Berikut ini adalah fakta catatan perjalanan musafir Cina 1 Tsing mengenai kerajaan Sriwijaya

Umumnya bahwa catatan I-Tsing tidak pernah lepas dari kisah Kerajaan Kalingga atau Kerajaan Ho-ling yang merupakan kerajaan bernuansa Hindu – Budha dan telah muncul sejak abad ke-6 masehi di Provinsi Jawa Tengah. Bahkan, lokasinya belum jelas sampai saat ini dan diprediksi berada di sebuah tempat antara Kabupaten Jepara serta Kabupaten Pekalongan, sedangkan sumber sejarah mengenai kerajaan tersebut berasal dari catatan Dinasti Tang.

Berikut ini adalah fakta catatan perjalanan musafir Cina 1 Tsing mengenai kerajaan Sriwijaya

Beberapa informasi beredar bahwa catatan I-Tsing maupun tradisi setempat yang disusun selama beberapa tahun lamanya akhirnya menyinggung tentang seorang wanita bangsawan bernama Ratu Shima serta berkaitan dengan Kerajaan Galuh. Kalingga sudah hadir sejak abad ke-6 masehi dan kerajaan tersebut sempat diperintah Ratu Shima dan diketahui mempunyai ketentuan bila siapapun yang mencuri, maka tangannya akan dipotong dan aturan tersebut berlaku untuk semua golongan pada masa itu.

Baca Juga : Catatan Perjalanan Fa-Hien Serta Sejarah Hidupnya

Informasi tentang keberadaan Kerajaan Kalingga berasal dari beberapa sumber utama, yakni catatan sejarah dari kerajaan asal Jawa dan sejarah pada masa Dinasti Tang. Selain itu, tradisi secara lisan juga menyebutkan sosok Ratu Shima yang begitu legendaris pada era tersebut, sedangkan sejarah itu tidak akan lepas dari adanya catatan I-Tsing yang menjelaskan secara lengkap mengenai Kerajaan Kalingga pada era Dinasti Tang, tepatnya tahun 618 masehi sampai 906 masehi.

Catatan I-Tsing menjelaskan tentang Kalinga yang disebut sebagai Dhawa adalah kawasan yang berada di Lautan Selatan, serta berbatasan dengan Pulau Bali di timur, Ta Hen La atau Kamboja di uatara serta Pulau Sumatra di bagian barat. Sementara itu, ibukotanya dikelilingi tembok yang terbuat dari kayu, sedangkan sang raja menetap di sebuah bangunan sangat besar dengan atapnya menggunakan daun palem dan bertingkat, serta singgasananya dibuat dari gading. Kendati demikian, catatan I-Tsing yang telah ada sejak tahun 664 hingga 665 masehi menjelaskan bahwa sekitar abad ke-7 dimana tanah Jawa sudah menjadi salah satu pusat pengetahuan atas agama Budha Hinayana, sedangkan di Kalingga ada seorang pendeta bernama Hwining dan mampu mengartikan sebuah kitab agama Budha ke dalam bahasa Mandarin. Ia pun bekerja sama dengan salah satu pendeta di Jawa bernama Janabadra dan kitab tersebut menjelaskan tentang kisah Nirwana.

tirto.id - Sejarah Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti bahwa agama Buddha pernah besar di Indonesia. Selain sebagai kerajaan penganut Buddha pertama di Nusantara, Sriwijaya pernah menjadi pusat pengajaran ajaran yang dirintis oleh Sidharta Gautama ini. Selain itu, lokasi Kerajaan Sriwijaya juga masih kerap diperdebatkan.

Pada abad ke-7 Masehi, Kerajaan Sriwijaya muncul setelah adanya kota-kota perdagangan di wilayah Sumatera. Saat itu, wilayah pantai Sumatera terkenal dengan keramaiannya karena merupakan salah satu jalur perdagangan. Namun, lokasi tepatnya kerajaan ini belum diketahui kendati konon pernah berpusat di Palembang.

Paul Michel Munoz dalam Early Kingdoms of the Indonesian Archipelagoand the Malay Peninsula (2006) mengungkapkan, salah satu alasan mengapa keberadaan Sriwijaya sangat sulit dipastikan adalah karena banyaknya nama yang dikait-kaitkan dengan penyebutan kerajaan ini.



Terdapat beberapa penyebutan untuk Sriwijaya. Dalam bahasa Sanskerta disebut sebagai Yavadesh atau Javadeh. Lalu, bangsa Cina menyebutnya Shih-li-fo-shih, San-fo-ts’I, atau San Fo Qi. Adapun para saudagar Arab memanggilnya Zabaj.

Melacak Jejak Kerajaan Sriwijaya

Salah satu petunjuk yang menguatkan keberadaan Sriwijaya adalah Prasasti Ligor. Prasasti ini berbahasa Sanskerta, ditulis pada 775 M, dan terdapat penghormatan terhadap raja-raja Sriwijaya, seperti Sriwijayendraraja, Sriwijayeswarabhupati, dan Sriwijayanrpati.

Petunjuk lain mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya dapat ditelusuri dari catatan seorang pendeta dari Cina pada masa Dinasti Tang di abad ke-7 bernama I Tsing. Menurut penelitian Gabriel Ferrand bertajuk L’Empire Sumatranais de Crivijaya (1922), I Tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.



Nia Kurnia dalam Kerajaan Sriwijaya: Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya (1983) meyakini bahwa catatan I Tsing harus mendapat tempat sebagai sumber informasi terpenting tentang Kerajaan Sriwijaya.

Berangkat dari pendapat tersebut, ada salah satu catatan I Tsing mengenai Sriwijaya.

“Banyak raja dan kelapa suku di pulau-pulau Laut Selatan memuja dan percaya (pada Buddhisme), dan hati mereka penuh tekad menghimpun perbuatan baik. Di kota berbenteng Bhoga, bhiksu-bhiksu Buddhis berjumlah lebih dari seribu dan pikiran mereka terarah pada pengetahuan dan karya yang baik. Mereka meneliti dan mempelajari segala perkara yang sama seperti di Kerajaan Tengah (Tiongkok), peraturan dan upacara tidak jauh berbeda. Kalau seorang bhiksu Cina ingin pergi ke barat untuk mendengarkan (ajaran) dan membaca (teks asli) sebaiknya dia tinggal di sini satu dua tahun dan berlatih menjalankan peraturan yang tepat lalu meneruskan perjalanan ke India Tengah.”

Masih ada lagi bukti yang menyatakan keberadaan Kerajaan Sriwijaya, yakni Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang. J.G. Casparis dalam Indonesian Palaeography (1975) mengungkapkan bahwa prasasti ini berangka tahun 682 atau masih dalam perjalanan abad ke-7 M.


Sriwijaya Pusat Agama Buddha

Kemaharajaan Sriwijaya dikenal sebagai negeri bahari juga merupakan pusat pembelajaran agama Buddha terbesar di Asia Tenggara. Saat itu, Sriwijaya banyak dikunjungi oleh para biksu dari berbagai negara. Prasasti Ligor merupakan tanda petilasan Buddha telah dibuat di wilayah Sriwijaya.

Agama Buddha memiliki dua mazhab, Mahayana dan Hinayana. Dalam beberapa sumber tertulis dan arca yang ditemukan menyebutkan bahwa ajaran Buddha yang berkembang di Sriwijaya adalah Buddha Mahayana.

Kerajaan Sriwijaya dapat dikatakan sebagai pusat kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan agama Buddha. Para biksu dari berbagai penjuru datang dan tinggal di kerajaan ini dalam waktu yang lama untuk mempelajari ajaran Buddha.

Terkenalnya Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran ajaran Buddha tidak lepas dari peran Dharmakrti. Ia adalah biksu tertinggi di Kerajaan Sriwijaya yang memiliki pengetahuan luas tentang ajaran Buddha. Bahkan, Dharmakrti pernah menyusun kritik terhadap isi kitab Abhisamayalamkara.


Dikutip dari situs resmi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, keilmuan Dharmakrti yang tinggi membuat seorang biksu dari Tibet yang bernama Atisa (Dipamkararsjnana) datang ke Sriwijaya untuk berguru kepadanya pada 1011 hingga 1023 M. Setelah menjadi kerajaan besar dan pusat ajaran Buddha selama puluhan bahkan ratusan tahun, Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran, salah satunya lantaran invasi Kerajaan Chola dari India Selatan pada 1025 M.

Selain itu, munculnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara dan sekitarnya seperti Siam (Thailand) dan Singasari (Jawa bagian timur) juga semakin menggerus kejayaan Sriwijaya. Hingga akhirnya, Sriwijaya hancur pada 1377 M seiring dengan kemunculan dan semakin besarnya Kerajaan Majapahit.

Catatan tertua tentang Sriwijaya dibuat oleh I-Tsing (Yi Jing, I Ching). Ia seorang biksu yang mengembara dari Cina ke India untuk mempelajari agama Buddha. I-Tsing menumpang kapal dagang pada jalur perdagangan laut pada abad ketujuh. Ia dua kali singgah di Sriwijaya yang disebutnya dengan nama Shih-li-fo-shih (kerajaannya) dan Fo-shih (kotanya).

Dalam perjalanan ke India, I-Tsing singgah di Sriwijaya selama enam bulan, antara tahun 671-672. Sepulangnya dari India, ia menetap di Sriwijaya selama bertahun-tahun: pada 685-689 kemudian dilanjutkan pada 689-695. Selama di Sriwijaya, I-Tsing menyalin naskah-naskah agama Buddha yang diperolehnya di India sembari membuat catatan perjalanannya sendiri.

(Baca: Seratus Tahun Lalu, "Sriwijaya" Dikira Nama Raja)

Pada tahun 689 ia sempat pulang ke Kanton walaupun tidak sengaja. Alkisah, ia naik ke kapal dengan maksud menitipkan surat ke Cina agar dikirimi kue-kue, kertas, dan tinta untuk melanjutkan penerjemahan. Namun, saat itu datanglah angin yang bagus untuk berlayar. I-Tsing terbawa pulang.

“Layar-layar dikembangkan setinggi-tingginya. Dengan cara itulah aku terbawa walaupun tidak berniat pulang). Bahkan kalaupun aku meminta kapal berhenti, tak akan dikabulkan,” tulis I-Tsing dalam catatannya.

Pada tahun yang sama ia kembali lagi ke Sriwijaya dan melanjutkan pekerjaannya. Kemudian pada 692, ia mengirimkan ke Cina naskah-naskah salinan dan catatan perjalanannya. I-Tsing kembali ke Cina pada 695 dan disambut oleh ratu Cina. Ratu yang dimaksud mungkin Ratu Wu (690-705) yang sempat memproklamasikan diri sebagai Dinasti Zhou di sela-sela kekuasaan Dinasti Tang.

Arca Buddha setinggi 2,77 meter yang ditemukan di Bukit Siguntang dan kini diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Arca bertarikh abad keenam ini mungkin dilihat I-Tsing dalam persinggahannya di Sriwijaya pada abad ketujuh (Reynold Sumayku/NGI).

Salah satu bundel catatan perjalanan I-Tsing diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh J. Takakusu pada 1896. Berikut beberapa catatan I-Tsing tentang Sriwijaya:

1. Kota Fo-shih terletak di Sungai Fo-shih. Itu adalah pelabuhan utama dalam perdagangan dengan China. Pelayaran reguler antara Fo-shih dan Kwang-tung (Kanton, Guangzhou) dilakukan oleh sebuah kapal dagang Persia.

2. Jarak dari Kanton ke Fo-shih sekitar 20 hari pelayaran jika angin baik, atau kadang-kadang sebulan.

3. Raja Shih-li-fo-shih memiliki kapal-kapal, mungkin untuk berdagang, dan berlayar antara India dan Fo-shih.

4. Raja Shih-li-fo-shih juga merupakan penguasa negeri-negeri sekitar. Ia penganut agama Buddha.

5. Ibu kota (Fo-shih) adalah pusat pembelajaran agama Buddha di antara pulau-pulau di Laut Selatan. Di sana terdapat lebih dari seribu biksu.

6. Emas tampaknya berlimpah-limpah. Orang-orang biasanya mempersembahkan bunga lotus terbuat dari emas kepada (arca) Buddha. Mereka menggunakan buli-buli terbuat dari emas. Mereka memiliki arca-arca emas.

7. Orang-orangnya menggunakan kan-man (jubah atau kain panjang).

8. Produk negeri ini adalah pinang, pala, cengkih, dan kapur barus.

9. Di negeri Shih-li-fo-shih, pada pertengahan bulan kedelapan, jika orang berdiri di siang hari, tiada bayangan yang tampak. Matahari lewat persis di atas kepala dua kali dalam setahun.

Ikuti kisah tentang Kejayaan Sriwijaya, serta analisis para ahli dan pengamat mengenai ”Bayangan di Tengah Hari dalam Catatan I-Tsing” dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013.