Bagaimana kaitan antara LGBT dengan hak asasi manusia brainly

VIVA – Menjadi kaum lesbian, gay, biseks, dan transgender (LGBT) dianggap bukan termasuk kepada hak asasi manusia (HAM). Pakar hukum pidana, Suparji Ahmad, menyampaikan bahwa merujuk kepada definisi-definisi HAM yang berlaku universal, menjadi kaum LGBT tidak termasuk kepada klasifikasi hak yang didapat seorang manusia karena ia terlahir, atau pun melakukan hal yang diatur hukum.

"Jika terjadi perilaku menyimpang karena pengaruh budaya, lingkungan, atau pun karena pilihan, boleh dikatakan hal itu bukan termasuk hak asasi," ujar Suparji dalam diskusi berjudul 'LGBT, Hak Asasi, dan Kita' di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 23 Desember 2017.

Menurut Suparji, secara internasional, telah banyak juga negara yang bersepakat menjadikan norma agama sebagai dasar pelaksanaan penegakan HAM di negaranya masing-masing. Sementara itu, tak ada satu pun agama yang membenarkan perilaku yang saat ini banyak dikaitkan dengan aktivitas LGBT, seperti seks sejenis.

"Jika dilihat dari konteks teologis, religius, manusia diciptakan berpasang-pasangan, selalu ada dua hal berbeda untuk berpasangan," ujar Suparji.

Suparji melanjutkan bahwa secara umum, hak asasi kerap menyangkut hak-hak seperti kebebasan berekspresi atau berbicara, hak untuk terbebas dari rasa takut, hak untuk terbebas dari rasa lapar, hingga hak untuk bebas memilih agama.

Suparji menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak perluasan makna pasal asusila dalam KUHP agar aktivitas LGBT masuk dalam ranah pidana.

Baca juga: MK Tolak LGBT Masuk Pidana

Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional maupun UUD 1945 menyatakan bahwa pembedaan pengaturan terhadap LGBT merupakan tindakan diskriminatif, pengaturan pelarangan LGBT juga bukan merupakan tindakan affirmative action yang diperbolehkan. Hal ini memperlihatkan bahwa Komnas HAM yang bertanggungjawab atas pengawasan kebijakan tentang Hak Asasi Manusia belum sepenuhnya memahami instrumen Hak Asasi Manusia itu sendiri.

Seperti yang dikutip dalam beberapa media, pada Kamis 14 Februari 2019 lalu dalam kesempatan dengar pendapat di Kantor Gubernur Sumatera Barat, Ketua Komnas HAM menyatakan bahwa wacana pemerintah daerah di Sumatera Barat untuk menyusun peratura pelarangan LGBT tidak melanggar HAM.

Ketua Komnas HAM menyatakan bahwa penyusunan peraturan pelarangan LGBT tersebut dinilai sah-sah saja selama dilakukan tanpa kekerasan, tidak diskrimintatif dan jangan membuat LBGT tidak dapat mengakses hak dasarnya.

ICJR mempertanyakan pernyataan tersebut, karena dengan sedari awal mewacanakan untuk melakukan pelarangan pada LGBT ataupun melakukan pembedaan perlakuan berdasarkan orientasi seksual, ekspresi seksual dan identitas gender merupakan bentuk diskriminasi, yang jelas dilarang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),  Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005, dan juga bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 Indonesia sendiri.

Bahwa dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa seluruh manusia dilahirkan secara bebas dan memiliki persamaan dalam martabat dan hak. Dalam Laporan Tahunan United Nations High Commissioner for Human Rights tentang Discriminatory laws and practices and acts of violence against individuals based on their sexual orientation and gender identity dinyatakan bahwa setiap orang disini termasuk orang-orang lesbian, gay, bisexual dantransgender.

Dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR juga dinyatakan bahwa negara peserta berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak sipil dan politik bagi semua, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Dalam kasus Toonen v. Australia (No. 488/1992 (CCPR/C/50/D/488/1992) Komisi Hak Asasi Manusia telah menyatakan bahwa larangan pembedaan ini termasuk juga pembedaan berdasarkan orientasi seksual. Komentar Umum No. 20 (E/C.12/GC/20, 10 June 2009)

Committee on Economic, Social and Cultural Rights menjelaskan bahwa pengertian “other status” atau “status lainnya” termasuk didalamnya orientasi seksual dan juga identitas gender.

Sejak kasus Toonen pada 1994, Komisi Hak Asasi manusia secara tegas menentang argumen yang menyatakan kriminalisasi LGBT dapat dijustifikasi dan beralasan dengan dalih kesehatan masyarakat atau dengan alasan moral, penggunaan hukum pidana dalam hal ini tidak proporsional dan tidak diperlukan.

Komisi Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hukum yang mengkriminalisasi hubungan seksual yang bersifat privat, antara orang dewasa dan dilakukan secara konsensual merupakan pelanggaran hak atas privasi dan hak untuk bebas dari diskriminasi. Penahanan seseorang berdasarkan orientasi seksual nya juga dinyatakan sebagai bentuk penahanan sewenang-wenang yang merupakan pelanggaran Pasal 9 ICCPR (The Working Group on Arbitrary Detention: Opinions No. 22/2006 on Cameroon (A/HRC/4/40/Add.1), No. 42/2008 on Egypt (A/HRC/13/30/Add.1))

Dalam konteks Indonesia sekalipun, pelarangan LGBT jelas melanggar Hak Asasi Manusia yang sudah diakui dalam UUD 1945. Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 j.o Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dijelaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, serta setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pada “Prinsip Pokok Negara Hukum” oleh Prof. Jimly Hassidiqie dijelaskan untuk mewujudkan prinsip equality before the law tersebut, segala tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan menifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan terlarang. Pengaturan yang memberikan pembedaan dalam kondisi tertentu diperbolehkan selama tindakan-tindakan tersebut bersifat khusus dan sementara yang dinamakan “affirmative actions” dan hanya dapat digunakan untuk mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga tercapai perkembangan yang sama dan setara antar tiap kelompok masyarakat, seperti contoh perlakukan khusus untuk perempuan dan anak-anak.

Dalam kedua konteks tersebut, dapat dikatakan bahwa baik instrumen Hak Asasi Manusia Internasional maupun UUD 1945 menyatakan bahwa pembedaan pengaturan terhadap LGBT merupakan tindakan diskriminatif, pengaturan pelarangan LGBT juga bukan merupakan tindakan affirmative action dalam konteks pembedaan kedudukan seseorang dihadapan hukum yang diperbolehkan. Hal ini memperlihatkan bahwa Komnas HAM sekali pun merupakan institusi negara yang bertanggungjawab atas pengawasan kebijakan tentang Hak Asasi Manusia belum sepenuhnya memahami instrumen Hak Asasi Manusia itu sendiri.

Padahal pelarangan LGBT yang diskriminatif tersebut dalam praktiknya di berbagai negara telah berdampak buruk bagi penghormatan hak asasi manusia, baik dalam hak sipil politik maupun hak sosial ekonomi dan budaya. Kriminalisasi Homoseksual membatasi akses terhadap penanggulangan, pencegahan, akses treatment  HIV yang jelas akan berdampak pada meningkatnya transmisi HIV (1 dari 15 homoseksual menderita HIV di negara yang tidak mengkrimnalisasi homoseksual, sedangkan 1 dari 4 homoseksual menderita HIV di negara yang mengkriminalisasi LGBT, dalam UNAIDS, The Gap Report, 2014), kriminaliasi juga menumbuhsuburkan kekerasan terhadap kelompok LGBT yang dihasilkan dari stigma pembedaan perlakuan dan pelarangan dalam peraturan.

Atas hal tersebut, ICJR merekomendasikan kepada Komnas HAM sebagai institusi negara Hak Asasi Manusia untuk:

  1. Menkaji ulang pernyataan tersebut, yang mengesahkan pelarang LGBT
  2. Melakukan kajian komprehensif tentang dampak pelarangan LGBT terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia
  3. Melakukan kajian yang komprehensif untuk mengevaluasi Perda-perda diskriminatif yang menyasar kelompok LGBT

Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.

Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel

Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan

Tags assigned to this article:

diskriminasiHAMHIV/AIDS

Keterangan gambar,

LGBT berhak untuk hidup bebas dari ketakutan, kekerasan dan diskriminasi

Puluhan lelaki perempuan, dengan berbagai dandanan, unik maupun wajar, sebagian berjilbab, berunjuk rasa di beberapa titik di kawasan Car Free Day, Jakarta, Minggu (17/5/2015) dengan aneka atribut pelangi, berpuncak di Bundaran HI. Mereka bagian dari unjuk rasa di seluruh dunia, merayakan Hari Internasional Melawan Homofibia dan Transfobia (IDAHOT).

IDAHOT dirayakan setiap tahun sejak 17 Mei 1990, tanggal dihapuskannya homoseksual dari kategori penyakit mental oleh Organisasi Kesehatan Dunia WHO.

Tahun ini Idahot bertema penghapusan kekeran terhadap LGBT.

Di Gedung Putih, Presiden Barack Obama memberi pernyataan khusus.

"(Isteri saya) Michele dan saya menegaskan lagi bahwa hak-hak kaum lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) adalah hak-hak asasi manusia, untuk merayakan martabat setiap manusia, dan untuk menggaris-bawahi bahwa setiap manusia berhak untuk hidup yang bebas dari ketakutan, kekerasan dan diskriminasi, terlepas dari siapapun mereka dan siapa pun yang mereka cintai."

Ditegaskan Obama, kita harus berjuang untuk tujuan ini setiap waktu. "Kita berupaya untuk menghapuskan kekerasan yang motivasinya adalah pandangan bias, memerangi diskriminasi di tempat kerja, dan menangani kebutuhan khusus kaum transgender."

Keterangan gambar,

Kaum LGBT Indonesia masih berhadapan dengan kekerasan karena identitas dan orientasi seksual mereka.

Namun lain di tempat Obama, lain di Indonesia, kata Adon dari Pelangi Mahardhika, lembaga perjuangan hak LGBT yang turut mengorganisasikan perayaan Idahot 2015.

Di Indonesia tak ada pejabat yang berbicara tentang IDAHOT.

Satu-satunya hiburan, kata Adon dari Pelangi Mahardhika adalah untuk pertama kalinya Menteri Agama Indonesia berbicara cukup suportif.

"Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa LGBT merupakan pilihan pribadi. Itu sudah langkah maju, karena biasanya pejabat berbicara dengan nada menyalahkan," tutur Adon.

Keterangan gambar,

Sesudah reformasi justru bermunculan peraturan yang justru mengkriminalisasi LGBT.

Lepas dari itu, LGBTI di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah. "Kaum lesbian, homoseksual dan transeksual masih sering menjadi korban dari kekerasan dan diskriminasi, atau malah kriminalisasi."

Yang memprihatinkan, ungkap Adon pula, reformasi dan kekebasan politik sejak jatuhnya Soeharto tidak diikuti oleh terbukanya kebebasan sipil.

"Justru sebaliknya, bermunculan peraturan di berbagai daerah yang mengkriminalisasi LGBT. Seperti di Provinsi Sumatera Selatan serta kabupaten seperti Padang Pariaman, Padang Panjang, Sawahlunto/Sijunjung dan Banjar, yang mengkriminalkan hubungan seksual sesama jenis," tegas Adon.

Ia menyebutkan, pencabutan segala bentuk peraturan yang diskriminatif terhadap LGBT di segala tingkatan, harus dihapus. Ditegaskannya, kasus-kasus pelanggaran hukum dan HAM terhadap kaum LGBT juga harus diusut tuntas.

Konten tidak tersedia

  • {{promo.headlines.shortHeadline}}