Dampak kebijakan upah minimum terhadap pasar tenaga kerja

Peran upah minimum dalam pasar tenaga kerja dan perekonomian mendapat pandangan pro dan kontra baik secara teoritis maupun empiris (Herr, 2002; Kryriska dan Kopycinska, 2015). Secara teoritis, terdapat beberapa pandangan yang memperdebatkan hubungan antara upah minimum dan tenaga kerja. Pandangan ekonom Neoklasik menyatakan bahwa upah berperan penting terhadap pasar tenaga kerja, dimana upah ditentukan sama dengan produk marginal tenaga kerja (Bradley, 2007; Kryriska dan Kopycinska, 2015; Nikoloski, 2016). Pandangan tersebut menyatakan bahwa ketika upah dalam pasar tenaga kerja yang kompetitif mengalami kenaikan, maka kenaikan tersebut akan berdampak pada penurunan pada sisi permintaan tenaga kerja (Fletwood, 2016). Bertolak belakang dengan teori tersebut, Keynes menyatakan bahwa upah bukan merupakan faktor kunci yang memengaruhi permintaan dan penawaran dalam pasar tenaga kerja, sehingga apabila terjadi kebijakan upah minimum dalam suatu perekonomian, maka hal tersebut kurang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran tenaga kerja. Sebangun dengan pemikiran Keynes, konsep segmentasi pasar tenaga kerja juga berpandangan bahwa dalam pasar tenaga kerja yang tersegmentasi, maka permintaan dan penawaran tenaga kerja tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat upah, tetapi juga dipengaruhi oleh jenis pekerjaannya yang sesuai dengan segmen pasarnya (Jakstiene, 2010; Kumas, et al., 2014; Kryriska dan Kopycinska, 2015). Hubungan antara penetapan upah minimum dan tenaga kerja juga menjadi topik diskusi di kalangan peneliti. Para peneliti mencoba mencari tahu peran upah minimum terhadap lapangan kerja dengan data dan fenomena yang ada pada objek penelitian. Neumark (2015) menunjukkan hasil bahwa peningkatan upah minimum memiliki pengaruh besar yang secara langsung berpengaruh terhadap penurunan lapangan kerja yang semakin tinggi. Sebangun dengan hal tersebut, Bishop (2018); Bodnar, dkk (2018) menekankan bahwa kenaikan upah minimum pada dasarnya tidak terlalu berpengaruh kepada masyarakat yang telah memiliki pekerjaan, namun sangat berpengaruh kepada para pencari kerja, sehingga kondisi tersebut mencerminkan bahwa kenaikan tersebut memiliki dampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Kondisi dan arah kebijakan ekonomi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap penetapan upah minimum di berbagai negara, seperti promosi pertumbuhan ekonomi, (Tamada, 2011). Fenomena upah minimum di Indonesia menunjukkan kondisi yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada dasarnya, tujuan dari penetapan dan peningkatan upah minimum adalah untuk meningkatan kesejahteraan para buruh (Sitomurang, 2010; Febrianica dan Pratomo, 2015; Wiryawan, 2016). Upah minimum di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu (BPS, 2017). Peningkatan upah pekerja selain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja, juga sebagai alat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam pasar tenaga kerja. Peningkatan upah minimum akan menyebabkan kenaikan pada biaya produksi, untuk menghindari kerugian, maka produsen akan mempertahankan pekerja dengan kualitas tinggi dan memberhentikan pekerja dengan kualitas rendah. Selain itu, produsen akan lebih selektif dalam memilih calon pekerja baru. Hal tersebut akan mendorong peningkatan kualitas angkatan kerja. Sejalan dengan kondisi tersebut, presiden RI mencanangkan program pembangunan, yakni melalui Kantor Staff Presiden (KSP) 2 Tahun Jokowi JK (2016) program tersebut bernamakan “Nawa Cita”. Nawa Cita itu sendiri adalah sebuah pemikiran yang direncanakan guna memajukan bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Realisasi program tersebut dapat tercapai melalui penanganan ekstra yang dimulai dengan pembangunan fondasi kemudian diteruskan dengan upaya percepatan di berbagai bidang. Salah satu fokus utama dalam program Nawa Cita adalah infrastruktur sebagai pengungkit utama produktivitas dan daya saing bangsa. Infrastruktur juga merupakan faktor penting dalam pembangunan perekonomian. Keberadaan infrastruktur dalam perekonomian akan mendorong peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi, memperlancar mobilitas penduduk, barang dan jasa, juga memperlancar perdagangan antar daerah. Pandangan–pandangan teoritis, empiris dan fenomena yang ada di Indonesia, pada dasarnya memiliki keterkaitan. Secara teoritis, penyerapan tanga kerja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu teori menyebutkan bahwa penyerapan tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh tingkat upah pada daerah atau negara tersebut. Pandangan teoritis lain menyatakan bahwa penyerapan tenaga kerja tidak hanya dipengaruhi oleh upah, tetapi oleh kemampuan yang dimiliki oleh angkatan kerja dalam pasar tenaga kerja yang tersegmentasi. Begitu pula dari pandangan empiris juga memiliki pandangan yang saling bertolak belakang. Beberapa teori menyatakan bahwa perubahan tingkat upah tidak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, ada beberapa bukti kuat yang menunjukkan bahwa penerapan upah sangat berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Kedua gap tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia, khususnya bidang konstruksi, dimana tenaga kerja pada bidang tersebut dibayar sesuai dengan ketentuan upah minimum regional yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Upah Minimum Provinsi terhadap penyerapan tenaga kerja di pulau jawa dengan menggunakan analisis preskriptif dan metode Panel Least Square (PLS). Hasil analisis preskriptif menggambarkan perkembangan ketenagakerjaan dari ke enam provinsi berdasarkan dari pergerakan grafik dari variabel penelitian yang digunakan serta penambahan variabel pendukung agar nantinya lebih menegaskan dari hasil analisis yang dibutuhkan. Metode PLS merupakan metode analisis regresi yang mengkombinasikan data panel dan least square. Metode PLS merupakan suatu pendekatan yang menggunakan metode OLS biasa dengan data yang digunakan adalah data panel yang paling sederhana. Metode ini menggunakan tiga perbandingan model untuk memilih model yang paling tepat digunakan dalam analisis penelitian. Model tersebut antara lain yaitu Panel Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Pemilihan salah satu model dari ketiganya melewati tahapan uji Chow, uji Hausman dan uji Lagrange Multiplier. Hasil estimasi menggunakan analisis preskriptif menggambarkan beberapa hasil yang cenderung mengalami tren peningkatan selama tahun 2006 hingga 2015. Untuk menggambarkan hasil analisis preskriptif ini dilakukan penambahan data yaitu pekerja tetap konstruksi. Pekerja tetap merupakan semua karyawan yang bekerja pada perusahaan konstruksi yang sudah diangkat sebagai pekerja tetap yang bekerja sebagai pelaksana pada perusahaan dengan waktu kerja penuh (full-time) dan umumnya penggajiannya rutin setiap bulan. Analisis deskriptif variabel penelitian menunjukkan hasil yang sama dengan analisis menggunakan metode Panel Least Square (PLS). Upah Minimum Provinsi (UMP) berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Maka hipotesis yang menyatakan bahwa tingkat penyerapan tenaga kerja berpengaruh positif diterima. Apabila upah minimum meningkat maka penyerapan tenaga kerja sektor konstruksi dapat dikatakan meningkat pula. Penelitian ini sesuai teori upah minimum yang dikemukakan oleh David Ricardo, bahwa tingkat upah yang diterima oleh tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan (unskilled worker) hanya dipengaruhi oleh kepentingan untuk menutup biaya hidup kebutuhan pekerja dan keluarganya. Jika tingkat upah naik diatas biaya hidup minimum pekerja, maka akan meningkatkan penawaran tenaga kerja dan akan menurunkan tingkat upah. Apabila tingkat upah berada di bawah biaya hidup minimum maka hal ini akan menurunkan kekuatan penawaran tenaga kerja (labor force). Dimana pada empirisnya tingkat upah sengat berpengaruh pada jenis pekerja dengan keahlian atau supervisor. Tetapi kurang berpengaruh kepada jenis pekerja yang tidak memiliki keterampilan atau hanya sebagai pelaksana saja. Berikut grafik yang menggambarkan pekerja ahli atau yang memiliki keterampilan (supervisor). Pemerintah dalam hal ini bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang berkenaan dengan upaya penyerapan tenaga kerja dalam bidang konstruksi lebih mempertimbangkan perlu adanya peningkatan dan kemudahan yang lebih pada pemberian sertifikat ahli (SKA) mengapa demikian, dalam sebuah proyek konstruksi, terdapat tujuan yang diharapkan apabila tenaga kerjanya memiliki SKA yaitu untuk menunjang keberhasilan sebuah proyek konstruksi. Biasanya pada sebuah proyek konstruksi, para pekerja atau tim diharuskan memiliki sertifikat SKA. Dapat menjadi acuan industri konstruksi khususnya di Indonesia yang dapat dilihat dari kualitas industri konstruksi melalui sertifikat SKA yang dimiliki. Saat seorang tenaga ahli menangani sebuah proyek konstruksi, kemampuannya bisa dilihat pada sertifikat SKA. Selain untuk menunjukkan kemampuan atau kompetensi seseorang secara nasional, juga bisa untuk skala international. Selain itu sebagai pertanggung jawaban kepada masyarakat dan sebagai bukti yang sah kompetensi seorang tenaga ahli, perlu memiliki SKA. Sehingga masyarakat akan mengakui kompetensi seorang tenaga ahli dalam bidang konstruksi. Selain tujuan diatas, juga untuk memenuhi syarat Undang-Undang. Di Indonesia terdapat Undang-Undang yang mengatur tentang Jasa Konstruksi No 18 tahun 1999. Selain itu juga ada Keppres dan SK Menteri tentang Pengadaan Jasa Konstruksi. Sebagai seorang tenaga ahli yang resmi, perlu adanya memiliki sertifikat keahlian tersebut. Dalam menyikapi adanya perbedaan jenis pekerja dalam konstruksi, pemerintah bersama Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setiap provinsi di Jawa harusnya berhati-hati dalam menyikapi terutama dalam mengambil kebijakan penetapan upah minimum dan juga diharapkan dalam pengambilan penetapan upah dapat meningkatkan profesionalisme, transparansi, dan kompetensi.