Bagaimana pandangan masyarakat zaman dahulu terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan

Kedudukan wanita dalam masyarakat atau kesetaraan gender menjadi salah satu isu prioritas. Kerap kali perempuan dianggap lemah sehingga menjadi salah satu faktor hambatan dalam aspek pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat lainnya. Seiring dengan meningkatnya kesadaran kaum perempuan akan haknya, perlu sikap yang arif dari para ulama atau tokoh agama dalam memberikan pencerahan. Lantas bagaimanakah Islam menyikapi isu ini?

Sebagai bentuk kepedulian, Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Seminar Moderasi Islam ke-4 bertajuk “Kemuliaan Perempuan dalam Islam”. Pembicara utama dalam acara ini adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta). Acara berlangsung pada Jumat (20/12) di Masjid Ulil Albab UII.

Bagaimana pandangan masyarakat zaman dahulu terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan & Alumni UII, Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag dalam sambutannya berpesan, “Agar perempuan mampu memperjuangkan kepentingan dirinya tanpa tergantung pada orang lain, maka dari ini diperlukan upaya pemberdayaan perempuan”.

Menurut Rohidin perempuan berkewajiban membungkam mitos-mitos filsafati bias laki-laki, seperti pandangan bahwa hidup perempuan hanya sekedar di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak. Yang dianggap membuat kaum perempuan tertindas bahkan menjadikan perempuan manusia terbatas.

Sedangkan, KH. Nasaruddin Umar dalam ceramahnya mengatakan, “Asmaul Husna yang 99 itu sesungguhnya memberikan tempat yang istimewa kepada kaum perempuan, karena 80% asmaul husna itu sebagai nama-nama wanita dan hanya 20% nama laki-laki” ujarnya.

Ia pun mengutip pandangan Syaikh Ibnu Arabi yang pernah menjelaskan kepada muridnya jika ingin mendapatkan ketinggian martabat cepat di sisi Allah SWT maka kalian terlebih dahulu harus “menjadi perempuan”.

“Maksud di sini bukan berarti kaum laki-laki harus berubah menjadi perempuan namun menciptakan jati diri yang lebih menonjol seperti yang dicirikan asmaul husna dan karakter yang dicontohkan Nabi besar kita Muhammad SAW”, terangnya.

Al-Quran juga lebih menonjolkan sebagai feminis book daripada maskulin book. Terlihat dari banyaknya kata Ar-Rahman juga Ar-Rahim terulang sebanyak 114 kali dalam Al-Quran dan berasal dari satu akar kata yang sama yaitu Rahim yang artinya cinta dan kasih sayang yang menggambarkan sosok perempuan sekali. Ada juga kata-kata maskulin seperti Al-Mutakabbir (Sombong) dan Al-Mutaqim (Pendendam) tapi itu hanya terulang satu kali saja.

“Femiliti is a super power, surga berada dibawah telapak kaki ibu yang berarti perempuan. Kepada siapa kami mengabdi Allah menyebutkan ibumu sebanyak tiga kali baru setelah itu ayahmu” jelasnya.
Hal yang Memojokkan Perempuan

Bagaimana pandangan masyarakat zaman dahulu terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan

Menurut Nasaruddin Umar, ada empat puluh dua faktor yang membuat perempuan terpojokkan. Di antaranya yakni bercampurnya mitos dan penafsiran agama yang salah. Seperti mitos bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sebelah kiri yang paling bengkok dan itu menyebabkan perempuan dipandang rendah dari laki-laki.

Padahal Al-quran maupun Hadist tidak pernah menyebutkan sama sekali bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk. Pendapat ini justru muncul dari kitab Talmud yaitu tafsirnya kitab Taurat di dalam perjanjian lamanya.

Perempuan juga boleh menjadi pemimpin, Allah SWT menyebutkan Ratu Balqis dan ceritanya dalam tiga surat yang panjang. Yang maksudnya Allah memberikan contoh bahwa ada perempuan hebat yang menjadi pemimpin.

KH. Nasaruddin menekankan bahwa yang bias gender itu bukan Islam bukan juga Al-Quran namun tafsirannya yang keliru. “Justeru dengan hadirnya Al-Quran itu membawa keadilan seperti sebelum Islam datang wanita tidak mendapat waris tapi setelah Islam datang wanita berhak menerima waris”, pungkasnya. (CSN/ESP)

Laki-laki dan Perempuan Sederajat

Sebagaimana telah di sebutkan dalam bagian-bagian sebelumnya bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sederajat. Manusia laki-laki dan perempuan tidak dibedakan satu sama lain oleh Allah.

Meskipun laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda, namun laki-laki dan perempuan sederajat, kesederajatan tersebut setidaknya terlihat dalam hal-hal berikut:

Citra Allah

Ketika Allah menciptakan manusia, Allah menyatakan bahwa Ia akan menciptakan manusia seturut gambar dan rupanya artinya manusia menjadi citra-Nya sendiri. Sebagai citra Allah manusia tidak dibedakan, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai citra Allah.

Tugas

Tugas manusia juga tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas utama yang sama yaitu beranakcucu dan berkuasa atas ciptaan yang lain.

Martabat

Martabat dapat diartikan sebagai kedudukan manusia dihadapan Allah dan dihadapan sesama. Manusia laki-laki dan perempuan tidak pernah dibedakan kedudukannya oleh Allah.

Dengan derajat yang sama, maka manusia tidak dapat membedakan satu sama lain meskipun mereka memiliki peran yang berbeda-beda dalam kehidupannya.

Peran manusia dalam hidupnya dapat disebut sebagai peran sosial. Dalam mana peran sosial seseorang melekat dalam setiap pribadi laki-laki atau perempuan.

Peran sosial yang dimiliki oleh laki-laki atau perempuan tidak hanya satu, masing-masing pribadi bisa memiliki lebih dari satu peran sosial. Berikut beberapa contoh peran sosial yang dimiliki laki-laki dan perempuan:

Laki-laki

Perempuan

Bapak

Ibu

Mencari nafkah

Merawat anak

Guru

Ibu rumah tangga

Anak

Anak

Kakak/adik

Kakak/adik

Peran sosial yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan bukan merupakan peran yang membeda-bedakan diantara mereka, peran sosial yng dimiliki hendaknya saling mengutkan satu sama lain.

Pada zaman dahulu, peran sosial seorang perempuan sangat dibatasai. Perempuan hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah dan tidak diperbolehkan. Namun saat ini, semuanya sudah berubah. Perempuan dapat mengambil peran sosial seorang laki-laki.

Ibu Kartini, Cut Nyak Dhien dan Dewi Sartika adalah contoh perempuan yang berjuang menuntut kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Berkat mereka, perempuan Indonesia kemudian dapat memiliki peran sosial yang kurang lebih sama dengan laki-laki.

Oleh : itsram | | Source : ITS Online

Potret Kartini (sumber: suaramuslim.net)

Kampus ITS, Opini — “Tuntutan” bagi perempuan untuk bisa melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci dan memasak masih sering kita jumpai di Indonesia. Tak hanya itu, ketika ada di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan tersebut, sudah pasti cibiran menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Lantas, apakah hal tersebut merupakan suatu hal yang benar? Jika tidak, mengapa hal tersebut masih kental tertanam di dalam masyarakat, khususnya Indonesia?

Menilik Perjuangan Feminisme Kartini

Menilik sejarah, Indonesia pernah memiliki pejuang emansipasi wanita yang bahkan keteladanannya dalam memperjuangkan kesamaan kedudukan antara perempuan dengan laki-laki menempatkan tanggal lahirnya sebagai salah satu hari besar nasional. Tokoh tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah RA Kartini. Sosok yang sudah sangat akrab di telinga kita tersebut bahkan juga diabadikan dalam sebuah lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”.

Dilatarbelakangi oleh pembatasan perempuan untuk memperoleh pendidikan formal di masa lalu, Kartini mulai melakukan perjuangannya mengkampanyekan kesetaraan gender melalui tulisan-tulisannya. Beberapa kali hasil tulisannya pun dimuat dalam sebuah majalah Belanda De Hollandsche Lelie. Sejak saat itu, sebuah gagasan baru mengenai persamaan hak bagi wanita pribumi mampu mengubah pandangan masyarakat luas. Alhasil hingga kini gerakan persamaan kedudukan ini terus digalakkan.

Meskipun telah digaungkan oleh Kartini dan diikuti gerakan-gerakan wanita modern, nyatanya hingga detik ini praktik budaya patriarki masih ada dan berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Hal tersebut tampak dari hubungan laki-laki dan perempuan yang masih terlihat timpang, dimana kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, dimarginalkan, hingga didiskriminasi. Hal ini menyebabkan terbelenggunya kebebasan perempuan dan mengganggu hak-hak perempuan.

Ilustrasi patriarki yang membelenggu perempuan. (sumber conatusnews.com)

Langgengnya Patriarki dan Stigma Perempuan dengan Pekerjaan Domestik

Pekerjaan yang ada dalam rumah tangga sangatlah beragam mulai mengatur keuangan memasak, kepiawaian belanja dengan menyesuaikan selera masing-masing anggota keluarga, menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan rumah, mendidik anak, serta keperluan lain. Semua hal itu menjadi sebuah hal yang mutlak dikuasai oleh perempuan. Sedangkan untuk laki-laki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang mana pemimpin keluarga merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.

Jika melihat sejarahnya memang peran perempuan sejak dahulu lebih dominan pada pekerjaan domestik sedangkan laki-laki lah yang keluar rumah mencari pundi-pundi uang. Hal ini merupakan hal yang wajar jika memang ada pembagian tugas yang disepakati. Namun dalam prakteknya banyak perempuan yang dituntut bekerja untuk menambah penghasilan suami sembari menanggung beban pekerjaan rumah. Namun bagaimanapun juga, hal ini tidak berarti laki-laki tidak perlu memiliki kemampuan dalam melakukan pekerjaan domestik.

Ilustrasi kesetaraan kedudukan dan hak antara laki-laki dan perempuan. (sumber: freepik.com)

Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an dan Hukum

Banyak yang berkata bahwa agama menjadi salah satu faktor budaya patriarki ini kental tertanam pada kehidupan manusia. Namun, apakah patriarki merupakan hal yang benar menurut agama?

Sebagaimana tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 30 yang menyebutkan “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Khalifah pada surat tersebut bermakna menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya. Al-Zamakhsyarî menafsirkan makna khalifah pada surah ini tidak hanya berarti Adam (mewakili laki-laki).

Senada dengan argumen tersebut, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyebutkan bahwa yang dimaksud makhluk yang diberi tugas adalah Adam dan anak cucunya. Al-Quran sendiri pun tidak memberi petunjuk bahwa khalifah hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Dalam ajaran Islam, terdapat empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan kepemimpinan, yakni berkata dan berbuat yang benar, dapat dipercaya, cerdas, dan tidak menyembunyikan sesuatu.

Selain itu, seorang pemimpin juga harus penuh rasa sabar dan tabah, membawa masyarakatnya kepada tujuan yang sesuai dengan petunjuk Allah, membudayakan kebaikan, taat beribadah, optimis, dan kuat serta terpercaya. Dari beberapa kriteria tersebut, maka konsep kepemimpinan dalam Islam dapat dilakukan oleh siapapun baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Banyak ulama yang menjadikan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Ayat ini diartikan perempuan berada dalam posisi yang dipimpin dan penafsiran klasik ini sering dijadikan argumen penguatan supremasi laki-laki atas perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar dan status lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga pola kekuasaan dan status ini berpengaruh secara universal dalam menentukan kebijakan dan aturan yang berlaku di tengah kehidupan bermasyarakat.

Mawlana Utsmani menanggapi penafsiran ini berpendapat bahwa seandainya Allah bermaksud menegaskan superioritas laki-laki atas perempuan, Allah akan menggunakan ungkapan yang lebih jelas seperti “karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki atas mereka perempuan”. Sehingga Surah An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan landasan superioritas laki-laki. Dalam Al-Quran juga dicontohkan bagaimana perempuan memimpin sebuah negara.

Dalam Al-Quran Surah An-Naml ayat 23, Allah berfirman “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgahsana yang besar.” Perempuan yang dimaksud tak lain adalah ratu yang memerintah kaum Saba yang dikenal dalam sejarah dengan nama Balqis. Dalam kepemimpinannya, Balqis sanggup membawa rakyatnya kepada kemakmuran dan ketentraman. Ayat ini mempertegas pula posisi wanita mampu menjadi pemimpin ketika memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Selain dalam A-Quran, isu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan juga telah diformalkan di Indonesia salah satunya pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Pasal 15, yang berbunyi “Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Akhirnya, selain dari sisi hukum, praktek mengenai cara membangun tradisi kehidupan yang tidak bias gender perlu digalakkan.

Sebagai negara republik, perlu ditumbuhkan budaya demokratis dalam segala aspek akan menjamin keharmonisan diantara sesama. Dengan begitu pikiran dan perbuatan yang patriarkis dapat perlahan dihilangkan.

Ditulis oleh:

Gita Rama Mahardhika
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2018
Reporter ITS Online