Jelaskan dengan argumen tata cara membelanjakan harta menurut Islam

Jelaskan dengan argumen tata cara membelanjakan harta menurut Islam

Pertama. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Dalam Al-Qur’an hal ini sudah dijelaskan pada firman-Nya yang artinya:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya mendapatkan pahala yang besar.” (QS. al-Hadiid:7).

Dan pada ayat lain Allah SWT mengatakan:

“… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian….” (QS. Nuur:33).

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW juga bersabda:

“Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dia pergunakan.”

Kedua. Menurut Islam status harta yang dimiliki manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain:

Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada menjadi ada. Mengutip pendapat Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.

Harta sebagai perhiasan hidup. Hal ini memungkinkan manusia untuk menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati harta. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14). Kemudian dalam ayat lain disebutkan “Sebagaimana perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri.” (QS. al-‘Alaq: 6–7).

Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini berkaitan dengan cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak. Allah SWT berfirman: “Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al-Anfaal: 28).

Harta sebagai bekal ibadah. Harta digunakan untuk melaksanakan perintah-Nya dan muamalah di antara sesama manusia, melalui zakat, infak dan sedekah. Allah SWT berfirman: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. At-Taubah:41). Dan dalam ayat lain Allah SWT mengatakan: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 60). Serta “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133–134).

Ketiga. Proses kepemilikan harta. Harta dapat dimiliki melalui usaha (a’mal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits nabi yang mendorong umat Islam mencari nafkah secara halal. Misalnya firman Allah SWT yang artinya:

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya…” (QS. al-Mulk: 15).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (Al-Baqarah:267)

Ayat yang semakna dapat ditemukan pada surat at-Taubah: 105, al-Jumu’ah: 10, dan hadits:

“Sesungguhya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencarai nafkah yang halal untuk keluarganya maka sama seperti mujahid di jalan Allah.” (HR Ahmad).

“Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain.” (HR Thabrani).

“Jika telah melakukan shalat shubuh, janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezeki.” (HR Thabrani)

Keempat. Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya), melupakan shalat dan zakat, serta memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takaatsur: 1–2).

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munaafiquun: 9).

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 37).

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7).

Kelima. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (QS. Al-Baqarah: 273–281), perjudian, jual-beli barang yang dilarang atau haram (QS. Al-Maa’idah: 90–91), mencuri, merampok, penggasaban (QS. Al-Maa’idah: 38), curang dalam takaran dan timbangan (QS. Al-Muthaffifiin: 1–6), cara-cara yang batil dan merugikan (QS. Al-Baqarah: 188), dan suap-menyuap (HR Imam Ahmad).

Dikutip dari:

Buku Ekonomi Islam untuk Sekolah Lanjutan (Dengan sedikit penyesuaian)

Disusun oleh: Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec dan Tim STEI Tazkia