Di ayat quran tentang diam


وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَــــيْرًا أَوْ لِيَـصـــمُــتْ


“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari]


Nilai penting dari pesan hadits ini tampak dari keterkaitannya dengan aspek keimanan yang disebut di pendahuluan. Lisan merupakan bagian vital yang jika disalahgunakan efeknya bisa lebih mengerikan daripada pedang. Karenanya, Nabi mewanti-wanti soal urgensi menjaga lisan dan menyodorkan dua pilihan saja: berkatalah yang baik atau diam saja.

Rabu, 12 Agustus 2020 - 16:44 WIB

Diamnya seseorang agar tidak jatuh pada keburukan adalah keutamaan ajaran Islam. Foto ilustrasi/ist

Terkait dengan lisan, agama Islam memberikan arahan yang jelas dari Allah dan Rasul-Nya agar lisan tidak tergelincir pada dosa. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ“Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang ia tidak mengetahui secara jelas maksud yang ada di dalam kalimat itu, namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat”. (HR Muslim).

Mendengar hadis ini, Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Betapa sering hadis ini mengurungkanku untuk berbicara.”

Artinya, seorang yang mengaku beriman harus hati-hati menggunakan lisannya. Sebab menjaga lisan termasuk ajaran Islam yang mulia. Agama ini mengajarkan bagaimana berakhlak kepada Sang Pencipta dan bagaimana berakhlak kepada sesama manusia. Bahkan akhlak yang mulia itu dijadikan sebagai wujud nyata keimanan .(Baca juga : Ucapannya Sepele, Namun Dampaknya akan Berbalik )

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hadis lain :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ.(رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama mengatakan, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam. Artinya ucapannya adalah ucapan yang baik dan memiliki tujuan yang baik. Terkadang ucapan itu baik, tapi yang diinginkan bukan kebaikan. Seperti adu domba. Adu domba adalah seseorang mengabarkan realita kepada orang ketiga. Tapi tujuannya adalah untuk merusak . Jadi, kalimat yang diucapkan adalah baik, realita, bukan dusta, dan maksud mengatakannya pun baik.

Abdullah bin Abbas mengatakan, “Semoga Allah merahmati seseorang yang berbicara lalu ia mendapatkan kebaikan. Atau diam dari ucapan buruk sehingga ia selamat.” Ucapan Ibnu Abbas ini adalah ucapan yang indah. Kalau seseorang harus berbicara, bicaralah dengan sesuatu yang dapat menuai pahala dan memberi kemanfaatan . Kalau tidak demikian, maka lebih baik diam. Itu membuatnya selamat dan orang lain selamat.

Diamnya seseorang agar tidak jatuh pada keburukan, ini adalah keutamaan. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, “Kalau sekiranya berucap dalam rangka menaati Allah itu senilai perak, maka diam supaya tidak terjatuh pada kemaksiatan adalah senilai emas.”

Jadi, perintah diam dalam hadis Rasulullah adalah agar lisan tidak terjerumus pada perkataan yang sia-sia atau bahkan perkataan yang buruk. (Baca juga : Perempuan yang Memiliki Dua Wajah dan Dua Lisan )

Di antara yang harus dihindari adalah melaknat atau saling melaknat. Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتِ اللَّعْنَةُ إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا، ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا، ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ، فَإِنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا

“Jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, dan tertutuplah pintu-pintu langit di bawahnya. Kemudian laknat itu akan turun lagi ke bumi, namun pintu-pintu bumi telah tetutup. Laknat itu kemudian bergerak ke kanan dan ke kiri. Jika tidak mendapatkan tempat berlabuh, ia akan menghampiri orang yang dilaknat, jika orang itu memang layak dilaknat. Namun jika tidak, maka laknat itu akan kembali kepada orang yang melaknat.” (HR. Abu Dawud)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu‘anhu, ada seseorang yang melaknat angin karena selendangnya diterbangkan oleh angin tersebut. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَلْعَنْهَا، فَإِنَّهَا مَأْمُورَةٌ، وَإِنَّهُ مَنْ لَعَنَ شَيْئًا لَيْسَ لَهُ بِأَهْلٍ رَجَعَتِ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ

“Janganlah Engkau melaknatnya, karena sesungguhnya dia diperintah (oleh Allah). Sungguh, orang yang melaknat sesuatu padahal dia tidak pantas mendapatkan laknat, maka laknat tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, ada seorang wanita Anshar yang tengah mengendarai unta. Namun, unta yang sedang dikendarainya itu memberontak dengan tiba-tiba. Lalu dengan serta-merta wanita itu melaknat untanya. Ketika Rasulullah mendengar ucapan wanita itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda :


Page 2

اَلۡمُنٰفِقُوۡنَ وَالۡمُنٰفِقٰتُ بَعۡضُهُمۡ مِّنۡۢ بَعۡضٍ‌ۘ يَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمُنۡكَرِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمَعۡرُوۡفِ وَيَقۡبِضُوۡنَ اَيۡدِيَهُمۡ‌ؕ نَسُوا اللّٰهَ فَنَسِيَهُمۡ‌ؕ اِنَّ الۡمُنٰفِقِيۡنَ هُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan mencegah perbuatan yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka pula. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.

(QS. At-Taubah Ayat 67)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ayat ini diturunkan karena sahabat salat di belakang Rasulullah sambil berbicara. Allah dalam ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada Al-Quran. Hendaklah mereka mendengarkan sebaik-baiknya ataupun isinya untuk dipahami, mengambil pelajaran-pelajaran dari padanya dan mengamalkannya dengan ikhlas. Sabda Rasulullah saw: Barangsiapa mendengarkan (dengan sungguh-sungguh) ayat dari Al-Quran, dituliskan baginya kebaikan yang berlipat ganda dan barang siapa membacanya, adalah baginya cahaya pada hari Kiamat." (Riwayat al-Bukhari dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah) Hendaklah orang-orang mukmin itu bersikap tenang sewaktu Al-Quran dibacakan, sebab di dalam ketenangan itulah mereka dapat merenungkan isinya. Janganlah pikiran mereka melayang-layang sewaktu Al-Quran diperdengarkan, sehingga tidak dapat memahami ayat-ayat itu dengan baik. Allah akan menganugerahkan rahmat-Nya kepada kaum Muslimin bilamana mereka memenuhi perintah Allah tersebut dan menghayati isi Al-Quran. Ada beberapa pendapat seputar perintah untuk mendengarkan dan bersikap tenang sewaktu Al-Quran dibacakan: 1.Wajib mendengarkan dan bersikap tenang ketika Al-Quran dibacakan berdasarkan perintah tersebut, baik di dalam salat ataupun diluar salat. Demikianlah pendapat Hasan al-Bashri dan Abu Muslim al-Ashfahani. 2.Wajib mendengarkan dan bersikap tenang, tetapi khusus pada bacaan-bacaan Rasul saw di zaman beliau dan bacaan iman dalam salat, serta bacaan khatib dalam khutbah Jumat.

3.Mendengarkan bacaan Al-Quran di luar salat dan khutbah seperti resepsi dipandang sangat dianjurkan agar kita mendapat rahmat Allah.

Oleh : KH. Muhammad Idris Jauhari

“Diam itu adalah paling tingginya akhlak.” (HR ad-Dailami)

Lidah seseorang seringkali menjadi sumber bencana. Bencana ini lahir manakala lidah bergerak liar tak terkendali. Lidah tidak lagi memproduksi kata-kata yang santun dan toleran, melainkan umpatan, provokasi destruktif, kebohongan, kenistaan, dan lainnya yang berujung pada lahirnya sikap disharmoni dan penuh curiga. Ibarat harimau, lidah yang berada dalam kondisi “lapar” siap menerkam siapa saja, termasuk diri kita. Maka, lidah mesti dikendalikan dan diarahkan ke hal-hal yang positif.

Karena ulah lidah ini pula, banyak kaum muslimin yang terperangkap dalam jerat permusuhan, pertumpahan darah, pertikaian, dan bentuk kekerasan lainnya. Suatu sikap yang bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai agama Islam yang mencintai kedamaian, kesejukan, dan harmoni hidup.

Ada satu pilihan bijak, agar kita terhindar dari bencana yang bersumber dari bobroknya lidah, yaitu diam. Sikap diam adalah cermin kedalaman spiritual dan kebeningan hati seorang muslim. Seorang muslim yang bijak ia tidak akan pernah mengumbar kata-kata. Apalagi kata-kata itu menjurus kepada kenistaan dan kebencian. Ketika berhadapan dengan masalah yang pelik misalnya, seorang muslim yang bijak tidak akan pernah bersikap frontal dan kasar, ia akan mencerna dan memahami setiap detail masalah, lalu kemudian, ia bicara seperlunya sesuai konteks.

Benar kata Rasulullah, sikap diam akan menyelamatkan kita dari kehancuran dan nestapa kehidupan. Bahkan, sikap diam menyiratkan tingkat kedalaman iman kita kepada Allah. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari & Muslim).

Sikap diam itu sendiri mengandung sejuta hikmah, walaupun tidak semua orang bisa menikmati manisnya atau sekadar mencicipinya. Rasulullah saw. bersabda, “Diam itu adalah hikmah, tapi sedikit orang yang melakukannya.”(HR Baihaqi)

Dalam konteks dan situasi bagaimana kita harus bersikap diam? Minimal ada enam perkara di mana kita harus memilih sikap diam dan menghindari perkara tersebut, yaitu debat kusir, ghibah, berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna, syatm, buhtan, dan fitnah.

1. Debat kusir

Seringkali lidah kita gatal untuk mendebat seseorang karena persoalan sepele. Lantas kita menikmati perdebatan tersebut karena rasa superior dan gengsi kita yang tinggi. Didorong oleh sikap tidak mau kalah dan mengalah, perdebatan itu berlangsung panas hingga urat leher kedua belah pihak nampak seperti ular lapar. Yang satu berusaha “memangsa” dan “menjatuhkan” yang lain. Demikian sebaliknya. Tak jarang, perdebatan itu diakhiri dengan pertengkaran fisik.

Debat kusir adalah kejahatan lidah yang sangat berbahaya. Siapa yang memaksakan diri “berjudi” di arena debat kusir, sesungguhnya ia sedang membawa dirinya ke jurang kehancuran. Menang di arena debat kusir bukan berarti seseorang lepas dari “mata-mata” musuhnya. Bahkan bisa jadi perlawanan yang diberikan sang musuh di waktu yang lain bertambah keras dan kejam.

Bagi seorang muslim, tidak ada alasan pembenar melakukan debat kusir. Menghindarinya adalah pilihan yang sangat arif untuk menyelamatkan diri dari lubang kehancuran dan murka Allah. Kemampuan meninggalkan debat kusir sesungguhnya merupakan barometer kesempurnaan iman seseorang.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang hingga ia meninggalkan perdebatan walaupun perdebatan itu benar, dan meninggalkan kebohongan walaupun hanya sekadar main-main.” (HR Ibnu Wahab)

2. Berbicara hal-hal yang tidak berguna

Kenapa seseorang berbicara hal-hal yang tidak berguna? Salah satu alasan adalah untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa orang tersebut cerdas dan berwawasan luas. Padahal, orang yang banyak bicara, apalagi hal-hal yang tidak berguna, sesungguhnya seperti tong kosong nyaring bunyinya. Jiwanya kering dan otaknya miskin. Ucapan yang keluar dari lidahnya tak ubahnya sampah yang baru diangkat dari tempatnya. Menjijikkan.

Menghindari berbicara hal-hal yang tidak berguna memang tidaklah mudah. Apalagi lidah memang tidak bertulang. Tapi hal itu harus dilakukan oleh seorang muslim, karena hal itu merupakan barometer kesempurnaan agamanya. Ketika seorang muslim mampu menahan lidahnya dari berbicara hal-hal yang tidak perlu, maka semakin tinggi dan sempurna derajat keberagamaannya di mata Allah. Rasulullah saw. bersabda, “Di antara kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.” (HR Tirmidzi)

Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa Anas, seorang sahabat Nabi, pernah bercerita: Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, ”Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Nabi berkata, ”Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.” Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, ”Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.”

3. Syatm

Syatm berarti perkataan yang di dalamnya terkandung unsur penghinaan, permusuhan, kedengkian, menyakitkan, serta menjatuhkan harga diri orang lain. Perkataan jenis ini seringkali meluncur dari lidah seseorang dengan sebutan-sebutan berlebihan dengan maksud menghina dan mengerdilkan.

Suatu ketika ada seorang sahabat yang mencemooh Imam Ali k.w. karena kepalanya yang tidak berambut. Orang itu berkata, ”Hai, lihat! Sudah datang Si Botak!” Mendengar ucapan itu, Nabi berkata, ”Janganlah kau kecam sahabat-sahabatku.” (HR Bukhari)

Bagaimana kalau ada sahabat kita memanggil kita dengan sebutan “Si Anjing” atau “Si Kera”. Pasti kita akan marah atau sedikitnya tersinggung dengan sebutan itu. Ucapan bernada syatm tersebut sesungguhnya merupakan representasi sikap seseorang yang keras kepala, sombong, angkuh, merasa paling berkuasa, dan maunya menang sendiri. Lebih dari itu, ucapan syatm pertanda bahwa hati orang itu keras dan berkarat.

Sebagai seorang muslim, tidak perlu kita melancarkan serangan balik terhadap pihak yang menghina kita. Tidak ada manfaatnya. Justru akan memperuncing masalah. Berdoalah kepada Allah, agar orang tersebut dibukakan mata hati dan otaknya.

4. Ghibah

Ghibah itu keji dan kotor. Orang senang menggunjing (ghibah) ia ibarat memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Sayyidina Ali k.w. sebagai dikuti Al-Maraghi berkata, “Hindarilah pergunjingan (ghibah), karena ia adalah makanan anjing-anjing manusia.”

Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, walaupun itu benar, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, akhlak, harta dan lainnya. Caranya bermacam-macam, di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.

Suatu hari Aisyah  r.a. pernah berkata kepada Rasulullah tentang Shafiyyah bahwa dia wanita yang pendek. Maka beliau bersabda, “Sungguh engkau telah berkata dengan suatu kalimat yang kalau seandainya dicampur dengan air laut, niscaya akan merubah air laut itu.” (HR Abu Dawud)

Orang yang suka melakukan ghibah menunjukkan kelemahan dan kemiskinan dirinya. Seandainya dia kaya, tidak mungkin dia menggunjing orang lain, karena masih banyak masalah-masalah lain yang lebih berguna dan bermanfaat untuk dibicarakan. Karena ghibah merupakan perbuatan keji, sudah barang tentu pelakunya akan dimasukkan ke dalam api neraka. Sabda Rasulallah, “Barangsiapa menolak (ghibah) atas kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api neraka dari wajahnya.” (HR Ahmad)

5. Buhtan

Buhtan berupa penyebaran kebohongan tentang seseorang atau rekayasa rumor negatif tentang seorang yang tujuannya untuk menjatuhkan harga dirinya.

Bentuk kejahatan lidah seperti ini akan meningkat frekuensinya manakala terjadi kompetisi antara dua tokoh atau lebih untuk memperebutkan jabatan tertentu. Berbagai intrik destruktif dilancarkan oleh salah satu calon untuk memberikan stigma negatif terhadap calon lainnya. Tujuannya untuk mereduksi kepercayaan masyarakat terhadapnya, sehingga akhirnya mereka berpaling ke calon lainnya.

Buhtan menjadikan rivalitas antara tokoh yang memperebutkan kekuasaan tertentu menjadi tidak fair dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Ini yang perlu diwaspadai. Kalau tidak, akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Targetnya menjadikan suasana chaos di tengah kehidupan masyarakat.

Buhtan seringkali juga menimpa seorang alim, terutama apabila para alim lainnya, berseberangan dengan ide atau gagasan keagamaan yang dikembangkannya. Di sinilah perlunya membangun sikap saling memahami dan menghargai. Tidak ada lagi klaim paling benar. Apalagi, menyangkut masalah-masalah kontroversial.

6. Fitnah

Fitnah biasanya pecah karena dibakar kedengkian dan kebencian terhadap seseorang. Fitnah lahir sebagai akumulasi dari ghibah dan buhtan. Fitnah merupakan kejahatan tertinggi yang diproduksi oleh lidah sebagai sumbernya.

Fitnah ada di mana-mana dan menimpa siapa pun tanpa pandang status. Seorang tetangga misalnya, tega memfitnah tetangga lainnya sehingga kehidupan keluarga tetangga tersebut berantakan dan bisa jadi berakhir dengan penceraian. Atau, karena ambisi untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi orang tega memfitnah atasannya sehingga karirnya hancur. Taktik busuk menebarkan fitnah untuk kepentingan pribadi atau golongan ini lazim terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Terhadap fitnah ini, orang Islam harus selalu waspada. Waspada untuk tidak berbuat fitnah dan waspada untuk menghadapi fitnah pihak lain.

Di tanah air kita sendiri seringkali kita saksikan keributan dan kerusuhan antaretnis, antarumat beragama, antarsuku, bahkan antarmuslim itu sendiri yang penyebab utamanya adalah fitnah dan adu domba. Begitu besarnya bahaya dan dosa fitnah, hingga Islam mengkategorikannya sebagai perbuatan lebih kejam dari pembunuhan (QS Al-Baqarah [2]: 191). Bahkan, Nabi Muhammad saw. lebih mempertegasnya lagi dengan sabdanya, ”Tidak akan masuk surga orang yang suka menyebarkan fitnah.” (HR Bukhari & Muslim).

Fitnah itu ibarat menyulut ranting kering. Ia akan cepat merebak ke mana-mana dan membakar apa pun yang dilaluinya. Lalu, menjadi abu. Cara terbaik untuk terhindar dari fitnah adalah jangan pernah sedikit pun terdetik di hati kita untuk memfitnah. Ketika ada dorongan kuat dari nafsu kita memfitnah, beristighfarlah dan mohonlah ampun kepada Allah. Insya-Allah kita selamat dari api fitnah.

Di akhir tulisan ini, ada baiknya kita merenungi kembali perkataan Ali k.w. tentang pentingnya merawat lidah, ”Betapa banyak darah tumpah karena lidah; betapa banyak manusia yang binasa karena lidahnya; dan betapa banyak ucapan yang menyebabkan kamu kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perbendaharaan lidahmu sebagaimana kamu menyimpan perbendaharaan emas dan uangmu.” Mari kita menjaga lidah dengan cara diam. Insya-Allah kita selamat dari berbagai musibah! Wallâhu a’lam bis-showâb.