Faktor faktor yang Mempengaruhi perubahan pola partisipasi politik generasi muda di era demokrasi

Pelaksanaan demokrasi pada suatu negara, tentu akan sehat serta berkualitas apabila terdapat partisipasi dari masyarakatnya. Terlebih partisipasi dari generasi muda yang pada dasarnya merupakan calon pemimpin bangsa. Sehingga peristiwa partisipasinya memang sangat diharapkan serta dinantikan. Generasi muda perlu memandang “bahwa meraka merupakan kelompok yang berkompeten dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah”.

Idealnya generasi muda perlu dibentuk menjadi generasi yang memiliki kompetensi politik mumpuni. Peningkatan kompetensi tersebut tentunya melalui berbagai kegiatan positif yang dilakukan serta diakomodir oleh negara.

Sehingga bangsa ini perlu memberikan “toleransi” atas cara mereka berdemokrasi yang masih jauh dari kesempuraan, karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman yang dimiliki. Lazimnya bangsa Indonesia bersyukur serta mengoptimalkan realita mengenai masih adanya generasi muda yang bersedia untuk berpartisipasi dalam kepentingan umum.

Problematika Partisipasi Politik Generasi Muda

Tidak bisa dimungkiri, berkualitasnya partisipasi warga negara tergantung pada tingkat pendidikan serta pengalaman politik yang pernah didapatkan. Pada konteks generasi muda, tentunya masih perlu belajar melalui berbagai proses demokrasi dan politik, agar mereka menjadi warga negara dewasa.

Bintari dan Darmawan (2016) menjelaskan pentingnya partisipasi generasi muda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada ranah politik maupun sosial budaya, sebagai upaya dalam menginternalisasikan nilai-nilai dari Pancasila.

Idealnya generasi muda memiliki “kesadaran” atas peran dan tanggung jawab mereka dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.

Kesadaran tersebut menjadi landasan moralitas yang kuat bagi generasi muda untuk berpartisipasi dalam kepentingan umum. Bangsa ini masih memiliki berbagai problematika, khususnya bagi generasi muda dalam mengamalkan partisipasi politiknya.

Problematika tersebut bisa berupa hambatan internal yang mencakup penguasaan kompetensi politik generasi muda, yang kategorinya diungkapkan oleh Branson (1998) antara lain: 1) civic knowledge, 2) civic skill, 3) civic disposition, maupun hambatan eksternal yang mencakup tingkat kecerdasan masyarakat, supremasi hukum, serta intergitas dari pemerintah.

Uforsky (2002) menjelaskan pentingnya negara untuk menjamin terwujudnya kehidupan bangsa yang demokratis, dengan memperhatikan: 1) penyelenggaraan negara berdasarkan hukum dan konstitusi, 2) perlindungan hak dasar warga negara, 3) peradilan yang independen, serta, 4) kebebasan media dan pers.

Faktanya hambatan internal mengenai kompetensi politik generasi muda, masih menjadi problematika klasik bangsa ini. Sejak Indonesia merdeka pada 1945 sampai saat ini, pemerataan kualitas pendidikan tidak kunjung terjadi.

Nyatanya realita tersebut merupakan penghambat kuat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi bangsa Indonesia.

Tentu juga menjadi penghambat untuk meningkatkan kompetensi politik generasi muda dalam berdemokrasi serta pada upaya mempersiapkan pemimpin bangsa yang berkualitas.

Intergritas pemerintah menjadi faktor penting sukses terselenggaranya demokrasi di Indonesia. Pemerintah wajib menjamin terpenuhinya hak dasar warga negara, termasuk kebebasan untuk berdemokrasi dan berekspresi, agar tidak terjadinya “demokrasi semu” dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Negara penganut paham demokrasi melarang keras kesewenang-wenangan pemerintah, serta mengutamakan penyelesaian konflik melalui prosedur hukum. Demokrasi tanpa hukum akan anarkis, hukum tanpa demokrasi akan elitis.

Upaya Meningkatkan Partisipasi Politik Generasi Muda.

Meningkatkan kompetensi politik generasi muda merupakan investasi sosial yang menjanjikan. Bangsa Indonesia perlu berpikir visioner dan futuristis, dalam mempersiapkan calon pemimpinnya yang cerdas dan baik, melalui kebijakan pendidikan maupun melalui eksistensi dari berbagai organisasi atau komunitas, sebagai sarana pemberdayaan minat dan bakat generasi muda.

Idealnya mereka perlu diberikan ruang untuk berproses dan berdinamika, serta dibina apabila terdapat kekeliruan. Tentu apabila upaya tersebut telah dilakukan secara konsisten, akibat dukungan penuh dari pemerintah, maka akan mengefektifkan tercapainya tujuan “generasi emas Indonesia 2045”.

Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada kebijakan yang mampu meningkatkan partisipasi politik generasi muda. Pada hakikatnya partisipasi politik merupakan konsep yang kompleks, tidak terbatas pada peristiwa pemilu saja, tetapi pada “peran dan tanggung jawab” yang sanggup membawa bangsa ini pada puncak peradabannya.

Terlebih pada partisipasi politik generasi muda, yang memiliki tingkat idealisme, kreatifitas serta semangat yang lebih dari kelompok generasi lainnya. Lazimlah mereka perlu dibekali dengan kompetensi politik yang mumpuni, agar partisipasinya berdampak efektif dalam peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, serta generasi muda tidak kehilangan arah dan jati diri dalam proses berdemokrasi tersebut.

Bangsa Indonesia perlu menerapkan solusi efektif untuk mengatasi berbagai hambatan baik bersifat internal maupun eksternal, dalam meningkatkan partisipasi politik generasi muda. Lazimnya strategi efektif tersebut dirumuskan setelah melakukan pengamatan serta evaluasi dari pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berfokus pada upaya tersebut.

Sehingga kebijakan tersebut tidak hanya sebatas proses yang “pragmatis dan prosedural”. Anderson (1997) menjelaskan kebijakan pemerintah perlu dievaluasi, karena menyangkut implementasi serta efektifitas dari dampak pelaksanaan kebijakan tersebut.

Dalam upaya meningkatkan partisipasi politik generasi muda, tentu perlu diberlakukan strategi jitu melalui berbagai kebijakan yang representatif dan berkelanjutan. Nyatanya upaya tersebut bukanlah perkara yang mudah diwujudkan. Dilandasi oleh teori Kantaprawira (1988) yang mengungkapkan bahwa partisipasi politik generasi muda bisa ditingkatkan melalui pendidikan politik.

Sehingga penulis memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam memberlakukan kebijakan yang bisa meningkatkan partisipasi politik generasi muda, antara lain: 1) pemerataan kualitas pendidikan, 2) memberikan keteladanan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, serta 3) dukungan penuh terhadap organisasi atau komunitas yang mampu mengakomodir minat dan bakat positif generasi muda.

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, J. E. (1997). Public Policy Making. (Edisi ketiga). New York: Holt, Rinchart and Winston.

Bintari, P. N. & Darmawan, C. (2016). Peran Pemuda sebagai Penerus Tradisi Sambatan dalam Rangka Pembentukan Karakter Gotong Royong. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. 25 (1). Hlm. 57-76. 

Branson, M. S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.

Kartaprawira, R. (1988). Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru.

Urofsky, M. I. (2001). Naskah Pertama, Pendahuluan:  Prinsip-prinsip  Dasar  Demokrasi”, dalam Demokrasi. Jakarta: USIS.

Oleh: Agil Nanggala / Mahasiswa S2 PKn UPI 

SEBAGAI sebuah refleksi, aktualisasi peran pemuda dalam konteks dinamika sosial politik hari ini senyatanya menunjukan indikasi yang optimis. Dalam hal relasi antara generasi muda dan partai politik (parpol) misalnya. Parpol hari ini patut berprasangka positif bahwa kadersisasi politik menemukan ladang persemaiannya. Anak muda hari ini memiliki kesadaran kritis yang tidak kalah unggulnya semenjak momentum kepemudaan 92 tahun lalu. 

Hal tersebut paling tidak dapat ditinjau dari perkembangan sosial masyarakat Indonesia dewasa kini, ketika kesadaran kritis telah kian terbangun melalui pola pelibatan publik (civic engagement) yang promotif dan sistemik dalam pelbagai urusan penyelenggaraan negara.

Tak dapat disangkal, gelombang demokratisasi seiring dengan gerakan reformasi 1998 telah mengantarkan kita pada suatu elan kehidupan publik yang terbuka, egaliter, dan demokratis. Reformasi telah menghendaki adanya pola pelibatan partisipasi warga dalam kehidupan politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Hadirnya otonomi daerah yang lebih luas dan nyata, telah memberikan ruang bagi masyarakat hingga pada aras lokal untuk lebih intensif berperan, tidak hanya sebagai objek pembangunan namun juga sebagai subjek pembangunan daerah. 

Upaya demokratisasi melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat telah menyuguhkan proses politik yang dekat dan pekat di tingkat akar rumput. Melalui desentralisasi politik, partisipasi warga difasilitasi dalam upaya mendorong pembangunan yang bersifat bottom up, melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang menitikberatkan pada fungsi penting agregasi aspirasi publik. 

Pemantapan partisipasi publik di antaranya turut pula didukung oleh lahirnya UU Keterbukaan Informasi Publik, yang praktis telah memberikan jaminan lebih bagi demokratisasi. Kini diskursus kebijakan publik tidak lagi menjadi urusan eksklusif negara, melainkan telah menjadi diskurus yang terbuka, dapat diakses, dan diperbincangkan oleh setiap warga negara. 

Dalam konteks demikian, upaya-upaya sistemik pelibatan publik pascareformasi sejatinya telah mengantarkan masyarakat hari ini pada suatu kesadaran politik baru (political awarness), yaitu terciptanya internalisasi kesadaran masyarakat atas hak dan kewajiban sebagai warga negara. Antara lain kesadaran akan hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewajiban-kewajiban seperti dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial budaya, dan kewajiban lainnya.

Di antara penyandang kesadaran kritis tersebut tiada lain adalah kelompok muda, atau kerap disebut milenial yang merupakan populasi terbesar dalam struktur piramida penduduk di Indonesia. Mereka merupakan generasi yang lahir dan tumbuh kembang dalam nurture sosial politik yang demokratis. Mereka adalah generasi asli dari demokrasi (native democracy), yang semenjak lahir taken for granted hidup dalam ekosistem sosial-politik yang dibangun atas nilai-nilai kesetaraan dan keterbukaan. 

Ciri utama tabiat mereka adalah mempunyai kecenderungan bersikap kritis dan banyak bertanya. Mereka merasa memiliki kompetensi tinggi sehingga tak merasa ragu untuk berdebat dan berbeda secara radikal tentang suatu hal. Namun pada saat yang sama mereka mampu membangun kolaborasi dan sinergitas untuk suatu tujuan yang sama. Suatu budaya politik milenial yang berupaya menempatkan argumen di atas sentimen. 

Mentalitas sosial politik milenial yang demikian ditunjang pula oleh tingkat keterdidikan yang baik (well-educated). Keterbukaan informasi dan akses ilmu pengetahuan yang terpapar luas telah memungkinkan mereka untuk memperoleh literasi politik yang memadai. Sebagai penguasa dunia digital (native digital), mereka merupakan kelompok yang piawai meakukan elaborasi teknologi dan aplikasi digital. Dengan intensitas berselancar di sosial media  yang tinggi, milenial merupakan kelompok yang tak pernah terasing dari dinamika diskursus publik. 

Milenial kerap menjadi generasi yang mampu menciptakan gelombang wacana. Fenomena viral dan trending topic di media sosial adalah bentuk dominasi wacana yang notabene anak mudalah pencipta resonansinya. Mereka merupakan generasi yang dengan mudah terpantik isu. Gandrung melakukan pembahasan isu penting yang menyangkut dan relevan dengan dirinya dari mulai soal perubahan iklim, identitas, gender, romance hingga politik. Tak ayal kelompok milenial telah menjadi barometer diskursus publik mengingat talenta digital dan jumlah demografinya yang besar di Indonesia.

Kombinasi antara demokrasi dan digitalisasi informasi telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi pelibatan publik (civic enggagement) dan tumbuh suburnya kesadaran politik yang kritis. Yang pada gilirannya telah mengantarkan masyarakat Indonesia pada etape konsolidasi demokrasi yang matang. Bagi kelompok milenial, demokrasi bukanlah sebuah alternatif, melainkan sebagai way of life yang menjamin kebebasan bagi mereka untuk secara 'sembarang' menalar isu-isu politik. Ekosistem politik sedemikian sejatinya perlu dipandang sebagai indikasi positif bahwasannya kadersisasi politik anak muda menemukan ladang persemaiaannya yang subur (breeding ground).  

Transformasi kesadaran politik 

Karenanya, menjadi penting bagi parpol untuk melihat perkembangan kehidupan sosial politik hari ini sebagai sebuah tantangan sekaligus peluang kaderisasi dan regenerasi. Alih-alih memendam kecurigaan dan kekhawatiran pesimistik atas sebuah mitos bahwa parpol kian ditinggalkan kaula muda.   

Sungguh naif manakala masih mengatakan bahwa partai politik mengalami kesulitan untuk melakukan kaderisasi di kalangan kelompok muda. Karena jika saja menyadari demografi dan perkembangan budaya sosial politik hari ini, realitas justru telah menunjukan peluang yang optimis bagi aktivisme politik anak muda di Indonesia. Capaian demokrasi di Indonesia seharusnya menjadi landscape yang cukup memberikan harapan bagai perbaikan sumber daya manusia parpol saat ini.

Soekanto dalam Wardhani (2008:8) menyebutkan bahwa tingkat kesadaran paling tidak dapat dibagi menjadi 4 yaitu pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku (tindakan). Kesadaran politik yang rendah dapat dilihat apabila berada pada level pengetahuan dan pemahaman, sedang pada level sikap, dan tinggi pada level pola perilaku/tindakan.

Maka dari itu, peran strategis parpol hari ini adalah tentang bagaimana mampu melakukan konversi potensi inheren pada anak muda. Artinya, yaitu dari sekadar kesadaran politik di tahap pengetahuan atau pemahaman untuk kemudian mewujud menjadi aktivisme politik (political activism), sebagai bentuk manifestasi kesadaran politik yang tinggi. 

Faktor kuncinya adalah pentingnya parpol itu sendiri untuk mampu melakukan evaluasi serius dalam menghadirkan wahana politik yang atraktif, strategis, dan kondusif dalam mengonversi kesadaran politik kelompok muda menjadi aktivisme politik. 

Jika selama ini parpol dianggap sebagai wahana yang berbahaya, penuh konflik, dan segenap citra negatif lainnya, kepentingan mendasar bagi parpol adalah meningkatkan peradaban politik itu sendiri, yakni melakukan perbaikan tidak saja sebatas citra. Namun melakukan transformasi subtansi bahwa parpol merupakan sarana kepemimpinan dan kemuliaan sebuah perjuangan. Alih-alih menjadi lumbung pertengkaran sentimen sempit dan watak-watak licik yang koruptif. Keseharian wajah politik mesti dihadirkan kembali sebagai ruang pertarungan ide, di mana silang pandangan dan kritik ditumbuh suburkan sebagai seni keindahan narasi politik (the beauty of the politics).

Lebih lanjut, selain partai politik perlu mewujud dalam tata kelolanya yang profesional, yaitu melalui standar manajemen yang mutakhir dan adaptif terhadap tantangan perubahan. Parpol diharapkan pula dapat menumbuhkembangkan ruang-ruang kreasi yang selama ini dibelenggu tradisi feodalistik, yang menyebabkan lemahnya inovasi di sektor politik. 

Hal ini menjadi mendasar, mengingat bahwa kompatibilitas antara milenial dan parpol modern menuntut adanya pembudayaan manajemen yang lebih demokratis ditubuh partai politik itu sendiri. Yakni bagaimana parpol terejawantah sebagai laboratorium demokrasi yang mampu menghadirkan kesempatan yang setara, mengutamakan meritokrasi, serta mampu menampilkan kepemimpinan parpol yang mau mendengarkan dan siap menjalin komunikasi terbuka.

Pada akhirnya, transformasi kesadaran politik menjadi aktivisme politik akan senantiasa membutuhkan transformasi parpol itu sendiri, sebagai upaya beradaptasi terhadap jiwa zaman kelompok muda saat ini. Kesadaran politik generasi muda senyatanya akan terus tumbuh. Seiring dengan demokratisasi informasi yang berkembang secara tak terbatas mendobrak sekat-sekat eksklusifitas dan hirarki pengetahuan. 

Karenanya, adalah suatu garansi bahwa sebagai generasi yang berpengetahuan (well-informed) anak muda sesungguhnya tidak akan pernah meninggalkan diskursus politik. Sebuah kesadaran politik di level pengetahuan yang sepatutnya dapat menumbuhkan optimisme masa depan bagi parpol.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA