparnya, Nia, bahwa Jeng Retno sekarang tidak seronok lagi seperti dulu: memanfaatkan sejumlah minyak wangi yang ditaruh di bagian­bagian tubuhnya supaya ditaksir lelaki, melainkan sejumlah minyak gosok yang ditaruh di hampir seluruh bagian tubuhnya karena merasa kadung ditaksir penyakit. Favorit minyak gosoknya masih tetap gondopuro dan mi­ nyak kayu putih. Tapi, di luar itu dia masih memakai juga minyak­minyak gosok lain, yaitu minyak Tawon yang digosok­ nya di dada bawah leher, dan minyak PPO digosok di perut, kemudian balsem Cap Macan digosok di punggung kiri dan balsem Balpirik digosok di dua bahu, Vicks digosok di punggung kiri dan kanan, Rheumason digosok di pinggang kiri dan balsem Kaki Tiga digosok di pinggang kanan, Counterpain digosok di betis kiri dan minyak gosok Cap Kampak digosok di betis kanan. Pendek kata kebiasaan yang langka ini, yang menunjukkan sifat eksentrik, tetap harus dibilang memenuhi syarat untuk disebut juga heboh, bahkan tiada kesamaannya dengan kebiasaan manusia berbudaya lainnya di panggung sejarah Indonesia mulai dari Ken Dedes sampai Ratna Sari Dewi. Sekarang, bagaimana caranya Tuminah dan Juminah mengetahui dalang pembunuhan Dharsana adalah Jeng Retno? Tak ayal, haruslah keduanya membutuhkan KC. www.bacaan-indo.blogspot.com KC tinggal menunggu waktu untuk bebas. Dan sekali lagi, ini usaha Juminah yang membuktikannya tidak bersalah setelah yang merekayasanya ke Hotel Pro Deo ini sudah menjadi terpidana. Memang KC tidak melihat pelaksanaan pembunuhan ter­ hadap Dharsana seperti dulu dia menyaksikan pembunuhan terhadap Iskandar. Namun, inilah cerita yang sebenarnya, yang sengaja belum diceritakan di depan—dan pasti ini akan berharga bagi Tuminah dan Juminah—bahwa ketika Jeng Retno datang sepuluh hari sebelum kematian Dharsana, menemui Si Labu Siam dan Si Ongol­ongol dengan mengenakan busana Semit yang serba tertutup itu, dia berpapas dengannya dan sempat bersenggolan pula. Pas menyenggol KC, Jeng Retno yang tidak dikenalnya karena busananya itu, sempat berseru dengan kalimat ganjen nginggris: “Oh my God. Sorry, Mas.” KC tergegau. Rasa­rasanya dia teringat akan pertama kali dia digebug oleh polisi di kantornya ketika dia dituduh mem­ bunuh Marc, dan Jeng Retno yang wangi semerbak waktu itu, dalam kagetnya mengucapkan “Oh my God.” Kata seru yang diucapkan dengan ganjen pada sekian tahun lalu itu, seperti baru didengarnya kemarin, dan didengar pula hari ini. Tapi dia tidak hirau. Memangnya apa urusannya untuk hirau. Dia tidak mau terpancing berbuat macam­macam pada hari­hari terakhir ini, sebab dia memang menunggu dengan rin­ du hari dibebaskan dirinya dari pulau­penjara ini. Sekaligus, ini merupakan kesimpulan akhir, bahwa cerita ini harus selesai sampai di situ. Cerita tentang besok, menyangkut dukacita dan airmata serta sukacita dan gelak tawa, masing­masing dalam karakter yang berbeda antara sosok satu dengan sosok lainnya, pasti berlanjut menurut kodratnya yang sudah tersurat. Setidaknya janji Tuminah hari ini yang didukung oleh Jumi­ nah, adalah utang kebajikan pada hari esok: hari mendatang yang sejalan dan muradif dengan waktu­waktu lalu, ditandai dengan ciri­ciri—jika boleh dipinjam rumusnya dari ajaran primordial Cina, yin­yang—bahwa hidup memiliki dua tipe insani berlawanan antara kebaikan dan kejahatan yang selalu ada dalam semua tarikh. Di hari­hari mendatang itu masih tetap ada sosok­sosok baik dan sosok­sosok jahat dalam cerita lanjutannya: masih ada Ibu Intan, Rachmat Wirjono, Nia, James Winata, KC, Ny Nanin Permadi, Untung Surapati, Luhut, Ahmadun, Ignatius, Nyoman, Bon Jovi, dan tentu saja Jeng Retno. Adanya sosok­sosok baik dan sosok­sosok jahat justru men­ jamin arti asasi kehidupan manusia di kulit bumi ini. Hebatnya, selalu terjadi, bahwa dalam rangka menumpas kejahatan untuk memenangkan kebaikan, tidak sepi tindakan terhadap kejahatan yang mengatas­nama kebaikan itu, malah melaksanakannya dengan model kejahatan yang lebih berat. www.bacaan-indo.blogspot.com *** DAPATKAN BUKU REMY SYLADO LAINNYA BONUS www.bacaan-indo.blogspot.com lagu Koleksi CD do la Sy Remy 13.5 x 20 cm, 272 hlm, Rp1 20.000 www.bacaan-indo.blogspot.com atif Proses Kre nanta Toer A a y d e o m Pra Utami hingga Ayu 9 pengarang Sebanyak 4 emaparkan ternama m a atif merek proses kre spirasi yang mengin gah. dan menggu @ Rp45.000 www.bacaan-indo.blogspot.com

www.bacaan-indo.blogspot.com