Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar komputer jinjing memandu pengguna melewati beberapa tahapan dan pertanyaan manfaat memastikan bahwa si pengguna telah benar-benar siap untuk dalam keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kesudahan diterapkan dengan pertolongan mesin yang diatur dari komputer.[1]

Show

Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang faedahnya "baik", dan θάνατος, thanatos yang faedahnya kematian) merupakan praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melewati cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya diterapkan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai persoalan ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tingkah laku yang dibuat medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara yang lain dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan cara yang sempit selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Terminologi

Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia bisa dibagi dijadikan tiga kategori, yaitu eutanasia sifat menyerang, eutanasia non sifat menyerang, dan eutanasia pasif.

  • Eutanasia sifat menyerang, dikata juga eutanasia aktif, merupakan suatu tingkah laku yang dibuat secara sengaja yang diterapkan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia sifat menyerang bisa diterapkan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, adun secara oral maupun melewati suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut merupakan tablet sianida.
  • Eutanasia non sifat menyerang, kadang juga dikata eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sbg eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan menciptakan sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non sifat menyerang pada dasarnya merupakan suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
  • Eutanasia pasif bisa juga dikategorikan sbg tingkah laku yang dibuat eutanasia negatif yang tidak memakai alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif diterapkan dengan melepas pemberian pertolongan medis yang bisa memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa misalnya merupakan dengan tidak memberikan pertolongan oksigen untuk pasien yang mengalami kesukaran dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tingkah laku yang dibuat operasi yang seharusnya diterapkan manfaat memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan menyebabkan kematian. Tingkah laku yang dibuat eutanasia pasif seringkali diterapkan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa diterapkan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya dampak keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan berada permintaan dari pihak rumah sakit untuk menciptakan "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhir-akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sbg upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin karena itu eutanasia bisa digolongkan dijadikan tiga yaitu :

  • Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tingkah laku yang dibuat eutanasia yang bertentangan dengan harapan si pasien untuk tetap hidup. Tingkah laku yang dibuat eutanasia semacam ini bisa disamakan dengan pembunuhan.
  • Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini merupakan yang seringkali dijadikan bahan perdebatan dan dianggap sbg suatu tingkah laku yang dibuat yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini dijadikan paling kontroversial karena beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan untuk si pasien.
  • Eutanasia secara sukarela : diterapkan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga sedang merupakan hal kontroversial.

Eutanasia ditinjau dari sudut sasaran

Beberapa sasaran pokok dari diterapkannya eutanasia diantaranya yaitu :

  • Pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing)
  • Eutanasia hewan
  • Eutanasia sesuai pertolongan dokter, ini merupakan bentuk lain daripada eutanasia sifat menyerang secara sukarela

Sejarah eutanasia

Asal-usul kata eutanasia

Kata eutanasia bermula dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan faedahnya "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali memakai istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: "Diri sendiri tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga masa "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

Eutanasia dalam dunia modern

Sejak zaman ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bidang New York, yang pada beberapa tahun kesudahan diberlakukan pula oleh beberapa negara bidang.

Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung diterapkannya eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia sifat menyerang, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak sukses digolkan di Amerika maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.

Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sbg bentuk "pembunuhan sesuai belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman menerapkan suatu tingkah laku yang dibuat kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan yang lain yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Sikap yang dibuat T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.[2]

Eutanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam menerapkan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 karena itu berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tingkah laku yang dibuat eutanasia yang diterapkan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.

Praktik-praktik eutanasia di dunia

Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tingkah laku yang dibuat penduduk[3]:

  • Di India pernah dipraktikkan suatu norma budaya untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
  • Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
  • Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang yang telah berlanjut sejak tahun 1933.
  • Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sbg kejahatan khusus.
  • Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bidang, eutanasia dikategorikan sbg kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh merupakan melanggar hukum di Amerika Serikat.
  • Satu-satunya negara yang bisa menerapkan tingkah laku yang dibuat eutanasia untuk para anggotanya merupakan Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu bisa berharap tingkah laku yang dibuat eutanasia atas dirinya. Berada beberapa warga Amerika Serikat yang dijadikan anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya tidak pernah diterapkan eutanasia aktif, namun mungkin berada praktik-praktik medis yang bisa digolongkan eutanasia pasif.

Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bidang Oregon di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sbg kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark [5]

Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlanjut sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda dijadikan negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara resmi euthanasia dan bunuh diri berbantuan sedang dipertahankan sbg tingkah laku kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan menerapkan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa cara yang telah ditetapkan. Cara tersebut merupakan mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak mesti seorang spesialis) dan menciptakan laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak kesudahan tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya caranya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang menerapkan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

Australia

Negara bidang Australia, Northern Territory, dijadikan tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang dikata "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga mesti ditarik kembali.

Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tingkah laku yang dibuat eutanasia pada kesudahan September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tingkah laku yang dibuat eutanasia setiap tahunnya telah diterapkan sejak dilegalisasikannya tingkah laku yang dibuat eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya cara pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia sekarang dijadikan negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bidang Oregon di Amerika).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis merupakan merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat kesudahan hidupnya.[7]

Amerika

Eutanasia sifat menyerang dinyatakan ilegal di banyak negara bidang di Amerika. Masa ini satu-satunya negara bidang di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya merupakan negara bidang Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan probabilitas diterapkannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup sempit, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta pertolongan untuk bunuh diri, bila mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan harapan ini mesti diajukan hingga tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua mesti mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam kondisi gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya adun asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa hadapan, karena dalam Senat AS pun berada usaha untuk meniadakan UU negara bidang ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9][10]

Sebuah lembaga jajak argumen terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung diterapkannya eutanasia [11]

Indonesia

Sesuai hukum di Indonesia karena itu eutanasia merupakan sesuatu tingkah laku yang melawan hukum, hal ini bisa diamati pada peraturan perundang-undangan yang berada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang diceritakannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga bisa diceritakan memenuhi unsur-unsur delik dalam tingkah laku eutanasia. Dengan demikian, secara resmi hukum yang berlanjut di negara kita memang tidak mengizinkan tingkah laku yang dibuat eutanasia oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus akbar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga masa ini belum bisa diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam penduduk Indonesia. "Euthanasia hingga masa ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang sedang berlanjut yakni KUHP.

Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan bisa diberikan adun kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan berharapnya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri merupakan merupakan suatu tingkah laku melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kebutuhan diri sendiri."

Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk menerapkan pengelompokan terhadap obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) supaya dipertimbangkannya izin untuk menerapkan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata manfaat memohon dipertimbangkannya secara saksama dari bidang faktor "kemungkinan hidup si bayi" sbg suatu legitimasi praktik kedokteran.

Namun hingga masa ini eutanasia sedang merupakan suatu tingkah laku yang dibuat melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]

Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.

Berada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang bisa dikategorikan sbg "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)

Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sbg "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)

Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu argumen pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh diterapkan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang diterapkan selain pada kedua kasus tersebut merupakan tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang menerapkannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini sedang diajukan banding ke tingkat federal karena itu keputusan tersebut belum mempunyai daya hukum sbg sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian masa ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara manfaat menerapkan eutanasia.

Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sbg suatu tingkah laku yang dibuat pembunuhan sesuai peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sbg suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan supaya pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.[15]

India

Di India eutanasia merupakan suatu tingkah laku melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun sesuai aturan tersebut dokter yang menerapkan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kesilapan yang menyebabkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas harapan orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman sesuai pasal 92 IPC.[16]

China

Di China, eutanasia masa ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia dikenal terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" berharap seorang dokter untuk menerapkan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhir-akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang menerapkan permintaannya, namun 6 tahun kesudahan Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak berada probabilitas untuk disembuhkan lagi dan ia berharap untuk diterapkannya eutanasia atas dirinya namun tidak diterima oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhir-akhirnya ia tutup usia dalam kesakitan.[17]

Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum berada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga paling memungkinkan untuk para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang berada.[18]

Korea

Belum berada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah berada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas dorongan keluarganya. Polisi kesudahan menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam faedah kata eutanasia aktif.

Pada akhir-akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tingkah laku yang dibuat eutanasia pasif, bisa diperkenankan apabila pasien terminal berharap penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]

Dalam nasihat gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan zaman ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan nasihat moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya dijadikan saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga dijadikan saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, merupakan yang pertama menguraikan secara jelas persoalan moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk nasihat iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan makin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sbg sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan makin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita supaya melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sbg beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tingkah laku yang dibuat belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak bisa kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]

Dalam nasihat agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia merupakan didasarkan pada nasihat tentang karma, moksa dan ahimsa.

Karma merupakan merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud tingkah laku, yang adun maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan akal kata-kata atau tingkah laku yang dibuat. Sbg penimbunan terus menerus dari "karma" yang buruk merupakan dijadikan penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang dijadikan suatu sasaran utama dari penganut nasihat Hindu.

Ahimsa merupakan merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.

Bunuh diri merupakan suatu tingkah laku yang terlarang di dalam nasihat Hindu dengan pemikiran bahwa tingkah laku tersebut bisa dijadikan suatu factor yang mengganggu pada masa reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia merupakan merupakan suatu kesempatan yang paling bernilai untuk meraih tingkat yang lebih adun dalam kehidupan kembali.

Sesuai kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang menerapkan bunuh diri, karena itu rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sbg roh jahat dan berkelana tanpa sasaran hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun karena itu 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu karena itu rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhir-akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.[23]

Dalam nasihat agama Buddha

Nasihat agama Buddha paling menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk menerapkan pembunuhan makhluk hidup merupakan merupakan salah satu moral dalam nasihat Budha. Sesuai pada hal tersebut di atas karena itu nampak jelas bahwa euthanasia merupakan sesuatu tingkah laku yang tidak bisa dibenarkan dalam nasihat agama Budha. Selain daripada hal tersebut, nasihat Budha paling menekankan pada "welas asih" ("karuna")

Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan merupakan pelanggaran terhadap perintah utama nasihat Budha yang dengan demikian bisa dijadikan "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan manfaat memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.[24]

Dalam nasihat Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim yang lain (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang bisa menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak berada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, berada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di perlintasan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adun." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain diceritakan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya merupakan "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim yang lain (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]

Eutanasia dalam nasihat Islam dikata qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tingkah laku yang dibuat memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan sasaran meringankan penderitaan si sakit, adun dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak berada suatu argumen yang membenarkan diterapkannya eutanasia ataupun pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing) dalam argumen apapun juga .[26]

Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tingkah laku yang dibuat memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang diterapkan oleh dokter dengan memakai instrumen (alat).

Memudahkan bagian kematian secara aktif (eutanasia positif) merupakan tidak diperkenankan oleh syara'. Karena dalam tingkah laku yang dibuat ini seorang dokter menerapkan suatu tingkah laku yang dibuat aktif dengan sasaran membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melewati pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa akbar yang membinasakan.

Tingkah laku demikian itu merupakan termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]

Eutanasia negatif

Eutanasia negatif dikata dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada kepercayaan dokter bahwa pengobatan yang diterapkan itu tidak berada manfaatnya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap dunia semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di selang persoalan yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak mesti hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang diceritakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dinyatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan beberapa ulama lagi mengasumsikannya mustahab (sunnah).[28]

Dalam nasihat gereja Ortodoks

Pada nasihat Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan dunia baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri merupakan merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu merupakan sesuatu yang buruk sbg suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang paling kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karena itu menentang anjuran eutanasia.[29]

Dalam nasihat agama Yahudi

Nasihat agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sbg pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun sasarannya agung sekalipun, sebuah tingkah laku yang dibuat mercy killing ( pembunuhan sesuai belas kasihan), merupakan merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.[30]

Dasar dari larangan ini bisa ditemukan pada Kitab Perihal sahnya dalam alkitab Akad Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Diri sendiri akan menuntut balasnya; dari segala hewan Diri sendiri akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Diri sendiri akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini merupakan merujuk kepada larangan tingkah laku yang dibuat eutanasia.[32]

Dalam nasihat Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]

  • Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku nasihatnya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar bisa mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas kesudahan kesempatan hidup tersebut".
  • Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sbg suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut dijadikan sia-sia dan memberatkan, karena itu secara tanggung jawab moral bisa dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh merupakan merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih adun.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tingkah laku yang dibuat mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi karena itu faedahnya suatu pemaaf untuk tingkah laku dosa, juga dimasa hadapan merupakan suatu racun untuk dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awal mulanya, cara pandang yang diterapkan kaum kristiani dalam menanggapi persoalan "bunuh diri" dan "pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing) merupakan dari sudut "kekudusan kehidupan" sbg suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan argumen apapun juga merupakan bertentangan dengan maksud dan sasaran pemberian tersebut.

Beberapa kasus menarik

Kasus Hasan Kusuma - Indonesia

Sebuah permohonan untuk menerapkan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu argumen pula. Permohonan untuk menerapkan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar harapan pasien. Permohonan ini akhir-akhirnya tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif karena itu kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.[34]

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan memakai peralatan bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran dampak pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berkelebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, karena itu orangtuanya berharap supaya dokter melepas pemakaian peralatan bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kesudahan dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien tidak diterima, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga peralatan bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan peralatan bantu tersebut, pasien bisa bernapas spontan walaupun sedang dalam kondisi koma. Dan baru sembilan tahun kesudahan, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal dampak infeksi paru-paru (pneumonia).

Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo
Lahir3 Desember 1963
Pennsylvania

Terri Schiavo (usia 41 tahun) tutup usia di negara bidang Florida, 13 hari setelah Mahkamah Luhur Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini sedang bisa hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 masa Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam kondisi gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri bisa diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, dampak kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kesudahan dituduh malapraktik dan mesti membayar ganti rugi cukup akbar karena dinilai tidak ingat dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam kondisi koma, karena itu pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan supaya pipa peralatan bantu makanan pada istrinya bisa dicabut supaya istrinya bisa meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum manfaat menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari mesti dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhir-akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, karena itu para pendukung keluarga Schindler menerapkan upaya-upaya manfaat menggerakkan Senat Amerika Serikat supaya menciptakan undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, sesuai hukum di Amerika kekuasaan kehakiman merupakan independen, yang pada akhir-akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Kasus "Doctor Death"

Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe [35]. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale[36] , California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang diterapkannya semata demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa yang diterapkannya merupakan pembunuhan.

Kasus rumah sakit Boramae - Korea

Pada tahun 2002, berada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut peralatan bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut berharap polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan menerapkan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah berharap untuk tidak dipasangi peralatan bantu pernapasan tersebut. Satu ahad sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium kesudahan, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, probabilitas hanya bisa bertahan hidup selama 24 jam saja.[37]

Kasus BBC

Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Bagian menuju kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu merupakan Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun berharap dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana ia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa cara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya masa meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial yang lain serta media cetak menciptakan BBC dijuluki 'pemandu sorak' euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai cara itu. Warga mengasumsikan cara ini 'tak pantas'. Gugusan amal, politik dan agama bergabung menyatakan cara ini 'propaganda' euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, "Menayangkan kematian pasien di cara demi hiburan, BBC mesti punya argumen kuat". Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan cara ini manfaat mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga menciptakan pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru cakap BBC menambahkan, "Terkait cara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total pengaduan pun dijadikan 898". Regulator media Ofcom sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC memperoleh 'banyak' pengaduan. [38] [39]

Lihat pula

Footnote

  1. ^ "Nitschke suicide machine confiscated". The Sydney Morning Herald. 2003-01-10. 
  2. ^ Lihat artikel Sikap yang dibuat T4
  3. ^ C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi Kedokteran Modern terhadap Budaya Kematian dan Kehidupan", Bidang Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ,USU library, 5
  4. ^ Situs euthanasia.com
  5. ^ Situs Prague Daily Monitor/ČTK / terbitan 27 February 2007
  6. ^ Situs Internatonal taskforce
  7. ^ Situs Eutanasia
  8. ^ Oregon Death with Dignity Act; situs pemerintah Negara Bidang Oregon
  9. ^ The New England Journal of Medicine, 24-2-2000
  10. ^ Kompas, 28 September 2000
  11. ^ Carroll, Joseph (2006, June 19). Public Continues to Support Right-to-Die for Terminally Ill Patients. Retrieved on January 16, 2007, from The Gallup Poll Web site: Catatan : Jajak argumen ini diterapkan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat lapang dan bukannya berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada dukungan terhadap eutanasia. Jajak argumen tersebut bukan merupakan suatu indikator dukungan terhadap suatu aktivitas yang dipekerjakan kampanye eutanasia. Lihat :Situs Galluppoll
  12. ^ Situs Tempointeraktif
  13. ^ Situs BBC
  14. ^ Laporan Nuclear Contol Institute tentang kecelakaan nuklir di Jepang
  15. ^ Prague Daily Monitor/ČTK / terbitan 27 Februar1 2007
  16. ^ Situs Eastern book company
  17. ^ Situs Human Rights China
  18. ^ Situs National Center for Biotechnology Information
  19. ^ Situs Asianews
  20. ^ Kongregasi kudus tentang doktrin kehidupan. "Declaration on Euthanasia," May 5, 1980
  21. ^ Evangelium Vitae
  22. ^ "Lihat artikel "Eutanasia Menurut Nasihat Gereja" yang didefinisikan oleh Yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald."
  23. ^ Situs religionfacts.com tentang nasihat Hindu
  24. ^ Euthanasia: Murder or Compassion?
  25. ^ Harian Akal Rakyat
  26. ^ Situs infoplease.com
  27. ^ Fatwa-fatwa kontemporer
  28. ^ Media Isnet
  29. ^ Stand of the Orthodox Church - Euthanasia
  30. ^ Euthanasia and Judaism: Jewish Views of Euthanasia and Suicide
  31. ^ Teks Asli Versi King James Version : "Surely for your lifeblood I will demand [a reckoning]; from the hand of every beast I will require it, and from the hand of man. From the hand of every man's brother I will require the life of man.situs sabda.org
  32. ^ The Jewish view on euthanasia
  33. ^ diambil dari situs christianitytoday.com
  34. ^ situs Kompas
  35. ^ New England Journal of Medicine edisi Desember 2000
  36. ^ Situs Glendale Adventist Medical Center
  37. ^ Situs Asia News
  38. ^ Situs Dailymail tentang anti-euthanasia di swiss
  39. ^ Situs okegan tentang euthanasia di swiss

Daftar referensi

  • Agamben, Giorgio; didefinisikan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN 0-8047-3218-3. 
  • Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-2986-7. 
  • Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
  • Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
  • Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.
  • Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
  • Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination, sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
  • Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7. 
  • Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9. 
  • Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing' legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6 (May 1958).
  • Kelly, Gerald. "The duty of using artificial means of preserving life" in Theological Studies (11:203-220), 1950.
  • Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assisted suicide: What are the issues? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2001. (E.g., Engelhardt on secular bioethics)
  • Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United States" in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997.
  • Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.
  • Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
  • PCSEPMBBR, United States. President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal issues in treatment decisions. Washington, DC: President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research: For sale by the Supt. of Docs. U.S. G.P.O.
  • Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press, 1986.
  • Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law Review 27 (1975) 213-269.
  • Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on euthanasia. Vatican City: The Vatican.
  • Stone, T. Howard, and Winslade, William J. "Physician-assisted suicide and euthanasia in the United States" in Journal of Legal Medicine (16:481-507), December 1995.

Tautan luar

  • Hindu website
  • Religion and euthanasia
  • Euthanasia dan Agama - berbagai pandangan agama atas eutanasia
  • The Ethics of Euthanasia - a UK site that looks at the issues, case studies and ethical and Christian responses
  • Religion and Ethics - Euthanasia - many views of euthanasia, for, against, and religious, from the BBC
  • Euthanasia ProCon.org - "Should euthanasia be legal?" - Pros, cons, history, laws, polls, and biographies of key players in debate
  • Issue Guide on the Right to Die - Analysis of public opinion and policy alternatives from Public Aktivitas yang dipekerjakan Online
  • Dutch Ministry of Foreign Affairs - FAQ brochures explaining Dutch policy on euthanasia (Inggris)
  • Ministry of Health, Welfare and Sport - Information on Dutch euthanasia legislation (Inggris)
  • Stanford Encyclopedia of Philosophy entry
  • - Euthanasia World Directory international information on voluntary euthanasia, assisted suicide, and self-deliverance
  • Final Exit Network provides guides to self-deliverance for the terminally and hopelessly ill to end their suffering
  • Compassion & Choices - provides education, support and advocacy for the choice-in-dying movement
  • Dignity in Dying - leading campaigning organisation promoting patient choice at the end of life
  • World Federation of Right To Die Societies
  • Assisted Suicide
  • Suicide & Euthanasia- Presents pro-choice arguments from a Biblical perspective.
  • Voluntary Euthanasia- Atheist Foundation of Australia Inc
  • A defense of euthanasia
  • Pro Euthanasia Dr Philip Nitschke - (Australian) Euthanasia law reform advocacy website, currently based in New Zealand.
  • Euthanasia and the Right to Life
  • Euthanasia Clinic - Roger Graham. Founder of Assisted Euthanasia Society of Paradise (AESOP), expelled from Cambodia for proposing Euthanasia Tourism, advocate for a Compassionate Law, an activist for Euthanasia since 1971.
  • Euthanasia.com
  • Not Dead Yet (the disability rights group opposing Assisted Suicide)
  • Is Killing Kind?
  • Christian Study on euthanasia
  • www.carenotkilling.org.uk - Care, NOT Killing: a UK alliance promoting palliative care, opposing euthanasia and assisted suicide
  • euthanasia.com
  • National Right to Life articles on euthanasia
  • International Task Force against Euthanasia- many resources
  • Non-religious arguments against euthanasia
  • A Papal encyclical dealing with a number of issues of life and death including euthanasia
  • A brief presentation of the issue and the Christian Catholic viewpoint on it
  • The Rosicrucian Fellowship's viewpoint: Suicide and Euthanasia
  • Scholarly articles on Euthanasia from the Wisconsin Lutheran Seminary Library

edunitas.com


Page 2

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar komputer jinjing memandu pengguna melewati beberapa tahapan dan pertanyaan manfaat memastikan bahwa si pengguna telah benar-benar siap untuk dalam keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kesudahan diterapkan dengan pertolongan mesin yang diatur dari komputer.[1]

Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang faedahnya "baik", dan θάνατος, thanatos yang faedahnya kematian) merupakan praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melewati cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya diterapkan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai persoalan ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tingkah laku yang dibuat medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara yang lain dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan cara yang sempit selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Terminologi

Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia bisa dibagi dijadikan tiga kategori, yaitu eutanasia sifat menyerang, eutanasia non sifat menyerang, dan eutanasia pasif.

  • Eutanasia sifat menyerang, dikata juga eutanasia aktif, merupakan suatu tingkah laku yang dibuat secara sengaja yang diterapkan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia sifat menyerang bisa diterapkan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, adun secara oral maupun melewati suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut merupakan tablet sianida.
  • Eutanasia non sifat menyerang, kadang juga dikata eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sbg eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan menciptakan sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non sifat menyerang pada dasarnya merupakan suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
  • Eutanasia pasif bisa juga dikategorikan sbg tingkah laku yang dibuat eutanasia negatif yang tidak memakai alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif diterapkan dengan melepas pemberian pertolongan medis yang bisa memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa misalnya merupakan dengan tidak memberikan pertolongan oksigen untuk pasien yang mengalami kesukaran dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tingkah laku yang dibuat operasi yang seharusnya diterapkan manfaat memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan menyebabkan kematian. Tingkah laku yang dibuat eutanasia pasif seringkali diterapkan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa diterapkan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya dampak keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan berada permintaan dari pihak rumah sakit untuk menciptakan "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhir-akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sbg upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin karena itu eutanasia bisa digolongkan dijadikan tiga yaitu :

  • Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tingkah laku yang dibuat eutanasia yang bertentangan dengan harapan si pasien untuk tetap hidup. Tingkah laku yang dibuat eutanasia semacam ini bisa disamakan dengan pembunuhan.
  • Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini merupakan yang seringkali dijadikan bahan perdebatan dan dianggap sbg suatu tingkah laku yang dibuat yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini dijadikan paling kontroversial karena beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan untuk si pasien.
  • Eutanasia secara sukarela : diterapkan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga sedang merupakan hal kontroversial.

Eutanasia ditinjau dari sudut sasaran

Beberapa sasaran pokok dari diterapkannya eutanasia diantaranya yaitu :

  • Pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing)
  • Eutanasia hewan
  • Eutanasia sesuai pertolongan dokter, ini merupakan bentuk lain daripada eutanasia sifat menyerang secara sukarela

Sejarah eutanasia

Asal-usul kata eutanasia

Kata eutanasia bermula dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan faedahnya "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali memakai istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: "Diri sendiri tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga masa "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

Eutanasia dalam dunia modern

Sejak zaman ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bidang New York, yang pada beberapa tahun kesudahan diberlakukan pula oleh beberapa negara bidang.

Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung diterapkannya eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia sifat menyerang, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak sukses digolkan di Amerika maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.

Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sbg bentuk "pembunuhan sesuai belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman menerapkan suatu tingkah laku yang dibuat kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan yang lain yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Sikap yang dibuat T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.[2]

Eutanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam menerapkan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 karena itu berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tingkah laku yang dibuat eutanasia yang diterapkan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.

Praktik-praktik eutanasia di dunia

Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tingkah laku yang dibuat penduduk[3]:

  • Di India pernah dipraktikkan suatu norma budaya untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
  • Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
  • Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang yang telah berlanjut sejak tahun 1933.
  • Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sbg kejahatan khusus.
  • Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bidang, eutanasia dikategorikan sbg kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh merupakan melanggar hukum di Amerika Serikat.
  • Satu-satunya negara yang bisa menerapkan tingkah laku yang dibuat eutanasia untuk para anggotanya merupakan Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu bisa berharap tingkah laku yang dibuat eutanasia atas dirinya. Berada beberapa warga Amerika Serikat yang dijadikan anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya tidak pernah diterapkan eutanasia aktif, namun mungkin berada praktik-praktik medis yang bisa digolongkan eutanasia pasif.

Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bidang Oregon di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sbg kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark [5]

Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlanjut sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda dijadikan negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara resmi euthanasia dan bunuh diri berbantuan sedang dipertahankan sbg tingkah laku kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan menerapkan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa cara yang telah ditetapkan. Cara tersebut merupakan mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak mesti seorang spesialis) dan menciptakan laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak kesudahan tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya caranya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang menerapkan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

Australia

Negara bidang Australia, Northern Territory, dijadikan tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang dikata "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga mesti ditarik kembali.

Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tingkah laku yang dibuat eutanasia pada kesudahan September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tingkah laku yang dibuat eutanasia setiap tahunnya telah diterapkan sejak dilegalisasikannya tingkah laku yang dibuat eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya cara pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia sekarang dijadikan negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bidang Oregon di Amerika).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis merupakan merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat kesudahan hidupnya.[7]

Amerika

Eutanasia sifat menyerang dinyatakan ilegal di banyak negara bidang di Amerika. Masa ini satu-satunya negara bidang di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya merupakan negara bidang Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan probabilitas diterapkannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup sempit, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta pertolongan untuk bunuh diri, bila mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan harapan ini mesti diajukan hingga tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua mesti mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam kondisi gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya adun asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa hadapan, karena dalam Senat AS pun berada usaha untuk meniadakan UU negara bidang ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9][10]

Sebuah lembaga jajak argumen terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung diterapkannya eutanasia [11]

Indonesia

Sesuai hukum di Indonesia karena itu eutanasia merupakan sesuatu tingkah laku yang melawan hukum, hal ini bisa diamati pada peraturan perundang-undangan yang berada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang diceritakannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga bisa diceritakan memenuhi unsur-unsur delik dalam tingkah laku eutanasia. Dengan demikian, secara resmi hukum yang berlanjut di negara kita memang tidak mengizinkan tingkah laku yang dibuat eutanasia oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus akbar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga masa ini belum bisa diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam penduduk Indonesia. "Euthanasia hingga masa ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang sedang berlanjut yakni KUHP.

Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan bisa diberikan adun kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan berharapnya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri merupakan merupakan suatu tingkah laku melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kebutuhan diri sendiri."

Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk menerapkan pengelompokan terhadap obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) supaya dipertimbangkannya izin untuk menerapkan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata manfaat memohon dipertimbangkannya secara saksama dari bidang faktor "kemungkinan hidup si bayi" sbg suatu legitimasi praktik kedokteran.

Namun hingga masa ini eutanasia sedang merupakan suatu tingkah laku yang dibuat melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]

Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.

Berada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang bisa dikategorikan sbg "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)

Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sbg "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)

Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu argumen pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh diterapkan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang diterapkan selain pada kedua kasus tersebut merupakan tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang menerapkannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini sedang diajukan banding ke tingkat federal karena itu keputusan tersebut belum mempunyai daya hukum sbg sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian masa ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara manfaat menerapkan eutanasia.

Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sbg suatu tingkah laku yang dibuat pembunuhan sesuai peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sbg suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan supaya pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.[15]

India

Di India eutanasia merupakan suatu tingkah laku melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun sesuai aturan tersebut dokter yang menerapkan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kesilapan yang menyebabkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas harapan orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman sesuai pasal 92 IPC.[16]

China

Di China, eutanasia masa ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia dikenal terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" berharap seorang dokter untuk menerapkan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhir-akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang menerapkan permintaannya, namun 6 tahun kesudahan Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak berada probabilitas untuk disembuhkan lagi dan ia berharap untuk diterapkannya eutanasia atas dirinya namun tidak diterima oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhir-akhirnya ia tutup usia dalam kesakitan.[17]

Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum berada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga paling memungkinkan untuk para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang berada.[18]

Korea

Belum berada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah berada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas dorongan keluarganya. Polisi kesudahan menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam faedah kata eutanasia aktif.

Pada akhir-akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tingkah laku yang dibuat eutanasia pasif, bisa diperkenankan apabila pasien terminal berharap penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]

Dalam nasihat gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan zaman ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan nasihat moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya dijadikan saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga dijadikan saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, merupakan yang pertama menguraikan secara jelas persoalan moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk nasihat iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan makin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sbg sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan makin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita supaya melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sbg beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tingkah laku yang dibuat belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak bisa kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]

Dalam nasihat agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia merupakan didasarkan pada nasihat tentang karma, moksa dan ahimsa.

Karma merupakan merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud tingkah laku, yang adun maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan akal kata-kata atau tingkah laku yang dibuat. Sbg penimbunan terus menerus dari "karma" yang buruk merupakan dijadikan penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang dijadikan suatu sasaran utama dari penganut nasihat Hindu.

Ahimsa merupakan merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.

Bunuh diri merupakan suatu tingkah laku yang terlarang di dalam nasihat Hindu dengan pemikiran bahwa tingkah laku tersebut bisa dijadikan suatu factor yang mengganggu pada masa reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia merupakan merupakan suatu kesempatan yang paling bernilai untuk meraih tingkat yang lebih adun dalam kehidupan kembali.

Sesuai kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang menerapkan bunuh diri, karena itu rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sbg roh jahat dan berkelana tanpa sasaran hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun karena itu 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu karena itu rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhir-akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.[23]

Dalam nasihat agama Buddha

Nasihat agama Buddha paling menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk menerapkan pembunuhan makhluk hidup merupakan merupakan salah satu moral dalam nasihat Budha. Sesuai pada hal tersebut di atas karena itu nampak jelas bahwa euthanasia merupakan sesuatu tingkah laku yang tidak bisa dibenarkan dalam nasihat agama Budha. Selain daripada hal tersebut, nasihat Budha paling menekankan pada "welas asih" ("karuna")

Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan merupakan pelanggaran terhadap perintah utama nasihat Budha yang dengan demikian bisa dijadikan "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan manfaat memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.[24]

Dalam nasihat Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim yang lain (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang bisa menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak berada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, berada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di perlintasan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adun." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain diceritakan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya merupakan "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim yang lain (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]

Eutanasia dalam nasihat Islam dikata qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tingkah laku yang dibuat memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan sasaran meringankan penderitaan si sakit, adun dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak berada suatu argumen yang membenarkan diterapkannya eutanasia ataupun pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing) dalam argumen apapun juga .[26]

Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tingkah laku yang dibuat memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang diterapkan oleh dokter dengan memakai instrumen (alat).

Memudahkan bagian kematian secara aktif (eutanasia positif) merupakan tidak diperkenankan oleh syara'. Karena dalam tingkah laku yang dibuat ini seorang dokter menerapkan suatu tingkah laku yang dibuat aktif dengan sasaran membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melewati pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa akbar yang membinasakan.

Tingkah laku demikian itu merupakan termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]

Eutanasia negatif

Eutanasia negatif dikata dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada kepercayaan dokter bahwa pengobatan yang diterapkan itu tidak berada manfaatnya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap dunia semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di selang persoalan yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak mesti hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang diceritakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dinyatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan beberapa ulama lagi mengasumsikannya mustahab (sunnah).[28]

Dalam nasihat gereja Ortodoks

Pada nasihat Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan dunia baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri merupakan merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu merupakan sesuatu yang buruk sbg suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang paling kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karena itu menentang anjuran eutanasia.[29]

Dalam nasihat agama Yahudi

Nasihat agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sbg pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun sasarannya agung sekalipun, sebuah tingkah laku yang dibuat mercy killing ( pembunuhan sesuai belas kasihan), merupakan merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.[30]

Dasar dari larangan ini bisa ditemukan pada Kitab Perihal sahnya dalam alkitab Akad Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Diri sendiri akan menuntut balasnya; dari segala hewan Diri sendiri akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Diri sendiri akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini merupakan merujuk kepada larangan tingkah laku yang dibuat eutanasia.[32]

Dalam nasihat Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]

  • Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku nasihatnya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar bisa mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas kesudahan kesempatan hidup tersebut".
  • Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sbg suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut dijadikan sia-sia dan memberatkan, karena itu secara tanggung jawab moral bisa dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh merupakan merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih adun.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tingkah laku yang dibuat mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi karena itu faedahnya suatu pemaaf untuk tingkah laku dosa, juga dimasa hadapan merupakan suatu racun untuk dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awal mulanya, cara pandang yang diterapkan kaum kristiani dalam menanggapi persoalan "bunuh diri" dan "pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing) merupakan dari sudut "kekudusan kehidupan" sbg suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan argumen apapun juga merupakan bertentangan dengan maksud dan sasaran pemberian tersebut.

Beberapa kasus menarik

Kasus Hasan Kusuma - Indonesia

Sebuah permohonan untuk menerapkan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu argumen pula. Permohonan untuk menerapkan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar harapan pasien. Permohonan ini akhir-akhirnya tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif karena itu kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.[34]

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan memakai peralatan bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran dampak pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berkelebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, karena itu orangtuanya berharap supaya dokter melepas pemakaian peralatan bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kesudahan dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien tidak diterima, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga peralatan bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan peralatan bantu tersebut, pasien bisa bernapas spontan walaupun sedang dalam kondisi koma. Dan baru sembilan tahun kesudahan, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal dampak infeksi paru-paru (pneumonia).

Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo
Lahir3 Desember 1963
Pennsylvania

Terri Schiavo (usia 41 tahun) tutup usia di negara bidang Florida, 13 hari setelah Mahkamah Luhur Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini sedang bisa hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 masa Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam kondisi gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri bisa diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, dampak kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kesudahan dituduh malapraktik dan mesti membayar ganti rugi cukup akbar karena dinilai tidak ingat dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam kondisi koma, karena itu pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan supaya pipa peralatan bantu makanan pada istrinya bisa dicabut supaya istrinya bisa meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum manfaat menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari mesti dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhir-akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, karena itu para pendukung keluarga Schindler menerapkan upaya-upaya manfaat menggerakkan Senat Amerika Serikat supaya menciptakan undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, sesuai hukum di Amerika kekuasaan kehakiman merupakan independen, yang pada akhir-akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Kasus "Doctor Death"

Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe [35]. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale[36] , California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang diterapkannya semata demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa yang diterapkannya merupakan pembunuhan.

Kasus rumah sakit Boramae - Korea

Pada tahun 2002, berada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut peralatan bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut berharap polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan menerapkan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah berharap untuk tidak dipasangi peralatan bantu pernapasan tersebut. Satu ahad sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium kesudahan, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, probabilitas hanya bisa bertahan hidup selama 24 jam saja.[37]

Kasus BBC

Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Bagian menuju kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu merupakan Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun berharap dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana ia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa cara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya masa meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial yang lain serta media cetak menciptakan BBC dijuluki 'pemandu sorak' euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai cara itu. Warga mengasumsikan cara ini 'tak pantas'. Gugusan amal, politik dan agama bergabung menyatakan cara ini 'propaganda' euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, "Menayangkan kematian pasien di cara demi hiburan, BBC mesti punya argumen kuat". Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan cara ini manfaat mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga menciptakan pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru cakap BBC menambahkan, "Terkait cara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total pengaduan pun dijadikan 898". Regulator media Ofcom sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC memperoleh 'banyak' pengaduan. [38] [39]

Lihat pula

Footnote

  1. ^ "Nitschke suicide machine confiscated". The Sydney Morning Herald. 2003-01-10. 
  2. ^ Lihat artikel Sikap yang dibuat T4
  3. ^ C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi Kedokteran Modern terhadap Budaya Kematian dan Kehidupan", Bidang Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ,USU library, 5
  4. ^ Situs euthanasia.com
  5. ^ Situs Prague Daily Monitor/ČTK / terbitan 27 February 2007
  6. ^ Situs Internatonal taskforce
  7. ^ Situs Eutanasia
  8. ^ Oregon Death with Dignity Act; situs pemerintah Negara Bidang Oregon
  9. ^ The New England Journal of Medicine, 24-2-2000
  10. ^ Kompas, 28 September 2000
  11. ^ Carroll, Joseph (2006, June 19). Public Continues to Support Right-to-Die for Terminally Ill Patients. Retrieved on January 16, 2007, from The Gallup Poll Web site: Catatan : Jajak argumen ini diterapkan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat lapang dan bukannya berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada dukungan terhadap eutanasia. Jajak argumen tersebut bukan merupakan suatu indikator dukungan terhadap suatu aktivitas yang dipekerjakan kampanye eutanasia. Lihat :Situs Galluppoll
  12. ^ Situs Tempointeraktif
  13. ^ Situs BBC
  14. ^ Laporan Nuclear Contol Institute tentang kecelakaan nuklir di Jepang
  15. ^ Prague Daily Monitor/ČTK / terbitan 27 Februar1 2007
  16. ^ Situs Eastern book company
  17. ^ Situs Human Rights China
  18. ^ Situs National Center for Biotechnology Information
  19. ^ Situs Asianews
  20. ^ Kongregasi kudus tentang doktrin kehidupan. "Declaration on Euthanasia," May 5, 1980
  21. ^ Evangelium Vitae
  22. ^ "Lihat artikel "Eutanasia Menurut Nasihat Gereja" yang didefinisikan oleh Yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald."
  23. ^ Situs religionfacts.com tentang nasihat Hindu
  24. ^ Euthanasia: Murder or Compassion?
  25. ^ Harian Akal Rakyat
  26. ^ Situs infoplease.com
  27. ^ Fatwa-fatwa kontemporer
  28. ^ Media Isnet
  29. ^ Stand of the Orthodox Church - Euthanasia
  30. ^ Euthanasia and Judaism: Jewish Views of Euthanasia and Suicide
  31. ^ Teks Asli Versi King James Version : "Surely for your lifeblood I will demand [a reckoning]; from the hand of every beast I will require it, and from the hand of man. From the hand of every man's brother I will require the life of man.situs sabda.org
  32. ^ The Jewish view on euthanasia
  33. ^ diambil dari situs christianitytoday.com
  34. ^ situs Kompas
  35. ^ New England Journal of Medicine edisi Desember 2000
  36. ^ Situs Glendale Adventist Medical Center
  37. ^ Situs Asia News
  38. ^ Situs Dailymail tentang anti-euthanasia di swiss
  39. ^ Situs okegan tentang euthanasia di swiss

Daftar referensi

  • Agamben, Giorgio; didefinisikan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN 0-8047-3218-3. 
  • Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-2986-7. 
  • Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
  • Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
  • Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.
  • Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
  • Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination, sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
  • Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7. 
  • Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9. 
  • Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing' legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6 (May 1958).
  • Kelly, Gerald. "The duty of using artificial means of preserving life" in Theological Studies (11:203-220), 1950.
  • Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assisted suicide: What are the issues? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2001. (E.g., Engelhardt on secular bioethics)
  • Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United States" in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997.
  • Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.
  • Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
  • PCSEPMBBR, United States. President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal issues in treatment decisions. Washington, DC: President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research: For sale by the Supt. of Docs. U.S. G.P.O.
  • Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press, 1986.
  • Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law Review 27 (1975) 213-269.
  • Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on euthanasia. Vatican City: The Vatican.
  • Stone, T. Howard, and Winslade, William J. "Physician-assisted suicide and euthanasia in the United States" in Journal of Legal Medicine (16:481-507), December 1995.

Tautan luar

  • Hindu website
  • Religion and euthanasia
  • Euthanasia dan Agama - berbagai pandangan agama atas eutanasia
  • The Ethics of Euthanasia - a UK site that looks at the issues, case studies and ethical and Christian responses
  • Religion and Ethics - Euthanasia - many views of euthanasia, for, against, and religious, from the BBC
  • Euthanasia ProCon.org - "Should euthanasia be legal?" - Pros, cons, history, laws, polls, and biographies of key players in debate
  • Issue Guide on the Right to Die - Analysis of public opinion and policy alternatives from Public Aktivitas yang dipekerjakan Online
  • Dutch Ministry of Foreign Affairs - FAQ brochures explaining Dutch policy on euthanasia (Inggris)
  • Ministry of Health, Welfare and Sport - Information on Dutch euthanasia legislation (Inggris)
  • Stanford Encyclopedia of Philosophy entry
  • - Euthanasia World Directory international information on voluntary euthanasia, assisted suicide, and self-deliverance
  • Final Exit Network provides guides to self-deliverance for the terminally and hopelessly ill to end their suffering
  • Compassion & Choices - provides education, support and advocacy for the choice-in-dying movement
  • Dignity in Dying - leading campaigning organisation promoting patient choice at the end of life
  • World Federation of Right To Die Societies
  • Assisted Suicide
  • Suicide & Euthanasia- Presents pro-choice arguments from a Biblical perspective.
  • Voluntary Euthanasia- Atheist Foundation of Australia Inc
  • A defense of euthanasia
  • Pro Euthanasia Dr Philip Nitschke - (Australian) Euthanasia law reform advocacy website, currently based in New Zealand.
  • Euthanasia and the Right to Life
  • Euthanasia Clinic - Roger Graham. Founder of Assisted Euthanasia Society of Paradise (AESOP), expelled from Cambodia for proposing Euthanasia Tourism, advocate for a Compassionate Law, an activist for Euthanasia since 1971.
  • Euthanasia.com
  • Not Dead Yet (the disability rights group opposing Assisted Suicide)
  • Is Killing Kind?
  • Christian Study on euthanasia
  • www.carenotkilling.org.uk - Care, NOT Killing: a UK alliance promoting palliative care, opposing euthanasia and assisted suicide
  • euthanasia.com
  • National Right to Life articles on euthanasia
  • International Task Force against Euthanasia- many resources
  • Non-religious arguments against euthanasia
  • A Papal encyclical dealing with a number of issues of life and death including euthanasia
  • A brief presentation of the issue and the Christian Catholic viewpoint on it
  • The Rosicrucian Fellowship's viewpoint: Suicide and Euthanasia
  • Scholarly articles on Euthanasia from the Wisconsin Lutheran Seminary Library

edunitas.com


Page 3

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar komputer jinjing memandu pengguna melewati beberapa tahapan dan pertanyaan manfaat memastikan bahwa si pengguna telah benar-benar siap untuk dalam keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kesudahan diterapkan dengan pertolongan mesin yang diatur dari komputer.[1]

Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang faedahnya "baik", dan θάνατος, thanatos yang faedahnya kematian) merupakan praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melewati cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya diterapkan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai persoalan ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tingkah laku yang dibuat medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara yang lain dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan cara yang sempit selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Terminologi

Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia bisa dibagi dijadikan tiga kategori, yaitu eutanasia sifat menyerang, eutanasia non sifat menyerang, dan eutanasia pasif.

  • Eutanasia sifat menyerang, dikata juga eutanasia aktif, merupakan suatu tingkah laku yang dibuat secara sengaja yang diterapkan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia sifat menyerang bisa diterapkan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, adun secara oral maupun melewati suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut merupakan tablet sianida.
  • Eutanasia non sifat menyerang, kadang juga dikata eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sbg eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan menciptakan sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non sifat menyerang pada dasarnya merupakan suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
  • Eutanasia pasif bisa juga dikategorikan sbg tingkah laku yang dibuat eutanasia negatif yang tidak memakai alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif diterapkan dengan melepas pemberian pertolongan medis yang bisa memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa misalnya merupakan dengan tidak memberikan pertolongan oksigen untuk pasien yang mengalami kesukaran dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tingkah laku yang dibuat operasi yang seharusnya diterapkan manfaat memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan menyebabkan kematian. Tingkah laku yang dibuat eutanasia pasif seringkali diterapkan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa diterapkan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya dampak keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan berada permintaan dari pihak rumah sakit untuk menciptakan "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhir-akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sbg upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin karena itu eutanasia bisa digolongkan dijadikan tiga yaitu :

  • Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tingkah laku yang dibuat eutanasia yang bertentangan dengan harapan si pasien untuk tetap hidup. Tingkah laku yang dibuat eutanasia semacam ini bisa disamakan dengan pembunuhan.
  • Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini merupakan yang seringkali dijadikan bahan perdebatan dan dianggap sbg suatu tingkah laku yang dibuat yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini dijadikan paling kontroversial karena beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan untuk si pasien.
  • Eutanasia secara sukarela : diterapkan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga sedang merupakan hal kontroversial.

Eutanasia ditinjau dari sudut sasaran

Beberapa sasaran pokok dari diterapkannya eutanasia diantaranya yaitu :

  • Pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing)
  • Eutanasia hewan
  • Eutanasia sesuai pertolongan dokter, ini merupakan bentuk lain daripada eutanasia sifat menyerang secara sukarela

Sejarah eutanasia

Asal-usul kata eutanasia

Kata eutanasia bermula dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan faedahnya "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali memakai istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: "Diri sendiri tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga masa "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

Eutanasia dalam dunia modern

Sejak zaman ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bidang New York, yang pada beberapa tahun kesudahan diberlakukan pula oleh beberapa negara bidang.

Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung diterapkannya eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia sifat menyerang, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak sukses digolkan di Amerika maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.

Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sbg bentuk "pembunuhan sesuai belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman menerapkan suatu tingkah laku yang dibuat kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan yang lain yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Sikap yang dibuat T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.[2]

Eutanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam menerapkan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 karena itu berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tingkah laku yang dibuat eutanasia yang diterapkan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.

Praktik-praktik eutanasia di dunia

Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tingkah laku yang dibuat penduduk[3]:

  • Di India pernah dipraktikkan suatu norma budaya untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
  • Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
  • Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang yang telah berlanjut sejak tahun 1933.
  • Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sbg kejahatan khusus.
  • Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bidang, eutanasia dikategorikan sbg kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh merupakan melanggar hukum di Amerika Serikat.
  • Satu-satunya negara yang bisa menerapkan tingkah laku yang dibuat eutanasia untuk para anggotanya merupakan Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu bisa berharap tingkah laku yang dibuat eutanasia atas dirinya. Berada beberapa warga Amerika Serikat yang dijadikan anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya tidak pernah diterapkan eutanasia aktif, namun mungkin berada praktik-praktik medis yang bisa digolongkan eutanasia pasif.

Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bidang Oregon di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sbg kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark [5]

Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlanjut sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda dijadikan negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara resmi euthanasia dan bunuh diri berbantuan sedang dipertahankan sbg tingkah laku kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan menerapkan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa cara yang telah ditetapkan. Cara tersebut merupakan mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak mesti seorang spesialis) dan menciptakan laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak kesudahan tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya caranya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang menerapkan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

Australia

Negara bidang Australia, Northern Territory, dijadikan tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang dikata "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga mesti ditarik kembali.

Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tingkah laku yang dibuat eutanasia pada kesudahan September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tingkah laku yang dibuat eutanasia setiap tahunnya telah diterapkan sejak dilegalisasikannya tingkah laku yang dibuat eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya cara pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia sekarang dijadikan negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bidang Oregon di Amerika).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis merupakan merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat kesudahan hidupnya.[7]

Amerika

Eutanasia sifat menyerang dinyatakan ilegal di banyak negara bidang di Amerika. Masa ini satu-satunya negara bidang di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya merupakan negara bidang Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan probabilitas diterapkannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup sempit, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta pertolongan untuk bunuh diri, bila mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan harapan ini mesti diajukan hingga tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua mesti mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam kondisi gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya adun asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa hadapan, karena dalam Senat AS pun berada usaha untuk meniadakan UU negara bidang ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9][10]

Sebuah lembaga jajak argumen terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung diterapkannya eutanasia [11]

Indonesia

Sesuai hukum di Indonesia karena itu eutanasia merupakan sesuatu tingkah laku yang melawan hukum, hal ini bisa diamati pada peraturan perundang-undangan yang berada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang diceritakannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga bisa diceritakan memenuhi unsur-unsur delik dalam tingkah laku eutanasia. Dengan demikian, secara resmi hukum yang berlanjut di negara kita memang tidak mengizinkan tingkah laku yang dibuat eutanasia oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus akbar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga masa ini belum bisa diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam penduduk Indonesia. "Euthanasia hingga masa ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang sedang berlanjut yakni KUHP.

Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan bisa diberikan adun kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan berharapnya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri merupakan merupakan suatu tingkah laku melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kebutuhan diri sendiri."

Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk menerapkan pengelompokan terhadap obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) supaya dipertimbangkannya izin untuk menerapkan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata manfaat memohon dipertimbangkannya secara saksama dari bidang faktor "kemungkinan hidup si bayi" sbg suatu legitimasi praktik kedokteran.

Namun hingga masa ini eutanasia sedang merupakan suatu tingkah laku yang dibuat melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]

Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.

Berada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang bisa dikategorikan sbg "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)

Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sbg "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)

Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu argumen pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh diterapkan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang diterapkan selain pada kedua kasus tersebut merupakan tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang menerapkannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini sedang diajukan banding ke tingkat federal karena itu keputusan tersebut belum mempunyai daya hukum sbg sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian masa ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara manfaat menerapkan eutanasia.

Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sbg suatu tingkah laku yang dibuat pembunuhan sesuai peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sbg suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan supaya pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.[15]

India

Di India eutanasia merupakan suatu tingkah laku melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun sesuai aturan tersebut dokter yang menerapkan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kesilapan yang menyebabkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas harapan orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman sesuai pasal 92 IPC.[16]

China

Di China, eutanasia masa ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia dikenal terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" berharap seorang dokter untuk menerapkan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhir-akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang menerapkan permintaannya, namun 6 tahun kesudahan Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak berada probabilitas untuk disembuhkan lagi dan ia berharap untuk diterapkannya eutanasia atas dirinya namun tidak diterima oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhir-akhirnya ia tutup usia dalam kesakitan.[17]

Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum berada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga paling memungkinkan untuk para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang berada.[18]

Korea

Belum berada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah berada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas dorongan keluarganya. Polisi kesudahan menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam faedah kata eutanasia aktif.

Pada akhir-akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tingkah laku yang dibuat eutanasia pasif, bisa diperkenankan apabila pasien terminal berharap penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]

Dalam nasihat gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan zaman ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan nasihat moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya dijadikan saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga dijadikan saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, merupakan yang pertama menguraikan secara jelas persoalan moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk nasihat iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan makin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sbg sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan makin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita supaya melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sbg beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tingkah laku yang dibuat belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak bisa kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]

Dalam nasihat agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia merupakan didasarkan pada nasihat tentang karma, moksa dan ahimsa.

Karma merupakan merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud tingkah laku, yang adun maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan akal kata-kata atau tingkah laku yang dibuat. Sbg penimbunan terus menerus dari "karma" yang buruk merupakan dijadikan penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang dijadikan suatu sasaran utama dari penganut nasihat Hindu.

Ahimsa merupakan merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.

Bunuh diri merupakan suatu tingkah laku yang terlarang di dalam nasihat Hindu dengan pemikiran bahwa tingkah laku tersebut bisa dijadikan suatu factor yang mengganggu pada masa reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia merupakan merupakan suatu kesempatan yang paling bernilai untuk meraih tingkat yang lebih adun dalam kehidupan kembali.

Sesuai kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang menerapkan bunuh diri, karena itu rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sbg roh jahat dan berkelana tanpa sasaran hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun karena itu 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu karena itu rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhir-akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.[23]

Dalam nasihat agama Buddha

Nasihat agama Buddha paling menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk menerapkan pembunuhan makhluk hidup merupakan merupakan salah satu moral dalam nasihat Budha. Sesuai pada hal tersebut di atas karena itu nampak jelas bahwa euthanasia merupakan sesuatu tingkah laku yang tidak bisa dibenarkan dalam nasihat agama Budha. Selain daripada hal tersebut, nasihat Budha paling menekankan pada "welas asih" ("karuna")

Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan merupakan pelanggaran terhadap perintah utama nasihat Budha yang dengan demikian bisa dijadikan "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan manfaat memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.[24]

Dalam nasihat Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim yang lain (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang bisa menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak berada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, berada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di perlintasan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adun." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain diceritakan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya merupakan "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim yang lain (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]

Eutanasia dalam nasihat Islam dikata qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tingkah laku yang dibuat memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan sasaran meringankan penderitaan si sakit, adun dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak berada suatu argumen yang membenarkan diterapkannya eutanasia ataupun pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing) dalam argumen apapun juga .[26]

Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tingkah laku yang dibuat memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang diterapkan oleh dokter dengan memakai instrumen (alat).

Memudahkan bagian kematian secara aktif (eutanasia positif) merupakan tidak diperkenankan oleh syara'. Karena dalam tingkah laku yang dibuat ini seorang dokter menerapkan suatu tingkah laku yang dibuat aktif dengan sasaran membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melewati pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa akbar yang membinasakan.

Tingkah laku demikian itu merupakan termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]

Eutanasia negatif

Eutanasia negatif dikata dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada kepercayaan dokter bahwa pengobatan yang diterapkan itu tidak berada manfaatnya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap dunia semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di selang persoalan yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak mesti hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang diceritakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dinyatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan beberapa ulama lagi mengasumsikannya mustahab (sunnah).[28]

Dalam nasihat gereja Ortodoks

Pada nasihat Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan dunia baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri merupakan merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu merupakan sesuatu yang buruk sbg suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang paling kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karena itu menentang anjuran eutanasia.[29]

Dalam nasihat agama Yahudi

Nasihat agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sbg pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun sasarannya agung sekalipun, sebuah tingkah laku yang dibuat mercy killing ( pembunuhan sesuai belas kasihan), merupakan merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.[30]

Dasar dari larangan ini bisa ditemukan pada Kitab Perihal sahnya dalam alkitab Akad Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Diri sendiri akan menuntut balasnya; dari segala hewan Diri sendiri akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Diri sendiri akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini merupakan merujuk kepada larangan tingkah laku yang dibuat eutanasia.[32]

Dalam nasihat Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]

  • Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku nasihatnya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar bisa mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas kesudahan kesempatan hidup tersebut".
  • Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sbg suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut dijadikan sia-sia dan memberatkan, karena itu secara tanggung jawab moral bisa dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh merupakan merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih adun.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tingkah laku yang dibuat mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi karena itu faedahnya suatu pemaaf untuk tingkah laku dosa, juga dimasa hadapan merupakan suatu racun untuk dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awal mulanya, cara pandang yang diterapkan kaum kristiani dalam menanggapi persoalan "bunuh diri" dan "pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing) merupakan dari sudut "kekudusan kehidupan" sbg suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan argumen apapun juga merupakan bertentangan dengan maksud dan sasaran pemberian tersebut.

Beberapa kasus menarik

Kasus Hasan Kusuma - Indonesia

Sebuah permohonan untuk menerapkan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu argumen pula. Permohonan untuk menerapkan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar harapan pasien. Permohonan ini akhir-akhirnya tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif karena itu kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.[34]

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan memakai peralatan bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran dampak pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berkelebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, karena itu orangtuanya berharap supaya dokter melepas pemakaian peralatan bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kesudahan dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien tidak diterima, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga peralatan bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan peralatan bantu tersebut, pasien bisa bernapas spontan walaupun sedang dalam kondisi koma. Dan baru sembilan tahun kesudahan, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal dampak infeksi paru-paru (pneumonia).

Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo
Lahir3 Desember 1963
Pennsylvania

Terri Schiavo (usia 41 tahun) tutup usia di negara bidang Florida, 13 hari setelah Mahkamah Luhur Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini sedang bisa hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 masa Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam kondisi gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri bisa diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, dampak kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kesudahan dituduh malapraktik dan mesti membayar ganti rugi cukup akbar karena dinilai tidak ingat dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam kondisi koma, karena itu pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan supaya pipa peralatan bantu makanan pada istrinya bisa dicabut supaya istrinya bisa meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum manfaat menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari mesti dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhir-akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, karena itu para pendukung keluarga Schindler menerapkan upaya-upaya manfaat menggerakkan Senat Amerika Serikat supaya menciptakan undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, sesuai hukum di Amerika kekuasaan kehakiman merupakan independen, yang pada akhir-akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Kasus "Doctor Death"

Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe [35]. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale[36] , California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang diterapkannya semata demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa yang diterapkannya merupakan pembunuhan.

Kasus rumah sakit Boramae - Korea

Pada tahun 2002, berada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut peralatan bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut berharap polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan menerapkan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah berharap untuk tidak dipasangi peralatan bantu pernapasan tersebut. Satu ahad sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium kesudahan, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, probabilitas hanya bisa bertahan hidup selama 24 jam saja.[37]

Kasus BBC

Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Bagian menuju kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu merupakan Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun berharap dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana ia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa cara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya masa meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial yang lain serta media cetak menciptakan BBC dijuluki 'pemandu sorak' euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai cara itu. Warga mengasumsikan cara ini 'tak pantas'. Gugusan amal, politik dan agama bergabung menyatakan cara ini 'propaganda' euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, "Menayangkan kematian pasien di cara demi hiburan, BBC mesti punya argumen kuat". Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan cara ini manfaat mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga menciptakan pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru cakap BBC menambahkan, "Terkait cara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total pengaduan pun dijadikan 898". Regulator media Ofcom sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC memperoleh 'banyak' pengaduan. [38] [39]

Lihat pula

Footnote

  1. ^ "Nitschke suicide machine confiscated". The Sydney Morning Herald. 2003-01-10. 
  2. ^ Lihat artikel Sikap yang dibuat T4
  3. ^ C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi Kedokteran Modern terhadap Budaya Kematian dan Kehidupan", Bidang Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ,USU library, 5
  4. ^ Situs euthanasia.com
  5. ^ Situs Prague Daily Monitor/ČTK / terbitan 27 February 2007
  6. ^ Situs Internatonal taskforce
  7. ^ Situs Eutanasia
  8. ^ Oregon Death with Dignity Act; situs pemerintah Negara Bidang Oregon
  9. ^ The New England Journal of Medicine, 24-2-2000
  10. ^ Kompas, 28 September 2000
  11. ^ Carroll, Joseph (2006, June 19). Public Continues to Support Right-to-Die for Terminally Ill Patients. Retrieved on January 16, 2007, from The Gallup Poll Web site: Catatan : Jajak argumen ini diterapkan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat lapang dan bukannya berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada dukungan terhadap eutanasia. Jajak argumen tersebut bukan merupakan suatu indikator dukungan terhadap suatu aktivitas yang dipekerjakan kampanye eutanasia. Lihat :Situs Galluppoll
  12. ^ Situs Tempointeraktif
  13. ^ Situs BBC
  14. ^ Laporan Nuclear Contol Institute tentang kecelakaan nuklir di Jepang
  15. ^ Prague Daily Monitor/ČTK / terbitan 27 Februar1 2007
  16. ^ Situs Eastern book company
  17. ^ Situs Human Rights China
  18. ^ Situs National Center for Biotechnology Information
  19. ^ Situs Asianews
  20. ^ Kongregasi kudus tentang doktrin kehidupan. "Declaration on Euthanasia," May 5, 1980
  21. ^ Evangelium Vitae
  22. ^ "Lihat artikel "Eutanasia Menurut Nasihat Gereja" yang didefinisikan oleh Yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald."
  23. ^ Situs religionfacts.com tentang nasihat Hindu
  24. ^ Euthanasia: Murder or Compassion?
  25. ^ Harian Akal Rakyat
  26. ^ Situs infoplease.com
  27. ^ Fatwa-fatwa kontemporer
  28. ^ Media Isnet
  29. ^ Stand of the Orthodox Church - Euthanasia
  30. ^ Euthanasia and Judaism: Jewish Views of Euthanasia and Suicide
  31. ^ Teks Asli Versi King James Version : "Surely for your lifeblood I will demand [a reckoning]; from the hand of every beast I will require it, and from the hand of man. From the hand of every man's brother I will require the life of man.situs sabda.org
  32. ^ The Jewish view on euthanasia
  33. ^ diambil dari situs christianitytoday.com
  34. ^ situs Kompas
  35. ^ New England Journal of Medicine edisi Desember 2000
  36. ^ Situs Glendale Adventist Medical Center
  37. ^ Situs Asia News
  38. ^ Situs Dailymail tentang anti-euthanasia di swiss
  39. ^ Situs okegan tentang euthanasia di swiss

Daftar referensi

  • Agamben, Giorgio; didefinisikan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN 0-8047-3218-3. 
  • Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-2986-7. 
  • Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
  • Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
  • Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.
  • Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
  • Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination, sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
  • Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7. 
  • Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9. 
  • Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing' legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6 (May 1958).
  • Kelly, Gerald. "The duty of using artificial means of preserving life" in Theological Studies (11:203-220), 1950.
  • Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assisted suicide: What are the issues? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2001. (E.g., Engelhardt on secular bioethics)
  • Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United States" in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997.
  • Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.
  • Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
  • PCSEPMBBR, United States. President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal issues in treatment decisions. Washington, DC: President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research: For sale by the Supt. of Docs. U.S. G.P.O.
  • Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press, 1986.
  • Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law Review 27 (1975) 213-269.
  • Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on euthanasia. Vatican City: The Vatican.
  • Stone, T. Howard, and Winslade, William J. "Physician-assisted suicide and euthanasia in the United States" in Journal of Legal Medicine (16:481-507), December 1995.

Tautan luar

  • Hindu website
  • Religion and euthanasia
  • Euthanasia dan Agama - berbagai pandangan agama atas eutanasia
  • The Ethics of Euthanasia - a UK site that looks at the issues, case studies and ethical and Christian responses
  • Religion and Ethics - Euthanasia - many views of euthanasia, for, against, and religious, from the BBC
  • Euthanasia ProCon.org - "Should euthanasia be legal?" - Pros, cons, history, laws, polls, and biographies of key players in debate
  • Issue Guide on the Right to Die - Analysis of public opinion and policy alternatives from Public Aktivitas yang dipekerjakan Online
  • Dutch Ministry of Foreign Affairs - FAQ brochures explaining Dutch policy on euthanasia (Inggris)
  • Ministry of Health, Welfare and Sport - Information on Dutch euthanasia legislation (Inggris)
  • Stanford Encyclopedia of Philosophy entry
  • - Euthanasia World Directory international information on voluntary euthanasia, assisted suicide, and self-deliverance
  • Final Exit Network provides guides to self-deliverance for the terminally and hopelessly ill to end their suffering
  • Compassion & Choices - provides education, support and advocacy for the choice-in-dying movement
  • Dignity in Dying - leading campaigning organisation promoting patient choice at the end of life
  • World Federation of Right To Die Societies
  • Assisted Suicide
  • Suicide & Euthanasia- Presents pro-choice arguments from a Biblical perspective.
  • Voluntary Euthanasia- Atheist Foundation of Australia Inc
  • A defense of euthanasia
  • Pro Euthanasia Dr Philip Nitschke - (Australian) Euthanasia law reform advocacy website, currently based in New Zealand.
  • Euthanasia and the Right to Life
  • Euthanasia Clinic - Roger Graham. Founder of Assisted Euthanasia Society of Paradise (AESOP), expelled from Cambodia for proposing Euthanasia Tourism, advocate for a Compassionate Law, an activist for Euthanasia since 1971.
  • Euthanasia.com
  • Not Dead Yet (the disability rights group opposing Assisted Suicide)
  • Is Killing Kind?
  • Christian Study on euthanasia
  • www.carenotkilling.org.uk - Care, NOT Killing: a UK alliance promoting palliative care, opposing euthanasia and assisted suicide
  • euthanasia.com
  • National Right to Life articles on euthanasia
  • International Task Force against Euthanasia- many resources
  • Non-religious arguments against euthanasia
  • A Papal encyclical dealing with a number of issues of life and death including euthanasia
  • A brief presentation of the issue and the Christian Catholic viewpoint on it
  • The Rosicrucian Fellowship's viewpoint: Suicide and Euthanasia
  • Scholarly articles on Euthanasia from the Wisconsin Lutheran Seminary Library

edunitas.com


Page 4

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar komputer jinjing memandu pengguna melewati beberapa tahapan dan pertanyaan manfaat memastikan bahwa si pengguna telah benar-benar siap untuk dalam keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kesudahan diterapkan dengan pertolongan mesin yang diatur dari komputer.[1]

Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang faedahnya "baik", dan θάνατος, thanatos yang faedahnya kematian) merupakan praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melewati cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya diterapkan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai persoalan ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tingkah laku yang dibuat medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara yang lain dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan cara yang sempit selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Terminologi

Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia bisa dibagi dijadikan tiga kategori, yaitu eutanasia sifat menyerang, eutanasia non sifat menyerang, dan eutanasia pasif.

  • Eutanasia sifat menyerang, dikata juga eutanasia aktif, merupakan suatu tingkah laku yang dibuat secara sengaja yang diterapkan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia sifat menyerang bisa diterapkan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, adun secara oral maupun melewati suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut merupakan tablet sianida.
  • Eutanasia non sifat menyerang, kadang juga dikata eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sbg eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan menciptakan sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non sifat menyerang pada dasarnya merupakan suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
  • Eutanasia pasif bisa juga dikategorikan sbg tingkah laku yang dibuat eutanasia negatif yang tidak memakai alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif diterapkan dengan melepas pemberian pertolongan medis yang bisa memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa misalnya merupakan dengan tidak memberikan pertolongan oksigen untuk pasien yang mengalami kesukaran dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tingkah laku yang dibuat operasi yang seharusnya diterapkan manfaat memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan menyebabkan kematian. Tingkah laku yang dibuat eutanasia pasif seringkali diterapkan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa diterapkan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya dampak keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan berada permintaan dari pihak rumah sakit untuk menciptakan "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhir-akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sbg upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin karena itu eutanasia bisa digolongkan dijadikan tiga yaitu :

  • Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tingkah laku yang dibuat eutanasia yang bertentangan dengan harapan si pasien untuk tetap hidup. Tingkah laku yang dibuat eutanasia semacam ini bisa disamakan dengan pembunuhan.
  • Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini merupakan yang seringkali dijadikan bahan perdebatan dan dianggap sbg suatu tingkah laku yang dibuat yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini dijadikan paling kontroversial karena beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan untuk si pasien.
  • Eutanasia secara sukarela : diterapkan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga sedang merupakan hal kontroversial.

Eutanasia ditinjau dari sudut sasaran

Beberapa sasaran pokok dari diterapkannya eutanasia diantaranya yaitu :

  • Pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing)
  • Eutanasia hewan
  • Eutanasia sesuai pertolongan dokter, ini merupakan bentuk lain daripada eutanasia sifat menyerang secara sukarela

Sejarah eutanasia

Asal-usul kata eutanasia

Kata eutanasia bermula dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan faedahnya "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali memakai istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: "Diri sendiri tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga masa "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

Eutanasia dalam dunia modern

Sejak zaman ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bidang New York, yang pada beberapa tahun kesudahan diberlakukan pula oleh beberapa negara bidang.

Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung diterapkannya eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia sifat menyerang, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak sukses digolkan di Amerika maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.

Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sbg bentuk "pembunuhan sesuai belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman menerapkan suatu tingkah laku yang dibuat kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan yang lain yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Sikap yang dibuat T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.[2]

Eutanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam menerapkan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 karena itu berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tingkah laku yang dibuat eutanasia yang diterapkan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.

Praktik-praktik eutanasia di dunia

Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tingkah laku yang dibuat penduduk[3]:

  • Di India pernah dipraktikkan suatu norma budaya untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
  • Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
  • Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang yang telah berlanjut sejak tahun 1933.
  • Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sbg kejahatan khusus.
  • Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bidang, eutanasia dikategorikan sbg kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh merupakan melanggar hukum di Amerika Serikat.
  • Satu-satunya negara yang bisa menerapkan tingkah laku yang dibuat eutanasia untuk para anggotanya merupakan Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu bisa berharap tingkah laku yang dibuat eutanasia atas dirinya. Berada beberapa warga Amerika Serikat yang dijadikan anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya tidak pernah diterapkan eutanasia aktif, namun mungkin berada praktik-praktik medis yang bisa digolongkan eutanasia pasif.

Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bidang Oregon di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sbg kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark [5]

Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlanjut sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda dijadikan negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara resmi euthanasia dan bunuh diri berbantuan sedang dipertahankan sbg tingkah laku kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan menerapkan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa cara yang telah ditetapkan. Cara tersebut merupakan mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak mesti seorang spesialis) dan menciptakan laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak kesudahan tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya caranya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang menerapkan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

Australia

Negara bidang Australia, Northern Territory, dijadikan tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang dikata "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga mesti ditarik kembali.

Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tingkah laku yang dibuat eutanasia pada kesudahan September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tingkah laku yang dibuat eutanasia setiap tahunnya telah diterapkan sejak dilegalisasikannya tingkah laku yang dibuat eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya cara pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia sekarang dijadikan negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bidang Oregon di Amerika).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis merupakan merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat kesudahan hidupnya.[7]

Amerika

Eutanasia sifat menyerang dinyatakan ilegal di banyak negara bidang di Amerika. Masa ini satu-satunya negara bidang di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya merupakan negara bidang Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan probabilitas diterapkannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup sempit, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta pertolongan untuk bunuh diri, bila mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan harapan ini mesti diajukan hingga tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua mesti mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam kondisi gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya adun asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa hadapan, karena dalam Senat AS pun berada usaha untuk meniadakan UU negara bidang ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9][10]

Sebuah lembaga jajak argumen terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung diterapkannya eutanasia [11]

Indonesia

Sesuai hukum di Indonesia karena itu eutanasia merupakan sesuatu tingkah laku yang melawan hukum, hal ini bisa diamati pada peraturan perundang-undangan yang berada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang diceritakannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga bisa diceritakan memenuhi unsur-unsur delik dalam tingkah laku eutanasia. Dengan demikian, secara resmi hukum yang berlanjut di negara kita memang tidak mengizinkan tingkah laku yang dibuat eutanasia oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus akbar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga masa ini belum bisa diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam penduduk Indonesia. "Euthanasia hingga masa ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang sedang berlanjut yakni KUHP.

Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan bisa diberikan adun kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan berharapnya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri merupakan merupakan suatu tingkah laku melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kebutuhan diri sendiri."

Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk menerapkan pengelompokan terhadap obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) supaya dipertimbangkannya izin untuk menerapkan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata manfaat memohon dipertimbangkannya secara saksama dari bidang faktor "kemungkinan hidup si bayi" sbg suatu legitimasi praktik kedokteran.

Namun hingga masa ini eutanasia sedang merupakan suatu tingkah laku yang dibuat melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]

Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.

Berada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang bisa dikategorikan sbg "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)

Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sbg "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)

Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu argumen pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh diterapkan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang diterapkan selain pada kedua kasus tersebut merupakan tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang menerapkannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini sedang diajukan banding ke tingkat federal karena itu keputusan tersebut belum mempunyai daya hukum sbg sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian masa ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara manfaat menerapkan eutanasia.

Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sbg suatu tingkah laku yang dibuat pembunuhan sesuai peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sbg suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan supaya pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.[15]

India

Di India eutanasia merupakan suatu tingkah laku melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun sesuai aturan tersebut dokter yang menerapkan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kesilapan yang menyebabkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas harapan orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman sesuai pasal 92 IPC.[16]

China

Di China, eutanasia masa ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia dikenal terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" berharap seorang dokter untuk menerapkan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhir-akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang menerapkan permintaannya, namun 6 tahun kesudahan Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak berada probabilitas untuk disembuhkan lagi dan ia berharap untuk diterapkannya eutanasia atas dirinya namun tidak diterima oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhir-akhirnya ia tutup usia dalam kesakitan.[17]

Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum berada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga paling memungkinkan untuk para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang berada.[18]

Korea

Belum berada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah berada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas dorongan keluarganya. Polisi kesudahan menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam faedah kata eutanasia aktif.

Pada akhir-akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tingkah laku yang dibuat eutanasia pasif, bisa diperkenankan apabila pasien terminal berharap penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]

Dalam nasihat gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan zaman ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan nasihat moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya dijadikan saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga dijadikan saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, merupakan yang pertama menguraikan secara jelas persoalan moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk nasihat iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan makin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sbg sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan makin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita supaya melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sbg beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tingkah laku yang dibuat belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak bisa kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]

Dalam nasihat agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia merupakan didasarkan pada nasihat tentang karma, moksa dan ahimsa.

Karma merupakan merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud tingkah laku, yang adun maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan akal kata-kata atau tingkah laku yang dibuat. Sbg penimbunan terus menerus dari "karma" yang buruk merupakan dijadikan penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang dijadikan suatu sasaran utama dari penganut nasihat Hindu.

Ahimsa merupakan merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.

Bunuh diri merupakan suatu tingkah laku yang terlarang di dalam nasihat Hindu dengan pemikiran bahwa tingkah laku tersebut bisa dijadikan suatu factor yang mengganggu pada masa reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia merupakan merupakan suatu kesempatan yang paling bernilai untuk meraih tingkat yang lebih adun dalam kehidupan kembali.

Sesuai kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang menerapkan bunuh diri, karena itu rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sbg roh jahat dan berkelana tanpa sasaran hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun karena itu 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu karena itu rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhir-akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.[23]

Dalam nasihat agama Buddha

Nasihat agama Buddha paling menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk menerapkan pembunuhan makhluk hidup merupakan merupakan salah satu moral dalam nasihat Budha. Sesuai pada hal tersebut di atas karena itu nampak jelas bahwa euthanasia merupakan sesuatu tingkah laku yang tidak bisa dibenarkan dalam nasihat agama Budha. Selain daripada hal tersebut, nasihat Budha paling menekankan pada "welas asih" ("karuna")

Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan merupakan pelanggaran terhadap perintah utama nasihat Budha yang dengan demikian bisa dijadikan "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan manfaat memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.[24]

Dalam nasihat Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim yang lain (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang bisa menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak berada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, berada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di perlintasan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adun." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain diceritakan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya merupakan "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim yang lain (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]

Eutanasia dalam nasihat Islam dikata qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tingkah laku yang dibuat memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan sasaran meringankan penderitaan si sakit, adun dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak berada suatu argumen yang membenarkan diterapkannya eutanasia ataupun pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing) dalam argumen apapun juga .[26]

Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tingkah laku yang dibuat memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang diterapkan oleh dokter dengan memakai instrumen (alat).

Memudahkan bagian kematian secara aktif (eutanasia positif) merupakan tidak diperkenankan oleh syara'. Karena dalam tingkah laku yang dibuat ini seorang dokter menerapkan suatu tingkah laku yang dibuat aktif dengan sasaran membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melewati pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa akbar yang membinasakan.

Tingkah laku demikian itu merupakan termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]

Eutanasia negatif

Eutanasia negatif dikata dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada kepercayaan dokter bahwa pengobatan yang diterapkan itu tidak berada manfaatnya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap dunia semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di selang persoalan yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak mesti hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang diceritakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dinyatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan beberapa ulama lagi mengasumsikannya mustahab (sunnah).[28]

Dalam nasihat gereja Ortodoks

Pada nasihat Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan dunia baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri merupakan merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu merupakan sesuatu yang buruk sbg suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang paling kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karena itu menentang anjuran eutanasia.[29]

Dalam nasihat agama Yahudi

Nasihat agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sbg pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun sasarannya agung sekalipun, sebuah tingkah laku yang dibuat mercy killing ( pembunuhan sesuai belas kasihan), merupakan merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.[30]

Dasar dari larangan ini bisa ditemukan pada Kitab Perihal sahnya dalam alkitab Akad Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Diri sendiri akan menuntut balasnya; dari segala hewan Diri sendiri akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Diri sendiri akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini merupakan merujuk kepada larangan tingkah laku yang dibuat eutanasia.[32]

Dalam nasihat Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]

  • Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku nasihatnya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar bisa mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas kesudahan kesempatan hidup tersebut".
  • Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sbg suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut dijadikan sia-sia dan memberatkan, karena itu secara tanggung jawab moral bisa dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh merupakan merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih adun.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tingkah laku yang dibuat mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi karena itu faedahnya suatu pemaaf untuk tingkah laku dosa, juga dimasa hadapan merupakan suatu racun untuk dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awal mulanya, cara pandang yang diterapkan kaum kristiani dalam menanggapi persoalan "bunuh diri" dan "pembunuhan sesuai belas kasihan (mercy killing) merupakan dari sudut "kekudusan kehidupan" sbg suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan argumen apapun juga merupakan bertentangan dengan maksud dan sasaran pemberian tersebut.

Beberapa kasus menarik

Kasus Hasan Kusuma - Indonesia

Sebuah permohonan untuk menerapkan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu argumen pula. Permohonan untuk menerapkan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar harapan pasien. Permohonan ini akhir-akhirnya tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif karena itu kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.[34]

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan memakai peralatan bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran dampak pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berkelebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, karena itu orangtuanya berharap supaya dokter melepas pemakaian peralatan bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kesudahan dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien tidak diterima, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga peralatan bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan peralatan bantu tersebut, pasien bisa bernapas spontan walaupun sedang dalam kondisi koma. Dan baru sembilan tahun kesudahan, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal dampak infeksi paru-paru (pneumonia).

Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo
Lahir3 Desember 1963
Pennsylvania

Terri Schiavo (usia 41 tahun) tutup usia di negara bidang Florida, 13 hari setelah Mahkamah Luhur Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini sedang bisa hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 masa Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam kondisi gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri bisa diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, dampak kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kesudahan dituduh malapraktik dan mesti membayar ganti rugi cukup akbar karena dinilai tidak ingat dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam kondisi koma, karena itu pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan supaya pipa peralatan bantu makanan pada istrinya bisa dicabut supaya istrinya bisa meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum manfaat menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari mesti dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhir-akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, karena itu para pendukung keluarga Schindler menerapkan upaya-upaya manfaat menggerakkan Senat Amerika Serikat supaya menciptakan undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, sesuai hukum di Amerika kekuasaan kehakiman merupakan independen, yang pada akhir-akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Kasus "Doctor Death"

Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe [35]. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale[36] , California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang diterapkannya semata demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa yang diterapkannya merupakan pembunuhan.

Kasus rumah sakit Boramae - Korea

Pada tahun 2002, berada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut peralatan bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut berharap polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan menerapkan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah berharap untuk tidak dipasangi peralatan bantu pernapasan tersebut. Satu ahad sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium kesudahan, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, probabilitas hanya bisa bertahan hidup selama 24 jam saja.[37]

Kasus BBC

Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Bagian menuju kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu merupakan Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun berharap dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana ia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa cara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya masa meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial yang lain serta media cetak menciptakan BBC dijuluki 'pemandu sorak' euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai cara itu. Warga mengasumsikan cara ini 'tak pantas'. Gugusan amal, politik dan agama bergabung menyatakan cara ini 'propaganda' euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, "Menayangkan kematian pasien di cara demi hiburan, BBC mesti punya argumen kuat". Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan cara ini manfaat mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga menciptakan pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru cakap BBC menambahkan, "Terkait cara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total pengaduan pun dijadikan 898". Regulator media Ofcom sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC memperoleh 'banyak' pengaduan. [38] [39]

Lihat pula

Footnote

  1. ^ "Nitschke suicide machine confiscated". The Sydney Morning Herald. 2003-01-10. 
  2. ^ Lihat artikel Sikap yang dibuat T4
  3. ^ C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi Kedokteran Modern terhadap Budaya Kematian dan Kehidupan", Bidang Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ,USU library, 5
  4. ^ Situs euthanasia.com
  5. ^ Situs Prague Daily Monitor/ČTK / terbitan 27 February 2007
  6. ^ Situs Internatonal taskforce
  7. ^ Situs Eutanasia
  8. ^ Oregon Death with Dignity Act; situs pemerintah Negara Bidang Oregon
  9. ^ The New England Journal of Medicine, 24-2-2000
  10. ^ Kompas, 28 September 2000
  11. ^ Carroll, Joseph (2006, June 19). Public Continues to Support Right-to-Die for Terminally Ill Patients. Retrieved on January 16, 2007, from The Gallup Poll Web site: Catatan : Jajak argumen ini diterapkan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat lapang dan bukannya berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada dukungan terhadap eutanasia. Jajak argumen tersebut bukan merupakan suatu indikator dukungan terhadap suatu aktivitas yang dipekerjakan kampanye eutanasia. Lihat :Situs Galluppoll
  12. ^ Situs Tempointeraktif
  13. ^ Situs BBC
  14. ^ Laporan Nuclear Contol Institute tentang kecelakaan nuklir di Jepang
  15. ^ Prague Daily Monitor/ČTK / terbitan 27 Februar1 2007
  16. ^ Situs Eastern book company
  17. ^ Situs Human Rights China
  18. ^ Situs National Center for Biotechnology Information
  19. ^ Situs Asianews
  20. ^ Kongregasi kudus tentang doktrin kehidupan. "Declaration on Euthanasia," May 5, 1980
  21. ^ Evangelium Vitae
  22. ^ "Lihat artikel "Eutanasia Menurut Nasihat Gereja" yang didefinisikan oleh Yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald."
  23. ^ Situs religionfacts.com tentang nasihat Hindu
  24. ^ Euthanasia: Murder or Compassion?
  25. ^ Harian Akal Rakyat
  26. ^ Situs infoplease.com
  27. ^ Fatwa-fatwa kontemporer
  28. ^ Media Isnet
  29. ^ Stand of the Orthodox Church - Euthanasia
  30. ^ Euthanasia and Judaism: Jewish Views of Euthanasia and Suicide
  31. ^ Teks Asli Versi King James Version : "Surely for your lifeblood I will demand [a reckoning]; from the hand of every beast I will require it, and from the hand of man. From the hand of every man's brother I will require the life of man.situs sabda.org
  32. ^ The Jewish view on euthanasia
  33. ^ diambil dari situs christianitytoday.com
  34. ^ situs Kompas
  35. ^ New England Journal of Medicine edisi Desember 2000
  36. ^ Situs Glendale Adventist Medical Center
  37. ^ Situs Asia News
  38. ^ Situs Dailymail tentang anti-euthanasia di swiss
  39. ^ Situs okegan tentang euthanasia di swiss

Daftar referensi

  • Agamben, Giorgio; didefinisikan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN 0-8047-3218-3. 
  • Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-2986-7. 
  • Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
  • Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
  • Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.
  • Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
  • Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination, sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
  • Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7. 
  • Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9. 
  • Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing' legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6 (May 1958).
  • Kelly, Gerald. "The duty of using artificial means of preserving life" in Theological Studies (11:203-220), 1950.
  • Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assisted suicide: What are the issues? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2001. (E.g., Engelhardt on secular bioethics)
  • Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United States" in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997.
  • Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.
  • Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
  • PCSEPMBBR, United States. President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal issues in treatment decisions. Washington, DC: President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research: For sale by the Supt. of Docs. U.S. G.P.O.
  • Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press, 1986.
  • Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law Review 27 (1975) 213-269.
  • Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on euthanasia. Vatican City: The Vatican.
  • Stone, T. Howard, and Winslade, William J. "Physician-assisted suicide and euthanasia in the United States" in Journal of Legal Medicine (16:481-507), December 1995.

Tautan luar

  • Hindu website
  • Religion and euthanasia
  • Euthanasia dan Agama - berbagai pandangan agama atas eutanasia
  • The Ethics of Euthanasia - a UK site that looks at the issues, case studies and ethical and Christian responses
  • Religion and Ethics - Euthanasia - many views of euthanasia, for, against, and religious, from the BBC
  • Euthanasia ProCon.org - "Should euthanasia be legal?" - Pros, cons, history, laws, polls, and biographies of key players in debate
  • Issue Guide on the Right to Die - Analysis of public opinion and policy alternatives from Public Aktivitas yang dipekerjakan Online
  • Dutch Ministry of Foreign Affairs - FAQ brochures explaining Dutch policy on euthanasia (Inggris)
  • Ministry of Health, Welfare and Sport - Information on Dutch euthanasia legislation (Inggris)
  • Stanford Encyclopedia of Philosophy entry
  • - Euthanasia World Directory international information on voluntary euthanasia, assisted suicide, and self-deliverance
  • Final Exit Network provides guides to self-deliverance for the terminally and hopelessly ill to end their suffering
  • Compassion & Choices - provides education, support and advocacy for the choice-in-dying movement
  • Dignity in Dying - leading campaigning organisation promoting patient choice at the end of life
  • World Federation of Right To Die Societies
  • Assisted Suicide
  • Suicide & Euthanasia- Presents pro-choice arguments from a Biblical perspective.
  • Voluntary Euthanasia- Atheist Foundation of Australia Inc
  • A defense of euthanasia
  • Pro Euthanasia Dr Philip Nitschke - (Australian) Euthanasia law reform advocacy website, currently based in New Zealand.
  • Euthanasia and the Right to Life
  • Euthanasia Clinic - Roger Graham. Founder of Assisted Euthanasia Society of Paradise (AESOP), expelled from Cambodia for proposing Euthanasia Tourism, advocate for a Compassionate Law, an activist for Euthanasia since 1971.
  • Euthanasia.com
  • Not Dead Yet (the disability rights group opposing Assisted Suicide)
  • Is Killing Kind?
  • Christian Study on euthanasia
  • www.carenotkilling.org.uk - Care, NOT Killing: a UK alliance promoting palliative care, opposing euthanasia and assisted suicide
  • euthanasia.com
  • National Right to Life articles on euthanasia
  • International Task Force against Euthanasia- many resources
  • Non-religious arguments against euthanasia
  • A Papal encyclical dealing with a number of issues of life and death including euthanasia
  • A brief presentation of the issue and the Christian Catholic viewpoint on it
  • The Rosicrucian Fellowship's viewpoint: Suicide and Euthanasia
  • Scholarly articles on Euthanasia from the Wisconsin Lutheran Seminary Library

edunitas.com


Page 5

Urutan ke-147

1.548.159

48/km²

Kemerdekaan

 - Deklarasi

 - Dikenali

(dari Portugal)


24 September 1973
10 September 1974

PDB

 - Total (2012)

 - PDB/kapita

Urutan ke-112

$1.931 miliar

$1.222

Mata uangFranc CFAZona waktuUTCLagu kebangsaanEsta é a Nossa Pátria Bem AmadaTLD.gwKode telepon245

Guinea-Bissau, resmi Republik Guinea-Bissau /ˈɡɪni bɪˈs/ (bahasa Portugis: República da Guiné-Bissau, diucapkan [ʁeˈpublikɐ dɐ ɡiˈnɛ biˈsaw]), yaitu sebuah negara yang berada di Afrika Barat. Negara ini bersamaan batasannya dengan Senegal di utara dan Guinea di sebelah selatan dan timur, dan Samudera Atlantik di sebelah barat. Negara ini meliputi 36.125 km², dengan populasi lebih kurang 1.600.000 jiwa.

Guinea-Bissau dulu merupakan anggota dari Kerajaan Kaabu, yang merupakan anggota dari Kekaisaran Mali. Anggota dari kerajaan ini bertahan sampai zaman ke-18, sementara beberapa anggota lainnya yaitu anggota dari Kekaisaran Portugal. Yang belakang sekali Guinea-Bissau menjadi anggota dari koloni Portugal, Guinea Portugal pada zaman ke-19. Setelah kemerdekaan, dideklarasikan pada 1973 dan diakui pada 1974, nama ibu kotanya, Bissau, ditambahkan ke dalam nama negara bagi menghindari kesalahan dengan negara Guinea.

Guinea-Bissau memiliki sejarah ketidakstabilan politik sejak meraih kemerdekaannya dan tidak mempunyai presiden terpilih yang sukses menyelesaikan posisinya selama lima tahun penuh. Pada malam 12 April 2012, para anggota militer negara ini terlibat dalam sebuah kudeta dan menangkap presiden sementara dan calon presiden terdepan. Pihak militer sedang belum mengumumkan pemimpin bagi negara ini.[1] Meskipun demikian, mantan Wakil Kepala Staf, Jenderal Mamadu Ture Kuruma telah ambil peduli akan nasib negara ini dalam masa transisi dan mulai bernegosiasi dengan pihak-pihak oposan.[2][3]

Hanya 14% dari populasi yang bicara dalam bahasa resmi, Portugal. Biasanya populasi (44%) bicara dalam bahasa Kriol, sebuah Bahasa kreol berbasis Portugal, dan sisanya bicara dalam bahasa Afrika. Agama utama yaitu Agama tradisional Afrika dan Islam, dan Kristen (kebanyakan Katholik) yaitu minoritas.

Pendapatan per kapita negara ini yaitu salah satu yang terendah di dunia.

Guinea-Bissau yaitu anggota dari Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat, Organisasi Kerjasama Islam, Uni Latin, Komunitas Negara Bicara Portugal, La Francophonie, dan Zona Perdamaian dan Kerjasama Atlantik Selatan.

Daftar inti

  • 1 Sejarah
  • 2 Lihat pula
  • 3 Pranala luar
  • 4 Rujukan

Sejarah

Guinea-Bissau dulu merupakan anggota dari Kerajaan Kaabu, yang merupakan anggota dari Kekaisaran Mali.Anggota dari kerajaan ini bertahan sampai zaman ke-18, sementara beberapa anggota lainnya yaitu anggota dari Kekaisaran Portugal.[4] Guinea Portugal juga dikenali, dari programa ekonominya sebgai Pantai budak.

Laporan awal dari bangsa Eropa yang telah mencapai daerah ini termasuk bajak laut Venesia, Alvise Cadamosto pada tahun 1455,[5] pelayaran pada tahun 1479–1480 yang dilakukan oleh pedagang Flemish-Perancis, Eustache de la Fosse,[6] dan Diogo Cão yang mencapai Sungai Kongo pada tahun 1480-an dan mencapai tanah Bakongo.[7]

Lihat pula

  • Daftar negara-negara di dunia
  • Kudeta Guinea-Bissau 2012

Pranala luar

Rujukan


edunitas.com

Page 6

Urutan ke-147

1.548.159

48/km²

Kemerdekaan

 - Deklarasi

 - Dikenali

(dari Portugal)


24 September 1973
10 September 1974

PDB

 - Total (2012)

 - PDB/kapita

Urutan ke-112

$1.931 miliar

$1.222

Mata uangFranc CFAZona waktuUTCLagu kebangsaanEsta é a Nossa Pátria Bem AmadaTLD.gwKode telepon245

Guinea-Bissau, resmi Republik Guinea-Bissau /ˈɡɪni bɪˈs/ (bahasa Portugis: República da Guiné-Bissau, diucapkan [ʁeˈpublikɐ dɐ ɡiˈnɛ biˈsaw]), yaitu sebuah negara yang berada di Afrika Barat. Negara ini bersamaan batasannya dengan Senegal di utara dan Guinea di sebelah selatan dan timur, dan Samudera Atlantik di sebelah barat. Negara ini meliputi 36.125 km², dengan populasi sekitar 1.600.000 jiwa.

Guinea-Bissau dulu merupakan anggota dari Kerajaan Kaabu, yang merupakan anggota dari Kekaisaran Mali. Anggota dari kerajaan ini bertahan sampai zaman ke-18, sementara beberapa anggota lainnya yaitu anggota dari Kekaisaran Portugal. Yang belakang sekali Guinea-Bissau menjadi anggota dari koloni Portugal, Guinea Portugal pada zaman ke-19. Sesudah kemerdekaan, dideklarasikan pada 1973 dan diakui pada 1974, nama ibu kotanya, Bissau, ditambahkan ke dalam nama negara bagi menghindari kesalahan dengan negara Guinea.

Guinea-Bissau memiliki sejarah ketidakstabilan politik sejak meraih kemerdekaannya dan tidak mempunyai presiden terpilih yang sukses menyelesaikan posisinya selama lima tahun penuh. Pada malam 12 April 2012, para anggota militer negara ini terlibat dalam sebuah kudeta dan menangkap presiden sementara dan calon presiden terdepan. Pihak militer sedang belum mengumumkan pemimpin bagi negara ini.[1] Meskipun demikian, mantan Wakil Kepala Staf, Jenderal Mamadu Ture Kuruma telah ambil peduli akan nasib negara ini dalam saat transisi dan mulai bernegosiasi dengan pihak-pihak oposan.[2][3]

Hanya 14% dari populasi yang bicara dalam bahasa resmi, Portugal. Biasanya populasi (44%) bicara dalam bahasa Kriol, sebuah Bahasa kreol berbasis Portugal, dan sisanya bicara dalam bahasa Afrika. Agama utama yaitu Agama tradisional Afrika dan Islam, dan Kristen (kebanyakan Katholik) yaitu minoritas.

Pendapatan per kapita negara ini yaitu salah satu yang terendah di dunia.

Guinea-Bissau yaitu anggota dari Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat, Organisasi Kerjasama Islam, Uni Latin, Komunitas Negara Bicara Portugal, La Francophonie, dan Zona Perdamaian dan Kerjasama Atlantik Selatan.

Daftar inti

  • 1 Sejarah
  • 2 Lihat pula
  • 3 Pranala luar
  • 4 Rujukan

Sejarah

Guinea-Bissau dulu merupakan anggota dari Kerajaan Kaabu, yang merupakan anggota dari Kekaisaran Mali.Anggota dari kerajaan ini bertahan sampai zaman ke-18, sementara beberapa anggota lainnya yaitu anggota dari Kekaisaran Portugal.[4] Guinea Portugal juga dikenali, dari programa ekonominya sebgai Pantai budak.

Laporan awal dari bangsa Eropa yang telah mencapai daerah ini termasuk bajak laut Venesia, Alvise Cadamosto pada tahun 1455,[5] pelayaran pada tahun 1479–1480 yang dilakukan oleh pedagang Flemish-Perancis, Eustache de la Fosse,[6] dan Diogo Cão yang mencapai Sungai Kongo pada tahun 1480-an dan mencapai tanah Bakongo.[7]

Lihat pula

  • Daftar negara-negara di dunia
  • Kudeta Guinea-Bissau 2012

Pranala luar

Rujukan


edunitas.com

Page 7

Tags (tagged): equatorial guinea, unkris, da guin, equatorial, bendera motto unidad, paz justicia, spanyol, pdb kkb perkiraan, 2012 total, us, 19 286 miliar, per kapita, mini afrika wilayahnya, masih lebih, kecil, dari, situs resmi, negara afrika, negara, berdaulat afrika, center, of studies, leone, somalia sudan sudan, selatan swaziland, tanjung, verde equatorial guinea


Page 8

Tags (tagged): equatorial guinea, unkris, da guin, equatorial, bendera motto unidad, paz justicia, spanyol, pdb kkb perkiraan, 2012 total, us, 19 286 miliar, per kapita, mini afrika wilayahnya, masih lebih, kecil, dari, situs resmi, negara afrika, negara, berdaulat afrika, center, of studies, leone, somalia sudan sudan, selatan swaziland, tanjung, verde equatorial guinea


Page 9

Tags (tagged): guinea ekuatorial guinea, khatulistiwa, unkris, guinea, ekuatorial guinea khatulistiwa, ekuatorial, guinea khatulistiwa, da guin, equatorial, bendera motto unidad, paz justicia, spanyol, pdb kkb perkiraan, 2012 total, us, 19 286 miliar, per kapita, mini afrika wilayahnya, masih lebih, kecil, dari, situs resmi, negara afrika, negara, berdaulat afrika, pusat, ilmu pengetahuan, leone, somalia sudan sudan, selatan swaziland, tanjung, verde guinea ekuatorial, guinea ekuatorial


Page 10

Tags (tagged): guinea ekuatorial guinea, khatulistiwa, unkris, guinea, ekuatorial guinea khatulistiwa, ekuatorial, guinea khatulistiwa, da guin, equatorial, bendera motto unidad, paz justicia, spanyol, pdb kkb perkiraan, 2012 total, us, 19 286 miliar, per kapita, mini afrika wilayahnya, masih lebih, kecil, dari, situs resmi, negara afrika, negara, berdaulat afrika, pusat, ilmu pengetahuan, leone, somalia sudan sudan, selatan swaziland, tanjung, verde guinea ekuatorial, guinea ekuatorial


Page 11

Urutan ke-147

1.548.159

48/km²

Kemerdekaan

 - Deklarasi

 - Dikenal

(dari Portugal)


24 September 1973
10 September 1974

PDB

 - Total (2012)

 - PDB/kapita

Urutan ke-112

$1.931 miliar

$1.222

Mata uangFranc CFAZona waktuUTCLagu kebangsaanEsta é a Nossa Pátria Bem AmadaTLD.gwKode telepon245

Guinea-Bissau, resmi Republik Guinea-Bissau /ˈɡɪni bɪˈs/ (bahasa Portugis: República da Guiné-Bissau, diucapkan [ʁeˈpublikɐ dɐ ɡiˈnɛ biˈsaw]), adalah suatu negara yang berada di Afrika Barat. Negara ini bersamaan batasnya dengan Senegal di utara dan Guinea di sebelah selatan dan timur, dan Samudera Atlantik di sebelah barat. Negara ini mencakup 36.125 km², dengan populasi sekitar 1.600.000 jiwa.

Guinea-Bissau dulu adalah anggota dari Kerajaan Kaabu, yang adalah anggota dari Kekaisaran Mali. Anggota dari kerajaan ini bertahan hingga masa zaman ke-18, sementara beberapa anggota lainnya adalah anggota dari Kekaisaran Portugal. Kesudahan Guinea-Bissau menjadi anggota dari koloni Portugal, Guinea Portugal pada masa zaman ke-19. Setelah kemerdekaan, dideklarasikan pada 1973 dan diakui pada 1974, nama ibu kotanya, Bissau, ditambahkan ke dalam nama negara untuk menghindari kekeliruan dengan negara Guinea.

Guinea-Bissau memiliki sejarah ketidakstabilan politik semenjak meraih kemerdekaannya dan tidak benar presiden terpilih yang sukses menyelesaikan letaknya selama lima tahun penuh. Pada malam 12 April 2012, para anggota militer negara ini terlibat dalam suatu kudeta dan menangkap presiden sementara dan yang akan menjadi presiden terdepan. Pihak militer masih belum mengumumkan pemimpin untuk negara ini.[1] Walaupun demikian, mantan Wakil Kepala Staf, Jenderal Mamadu Ture Kuruma telah ambil peduli akan nasib negara ini dalam masa transisi dan mulai bernegosiasi dengan pihak-pihak oposan.[2][3]

Hanya 14% dari populasi yang bercakap dalam bahasa resmi, Portugal. Biasanya populasi (44%) bercakap dalam bahasa Kriol, suatu Bahasa kreol berbasis Portugal, dan sisanya bercakap dalam bahasa Afrika. Agama utama adalah Agama tradisional Afrika dan Islam, dan Kristen (kebanyakan Katholik) adalah minoritas.

Pendapatan per kapita negara ini adalah salah satu yang terendah di dunia.

Guinea-Bissau adalah anggota dari Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat, Organisasi Kerjasama Islam, Uni Latin, Komunitas Negara Berbicara Portugal, La Francophonie, dan Zona Perdamaian dan Kerjasama Atlantik Selatan.

Daftar isi

  • 1 Sejarah
  • 2 Lihat pula
  • 3 Tautan luar
  • 4 Pustaka

Sejarah

Guinea-Bissau dulu adalah anggota dari Kerajaan Kaabu, yang adalah anggota dari Kekaisaran Mali.Anggota dari kerajaan ini bertahan hingga masa zaman ke-18, sementara beberapa anggota lainnya adalah anggota dari Kekaisaran Portugal.[4] Guinea Portugal juga dikenal, dari aktivitas yang dipekerjakan ekonominya sebgai Pantai budak.

Laporan awal dari bangsa Eropa yang telah mencapai daerah ini termasuk bajak laut Venesia, Alvise Cadamosto pada tahun 1455,[5] pelayaran pada tahun 1479–1480 yang dimainkan oleh pedagang Flemish-Perancis, Eustache de la Fosse,[6] dan Diogo Cão yang mencapai Sungai Kongo pada tahun 1480-an dan mencapai tanah Bakongo.[7]

Lihat pula

  • Daftar negara-negara di dunia
  • Kudeta Guinea-Bissau 2012

Tautan luar

Pustaka


edunitas.com

Page 12

Urutan ke-147

1.548.159

48/km²

Kemerdekaan

 - Deklarasi

 - Dikenal

(dari Portugal)


24 September 1973
10 September 1974

PDB

 - Total (2012)

 - PDB/kapita

Urutan ke-112

$1.931 miliar

$1.222

Mata uangFranc CFAZona saatUTCLagu kebangsaanEsta é a Nossa Pátria Bem AmadaTLD.gwKode telepon245

Guinea-Bissau, resmi Republik Guinea-Bissau /ˈɡɪni bɪˈs/ (bahasa Portugis: República da Guiné-Bissau, diucapkan [ʁeˈpublikɐ dɐ ɡiˈnɛ biˈsaw]), adalah suatu negara yang berada di Afrika Barat. Negara ini bersamaan batasnya dengan Senegal di utara dan Guinea di sebelah selatan dan timur, dan Samudera Atlantik di sebelah barat. Negara ini mencakup 36.125 km², dengan populasi sekitar 1.600.000 jiwa.

Guinea-Bissau dulu adalah bidang dari Kerajaan Kaabu, yang adalah bidang dari Kekaisaran Mali. Bidang dari kerajaan ini bertahan hingga masa zaman ke-18, sementara beberapa bidang lainnya adalah bidang dari Kekaisaran Portugal. Kesudahan Guinea-Bissau menjadi bidang dari koloni Portugal, Guinea Portugal pada masa zaman ke-19. Setelah kemerdekaan, dideklarasikan pada 1973 dan diakui pada 1974, nama ibu kotanya, Bissau, ditambahkan ke dalam nama negara untuk menghindari kekeliruan dengan negara Guinea.

Guinea-Bissau memiliki sejarah ketidakstabilan politik semenjak meraih kemerdekaannya dan tidak berada presiden terpilih yang sukses menyelesaikan letaknya selama lima tahun penuh. Pada malam 12 April 2012, para anggota militer negara ini terlibat dalam suatu kudeta dan menangkap presiden sementara dan yang akan menjadi presiden terdepan. Pihak militer masih belum mengumumkan pemimpin untuk negara ini.[1] Walaupun demikian, mantan Wakil Kepala Staf, Jenderal Mamadu Ture Kuruma telah ambil peduli akan nasib negara ini dalam masa transisi dan mulai bernegosiasi dengan pihak-pihak oposan.[2][3]

Hanya 14% dari populasi yang bercakap dalam bahasa resmi, Portugal. Biasanya populasi (44%) bercakap dalam bahasa Kriol, suatu Bahasa kreol berbasis Portugal, dan sisanya bercakap dalam bahasa Afrika. Agama utama adalah Agama tradisional Afrika dan Islam, dan Kristen (kebanyakan Katholik) adalah minoritas.

Pendapatan per kapita negara ini adalah salah satu yang terendah di dunia.

Guinea-Bissau adalah anggota dari Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat, Organisasi Kerjasama Islam, Uni Latin, Komunitas Negara Berbicara Portugal, La Francophonie, dan Zona Perdamaian dan Kerjasama Atlantik Selatan.

Daftar isi

  • 1 Sejarah
  • 2 Lihat pula
  • 3 Tautan luar
  • 4 Pustaka

Sejarah

Guinea-Bissau dulu adalah bidang dari Kerajaan Kaabu, yang adalah bidang dari Kekaisaran Mali.Bidang dari kerajaan ini bertahan hingga masa zaman ke-18, sementara beberapa bidang lainnya adalah bidang dari Kekaisaran Portugal.[4] Guinea Portugal juga dikenal, dari aktivitas yang dipekerjakan ekonominya sebgai Pantai budak.

Laporan permulaan dari bangsa Eropa yang telah mencapai daerah ini termasuk bajak laut Venesia, Alvise Cadamosto pada tahun 1455,[5] pelayaran pada tahun 1479–1480 yang dipertontonkan oleh pedagang Flemish-Perancis, Eustache de la Fosse,[6] dan Diogo Cão yang mencapai Sungai Kongo pada tahun 1480-an dan mencapai tanah Bakongo.[7]

Lihat pula

  • Daftar negara-negara di dunia
  • Kudeta Guinea-Bissau 2012

Tautan luar

Pustaka


edunitas.com

Page 13

Urutan ke-147

1.548.159

48/km²

Kemerdekaan

 - Deklarasi

 - Dikenal

(dari Portugal)


24 September 1973
10 September 1974

PDB

 - Total (2012)

 - PDB/kapita

Urutan ke-112

$1.931 miliar

$1.222

Mata uangFranc CFAZona saatUTCLagu kebangsaanEsta é a Nossa Pátria Bem AmadaTLD.gwKode telepon245

Guinea-Bissau, resmi Republik Guinea-Bissau /ˈɡɪni bɪˈs/ (bahasa Portugis: República da Guiné-Bissau, diucapkan [ʁeˈpublikɐ dɐ ɡiˈnɛ biˈsaw]), adalah suatu negara yang berada di Afrika Barat. Negara ini bersamaan batasnya dengan Senegal di utara dan Guinea di sebelah selatan dan timur, dan Samudera Atlantik di sebelah barat. Negara ini mencakup 36.125 km², dengan populasi sekitar 1.600.000 jiwa.

Guinea-Bissau dulu adalah bidang dari Kerajaan Kaabu, yang adalah bidang dari Kekaisaran Mali. Bidang dari kerajaan ini bertahan hingga masa zaman ke-18, sementara beberapa bidang lainnya adalah bidang dari Kekaisaran Portugal. Kesudahan Guinea-Bissau menjadi bidang dari koloni Portugal, Guinea Portugal pada masa zaman ke-19. Setelah kemerdekaan, dideklarasikan pada 1973 dan diakui pada 1974, nama ibu kotanya, Bissau, ditambahkan ke dalam nama negara untuk menghindari kekeliruan dengan negara Guinea.

Guinea-Bissau memiliki sejarah ketidakstabilan politik semenjak meraih kemerdekaannya dan tidak berada presiden terpilih yang sukses menyelesaikan letaknya selama lima tahun penuh. Pada malam 12 April 2012, para anggota militer negara ini terlibat dalam suatu kudeta dan menangkap presiden sementara dan yang akan menjadi presiden terdepan. Pihak militer masih belum mengumumkan pemimpin untuk negara ini.[1] Walaupun demikian, mantan Wakil Kepala Staf, Jenderal Mamadu Ture Kuruma telah ambil peduli akan nasib negara ini dalam masa transisi dan mulai bernegosiasi dengan pihak-pihak oposan.[2][3]

Hanya 14% dari populasi yang bercakap dalam bahasa resmi, Portugal. Biasanya populasi (44%) bercakap dalam bahasa Kriol, suatu Bahasa kreol berbasis Portugal, dan sisanya bercakap dalam bahasa Afrika. Agama utama adalah Agama tradisional Afrika dan Islam, dan Kristen (kebanyakan Katholik) adalah minoritas.

Pendapatan per kapita negara ini adalah salah satu yang terendah di dunia.

Guinea-Bissau adalah anggota dari Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat, Organisasi Kerjasama Islam, Uni Latin, Komunitas Negara Berbicara Portugal, La Francophonie, dan Zona Perdamaian dan Kerjasama Atlantik Selatan.

Daftar isi

  • 1 Sejarah
  • 2 Lihat pula
  • 3 Tautan luar
  • 4 Pustaka

Sejarah

Guinea-Bissau dulu adalah bidang dari Kerajaan Kaabu, yang adalah bidang dari Kekaisaran Mali.Bidang dari kerajaan ini bertahan hingga masa zaman ke-18, sementara beberapa bidang lainnya adalah bidang dari Kekaisaran Portugal.[4] Guinea Portugal juga dikenal, dari aktivitas yang dipekerjakan ekonominya sebgai Pantai budak.

Laporan permulaan dari bangsa Eropa yang telah mencapai daerah ini termasuk bajak laut Venesia, Alvise Cadamosto pada tahun 1455,[5] pelayaran pada tahun 1479–1480 yang dipertontonkan oleh pedagang Flemish-Perancis, Eustache de la Fosse,[6] dan Diogo Cão yang mencapai Sungai Kongo pada tahun 1480-an dan mencapai tanah Bakongo.[7]

Lihat pula

  • Daftar negara-negara di dunia
  • Kudeta Guinea-Bissau 2012

Tautan luar

Pustaka


edunitas.com

Page 14

Urutan ke-147

1.548.159

48/km²

Kemerdekaan

 - Deklarasi

 - Dikenal

(dari Portugal)


24 September 1973
10 September 1974

PDB

 - Total (2012)

 - PDB/kapita

Urutan ke-112

$1.931 miliar

$1.222

Mata uangFranc CFAZona waktuUTCLagu kebangsaanEsta é a Nossa Pátria Bem AmadaTLD.gwKode telepon245

Guinea-Bissau, resmi Republik Guinea-Bissau /ˈɡɪni bɪˈs/ (bahasa Portugis: República da Guiné-Bissau, diucapkan [ʁeˈpublikɐ dɐ ɡiˈnɛ biˈsaw]), adalah suatu negara yang berada di Afrika Barat. Negara ini bersamaan batasnya dengan Senegal di utara dan Guinea di sebelah selatan dan timur, dan Samudera Atlantik di sebelah barat. Negara ini mencakup 36.125 km², dengan populasi sekitar 1.600.000 jiwa.

Guinea-Bissau dulu adalah anggota dari Kerajaan Kaabu, yang adalah anggota dari Kekaisaran Mali. Anggota dari kerajaan ini bertahan hingga masa zaman ke-18, sementara beberapa anggota lainnya adalah anggota dari Kekaisaran Portugal. Kesudahan Guinea-Bissau menjadi anggota dari koloni Portugal, Guinea Portugal pada masa zaman ke-19. Setelah kemerdekaan, dideklarasikan pada 1973 dan diakui pada 1974, nama ibu kotanya, Bissau, ditambahkan ke dalam nama negara untuk menghindari kekeliruan dengan negara Guinea.

Guinea-Bissau memiliki sejarah ketidakstabilan politik semenjak meraih kemerdekaannya dan tidak benar presiden terpilih yang sukses menyelesaikan letaknya selama lima tahun penuh. Pada malam 12 April 2012, para anggota militer negara ini terlibat dalam suatu kudeta dan menangkap presiden sementara dan yang akan menjadi presiden terdepan. Pihak militer masih belum mengumumkan pemimpin untuk negara ini.[1] Walaupun demikian, mantan Wakil Kepala Staf, Jenderal Mamadu Ture Kuruma telah ambil peduli akan nasib negara ini dalam masa transisi dan mulai bernegosiasi dengan pihak-pihak oposan.[2][3]

Hanya 14% dari populasi yang bercakap dalam bahasa resmi, Portugal. Biasanya populasi (44%) bercakap dalam bahasa Kriol, suatu Bahasa kreol berbasis Portugal, dan sisanya bercakap dalam bahasa Afrika. Agama utama adalah Agama tradisional Afrika dan Islam, dan Kristen (kebanyakan Katholik) adalah minoritas.

Pendapatan per kapita negara ini adalah salah satu yang terendah di dunia.

Guinea-Bissau adalah anggota dari Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat, Organisasi Kerjasama Islam, Uni Latin, Komunitas Negara Berbicara Portugal, La Francophonie, dan Zona Perdamaian dan Kerjasama Atlantik Selatan.

Daftar isi

  • 1 Sejarah
  • 2 Lihat pula
  • 3 Tautan luar
  • 4 Pustaka

Sejarah

Guinea-Bissau dulu adalah anggota dari Kerajaan Kaabu, yang adalah anggota dari Kekaisaran Mali.Anggota dari kerajaan ini bertahan hingga masa zaman ke-18, sementara beberapa anggota lainnya adalah anggota dari Kekaisaran Portugal.[4] Guinea Portugal juga dikenal, dari aktivitas yang dipekerjakan ekonominya sebgai Pantai budak.

Laporan awal dari bangsa Eropa yang telah mencapai daerah ini termasuk bajak laut Venesia, Alvise Cadamosto pada tahun 1455,[5] pelayaran pada tahun 1479–1480 yang dimainkan oleh pedagang Flemish-Perancis, Eustache de la Fosse,[6] dan Diogo Cão yang mencapai Sungai Kongo pada tahun 1480-an dan mencapai tanah Bakongo.[7]

Lihat pula

  • Daftar negara-negara di dunia
  • Kudeta Guinea-Bissau 2012

Tautan luar

Pustaka


edunitas.com

Page 15

Tags (tagged): equatorial guinea, unkris, da guin, equatorial, bendera motto unidad, paz justicia, spanyol, pdb kkb perkiraan, 2012 total, us, 19 286 miliar, per kapita, mini afrika wilayahnya, masih lebih, kecil, dari, situs resmi, negara afrika, negara, berdaulat afrika, center, of studies, leone, somalia sudan sudan, selatan swaziland, tanjung, verde equatorial guinea


Page 16

Tags (tagged): equatorial guinea, unkris, da guin, equatorial, bendera motto unidad, paz justicia, spanyol, pdb kkb perkiraan, 2012 total, us, 19 286 miliar, per kapita, mini afrika wilayahnya, masih lebih, kecil, dari, situs resmi, negara afrika, negara, berdaulat afrika, center, of studies, leone, somalia sudan sudan, selatan swaziland, tanjung, verde equatorial guinea


Page 17

Tags (tagged): guinea ekuatorial guinea, khatulistiwa, unkris, guinea, ekuatorial guinea khatulistiwa, ekuatorial, guinea khatulistiwa, da guin, equatorial, bendera motto unidad, paz justicia, spanyol, pdb kkb perkiraan, 2012 total, us, 19 286 miliar, per kapita, mini afrika wilayahnya, masih lebih, kecil, dari, situs resmi, negara afrika, negara, berdaulat afrika, pusat, ilmu pengetahuan, leone, somalia sudan sudan, selatan swaziland, tanjung, verde guinea ekuatorial, guinea ekuatorial


Page 18

Tags (tagged): guinea ekuatorial guinea, khatulistiwa, unkris, guinea, ekuatorial guinea khatulistiwa, ekuatorial, guinea khatulistiwa, da guin, equatorial, bendera motto unidad, paz justicia, spanyol, pdb kkb perkiraan, 2012 total, us, 19 286 miliar, per kapita, mini afrika wilayahnya, masih lebih, kecil, dari, situs resmi, negara afrika, negara, berdaulat afrika, pusat, ilmu pengetahuan, leone, somalia sudan sudan, selatan swaziland, tanjung, verde guinea ekuatorial, guinea ekuatorial


Page 19

Republik Guinea

République de Guinée

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
Bendera
Motto: "Travail, Justice, Solidarité"
"Kerja, Keadilan, Kekompakan"
Lagu kebangsaan: Liberté
Kebebasan

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Ibu kota
(dan kota terbesar)
Conakry
Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
9°31′LU 13°42′BT / 9,517°LU 13,7°BB / 9.517; -13.700
Bahasa resmi

  • Bahasa Perancis (resmi)
  • Bahasa Fula
  • Bahasa Maninka
  • Bahasa Susu

Kelompok etnik 

  • 40% Fula (Peuhl)
  • 30% Mandingo (Malinke)
  • 20% Susu (Soussou)
  • 10% lainnya

PemerintahanRepublik
 - PresidenAlpha Condé
 - Perdana MenteriMohamed Said Fofana
Kemerdekaan
 - dari Perancis2 Oktober 1958 
Luas
 - Total245,857 km2 (78th)
 - Perairan (%)tak berfaedah
Penduduk
 - Perkiraan Juli 200910.057.975[1] (81)
 - Sensus 19967.156.407 
 - Kepadatan40,9/km2 
PDB (KKB)Perkiraan 2011
 - Total$11,464 milyar[2] 
 - Per kapita$1.082[2] 
PDB (nominal)Perkiraan 2011
 - Total$5,212 milyar[2] 
 - Per kapita$492[2] 
Gini (1994)40,3
IPM (2010)0,340 (178)
Mata uangFranc Guinea (GNF)
Zona waktu(UTC+0)
Lajur kemudikanan
Ranah Internet.gn
Kode telepon+224

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Guinea

Guinea (ˈɡɪnea, secara resmi dikata Republik Guinea, bahasa Perancis: République de Guinée), yaitu sebuah negara di Afrika Barat. Sebelumnya dikenali sbg Guinea Prancis (bahasa Inggris: French Guinea), sekarang negeri ini kadang-kadang dikata Guinea-Conakry untuk membedakannya dengan tetangganya, Guinea-Bissau. Ibukota, pusat pemerintahan, dan kota terbesarnya yaitu Conakry.

Guinea memiliki luas 246.000 kilometer persegi (94.981 mil persegi). Wujudnya seperti bulan sabit, dan ketentuan yang tidak boleh dilampaui barat dan selatannya yaitu Samudera Atlantik. Guinea bertetanggaan dengan Sierra Leone, Liberia, dan Pantai Gading. Sungai Niger bermulai di Guinea dan terus sampai ke arah timur.

Guinea memiliki 24 suku etnis. Yang paling dominan yaitu suku-suku Fula, Mandinka, dan Susu.

Lihat pula

Rujukan

Pranala luar

  • (Inggris) Misi Permanen Guinea di PBB

edunitas.com


Page 20

Republik Guinea

République de Guinée

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
Bendera
Motto: "Travail, Justice, Solidarité"
"Kerja, Keadilan, Kekompakan"
Lagu kebangsaan: Liberté
Kebebasan

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Ibu kota
(dan kota terbesar)
Conakry
Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
9°31′LU 13°42′BT / 9,517°LU 13,7°BB / 9.517; -13.700
Bahasa resmi

  • Bahasa Perancis (resmi)
  • Bahasa Fula
  • Bahasa Maninka
  • Bahasa Susu

Kelompok etnik 

  • 40% Fula (Peuhl)
  • 30% Mandingo (Malinke)
  • 20% Susu (Soussou)
  • 10% lainnya

PemerintahanRepublik
 - PresidenAlpha Condé
 - Perdana MenteriMohamed Said Fofana
Kemerdekaan
 - dari Perancis2 Oktober 1958 
Luas
 - Total245,857 km2 (78th)
 - Perairan (%)tak berfaedah
Masyarakat
 - Perkiraan Juli 200910.057.975[1] (81)
 - Sensus 19967.156.407 
 - Kepadatan40,9/km2 
PDB (KKB)Perkiraan 2011
 - Total$11,464 milyar[2] 
 - Per kapita$1.082[2] 
PDB (nominal)Perkiraan 2011
 - Total$5,212 milyar[2] 
 - Per kapita$492[2] 
Gini (1994)40,3
IPM (2010)0,340 (178)
Mata uangFranc Guinea (GNF)
Zona waktu(UTC+0)
Lajur kemudikanan
Ranah Internet.gn
Kode telepon+224

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Guinea

Guinea (ˈɡɪnea, secara resmi dikata Republik Guinea, bahasa Perancis: République de Guinée), yaitu sebuah negara di Afrika Barat. Sebelumnya dikenali sbg Guinea Prancis (bahasa Inggris: French Guinea), sekarang negeri ini kadang-kadang dikata Guinea-Conakry bagi membedakannya dengan tetangganya, Guinea-Bissau. Ibukota, pusat pemerintahan, dan kota terbesarnya yaitu Conakry.

Guinea memiliki luas 246.000 kilometer persegi (94.981 mil persegi). Wujudnya seperti bulan sabit, dan ketentuan yang tidak boleh dilampaui barat dan selatannya yaitu Samudera Atlantik. Guinea bertetanggaan dengan Sierra Leone, Liberia, dan Pantai Gading. Sungai Niger bermulai di Guinea dan terus sampai ke arah timur.

Guinea memiliki 24 suku etnis. Yang paling dominan yaitu suku-suku Fula, Mandinka, dan Susu.

Lihat pula

Rujukan

Pranala luar

  • (Inggris) Misi Permanen Guinea di PBB

edunitas.com


Page 21

Republik Guinea

République de Guinée

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
Bendera
Motto: "Travail, Justice, Solidarité"
"Kerja, Keadilan, Kekompakan"
Lagu kebangsaan: Liberté
Kebebasan

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Ibu kota
(dan kota terbesar)
Conakry
Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
9°31′LU 13°42′BT / 9,517°LU 13,7°BB / 9.517; -13.700
Bahasa resmi

  • Bahasa Perancis (resmi)
  • Bahasa Fula
  • Bahasa Maninka
  • Bahasa Susu

Kelompok etnik 

  • 40% Fula (Peuhl)
  • 30% Mandingo (Malinke)
  • 20% Susu (Soussou)
  • 10% lainnya

PemerintahanRepublik
 - PresidenAlpha Condé
 - Perdana MenteriMohamed Said Fofana
Kemerdekaan
 - dari Perancis2 Oktober 1958 
Luas
 - Total245,857 km2 (78th)
 - Perairan (%)tak berfaedah
Masyarakat
 - Perkiraan Juli 200910.057.975[1] (81)
 - Sensus 19967.156.407 
 - Kepadatan40,9/km2 
PDB (KKB)Perkiraan 2011
 - Total$11,464 milyar[2] 
 - Per kapita$1.082[2] 
PDB (nominal)Perkiraan 2011
 - Total$5,212 milyar[2] 
 - Per kapita$492[2] 
Gini (1994)40,3
IPM (2010)0,340 (178)
Mata uangFranc Guinea (GNF)
Zona waktu(UTC+0)
Lajur kemudikanan
Ranah Internet.gn
Kode telepon+224

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Guinea

Guinea (ˈɡɪnea, secara resmi dikata Republik Guinea, bahasa Perancis: République de Guinée), yaitu sebuah negara di Afrika Barat. Sebelumnya dikenali sbg Guinea Prancis (bahasa Inggris: French Guinea), sekarang negeri ini kadang-kadang dikata Guinea-Conakry bagi membedakannya dengan tetangganya, Guinea-Bissau. Ibukota, pusat pemerintahan, dan kota terbesarnya yaitu Conakry.

Guinea memiliki luas 246.000 kilometer persegi (94.981 mil persegi). Wujudnya seperti bulan sabit, dan ketentuan yang tidak boleh dilampaui barat dan selatannya yaitu Samudera Atlantik. Guinea bertetanggaan dengan Sierra Leone, Liberia, dan Pantai Gading. Sungai Niger bermulai di Guinea dan terus sampai ke arah timur.

Guinea memiliki 24 suku etnis. Yang paling dominan yaitu suku-suku Fula, Mandinka, dan Susu.

Lihat pula

Rujukan

Pranala luar

  • (Inggris) Misi Permanen Guinea di PBB

edunitas.com


Page 22

Republik Guinea

République de Guinée

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
Bendera
Motto: "Travail, Justice, Solidarité"
"Kerja, Keadilan, Kekompakan"
Lagu kebangsaan: Liberté
Kebebasan

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Ibu kota
(dan kota terbesar)
Conakry
Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang
9°31′LU 13°42′BT / 9,517°LU 13,7°BB / 9.517; -13.700
Bahasa resmi

  • Bahasa Perancis (resmi)
  • Bahasa Fula
  • Bahasa Maninka
  • Bahasa Susu

Kelompok etnik 

  • 40% Fula (Peuhl)
  • 30% Mandingo (Malinke)
  • 20% Susu (Soussou)
  • 10% lainnya

PemerintahanRepublik
 - PresidenAlpha Condé
 - Perdana MenteriMohamed Said Fofana
Kemerdekaan
 - dari Perancis2 Oktober 1958 
Luas
 - Total245,857 km2 (78th)
 - Perairan (%)tak berfaedah
Penduduk
 - Perkiraan Juli 200910.057.975[1] (81)
 - Sensus 19967.156.407 
 - Kepadatan40,9/km2 
PDB (KKB)Perkiraan 2011
 - Total$11,464 milyar[2] 
 - Per kapita$1.082[2] 
PDB (nominal)Perkiraan 2011
 - Total$5,212 milyar[2] 
 - Per kapita$492[2] 
Gini (1994)40,3
IPM (2010)0,340 (178)
Mata uangFranc Guinea (GNF)
Zona waktu(UTC+0)
Lajur kemudikanan
Ranah Internet.gn
Kode telepon+224

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Guinea

Guinea (ˈɡɪnea, secara resmi dikata Republik Guinea, bahasa Perancis: République de Guinée), yaitu sebuah negara di Afrika Barat. Sebelumnya dikenali sbg Guinea Prancis (bahasa Inggris: French Guinea), sekarang negeri ini kadang-kadang dikata Guinea-Conakry untuk membedakannya dengan tetangganya, Guinea-Bissau. Ibukota, pusat pemerintahan, dan kota terbesarnya yaitu Conakry.

Guinea memiliki luas 246.000 kilometer persegi (94.981 mil persegi). Wujudnya seperti bulan sabit, dan ketentuan yang tidak boleh dilampaui barat dan selatannya yaitu Samudera Atlantik. Guinea bertetanggaan dengan Sierra Leone, Liberia, dan Pantai Gading. Sungai Niger bermulai di Guinea dan terus sampai ke arah timur.

Guinea memiliki 24 suku etnis. Yang paling dominan yaitu suku-suku Fula, Mandinka, dan Susu.

Lihat pula

Rujukan

Pranala luar

  • (Inggris) Misi Permanen Guinea di PBB

edunitas.com


Page 23

Urutan ke-147

1.548.159

48/km²

Kemerdekaan

 - Deklarasi

 - Dikenal

(dari Portugal)


24 September 1973
10 September 1974

PDB

 - Total (2012)

 - PDB/kapita

Urutan ke-112

$1.931 miliar

$1.222

Mata uangFranc CFAZona waktuUTCLagu kebangsaanEsta é a Nossa Pátria Bem AmadaTLD.gwKode telepon245

Guinea-Bissau, resmi Republik Guinea-Bissau /ˈɡɪni bɪˈs/ (bahasa Portugis: República da Guiné-Bissau, diucapkan [ʁeˈpublikɐ dɐ ɡiˈnɛ biˈsaw]), adalah sebuah negara yang mempunyai di Afrika Barat. Negara ini berbatasan dengan Senegal di utara dan Guinea di sebelah selatan dan timur, dan Samudera Atlantik di sebelah barat. Negara ini meliputi 36.125 km², dengan populasi sekitar 1.600.000 jiwa.

Guinea-Bissau dahulu adalah bidang dari Kerajaan Kaabu, yang adalah bidang dari Kekaisaran Mali. Bidang dari kerajaan ini bertahan hingga zaman ke-18, sementara beberapa bidang lainnya adalah bidang dari Kekaisaran Portugal. Yang belakang sekali Guinea-Bissau dibuat bentuk sebagai bidang dari koloni Portugal, Guinea Portugal pada zaman ke-19. Setelah kemerdekaan, dideklarasikan pada 1973 dan diakui pada 1974, nama ibu kotanya, Bissau, ditambahkan ke dalam nama negara kepada menghindari kekeliruan dengan negara Guinea.

Guinea-Bissau memiliki sejarah ketidakstabilan politik sejak meraih kemerdekaannya dan tidak mempunyai presiden terpilih yang sukses mendudukkan posisinya selama lima tahun penuh. Pada malam 12 April 2012, para anggota militer negara ini terlibat dalam sebuah kudeta dan menangkap presiden sementara dan yang akan menjadi presiden terdepan. Pihak militer masih belum mengumumkan pemimpin bagi negara ini.[1] Meskipun demikian, mantan Wakil Kepala Staf, Jenderal Mamadu Ture Kuruma telah ambil peduli akan nasib negara ini dalam saat transisi dan mulai bernegosiasi dengan pihak-pihak oposan.[2][3]

Hanya 14% dari populasi yang bicara dalam bahasa resmi, Portugal. Kebanyakan populasi (44%) bicara dalam bahasa Kriol, sebuah Bahasa kreol berbasis Portugal, dan sisanya bicara dalam bahasa Afrika. Agama utama adalah Agama tradisional Afrika dan Islam, dan Kristen (kebanyakan Katholik) adalah minoritas.

Pendapatan per kapita negara ini adalah salah satu yang terendah di dunia.

Guinea-Bissau adalah anggota dari Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat, Organisasi Kerjasama Islam, Uni Latin, Komunitas Negara Berbicara Portugal, La Francophonie, dan Zona Perdamaian dan Kerjasama Atlantik Selatan.

Daftar konten

  • 1 Sejarah
  • 2 Lihat juga
  • 3 Pranala luar
  • 4 Referensi

Sejarah

Guinea-Bissau dahulu adalah bidang dari Kerajaan Kaabu, yang adalah bidang dari Kekaisaran Mali.Bidang dari kerajaan ini bertahan hingga zaman ke-18, sementara beberapa bidang lainnya adalah bidang dari Kekaisaran Portugal.[4] Guinea Portugal juga dikenal, dari keaktifan ekonominya sebgai Pantai budak.

Laporan permulaan dari bangsa Eropa yang telah mencapai kawasan ini termasuk bajak laut Venesia, Alvise Cadamosto pada tahun 1455,[5] pelayaran pada tahun 1479–1480 yang diterapkan oleh pedagang Flemish-Perancis, Eustache de la Fosse,[6] dan Diogo Cão yang mencapai Sungai Kongo pada tahun 1480-an dan mencapai tanah Bakongo.[7]

Lihat juga

  • Daftar negara-negara di dunia
  • Kudeta Guinea-Bissau 2012

Pranala luar

Referensi


edunitas.com

Page 24

Republik Guinea Khatulistiwa ialah satu-satunya negara di Afrika yang berbahasa Spanyol yang beberapa agung wilayahnya sedang diselimuti hutan belantara. Telah tersedia di Teluk Guinea, pantai barat Afrika, dengan negara tetangga, Gabon di selatan dan timur serta Kamerun di utara. Guinea Khatulistiwa termasuk negara mini di Afrika, wilayahnya sedang lebih kecil dari kabupaten Kampar di Riau.

Pembagian administratif

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Provinsi di Guinea Khatulistiwa

Wilayah Guinea Khatulistiwa dibagi kedalam 7 provinsi (ibukota provinsi telah tersedia di dalam kurung):

  1. Provinsi Annobón (San Antonio de Palé)
  2. Provinsi Bioko Norte (Malabo)
  3. Provinsi Bioko Sur (Luba)
  4. Provinsi Centro Sur (Evinayong)
  5. Provinsi Kié-Ntem (Ebebiyín)
  6. Litoral (Bata)
  7. Provinsi Wele-Nzas (Mongomo)

Lihat juga

Tautan luar


edunitas.com


Page 25

Republik Guinea Khatulistiwa ialah satu-satunya negara di Afrika yang berbahasa Spanyol yang beberapa agung wilayahnya sedang diselimuti hutan belantara. Telah tersedia di Teluk Guinea, pantai barat Afrika, dengan negara tetangga, Gabon di selatan dan timur serta Kamerun di utara. Guinea Khatulistiwa termasuk negara mini di Afrika, wilayahnya sedang lebih kecil dari kabupaten Kampar di Riau.

Pembagian administratif

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Provinsi di Guinea Khatulistiwa

Wilayah Guinea Khatulistiwa dibagi kedalam 7 provinsi (ibukota provinsi telah tersedia di dalam kurung):

  1. Provinsi Annobón (San Antonio de Palé)
  2. Provinsi Bioko Norte (Malabo)
  3. Provinsi Bioko Sur (Luba)
  4. Provinsi Centro Sur (Evinayong)
  5. Provinsi Kié-Ntem (Ebebiyín)
  6. Litoral (Bata)
  7. Provinsi Wele-Nzas (Mongomo)

Lihat juga

Pranala luar


edunitas.com


Page 26

Republik Guinea Khatulistiwa ialah satu-satunya negara di Afrika yang berbahasa Spanyol yang beberapa agung wilayahnya sedang diselimuti hutan belantara. Telah tersedia di Teluk Guinea, pantai barat Afrika, dengan negara tetangga, Gabon di selatan dan timur serta Kamerun di utara. Guinea Khatulistiwa termasuk negara mini di Afrika, wilayahnya sedang lebih kecil dari kabupaten Kampar di Riau.

Pembagian administratif

Bagaimana pandangan agama katolik tentang eutansia dan perang

Provinsi di Guinea Khatulistiwa

Wilayah Guinea Khatulistiwa dibagi kedalam 7 provinsi (ibukota provinsi telah tersedia di dalam kurung):

  1. Provinsi Annobón (San Antonio de Palé)
  2. Provinsi Bioko Norte (Malabo)
  3. Provinsi Bioko Sur (Luba)
  4. Provinsi Centro Sur (Evinayong)
  5. Provinsi Kié-Ntem (Ebebiyín)
  6. Litoral (Bata)
  7. Provinsi Wele-Nzas (Mongomo)

Lihat juga

Pranala luar


edunitas.com