Mengapa tingkat pendapatan nasional yang tinggi belum tentu menggambarkan kesejahteraan masyarakat?

Pendapatan per kapita dan pendapatan nasional merupakan salah satu faktor yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi, hal tersebut menjadi indikator yang penting dalam mengukur tingkat kesejahteraan rakyat di suatu negara.

Negara dengan pendapatan nasional yang tinggi belum tentu diikuti dengan tingkat kesejahteraan atau kemakmuran rakyatnya. Meskipun dengan pendapatan nasional yang tinggi dapat mengindikasikan pendapatan per kapita yang tinggi pula tetapi kurang menunjukkan tingkat distribusi pendapatan yang merata bagi setiap rakyatnya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi masing-masing negara seperti:

  1. Kurang meratanya distribusi pendapatan
  2. Keadaan sumber daya manusia
  3. Keadaan sumber daya alam
  4. Ketersediaan modal
  5. Stabilisasi dan kebijakan yang mantap.

Lihat Foto

SHUTTERSTOCK

Ilustrasi Indonesia

KOMPAS.com - Pendapatan nasional yang dibagi dengan jumlah penduduk adalah pendapatan per kapita.

Pendapatan per kapita merupakan salah satu istilah dalam bidang ilmu ekonomi dan tidak asing bagi masyarakat.

Pendapatan per kapita adalah pendapatan rata-rata semua penduduk di suatu negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendapatan per kapita merupakan pendapatan nasional dibagi jumlah penduduk.

Dalam buku Successful Financial Planner (2009) karya Adler N. Manurung, pendapatan per kapita berfungsi untuk mengukur nilai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi nasional.

Selain itu juga untuk mengukur kesehatan ekonomi suatu negara secara luas. Pendapatan per kapita dilaporkan sebagai bentuk nyata pertumbuhan ekonomi.

Baca juga: Apa itu Resesi Ekonomi?

Secara sederhana, pendapatan per kapita akan menunjukkan rata-rata pendapatan setiap warga Indonesia yang produktif (usia kerja) berdasarkan indikator ekonomi makro.

Pendapatan per kapita di dapatkan dari pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah pendudul di negara tersebut.

Pendapatan per kapita juga merefleksikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. PDB dan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) sangat diperlukan untuk menentukan besarnya pendapatan per kapita.

Tolak ukur kemakmuran dan pembangunan

Pendapatan per kapita sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara.

Naiknya pendapatan per kapita bisa mencerminkan bahwa negara atau lebih spesifiknya masyarakat lebih makmur dibandingkan masyarakat negara lain.

Baca juga: Pembangunan Ekonomi: Pengertian dan Elemen Pentingnya

Lihat Foto

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para pekerja pemetik teh di perkebunan teh di Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menyelesaikan pemetikan teh, Selasa (7/5/2013). Indonesia masih rendah dalam pemanfaatan konsumsi teh, yaitu 250 gram per kapita per tahun, dibandingkan Inggris yang mencapai 7 kilogram per kapita per tahun. Padahal sekitar 2 juta orang dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia bersumber penghidupan dari komoditas teh, mulai pemetik hingga penjual minuman.

JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Pusat Statistik (BPS) melansir pendapatan per kapita masyarakat Indonesia naik dari Rp 41,9 juta per tahun per kapita pada 2014 menjadi Rp 45,18 juta per tahun per kapita pada 2015.

Pendapatan per kapita pada 2015 tersebut juga meningkat bila dibandingkan 2013 yang sebesar Rp 38,37 juta per tahun per kapita.

Meskipun pendapatan per kapita menunjukkan tren kenaikan, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, kesejahteraan masih belum dirasakan oleh masyarakat miskin. Hal tersebut terlihat dari indeks gini rasio yang tidak menunjukkan perbaikan bahkan sejak 2011.

“Kenaikan PDB per kapita itu karena 20 persen masyarakat teratas tumbuhnya jauh lebih cepat. Masyarakat terbawah tidak tumbuh, atau bahkan menurun. Pendapatan per kapita itu kan total pendapatan dibagi penduduk. Kalau dilihat size memang meningkat, tapi masih ada kesenjangan sehingga yang menikmati hanya 20 persen teratas,” kata Enny di Jakarta, Minggu (7/2/2016).

Berdasarkan catatan BPS, indeks gini rasio sejak 2011 hingga 2014 ada di level 0,41. Padahal tahun lalu, pemerintah berharap kesenjangan antara kaya-miskin makin sempit menjadi 0,40.

Sementara itu, pemerintah dan wakil rakyat pun telah bersepakat untuk menurunkan indeks gini rasio di tahun 2016 ini menjadi di level 0,39. Untuk mencapai target tersebut, lanjut Enny, pemerintah harus mengambil kebijakan yang tepat untuk mendorong distribusi pendapatan.

“Bisa dengan pajak progresif. Yang seperti ini kan tidak pernah efektif dilakukan. Kedua, peningkatan akses pembiayaan ke UMKM. Tapi yang paling efektif memang lewat fiskal, pajak. Misalnya, kepemilikan properti itu dilakukan dengan pajak. Ini kan bisa membantu distribusi pendapatan,” ungkap Enny.

Selain dari penerapan pajak progresif, tambahnya, kebijakan pemerintah seperti peningkatan dana desa juga berpotensi memperbaiki kesejahteraan masyarakat lapis bawah.

“Memang di tahun 2015 lalu kan, dana desa baru mencari format. Tahun 2016 baru mencari fokus. Jadi, efektifnya dana desa untuk masyarakat miskin itu mungkin baru 2017,” ucap Enny.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo. Prastowo mengatakan, melihat peningkatan pendapatan di satu sisi dan melebarnya ketimpangan di sisi lain, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan fiskal yang pro-pemerataan.

By : Iqbal Hasanudiin

Indonesia adalah salah satu pelaku utama ekonomi global. Hal ini ditunjukkan oleh keanggotaan Indonesia di dalam organisasi ekonomi dunia G-20 (the Group of Twenty). Ini adalah organisasi yang berisi 19 negara dengan perekonomian terbesar di dunia ditambah dengan Uni-Eropa. Negara-negara ini tercatat memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang sangat tinggi. Amerika Serikat memimpin dengan PBD per kapita mencapai US$ 67,4 ribu, disusul oleh Australia (US$ 53 ribu), Jerman (US$ 48 ribu), Kanada (US$ 47,9 ribu), Jepang (US$ 43 ribu) dan Perancis (US$ 42,6 ribu). Adapun PDB per kapita Indonesia berada pada US$ 4.160.

Meskipun memiliki angka PDB per-kapita yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara G-20 lainnya, Indonesia mempunyai angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi global. Di akhir 2019, Indonesia menempati posisi kedua dalam pertumbuhan ekonomi setelah Tiongkok yang mencapai 6,1 persen. India, Korea Selatan dan Amerika Serikat berada di bawah Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi 4,7 persen, 2,2 persen dan 2,1 persen.

Di awal 2020, Indonesia menikmati angka pertumbungan ekonomi sebanyak 5 persen. Angka itu lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi global yang hanya berkisar 3,3 dan 3,4 persen. Tentu, perhitungan ini mengalami sedikit perubahan dengan munculnya Covid-19 sebagai pandemik global sejak Maret 2020 di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Menurut Asian Development Bank (ADB), pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan berada pada kisaran 2,5 persen pada 2020, atau terpangkas setengahnya dari angka pertumbuhan 2019 dengan 5 persen, akibat merebaknya Covid-19. Dalam hal ini, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia dipandang memiliki fundamental ekonomi yang cukup kuat meski diterpa krisis akibat pandemi.

Pertanyaannya adalah apakah tingginya angka pertumbuhan ekonomi (economic growth) Indonesia tersebut berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyat? Jawabannya tentu saja tidak. Paling tidak, angka pertumbuhan ekonomi tidak secara langsung menggambarkan kesejahteraan rakyat. Angka pertumbuhan ekonomi diperoleh dengan melihat perbedaan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Nasional Bruto (PNB) sebuah negara pada tahun berjalan jka dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Karenanya, bagi sebagian pihak, indikator sesungguhnya bagi kesejahteraan rakyat bukanlah angka pertumbuhan, melainkan PDB di mana PDB ini menghitung angka konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan besaran impor-ekspor.

Sebagaimana telah dikemukakan, PDB per kapita Indonesia berada pada angka US$ 4.160 atau setara dengan Rp.59,1 juta per tahun atau sekitar Rp.161.917 per hari. Angka ini berarti rata-rata orang atau keluarga di Indonesia memiliki pendapatan sebanyak Rp. Rp.59,1 juta per tahun, Rp.4.9 juta per bulan atau sekitar Rp.162 ribu per hari. Dengan demikian, berdasarkan perhitungan PDB per kapita, Indonesia jauh di atas batas garis kemiskinan, yaitu: pendapatan Rp.401.220 per kapita per bulan. Memang, jika diukur berdasarkan rata-rata pendapatan sebanyak Rp.4,9 juta per kapita per bulan, Indonesia memang termasuk sebagai sebuah negara yang sejahtera.

Namun demikian, apakah angka PDB per kapita betul-betul bisa menggambarkan kesejahteraan rakyat? Jika kita mempertimbangkan intuisi keseharian kita, rasanya angka PDB per kapita tidak betul-betul menggambarkan keadaan kesejahteraan rakyat. Misalnya, jika dikatakan bahwa rata-rata pendapatan tiap orang/keluarga di Indonesia adalah Rp.4,9 juta per bulan (PDB), faktanya ada banyak orang yang pendapatannya jauh di bawah angka itu. Misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) masih mencatat bahwa lebih dari 24 juta warga negara Indonesia berada di bawah garis kemiskinan (berpendapatan kurang dari Rp.401.220 bulan). Karenanya, PDB tidak dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan rakyat secara mutlak.

Sebetulnya, bagi sang pencipta PDB, Simon Kuznets, PDB memang tidak dimaksudkan untuk dipakai sebagai indikator kesejahteraan. Baginya, PDB adalah PDB. Bahkan, Kuznets sendiri merasa khawatir jika perangkat neraca pendapatan nasional yang dibuatnya, termasuk PDB, dijadikan sebagai alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Atas dasar pertimbangan yang sama, beberapa ahli ekonomi belakangan merumuskan perangkat-perangkat di luar PDB untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Misalnya, Amartya Sen mengemukakan instrument kapabilitas untuk mengukur tingkat kebahagiaan rakyat dari sebuah negara. Thailand dan Bhutan juga tercatat sebagai negara menggunakan Indeks Kebahagian untuk mengukur kesejahteraan, bukan semata-mata dengan perangkat PDB. Bahkan, Kanada memakai Indek Kesejahteraan secara khusus untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonominya.

Di antara persoalan mendasar dari penggunaan PDB untuk mengukur kesejahteraan adalah tidak adanya penjelasan tentang kesenjangan pendapatan di antara orang atau warga negara. Sebab, PDB per kapita dihitung dari jumlah keseluruhan pendapatan orang/keluarga dibagi jumlah keseluruhan orang/keluarga di dalam sebuah negara. Artinya, angka PDB per kapita adalah angka rata-rata. Dengan kata lain, angka PDB tidak menunjukan variasi atau kesenjangan pendapatan. Sebab, fakta orang-orang berpendapatan rendah dengan berjumlah yang sebenarnya cukup banyak bisa tertutupi oleh keberadaan segelintir orang dengan penghasilan yang sangat banyak.

Oleh karena itu, di banyak negara, termasuk di Indonesia, perangkat PDB biasanya disertai juga dengan suatu perangkat lain untuk mengukur kesenjangan yang disebut sebagai Rasio Gini (Gini Ratio). Dalam kerangka Rasio Gini ini, angka nol menunjukkan kesetaraan sempurna, sementara angka satu menunjukkan kesenjangan atau ketimpangan sempurna. Dengan menggunakan perangkat ini, BPS misalnya menyatakan bahwa sejak Maret 2005 hingga September 2019 nilai Gini ratio Indonesia terus menurun. Pada September 2019, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia menurun mencapai 0,380. Ini berarti telah terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Berbagai pengukuran atau indeks memang dibuat sedemikian rupa untuk melihat perkembangan ekonomi dari waktu ke waktu. Istilah bahasa Inggris economics development seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai pembangunan ekonomi atau perkembangan ekonomi. Keduanya memiliki makna yang hampir sama. Di negara-negara maju, istilah development bisanya lebih sering dimaknai sebagai perkembangan. Sementara di negara-negara berkembang, istilah itu sering dimaknai sebagai pembangunan. Namun demikian, keduanya sama-sama dimaksudkan untuk melihat sejauh mana kesejahteraan rakyat bisa dicapai. Karenanya, PDB, PNB, angka kemiskinan, rasio Gini dan sebagainya adalah indikator-indikator yang diciptakan dan dipakai untuk memastikan agar arah perkembangan ekonomi sebuah negara bisa mencapai kesejahteraan.

Jika perkembangan ekonomi hanya bisa diketahui secara relatif dengan membandingkan keadaan pada tahun berjalan dengan tahun-tahun sebelumya melalui takaran-takaran indikator yang dirumuskan, terdapat suatu kenyataan sosial yang tamapaknya bisa secara mutlak mempengaruhi tingkat kesejahteraan rakyat, yaitu: tersedianya lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, jika semua warga negara di usia produktif bisa memperoleh pekerjaan yang layak, maka secara mutlak bisa dikatakan bahwa kesejahteraan telah tercapai. Dalam konteks ini, tingginya angka pengangguran adalah suatu gejala nyata dari rendahnya tingkat kesejahteraan sebuah negara.

Sayangnya, data statistik menunjukan bahwa angka pengangguran di Indonesia saat ini menyentuh angka 5 persen. Itu berarti bahwa dari jumlah total angkatan kerja yang ada di Indonesia sebanyak 197,92 juta orang, terdapat sekitar 7 juta orang pengangguran. Oleh karena itu, walaupun telah termasuk ke dalam negara yang kuat secara ekonomi, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat dalam upaya untuk memberikan kesejahteraan untuk semua. Dalam hal ini, pemerintah perlu memikirkan berbagai upaya untuk membuat kebijakan yang dapat mendorong semakin rendahnya angka pengangguran. Sebab, menjadi sejahtera adalah hak semua warga negara, tanpa terkecuali.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA