Jelaskan hal yang membedakan kesenian Jemblung dengan teater tutur lainnya

Jelaskan hal yang membedakan kesenian Jemblung dengan teater tutur lainnya

Jelaskan hal yang membedakan kesenian Jemblung dengan teater tutur lainnya
Lihat Foto

Jessi Carina

GubernurJawa Tengah Ganjar Pranowo berperan sebagai Raja Hayam Wuruk dalam pertunjukan ketoprak humor di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu (21/8/2016).

KOMPAS.com - Indonesia terkenal akan kekayaan budayanya yang tersebar di berbagai daerah. Kekayaan budaya ini salah satunya ditunjukkan melalui pentas teater tradisional.

Teater tradisional dengan teater modern tidak memiliki perbedaan jauh. Teater tradisional muncul dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terhadap seni.

Sedangkan teater modern muncul dan berkembang sesuai dengan zaman yang sedang berlangsung. Sumber dari teater modern muncul dari seni teater tradisional.

Salah satu ciri dari teater tradisional adalah menggunakan bahasa daerah sesuai dengan wilayah pementasan teater.

Selain itu, ada beberapa ciri lain dari teater tradisional. Berikut adalah penjelasannya yang mengutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud):

  1. Seni teater tradisional tidak menggunakan naskah
  2. Pentas seni teater tradisional lebih mengutamakan isi serta tujuan dari seni
  3. Pemeran pentas teater tradisional sering menjalin interaksi dengan para penonton
  4. Dasar cerita dalam teater tradisional lebih banyak berasal dari cerita turun menurun, dongeng, sejarah, serta kehidupan sehari-hari
  5. Biasanya pentas teater tradisioal diadakan di luar ruangan, seperti pekarangan rumah, lapangan, ataupun tempat lainnya
  6. Musik dalam pentas teater tradisional lebih banyak menggunakan alat musik atau musik tradisional serta menggunakan peralatan yang seadanya.

Baca juga: Merancang Pementasan Teater Tradisional

Seni teater tradisional dibagi menjadi tiga jenis, yakni teater rakyat, teater klasik, serta teater transisi, yang memiliki perbedaannya masing-masing.

Sesuai dengan namanya, teater rakyat lahir dan berasal dari kehidupan bermasyarakat, seperti upacara adat serta upacara keagamaan. Unsur yang ada dalam teater rakyat adalah cerita, pelaku (pementas drama), serta penonton.

Jika teater rakyat berasal dari kehidupan rakyat, berbeda halnya dengan teater klasik. Jenis teater ini lahir dan berasal dari pusat kerajaan atau kraton.

Teater transisi bersumber dari teater tradisional seperti pada umumnya. Hanya saja cara penyuguhannya dipengaruhi oleh teater gaya barat.

Menurut Yadi Mulyadi dalam bukunya yang berjudul Teater Tradisional (2010), teater tradisional berasal dari sastra yang disampaikan secara lisan, permainan, serta upacara ritual.

Baca juga: Perbedaan Drama dan Teater

Dalang Jemblung meruakan jenis kesenian rakyat yang berbentuk teater tutur yang terdapat di daerah Banyumas. Di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur terdapat suatu tradisi mengadakan kegiatan “macapatan”, yaitu membaca atau menyampaikan “sastra lisan” dalam bentuk “tembang” (nyanyian). Dalam perkembangannya “macapat” ini berubah menjadi “Maca kanda”, yaitu menyampaikan/membaca sastra lisan yang berbentuk prosa, cerita. Teater tutur ialah bentuk ungkapan/kesenian dengan cara dituturkan, diceriterakan dengan dinyanyikan pada mulanya hanya oleh satu orang. Kemudian dalam perkembangannya teater tutur dimainkan oleh beberapa orang menurut kebutuhan. Dalam pelaksanannya teater tutur sering diiringi oleh “tabuhan” (iringan musik tradisional), yang berupa:suling, siter atau gendang/terbang. Dalang jemblung merupakan teater tutur yang spesifik Banyumassan, tidak diiringi oleh peralatan musik tradisional tetapi para pemain dengansuaranya sendiri (vokal) bertindak sebagai “musik” pengiring. Pemain Dalam Jemblung bukan saja (dengan vokal/suaranya) bermain sebagai tokoh dalam ceritera, tetapi juga sebagai “alat musik” bagi yang pria dan sebagai “waranggana” (pesinden, penyanyi) bagi wanita. Salah seorang pemain menjadi dalang dan sekaligus juga bermain sebagai tokoh dalam ceritera. Bentuk pementasan Dalang Jemblung sangat sederhana dan dilakukan di dalam rumah. Para pemain empat orang (tiga pria, satu wanita) duduk berkeliling, di tengahnya terdapat sebuah meja kecil pendek dengan hanya satu perlengkapan yaitu “kudhi” semacam pisau khas Banyumas. Fungsi kudhi sebagai peralatan untuk membantu pelaksanaan pementasan, yaitu sebagai perwujudan senjata apabila ada adegan perang, sekaligus juga sebagai “cempala” dalam pementasan Wayang Kulit atau sebagai “keprak”. Pakaian para pemain (kostum) adalah pakaian biasa, pakaian daerah Banyumas lengkap, yaitu belangkon atau iket, jas tutup atau surjan, kain batik dan memakai “selop” (sandal). Dalang jemblung merupakan teater tutur yang paling “murni” dan paling sederhana, yang semua ungkapannya dilakukan dengan media ungkap yang paling esensial, ialah suara. Dengan kemampuan suaranya para pemain dapat menggambarkan suasana ceritera, kejadian dalam ceritera dan dapat menggambarkan berbagai tokoh dan berbagai watak yang dimainkan. Di daerah Banyumas terdapat suatu tradisi, yakni saat ada kelahiran seorang bayi, maka diadakan acara yang disebut “nguyen”, suatu bentuk tirakatan pada malam hari bersama sanak keluarga dan tetangga dekat semalam suntuk sampai menjelang subuh. Di dalam “nguyen” tersebut sering diadakan acara “macapatan” dari salah seorang peserta “nguyen’. Hal ini dimaksud sebenarnya untuk mencegah kantuk, dan juga untuk menolak makhluk halus yang akan mengganggu bayi yang baru lahir atau ibunya yang habis melahirkan. Macapatan, ialah kegiatan menyampaikan “sastra lisan”/ceritera dalam bentuk tembang/nyanyian yang dalam perkembangannya setelah lahir sastra tulis berubah menjadi membaca ceritera-ceritera dalam bentuk sekar/tembang/nyanyian. Macapatan ini sangat digemari oleh masyarakat karena pelaksanaannya sangat mudah, sederhana dan murah. Macapatan berkembang menjadi Maca kanda, kemudian karena pengaruh teater rakyat lainnya, berkembang pula menjadi Dalang Jemblung, yang merupakan bentuk teater tutur. Seperti umumnya teater tutur, pelaksanaannya sangat sederhana dan tidak terkait oleh peraturan panggung. Dalang Jemblung lebih berfungsi sebagai tontonan dan hiburan. Ceritera-ceritera yang dihidangkan tak ubahnya ceritera yang terdapat dalam pewayangan, tetapi sering mengambil ceritera Wayang Menak atau Golek Menak, yang sering disebut Babat Menak (Serat Menak). Ceriteranya banyak menyangkut masalah penyebaran agama islam antara lain ceritera “Wong Agung Menak”. Ceritera Serat Menak sering dimainkan oleh Wayang Golek Menak atau dimainkan oleh Wayang Tengul. Ceriteranya dengan tokoh-tokoh yang terkenal: Amir Hamzah dan Omar Maya. Sedangkan dalam Dalang Jemblung tokoh yang terkenal tersebut Umarmaya dan Umarmadi. Sebagaimana umumnya teater tutur, ceritera yang dihidangkan bertolak dari sastera lisan yang oleh masyarakat lingkungannya sudah sangat dikenal. Para pemain secara improvisatoris memainkan tokoh-tokoh dalam ceritera yang sudah dipahami secara mentradisi. Secara turun temurun mereka sudah mengikuti pendahulunya dalam membawakan isi ceritera. Ceritera yang disampaikannn tak lupa selalu diungkapkan dalam gaya yang menarik dan penuh humor. Tokoh “punakawan” selalu memeriahkan suasana pementasan. Meskipun hanya dengan suara/vokal, pertunjukan sangat menarik karena para pemainnya sangat pandai membawakan pertunjukan tersebut. Tidak membosankan, penuh variasi dan tak lupa diselingi humor yang menjadi kegemaran para penonton, terutama humor khas Banyumasan, dengan dialek khas Banyumas. Dalang Jemblung sampai saat ini masih digemari oleh masyarakat, terutama masyarakat di pedesaan di Banyumas. Pertunjukan Dalam Jemblung bukan saja berfungsi sebagai hiburan melainkan juga memberikan pendidikan dan ajaran moral dalam kehidupan sehari-hari. Pesan dan kritik sering dilontarkan dalam pertunjukan, namun sangat efektif karena disampaikan lewat sindiran yang mengena atau lewat banyolan yang segar. Pertunjukan Dalang Jemblung umumnya selalu ditanggap atau dipesan oleh seseorang yang memerlukan untuk keperluan hiburan pada saat punya hajat. Banyak dipilih, dibanding dengan wayang, karena bentuknya yang sederhana, murah dan mudah. Pertunjukan Dalang Jemblung dapat dilaksanakan dengan cara duduk bersila dan hanya menghadapi sebuah meja kecil-pendek. Apabila yang memerlukan kurang mampu, Dalang Jemblung dapat dimainkan oleh dua orang dan bahkan cukup satu orang saja.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wayang Jemblung adalah pertunjukan wayang khas yang berasal dari daerah Banyumas dan Bagelen.[1] [2] [3] Wayang jemblung menekankan pada aspek lisan (oral) dalam pementasannya.[4] Istilah jemblung merujuk pada bentuk wayang tanpa iringan gamelan.[4] Iringan dan musik pun dibawakan secara oral.[4] Dalam tradisi, wayang jemblung dimainkan untuk acara selametan bayi yang berumur 5 hari.[3] Dalam perkembangannya, wayang jemblung meluas sampai ke daerah Kediri dan Blitar.[5] Wayang jemblung dipentaskan oleh lima orang yang bertindak sebagai dalang sekaligus sebagai wayang, pemusik, dan sindhen.[2] Wayang jemblung menggabungkan gerak (teater) dan tradisi lisan.[4]

Jelaskan hal yang membedakan kesenian Jemblung dengan teater tutur lainnya

Wayang Jemblung berasal dari daerah Banyumas yang terletak di kaki Gunung Slamet

Wayang jemblung merupakan kesenian yang lahir dari daerah Banyumas.[4] [2] Menurut sejarah, terdapat tiga versi lahirnya wayang jemblung.[2]

Versi pertama

Dalam masyarakat Banyumas terdapat tradisi slametan untuk bayi yang baru saja lahir.[2] [3] Tujuannya adalah menjaga keselamatan ibu dan bayi dari bahaya serangan makhluk halus.[2] Acara yang diadakan semalam suntuk ini disebut Nguyen atau Muyi yang artinya bertemu bayi.[2] Acara ini berisi pembacaan tembang-tembang macapat.[2] Selain itu dibaca juga cerita-cerita babad.[2] Pembacaan cerita ini dibawakan oleh seorang dalang.[2] Sambil bercerita sang dalang juga memeragakan kisah-kisah yang ia baca.[4] Orang-orang mulai menyebutnya gemblung atau gila.[2] Kata gemblung ini perlahan bergeser menjadi jemblung.[2] Maka muncul istilah dalang jemblung.[2] Dalam perkembangannya, wayang jemblung tidak hanya dibawakan oleh satu orang dalang, tetapi 3 sampai 4 dalang dengan satu sindhen.[2] Akan tetapi, yang tidak berubah adalah ciri khas wayang jemblung yang tanpa wayang dan iringan gamelan.[2]

Versi kedua

Versi kedua menceritakan bahwa wayang jemblung muncul pada zaman Amangkurat I di Kerajaan Mataram.[2] Pada zaman itu hidup seorang dalang bernama Ki Lebdojiwo.[2] Tokoh idola Ki Lebdojiwo adalah Umarmadi.[2] Ki Lebdojiwo sering menyebutnya dengan sebutan Jemblung Umarmadi.[2]

 

Kesenian Wayang Jemblung Banyumas

Pada saat pemberontakan Trunajaya terhadap Mataram, Amangkurat I meninggalkan Mataram menuju Batavia.[2] Ki Lebdojiwo yang menjadi salah satu pengikut setia Amangkurat juga mengiringi perjalanan Amangkurat.[2] Di suatu persinggahan orang-orang meminta agar Ki Lebdojiwo membuat pertunjukan wayang.[2] Akan tetapi, karena terburu-buru Ki Lebdojiwo tidak sempat membawa wayang.[2] Maka, Ki Lebdo melakukan pertunjukan wayang tanpa wayang dan iringan.[2] Namun, karena kemahiran Ki Lebdo, pertunjukannya malah menarik para penonton.[2] Setelah itu pertunjukan tanpa wayang dan iringan yang dibawakan oleh Ki Lebdojiwo disebut wayang jemblung, karena tokoh ceritanya adalah Jemblung Umarmadi.[2] [4]

Versi ketiga

Versi Ketiga bercerita tentang Raden Kaligenten yang menjadi penguasa di desa Watukumpul, Purbalingga, ingin memperistri putri seorang pendeta.[2] Dalam acara pernikahannya, Raden Kaligenten menghendaki hiburan yang unik dan lain dari biasanya.[2] Maka munculah pembacaan kisah-kisah nabi dengan peragaan yang dilakukan oleh sang pencerita.[2] Pada zaman itu istilah hiburan diberi nama wong gemblung karena membuat orang tampak seperti gila.[2] Istilah itu kemudian bergeser menjadi jemblung.[2] Dalam perkembangannya pula cerita tidak hanya diangkat dari kisah para nabi, tetapi juga mengambil kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana.[2]

Wayang Jemblung mempunyai satu struktur cerita yang utuh.[4] Pembawaan cerita selalu didasarkan pada pakem atau tatacara yang berlaku.[4] Artinya, wayang jemblung mengikuti alur cerita yang ada dalam naskah cerita.[4] Tekhnik penceritaan pertunjukan Wayang Jemblung sama dengan tekhnik mendongeng kakek atau nenek kepada cucunya.[4] Bedanya, dongeng kepada cucu hanya didasarkan pada daya ingat pencerita.[4] Sementara penceritaan wayang jemblung selalu mengacu pada teks.[4] Teks yang digunakan adalah teks Babad dan Menak, yang banyak di antaranya sama dengan cerita wayang kulit.[4]

Pengaruh agama Islam cukup terasa dalam pertunjukan wayang Jemblung.[4] Misalnya dalam bagian pembuka wayang Jemblung selalu dibacakan shalawat.[4] Selain itu suluk yang digunakan pun beberapa mengambil syair dari shalawat.[4] Shalawat yang digunakan adalah shalawat Nabi, Badar, dan Nariyah.[4]

Penikmat seni Wayang Jemblung banyak berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah.[4] Dalang Jemblung dalam pementasannya menyampaikan nilai moral, etika, sopan santun dan budi luhur yang dikontraskan dengan keburukan, kejahatan dan angkara murka dalam kehidupan.[4] Maka lakon atau konsep cerita disesuaikan dengan nilai-nilai tersebut.[4]

 

Sultan Hadiwijaya membunuh Wiraba akibat salah paham.

Babad Wirasaba

Babad Wirasaba merupakan salah satu lakon yang dimainkan dalam Wayang Jemblung.[4] Babad ini sering disebut sebagai Babad Banyumas, karena mencerminkan kepercayaan yang berkembang di daerah Banyumas.[4] Babad ini memuat beberapa pantangan yang perlu diperhatikan oleh masyarakat.[4] Beberapa pantang tersebut di antaranya: pantang mengambil jodoh di antara keturunan Wirasaba dan keturunan Tojareka, pantang bepergian pada hari Sabtu Pahing, pantang naik kuda berwarna kelabu kemerah-merahan, pantang makan dengan lauk ikan pindang, dan pantang makan dengan lauk timun wulan (sejenis timun di Banyumas).[4] Pantang-pantang tersebut didasarkan pada nasib buruk Wirasaba setelah putus persahabatannya dengan Tojareka.[4]

Babad Wirasaba menceritakan kematian Adipadi Wirasaba akibat salah paham dengan Kerajaan Pajang.[4] Adipati Wirasaba mempunyai seorang putri bernama Ratna Sukaesih yang kemudian dinikahkan dengan Bagus Buang yang adalah putera sahabat Wirasaba, Ki Demang Tojareka.[4] Akan tetapi, pernikahan tersebut gagal akibat Ratna Sukaesih yang merasa tidak cocok dengan Bagus Buang.[4] Setelah kejadian itu, datanglah utusan dari Kerajaan Pajang yang membawa pesan bahwa Sultan Pajang yaitu Sultan Hadiwijaya ingin memperistri Ratna Sukaesih.[4] Mendengar peristiwa ini Tojareka merasa dihina dan melapor kepada Sultan Pajang bahwa Ratna Sukaesih adalah menantunya.[4] Sultan Pajang marah mendengar laporan ini dan mengirim utusan untuk membunuh Wirasaba.[4] Di saat yang sama, Ratna Sukaesih memberitahukan yang sebenarnya terjadi pada Sultan Pajang, yang kemudian mengirim utusan kedua untuk membatalkan niatnya untuk membunuh Wirasaba.[4] Namun, saat utusan kedua datang, utusan pertama mengira bahwa ia diminta untuk segera membunuh Wirasaba.[4] Maka utusan pertama menusuk Wirasaba dengan pedang.[4] Wirasaba akhirnya mati karena kesalahpahaman ini.[4]

 

Cerita Diponegoro mulai diangkat dalam Wayang Jemblung

Dalam perkembangannya, kesenian Jemblung meluas sampai ke daerah Blitar.[5] Di Blitar muncul pergesan bentuk Wayang Jemblung dari segi cerita dan iringan.[5] Pengembangan ini dilakukan oleh Kelompok Putra Budaya Kabupaten Blitar yang dimulai sejak tahun 1990-an.[5] Pertunjukan Wayang Jemblung kemudian menggunakan iringan gamelan, seperti kendhang dan kenong yang dikolaborasikan dengan musik terbangan dan organ.[5] Pengembangan ini didasari alasan semakin menurunnya minat masyarakat terhadap Wayang Jemblung.[5] Penyesuaian bentuk ini menuntut penambahan jumlah pemain Wayang Jemblung menjadi sekitar 14 orang, yang terdiri dari pencerita, penabuh gamelan, dan sindhen.[5]Namun, tetap dipertahankan pementasan tanpa wayang.[5] Dari segi cerita yang diangkat, cerita tidak hanya diambil dari Babad atau Menak, tetapi diangkat pula kisah-kisah bernuanasa Islam dan kisah perjuangan.[5] Misalnya kisah-kisah mengenai Sunan Kalijaga, kisah Diponegoro, juga kisah Untung Suropati.[5]

Fungsi

Pada awalnya Wayang Jemblung adalah murni hiburan kesenian rakyat. Akan tetapi, sekarang nilai komersial dan fungsional juga memengaruhi pementasan Wayang Jemblung.[5] Dengan adanya modifikasi dan pengembangan, Wayang Jemblung kemudian dijadikan komoditi untuk menghasilkan uang.[5] Maka pentas dimainkan di acara hajatan dan peringatan-peringatan hari besar dengan tarif tertentu.[5] Selain itu ada pula penyuluhan yang dilakukan lewat seni Jemblung.[5] Misalnya penyuluhan KB dan konvensi minyak gas yang merupakan kerja sama pemerintah dengan seniman Jemblung.[5]

Daerah penyebaran Wayang Jemblung juga sampai ke daerah Ponorogo.[6] Wayang Jemblung di Ponorogo dimodifikasi dengan seni reog.[6] Tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian penonton.[6] Penambahan seni reog dalam Wayang Jemblung tidak mengubah struktur utama Wayang Jemblung.[6] Tari reog dimainkan di tengah-tengah cerita untuk mencegah kebosanan penonton.[6] Dalang Muhammad Yusup adalah satu penggagas modifikasi ini.[6] Ia bekerja sama dengan kelompok reog Kusni Gunapati.[6] Modifikasi di Ponorogo ini berkembang mulai tahun 1990-an.[6]

  1. ^ Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. hlm. 221, 227-228, 359. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Ahmad Yunus,dkk (1995). Kesenian Dalang Jemblung sebagai Sarana Penyebaran Nilai Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  3. ^ a b c "Wayang Jemblung". Pusat Data Wayang Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-07. Diakses tanggal 7 Mei 2014. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj Suwardi Endraswara (2011). Metode Pembelajaran Drama. Yogyakarta: CAPS. hlm. 199-213. ISBN 978-602-9324-02-0. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Gita Rizki Permatasari (2013). "Pergeseran Bentuk dan Fungsi Kesenian Wayang Jemblung di Kabupaten Blitar". 2. APRON. 
  6. ^ a b c d e f g h Darni (2006). "Modifikasi Seni Jemblung di Ponorogo". Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Wayang_jemblung&oldid=19482459"