Jelaskan mengenai sengketa perbatasan wilayah pulau Sipadan dan Ligitan

Hasjim Djalal



Tanggal 17 Desember 2002 yang lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan dengan suara 16:1 bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang kepemilikannya dipertengkarkan antara Indonesia dan Malaysia sejak 1969 dinyatakan sebagai wilayah Malaysia. Keputusan ini
memberi bobot yang sangat besar kepada kenyataan bahwa Inggris yang mewariskannya kepada Malaysia dianggap lebih melaksanakan kedaulatan atas pulau tersebut sebelum 1969, jika dibandingkan dengan Hindia Belanda yang mewariskannya kepada Indonesia. Kewenangan yang dilaksanakan oleh Inggris dan Malaysia dinilai lebih konsisten dan terus menerus, dan karena itu dinilai lebih melaksanakan 'effective control' dan bahwa doktrin 'effective control' inilah yang dinilai lebih sesuai dengan Hukum Internasional. Perlu diingat bahwa doktrin ini pulalah yang oleh Arbitrator Max Huber dalam tahun 1928 dipakai untuk menyatakan bahwa Pulau Mianggas yang dipertengkarkan antara Amerika Serikat dan Hindia Belanda dinyatakan sebagai wilayah Hindia Belanda dan yang kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia.


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol33.no1.1374

  • There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2003 Hasjim Djalal

Jelaskan mengenai sengketa perbatasan wilayah pulau Sipadan dan Ligitan


This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.


Page 2

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol33.n1

Sengketa pulau Sipadan dan Ligitan merupakan persoalan konflik yang bermuara dari persengketaan dua negara terhadap suatu wilayah, yang mana klaim terhadap wilayah tersebut dilandasi oleh tujuan memperoleh keuntungan dan penguatan negara melalui penambahan wilayah. Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah ini selama 33 tahun, yakni sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Pada Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan untuk memberikan hak kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menerapkan pula metode historis dan analisis interpretatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini digunakan alat pengumpulan data dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable-variabel yang terkait dengan pokok permasalahan baik berupa buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya yang dikumpulkan dan diolah berdasarkan klasifikasi masalahnya. Data-data yang mendukung penelitian ini akan dikonseptualisasikan, digeneralisasikan, dan dianalisis dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ada. Perundingan bilateral yang ditempuh sebagai upaya penyelesaian melalui jalur politik diplomasi, menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia memiliki tujuan yang saling bertentangan dan tidak dapat di kompromikan. Ketidakefektifan dan kebuntuan perundingan bilateral ini membuka jalan bagi penyelesaian melalui jalur hukum melalui Mahkamah Internasional. Penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional adalah jalan damai yang ditempuh oleh kedua negara untuk menyelesaikan sengketa mereka yang sudah cukup lama. Keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia, menggunakan asas effectivitee atau pengelolaan efektif karena sejauh ini sejak Inggris menyerahkan kedua pulau tersebut kepada Malaysia, Malaysia telah membangun mercusuar, memungut pajak penyu, menerbitkan ordonansi perlindungan burung, dan membangun pariwisata Sipadan- Ligitan. Banyaknya wilayah perbatasan yang dimiliki Indonesia, ke depan harus mampu di kelola tidak hanya melalui pendekatan hankam namun juga menggunakan pendekatan pembangunan ekonomi wilayah perbatasan.

The dispute on the Sipadan and Ligitan islands was a conflict derived from adispute between two countries over a terrotiry, in which the claim on the territory was based on the intention of gaining benefits and nation reinforcement through territorial extension. Indonesia and Malaysia faced this territorial dispute for 33 years, since 1969 up to 2002. In December 2002, the International Court decided to give the ownership right of the Sipadan dan Ligitan islands to Malaysia. This is a descriptive qualitative research which also applied historical and interpretative analysis methods. The method of data collection used in this research was the library research method. In this research, the researcher also used equipment for collecting the documentation data by searching for data about items or variables related to the main problems from books, newspapers, magazines and so forth. The data, then, was collected and processed based on the problem classifications. The data that supported the research was conceptualized, generalized and analyzed using the available frameworks. The bilateral negotiation taken as an effort to settle tahun problem through diplomatic course became un-effective when both Indonesia and Malaysia had an opposing intention that could not be compromised. The un-effectiveness and dead lock of the bilateral negotiation had given way to the settlement of the dispute through the law course by the International Court. The settlement was a peace way taken by both countries to solve their long term problem. The International Court decision to win Malaysia was based on the effectivitee principle or effective management because since England handed both islands to Malaysia, Malaysia had built lighthouses, taken the turtle taxes, issued the bird preservation decree, and developed the tourism in Sipadan-Ligitan islands. Indonesia has many territorial borders that, in the future, should be well managed, not only through defense and security approaches but also through those of economics development of the territories.

Kata Kunci : Ketahanan Nasional,Strategi,Sengketa Sipadan dan Ligitan, The dispute on the Sipadan-Ligitan islands, effectivitee prinsiple.

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°N 118.6287556°E / 4.1146833; 118.6287556 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.150°N 118.883°E / 4.150; 118.883. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional

Kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadatn (Indonesia v. Malaysia)PengadilanMahkamah InternasionalDiputuskan17 Desember 2002SitasiDaftar Umum No. 102TranskripSidang tertulisOpini atas perkaraICJ memberikan kedua pulau ke Malaysia atas alasan "pendudukan (dihuni) secara efektif"Majelis hakimHakim anggota majelisGilbert Guillaume, Shi Jiuyong, Shigeru Oda, Raymond Ranjeva, Géza Herczegh, Carl-August Fleischhauer, Abdul Koroma, Vladlen Stepanovich Vereshcheti, Rosalyn Higgins, Gonzalo Parra-Aranguren, Pieter Kooijmans, Francisco Rezek, Awn Shawkat Al-Khasawneh, Thomas Buergenthal, Nabil Elaraby, Thomas Franck (hakim ad hoc yang ditunjuk Indonesia) dan Christopher Weeramantry (hakim ad hoc yang ditunjuk Malaysia)

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3]

  • Pulau Sipadan
  • Pulau Ligitan
  • Insiden suaka politik GAM
  • Sengketa blok maritim Ambalat
  • Sentimen anti-Malaysia di Indonesia

  1. ^ http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0 Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)
  2. ^ http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine. FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU SIPADAN, jointly notified to the Court on 2 November 1998
  3. ^ Energy Security and Southeast Asia

  • Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan Diarsipkan 2012-04-12 di Wayback Machine.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan&oldid=21082107"