Hal yang diteladani dari para tokoh pendiri negara Mohammad Hatta

Jakarta -

Bung Hatta sudah tidak asing dari telinga kita. Bung Hatta adalah wakil presiden Indonesia pertama dan tokoh proklamator Indonesia bersama dengan Ir. Soekarno.

Bung Hatta memiliki nama lengkap Mohammad Hatta, lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Bung Hatta adalah anak dari Mohammad Djamil dan Siti Saleha.

Berikut adalah yang dapat diteladani dari Bung Hatta dari masa ke masa yang dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan:

Pendidikan Bung Hatta dimulai dari pendidikan formal di sekolah swasta. Bung Hatta kemudian pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan kakaknya yaitu Rafiah.

Bung Hatta berpindah sekolah lagi ke ELS Padang (saat ini menjadi SMAN 1 Padang) sampai tahun 1913, dan melanjutkan ke MULO pada tahun 1917.

Bung Hatta juga dibekali ilmu agama sejak kecil oleh keluarganya. Keluarga Bung Hatta adalah keluarga pedagang.

Hal tersebut yang membuat dirinya tertarik pada perekonomian. Di Padang, Bung Hatta akrab dengan para pedagang yang tergabung dalam Serikat Usaha dan Bung Hatta juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kemudian Bung Hatta bersekolah di Prins Hendrik School. Bung Hatta juga melanjutkan kariernya sebagai bendahara di Jakarta.

2. Aktif Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Luar Negeri

Ketertarikannya dalam bidang politik terlihat saat dirinya bersekolah di Belanda tahun 1921-1932. Bung Hatta bersekolah di Handels Hogenschool (sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam). Selama bersekolah di sana Bung Hatta tergabung dalam perkumpulan pelajar Tanah Air di Belanda, yaitu Indische Vereeniging.

Bung Hatta kemudian memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk acara perdamaian di Prancis. Dari delegasi tersebut Bung Hatta berkenalan dengan tokoh-tokoh penting umumnya pemimpin pergerakan buruh.

Simak Video "Mahfud Singgung Ucapan Bung Hatta soal Korupsi Sudah Jadi Budaya"


[Gambas:Video 20detik]

Kabar Damai I Kamis, 5 Agustus 2021

Jakarta I kabardamai.id I Mohammad Hatta yang akrab kita kenal Bung Hatta merupakan salah satu tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Ir Soekarno dan tokoh intelektual lainnya, mereka berupaya mewujudkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hatta yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902, adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden yang telah dijabatnya sejak 1945, pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi.

Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.

Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Ia memperoleh gelar kehormatan akademis doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tanggal 27 Nopember 1956.

Baca Juga: Bung Hatta: Menjernihkan Relasi Agama dan Negara

Setelah meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar doctor honoris causa dalam bidang ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar doctor honoris causa di bidang ilmu hukum.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 November 1945 di Desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah.

Putri sulungnya, Meutia Hatta, adalah mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan di Kabinet Indonesia Bersatu. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek. Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun, dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Mohammad Hatta selalu memberikan sumbangsih pemikirannya dalam banyak hal. Mulai dari dasar negara, konsep NKRI, proklamasi, hingga gagasan tentang ekonomi kerakyatan. Tak heran apabila negarawan asal Bukttinggi ini didapuk sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.

Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya kita meneladani Bung Hatta. Berikut ini adalah lima nilai semangat Mohammad Hatta yang perlu kita tiru.

  1. Jiwa Solidaritas dan Kesetiakawanan

Solidaritas adalah simpati untuk kepentingan bersama yang dilandasi oleh rasa kesetiakawanan. Bung Hatta bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan bersama seluruh lapisan masyarakat.

  1. Pro Patria dan Primus Patrialis

Artinya Bung Hatta selalu mencintai dan mendahulukan kepentingan Tanah Air. Beliau pernah diasingkan ke Boven Digul karena dianggap membangkan terhadap pemerintah kolonial. Meski demikian, Bung Hatta tidak gentar.

Bahkan, Bung Hatta berikrar tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta menepati janjinya. Beliau menikah pada 18 November 1945.

  1. Jiwa Toleransi atau Tenggang Rasa

Toleransi merupakan sikap tenggang rasa antarumat beragama, suku, golongan, dan bangsa. Ini tercermin dari sikap Bung Hatta yang menghargai kultur orang lain meskipun ia tidak ikut ambil bagian dalam kultur tersebut.

“Banyak kesaksian kawan-kawannya maupun penuturan ia sendiri dalam memoir-nya, betapa Hatta sangat asketik, tidak mau tergoda dengan beberapa kultur Barat yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Meskipun demikian, Hatta amat menghargai kultur orang lain itu meskipun ia sendiri tidak ikut ambil bagian atau larut di dalamnya,” tulis Zed dalam buku Cara Baik Bung Hatta.

  1. Jiwa Tanpa Pamrih dan Bertanggung Jawab

Hatta berjuang semata-mata agar negeri tercintanya lepas dari cengkeraman penjajah. Ia tidak memiliki maksud untuk menguntungkan diri sendiri.

Ia paham dan siap terhadap semua konsekuensi dari jalan politik yang ia tempuh. Saat itu, berani melawan kolonialisme artinya siap untuk hidup menderita.

Bung Hatta memiliki jiwa ksatria, yakni kebesaran hati yang tidak mengandung balas dendam. Seseorang yang berjiwa ksatria berani membela kebenaran dan melawan kejahatan. Pada saat yang sama, ia juga berbesar hati dan mengakui kelemahan.

Bapak Koperasi Indonesia

Dengan rasa peduli Hatta kepada rakyat dan ekonomi Indonesia, Hatta mendorong gerakan ekonomi kerakyatan melalui koperasi. Menurut Hatta, tujuan negara yaitu memakmurkan rakyat dengan berlandaskan atas asas kekeluargaan dan bentuk perekonomian yang paling cocok bagi Indonesia adalah ‘usaha bersama’ secara kekeluargaan.

Pada 12 Juli 1951, Hatta mengucapkan pidato radio dalam memperingati Hari Koperasi di Indonesia. Gagasannya mengenai koperasi terdapat dalam bukunya Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Atas kontribusi Hatta terhadap perekonomian Indonesia, Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada tahun 1953 saat kongres II di Bandung.

Dalam bukunya Hatta mengkategorikan social capital ke dalam 7 nilai semangat koperasi.

  • Kebenaran untuk menggerakan kepercayaan.
  • Keadilan dalam usaha bersama.
  • Kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan.
  • Tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas.
  • Paham yang sehat, cerdas, dan tegas.
  • Kemauan menolong diri sendiri dan menggerakan keswasembadaan serta otoaktiva.
  • Kesetiaan dalam kekeluargaan.

Dalam mengembangkan koperasi Indonesia, Hatta membuat 7 prinsip operasional secara internal dan eksternal: 1)Keanggotaan sukarela dan terbuka; 2) Pengendalian oleh anggota secara demokratis; 3) Partisipasi ekonomis anggota; Otonomi kebebasan; 4) Pendidikan; 5) Pelatihan dan informasi; serta Kerjasama antar operasi serta kepedulian terhadap komunitas. [kumparan/jurnal.id]

Editor: Ahmad Nurcholish

Mohammad Hatta. Foto: Dok. ANP

Mohammad Hatta merupakan salah satu tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Ir Soekarno dan tokoh intelektual lainnya, mereka berupaya mewujudkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mohammad Hatta selalu memberikan sumbangsih pemikirannya dalam banyak hal. Mulai dari dasar negara, konsep NKRI, proklamasi, hingga gagasan tentang ekonomi kerakyatan. Tak heran apabila negarawan asal Bukttinggi ini didapuk sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.

Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya kita meneladani Bung Hatta. Berikut ini adalah lima nilai semangat Mohammad Hatta yang perlu kita tiru.

Jiwa Solidaritas dan Kesetiakawanan

Solidaritas adalah simpati untuk kepentingan bersama yang dilandasi oleh rasa kesetiakawanan. Bung Hatta bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan bersama seluruh lapisan masyarakat.

Pro Patria dan Primus Patrialis

Artinya Bung Hatta selalu mencintai dan mendahulukan kepentingan Tanah Air. Beliau pernah diasingkan ke Boven Digul karena dianggap membangkan terhadap pemerintah kolonial. Meski demikian, Bung Hatta tidak gentar.

Bahkan, Bung Hatta berikrar tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta menepati janjinya. Beliau menikah pada 18 November 1945.

Bung Hatta menikah. Foto: perpusnas.go.id

Jiwa Toleransi atau Tenggang Rasa

Toleransi merupakan sikap tenggang rasa antarumat beragama, suku, golongan, dan bangsa. Ini tercermin dari sikap Bung Hatta yang menghargai kultur orang lain meskipun ia tidak ikut ambil bagian dalam kultur tersebut.

“Banyak kesaksian kawan-kawannya maupun penuturan ia sendiri dalam memoir-nya, betapa Hatta sangat asketik, tidak mau tergoda dengan beberapa kultur Barat yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Meskipun demikian, Hatta amat menghargai kultur orang lain itu meskipun ia sendiri tidak ikut ambil bagian atau larut di dalamnya,” tulis Zed dalam buku Cara Baik Bung Hatta.

Jiwa Tanpa Pamrih dan Bertanggung Jawab

Mohammad Hatta. Foto: Wikimedia Commons

Hatta berjuang semata-mata agar negeri tercintanya lepas dari cengkeraman penjajah. Ia tidak memiliki maksud untuk menguntungkan diri sendiri.

Ia paham dan siap terhadap semua konsekuensi dari jalan politik yang ia tempuh. Saat itu, berani melawan kolonialisme artinya siap untuk hidup menderita.

Bung Hatta memiliki jiwa ksatria, yakni kebesaran hati yang tidak mengandung balas dendam. Seseorang yang berjiwa ksatria berani membela kebenaran dan melawan kejahatan. Pada saat yang sama, ia juga berbesar hati dan mengakui kelemahan.

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA