Internet merupakan jaringan komputer yang dihasilkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melewati proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita bisa memperagakan komunikasi dalam jarak yang tak terhingga melewati arus telepon. Proyek ARPANET merancang wujud jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dialihkan, dan kesudahannya seluruh standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Show
Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk kebutuhan militer. Pada masa itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membikin sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi serangan nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat remeh dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET dikenalkan pada bulan Oktober 1972. Tak lama kemudian proyek ini mengembang pesat di seluruh kawasan, dan seluruh universitas di negara tersebut mau bergabung, sehingga membikin ARPANET kesukaran untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk kebutuhan militer dan "ARPANET" baru yang semakin kecil untuk kebutuhan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan kesudahannya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet. Daftar perihal jadinya penting
Perihal jadinya penting pautannyaTahun 1971, Ray Tomlinson sukses menyempurnakan program e-mail yang dia ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu remeh sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga dikenalkan sebagai simbol penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang telah tersedia di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang mahir komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang semakin besar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris sukses mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah semakin dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, membuat newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom membuat gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang bisa saling menelpon sambil berkomunikasi dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, karenanya diperlukan sebuah protokol resmi yang diakui oleh seluruh jaringan. Pada tahun 1982 dihasilkan Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal seluruh. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan perbuatan yang berguna jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan perbuatan yang berguna e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang telah tersedia, karenanya pada tahun 1984 dikenalkan sistem nama domain, yang sekarang kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang telah tersedia sudah melebihi 1000 komputer semakin. Pada 1987 banyak komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 semakin. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, banyak komputer yang saling berkomunikasi kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer sekarang membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang sangat bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang pautannya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet sudah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berganti. Pada tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus lahir Netscape Navigator. edunitas.com Page 2Internet merupakan jaringan komputer yang diproduksi oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melewati proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita dapat melaksanakan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melewati aliran telepon. Proyek ARPANET merancang bangun jaringan, kehandalan, seberapa agung informasi dapat dialihkan, dan belakangnya semua standar yang mereka tentukan diproduksi menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk kebutuhan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membikin sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi agresi nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini mengembang pesat di seluruh kawasan, dan semua universitas di negara tersebut berhasrat bergabung, sehingga membikin ARPANET kesukaran untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk kebutuhan militer dan "ARPANET" baru yang semakin kecil untuk kebutuhan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan belakangnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan diproduksi menjadi Internet. Daftar perihal jadinya penting
Perihal jadinya penting lainnyaTahun 1971, Ray Tomlinson sukses menyempurnakan program e-mail yang beliau ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung diproduksi menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang diproduksi menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang berbakat komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah pendapat yang semakin agung, yang diproduksi menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris sukses mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah semakin dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, membikin newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom membikin gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang dapat saling menelpon sambil mengadakan komunikasi dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan makin hari makin banyak, karenanya dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 diproduksi Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan afal yang berguna jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan afal yang berguna e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, karenanya pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer semakin. Pada 1987 banyak komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 semakin. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, banyak komputer yang saling mengadakan komunikasi kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang dapat menjelajah selang satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh diproduksi menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berganti. Pada tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator. edunitas.com Page 3Internet merupakan jaringan komputer yang diproduksi oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melewati proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita dapat melaksanakan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melewati aliran telepon. Proyek ARPANET merancang bangun jaringan, kehandalan, seberapa agung informasi dapat dialihkan, dan belakangnya semua standar yang mereka tentukan diproduksi menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk kebutuhan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membikin sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi agresi nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini mengembang pesat di seluruh kawasan, dan semua universitas di negara tersebut berhasrat bergabung, sehingga membikin ARPANET kesukaran untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk kebutuhan militer dan "ARPANET" baru yang semakin kecil untuk kebutuhan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan belakangnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan diproduksi menjadi Internet. Daftar perihal jadinya penting
Perihal jadinya penting lainnyaTahun 1971, Ray Tomlinson sukses menyempurnakan program e-mail yang beliau ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung diproduksi menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang diproduksi menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang berbakat komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah pendapat yang semakin agung, yang diproduksi menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris sukses mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah semakin dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, membikin newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom membikin gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang dapat saling menelpon sambil mengadakan komunikasi dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan makin hari makin banyak, karenanya dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 diproduksi Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan afal yang berguna jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan afal yang berguna e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, karenanya pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer semakin. Pada 1987 banyak komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 semakin. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, banyak komputer yang saling mengadakan komunikasi kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang dapat menjelajah selang satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh diproduksi menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berganti. Pada tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator. edunitas.com Page 4Internet merupakan jaringan komputer yang diproduksi oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melewati proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita dapat melaksanakan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melewati aliran telepon. Proyek ARPANET merancang bangun jaringan, kehandalan, seberapa agung informasi dapat dialihkan, dan belakangnya semua standar yang mereka tentukan diproduksi menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk kebutuhan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membikin sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi agresi nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini mengembang pesat di seluruh kawasan, dan semua universitas di negara tersebut berhasrat bergabung, sehingga membikin ARPANET kesukaran untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk kebutuhan militer dan "ARPANET" baru yang semakin kecil untuk kebutuhan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan belakangnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan diproduksi menjadi Internet. Daftar perihal jadinya penting
Perihal jadinya penting lainnyaTahun 1971, Ray Tomlinson sukses menyempurnakan program e-mail yang beliau ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung diproduksi menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang diproduksi menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang berbakat komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah pendapat yang semakin agung, yang diproduksi menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris sukses mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah semakin dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, membikin newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom membikin gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang dapat saling menelpon sambil mengadakan komunikasi dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan makin hari makin banyak, karenanya dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 diproduksi Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan afal yang berguna jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan afal yang berguna e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, karenanya pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer semakin. Pada 1987 banyak komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 semakin. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, banyak komputer yang saling mengadakan komunikasi kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang dapat menjelajah selang satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh diproduksi menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berganti. Pada tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator. edunitas.com Page 5Internet merupakan jaringan komputer yang diproduksi oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melewati proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita dapat melaksanakan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melewati aliran telepon. Proyek ARPANET merancang bangun jaringan, kehandalan, seberapa agung informasi dapat dialihkan, dan belakangnya semua standar yang mereka tentukan diproduksi menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk kebutuhan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membikin sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi agresi nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini mengembang pesat di seluruh kawasan, dan semua universitas di negara tersebut berhasrat bergabung, sehingga membikin ARPANET kesukaran untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk kebutuhan militer dan "ARPANET" baru yang semakin kecil untuk kebutuhan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan belakangnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan diproduksi menjadi Internet. Daftar perihal jadinya penting
Perihal jadinya penting lainnyaTahun 1971, Ray Tomlinson sukses menyempurnakan program e-mail yang beliau ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung diproduksi menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang diproduksi menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang berbakat komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah pendapat yang semakin agung, yang diproduksi menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris sukses mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah semakin dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, membikin newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom membikin gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang dapat saling menelpon sambil mengadakan komunikasi dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan makin hari makin banyak, karenanya dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 diproduksi Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan afal yang berguna jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan afal yang berguna e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, karenanya pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer semakin. Pada 1987 banyak komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 semakin. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, banyak komputer yang saling mengadakan komunikasi kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang dapat menjelajah selang satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh diproduksi menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berganti. Pada tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator. edunitas.com Page 6Lambang Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang nyaris sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dituturkan nyaris sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dituturkan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun angkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai bangun dan letak lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian agung diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berjalannya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya tidak terikat dari kesukaran di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berjalan secara bersamaan. Kedua, antara 1999–2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya menengah 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 yaitu periode berjalannya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini ditunjuk oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa posisi selama 5 tahun. Sebelum bertugasnya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden ditunjuk oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang diputuskan UUD 1945. Hanya sebagian bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA memohon kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU menempuh Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika adanya darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden). Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat bertugasnya saat Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang aci. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat yaitu penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu letaknya tidak bisa diabaikan. Lagi pula pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Lagi pula perundingan-perundingan, seperti Akad Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan letak sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berjalannya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Posisi Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden ditunjuk oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bertugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bangun negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia mengalihkan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Posisi Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga yaitu periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya yaitu perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini yaitu perpaduan antara konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden ditunjuk menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa posisi yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], posisi ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bertugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku posisi presiden pada periode ini yaitu hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya ditinggikan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan akibatnya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dihasilkan. Dalam perjalanannya posisi wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Anggaran pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan dialihkan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis akibatnya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan dialihkan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat yaitu periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dimohon melihat kembali masa republik I. Ada sebagian hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat daya hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan adanya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketentuan MPR/MPRS. Menempuh produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada sebagian hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku posisi dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketentuan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya posisi “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari posisinya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dinyatakan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akibatnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketentuan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketentuan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun akibatnya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima yaitu periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Sebagian hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, yaitu, pertama, untuk pertama kalinya presiden ditunjuk oleh MPR dari yang akan menjadi yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berdampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak akibatnya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya yaitu konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Sejak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam yaitu periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan dapat dituturkan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini ditunjuk secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa posisi selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode posisi [pasal 7]. Sebelum bertugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketentuan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berjalan oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu anggaran peralihan pasal I dan II juga berjalan selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dihasilkan peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur menempuh konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, yaitu tokoh presiden pertama dari Indonesia. Posisi pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut anggaran yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlangsungnya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi adanya darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dikawal bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang berada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan adanya pemerintahan ganda. Sampai akibatnya pada 13 Juli 1949, setelah menempuh proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada saat yang nyaris bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap posisi bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan posisi apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletak posisi bersama-sama. Adanya ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua parlemen ditinggikan menjadi Pemangku Posisi Presiden. Akibatnya pada 27 Desember 1949 Sukarno selesai sebagai presiden dan menyerahkan posisi lembaga kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa posisinya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam posisi presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dihasilkan dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Posisi presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Posisi ini dapat dihitung sebagai masa posisi kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk mencerai-beraikan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Posisi Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Posisi ini dapat dihitung sebagai posisi ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta posisi ini dapat dihitung sebagai masa posisi kedua. Sesuai konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada akhir tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari posisi wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Adanya yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta mencerai-beraikan konstituante yang tak kunjung habis menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar anggaran peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi DPR Peralihan[14] sampai diputuskan DPR yang baru menurut konstitusi. Posisi ini dapat dihitung sebagai posisi presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai masa posisi keempat bagi Sukarno. Sementara itu, anggaran peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dihentikan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden dapat membikin produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melaksanakan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno semakin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR yaitu pembantu Presiden/Pemimpin Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Menempuh UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Agung Revolusi dan akibatnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa posisi seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini dapat dihitung sebagai masa posisi kelima bagi Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pemimpin Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” banyakan dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini yaitu kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akibatnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang erat diajak bercakap-cakap Pak Harto yaitu tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Posisi pertamanya dimulai sejak 27 Maret 1968. Pak Harto ditinggikan oleh MPR Sementara dengan Ketentuan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketentuan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau yaitu presiden kedua yang diputuskan oleh MPR Sementara. Dalam masa posisinya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden yaitu pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang ditinggikan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini ditinggikan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari yang akan menjadi tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa posisinya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlangsung dengan urutan yang remeh disertai relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi posisi. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali ditinggikan oleh MPR dari yang akan menjadi tunggal[22]. Dalam masa posisi yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto ditinggikan sehari lebih cepat dari jatah masa posisinya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali ditinggikan oleh MPR untuk mendiami kursi kepresidenannya yang keempat dari yang akan menjadi tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau ditinggikan tiga belas hari lebih cepat dari masa posisinya yang seharusnya akibatnya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal lahir desa Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun mendiami kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa posisi kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, setelah menggenapi masa posisinya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto ditinggikan untuk mendiami posisi presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari yang akan menjadi tunggal. Kini beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini yaitu terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa posisi yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, ditinggikan dari yang akan menjadi tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Berbagai tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada waktu itu sempat memohon mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan akibatnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mencetuskan mundur dari posisinya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie yaitu tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Posisi pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi mengalihkan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen direbut oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah posisi kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Sebagian bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui menempuh letak Habibi di dalam Ketentuan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden lahir Provinsi Sulawesi Selatan yaitu penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang ditunjuk menempuh pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid yaitu Presiden ke-4 Indonesia. Masa posisinya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur yaitu presiden terakhir yang ditunjuk oleh MPR. Beliau ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini diputuskan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketentuan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa posisinya, berdasarkan Ketentuan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri yaitu Presiden ke-5 Indonesia. Posisi pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati mengalihkan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau yaitu wakil presiden kedua yang mengalihkan presiden ketika selesai dalam masa posisinya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa posisinya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa posisi Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR ditinggikan sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa posisinya yaitu Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah menempuh dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa posisi pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa posisi Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Presiden ke-6 Indonesia. Posisi pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang yaitu pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa posisinya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah posisi presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara yaitu Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau dituding dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat letaknya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih mengerti dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Akad Roem-Royen. Setelah menempuh berbagai proses berliku akibatnya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Letak Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, patut secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah aci atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Posisi Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat yaitu Pemangku Posisi Presiden Republik Indonesia. Posisinya dimulai pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan posisi Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya yaitu Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku posisi presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi "Pemangku Posisi Presiden". Posisi tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 saat beliau menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal mengenai tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya yaitu UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara anggaran tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai letaknya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Posisinya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketentuan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang ditunjuk oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena adanya politik saat itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena diputuskan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi posisi lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal dan diperhatikan sebagian hal yang boleh aci bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, dapat dikawal pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal yaitu Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dikawal disini bahwa beliau mendiami dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah diputuskan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang berada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dikawal bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa posisi maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku posisi untuk yang pertama kalinya. Soekarno memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi presiden, antara lain:
Mohammad Hatta memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi, yaitu:
Assaat memiliki 2 probabilitas periodisasi posisi, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi, antara lain:
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode posisi presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Hamzah Haz memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode posisi presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa posisi lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa posisi tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai sebagian tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Kedua contoh di atas menunjukkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
ReferensiLihat pulaedunitas.com Page 7Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan lawas bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", dianggarkan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita sedang sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa"). Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Untuk mereka, kawasan yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya yaitu Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai yaitu "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah jajahannya di kepulauan ini. Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang gunanya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berfaedah pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di permulaan seratus tahun ke-20. Nama IndonesiaPada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang diurus oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Akhir pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya untuk penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berfaedah "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris): ".... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing hendak menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".Earl sendiri mencetuskan menentukan nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada permulaan tulisannya, Logan pun mencetuskan perlunya nama khas untuk kepulauan tanah cairan kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan akhir memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih patut. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini yaitu Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di alam dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia): "Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"Ketika mengusulkan nama "Indonesia" kira-kiranya Logan tidak menyadari bahwa di akhir hari nama itu hendak menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan babak etnologi dan geografi. [1] Pada tahun 1884 guru agung etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang mengandung hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Argumen yang tidak sah itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia membangun sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")... PolitikPada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang yaitu istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhir-akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai dampaknya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1] Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berproses dan berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang hendak datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) absurd disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Untuk kami nama Indonesia mencetuskan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah cairan pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) hendak berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."Di Indonesia Dr. Sutomo membangun Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berproses dan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah cairan yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhir-akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah cairan, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië disahkan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)". Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia. Lihat pulaRujukan
Pranala luar
Referensi
edunitas.com Page 8Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan lawas bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", dianggarkan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita sedang sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa"). Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Untuk mereka, kawasan yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya yaitu Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai yaitu "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini. Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang gunanya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berfaedah pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di permulaan seratus tahun ke-20. Nama IndonesiaPada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang diurus oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Akhir pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya untuk masyarakat Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berfaedah "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris): "... Masyarakat Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing hendak menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".Earl sendiri menyatakan menentukan nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada permulaan tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas untuk kepulauan tanah cairan kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan akhir memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih patut. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa masyarakat di kepulauan ini yaitu Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di alam dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia): "Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"Ketika mengusulkan nama "Indonesia" kira-kiranya Logan tidak menyadari bahwa di akhir hari nama itu hendak menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan babak etnologi dan geografi. [1] Pada tahun 1884 guru agung etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang mengandung hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Argumen yang tidak sah itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 dia membangun sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")... PolitikPada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang yaitu istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" kesudahannya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai kesudahannya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1] Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berproses dan berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang hendak datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) absurd disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Untuk kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah cairan pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) hendak berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."Di Indonesia Dr. Sutomo membangun Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berproses dan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah cairan yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Kesudahannya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah cairan, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië disahkan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)". Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia. Lihat pulaRujukan
Pranala luar
Referensi
edunitas.com Page 9Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan lawas bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", dianggarkan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita sedang sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa"). Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Untuk mereka, kawasan yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya yaitu Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai yaitu "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini. Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang gunanya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berfaedah pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di permulaan seratus tahun ke-20. Nama IndonesiaPada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang diurus oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Akhir pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya untuk masyarakat Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berfaedah "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris): "... Masyarakat Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing hendak menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".Earl sendiri menyatakan menentukan nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada permulaan tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas untuk kepulauan tanah cairan kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan akhir memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih patut. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa masyarakat di kepulauan ini yaitu Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di alam dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia): "Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"Ketika mengusulkan nama "Indonesia" kira-kiranya Logan tidak menyadari bahwa di akhir hari nama itu hendak menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan babak etnologi dan geografi. [1] Pada tahun 1884 guru agung etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang mengandung hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Argumen yang tidak sah itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 dia membangun sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")... PolitikPada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang yaitu istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" kesudahannya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai kesudahannya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1] Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berproses dan berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang hendak datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) absurd disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Untuk kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah cairan pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) hendak berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."Di Indonesia Dr. Sutomo membangun Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berproses dan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah cairan yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Kesudahannya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah cairan, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië disahkan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)". Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia. Lihat pulaRujukan
Pranala luar
Referensi
edunitas.com Page 10Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan lawas bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", dianggarkan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita sedang sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa"). Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Untuk mereka, kawasan yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya yaitu Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai yaitu "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah jajahannya di kepulauan ini. Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang gunanya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berfaedah pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di permulaan seratus tahun ke-20. Nama IndonesiaPada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang diurus oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Akhir pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya untuk penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berfaedah "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris): ".... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing hendak menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".Earl sendiri mencetuskan menentukan nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada permulaan tulisannya, Logan pun mencetuskan perlunya nama khas untuk kepulauan tanah cairan kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan akhir memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih patut. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini yaitu Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di alam dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia): "Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"Ketika mengusulkan nama "Indonesia" kira-kiranya Logan tidak menyadari bahwa di akhir hari nama itu hendak menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan babak etnologi dan geografi. [1] Pada tahun 1884 guru agung etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang mengandung hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Argumen yang tidak sah itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia membangun sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")... PolitikPada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang yaitu istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhir-akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai dampaknya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1] Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berproses dan berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang hendak datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) absurd disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Untuk kami nama Indonesia mencetuskan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah cairan pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) hendak berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."Di Indonesia Dr. Sutomo membangun Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berproses dan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah cairan yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhir-akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah cairan, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië disahkan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)". Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia. Lihat pulaRujukan
Pranala luar
Referensi
edunitas.com Page 11Lambang Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang nyaris sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dituturkan nyaris sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dituturkan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun angkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai bangun dan letak lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian agung diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berjalannya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya tidak terikat dari kesukaran di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berjalan secara bersamaan. Kedua, antara 1999–2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya menengah 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 yaitu periode berjalannya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini ditunjuk oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa posisi selama 5 tahun. Sebelum bertugasnya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden ditunjuk oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang diputuskan UUD 1945. Hanya sebagian bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA memohon kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU menempuh Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika adanya darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden). Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat bertugasnya saat Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang aci. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat yaitu penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu letaknya tidak bisa diabaikan. Lagi pula pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Lagi pula perundingan-perundingan, seperti Akad Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan letak sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berjalannya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Posisi Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden ditunjuk oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bertugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bangun negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia mengalihkan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Posisi Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga yaitu periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya yaitu perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini yaitu perpaduan antara konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden ditunjuk menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa posisi yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], posisi ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bertugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku posisi presiden pada periode ini yaitu hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya ditinggikan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan akibatnya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dihasilkan. Dalam perjalanannya posisi wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Anggaran pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan dialihkan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis akibatnya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan dialihkan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat yaitu periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dimohon melihat kembali masa republik I. Ada sebagian hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat daya hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan adanya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketentuan MPR/MPRS. Menempuh produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada sebagian hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku posisi dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketentuan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya posisi “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari posisinya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dinyatakan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akibatnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketentuan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketentuan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun akibatnya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima yaitu periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Sebagian hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, yaitu, pertama, untuk pertama kalinya presiden ditunjuk oleh MPR dari yang akan menjadi yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berdampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak akibatnya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya yaitu konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Sejak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam yaitu periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan dapat dituturkan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini ditunjuk secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa posisi selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode posisi [pasal 7]. Sebelum bertugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketentuan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berjalan oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu anggaran peralihan pasal I dan II juga berjalan selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dihasilkan peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur menempuh konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, yaitu tokoh presiden pertama dari Indonesia. Posisi pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut anggaran yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlangsungnya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi adanya darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dikawal bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang berada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan adanya pemerintahan ganda. Sampai akibatnya pada 13 Juli 1949, setelah menempuh proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada saat yang nyaris bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap posisi bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan posisi apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletak posisi bersama-sama. Adanya ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua parlemen ditinggikan menjadi Pemangku Posisi Presiden. Akibatnya pada 27 Desember 1949 Sukarno selesai sebagai presiden dan menyerahkan posisi lembaga kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa posisinya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam posisi presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dihasilkan dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Posisi presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Posisi ini dapat dihitung sebagai masa posisi kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk mencerai-beraikan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Posisi Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Posisi ini dapat dihitung sebagai posisi ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta posisi ini dapat dihitung sebagai masa posisi kedua. Sesuai konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada akhir tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari posisi wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Adanya yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta mencerai-beraikan konstituante yang tak kunjung habis menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar anggaran peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi DPR Peralihan[14] sampai diputuskan DPR yang baru menurut konstitusi. Posisi ini dapat dihitung sebagai posisi presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai masa posisi keempat bagi Sukarno. Sementara itu, anggaran peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dihentikan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden dapat membikin produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melaksanakan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno semakin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR yaitu pembantu Presiden/Pemimpin Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Menempuh UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Agung Revolusi dan akibatnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa posisi seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini dapat dihitung sebagai masa posisi kelima bagi Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pemimpin Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” banyakan dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini yaitu kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akibatnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang erat diajak bercakap-cakap Pak Harto yaitu tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Posisi pertamanya dimulai sejak 27 Maret 1968. Pak Harto ditinggikan oleh MPR Sementara dengan Ketentuan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketentuan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau yaitu presiden kedua yang diputuskan oleh MPR Sementara. Dalam masa posisinya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden yaitu pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang ditinggikan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini ditinggikan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari yang akan menjadi tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa posisinya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlangsung dengan urutan yang remeh disertai relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi posisi. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali ditinggikan oleh MPR dari yang akan menjadi tunggal[22]. Dalam masa posisi yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto ditinggikan sehari lebih cepat dari jatah masa posisinya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali ditinggikan oleh MPR untuk mendiami kursi kepresidenannya yang keempat dari yang akan menjadi tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau ditinggikan tiga belas hari lebih cepat dari masa posisinya yang seharusnya akibatnya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal lahir desa Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun mendiami kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa posisi kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, setelah menggenapi masa posisinya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto ditinggikan untuk mendiami posisi presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari yang akan menjadi tunggal. Kini beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini yaitu terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa posisi yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, ditinggikan dari yang akan menjadi tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Berbagai tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada waktu itu sempat memohon mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan akibatnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mencetuskan mundur dari posisinya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie yaitu tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Posisi pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi mengalihkan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen direbut oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah posisi kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Sebagian bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui menempuh letak Habibi di dalam Ketentuan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden lahir Provinsi Sulawesi Selatan yaitu penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang ditunjuk menempuh pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid yaitu Presiden ke-4 Indonesia. Masa posisinya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur yaitu presiden terakhir yang ditunjuk oleh MPR. Beliau ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini diputuskan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketentuan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa posisinya, berdasarkan Ketentuan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri yaitu Presiden ke-5 Indonesia. Posisi pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati mengalihkan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau yaitu wakil presiden kedua yang mengalihkan presiden ketika selesai dalam masa posisinya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa posisinya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa posisi Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR ditinggikan sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa posisinya yaitu Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah menempuh dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa posisi pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa posisi Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Presiden ke-6 Indonesia. Posisi pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang yaitu pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa posisinya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah posisi presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara yaitu Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau dituding dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat letaknya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih mengerti dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Akad Roem-Royen. Setelah menempuh berbagai proses berliku akibatnya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Letak Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, patut secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah aci atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Posisi Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat yaitu Pemangku Posisi Presiden Republik Indonesia. Posisinya dimulai pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan posisi Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya yaitu Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku posisi presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi "Pemangku Posisi Presiden". Posisi tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 saat beliau menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal mengenai tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya yaitu UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara anggaran tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai letaknya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Posisinya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketentuan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang ditunjuk oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena adanya politik saat itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena diputuskan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi posisi lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal dan diperhatikan sebagian hal yang boleh aci bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, dapat dikawal pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal yaitu Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dikawal disini bahwa beliau mendiami dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah diputuskan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang berada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dikawal bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa posisi maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku posisi untuk yang pertama kalinya. Soekarno memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi presiden, antara lain:
Mohammad Hatta memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi, yaitu:
Assaat memiliki 2 probabilitas periodisasi posisi, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi, antara lain:
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode posisi presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Hamzah Haz memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode posisi presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa posisi lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa posisi tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai sebagian tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Kedua contoh di atas menunjukkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
ReferensiLihat pulaedunitas.com Page 12Lambang Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dituturkan hampir sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dituturkan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berjenis-jenis maupun angkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai bentuk dan letak lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian agung diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berjalannya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya tidak terikat dari kesukaran di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berjalan secara bersamaan. Kedua, antara 1999–2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 yaitu periode berjalannya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini ditunjuk oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum bertugasnya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden ditunjuk oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang diputuskan UUD 1945. Hanya sebagian bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA memohon kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU menempuh Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika demikianlah keadaanya darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden). Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat bertugasnya saat Penyerangan negara Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang aci. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat yaitu penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu letaknya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Janji Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan letak sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berjalannya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden ditunjuk oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bertugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga yaitu periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya yaitu perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini yaitu perpaduan antara konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden ditunjuk menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bertugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku jabatan presiden pada periode ini yaitu hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya ditinggikan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan akhir suatu peristiwanya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan diproduksi. Dalam perjalanannya jabatan wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Anggaran pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis akhir suatu peristiwanya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat yaitu periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dimohon melihat kembali masa republik I. Ada sebagian hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat daya hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan demikianlah keadaanya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketentuan MPR/MPRS. Menempuh produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada sebagian hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketentuan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya jabatan “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari jabatannya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dinyatakan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akhir suatu peristiwanya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketentuan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketentuan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun akhir suatu peristiwanya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima yaitu periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Sebagian hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, yaitu, pertama, untuk pertama kalinya presiden ditunjuk oleh MPR dari yang akan menjadi yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berdampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak akhir suatu peristiwanya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya yaitu konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Sejak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam yaitu periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan dapat dituturkan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini ditunjuk secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa jabatan selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode jabatan [pasal 7]. Sebelum bertugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketentuan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berjalan oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu anggaran peralihan pasal I dan II juga berjalan selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula diproduksi peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur menempuh konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan belakang, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, yaitu tokoh presiden pertama dari Indonesia. Jabatan pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut anggaran yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlangsungnya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi demikianlah keadaanya darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dikawal bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang ada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan demikianlah keadaanya pemerintahan ganda. Sampai akhir suatu peristiwanya pada 13 Juli 1949, setelah menempuh proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada saat yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap jabatan bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan jabatan apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Demikianlah keadaanya ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua parlemen ditinggikan menjadi Pemangku Jabatan Presiden. Akhir suatu peristiwanya pada 27 Desember 1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan lembaga kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam jabatan presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan diproduksi dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Jabatan presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk mencerai-beraikan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Jabatan Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua. Sesuai konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada belakang tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Demikianlah keadaanya yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta mencerai-beraikan konstituante yang tak kunjung habis menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar anggaran peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi DPR Peralihan[14] sampai diputuskan DPR yang baru menurut konstitusi. Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai masa jabatan keempat bagi Sukarno. Sementara itu, anggaran peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dihentikan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden dapat membikin produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melaksanakan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno semakin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR yaitu pembantu Presiden/Pemimpin Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Menempuh UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Agung Revolusi dan akhir suatu peristiwanya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa jabatan seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kelima bagi Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pemimpin Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” lebih banyak dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini yaitu kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akhir suatu peristiwanya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang erat diajak bercakap-cakap Pak Harto yaitu tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai sejak 27 Maret 1968. Pak Harto ditinggikan oleh MPR Sementara dengan Ketentuan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketentuan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau yaitu presiden kedua yang diputuskan oleh MPR Sementara. Dalam masa jabatannya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden yaitu pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang ditinggikan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini ditinggikan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari yang akan menjadi tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa jabatannya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlangsung dengan urutan yang mudah disertai relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi jabatan. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali ditinggikan oleh MPR dari yang akan menjadi tunggal[22]. Dalam masa jabatan yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto ditinggikan sehari lebih cepat dari jatah masa jabatannya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali ditinggikan oleh MPR untuk mendiami kursi kepresidenannya yang keempat dari yang akan menjadi tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau ditinggikan tiga belas hari lebih cepat dari masa jabatannya yang seharusnya akhir suatu peristiwanya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal lahir desa Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun mendiami kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa jabatan kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, setelah menggenapi masa jabatannya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto ditinggikan untuk mendiami jabatan presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari yang akan menjadi tunggal. Kini beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini yaitu terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa jabatan yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, ditinggikan dari yang akan menjadi tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Berbagai tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada waktu itu sempat memohon mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan akhir suatu peristiwanya pada 21 Mei 1998 Soeharto mencetuskan mundur dari jabatannya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie yaitu tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen direbut oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah jabatan kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Sebagian bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui menempuh letak Habibi di dalam Ketentuan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden lahir Provinsi Sulawesi Selatan yaitu penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang ditunjuk menempuh pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid yaitu Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur yaitu presiden terakhir yang ditunjuk oleh MPR. Beliau ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini diputuskan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketentuan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan Ketentuan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri yaitu Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau yaitu wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa jabatan Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR ditinggikan sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya yaitu Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah menempuh dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa jabatan pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang yaitu pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa jabatannya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara yaitu Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau dituding dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat letaknya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Janji Roem-Royen. Setelah menempuh berbagai proses berliku akhir suatu peristiwanya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Letak Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, adil secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah aci atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Jabatan Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat yaitu Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia. Jabatannya dimulai pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan jabatan Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya yaitu Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku jabatan presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi "Pemangku Jabatan Presiden". Jabatan tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 saat beliau menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal mengenai tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya yaitu UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara anggaran tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai letaknya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketentuan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan demikianlah keadaanya presiden yang ditunjuk oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena demikianlah keadaanya politik saat itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena diputuskan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi jabatan lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal dan diperhatikan sebagian hal yang boleh aci bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, dapat dikawal pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal yaitu Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dikawal disini bahwa beliau mendiami dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah diputuskan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang ada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dikawal bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa jabatan maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku jabatan untuk yang pertama kalinya. Soekarno memiliki sebagian probabilitas periodisasi jabatan presiden, antara lain:
Mohammad Hatta memiliki sebagian probabilitas periodisasi jabatan wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara memiliki sebagian probabilitas periodisasi jabatan, yaitu:
Assaat memiliki 2 probabilitas periodisasi jabatan, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto memiliki sebagian probabilitas periodisasi jabatan, antara lain:
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Hamzah Haz memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa jabatan lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa jabatan tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai sebagian tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Kedua contoh di atas menunjukkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
ReferensiLihat pulaedunitas.com Page 13Lambang Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dituturkan hampir sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dituturkan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berjenis-jenis maupun angkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai bentuk dan letak lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian agung diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berjalannya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya tidak terikat dari kesukaran di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berjalan secara bersamaan. Kedua, antara 1999–2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 yaitu periode berjalannya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini ditunjuk oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum bertugasnya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden ditunjuk oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang diputuskan UUD 1945. Hanya sebagian bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA memohon kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU menempuh Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika demikianlah keadaanya darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden). Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat bertugasnya saat Penyerangan negara Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang aci. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat yaitu penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu letaknya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Janji Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan letak sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berjalannya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden ditunjuk oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bertugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga yaitu periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya yaitu perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini yaitu perpaduan antara konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden ditunjuk menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bertugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku jabatan presiden pada periode ini yaitu hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya ditinggikan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan akhir suatu peristiwanya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan diproduksi. Dalam perjalanannya jabatan wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Anggaran pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis akhir suatu peristiwanya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat yaitu periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dimohon melihat kembali masa republik I. Ada sebagian hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat daya hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan demikianlah keadaanya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketentuan MPR/MPRS. Menempuh produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada sebagian hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketentuan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya jabatan “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari jabatannya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dinyatakan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akhir suatu peristiwanya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketentuan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketentuan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun akhir suatu peristiwanya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima yaitu periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Sebagian hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, yaitu, pertama, untuk pertama kalinya presiden ditunjuk oleh MPR dari yang akan menjadi yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berdampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak akhir suatu peristiwanya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya yaitu konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Sejak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam yaitu periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan dapat dituturkan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini ditunjuk secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa jabatan selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode jabatan [pasal 7]. Sebelum bertugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketentuan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berjalan oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu anggaran peralihan pasal I dan II juga berjalan selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula diproduksi peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bentuk dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur menempuh konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan belakang, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, yaitu tokoh presiden pertama dari Indonesia. Jabatan pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut anggaran yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlangsungnya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi demikianlah keadaanya darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dikawal bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang ada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan demikianlah keadaanya pemerintahan ganda. Sampai akhir suatu peristiwanya pada 13 Juli 1949, setelah menempuh proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada saat yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap jabatan bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan jabatan apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Demikianlah keadaanya ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua parlemen ditinggikan menjadi Pemangku Jabatan Presiden. Akhir suatu peristiwanya pada 27 Desember 1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan lembaga kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam jabatan presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan diproduksi dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Jabatan presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk mencerai-beraikan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Jabatan Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua. Sesuai konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada belakang tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Demikianlah keadaanya yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta mencerai-beraikan konstituante yang tak kunjung habis menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar anggaran peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi DPR Peralihan[14] sampai diputuskan DPR yang baru menurut konstitusi. Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai masa jabatan keempat bagi Sukarno. Sementara itu, anggaran peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dihentikan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden dapat membikin produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melaksanakan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno semakin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR yaitu pembantu Presiden/Pemimpin Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Menempuh UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Agung Revolusi dan akhir suatu peristiwanya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa jabatan seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kelima bagi Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pemimpin Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” lebih banyak dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini yaitu kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akhir suatu peristiwanya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang erat diajak bercakap-cakap Pak Harto yaitu tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai sejak 27 Maret 1968. Pak Harto ditinggikan oleh MPR Sementara dengan Ketentuan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketentuan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau yaitu presiden kedua yang diputuskan oleh MPR Sementara. Dalam masa jabatannya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden yaitu pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang ditinggikan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini ditinggikan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari yang akan menjadi tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa jabatannya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlangsung dengan urutan yang mudah disertai relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi jabatan. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali ditinggikan oleh MPR dari yang akan menjadi tunggal[22]. Dalam masa jabatan yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto ditinggikan sehari lebih cepat dari jatah masa jabatannya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali ditinggikan oleh MPR untuk mendiami kursi kepresidenannya yang keempat dari yang akan menjadi tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau ditinggikan tiga belas hari lebih cepat dari masa jabatannya yang seharusnya akhir suatu peristiwanya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal lahir desa Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun mendiami kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa jabatan kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, setelah menggenapi masa jabatannya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto ditinggikan untuk mendiami jabatan presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari yang akan menjadi tunggal. Kini beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini yaitu terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa jabatan yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, ditinggikan dari yang akan menjadi tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Berbagai tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada waktu itu sempat memohon mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan akhir suatu peristiwanya pada 21 Mei 1998 Soeharto mencetuskan mundur dari jabatannya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie yaitu tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen direbut oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah jabatan kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Sebagian bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui menempuh letak Habibi di dalam Ketentuan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden lahir Provinsi Sulawesi Selatan yaitu penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang ditunjuk menempuh pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid yaitu Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur yaitu presiden terakhir yang ditunjuk oleh MPR. Beliau ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini diputuskan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketentuan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan Ketentuan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri yaitu Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau yaitu wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa jabatan Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR ditinggikan sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya yaitu Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah menempuh dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa jabatan pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang yaitu pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa jabatannya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara yaitu Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau dituding dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat letaknya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Janji Roem-Royen. Setelah menempuh berbagai proses berliku akhir suatu peristiwanya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Letak Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, adil secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah aci atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Jabatan Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat yaitu Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia. Jabatannya dimulai pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan jabatan Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya yaitu Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku jabatan presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi "Pemangku Jabatan Presiden". Jabatan tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 saat beliau menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal mengenai tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya yaitu UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara anggaran tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai letaknya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketentuan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan demikianlah keadaanya presiden yang ditunjuk oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena demikianlah keadaanya politik saat itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena diputuskan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi jabatan lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal dan diperhatikan sebagian hal yang boleh aci bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, dapat dikawal pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal yaitu Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dikawal disini bahwa beliau mendiami dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah diputuskan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang ada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dikawal bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa jabatan maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku jabatan untuk yang pertama kalinya. Soekarno memiliki sebagian probabilitas periodisasi jabatan presiden, antara lain:
Mohammad Hatta memiliki sebagian probabilitas periodisasi jabatan wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara memiliki sebagian probabilitas periodisasi jabatan, yaitu:
Assaat memiliki 2 probabilitas periodisasi jabatan, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto memiliki sebagian probabilitas periodisasi jabatan, antara lain:
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Hamzah Haz memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa jabatan lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa jabatan tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai sebagian tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Kedua contoh di atas menunjukkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
ReferensiLihat pulaedunitas.com Page 14Lambang Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang nyaris sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dituturkan nyaris sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dituturkan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun angkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai bangun dan letak lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian agung diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berjalannya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya tidak terikat dari kesukaran di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berjalan secara bersamaan. Kedua, antara 1999–2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya menengah 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 yaitu periode berjalannya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini ditunjuk oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa posisi selama 5 tahun. Sebelum bertugasnya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden ditunjuk oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang diputuskan UUD 1945. Hanya sebagian bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA memohon kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU menempuh Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika adanya darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden). Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat bertugasnya saat Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang aci. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat yaitu penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu letaknya tidak bisa diabaikan. Lagi pula pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Lagi pula perundingan-perundingan, seperti Akad Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan letak sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berjalannya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Posisi Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden ditunjuk oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bertugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bangun negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia mengalihkan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Posisi Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga yaitu periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya yaitu perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini yaitu perpaduan antara konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden ditunjuk menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa posisi yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], posisi ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bertugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur letak dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku posisi presiden pada periode ini yaitu hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya ditinggikan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan akibatnya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dihasilkan. Dalam perjalanannya posisi wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Anggaran pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan dialihkan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis akibatnya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan dialihkan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat yaitu periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dimohon melihat kembali masa republik I. Ada sebagian hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat daya hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan adanya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketentuan MPR/MPRS. Menempuh produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada sebagian hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku posisi dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketentuan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya posisi “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari posisinya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dinyatakan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akibatnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketentuan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketentuan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun akibatnya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima yaitu periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Sebagian hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, yaitu, pertama, untuk pertama kalinya presiden ditunjuk oleh MPR dari yang akan menjadi yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berdampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak akibatnya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya yaitu konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Sejak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam yaitu periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan dapat dituturkan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini ditunjuk secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa posisi selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode posisi [pasal 7]. Sebelum bertugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketentuan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berjalan oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu anggaran peralihan pasal I dan II juga berjalan selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dihasilkan peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bangun dan letak, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur menempuh konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, yaitu tokoh presiden pertama dari Indonesia. Posisi pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut anggaran yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlangsungnya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi adanya darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dikawal bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang berada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan adanya pemerintahan ganda. Sampai akibatnya pada 13 Juli 1949, setelah menempuh proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada saat yang nyaris bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap posisi bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan posisi apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletak posisi bersama-sama. Adanya ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua parlemen ditinggikan menjadi Pemangku Posisi Presiden. Akibatnya pada 27 Desember 1949 Sukarno selesai sebagai presiden dan menyerahkan posisi lembaga kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa posisinya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam posisi presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dihasilkan dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Posisi presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Posisi ini dapat dihitung sebagai masa posisi kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk mencerai-beraikan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Posisi Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Posisi ini dapat dihitung sebagai posisi ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta posisi ini dapat dihitung sebagai masa posisi kedua. Sesuai konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada akhir tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari posisi wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Adanya yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta mencerai-beraikan konstituante yang tak kunjung habis menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar anggaran peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi DPR Peralihan[14] sampai diputuskan DPR yang baru menurut konstitusi. Posisi ini dapat dihitung sebagai posisi presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai masa posisi keempat bagi Sukarno. Sementara itu, anggaran peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dihentikan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden dapat membikin produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melaksanakan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno semakin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR yaitu pembantu Presiden/Pemimpin Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Menempuh UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Agung Revolusi dan akibatnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa posisi seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini dapat dihitung sebagai masa posisi kelima bagi Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pemimpin Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” banyakan dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini yaitu kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akibatnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang erat diajak bercakap-cakap Pak Harto yaitu tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Posisi pertamanya dimulai sejak 27 Maret 1968. Pak Harto ditinggikan oleh MPR Sementara dengan Ketentuan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketentuan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau yaitu presiden kedua yang diputuskan oleh MPR Sementara. Dalam masa posisinya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden yaitu pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang ditinggikan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini ditinggikan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari yang akan menjadi tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa posisinya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlangsung dengan urutan yang remeh disertai relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi posisi. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali ditinggikan oleh MPR dari yang akan menjadi tunggal[22]. Dalam masa posisi yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto ditinggikan sehari lebih cepat dari jatah masa posisinya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali ditinggikan oleh MPR untuk mendiami kursi kepresidenannya yang keempat dari yang akan menjadi tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau ditinggikan tiga belas hari lebih cepat dari masa posisinya yang seharusnya akibatnya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal lahir desa Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun mendiami kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa posisi kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, setelah menggenapi masa posisinya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto ditinggikan untuk mendiami posisi presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari yang akan menjadi tunggal. Kini beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini yaitu terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa posisi yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, ditinggikan dari yang akan menjadi tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Berbagai tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada waktu itu sempat memohon mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan akibatnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mencetuskan mundur dari posisinya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie yaitu tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Posisi pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi mengalihkan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen direbut oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah posisi kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Sebagian bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui menempuh letak Habibi di dalam Ketentuan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden lahir Provinsi Sulawesi Selatan yaitu penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang ditunjuk menempuh pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid yaitu Presiden ke-4 Indonesia. Masa posisinya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur yaitu presiden terakhir yang ditunjuk oleh MPR. Beliau ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini diputuskan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketentuan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa posisinya, berdasarkan Ketentuan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri yaitu Presiden ke-5 Indonesia. Posisi pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati mengalihkan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau yaitu wakil presiden kedua yang mengalihkan presiden ketika selesai dalam masa posisinya. Megawati ditinggikan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketentuan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa posisinya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa posisi Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR ditinggikan sebagai wakil presiden dengan Ketentuan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa posisinya yaitu Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah menempuh dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa posisi pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa posisi Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Presiden ke-6 Indonesia. Posisi pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang yaitu pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa posisinya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah posisi presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara yaitu Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau dituding dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat letaknya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih mengerti dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Akad Roem-Royen. Setelah menempuh berbagai proses berliku akibatnya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Letak Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, patut secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah aci atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Posisi Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat yaitu Pemangku Posisi Presiden Republik Indonesia. Posisinya dimulai pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan posisi Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya yaitu Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku posisi presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi "Pemangku Posisi Presiden". Posisi tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 saat beliau menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal mengenai tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya yaitu UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara anggaran tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai letaknya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Posisinya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketentuan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketentuan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang ditunjuk oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena adanya politik saat itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena diputuskan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi posisi lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal dan diperhatikan sebagian hal yang boleh aci bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, dapat dikawal pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal yaitu Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dikawal disini bahwa beliau mendiami dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah diputuskan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang berada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dikawal bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa posisi maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku posisi untuk yang pertama kalinya. Soekarno memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi presiden, antara lain:
Mohammad Hatta memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi, yaitu:
Assaat memiliki 2 probabilitas periodisasi posisi, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto memiliki sebagian probabilitas periodisasi posisi, antara lain:
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode posisi presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Hamzah Haz memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode posisi presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono memiliki 1 periode posisi wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 sampai saat ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa posisi lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa posisi tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai sebagian tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Kedua contoh di atas menunjukkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
ReferensiLihat pulaedunitas.com |