KOMPAS.com - Otonomi artinya memiliki peraturan sendiri atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Show Istilah otonomi mengalami perkembangan menjadi "pemerintahan sendiri". Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dalam batas-batas tertentu juga peradilan, dan kepolisian sendiri. Pengertian Otonomi DaerahOtonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu. Urusan-urusan yang diserahkan oleh pusat ke daerah tersebut disebut urusan rumah tangga daerah. Dengan kata lain, sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang berkaitan dengan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengurus urusan pemerintahan antar pusat dan daerah. Daerah-daerah yang diberi wewenang untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri ini kemudian disebut daerah otonom. Baca juga: Sejarah Otonomi Daerah dari Masa Kolonial hingga Pasca Kemerdekaan Asas Otonomi DaerahAsas DesentralisasiDalam pelaksanaan otonomi daerah ada sebuah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri disebut asas desentralisasi. Penyerahan wewenang dalam desentralisasi berlangusng antara lembaga-lembaga otonom di pusat dengan lembaga otonom di daerah. Asas desentralisasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Asas DekonsentrasiAsas dekonsentrasi adalah pendelegasian sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintah pusat kepada kepala daerah. Pendelegasian kepada kepala daerah dilakukan karena kepala daerah adalah wakil dari pemerintah pusat. Gubernur, wali kota, dan bupati sebagai wakil pemerintah pusat pada instansi vertikal di sebuah wilayah tertentu dan sebagai penanggung jawab dari urusan pemerintahan umum. Baca juga: Peran Pemerintah Daerah dalam Otonomi Daerah Asas Tugas PembantuanAsas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk menyelesaikan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Bisa juga dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten atau kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah provinsi. Tujuan Otonomi DaerahPenerapan otonomi daerah di Indonesia memiliki beberapa tujuan yaitu:
Referensi
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Pemerintahan Daerah Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1] Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.[2] Jadi, kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentralisasi, dan Asas Tugas Pembantuan Menurut Hinca Pandjaitan dalam artikel Fungsi dan Akibat Hukum Keputusan Kepala Daerah Dalam Melaksanakan Urusan Tugas Pembantuan Dikaitkan dengan Pokok Pangkal Sengketa yang dimuat dalam buku Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (hal. 387) yang disunting oleh S.F. Marbun dkk, sebagai salah satu realisasi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) serta Pasal 1 UUD 1945, pemerintah di daerah dilaksanakan melalui tri asas, yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentralisasi (dekonsentrasi) dan asas tugas pembantuan.[3] Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.[4] Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.[5] Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.[6] Tentang Tugas Pembantuan Lebih lanjut Hinca Pandjaitan menjelaskan bahwa tugas pembantuan dapat juga diartikan sebagai tugas pemerintah daerah untuk mengurusi urusan pemerintahan pusat atau pemerintah yang lebih tinggi, dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskannya.[7] Pemerintah pusat dalam hal ini berwenang dan berkewajiban memberikan perencanaan umum, petunjuk-petunjuk serta biaya. Sedangkan perencanaan lebih rinci, khusus mengenai pengawasan dari kegiatan tersebut dipercayakan kepada pejabat atau aparatur pemerintah pusat yang ada di daerah.[8] Maksud Tugas Pembantuan Maksud diadakan asas tugas pembantuan dalam pembangunan di daerah bertujuan agar keterbatasan jangkauan aparatur pemerintah pusat dapat ditanggulangi melalui kewenangan aparatur daerah.[9] Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah dalam melaksanakan Tugas Pembantuan.[10] Kebijakan Daerah hanya terkait dengan pengaturan mengenai pelaksanaan Tugas Pembantuan di Daerahnya.[11] Anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disediakan oleh yang menugasi.[12] Dokumen anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersamaan dengan penyampaian rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD dalam dokumen yang terpisah.[13] Laporan pelaksanaan anggaran Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan Pemerintah Daerah dalam dokumen yang terpisah.[14] Pelaksanaan Tugas Pembantuan Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan di luar 6 (enam) urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat.[15] Urusan pemerintahan absolut/mutlak meliputi:[16] a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Dengan kata lain, tugas pembantuan yang dapat dilakukan adalah urusan pemerintahan di luar keenam urusan pemerintahan yang mutlak di atas. Pelaksanaan tugas pembantuan itu dapat dilakukan melalui suatu Keputusan Kepala Daerah, dapat juga dilakukan melalui Peraturan Daerah. Misalnya urusan tugas pembantuan berupa program INPRES Sekolah Dasar yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah.[17] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Referensi: S.F. Marbun dkk. 2004. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. [1] Pasal 1 angka 2 UU 23/2014 [2] Pasal 1 angka 3 UU 23/2014 [3] Pasal 5 ayat (4) UU 23/2014 [4] Pasal 1 angka 8 UU 23/2014 [5] Pasal 1 angka 9 UU 23/2014 [6] Pasal 1 angka 11 UU 23/2014 [7] Hinca Pandjaitan hal. 388 [8] Hinca Pandjaitan hal.388 [9] Hinca Pandjaitan hal 389 [10] Pasal 22 ayat (1) UU 23/2014 [11] Pasal 22 ayat (2) UU 23/2014 [12] Pasal 22 ayat (3) UU 23/2014 [13] Pasal 22 ayat (4) UU 23/2014 [14] Pasal 22 ayat (5) UU 23/2014 [16] Pasal 10 ayat (1) UU 23/2014 [17] Hinca Pandjaitan hal 390 - 391 |