Buatlah rangkuman yang menggambarkan tentang sistem perkawinan yang ada dalam agama Hindu

memisahkan diri dari orangtua pihak lelaki disebut dengan istilah Penyanyon atau

This preview shows page 177 - 179 out of 196 pages.

“Hina kriyām niṣpurusaṁ niṡchando roma ṡārṡasam, kṣayyāmayāvya pasmāri ṡvitrikuṣþhi kulāni ca”.

Terjemahannya:

Kesepuluh macam itu (perkawinan) ialah, keluarga yang tidak menghiraukan upacara-upacara suci, keluarga yang tidak mempunyai keturunan laki, keluarga yang tidak mempelajari veda, keluarga yang anggota badannya berbulu tebal, keluarga yang mempunyai penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit mag, penyakit ayan atau lepra.

(Manawa Dharmasastra III. 7).

Sistem perkawinan Hindu adalah tata-cara perkawinan yang dilakukan oleh seseorang secara benar menurut hukum Hindu. Seseorang hendaknya dapat melaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan tata-cara upacara perkawinan Hindu, sehingga yang bersangkutan dapat di nyatakan sah sebagai suami istri.

Kitab Suci Hindu yang merupakan kompidium hukum Hindu Manawa Dharmasastra memuat tentang beberapa sistem atau bentuk perkawinan Hindu, sebagai berikut:

“Brahma Dai vastat hai varsyah, prapaja yastatha surah, gandharwa raksasa caiva, paisacasca astamo dharmah”

Terjemahannya:

Adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Rsi wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha.   (Manawa Dharmasastra.III.21)

Menurut penjelasan kitab Manawa Dharmasastra tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa sistem atau bentuk perkawinan itu ada 8 jenis, yaitu sebagaimana berikut.

1. Brahma Wiwaha adalah perkawinan yang terjadi karena pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli Veda (Brahmana) dan berperilaku baik dan setelah menghormati yang diundang sendiri oleh wanita. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:

“ācchādya cārcayitvā ca ṡruti ṡila vate svayaṁ,  āhuya dānaṁ kanyāyā brāhmyo dharmaá prakirtitaá”.

Terjemahannya:

“Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias (dengan pakaian yang mahal) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi permata) kepada seorang yang ahli dalam veda lagi pula budi bahasanya yang baik, yang diundang (oleh ayah si wanita) disebut acara brahma wiwaha”.  (Manawa Dharmasastra III.27)

2. Daiwa Wiwaha adalah perkawinan yang terjadi karena pemberian anak wanita kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:

“Yajñe tu vitate samyag ṛtvije karma kurvate, alankṛtya sutādānaṁ daivaṁ dharmaṁ pracakṣate”.

Terjemahannya: “Pemberian seorang anak wanita yang setelah terlebih dahulu dihias dengan perhiasan-perhiasan kepada seorang Pendeta yang melaksanakan upacara pada saat upacara itu berlangsung disebut acara Daiwa wiwaha”. (Manawa Dharmasastra III.28)

3. Arsa Wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan setelah pihak wanita menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak calon mempelai laki-laki. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:

“ekaṁ gomithunṁm dve vā varādādāya dharmataá, kanyāpradānaṁ vidhiva dārṣo dharmaá sa ucyate”. (Manawa Dharmasastra III.29)

4. Prajapati Wiwaha adalah perkawinan yang terlaksana karena pemberian seorang anak kepada seorang pria, setelah berpesan dengan mantra semoga kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria).Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:

“sahobhau caratam dharmam iti vacanubhasya ca, kanyapradanam abhyarcya prajapatyo vidhih smrtah”.

Terjemahannya:

Pemberian seorang anak perempuan (oleh ayah si wanita) setelah berpesan (kepada mempelai) dengan mantra “semoga kamu berdua melaksanakan kewajibankewajiban bersama-sama” dan setelah menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), perkawinan ini dalam kitab Smrti dinamai acara perkawinan Prajapati”. (Manawa Dharmasastra III.30).

5. Asura Wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi di mana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:

“jnatibhyo dravinam dattva kanyayai caiva sakitah, kanya pradanam svacchandyad asuro dharma ucyate”.

Terjemahannya:

Kalau pengantin pria menerima seorang perempuan setelah pria itu memberi mas kawin sesuai menurut kemampuannya dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada mempelai wanita dan keluarganya, cara ini dinamakan perkawinan Asura. (Manawa Dharmasastra III.31).

6. Gandharwa Wiwaha adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara seorang wanita dengan pria. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:

“icchayānyonya saṁyogaá kanyāyāṡca varasya ca, gāndharvaá sat u vijñeyo maithunyaá kāmasambhavaá”.

Terjemahannya:

Pertemuan suka sama suka antara seorang perempuan dengan kekasihnya yang timbul dari nafsunya dan bertujuan melakukan perhubungan kelamin dinamakan acara perkawinan Gandharwa” (Manawa Dharmasastra III.32)

7. Raksasa Wiwaha

adalah bentuk perkawinan dengan menculik gadis secara kekerasan. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:

“hatvā chitvā ca bhittvā ca kroṡantiṁ rudatiṁ grhāt, prasahya kanyā haranaṁ rākṡaso vidhi rucyate”.

Terjemahannya:

Melarikan seorang gadis dengan paksa dari rumahnya di mana wanita berteriak-teriak menangis setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak, dinamakan perkawinan Raksasa. (Manawa Dharmasastra III.33)

8. Paisaca Wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa, dan membuat bingung atau mabuk. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:

“suptāṁ mattāṁ pramattāṁ vā raho yatropagacchati, sa pāpiṣþho vivāhānāṁ paisācaṡcāṣþamo ‘dharmaá”.

Terjemahannya

Kalau seorang laki-laki dengan cara mencuri-curi memperkosa seorang wanita yang sedang tidur, sedang mabuk atau bingung, cara demikian adalah perkawinan  paisaca yang amat rendah dan penuh dosa”. (Manawa Dharmasastra III.34)

Dari delapan sistem perkawinan di atas ada dua sistem yang dihindari dalam membangun kehidupan grhastha.Mengapa patut dihindari tentu karena berlawanan dengan norma-norma agama, norma-norma hukum. Kedua sistem perkawinan yang dimaksud antara lain: Raksasa wiwaha dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali, ada empat bentuk atau sistem perkawinan.

1.) Sistem Mamadik/meminang, yaitu pihak calon suami serta keluarganya datang ke rumah calon istrinya untuk meminang. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telah saling mengenal dan ada kesepakatan untuk berumah tangga. Dalam masyarakat Bali, sistem ini dipandang sebagai cara yang paling terhormat.

Dalam perkembangan selanjutnya dikenal adanya Sistem Perkawinan Makaro Lemah dan Sistem Campuran.Sistem Makaro Lemah adalah upacara perkawinan yang dilaksanakan pada dua tempat (pihak purusa dan pradana) yang selanjutnya kedua mempelai masing-masing diberikan hak pewaris. Sedangkan perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilaksanakan oleh mempelai berdua masing-masing yang berbeda agama, suku adat dan bangsa. Sesuai dengan ajaran agama Hindu yang bersifat fleksibel dan universal, sistem yang berkembang di setiap wilayah yang ada di Nusantara ini sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran agama Hindu dapat dilaksanakan dan diterapkan.SistemNgarerod/ Ngarangkat, yaitu bentuk perkawinan yang berlangsung atas dasar cinta sama cinta antara kedua calon mempelai yang sudah dipandang cukup umur. Jenis perkawinan ini sering disebut kawin lari.

2.) Sistem Nyentana/ Nyeburin, yaitu sistem perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan calon mempelai laki-laki berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini laki-laki tinggal di rumah istri.

3.) Sistem Malegandang, yaitu bentuk perkawinan secara paksa yang tidak didasari atas cinta sama cinta. Jenis perkawinan ini dapat disamakan dengan Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha dalam Manawa Dharmasastra.

Selain itu dalam ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan diatur tentang perkawinan campuran antara mereka yang berbeda kewarganegaraan. Sebagai suatu kenyataan, tidak jarang terjadi perkawinan di antara mereka yang berbeda agama. Menurut Ordenansi Perkawinan Campuran, hukum agama pihak suami yang harus diikuti. Terkait dengan hal ini, agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu, dilaksanakanlah upacara sudhiwadani.Para rohaniawan yang memimpin (muput) upacara pawiwahaan tersebut melaksanakan upacara sudhiwadani kepada si wanita, yang sudah tentu diawali dengan suatu pernyataan bahwa si wanita sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara wiwaha itu dilaksanakan.

Pelaksanaan perkawinan dilarang apabila, calon mempelai berdua belum dapat memenuhi persyaratan sebuah perkawinan yang diinginkan.Larangan suatu perkawinan diawali dengan pencegahan.Hal ini bisa terjadi karena dipandang belum memenuhi syarat-syarat hukum agama maupun hukum Nasional.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Undang-Undang Perkawinan, pencegahan dilakukan dengan cara mengajukan ke Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum di mana dilangsungkan perkawinan itu. Atau Pengadilan Negeri meminta batalnya suatu perkawinan karena dipandang yang bersangkutan tidak memenuhi syarat hukum yang berlaku. Pencegahan yang dilakukan lebih banyak bersifat preventif.Pencegahan preventif dapat juga dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk mengesahkannya, karena dipandang tidak memenuhi syarat menurut hukum agama. Selain pencegahan secara preventif juga bersifat represif, yaitu dengan memutuskan suatu perkawinan karena perkawinan itu didasarkan atas penipuan atau kekerasan, misalnya melalui sistem raksasa dan Paisaca Wiwaha atau juga Sistem Melegandang. Dalam peristiwa ini hakim dapat membatalkan perkawinan dan mengancam dengan sanksi hukum bagi pelakunya. Perkawinan lain juga dapat dibatalkan apabila salah satu pihak calon mempelai memiliki penyakit menular atau impotensi, atau juga yang menderita sakit jiwa.

Dalam kitab Manawa Dharmasastra disebutkan, pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila yang bersangkutan memiliki hubungan sapinda, artinya mempunyai hubungan darah yang dekat dari keluarga.

Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan bila tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 27 yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Suatu perkawinan dapat dimintakan pembatalannya apabila bertentangan dengan hukum agama, misalnya dilaksanakan dengan Sistem Raksasa atau Paisaca Wiwaha.
  2. Perkawinan dapat dibatalkan bilamana calon mempelai masih mempunyai ikatan perkawinan dengan seseorang sebelumnya.
  3. Perkawinan dapat dibatalkan apabila calon istri atau suami mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu pihak merasa ditipu, misalnya memiliki penyakit menular yang berbahaya, tidak sehat pikiran atau impotensi, mengandung karena akibat berhubungan dengan laki-laki lain.
  4. Perkawinan dibatalkan berdasarkan hubungan sapinda atau masih memiliki hubungan darah.
  5. Perkawinan bisa dibatalkan apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu.

Larangan perkawinan ini dilakukan bukan berarti melanggar hak azasi seseorang, melainkan bertujuan untuk menghormati hak azasi masing-masing individu yang bersangkutan. Dengan demikian ada baiknya kita dapat mengikuti guna dapat mewujudkan masa grehastha yang harmonis.

Was this article helpful?

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA