Jelaskan kelebihan dan kekurangan pada masa pemerintahan dinasti Umayyah

Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah berkuasa.

mideastweb.org

Peta wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah.

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Muawiyah bin Abu Sufyan adalah khalifah pertama Dinasti Umayyah. Ia memindahkan ibu kota negara dari Madinah ke Damaskus. Selain itu, ia juga mengganti sistem pemerintahan.

Menurut Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang berjudul As-Syiyasah As-Syar'iyah fi Islah Ar-Ra'iyah, sistem pemerintahan Islam yang pada masa al-Khulafa' ar-Rasyidun yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun-menurun). Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.

Perintah Muawiyah ini merupakan bentuk pengukuhan terhadap sistem pemerintahan yang turun-temurun yang dibangun Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah mengubah model kekuasaan dengan model kerajaan, kepemimpinan diberikan kepada putra mahkota.

Baca: Bani Umayyah Peletak Fondasi Kekhalifahan di Damaskus

Dalam bukunya yang berjudul Dinasti Bani Umayyah: Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan Kejatuhan Dinasti, Mohammad Suhaidi memaparkan, dengan berlakunya sistem (monarki) tersebut, orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk naik sebagai pemimpin pemerintahan umat Islam. Karena, sistem dinasti hanya memberlakukan kekhalifahan dipimpin oleh keturunannya.

Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa' ar-Rasyidun. Hingga masa Ali, pemimpin negara berlaku sebagai seorang biasa: tinggal di rumah sederhana, menjadi imam masjid, dan memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kebanyakan orang Muslim lainnya.

Namun, pada masa Dinasti Umayyah, yang mengadopsi tradisi sistem kerajaan pra-Islam di Timur Tengah, mereka menjaga jarak dengan masyarakat karena tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Mereka juga hidup dengan bergelimang kemewahan dan memiliki kekuasaan mutlak.

Baca: Umayyah, Dinasti Dua Keluarga

Sistem dan model pemerintahan yang diterapkan Dinasti Umayyah ini mengundang kritik keras, terutama dari golongan Khawarij dan Syiah. Karena itu, tak mengherankan jika semasa berkuasa, para pemimpin Bani Umayyah kerap kali disibukkan untuk menekan kelompok oposisi.

Dinasti Umayyah juga dikenal karena fanatisme kearabannya. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik terhadap kearaban dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah orang non-Arab dan memosisikan mereka sebagai warga kelas dua. Kondisi tersebut menimbulkan kebencian penduduk non-Muslim kepada Bani Umayyah.

Karena khawatir dengan berakhirnya kekuasaan, pemerintahan terus mengonsolidasikan persoalan internal. Tujuannya adalah untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri serta antisipasi terhadap setiap gerakan pemberontak.

Dalam tulisannya yang bertajuk Dinasti Umayyah: Perkembangan Politik, Hermain El-Hermawan mengungkapkan, ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan Muawiyah. Masing-masing adalah Diwan al-Jund (Urusan Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat), Diwan al-Barid (Urusan Pos), Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan), dan Diwan al-Khatam (Urusan Dokumentasi).

Dalam mengendalikan pemerintahannya, Muawiyah didukung oleh beberapa pembantu utama. Ia mengangkat sejumlah gubernur dari kalangan sahabat dan kerabatnya. Di antaranya adalah Amr bin Ash yang diangkat menjadi gubernur Mesir; Mugirah bin Syu’bah, gubernur di Kufah; dan saudara tirinya Ziyad bin Abihi, gubernur Basra, Khurasan, serta Suriah.

Di bidang yudikatif, para qadi (hakim) ditunjuk oleh gubernur setempat yang diangkat oleh khalifah. Namun, jabatan hakim biasanya diberikan kepada keluarga tertentu yang dekat atau diharapkan dapat membantu kelanggengan kekuasaan gubernur.

Ketika Abdul Malik naik takhta, perbaikan di bidang administrasi pemerintahan dan pelayanan umum digalakkan. Ia memerintahkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di setiap kantor pemerintahan. Sebelum itu, bahasa Yunani digunakan di Suriah, bahasa Persia di Persia, dan bahasa Qibti di Mesir.

Pada masa pemerintahan Abdul Malik, para gubernur yang diangkatnya menjalankan fungsinya dengan baik. Gubernur Mesir saat itu, Abdul Aziz bin Marwan, membuat alat pengukur Sungai Nil, membangun jembatan, dan memperluas Masjid Jami’ Amr bin Ash.

Sementara itu, gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, melakukan perbaikan sistem irigasi dengan mengalirkan air Sungai Tigris dan Eufrat ke seluruh pelosok Irak sehingga kesuburan tanah pertanian terjamin. Ia juga melarang keras perpindahan orang desa ke kota. Kehidupan ekonomi pun dibangun dengan memperbaiki sistem keuangan, alat timbangan, takaran, dan ukuran.

Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, seorang gubernur juga mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam provinsinya. Namun, penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.

Ketika al-Walid I naik takhta menggantikan Abdul Malik, kesejahteraan rakyat mendapat perhatian besar. Ia mengumpulkan anak yatim, memberi mereka jaminan hidup, dan menyediakan guru untuk mengajar mereka. Bagi orang cacat, ia menyediakan pelayan khusus yang diberi gaji. Orang buta diberikan penuntun dan bagi orang lumpuh disediakan perawat. Ia juga mendirikan bangunan khusus untuk orang kusta agar mereka dirawat sesuai dengan persyaratan kesehatan.

Al-Walid I juga membangun jalan raya, terutama jalan ke Hedzjaz. Di sepanjang jalan itu, digali sumur untuk menyediakan air bagi orang yang melewati jalan. Untuk mengurus sumur-sumur itu, ia mengangkat pegawai.

Pada saat Umar bin Abdul Aziz memerintah, ia melakukan pembersihan di kalangan keluarga Bani Umayyah. Tanah-tanah atau harta lain yang pernah diberikan kepada orang tertentu dimasukkannya ke dalam baitul mal. Terhadap para gubernur dan pejabat yang bertindak sewenang-wenang, ia tidak ragu-ragu mengambil tindakan tegas berupa pemecatan.

Kebijakannya di bidang fiskal mendorong orang non-Muslim memeluk agama Islam. Pajak yang dipungut dari orang Nasrani dikurangi. Jizyah atau pajak yang masih dipungut dari orang yang telah masuk Islam di antara mereka dihentikan. Dengan demikian, mereka berbondong-bondong masuk Islam.

Selama masa pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, seperti perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur baru, pembangunan jalan, penyediaan tempat penginapan bagi para musafir, memperbanyak masjid, dan sebagainya.

Orang sakit mendapat bantuan dari pemerintah. Dinas pos yang sudah dibangun sejak masa Khalifah Muawiyah juga diperbaiki agar tidak hanya melayani pengiriman surat resmi para gubernur dan pegawai khalifah atau sebaliknya, tetapi juga melayani pengiriman surat rakyat. Kebijakan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz terhadap kelompok pemberontak cenderung lebih melunak. Ia lebih mengedepankan dialog daripada peperangan.

  • dinasti
  • dinasti umayyah
  • umayyah
  • bani umayyah

Jelaskan kelebihan dan kekurangan pada masa pemerintahan dinasti Umayyah

sumber : Islam Digest Republika

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang idak sehat di kalangan anggota keluarga istana.

2. Latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.

3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan Mawali (non-Arab), terutama di Irak dan bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keampuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.

4. Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khlifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.

5. Penyebab langsung tergulingnya Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuasaan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al Muthalik. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.

Akumulasi dari berbagai penyebab tersebut serta gabungan dari faktor faktor lainnya yang mungkin tidak diuraikan dalam pembahasan ini, mengantar dinasti yang hampir satu abad berkuasa ini ke jalan keruntuhannya. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh kekuatan politik Dinasti Bani Abbasiyah pada masa Khalifah Marwan bin Muhammad pada 127 H (744 M).