Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama
ISSN 2089-8835
DOI : 10.15575/hanifiya.v4i2.13961 //journal.uinsgd.ac.id/index.php/Hanifiya/
Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
R.F. Bhanu Viktorahadi1*, Mochamad Ziaul Haq2, Yeni Huriani3
1 Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Indonesia;
2 Program Integritas Terbuka RSCJ, Indonesia; em_
3 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia;
* Correspondence
Received: 2021-07-30; Accepted: 2021-08-30; Published: 2021-08-31
Abstrak: Kemiskinan merupakan realitas sosial dalam dinamika kehidupan manusia di dunia.
Realitas sosial ini juga merupakan bagian dari perhatian Gereja. Melalui struktur dinamisnya yang
meliputi Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium, Gereja memberikan perhatian, kepedulian, dan
menyampaikan ajarannya tentang kemiskinan beserta cara-cara penanggulangannya. Kajian ini
bersifat penelitian literature, dengan kontekstualisasi Indonesia. Dengan analisis tekstual, tulisan ini
menunjukkan bahwa dalam merefleksikan berbagai macam realitas yang berkaitan dengan
kemiskinan, terutama dengan menggunakan pisau bedah Theology of Liberation, Gereja sampai pada
kesimpulan bahwa kemiskinan, khususnya kemiskinan struktural adalah buah dari dosa sosial. Dosa
sosial adalah dosa individu yang dibangun sedemikian rupa dengan berbagai macam pengkondisian
sehingga menjadi suatu struktur yang masif. Kajian ini merekomendasikan perlunya kebutuhan akan
pertobatan pribadi dan komunal untuk menghancurkan struktur dosa ini sekaligus mengangkat
orang dari kemiskinan struktural.
Kata Kunci: Dosa; kemiskinan; ketidakadilan; pertobatan; solidaritas.
Abstract: Poverty is a social reality in the dynamics of human life in the world. This social reality is
also part of the Church's concern. The Church pays attention, cares, and conveys its teachings about
poverty and ways to overcome it through its dynamic structure, which includes Scripture, Tradition,
and the Magisterium. This study is literature research, with Indonesian contextualization. By textual
analysis, this paper shows that in reflecting on various realities related to poverty, especially by using
the scalpel of Theology of Liberation, the Church has concluded that poverty, especially structural
poverty, is the fruit of social sin. Social sin is an individual sin built in such a way with various kinds
of conditioning to become a massive structure. This study recommends the need for personal and
communal repentance to destroy this structure of sin and, at the same time, lift people out of structural
poverty.
Keywords: Injustice; poverty; repentance; sin; solidarity.
1. Pendahuluan
Kemiskinan bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya (Wibisono, 2021). Kemiskinan
adalah hasil dari tindakan atau bahkan rekayasa pihak-pihak tertentu yang memperoleh keuntungan
darinya (M. T. Rahman, 2018). Oleh karena itu, kemiskinan adalah masalah serius. Gagasan ini tentu
bertentangan dengan gagasan kaum konservatif. Kaum konservatif tidak memandang kemiskinan
sebagai masalah yang serius. Oleh karena itu, mereka percaya bahwa kemiskinan akan terselesaikan
dengan sendirinya (Suryawasita, 1987).
Kemiskinan ini adalah buah langsung dari ketidakadilan struktural. Kemiskinan struktural terjadi
akibat rendahnya akses sebagian masyarakat terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem
sosial budaya dan sosial politik sehingga tidak mendukung pembebasan kemiskinan dan sebaliknya
menyebabkan tumbuh suburnya kemiskinan. Dalam perkembangannya, kemiskinan struktural
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 156 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
banyak mendapat sorotan karena dipandang sebagai penyebab bertumbuh dan berkembangnya tiga
kemiskinan lainnya, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan kultural (Jamasy,
2004).
Situasi ini memanggil Gereja untuk menjadi terang di tengah-tengah penderitaan dan kemiskinan
masyarakat yang terjadi sebagai akibat struktur masyarakat yang tidak sosial atau tidak adil (Lestari &
Parihala, 2020). Panggilan ini sekaligus menunjukkan bahwa Gereja tidak pernah bisa mengingkari dan
mengelakkan dirinya dari urusan dan keterlibatan pada perkara-perkara sosial-politik, termasuk
kemiskinan dan pembangunan (Michel, 2017).
Kemiskinan terjadi akibat munculnya ketidakadilan. Ketidakadilan erat hubungannya dengan
ketergantungan (Magnis-Suseno, 2019). Orang atau kelompok orang menderita ketidakadilan tidak
memperoleh yang menjadi haknya karena ia tergantung dari orang atau kelompok orang lain.
Ketergantungan dari kekuasaan pihak lain menyebabkannya ia tidak dapat memperjuangkan keadilan.
Hal senada diungkapkan Leonardo Boff. Menurut Boff, kemiskinan muncul akibat persoalan
ketidakadilan yang besar, bersamaan dengan kegagalan di dalam solidaritas dan persekutuan.
Kemiskinan bersemi dari ketamakan yang terkekang dari sebagai individu dan negara yang
melakukan ketidakadilan (Boff, 2011).
Ketidakadilan dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu ketidakadilan individual dan
ketidakadilan sosial (ketidakadilan struktural). Ketidakadilan struktural ini tidak mudah dihadapi
Gereja, karena tidak secara langsung disebabkan sikap seorang individu yang tidak adil. Ketidakadilan
sosial ini terjadi secara bersama-sama melalui tindakan politis, ekonomis, dan sosial budaya. Walaupun
tidak mudah, dalam perjalanan sejarahnya, sekurang-kurangnya sejak awal abad XX, Gereja telah turut
berprihatin, bahkan terlibat langsung dengan kenyataan kemiskinan masyarakat dunia. Keterlibatan
Gereja itu tertuang dalam Alkitab dan sejumlah dokumen yang menjadi ajaran bagi umatnya. Istilah
yang lumrah digunakan dalam Gereja dalam menyampaikan ajarannya secara resmi adalah struktur
dinamis. Struktur dinamis itu terwujud dalam tiga tahapan, yaitu Alkitab, Tradisi, dan Magisterium
(Dister, 2020). Secara singkat, berdasarkan penyusuran ketiga tahapan itu, tulisan ini menguraikan cara
pandang Gereja terhadap kemiskinan dan pembangunan.
2. Hasil Penelitian
Alkitab tentang Kemiskinan
Menurut Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Tuhan tidak netral. Tuhan selalu
berpihak kepada orang miskin dan menderita. Menurut Gustavo Gutiérrez, dalam Alkitab kemiskinan
pertama-tama adalah suatu skandal yang tidak sesuai dengan martabat manusia. Oleh karena itu,
kemiskinan bertentangan dengan kehendak Tuhan (Gutierrez, 1984: 291-293). Kondisi ini bukanlah
akibat nasib, melainkan terutama akibat perbuatan tidak adil yang dilakukan pihak lain. Oleh karena
itu, Alkitab senantiasa menyerukan perjuangan keadilan sosial, terutama bagi kaum miskin dan
tertindas.
Kisah tentang persoalan atau perjuangan keadilan sosial tersebar di dalam Alkitab. Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru memperlihatkan bahwa adanya tiga definisi kaum miskin. Pertama,
kaum miskin tidak ditentukan sifat religius mereka, tetapi lebih disebabkan kemiskinan fisik. Kedua,
kaum miskin dalam Alkitab juga merupakan kaum dialektis yang disebabkan oleh kelompok-
kelompok yang bertindak tidak adil dan menyingkirkan mereka. Ketiga, kaum miskin dalam Alkitab
adalah kelompok dinamis. Mereka bukanlah korban-korban pasif dalam sejarah (Smith, 2009). Melalui
dan bersama mereka, Tuhan membentuk sejarah-Nya (Kim-Cragg, 2019).
Secara khusus dalam Perjanjian Lama sebagian besar pewartaan para nabi adalah tentang
perjuangan keadilan sosial. Perjuangan tersebut mencakup tiga periode kenabian, yaitu sebelum
pembuangan, masa pembuangan, dan setelah pembuangan. Nabi-nabi sebelum pembuangan adalah
Amos, Yesaya, Mikha, Hosea, Zefanya, dan Habakuk. Nabi-nabi Masa Pembuangan adalah Yeremia,
Yehezkiel, dan Deutero-Yesaya. Nabi-nabi sesudah Pembuangan adalah Yesaya, Zakaria, dan
Maleakhi (Harold, 2018).
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 157 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
Alkitab Perjanjian Lama menampakkan situasi penindasan atas Israel oleh bangsa-bangsa lain.
Selain itu, penindasan juga terjadi di antara kaum Israel sendiri. Di dalam masyarakat Israel
penindasan itu menyasar orang miskin. Pelaku penindasan atau pelaku ketidakadilan adalah orang-
orang kaya dan orang-orang berkuasa. Penindasan yang dimaksud adalah suatu penyalahgunaan
kekuasaan serta penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak, atau dalam bahasa yang lebih
umum, perbuatan kasar dari si kuat terhadap si lemah. Pada kitab nubuat Yesaya, tindakan semacam
ini termasuk dalam golongan tindak tidak menghormati Tuhan dan kehendak-Nya. Oleh karena itu,
orang-orang semacam itu akan mendapatkan ancaman hukuman (Yes.3:1-4), yaitu (Pareira, 2006: 100-
101):
Maka sesungguhnya Tuhan, TUHAN semesta alam, akan menjauhkan dari Yerusalem dan dari
Yehuda setiap orang yang mereka andalkan, segala persediaan makanan dan minuman: pahlawan
dan orang perang, hakim dan nabi, petenung dan tua-tua, perwira dan orang yang terpandang,
penasihat dan ahli sihir, dan orang yang paham mantera. Aku akan mengangkat pemuda-pemuda
menjadi pemimpin mereka, dan anak-anak akan memerintah atas mereka (Yes.3:1-4).
Para nabi itu secara kasar mencela segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, kecurangan-
kecurangan, monopoli tanah, dan penyuapan terhadap hakim-hakim. Akan tetapi, kebanyakan
perjuangan para nabi itu gagal untuk memberi dampak yang sungguh-sungguh atas masyarakat
zamannya. Perjuangan para nabi menegakkan keadilan gagal karena mereka dipandang penguasa
sebagai pemberontak terhadap status quo politik, sosial, ekonomi, dan agama zamannya. Mereka tidak
dianggap sebagai pejuang keadilan. Mereka justru dianggap musuh sekaligus pengacau bangsa. Baru
setelah pembuangan ke Babel, nabi-nabi memperoleh pengakuan. Malapetaka pembuangan itu
menunjukkan bahwa nabi-nabi benar. Sebaliknya, para penguasa yang memanifestasi dalam mereka
yang duduk di istana raja, para pemimpin militer, kalangan atas, dan kalangan agama bertindak salah
karena melawan keadilan. Oleh karena itu, bangsa yang terhina itu berbalik kepada nabi-nabi untuk
mencari harapan serta tuntunan (Harold, 2018).
Banyak kutipan dalam Alkitab Perjanjian Baru, seperti Injil menurut Markus, Matius, dan
terutama Lukas serta Kisah Para Rasul, tentang orang miskin dan menderita. Aloysius Pieris (Pieris,
2018) membuat kategori-kategori secara lebih terperinci terkait kaum miskin di dalam Injil. Pieris
membuat kategori-kategori itu karena menurutnya, salah satu keprihatinan yang perlu mendapat
perhatian serius di Gereja Asia adalah kemiskinan yang mencolok (the overwhelming poverty).
Keterlibatan Pieris dalam situasi kontekstual masyarakat Asia membuatnya tidak memiliki pilihan lain
kecuali menanggapi secara bersama-sama persoalan kemiskinan massa dan masyarakat pluri-religius
yang dihadapi gereja-gereja di Asia (Rubianto, 1996).
Pieris membuat tiga kategori untuk kaum miskin, yaitu: Pertama, kaum miskin adalah mereka
yang secara sosial dikucilkan akibat aneka macam alasan. Misalnya, penyakit lepra dan penyakit jiwa.
Kedua, kaum miskin adalah mereka yang secara sosial bergantung pada orang lain. Misalnya, janda
dan yatim piatu. Ketiga, kaum miskin adalah mereka yang secara kultural ditundukkan (kaum
perempuan dan anak). Kaum miskin adalah mereka yang memiliki cacat fisik (bisu, tuli, buntung kaki,
buta), mereka yang secara psikologis tersiksa (kerasukan setan atau berpenyakit ayan), serta mereka
yang secara spiritual rendah hati (orang-orang sederhana yang takut akan Tuhan dan para pendosa
yang bertobat). Tidak semua kaum miskin yang rendah hati itu tanpa dosa. Tuhan memihak kaum
miskin bukan karena mereka suci, melainkan karena mereka miskin dan menderita (J. B. S. J.
Banawiratma, 2002).
Dalam kaitan dengan orang miskin, penginjil Lukas dikenal sebagai ‘penginjil kaum miskin’
(Woodington, 2020). Dalam bahasa sosiologi, Injil menurut Lukas adalah ‘Injil sosial’ (Harold, 2018).
Cinta kasih Tuhan terhadap orang kecil dan miskin adalah salah satu ciri inti dalam pewartaan Injil.
Tuhan mencintai semua orang, terlebih mereka yang kecil, miskin dan lemah. Cinta kasih itu tidak
lepas dari kenyataan bahwa orang kecil dan miskin itu senantiasa menjadi korban para penguasa dan
orang kaya (Lk.1:51-54), yakni:
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-
orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 158 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang
lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa; Ia menolong Israel, hamba-
Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya (Lk.1:51-54).
Secara khusus pewartaan Injil dalam Lukas memang menyasar orang miskin, melarat, tahanan,
dan sakit itu. Khotbah di Bukit (Lk.6:20-26) dan perumpamaan tentang Lazarus (Lk.16:19-23) menjadi
contoh jelas bahwa Injil memihak orang melarat dan tidak enggan menyebut celaka bagi orang kaya,
sebagaimana dikatakan:
Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.
Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah,
hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika
karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela
kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan
bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek
moyang mereka telah memperlakukan para nabi. Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya,
karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang
sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa,
karena kamu akan berduka cita dan menangis. Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu;
karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu
(Lk.6:20-26).
Kemiskinan adalah suatu kondisi yang ditolak Alkitab. Dalam tafsirnya atas teks-teks Alkitabiah
Gutiérrez menyatakan bahwa ada tiga alasan prinsip di balik penolakan Alkitab atas kemiskinan
(Gutiérrez, 1988). Pertama, kemiskinan berlawanan dengan makna tindakan pembebasan Tuhan
melalui Musa atas umat Israel dari perbudakan, penghisapan, dan alienasi di Mesir (Kel.16:6-8):
Sesudah itu berkatalah Musa dan Harun kepada seluruh orang Israel: ‘Petang ini kamu akan
mengetahui bahwa TUHANlah yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir. Dan besok
pagi kamu melihat kemuliaan TUHAN, karena Ia telah mendengar sungut-sungutmu kepada-
Nya. Sebab, apalah kami ini maka kamu bersungut-sungut kepada kami?’ Lagi kata Musa: ‘Jika
memang TUHAN yang memberi kamu makan daging pada waktu petang dan makan roti sampai
kenyang pada waktu pagi, karena TUHAN telah mendengar sungut-sungutmu yang kamu
sungut-sungutkan kepada-Nya – apalah kami ini? Bukan kepada kami sungut-sungutmu itu,
tetapi kepada TUHAN).
Kedua, kemiskinan bertentangan dengan mandat kitab Kejadian yang menjamin martabat manusia
sebagai citra Tuhan (Kej.1:26 – “Berfirmanlah Tuhan: ‘Baiklah kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”). Ketiga,
kemiskinan tidak sesuai dengan hakikat manusia sebagai pribadi yang beriman kepada Tuhan dan
yang harus mewujudkan iman tersebut dalam tindakan keadilan. Dengan demikian, Alkitab
memandang kemiskinan sebagai skandal, yaitu situasi dosa yang menghalangi relasi sejati manusia
dengan Tuhan dan sesamanya. Padahal, sebagai citra dan mitra penciptaan Tuhan, manusia harus
senantiasa menjalin relasi dengan Tuhan dan sesamanya dalam tindakan yang berkeadilan sosial
(Davies, 1998).
Tradisi tentang Kemiskinan
Tradisi Gereja seluas dan sepanjang dinamika zaman. Oleh karena kemiskinan menjadi bagian
dari dinamika zaman itu, Tradisi pun memperhatikan dan berusaha memahaminya berdasarkan
keprihatinan yang muncul. Dari sekian banyak Tradisi yang ada, dua di antaranya sangat
berkepentingan dengan kemiskinan, yaitu dokumen-dokumen Konsili Vatikan II dan Ajaran Sosial
Gereja (ASG).
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 159 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
Ajaran Konsili Vatikan II tentang Kemiskinan
Paus Yohanes XXIII menyinggung tentang Gereja Orang Miskin dalam khotbah Pembukaan
Konsili Vatikan II pada 12 Oktober 1962, meskipun kemudian tema kemiskinan atau masalah orang
miskin tidak menjadi tema sentral konsili. Sudut pandang Kristologis dari Gereja Orang Miskin dan
semangat kemiskinan dikemukakan di dalam dokumen Konsili Vatikan II, yaitu Konstitusi Dogmatis
tentang Gereja ‘Lumen Gentium’ (LG) artikel 8, tentang Gereja miskin dan LG artikel 42, tentang
semangat kemiskinan, yaitu:
Seperti Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula
Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang sama, supaya menyalurkan buah-buah
keselamatan kepada manusia. Kristus Yesus, ‘walaupun dalam rupa Allah, ... telah mengosongkan
diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba’ (Flp.2:6-7). Bahkan dalam mereka yang miskin dan
menderita Gereja mengenali citra Pendirinya yang miskin dan menderita, berusaha meringankan
kemelaratan mereka, dan bermaksud melayani Kristus dalam diri mereka. Dalam hal ini, gereja
itu suci dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan
pembaharuan (LG.8).
Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan
kesempurnaan hidup mereka. Oleh karena itu, hendaklah semua memperhatikan, agar mereka
mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih
yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan melekat pada
kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasihat Rasul: Orang yang
menggunakan barang dunia ini jangan sampai berhenti di situ: sebab berlalulah dunia seperti
yang kita kenal sekarang (lih. 1Kor.7:31).
Lumen Gentium artikel 8 ini dibuka dengan pembicaraan tentang eklesiologi, yaitu pembicaraan
tentang hakikat Gereja yang sekaligus kelihatan dan tak kelihatan. Setelah itu dilanjutkan secara
berturut-turut tiga gagasan yang menggambarkan kondisi nyata Gereja yang dihidupi manusia dengan
segala keterbatasannya, yaitu miskin, berdosa, dan menderita. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
Gereja yang dihidupi manusia konkret adalah Gereja yang memiliki keterbatasan. Ada tiga ciri yang
menggambarkan keterbatasan itu, yaitu ‘Gereja Miskin’, ‘Gereja Berdoa’, dan ‘Gereja Mengembara’.
Terkait Gereja Miskin, Konsili mengajarkan bahwa Gereja itu harus serupa dengan Kristus. Oleh
karena Kristus itu miskin, Gereja juga harus miskin: “Seperti Kristus melaksanakan karya keselamatan
dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pun Gereja”. Oleh karena itu, Gereja sendiri harus hidup
miskin seperti Kristus. Gereja harus mengikuti kepalanya dalam perhatian dan cinta kasih-Nya
terhadap orang miskin. Kemiskinan Kristus adalah tanda cinta kasih-Nya terhadap manusia. Sikap ini
harus merupakan sikap Gereja pula. Kemiskinan Gereja pertama-tama adalah sikap dan rasa
solidernya dengan orang miskin. Tanda bahwa Gereja adalah Gereja Kristus adalah saat pewartaan
Gereja itu berpusat pada orang miskin dan kecil. Kemiskinan Gereja berarti Gereja bersama dengan
Kristus menyatukan diri dengan orang miskin yang oleh Kristus disebut ‘saudara-Ku’ (Jacobs & Dr,
1970).
Selanjutnya dokumen lain dari Konsili Vatikan II, yaitu Konstitusi Pastoral tentang Gereja di
Dunia Dewasa ini ‘Gaudium et Spes’ (GS) artikel 1 juga menyampaikan ajakan kepada murid-murid
Kristus supaya ikut serta dalam suka dan duka masyarakat, terutama yang miskin dan terlantar.
Konstitusi Pastoral tentang ‘Gereja di Dunia Dewasa ini’ terdiri dari dua bagian yang merupakan suatu
kesatuan. Konstitusi disebut ‘pastoral’ karena bermaksud menguraikan hubungan Gereja dengan
dunia dan umat manusia zaman sekarang berdasarkan azas-azas ajaran. Oleh karena itu, bagian
pertama tidak terlepas dari maksud pastoral, seperti bagian kedua pun tidak terlepas dari maksud
mengajar.
Dalam bagian pertama, Gereja memaparkan ajarannya tentang manusia, tentang dunia yang
didiaminya, dan tentang hubungannya dengan keduanya. Dalam bagian kedua ditelaah secara lebih
cermat pelbagai segi kehidupan serta masyarakat manusia zaman sekarang. Khususnya, disoroti soal-
soal dan masalah-masalah yang dewasa ini nampak lebih mendesak. Oleh karena itu, dalam bagian
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 160 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
kedua ini bahan ulasan, berpedoman pada kaidah-kaidah ajaran, bukan hanya mencantumkan unsur-
unsur yang serba tetap, melainkan juga menyajikan hal-hal yang silih berganti. Dianjurkan supaya
Konstitusi ini ditafsirkan menurut kaidah-kaidah umum penafsiran teologis. Secara khusus, dalam
bagian kedua diminta diperhitungkan keadaan-keadaan yang dapat berubah yang pada hakikatnya
tidak terpisahkan dari pokok-pokok yang diuraikan (Wilde, 2018).
Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum
miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak
bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan
dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan
telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan
mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya
(GS 1).
Berbeda dengan yang diungkapkan Lumen Gentium, semangat dasar Konstitusi Pastoral tentang
Gereja dalam Dunia Modern ini bukan tentang kepedulian terhadap orang miskin, melainkan
mengenai pengakuan otonomi dunia. Dalam konteks itulah Gaudium et Spes menanggapi soal
kemiskinan.
Ajaran Sosial Gereja (ASG) tentang Orang Miskin
Secara jelas, rinci, dan berkelanjutan Gereja merumuskan sikap serta ajarannya berhadapan
kenyataan sosial-kemasyarakatan yang terus-menerus berubah, termasuk di dalamnya masalah
kemiskinan. Sikap dan ajarannya itu tertuang dalam himpunan Ajaran Sosial Gereja (ASG) Katolik.
Ajaran Sosial Gereja merupakan suatu proses diskusi dan refleksi Gereja semesta berhadapan dengan
situasi sosial kemasyarakatan konkret. Buah-buah diskusi dan refleksi itu dituangkan dalam dokumen-
dokumen yang menjadi ajaran sosial resmi Gereja. Biasanya, dokumen-dokumen itu dipublikasikan
dalam wujud ensiklik-ensiklik dan surat apostolik. Sebagian besar dari ensiklik dan surat apostolik
yang tergabung dalam ASG itu berbicara tentang kemiskinan. Oleh karena Ajaran Sosial Gereja
mempunyai keprihatinan tertentu yang muncul dalam konteks zamannya sebagai tanggapan Gereja
atas persoalan itu, tentu ada perkembangan atau pergeseran ajaran sosial Gereja dari waktu ke waktu.
Ajaran Sosial Gereja berguna bagi Gereja untuk mencari makna bagi tindakan yang dilakukan sehingga
meskipun tindakan itu terbatas hanya seputar tempatnya berada, tetapi tetap mengena pada nilai
kemanusiaan dan keadilan yang berwawasan semesta (Schultheis, 1988).
Rerum Novarum (1891) adalah ensiklik pertama tentang Ajaran Sosial Gereja. Di dalam ensiklik ini,
untuk pertama kali secara resmi Gereja mendekati persoalan buruh secara struktural. Artinya,
mendiskusikan persoalan buruh sebagai masalah keadilan sosial. Masalah buruh tidak lagi dipandang
sebagai masalah individual si pemilik perusahaan berhubungan dengan buruhnya. Rerum Novarum
terutama membela dengan sepenuh hati martabat para pekerja yang tidak dapat dicabut, yang terkait
dengan pentingnya hak milik, prinsip kerja sama di antara kelas-kelas sosial, hak-hak kaum lemah dan
kaum miskin, kewajiban-kewajiban para buruh dan majikan, serta hak untuk berserikat (Komisi
Kepausan, 2009). Sejak itu disadari bahwa kemiskinan buruh diangkat ke ranah sosial, sehingga
penanganannya tidak cukup dengan tindakan karitatif saja.
Cara pandang struktural ini kemudian dikemukakan lagi dalam Ensiklik Quadragesimo Anno
(1931). Ajaran sosial terpenting dari ensiklik ini adalah bahwa untuk pertama kalinya Gereja Katolik
menetapkan prinsip solidaritas dan prinsip subsidiaritas. Kedua prinsip ini berfungsi mengatur
struktur masyarakat demi mengatasi permusuhan kelas. Tanpa solidaritas dan subsidiaritas, yang
lemah selalu kalah. Berdasarkan prinsip subsidiaritas ini, semua lembaga dari satu tatanan yang lebih
tinggi harus menerapkan perilaku menolong (subsidium). Dengan tindakan itu, lembaga tersebut
mendukung, memajukan, dan mengembangkan lembaga-lembaga dari tatanan yang lebih rendah.
Dengan cara demikian satuan-satuan sosial perantara dapat secara tepat melaksanakan fungsi-fungsi
yang diembankan kepadanya tanpa dipaksa untuk mengalihkannya secara tidak adil kepada satuan-
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 161 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
satuan sosial lain dari tatanan yang lebih tinggi, yang menyebabkan satuan-satuan sosial perantara tadi
akan terpuruk karena diserap dan digantikan. Akibatnya, martabat serta tempat mereka yang hakiki
diingkari (Pius XI, 1931: 203).
Sedangkan dalam Ensiklik Mater et Magistra (1961) untuk pertama kali dalam Ajaran Sosial Gereja
dibicarakan masalah kemiskinan yang dialami negara-negara berkembang, yaitu negara-negara yang
membutuhkan bantuan. Melalui ensiklik ini, Paus mendesak negara-negara maju dan kaya untuk
mengembangkan solidaritas antar-bangsa. Solidaritas secara khusus bertugas menonjolkan hakikat
sosial yang intrinsik dari pribadi manusia, kesetaraan semua orang dalam martabat dan hak-hak ,serta
jalan bersama individu-individu dan bangsa-bangsa menuju kesatuan yang semakin kokoh. Tidak
pernah sebelumnya terdapat suatu kesadaran yang tersebar luas mengenai ikatan saling
ketergantungan antara individu-individu dan bangsa-bangsa yang ditemukan dalam setiap tingkatan
(Yohanes XXIII, 1961: 415-417).
Setahun kemudian Paus Yohanes XXIII mengeluarkan Ensiklik Pacem in Terris (1962) yang
menghubungkan masalah kemiskinan dan ketidakadilan dengan perdamaian. Perdamaian hanya bisa
dicapai jika tidak ada kemiskinan atau ketidakadilan. Jika menghendaki perdamaian, manusia harus
menghapus kemiskinan dan ketidakadilan. Dalam dokumen ini Paus Yohanes XXIII berpendapat
bahwa perdamaian dapat ditegakkan hanya jika tata tertib yang ditentukan Tuhan dipatuhi sepenuh-
penuhnya. Dengan berpegang seluas-luasnya pada akal budi dan tradisi hukum kodrat, Paus Yohanes
XXIII memperinci daftar hak-hak yang harus dipenuhi orang-perorangan, pejabat, pemerintah negara
dan masyarakat dunia. Perdamaian perlu didasarkan atas suatu aturan yang ‘ditegakkan di atas
kebenaran, dibangun sesuai dengan keadilan, dihidupkan dan diintegrasikan cinta kasih dan
dilaksanakan dalam praktik dalam kebebasan’ (Schultheis, 1988).
Selanjutnya Paus Paulus VI mengeluarkan Populorum Progressio (1967), ensiklik mengenai Ajaran
Sosial Gereja pertama yang sepenuhnya berbicara tentang perkembangan bangsa-bangsa serta
mengenai hubungan antara negara kaya dan negara miskin. Sedangkan dalam Surat Apostolik
Octogesima Adveniens (1971) Paus Paulus VI membuka kepincangan-kepincangan antara negara kaya
dan negara miskin. Ia juga membicarakan diskriminasi rasial dan alienasi oleh konsumerisme. Terkait
konsumerisme yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan, Octogesima Adveniens menyatakan
bahwa kecenderungan pada eksploitasi ‘yang acak-acakan’ terhadap sumber-sumber daya ciptaan
merupakan hasil dari proses historis dan kultural yang panjang (Paulus VI, 1971: 417).
Pada tahun yang sama Paus Paulus VI mengeluarkan dokumen De Iustitia in Mundo. Sebagai hasil
Pernyataan Sinode Para Uskup se-Dunia, dokumen ini berbicara tentang penegakan keadilan sebagai
dimensi konstitutif pewartaan Injil. Pewartaan Injil tanpa usaha menegakkan keadilan bukanlah
pewartaan Injil yang sungguh-sungguh. Para uskup menegaskan bahwa prinsip-prinsip injili
mengamanatkan keadilan demi pembebasan segenap manusia sebagai ungkapan hakiki dari cinta
kasih Kristiani. Gereja harus bersaksi demi keadilan lewat gaya hidupnya sendiri, aktivitas-aktivitas
pendidikan, dan aksi internasionalnya (Schultheis, 1988). Pengertian Gereja tentang keadilan adalah
kehendak yang tetap dan teguh untuk memberikan kepada Tuhan dan sesama apa yang menjadi hak
mereka (Aquinas, 1993). Dalam nada yang sama Paus Paulus VI menulis Surat Apostolik Evangelii
Nuntiandi (1975). Dalam Surat Apostolik itu Paus menyatakan bahwa pewartaan Injil baru menjadi
suatu pewartaan Injil yang utuh jika memperhatikan timbal balik antara Injil dan kehidupan konkrit
manusia. Pewartaan Injil tidak boleh mengabaikan masalah-masalah keadilan, pembebasan dan
perdamaian di dalam dunia.
Selanjutnya Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Ensiklik Laborem Exercens (1981) mengenai
martabat kerja manusia. Menurut dokumen ini, kerja adalah suatu hak fundamental dan suatu
kebaikan bagi umat manusia. Kerja adalah suatu kebaikan yang bermanfaat dan sepantasnya bagi
manusia karena kerja merupakan cara yang tepat baginya untuk memberi ungkapan bagi dan
mempertinggi martabat manusiawinya (Paulus II, 1981: 598-600). Martabat manusia pekerja sangat
dijunjung tinggi. Ia mendesak perubahan radikal yang membela orang-orang tak berdaya berhadapan
dengan orang-orang atau kelompok-kelompok berkuasa. Kerangka ajaran ini kemudian dilanjutkan
dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987).
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 162 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
Ensiklik ini sangat menekankan perlunya perubahan struktur-struktur dan mekanisme-
mekanisme yang tidak adil, serta perlunya solidaritas global. Melalui dokumen ini Paus Yohanes
Paulus II menekankan bahwa Gereja dipanggil untuk membela orang miskin. Gereja harus berdiri di
pihak orang miskin. Sedangkan dalam Ensiklik Centesimus Annus (1991), Paus Yohanes Paulus II
mengemukakan kembali prinsip perhatian khusus bagi orang miskin, dengan beberapa nada baru.
Antara lain, penilaian yang agak positif tentang ekonomi sistem pasar, ekonomi persaingan bebas, dan
ekonomi internasional yang liberal. Akan tetapi, Paus Yohanes Paulus II tetap menekankan bahwa
negara tetap harus berperan untuk mengatur sistem ekonomi pasar sehingga tidak mengorbankan
orang miskin dan kecil (Paulus II, 1991: 853).
Magisterium tentang Kemiskinan
Dasar Alkitabiah dan dasar-dasar Tradisi Gereja yang terwujud dalam dokumen-dokumen
Konsili serta Ajaran Sosial Gereja menemukan wujud aktual dan relevansi dalam sejumlah Magisterium
(kuasa mengajar Gereja). Magisterium itu secara konkret terwujud dalam teologi atau ajaran yang
berhadapan langsung dengan arus zaman. Aktualisasi teologi ini ditekankan Dr. Anton Gerrit Honig
Jr (Honig, 1987) dalam tulisannya Exchange 32/33, 1982 (Honig, 1982). Salah satu penekanannya adalah
bahwa teologi tidak pernah boleh merupakan tujuan di dalam dirinya sendiri. Menjadi tugas teologi
untuk melayani orang-orang percaya yang mau tidak mau harus hidup dalam suatu konteks Anton
Gerrit Honig kultural tertentu. Oleh karena itu, suatu teologi yang tidak memiliki sangkut paut dengan
konteks tidak akan bermanfaat bagi gereja dan masyarakat setempat (Lambino, 1981). Dalam konteks
kemiskinan dan pembangunan, teologi memandang perlunya Gereja mewujudkan dirinya secara
konkret dalam kehidupan di tengah masyarakat modern dalam tiga cara, yaitu Gereja karitatif, Gereja
solider, dan Gereja profetis.
Gereja Karitatif
Bentuk yang paling tua tanggapan terhadap orang miskin dan menderita adalah tindakan cinta
kasih (caritas) berupa memberi derma, pakaian dan makan, melayani orang sakit dan yatim-piatu.
Singkatnya, memberikan barang dan jasa yang dibutuhkan yang berkekurangan guna mengurangi
penderitaan mereka. Paus Fransiskus dalam Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (EG – 2013)
mengungkapkan bahwa Gereja masa kini adalah gereja yang terluka, sakit, dan kotor karena telah
pergi keluar ke jalan-jalan, daripada suatu Gereja yang sakit karena hidupnya terkurung dan
tergantung pada keamanan dan kenyamanannya sendiri (EG.49) (Elwood, 1992).
Karya karitatif bisa dalam dua model, yaitu karya karitatif individual dan karya karitatif
institusional. Karya karitatif individual adalah tindakan amal secara perorangan. Misalnya, yang
umumnya dilakukan orang-orang kaya dan juga dilakukan orang-orang berkuasa. Sedangkan karya
karitatif institusional itulah yang dilakukan lembaga-lembaga bantuan, baik itu milik Gereja maupun
milik masyarakat. Karya amal itu sesuatu yang sangat nyata dan sesuatu yang positif. Namun, Gereja
karitatif ini tidak tanpa masalah atau tidak tanpa kritik. Masalahnya, apakah Gereja selalu memiliki
secara memadai barang-barang untuk didermakan kepada orang miskin dan menderita. Itulah kritik
terhadap model pendekatan karitatif ini. Orang miskin dan kecil yang menderita itu langsung
dipandang sebagai ‘objek’, meskipun itu objek kebaikan. Orang kecil dan miskin itu dijadikan sebagai
objek kebaikan atau sebagai objek belas kasihan. Dengan demikian, Gereja sudah menempatkan
mereka sebagai orang di luar, sebagai bukan orang dalam atau yang menjadi bagian dari komunitas.
Di sini Gereja seolah tidak sanggup lagi menerima mereka sebagai ‘subjek’ atau sebagai saudara
(Magnis-Suseno, 1993).
Penderma yang pada umumnya adalah orang kaya dan orang berkuasa, membanggakan diri
karena telah berbuat baik bagi orang miskin. Oleh karena itu, ia dihormati oleh masyarakat.
Pendekatan karya amal ini memang mudah tergelincir kepada kesombongan sosial. Penderma
memberikan sumbangan sering didampingi media untuk diwartakan, supaya diketahui banyak orang
bahwa mereka telah berbuat baik bagi sesama. Gereja tidak menghapus model pendekatan karya amal
ini. Bagaimanapun tindakan karitatif ini adalah model pelayanan tertua dalam Gereja. Dalam kondisi
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 163 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
tertentu, seperti bencana alam, Gereja masih membutuhkan ‘dapur umum’. Oleh karena itu, Gereja
tetap pertahankan karya karitatif itu. Gereja hanya perlu dengan hati-hati supaya tidak tergelincir pada
kesombongan sosial, yang juga sudah dikritik Yesus.
Gereja Solider
Bentuk tanggapan Gereja yang kedua dalam sejarah pelayanan Gereja terhadap yang menderita
miskin dan sakit adalah solidaritas. Menurut Jon Sobrino, solidaritas adalah sesuatu yang berakar dari
kenyataan historis, terutama kemiskinan. Kemiskinan itu menuntut orang di sekitarnya untuk
mengambil sikap berbela rasa dan mengambil tindakan efektif untuk mengangkat orang dari situasi
miskin tersebut (Sobrino & Pico, 1985). Mengikuti Yesus berarti mengikuti sikap Yesus dan terutama
sikap Allah sendiri, yang bersolider dengan manusia yang menderita dan berdosa. Salah satu sikap
Yesus yang mencolok adalah solidaritas-Nya terhadap semua orang, terutama mereka yang sakit dan
menderita, dengan pendosa, dan dengan mereka yang lapar. Bahkan, Ia solider sampai mati di kayu
salib.
Kekhasan solidaritas kristiani adalah bahwa kesetiakawanan itu terlihat dalam sikap saat
berhadapan dengan orang kecil yang miskin dan lemah dan bukan dalam sikap terhadap orang kaya
dan orang berkuasa. Mengapa setiakawan dengan orang kaya atau berkuasa bukan solidaritas yang
diharapkan Yesus? Menurut Yesus, solidaritas yang sebenarnya kelihatan saat Gereja tidak dapat
mengharapkan balasan dari kebaikan tu. Sedangkan kesetiakawanan Gereja dengan orang kaya atau
berkuasa selalu terbuka kemungkinan adanya balasan.
Sikap ini sesuai dengan pesan Injil, yaitu bahwa Tuhan tidak netral. Tuhan selalu berpihak. Tuhan
selalu berpihak kepada orang miskin dan bukan orang kaya atau orang berkuasa. Tuhan berpihak pada
orang miskin, bukan karena mereka memiliki sifat-sifat yang istimewa. Tuhan berada di pihak kaum
miskin sebab mereka adalah orang yang tak berdaya dan tak seorang pun yang membela mereka.
Keberpihakan Gereja kepada orang miskin diambil tidak berdasarkan suatu gambaran ideal mengenai
orang miskin, seakan-akan pada mereka akan ditemukan segala kebajikan yang tidak ditemukan pada
orang kaya dan orang berkuasa. Akan tetapi, itu dilakukan karena Gereja konsekuen pada komitmen
kita dengan Tuhan sendiri yang berpihak orang miskin. Setiap penderitaan terhadap martabat pribadi
manusia menimbulkan jeritan menuntut balas dari Tuhan sebab pencederaan tersebut merupakan
perlawanan terhadap Pencipta dan setiap manusia ciptaan-Nya (Paulus II, 1991: 461).
Gereja Profetis
Solidaritas itu harus dimiliki setiap pengikut Kristus. Akan tetapi, keprihatinan atau solidaritas
itu bersifat mendua. Di satu pihak sikap solidaritas memang merupakan dasar segenap perjuangan
demi keadilan yang berorientasi pada manusia konkret. Di lain pihak sikap solidaritas itu tidak
memadai karena bersifat sepihak dan tidak menghapus sebabnya, yaitu ketergantungan. Berprihatin
dapat menjadi kedok untuk mengelak dari sikap dan tindakan yang harus dituntut dari Gereja, yaitu
membebaskan mereka yang menderita miskin, mengakui hak mereka yang lemah dan melepaskan
kekuasaan Gereja atas mereka.
Jika hanya sampai pada sikap ‘karitatif’ dan ‘solider’, berarti Gereja masih memandang bahwa
kemiskinan dan penderitaan orang-orang kecil itu sebagai kenyataan alamiah, sebagai nasib, dan
bukan sebagai akibat dari struktur sosial yang tidak adil. Karitas dan solidaritas tetap dipertahankan
dan dijalankan. Akan tetapi, keduanya harus dilengkapi dengan sikap ‘profetis’. Gereja harus berani
membongkar ketidakadilan struktur-struktur masyarakat yang menyebabkan adanya kemiskinan atau
boleh juga disebut pemiskinan.
Sikap profetis tersebut memiliki dua model, yaitu ‘profetis kritis’ dan ‘profetis kreatif’. Profetis
kritis, bermakna Gereja mengeritik atau membongkar sampai ke akarnya struktur sosial yang tidak
adil yang menyebabkan kemiskinan atau pemiskinan itu. Sedangkan profetis kreatif bermakna Gereja
melibatkan diri secara konkret mengambil tindakan mengatasi keadaan itu. Misalnya, membangun
pertanian dan peternakan. Gereja membangun di sini sebenarnya juga menjadi suatu kritik kepada
pemerintah, karena sesungguhnya pemerintahlah yang harus melakukan pembangunan itu. Dengan
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 164 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
kata lain, harus dihindari bahaya sekadar mengkritik terus-menerus, tanpa usulan positif yang lebih
baik.
Pendekatan profetis kreatif akan lebih meyakinkan daripada hanya melemparkan kritik (M Taufiq
Rahman, 2014). Dalam model sikap profetis, ada tiga bentuk keterlibatan pada kaum miskin (Y. B.
Banawiratma & Muller, 1994): Pertama, terbatas dalam wujud kunjungan ke komunitas-komunitas
orang miskin, pertemuan-pertemuan, pendampingan terbatas, dan dukungan terhadap komunitas-
komunitas beserta gerakan-gerakan mereka. Kedua, kerja ilmiah. Wujudnya adalah menjalankan
penelitian, menyampaikan penalaran profetis dan kritis-kreatif yang didorong keterlibatan praktis
yang didasari keprihatinan terhadap komunitas tersebut. Ketiga, hidup di tengah dan bekerja bersama
masyarakat miskin itu.
Menurut Seruan Apostolik Paus Yohanes Paulus II (1984), Reconciliatio et pænitentia”, (Arokiasamy,
1991), dosa sosial (Nell-Breuning, 1987), memiliki tiga pengertian. Pertama, menunjuk pengaruh sosial
atas dosa, sebagai akibat solidaritas manusiawi yang mengenai dan mempengaruhi orang lain. Kedua,
dosa-dosa yang melawan sesama. Misalnya, dosa-dosa melawan keadilan yang dilakukan seorang
individu melawan komunitas, maupun dilakukan komunitas melawan individu. Ketiga, melawan
rencana Allah berkaitan dengan struktur-struktur sosial. Dalam arti terakhir ini dosa tertanam dalam
struktur-struktur kehidupan masyarakat.
3. Kesimpulan
Kerinduan Gereja untuk mengikuti Yesus dan mencari serta menemukan Tuhan hanyalah otentik
jika diwujudkan dalam keterlibatan kasih mendahulukan orang miskin dan menderita. Akan tetapi,
perwujudan tanggung jawab sosial itu, baik dijalankan secara pribadi maupun secara institusional,
selalu berhadapan dengan kenyataan, yang disebut ‘dosa sosial’ atau struktur-struktur dosa. Struktur-
struktur dosa ini menjadi penyebab timbulnya kemiskinan.
Dosa sosial itu menciptakan lingkungan yang memungkinkan dosa personal dipermudah dan
dianggap wajar. Di sini ada hubungan timbal balik antara dosa pribadi dan dosa sosial. Dosa pribadi
memperkuat struktur dosa dan struktur dosa menyeret dosa pribadi. Struktur-struktur itu adalah
kenyataan konkret, yang meskipun semula berakar pada dosa pribadi, pada gilirannya mempunyai
kekuatan sendiri. Artinya, pada gilirannya kekuatan-kekuatan dosa yang terwujud dalam struktur
sosial tersebut menjadi sulit dibasmi, juga kalau individu-individu menghendakinya.
Oleh karena dosa pribadi dan struktur dosa mempunyai hubungan timbal balik, pertobatan
pribadi dan pertobatan sosial diperlukan supaya perubahan struktur demi kemajuan masyarakat dapat
tercipta. Pertobatan personal mempunyai pengaruh sosial dan dapat menggerakkan pertobatan
komunal. Pada gilirannya pertobatan personal dan pertobatan komunal diharapkan dapat mewujud
dalam tindakan atau gerakan sosial yang bersifat struktural untuk mengubah struktur-struktur yang
menindas. Dengan demikian, kemiskinan dan pembangunan menjadi ranah Gereja untuk
mewujudkan tindak pertobatannya, yaitu dengan merintis, membangun, dan mengembangkan tindak
berkeadilan bagi semua masyarakat di mana Gereja hidup dan berkarya.
Referensi
Aquinas, T. (1993). The Treatise on Law (Summa Theologiae, I-II; qq. 90-97). Indiana: University of Notre Dame Pess.
Arokiasamy, S. (1991). Sinful Structures in the Theology of Sin, Conversion and Reconciliation. In S. Arokiasamy
& F. Podimattam (Eds.), Social Sin. Its Challenges to Christian Life. Bangalore: Claretian Publications.
Banawiratma, J. B. S. J. (2002). 10 agenda pastoral transformatif: menuju pemberdayaan kaum miskin dengan perspektif adil
gender, HAM, dan lingkungan hidup. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Banawiratma, Y. B., & Muller, J. (1994). Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman.
Yogyakarta: Kanisius.
Boff, L. (2011). Passion of Christ, passion of the world. New York: Orbis Books.
Davies, E. W. (1998). R. Norman Whybray, Introduction to the Pentateuch. Journal of Semitic Studies, XLIII(1), 151–
152. //doi.org/10.1093/jss/XLIII.1.151
Dister, N. S. (2020). Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius.
Elwood, D. J. (1992). Teologi Kristen Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 165 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
Gutiérrez, G. (1988). A Theology of Liberation. Monthly Review, 36(3), 93. //doi.org/10.14452/MR-036-03-1984-
07_11
Harold, G. (2018). Evangelicals and social justice: Towards an alternative Evangelical community. Conspectus: The
Journal of the South African Theological Seminary, 25(1), 21–37.
Honig, A. G. (1982). Exchange. Leiden: Interuniversitair Institute voor Misiologie en Oecumenica (IIMO) Leiden.
Honig, A. G. (1987). Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jacobs, T., & Dr, S. J. (1970). Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” mengenai Gereja: Terjemahan, Introduksi, Komentar
I (Vol. 27). Yogyakarta: Kanisius.
Jamasy, O. (2004). Keadilan, pemberdayaan, dan penanggulangan kemiskinan. Jakarta: Belantika.
Kim-Cragg, H. (2019). Voices from the Margin: Interpreting the Bible in the Third World ed. by R. S. Sugirtharajah.
The Catholic Biblical Quarterly, 81(1), 166–169. //doi.org/10.1353/cbq.2019.0086
Komisi Kepausan untuk Keadilan. (2009). Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Maumere: Penerbit
Ledalero.
Lambino, A. B. (1981). Zur theologischen Methode in der Kontextualisierung: Kritik an einigen asiatischen
Ansätzen.(La méthode théologique adaptée au milieu. Critique de quelques essais en Asie). Zeitschrift Für
Missionswissenschaft Und Religionswissenschaft Münster, 65(1), 1–13.
Lestari, D. T., & Parihala, Y. (2020). Merawat Damai Antar Umat Beragama Melalui Memori Kolektif dan Identitas
Kultural Masyarakat Maluku. Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama.
//doi.org/10.15575/hanifiya.v3i1.8697
Magnis-Suseno, F. (1993). Beriman dalam Masyarakat. Butir-Butir Teologi Kontekstual. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Magnis-Suseno, F. (2019). Kekuasaan, Homoseksualitas, Kemunafikan? Majalah Rohani, 66(08), 10–14.
Michel, P. (2017). Contribution to a Socio-History of the Relations Between “Nation” and “Religion”: The Case of
Catholicism. In Religions, Nations, and Transnationalism in Multiple Modernities (pp. 19–36). New York:
Palgrave Macmillan US. //doi.org/10.1057/978-1-137-58011-5_2
Nell-Breuning, O. von. (1987). ‘Soziale’ Sünde oder institutionalisiertes Unrecht? Stimmen Der Zeit< Freiburg,
Breisgau>, 205(3), 205–208.
Pareira, B. A. (2006). Kritik Sosial Politik Nabi Yesaya. In Malang: Penerbit Dioma. Malang: Penerbit Dioma.
Paulus II, P. Y. (1981). Ensiklik Laborem Exercens, 9, 18: AAS 73.
Paulus II, P. Y. (1991). Ensiklik Centesimus Annus, 48: AAS 83.
Paulus VI, P. (1971). Surat Apostolik Octogesima Adveniens, 21: AAS 63.
Pieris, A. (2018). Political Theologies in Asia. In The Wiley Blackwell Companion to Political Theology (pp. 250–263).
Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd. //doi.org/10.1002/9781119133759.ch18
Pius XI, P. (1931). Ensiklik Quadragesimo Anno: AAS 23.
Rahman, M. T. (2018). Pengantar filsafat sosial. Bandung: Lekkas.
Rahman, M Taufiq. (2014). Social Justice in Western and Islamic Thought: A Comparative Study of John Rawls’s and
Sayyid Qutb’s Theories. Saarbruken: Scholars’ Press.
Rubianto, V. (1996). Paradigma Asia: pertautan kemiskinan dan kereligiusan dalam teologi Aloysius Pieris. Yogyakarta:
Kanisius.
Schultheis, J. (1988). Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius.
Smith, S. (2009). Voices from the Margin: Interpreting the Bible in the Third World. Mission Studies, 26(1), 103–104.
//doi.org/10.1163/157338309X450165
Sobrino, J., & Pico, J. H. (1985). Theology of Christian Solidarity, trans. In Phillip Berryman (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1985), p. II.
Suryawasita, A. (1987). Analisis Sosial. In J. B. Banawiratma (Ed.), Kemiskinan dan Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Wibisono, M. Y. (2021). Agama dan Resolusi Konflik. Bandung: Lekkas dan FKP2B Press.
Wilde, M. J. (2018). Vatican II. Princeton: Princeton University Press.
Woodington, J. D. (2020). 4 The Gospel Of Luke. In The Dubious Disciples (pp. 98–136). Berlin: De Gruyter.
//doi.org/10.1515/9783110691788-005
Yohanes XXIII, P. (1961). Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53.
© 2021 by the author. Submitted for possible open access publication under the
terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA)
license (//creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 4, 2 (2021): 155-166 166 dari 166
R.F. Bhanu Viktorahadi, Mochamad Ziaul Haq, Yeni Huriani/Cara Pandang Gereja terhadap Kemiskinan dan Pembangunan
Halaman ini sengaja dikosongkan