Jelaskan mengapa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat disebut sebagai daerah Otonomi khusus

Lihat Foto

Jogjakarta.go.id

Keraton Yogyakarta

KOMPAS.com – Ada lima provinsi di Indonesia yang memiliki status sebagai daerah khusus dan istimewa. Status tersebut ditetapkan melalui Undang-undang (UU).

Dasar konstitusional pembentukan daerah khusus dan istimewa ini sendiri, yaitu Pasal 18B ayat 1 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, yang diatur dengan undang-undang.”

Baca juga: Perubahan UU Otonomi Khusus Papua Permudah Pemekaran Wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Pemerintah telah menetapkan Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa melalui UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta. UU ini telah mengalami perubahan beberapa kali.

Terakhir, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai payung hukum. Menurut UU ini, keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta berlandaskan sejarah pendirian negara dan bangsa Indonesia.

Mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2012, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII memutuskan untuk menjadi bagian dari Indonesia.

Keputusan ini memiliki arti penting karena telah memberikan wilayah dan penduduk bagi Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaannya.

Salah satu bentuk keistimewaan DIY, yakni dalam tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Tidak seperti provinsi lain, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diusulkan oleh Kasultanan dan Kadipaten. Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertahta sebagai calon Gubernur dan Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai calon Wakil Gubernur kepada DPRD DIY.

Aceh

Pemberian status daerah istimewa dan otonomi khusus kepada Aceh tak lepas dari sejarah panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Untuk mengurangi potensi konflik yang tidak berkesudahan akibat GAM, pemerintah memberikan sejumlah urusan yang diistimewakan dan dikhususkan.

Jakarta -

Berakhirnya dana penerimaan khusus sebesar 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 huruf (c) UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah mengundang berbagai diskursus seputar masa depan Papua dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagian kalangan memandang perlunya perubahan terhadap UU Otonomi Khusus tersebut demi memberi payung hukum keberlanjutan penerimaan khusus yang dimaksud. Sebagian juga memandang bahwa jika hanya kepentingan mengakomodasi penerimaan khusus, maka perubahan UU Otonomi Khusus hanya mereduksi dinamika Papua yang justru memiliki persoalan yang lebih kompleks.

Kekeliruan Sejarah

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kedua kutub perbedaan persepsi ini semakin mengemuka dengan berbagai asumsi dan pertimbangannya masing-masing. Tapi suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa sesungguhnya referensi utama terkait UU 21 Tahun 2001 dengan berbagai latar inisiasi kemunculannya sebagai solusi politik, telah mengalami reduksi sejak UU 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua disahkan. Selain memasukkan Provinsi Papua Barat sebagai bagian dari Papua sebagaimana dimaksudkan dalam UU Otonomi Khusus Papua, UU tersebut juga menghapus tugas dan kewenangan DPRP dalam memilih gubernur dan wakil gubernur serta memilih para utusan Provinsi Papua sebagai Anggota MPR RI.

Hilangnya kewenangan tersebut juga diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-VIII/2010. Dalam salah satu petikan pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua adalah merupakan kekhususan Provinsi Papua yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPR Papua tidak memenuhi kriteria kekhususan atau keistimewaan yang melekat pada daerah yang bersangkutan, baik karena hak asal-usul yang melekat pada Provinsi Papua yang telah diakui dan tetap hidup, maupun karena latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata diperlukannya kekhususan atau keistimewaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekhususan Provinsi Papua berkaitan dengan pemilihan gubernur yang berbeda dengan provinsi lainnya hanya mengenai calon gubernur dan calon wakil gubernur yang harus orang asli Papua dan telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP, sedangkan persyaratan dan mekanisme lainnya sama dengan yang berlaku di daerah lainnya di Indonesia.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, Pasal 45 UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, juga menemui jalan buntu seiring dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pada gilirannya, beberapa nomenklatur kekhususan dengan berbagai filosofi keberadaannya yang terdapat dalam UU 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus telah "diamputasi" dalam rentang waktu pelaksanaannya.

Di mana Letak Kekhususan?

Merujuk pada sekelumit realita tersebut, maka perubahan UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sedang mengalami jalan terjal persepsi yang tidak mudah untuk diselesaikan. Logika kekhususan dengan berbagai pertimbangan yuridis, sosiologis, historis dan filosofis berada dalam pemaknaan yang kehilangan kesamaan visi dan makna. Akibatnya, upaya "pragmatis" dan terburu-buru untuk melakukan perubahan terbatas terhadap UU tersebut akan senantiasa mengalami resistensi.

Prinsip Otonomi Daerah yang termaktub dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diturunkan dalam nomenklatur perundang-undangan tentang desentralisasi sebagaimana termaktub dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan pemerintah Daerah pun mengalami persoalan yang sama. Belum lagi Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang entah merujuk pada nilai-nilai kekhususan Papua yang telah "diamputasi".

Bahkan, revisi terbatas terkait Pasal 34 tentang Dana Otonomi Khusus dan Pasal 76 tentang Pemekaran Wilayah (Daerah) dalam UU 21 Tahun 2001, semakin menjauhkan roh kekhususan Papua itu sendiri. Pada titik yang paling ekstrim, persoalan dana penerimaan khusus menjadi poin tersendiri yang dianggap tidak menyentuh persoalan yang sesungguhnya sedang berkecamuk. Sejatinya, diskursus tentang Papua dalam rangka optimalisasi pembangunan harus merapihkan dan menempatkan kembali tentang kekhususan Papua.

Secara khusus, desentralisasi fiskal yang merujuk pada perolehan bagi hasil pertambangan umum sebesar 80% pun belum menuai kejelasan disebabkan tidak disertai peraturan-peraturan khusus yang mengatur pengelolaannya. Demikian juga aspek kehutanan, perikanan, pertambangan minyak bumi serta gas alam yang berkisar 70% - 80%. Jika diterapkan dengan ketentuan dan kewenangan yang tegas, boleh jadi, persoalan penerimaan dana Otonomi Khusus tidak lagi diperdebatkan.

Hingga saat ini, perdebatan tentang Otonomi Khusus Papua berada dalam suasana yang centang-perenang. Selain rujukan perubahan yang kehilangan sumber, kita juga diperhadapkan pada pemaknaan desentralisasi yang belum memadai. Kita tidak lagi menemukan semangat Otonomi Khusus tentang upaya untuk memberikan kewenangan yang luas bagi pemerintahan daerah dan rakyat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alamnya, selain kewenangan memberdayakan potensi sosial, budaya dan perekonomian, serta pemberian peran yang memadai bagi orang asli Papua. Sebaliknya, atas nama sinergi nasional, Papua semakin kehilangan kekhususan.

Namun, kompleksitas persoalan Papua dan Papua Barat tidak bisa diselesaikan dengan tambal sulam kebijakan sembari menafikan latar belakang yuridis, sosiologis, historis dan filosofis yang melahirkan UU 21 Tahun 2001. Inkonsistensi pelaksanaan UU tersebutlah yang menjadi hulu dari sekian persoalan yang menggejala dewasa ini. Mereduksinya dalam 2 Pasal Perubahan kiranya hanya akan menambah deretan persoalan baru.

*Yorrys Raweyai, Anggota DPD RI Dapil Papua/Ketua MPR for Papua

Simak juga 'Mantan Kapolda Jelaskan Kompleksitas Kehadiran KKB di Tanah Papua':

[Gambas:Video 20detik]

(tor/tor)

5.pemerintahan non kementerian tolong dong di jawab yang benar​

7√8+√48-√768bantu kak, sama cara nya juga.​

Sebutkan beberapa Penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila yang terjadi Pada awal kemerdekaan. Yaitu Priode tahun 1945-19591​

pliss tolong bantuin kk" baik​

plissss kak tolong bantuin​

para ahli menyebut bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri. Menurut kalian apa maksud nilai-nilai Pancasila digali dari bumi In … donesia sendiri jelaskan ?plisss kak tolong bantu ​

Jelaskan pokok-pokok pikiran dalam BPUPKI​

cari tanggal dan pasal UUD45 yg di akademet?​

siapakah yang membentuk BPUPKI​

nama;Maulana hidayat kelas:10_ips_4peraturan presidenno7/2015organisasi kementerian negara1.kelompok 1.2.kelompok 2.3.kelompok 3.4.mentri koordinator … 5. pemerintah non kementerian tolong dong jawab yang benar ​

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA