Biaya yang timbul apabila PERSEDIAAN tidak mencukupi adanya permintaan bahan disebut

Analisis Persediaan Metode ABC

        Konsep ABC Inventory Analysis pertama kali dikenalkan oleh H.F. Dickie di General Electric pada awal tahun 1950-an. Teknik ABC ini merupakan salah satu alat manajemen yang sangat berharga untuk mengidentifikasi dan mengendalikan item-item persediaan yang penting. Konsep ABC membagi atau mengelompokkan item-item persediaan menjadi tiga kelompok:

1) Kelompok A

item-item persediaan yang dikelompokkan ke dalam kelompok A ini adalah item-item persediaan yang bernilai besar namun merupakan bagian kecil dari keseluruhan item persediaan yang ada. Ciri khusus dari kelompok ini antara lain memiliki nilai berkisar antara 70% - 80% dari seluruh nilai persediaan yang ada, dan kuantitasnya berkisar antara 15% - 30% dari seluruh jumlah persediaan.

item-item persediaan yang masuk kategori C adalah item-item persediaan yang memiliki nilai rendah, namun merupakan bagian terbesar dari seluruh persediaan. Nilai persediaan kelompok ini berkisar antara 5% - 15% dari seluruh nilai persediaan, dan jumlahnya berkisar 50% dari seluruh jumlah persediaan.

suatu item persediaan akan dikategorikan dalam kelompok B bila memiliki karakteristik antara A dan C.


        Perlu diketahui bahwa angka-angka prosentase yang diberikan dalam penjelasan bukanlah harga mati, angka-angka tersebut hanyalah guidelines saja. Sebenarnya, tidak ada aturan yang spesifik berkaitan dengan batasan antara kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.

        Jika pengelompokkan persediaan tersebut digambarkan secara grafis dimana sumbu vertikal menunjukkan prosentase nilai persediaan dan sumbu horisontal menunjukkan prosentase jumlah persediaan, maka akan terlihat seperti kurva dan disebut kurva ABC.

        Dari analisis persediaan ABC, manajemen memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk mengendalikan persediaan. Misalnya, persediaan yang masuk kelompok A menggambarkan investasi persediaan yang bersifat substansial sehingga persediaan tersebut memerlukan pengawasan dan pengendalian yang ketat yang meliputi pencatatan yang lebih akurat dan komplit, pengawasan dan inspeksi tingkat persediaan yang terus menerus, perhitungan yang tepat, menempati posisi prioritas utama dan diberi perhatian yang maksimum berkaitan dengan jumlah dan frekuensi pemesanan.

        Sebaliknya, untuk persediaan yang masuk kategori C, relatif kurang membutuhkan perhatian atau pengendalian yang seketat kelompok A maupun B. Jumlah yang besar sering memberikan keuntungan dalam hal pengurangan biaya pengangkutan, dan tingkat prsediaan dapat diawasi secara periodik tanpa membutuhkan catatan-catatan formal. Sementara, persediaan kategori B yang merupakan persediaan dengan nilai dan jumlah yang berada di tengah-tengah antara A dan C, memerlukan pengendalian dan pengawasan yang lebih dari C, namun tidak seketat pengendalian dan pengawasan untuk persediaan kategori A.



Kurva ABC Inventory Analysis


Economic Order Quantity (EOQ)

        Bahan mentah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena itu, penyediaan bahan mentah yang tepat, baik dalam arti jumlah maupun waktu, akan sangat mendukung kelancaran proses produksi. Persediaan bahan yang minim memungkinkan terjadinya kekurangan bahan. Kekurangan bahan mentah yang tersedia (stock-out) dapat berakibat terhentinya proses produksi karena kehabisan bahan untuk diproses. Namun, dilihat dari sisi positif, jumlah persediaan bahan yang rendah dapat menghemat biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan adanya persediaan dan dapat mengurangi risiko kerusakan bahan akibat terlalu lama disimpan. Di sisi lain, persediaan bahan mentah yang terlalu besar jumlahnya (over-stock) memang dapat menjamin kelancaran proses produksi karena bahan senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup, namun bila dilihat dari segi finansial, persediaan bahan yang terlalu besar akan meningkatkan biaya persediaan dan risiko kerusakan.

          Persoalan dalam pengaturan persediaan bahan mentah adalah bagaimana berusaha menyediakan bahan mentah yang diperlukan untuk proses produksi sehingga proses produksi dapat berjalan lancar dengan biaya persediaan yang minimal. Tujuan pengawasan persediaan bahan mentah adalah untuk menjawab persoalan tersebut baik dalam artian jumlah, kualitas maupun waktu.

        Jumlah bahan mentah yang dibutuhkan di dalam berproduksi selama satu tahun dapat diperhitungkan dari rencana hasil produksi yang akan dihasilkan dengan kebutuhan bahan mentah untuk satu satuan barang jadi. Setelah diketahui jumlah kebutuhan bahan mentah, maka perlu direncanakan juga mengenai cara pembeliannya atau cara penyediaannya. Dalam hal cara penyediaan/pembelian pada garis besarnya terdapat dua alternatif yaitu:


  1. Dibeli sekaligus jumlah seluruh kebutuhan, dan kemudian disimpan di gudang, sehingga setiap kali ada kebutuhan tinggal mengambil di gudang. Cara ini lebih menjamin kelancaran proses produksi, dalam artian bahwa bahan mentah untuk keperluan proses produksi telah tersedia dalam jumlah besar. Namun demikian, di sisi lain, cara ini membawa konsekuensi  bahwa perusahaan harus menanggung biaya persediaan atau paling tidak biaya penyimpanan yang tinggi.
  2. Alternatif yang kedua ialah berusaha memenuhi kebutuhan bahan mentah untuk keperluan proses produksi dengan membeli dalam jumlah yang relatif kecil dalam setiap kali pembelian dengan frekuensi pembelian yang lebih sering. Cara ini akan membawa kemungkinan terlambatnya bahan mentah. Apabila keterlambatan penyediaan bahan mentah terjadi, maka proses produksi dapat terganggu. Sedangkan keuntungan dari cara kedua ini ialah bahwa perusahaan tidak perlu menanggung biaya penyimpanan bahan mentah yang terlalu besar. Dalam hal ini biaya penyimpanan dibebankan pada leveransir bahan mentah.


        Dari dua cara ekstrim tersebut, manajemen berusaha untuk menentukan kebijaksanaan penyediaan bahan baku yang optimal dalam arti dapat menjamin kelancaran proses produksi dan biaya yang ditanggung ada pada tingkat minimal. Untuk keperluan tersebut biasanya digunakan metode yang disebut metode Economic Order Quantity (EOQ).

        Pengertian EOQ adalah volume pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap kali pembelian. Secara matemastis dinyatakan sebagai berikut:



dimana

R    : kebutuhan bahan mentah satu tahunCo = Cs = S    : Ordering Cost setiap kali pesanCh = H   : Holding Cost per unit per satu satuan waktu

Model EOQ di atas dikembangkan dengan asumsi:

  • Hanya ada satu jenis/item persediaan yang hendak direview.
  • Seluruh jumlah bahan mentah yang dipesan datang pada satu titik waktu tertentu.
  • Permintaan akan bahan bersifat konstan atau mendekati tingkat konstan.
  • Lead time konstan.
  • Holding cost didasarkan pada rata-rata persediaan
  • Ordering atau setup cost konstan
  • Tidak terjadi kehabisan bahan.
  • Tidak ada pengembalian barang yang sudah dipesan

Contoh 01 Menghitung EOQ dan TIC

Misalnya kebutuhan bahan untuk satu tahun sebesar 24.000 unit, biaya simpan 18% dari nilai persediaan, dan biaya pesan setiap kali pemesanan Rp.38,00. Harga barang per unit Rp.12,00. Diminta menghitung jumlah pembelian yang paling ekonomis setiap kali pembelian/ pemesanan.

Pembahasan

Dari data seperti itu diperoleh EOQ sebesar 919 unit. Artinya, bahwa jumlah yang paling ekonomis untuk setiap kali pembelian/pemesanan bahan adalah sebesar 919 unit. Selanjutnya, berdasarkan jumlah pembelian setiapkali pesan pada tingkat EOQ, yaitu sebesar 919 unit, dapat dihitung besarnya Total Inventory Cost  (TIC), yakni sebesar Rp.1.984,90

Reorder Point (Saat Pemesanan Kembali)

        Dengan menggunakan model EOQ, kita dapat mengetahui berapa banyak yang harus dipesan dalam setiap kali pemesanan, sekarang akan dicoba menjawab pertanyaan kapan dilakukan pemesanan kembali. Untuk sistem persediaan yang menggunakan asumsi bahwa tingkat kebutuhan yang konstan dan lead time yang tetap, maka saat pemesanan kembali (Re-Order Point) sama dengan  kebutuhan selama lead time. Secara matematik dinyatakan sebagai berikut:

ROP = d x lt

ROP    : Reorder Point d    : Kebutuhan per hari lt    : lead time

         Melanjutkan contoh menghitung EOQ sebelumnya, dengan mengandaikan perusahaan beroperasi 250 hari setahunnya, maka dapat dihitung kebutuhan per hari yaitu sebanyak 96 unit (24.000/250). Apabila pengantaran bahan dari saat pesan hingga barang datang dan siap digunakan memerlukan waktu 3 hari atau lead timenya adalah 3 hari, maka dapat dihitung kebutuhan bahan selama lead time, yakni sebesar 288 unit ( 3 x 96). Bila diasumsikan bahwa kebutuhan bersifat konstan dan lead time tetap, maka saat pemesanan kembali (ROP) dilakukan pada waktu persediaan di gudang berada pada tingkat 288 unit.

Cycle Time

        Setelah ROP diketahui, maka dapat dihitung jarak waktu antara satu pemesanan dengan pemesanan berikutnya atau yang disebut cycle time. Secara matematik, perhitungan Cycle Time adalah sebagai berikut:

Keterangan: T    : Cycle Time Q*    : EOQ R    : Kebutuhan bahan selama satu tahun N    : jumlah hari operasi dalam satu tahun Dengan melanjutkan contoh di atas, dapat dihitung Cycle Time, yaitu 9,6 hari. Artinya, bahwa pemesanan dilakukan setiap 9,6 hari sekali.

   

Analisis Sensitivitas dalam Model EOQ
        Meskipun lead time, biaya simpan dan biaya pesan telah ditetapkan, namun dalam banyak hal penetapan angka-angka tersebut berdasarkan estimasi. Karenanya pula harus disadari bahwa ada kemungkinan estimasi mengenai lead time, biaya simpan, dan biaya pesan tidak tepat betul. Bila demikian yang terjadi, lalu berapa  jumlah pembelian yang dapat dianjurkan dalam setiap kali pemesanan? untuk menentukannya, dapat dilakukan perhitungan jumlah pembelian setiap kali pesan di bawah beberapa kondisi yang berbeda-beda, berikut akibatnya terhadap biaya persediaan total, atau dengan kata lain dilakkan analisis sensitivitas.

        Analisis sensitivitas dalam model EOQ memiliki arti penting bagi manajemen, karena bagaimanapun hasil perhitungan EOQ bukan merupakan keputusan akhir. Apa yang ditunjukkan oleh model EOQ merupakan masukan bagi manajemen dalam membangun keputusan akhir kebijaksanaan persediaan. Sekalipun EOQ merekomendasikan suatu jumlah pembelian yang ekonomis dalam setiap kali pemesanan, namun EOQ bisa jadi belum mempertimbangkan seluruh aspek situasi persediaan. Karenanya pula, pengambil keputusan harus memiliki kebebasan untuk memodifikasi jumlah pembelian yang direkomendasi oleh EOQ untuk dapat memenuhi  kekhasan lingkungan dari situasi persoalan persediaan yang dihadapi.

    Diambilkan contoh misalnya, hasil perhitungan EOQ, dan selanjutnya ditemukan cycle time 9,6 hari. Angka 9,6 hari di sini adalah angka matematis, dalam realitasnya sangaat sulit untuk dipenuhi, maka dilakukan pembulatan menjadi 10 hari atau 9 hari. Pembulatan angka cycle time ini akan memberikan akibat pada perubahan jumlah yang dibeli untuk setiap kali pemesanan (Q). Oleh karena Q berubah, maka TIC-nya juga akan berubah. Untuk memilih apakah cycle time dibulatkan menjadi 9 hari atau 10 hari, harus dilihat pada dampaknya terhadap TIC.

Menentukan Tingkat Safety Stock     Dengan ditemukannya EOQ, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk terjadi kekurangan persediaan (stock-out) di dalam proses produksi. Pada kondisi permintaan stochastic, sangat tidak realistis bila seorang manajer mengatakan bahwa ia tidak akan mentolerir terjadinya kekurangan persediaan. Kemungkinan kekurangan persediaan tetap ada dan timbul karena:

  1. Penggunaan bahan dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya sehubungan dengan sifat permintaan yang stochastic, sehingga persediaan telah habis sebelum pembelian atau pesanan yang berikutnya datang.
  2. Pesanan/pembelian bahan tidak datang tepat pada waktunya atau lead time ternyata tidak tetap.

        Untuk mengatisipasi dua keadaan di atas sehingga terhindar dari stock-out, perusahaan perlu mengadakan persediaan besi (safety stock), yang akan dekat kaitannya dengan Re-Order Point. Menentukan Re-order Point yang telah mempertimbangkan safety stock memerlukan data distribusi probabilitas dari lead time  yang diperoleh dari hasil analisis data historis. Dari probabilitas lead time itu pula dapat diketahui mengenai probabilitas terjadinya stock out. Asumsinya adalah bahwa distribusi probabilitas dari lead time merupakan disribusi normal.

         Kemudian, ditentukan Service Level, yang menunjukkan probabilitas yang diharap bahwa perusahaan tidak akan mengalami stock-out selama lead time. Sebagai contoh, service level 95% artinya bahwa probabilitas tidak terjadi kekurangan persediaan sampai datangnya pesanan sebesar 95%. Dengan kata lain, bahwa kemungkinan terjadinya stockout atau stockout yang ditolerir adalah sebesar 5%. Selanjutnya dengan menggunakan data-data statistik ditentukan Re-Order Point sebagai berikut:


                 

Keterangan:

ROP    : Reorder Point u (Miu)*    : kebutuhan bahan yang diharap selama lead time z.*    : safety stock Rho    : angka standar deviasi dimana probabilitas stock out dapat diterima

Dengan adanya safety stock sebesar z.*, besarnya TIC menjadi:

Total Biaya pesan + Total Biaya simpan persediaan normal + Total biaya simpan safety stock

Contoh: Manajemen sebuah perusahaan menginginkan service level 95%, atau probabilitas 5% untuk terjadinya stockout selama lead time. Dari tabel Z diperoleh angka 1,645 standar deviasi di atas rata-rata. Dengan asumsi distibusi normal, kebutuhan bahan selama lead time, rata-rata 577 unit dan standard deviasi 100 unit, dapatlah ditentukan Re-Order Point:

        ROP = 577 + 1,645(100) = 742 unit

Pemesanan kembali dilakukan bila persediaan di gudang tersisa 742 unit.

Model Persediaan Dengan Shortage/ Stockout (Kehabisan Bahan)

        Pada beberapa situasi tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kehabisan persediaan (shortages/ stockout), artinya kemungkinan terjadinya bahwa permintaan tidak dapat dipenuhi dengan persediaan atau produksi yang ada. Hal demikian sering merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki sehingga harus diantisipasi dan sejauh mungkin dihindari. Namun demikian, tidak semua kasus kehabisan persediaan merupakan sesuatu yang tidak diinginkan, ada kalanya situasi tersebut memang dikehendaki dilihat dari sudut ekonomi.

        Dalam praktek sehari-hari, situasi kehabisan persediaan sering ditemukan mana kala nilai per unit persediaan sangat tinggi, dan karenanya biaya simpan juga tinggi, misalnya persediaan  dealer  mobil-mobil baru. Bukan hal yang mengherankan bila sebuah dealer ternyata tidak memiliki persediaan mobil tertentu yang diinginkan oleh seorang pembeli.

    Berkaitan dengan situasi kehabisan bahan, ada suatu model yang dikembangkan untuk menganalisis situasi tersebut, yang dikenal dengan nama Back-Order. Model Backorder ini dikembangkan dengan asumsi:

  • Ketika pelanggan memesan barang, perusahaan tidak dapat memenuhi karena kehabisan persediaan.
  • Pelanggan tidak membatalkan pesanannya dan bersedia menunggu barang datang.
  • Waktu tunggu backorder relatif pendek.
  • Perusahaan memberikan jaminan bahwa pelanggan yang telah menunggu menjadi prioritas utama.

    Pada model persediaan untuk situasi stockout, biaya yang dipertimbangkan tidak hanya biaya pesan dan biaya simpan saja. Namun masih ditambah biaya yang disebut Backorder Cost atau Stockout Cost. Biaya yang termasuk kategori Backorder cost atau stockout Cost antar lain biaya tenaga kerja dan pengantaran khusus yang terkait secara langsung dengan penanganan backorder, a loss of goodwill dalam bentuk waktu pelanggan menunggu. berikut ini total biaya persediaan annual sehubungan dengan adanya kehabisan bahan:Total Annual Inventory Holding Cost  (H)       =

 


Total Annual Ordering Cost( S)        = 



Total Annual Backorder/Stockout Cost    = 


   

Dengan demikian Total Biaya Persediaan (TIC) sebesar

  



    Apabila biaya Holding cost, Ordering cost, dan Backorder cost dapat diestimasi, maka dapat ditentukan besarnya jumlah pemesanan yang optimal (Q* ) dan jumlah backorder yang optimal (S*) atau Q dan S yang meminimumkan biaya, dengan formula sebagai berikut:


       

Keterangan:Ch    : biaya simpan per unit per waktuCo    : biaya pesan setiap kali pemesananCb    : biaya backorder atau biaya kehabisan persediaan per unit per satu satuan waktuR    : kebutuhan/permintaan selama satu waktuQ    : jumlah pembelian/pesanan setiap kali melakukan pemesananS    : jumlah kekurangan persediaan untuk satu satuan waktuQ*    : jumlah pembelian/pemesanan optimal dengan mempertimbangkan backorder       untuk setiap kali pemesananS*    : jumlah backorder atau kekurangan persediaan yang optimal per satu satuan waktu



EOQ Kasus Diskon


         Seperti yang telah diketahui bahwa asumsi yang digunakan pada model EOQ adalah antara lain jumlah kebutuhan tahunan dan harga beli per unit bahan dianggap tetap. Namun, dalam kenyataan asumsi-asumsi tersebut sulit untuk dipenuhi. Sering dijumpai bahwa untuk tingkat pembelian tertentu, suplier menawarkan diskon. Pertanyaannya bagaimana mengevaluasi tawaran diskon tersebut bila dikaitkan dengan EOQ.

        Untuk menganalisis tawaran diskon, dilakukan prosedur evaluasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:


  1. Menghitung EOQ untuk setiap unit biaya yang terkait dengan setiap kategori diskon yang ditawarkan.
  2. Bila EOQ tidak berada pada kategori diskon maka dilakukan evaluasi terhadap batas bawah jumlah dari setiap kategori diskon dengan menghitung Total Annual Cost untuk   masing-masing batas bawah kategori diskon. Total Annual Cost diperoleh dari penjumlahan TIC dengan biaya pembelian tahunan. Biaya pembelian tahunan untuk setiap kategori diskon dihitung dengan cara mengalikan harga masing-masing kategori diskon dengan jumlah kebutuhan satu tahun. Bila EOQ ada yang berada di atas jumlah untuk kategori diskon tertentu maka kategori yang ada di bawahnya tidak perlu dievaluasi.  
  3. Jumlah pembelian/pemesanan yang memiliki biaya annual terendah merupakan jumlah pembelian/pemesanan yang optimum

Contoh EOQ Kasus Discount

Diketahui

D = 10.000 unit (permintaan tahunan)S = Rp.20,- per pesani = 20% dari harga per tahunC= P = per unit tergantung besarnya pemesanan; pesan di bawah 499 unit harga per unit =Rp.5,00; pesan antara 500 sampai 999 unit, harga per unitnya Rp.4,50, sedang bila pesandi atas 1.000, harga per unitnya 3,90.

Berapa jumlah yang harus dipesan?

Pembahasan

Langkah 1

Masing-masing kategori harga dicari EOQ-nya. Dari perhitungan tersebut dapatditentukan jumlah pemesanan yang feasible dan yang tidak.

  • Untuk C=P= Rp.5,- maka EOQ= 633 , tidak feasible,
  • untuk C=P=Rp.4,5 maka EOQ-nya = 666, feasible
  • untuk C=P=Rp.3,9, maka EOQ-nya = 716, tidak feasible
  • Untuk C=P=Rp.3,9 Q=1.000, feasible

Langkah 2

Dari yang feasible, dihitung TC atau TAC-nya

  • untuk C=P=Rp.4,5 maka EOQ-nya = 666, feasible dengan TC Rp.45.599,7,
  • untuk C=P=Rp.3,9 Q=1.000, feasible dengan TC=Rp39.590

Langkah 3

selanjutnmya dipilih yang TC atau TAC terkecil.

  • Untuk C=P=Rp.3,9 Q=1.000, feasible dengan TIC=Rp39.590 dan ini merupakan solusi optimal. (Hendra Poerwanto G)

Sangat berterimakasih bila bersedia mencantumkan alamat link halaman ini sebagai sumber

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA