Jelaskan perkembangan Muhammadiyah pada masa setelah reformasi dan Muktamar ke-45 di Malang

Jelaskan perkembangan Muhammadiyah pada masa setelah reformasi dan Muktamar ke-45 di Malang
Nadjib Hamid (Aan/PWMU.CO)

Muktamar Muhammadiyah memiliki nama yang berbeda dari masa ke masa. Inilah nama-nama ketua yang terpilih: dari KH Ahmad Dahlan hingga Prof Haedar Nashir.

PWMU.CO – Pada tanggal 1-5 Mei 2020, Muhammadiyah menggelar Muktamar ke-48, di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Meski sudah ke-48, ternyata masih sering ada yang menanyakan tentang sejarah penggunaan istilah Muktamar.

Muktamar adalah permusyawaratan tertinggi di dalam ormas Islam bersimbol matahari ini. Agenda utama yang dibicarakan adalah laporan pertanggungjawaban kepemimpinan selama seperiode, penyusunan program periode berikutnya, pemilihan pimpinan, dan menyikapi berbagai perkembangan aktual.

Terkait penggunaan istilah Muktamar, terdapat informasi penting dari lampiran buku kecil Muhammadiyah Abad XV Hijriyah: 70 Langkah ke Depan, karya Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sangat legendaris, KH AR Fahruddin, yang terbit pertama pada September 1985.

Judul lampirannya pun sangat sederhana: Untuk Pengetahuan Para Anggota. Berupa tabel yang berisi daftar nama permusyawaratan, tahun dan tempat penyelanggaraannya. Karena terbit pada 1985, isinya hanya sampai Muktamar ke-41, di Surakarta. Dalam lampiran kedua, disebutkan nama-nama Ketua (baca: Ketua Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga Muktamar ke-41.

Sebagian sumber tulisan ini, diambil dari lampiran buku tersebut. Sisanya, dari pengalaman beberapa kali mengikuti perhelatan akbar tersebut, yaitu Muktamar ke-40 di Surabaya hingga ke-47 di Makassar.

Dari Muktamar ke Muktamar

Sejak 1912 hingga 1925, istilah yang dipakai adalah Rapat Tahunan. Tempat penyelenggaraannya, semua di kota kelahiran, Yogyakarta. Yakni I (1912), II (1913), III (1914), IV (1915), V (1916), VI (1917), VII (1918), VIII (1919), IX (1920), X (1921), XI (1922), XII (1923), XIII (1924), dan XIV (1925).

Selanjutnya, berubah menjadi Kongres Tahunan. Istilah tersebut hanya digunakan dua kali. Yakni Kongres Tahunan XV (1926) di Surabaya, dan Kongres Tahunan XVI (1927) di Pekalongan.

Pada 1928, berubah lagi menjadi Kongres Besar Tahunan (ke-17), di Yogyakarta; Ke-18 (1929) di Surakarta; ke-19 (1930) di Minangkabau; Ke-20 (1931) di Yogyakarta; Ke-21 (1932) di Makassar; Ke-22 (1933) di Semarang; Ke-23 (1934) di Yogyakarta; Ke-24 (1935) di Banjarmasin; Ke-25 (1936) di Jakarta; Ke-26 (1937) di Yogyakarta; Ke-27 (1938) di Malang; Ke-28 (1939) di Medan; Ke-29 (1940) di Yogyakarta; Ke-30 (1941) di Purwokerto.

Pada 1944, jelang kemerdekaan Republik Indonesia (RI), berubah menjadi Muktamar Dlarurat, yang berlangsung di Yogyakarta. Kemudian Silaturrahmi se-Jawa tahun 1946, juga dilaksanakan di kota kelahirannya.

Penggunaan istilah Muktamar, baru dimulai pada 1950. Yakni ketika organisasi yang didirikan KH Ahamad Dahlan ini menggelar permusyawaratan tertinggi ke-31, di Yogyakarta. Seterusnya, Muktamar ke-32 (1953), di Purwokerto; Ke-33 (1956) di Palembang; Ke-34 (1959) di Yogyakarta; Ke-35 (1962) di Jakarta; Ke-36 (1965) di Bandung; Ke-37 (1968) di Yogyakarta; Ke-38 (1971) di Ujung Pandang (Makassar); ke-39 (1974) di Padang; Ke-40 (1978) di Surabaya.

Pada Muktamar ke-41 di Surakarta, pelaksanaannya agak terlambat (1985), gara-gara ada kebijakan pemerintah yang mewajibkan semua orsospol harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, yang menimbulkan eskalasi politik yang meningkat.

Setelah itu, pelaksanaan Muktamar kembali normal setiap lima tahunan, yaitu Muktamar ke-42 (1990) di Yogyakarta; Ke-43 (1995) di Aceh; Ke-44 (2000) di Jakarta; Ke-45 (2005) di Malang; Ke-46 (2010) di Yogyakarta. Terakhir, ke-47 (2015) di Makassar.

Nama Ketua Muhammadiyah dari Masa ke Masa

Sejak Rapat Tahunan pertama (1912) hingga keduabelas (1923), KH Ahmad Dahlan selalu terpilih sebagai ketua. Setelah wafat, digantikan KH Ibrahim hingga tahun 1932; KH Hisyam (1932-1936); KH Mas Mansur (1936-1942); Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953); Buya AR Sutan Mansur (1953-1959); KH M. Yusnus Anis (1959-1962); KH Ahmad Badawi (1962-1968).

Ketika Muktamar ke-37 (1968) di Yogyakarta, mantan Menteri Agama KH Faqih Usman terpilih sebagai Ketua. Namun baru sepekan menjabat (27 Sept-3 Oktober 1968), beliau wafat. Lantas digantikan KH AR Fahruddin hingga 1990. Kemudian KH Azhar Basyir (1990-1995). Namun, setahun sebelum berakhir masa jabatan, beliau wafat (28 Juni 1994). Lalu digantikan oleh Prof Dr M. Amien Rais.

Dalam Muktamar ke-43 di Aceh tahun 1995, Prof Dr M. Amien Rais terpilih untuk periode 1995-2000. Tapi karena pada 1998 tokoh reformasi itu mendirikan dan menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), maka posisi Ketua PP Muhammadiyah digantikan oleh Prof Dr Achmad Syafii Maarif, hingga tahun 2000. Buya mendapat amanah yang sama untuk periode berikut (2000-2005), di Muktamar Jakarta (2000).

Selanjutnya, bersamaan dengan terpilihnya Prof Dr M. Din Syamsuddin di Muktamar Malang untuk periode 2005-2010, jabatan ketua berubah menjadi ketua umum. Din terpilih kembali sebagai ketua umum (2010-2015), dalam Muktamar ke-46 di Yogyakarta (2010). Pada Muktamar ke-47 di Makassar, terpilih sebagai ketua umum periode 2015-2020, Dr Haedar Nashir. (*)

Kolom oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.

Jelaskan perkembangan Muhammadiyah pada masa setelah reformasi dan Muktamar ke-45 di Malang
Jelaskan perkembangan Muhammadiyah pada masa setelah reformasi dan Muktamar ke-45 di Malang

Dok Pusdalitbang SM

Muktamar ke-45 tahun 2005 di Malang menghasilkan sejarah baru dalam tradisi Persyarikatan. 13 orang Pimpinan Muhammadiyah yang terpilih dalam Muktamar semuanya menandatangani kontrak amanah untuk berkhidmat sebagai pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah.

Menurut para pengamat, sejarah baru itu tidak bisa dilepas dari suasana politik nasional yang saat itu sedang menghangat. Bangsa Indonesia baru saja menggelar Pemilihan Presiden RI secara langsung untuk kali pertama.

Pemilihan presiden itu sendiri diikuti oleh lima pasang calon presiden dan wakil presiden. Jendral Wiranto berpasangan dengan KH Shalahuddin Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Jusuf Kalla, Megawati berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi, Prof Amien Rais berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo, serta Hamzah Haz berpasangan dengan Jendral Agum Gumelar.

Hasilnya, Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mengalahkan presiden petahana Megawati dalam putaran final. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr M Amien Rais terpaksa tersisih di putaran pertama.

Pesta pemilihan presiden saat itu berlangsung cukup hangat. Walaupun kondisi Muhammadiyah saat itu selamat dari perpecahan, namun beberapa ormas Islam yang lain nyaris terbelah. Saat itu banyak Pimpinan Ormas Islam yang membelokkan haluan organisasinya ke arah politik praktis. Banyak pimpinan ormas yang menunggangi orgasisasi yang dipimpinnya untuk kepentingan politik praktis masing-masing pimpinannya.

Untunglah, hal itu tidak terjadi di Persyarikatan Muhammadiyah. Walau begitu banyak pengamat dan pemerhati yang memperingatkan agar Muhammadiyah membuat rambu-rambu agar hal yang terjadi di ormas yang lain tidak terjadi di Muhammadiyah.

Untuk merespons suasana kebatinan yang seperti itu seluruh pimpinan hasil Muktamar ke-45 membuat semacam dokumen yang kemudian oleh para pengamat disebut sebagai Kontrak Amanah Pimpinan Muhammadiyah. Rumusan atau bunyi kontrak amanah itu adalah sebagai berikut:

KOMITMEN PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH PERIODE 2005-2010

BISMILLAHIRAHMANIRRAHIM

Berdasarkan pada prinsip-prinsip Persyarikatan dan demi kemaslahatan Muhammadiyah kami anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 menyatakan komitmen sebagai berikut:

  • Bersedia menjadi uswah hasanah dan berkhidmat dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan amanat kepemimpinan Muhammadiyah.
  • Bersedia bekerja dalam sistem kepemimpinan kolektif-kolegial dan menaati prinsip-prinsip Persyarikatan Muhammadiyah.
  • Tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik termasuk dalam pencalonan pemilihan Presiden/ Wakil Presiden tahun 2009 serta jabatan-jabatan politik di berbagai jenjang maupun kepentingan-kepentingan lain yang merugikan Muhammadiyah.
  • Bagi anggota yang mencalonkan atau bersedia dicalonkan dalam jabatan politik sebagaimana disebutkan dalam butir ketiga, secara otomatis mundur dari keanggotaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Malang, 30 Jumadil Awal 1426 H./ 7 Juli 2005 M.

Dokumen ini dirancang dan ditandatangani oleh semua (tiga belas) anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2005-2010 yang terdiri dari 1. Muhammad Din Syamsuddin 2. Haedar Nashir 3. Muhammad Muqoddas 4. Abdul Malik Fadjar 5. Yunahar Ilyas 6. Abdul Rosyad Sholeh 7. Ahmad Dahlan Rais 8. Goodwill Zubir 9. Zamroni 10. Muchlas Abror 11. Bambang Sudibyo 12. Fasich 13 Sudibyo Markus.

Dalam sejarah Muhammadiyah, penandatanganan kontrak amanah seperti ini baru terjadi satu kali itu saja. Sebuah keputusan bijak yang dihasilkan untuk dijadikan pegangan bersama ketika perpolitikan Indonesia juga sedang memasuki era baru.

Sebenarnya ada yang lebih besar yang dihasilkan dalam Muktamar ke-45 tersebut, yaitu Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn) yang sudah diketahui oleh semua warga Persyarikatan Muhammadiyah. (isma)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 15 Tahun 2015