Kelebihan dan kekurangan film Sokola Rimba brainly

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sokola Rimba menceritakan tentang perjuangan Butet Manurung (diperankan oleh Prisia Nasution) selama menjadi pengajar bagi masyarakat Suku Anak Dalam yang dikenal dengan sebutan Orang Rimba atau lebih populer dengan sebutan Orang Kubu di pedalaman hutan Bukit Duo Belas, Jambi.

Kisah berawal saat Butet hendak pergi mengajar lalu mendadak terkena demam malaria di tengah hutan dan diselamatkan oleh seorang anak Orang Rimba. Selanjutnya diketahui anak tersebut bernama Nyungsang Bungo,berasal dari Hilir Sungai Makekal yang jauh dari tempat di mana Butet mengajar yakni di hulu sungai. Bungo ini ternyata diam-diam sering mengintip kegiatan Butet ketika mengajar baca tulis bersama anak-anak Orang Rimba di hulu sungai.

Nyungsang Bungo selalu membawa gulungan surat perjanjian persetujuan pengekploitasian tanah adat mereka yang telah dicap jempol oleh Tumenggung selaku kepala adat mereka. Bungo ini sangat ingin sekali belajar membaca agar bisa mengetahui apa isi dari surat perjanjian itu. Dalam hal ini, jujur penulis merasa terharu melihat semangat Bungo yang sangat kuat ingin bisa membaca dan menjadi pintar agar ia dan keluarganya sesama orang rimba tidak lagi dibodoh-bodohi oleh orang luar yang ingin menjarah hutan adat mereka.

Bungo yang awalnya dipergoki oleh anak rimba salah satu murid Butet malu-malu dan takut untuk ikut belajar ternyata cukup cerdas dan ulet dalam belajar. Hal ini membuat Butet ingin memperluas wilayah kerjanya ke arah hilir, ke perkumpulan orang rimba lainnya yakni suku di mana Bungo berasal.

Mulanya setelah agak lama menunggu hingga menginap satu malam di pinggir pemukiman kelompok Bungo, Butet akhirnya diizinkan oleh Tumenggung selaku kepala adat untuk mengajar di sana. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, kepercayaan ataupun tradisi adat Suku Anak Dalam yang anti akan hal-hal asing dari luar mempercayai bahwa pensil, buku, dan kegiatan Butet itu akan membawa malapetaka bagi mereka. Puncaknya ketika Tumenggung meninggal dan Bungo dijemput paksa oleh anggota kelompoknya yang meyakini meningggalnya Tumenggung akibat kedatangan dan aktivitas Butet. Membuat Bungo harus berhenti belajar dan kembali ke kelompoknya untuk melakukan adat mereka yang berpindah tempat ketika ada salah satu anggota yang meninggal. Penulis lupa istilah ritual ini, memang Orang Rimba mempercayai bahwa jika ada anggotanya yang meninggal di suatu tempat maka mereka harus pergi dari tempat itu karena tempat tersebut dianggap tidak baik untuk ditinggali karena akan membawa petaka kepada anggota lainnya. Begitu pula jika ada anggotanya yang sakit, biasanya si sakit akan ditinggalkan di tempat tersebut dan mereka pergi meninggalkannya. Jika si sakit itu sembuh biasanya kelompok yang pergi meninggalkan jejak untuk diikuti dan anggota yang ditinggalkan tadi akan menyusul. Namun bila akhirnya ia mati, maka yang pergi tidak akan pernah kembali ke wilayah itu lagi.

Di akhir cerita ketika Butet kembali bertemu dengan Nyungsang Bungo dan kelompoknya adegan mengharukan kembali ditayangkan ketika Butet dan rekan sesama pengajar melihat Bungo menjadi juru bicara kelompoknya ketika ada orang luar (Masyarakat biasa) yang hendak meminta izin mengeksploitasi hutan adat mereka. Bungo yang saat itu sudah bisa membaca membuat bingung orang-orang yang hendak meminta persetujuan Ketua Adat karena Bungo bisa membaca dan mengerti akan isi surat perjanjian yang mereka tawarkan. Di sana Bungo menolak poin-poin di surat perjanjian yang dianggap tidak sesuai dengan aturan adat mereka.

Prisia Nasution dalam perannya memerankan Butet Manurung penulis nilai sangat baik, nilainya sempurna. Pembawaannya, dan tampaknya Prisia cukup mahir berbahasa Suku Anak Dalam. Nyaris tidak ada cacat. Nilai plus juga diberikan kepada para suku anak dalam yang ikut serta memerankan tokoh-tokoh di film ini. Akting mereka sangat alami, apa adanya. Seolah mereka ini sudah berpengalaman bermain film. Tidak tampak mimik canggung, logat yang datar, atau gerakan-gerakan yang sering kita lihat saat orang awam di depan kamera. Atau jangan-jangan memang mereka ini sudah ikut sekolah akting sebelumnya? Entah lah, yang pasti akting mereka sangat baik, apa adanya.

Menonton film ini membuat penulis teringat akan beberapa cerita ketika masih kecil dulu. Di mana waktu itu sangat sering melihat grombolan Suku Anak Dalam yang lebih sering kami sebut dengan Orang Kubu melintas di pemukiman penduduk. Kenapa disebut Orang Kubu? Konon ceritanya sebutan ini dikarenakan mereka ini dulunya adalah anggota kerajaan dari daerah Sumatera Barat yang lari masuk hutan karena pada saaat itu kerajaannya diserang oleh Belanda. Mereka yang lari ke hutan ini akhirnya memilih bertahan dan hidup menetap di dalam hutan, sampai saat Indonesia telah merdeka bahkan hingga saat ini beberapa keturunannya masih ada yang masih mengasingkan diri di dalam hutan meski sudah ada sebagian yang telah membaur dengan masyarakat. Karena sifat mereka yang suka bertahan di hutan inilah maka terlahir sebutan “Orang Kubu”, orang-orang yang bertahan.

Beberapa tradisi, adat istiadat dan kebiasaan yang diceritakan dalam Film Sokola Rimba memang begitulah adanya. Mereka cenderung takut akan hal-hal baru yang menurut mereka tak biasa apa lagi bertentangan dengan adat. Mereka beranggapan jika hal itu terus dibiarkan maka akan membawa mala petaka bagi mereka dan kelompoknya. Orang Kubu ini hidup bersuku-suku, saling berkelompok, kehidupannya selalu berpindah-pindah dan tidak mau menetap. Kesehariannya mereka memanfaatkan potensi hutan untuk memenuhi segala kebutuhannya. Tiap-tiap kelompok juga mempunyai daerah teritorial masing-masing. Tak jarang terjadi peperangan antar kelompok hingga salah satunya mengaku kalah dan berjatuhan korban jiwa.

Dulu sewaktu penulis masih SD gerombolan Suku Anak Dalam ini cukup sering melintas di sekitar pemukiman rumah penduduk. Mereka tidak suka dengan sebutan “Orang Kubu”. Mereka lebih suka dipanggil “Sanak”. Ya, sanak artinya saudara, jadi panggilan tersebut adalah panggilan tersopan dari kita kepada mereka. Orang tua pernah mengatakan, jika melihat/berpapasan dengan Orang Rimba kita dilarang meludah di hadapan mereka, karena mereka mudah tersinggung. Konon mereka ini tidak akan serta merta marah jika hal itu dilakukan. Mereka akan menggunakan kekuatan magis yang disebut “Pelet Kubu” membuat kita seperti terhipnotis dan akan mengikuti mereka dan dijadikan budak oleh mereka. Sampai saat ini istilah “pelet kubu” masih sangat fenomenal. Kabarnya kita bisa mempelajari langsung ilmu tersebut kepada mereka untuk digunakan kepada orang yang kita inginkan dan orang tersebut akan manut kepada kita dan tak pernah mau lepas dari kita. Juga ada sebuah tradisi ekstrim yang disebut Salih. Salih ini semacam upacara adat yang menggunakan kepala manusia sebagai tumbalnya. Adapun kepala ini mereka peroleh dari orang yang berasal dari luar suku mereka. Namun, kini ritula tersebut sudah tidak ada.

Ada lagi kepercayaan dari masyarakat yang mengatakan bahwa, jangan sekali-kali memberi sesuatu kepada Suku Anak Dalam. Karena natinya mereka akan kembali dan terus-terusan meminta-minta ke rumah kita biasanya juga akan mengajak serta rombongannya. Hal ini dikenal dengan istilah “pintak kubu”. Namun kini kehidupan mereka sudah lumayan membaik. Sudah cukup banyak Orang Rimba kini mau membaur dan hidup menetap dengan masyarakat. Beberapa ada juga yang menikah dengan penduduk setempat. Mereka sudah mengenal tekhnologi dan peradaban, meski masih ada sebagian yang masih memilih menetap di hutan. Bahkan beberapa orang dikabarkan sudah ada yang menjadi orang penting di masyarakat. Baru-baru ini juga ramai diberitakan seorang Anak Rimba yang kuliah di Universitas Jambi. Ia mengambil program Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan setelah lulus dengan gelar sarjana berniat untuk kembali ke kalangannya untuk mengajar mereka-mereka yang belum tersentuh di pedalaman.

Dari film ini kita dapatkan pelajaran akan rasa tanggung jawab, pengabdian, dan cinta seorang guru kepada muridnya. Terlepas itu siapa dan dari mana si murid tersebut berasal dan sesulit apa pun rintangan yang dihadapi demi sebuah tanggung jawab, mencerdaskan salah satu bagian dari anak bangsa yang masih belum terjamah. Melalui kisah ini juga kita seolah disadarkan betapa sesungguhnya mereka adalah saudara kita, sebagai sesama umat manusia sudah barang tentu merupakan kewajiban kita untuk membebaskan mereka yang masih terkurung oleh tradisi dan adat istiadat, serta memerdekan mereka yang masih terjajah oleh saudaranya sendiri yang memanfaatkan kekurangan mereka demi kepentingan-kepentingan pribadi.

Mulai 21 November 2013 pecinta film di Indonesia dapat menyaksikan film Sokola Rimba berdurasi 90 menit di bioskop. Film ini diangkat dari kisah nyata Saur Marlina “Butet” Manurung yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah itu diterbitkan Butet dalam buku berjudul Sokola Rimba.

Ketika duet Riri Riza dan Mira Lesmana mengangkatnya ke layar lebar, banyak orang berharap mereka mengulang sukses mengangkat kisah anak-anak Belitong dari novel Laskar Pelangi. Sokola Rimba merupakan film keempat yang mereka adaptasi dari buku, setelah Gie (2005) yang dibuat berdasarkan buku Catatan Seorang Demonstran karya So Hok Gie (1983), serta Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) dari novel karya Andrea Hirata.

Tokoh Butet diperankan Prisia Nasution. Seperti Laskar Pelangi, Riri kembali melibatkan orang lokal dalam filmnya kali ini. Mereka adalah Nyungsang Bungo, Beindah, dan Nengkabau, serta dibantu sekitar 80 anak rimba yang berasal dari pedalaman hutan Bukit Dua Belas. Meski bukan aktor profesional, Riri mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengarahkan peran mereka.

Sang produser, Mira Lesmana mengatakan film yang memakan waktu 14 hari syuting itu menelan biaya sebesar Rp 4,6 miliar. Selain melibatkan 80 orang kru Orang Rimba, film ini juga melibatkan 35 kru film dari Jakarta, 15 kru dari Jambi. Syuting film 95 persen di Provinsi Jambi yakni di Kabupaten Merangin dan Tebo.

Orang Rimba adalah masyarakat adat yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah di pedalaman Jambi. Dengan memegang teguh adat-istiadat, mereka mencoba bertahan meski tanah tempat mereka berdiam tak serimbun dulu. Binatang buruan semakin langka. Orang-orang Rimba hanya bisa menatap ketika satu per satu pohon madu raksasa yang selama ini mereka keramatkan roboh dihajar gergaji mesin.

Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak berdaya. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang terang – sebutan bagi orang kota – untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.

Butet, yang lahir pada 1972, bertekad membuat masyarakat Rimba menjadi pintar supaya tak gampang dibodohi. Tak sekedar membuat mereka melek huruf dan bisa berhitung. Dia juga menyelenggarakan pendidikan yang membuat Orang Rimba bisa “bersuara” dan memberdayakan diri. Tentu itu tak mudah. Bagi Orang Rimba, pendidikan merupakan hal tabu dan melanggar adat mereka. Butet tak pernah menyerah.

Tentu tak semua pengalaman Butet yang kaya warna di bukunya setebal 348 halaman itu divisualkan. Ada keterbatasan durasi. Inti film berpijak pada tokoh Butet dan Nyungsang Bungo, anak Rimba yang tinggal di Hilir Sungai Makekal. Dia adalah remaja cerdas dan serius ingin belajar. Dari Nyungsang inilah konflik dibangun.

Film ini diawali saat Butet, yang telah tiga tahun mengajar anak Rimba di hilir Sungai Makekal Ulu, terserang malaria. Dia pingsan di tepi sungai di tengah belantara dan ditolong seorang anak Rimba dari hilir. Inilah pertemuan awal Butet dan Nyungsang.

Nyungsang diam-diam memperhatikan Butet mengajar. Keinginan kuat untuk bisa membaca dan menulis mendorong Butet memperluas wilayah kerjanya ke hilir Sungai Makekal, tempat tinggal Nyungsang. Muncul masalah. Tidak hanya memanaskan hubungan Butet dengan atasannya. Butet juga mesti berhadapan dengan sikap sinis orang-orang Rimba di hilir yang menentang kehadirannya.

Butet diceritakan sebagai pekerja di Wanaraya, sebuah lembaga konservasi yang memberikan pendidikan alternatif bagi anak rimba. Tanpa disangka, perkelanaan Butet di tengah rimba itu berkembang menjadi tak sebatas kewajiban semata. Dia malah menjadi ‘abdi’ bagi ratusan anak rimba.

Dalam sebuah adegan tergambar ketegangan pecah. Menggetarkan wilayah rombong (kelompok) Tumenggung (tetua) Belaman Badai. Nyungsang bergegas menyongsong susudungan (pondok kecil) di jantung hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Dengan wajah gusar, ia meluapkan kemarahan. ”Ke mano Bu Guru Butet pegi? Akeh ndok bolajor pado Bu Guru,” ujar Nyungsang meradang.

Anggota Orang Rimba yang masih remaja ini tidak bisa merima sikap Tumenggung Badai yang mengusir secara halus sang ibu guru. Dalam adat Orang Rimba, belajar atau sokola adalah pantangan. Mereka yakin, sokola akan mendatangkan bala, kutukan, bahkan kematian.

Bungo lari dari rombong-nya. Diam-diam ia menyusuri hutan demi ikut sokola. Di tangannya sudah ada pensil dan buku. Tapi masih saja ia ragu mengutarakan niat ingin belajar. Tekadnya itu dipantang oleh hukum adat. ”Bungo, ayo bolajor,” suara lirih Guru Butet mengajaknya bergabung belajar bersama anak rimba lainnya. Butet sadar dilema dalam diri Bungo yang terlanjur mencintai sokola, tapi juga terlahir untuk mencintai adat, kaum, dan tanah pusakanya.

Potret kehidupan Orang Rimba tersaji apik dalam film ini. Mulai dari kondisi hutan Orang Rimba yang dikepung kelapa sawit, gelondongan-gelondongan kayu bergelimpangan di sana-sini, hasil buruan yang makin berkurang seiring dengan masifnya pembabatan hutan, sampai pada transaksi ekonomi di pasar yang kerap menipu orang-orang rimba.

Riri mengungkapkan, agar bisa mendapat gambaran utuh tentang kehidupan Orang Rimba, ia dan timnya riset turun ke lapangan sebelum memulai rangkaian proses pengambilan gambar. Mereka tinggal berhari-hari di dalam hutan, merasakan hidup bersama Orang Rimba. Mira Lesmana, produser Sokola Rimba, mengaku sudah lama mengenal dan kagum pada sosok Butet Manurung. ”Ada perempuan yang mau tinggalkan kehidupannya di kota demi mengajar Suku Anak Dalam,” katanya.

Berbeda dengan novel Laskar Pelangi, buku Sokola Rimba bukanlah fiksi, yang semua adegan dan deskripsinya sudah tersaji. Dramatisasi juga tidak ada. Artinya Riri mesti membuat sendiri pengadeganannya agar muncul cerita. Di banyak tempat, Prisia Nasution yang memerankan Butet terdengar “berceramah”, menarasikan apa yang seharusnya diadegankan.

Pada tayangan premier 21 November 2013 lalu, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) memborong 700 tiket empat teater bioskop 21 WTC, Jambi. Hasan Basri, Riri Riza, Butet Manurung, Prisia Nasution bersama kru film Sokola serta 568 siswa SD dan SMP yang ada di Kota Jambi cukup antusias menonton bareng.

Kepala Biro Humas Pemprov Jambi, Rahmad Hidayat berpendapat menonton Sokola Rimba seperti menonton film dokumenter National Geographic. Namun kata Rahmad, bagaimanapun juga film sarat pesan dan dapat memberi gambaran secara utuh kehidupan sehari-hari Orang Rimba. “Pak Gubernur juga bilang bahwa belajar itu bisa di mana saja dan kapan saja, termasuk di hutan. Ayo generasi muda rajinlah belajar. Film ini jelas memotivasi kita,” kata Rahmad kepada Mongabay Indonesia.

Sebagai sebuah film cerita, Sokola Rimba memang memasukkan tokoh rekaan dan dramatisasi. Tapi itu tak membuat Riri menghilangkan narasi. Dia mungkin punya alasan lain. Dengan membuatnya seperti film dokumenter, kita justru bisa melihat kehidupan anak Rimba yang natural. Misalnya cara mereka bicara, berpakaian, berburu, dan berhubungan dengan orang lain, hingga ritual adat. Apa yang mereka ungkapkan dalam film terasa betul murni dari hati.

Butet sampai mendidik Orang Rimba itu karena bekerja untuk Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sejak 1999 hingga 2003. Setelah Butet resign, dia mendirikan SOKOLA RIMBA – sebuah lembaga yang concern di bidang pendidikan dan belakangan menyebar hingga ke Makasar, Aceh, Papua, dan Kupang.

Sayang pihak KKI Warsi belum satu orang pun yang menonton film Sokola Rimba sehingga belum bisa berkomentar atas film itu. “Saya belum tahu jika film itu sudah beredar. Bagaimanapun karya seni harus diapreasiasi. Karya seni ya karya seni,” kata Rakhmat Hidayat, Direktur KKI WARSI kepada Mongabay Indonesia.

Dewi, seorang guru yang ikut nonton bareng juga berkata bahwa film tersebut sangat bagus dan mendidik serta banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik. “Filmnya luar bisa bagus. Yang paling berkesan yaitu seorang guru yang mengajar anak Rimba yang awalnya sama sekali tidak mengenal baca tulis. Akhirnya mereka bisa membaca dan menulis. Itu pesan penting bagi kalangan guru agar tanpa pamrih mendidik anak muridnya,” kata guru SMP ini.

Beindah dan Nengkabau mampu mencuri perhatian penonton lewat tingkah polahnya yang mengundang tawa. Terlebih umpatan mereka,”rajo penyakit” dan “melawon”. Seusai menonton, para siswa masih saja tertawa teringat dengan dua kata tersebut.