Ayat pertama dari surah Al qadr mengisyaratkan tentang

اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰهُ فِىۡ لَيۡلَةِ الۡقَدۡرِ

Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam qadar.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang mulia. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya untuk pertama kali kepada Nabi Muhammad di Gua Hira, atau menurunkannya secara sekaligus dari Lauë Maëfùî ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, pada malam qadar, malam kemuliaan dan ke agungan.

Terdapat empat tempat dalam Al-Qur'an yang menerangkan tentang penurunannya kepada Nabi saw yaitu: 1.Dalam Surah al-Qadr. 2.Dalam Surah ad-Dukhan, yaitu pada firman-Nya: ha Mim. Demi Kitab (Al-Qur'an) yang jelas, sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan dari sisi Kami. Sungguh, Kamilah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (ad-Dukhan/44: 1-6) 3.Dalam Surah al-Baqarah, yaitu pada firman-Nya: Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). (al-Baqarah/2: 185) 4.Dalam Surah al-Anfal, yaitu pada firman-Nya: Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-Anfal/8: 41) Ayat Surah al-Qadr menyatakan bahwa turunnya Al-Qur'an dari Lauh Mahfudh ke Baitul-'Izzah jelas pada malam Lailatul Qadr. Ayat Surah ad-Dukhan menguatkan turunnya Al-Qur'an pada malam yang diberkahi, ayat Surah al-Baqarah menunjukkan turunnya Al-Qur'an pada bulan Ramadan. Sedangkan Surah al-Anfal/8: 41 di atas menerangkan penyelesaian pembagian rampasan perang pada Perang Badar. Perang ini disebut yaumul-furqan karena merupakan pertempuran antara tentara Islam dengan tentara kafir, di mana kemenangan berada di tangan tentara Islam. Dalam ayat ini diungkapkan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an pertama kali kepada Nabi saw pada malam yang mulia. Kemudian diturunkan terus-menerus secara berangsur-angsur menurut peristiwa dan suasana yang menghendakinya dalam jangka waktu dua puluh dua tahun lebih sebagai petunjuk bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat nanti. Sehubungan dengan uraian di atas, para ulama mengatakan bahwa kata anzala dan nazzala berbeda penggunaan dan maknanya. Oleh sebab itu, makna anzalnahu dalam Surah al-Qadr menunjukkan turunnya kitab suci Al-Qur'an pertama kali dan sekaligus dari Lauh Mahfudh ke langit dunia. Kemudian diturunkan berangsur-angsur dari langit dunia kepada Nabi Muhammad, yang dibawa oleh Malaikat Jibril selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Sedangkan makna nazzala bermakna diturunkan berangsur-angsur. Tidak diragukan lagi bahwa manusia sangat memerlukan Al-Qur'an sebagai pedoman yang menjelaskan sesuatu yang mereka ragukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan soal-soal keagamaan atau masalah-masalah duniawi. Al-Qur'an juga menerangkan kepada mereka kejadian manusia dan kejadian yang akan datang ketika datangnya hari kebangkitan.

Manusia memerlukan pegangan tersebut karena tanpanya, mereka tidak dapat memahami prinsip-prinsip kemaslahatan yang sebenarnya untuk membentuk peraturan-peraturan dan undang-undang. Oleh sebab itu, benarlah pendapat yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama dan petunjuk rohani yang menentukan ukuran dan nilai sesuatu setelah mengetahui secara ilmiah keadaan dan khasiat sesuatu.

Malam lailatul qadar merupakan momen spesial yang hanya dapat diraih pada bulan Ramadan. Menurut pendapat beberapa ulama’, malam yang mulia ini muncul pada sepuluh akhir bulan Ramadan. Salah satu surah yang menjelaskan tentang eksistensi malam ini adalah Q.S: al-Qadr : 1-5 :

 إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَما أَدْراكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ ‌خَيْرٌ ‌مِنْ ‌أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيها بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ .سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ.

Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan (Al-Quran) pada malam qadar. Dan taukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turunlah malaikat dan Ruh (jibril) dengan zin tuhanya untuk mengatur semua urusan. Sejahterahlah (malam itu) sampai terbit fajar.

Menurut Sayyid Tantawi dalam Tafsir al-Wasit (15/463), kata qadr yang dinisbatkan pada kata lail (malam) dalam ayat ini diartikan sebagai kemuliaan dan keagungan, sebagaimana ungkapan orang Arab: “li Fulan qadr ‘inda Fulan” (seseorang yang memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat). Dengan demikian, ungkapan “lailah al-qadr” mengisyaratkan bahwa malam tersebut merupakan malam yang dipenuhi dengan kemuliaan dan keagungan.

Berdasarkan ayat ini, penulis dapat mengklasifikasi keistimewaan malam lailatul qadr menjadi tiga: Pertama, malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Kedua, para malaikat diturunkan pada malam itu. Ketiga, malam yang dipenuhi kesejahteraan. Berikut penjelasan secara terperinci mengenai dua keistimewaan malam lailatul qadar.

Baca juga:  Menelusuri Hikmah di Balik Kalimat Tasbih dalam Surah Al-Isra'

Keistimewaan Pertama

Para ulama berbeda pendapat mengenai keistimewaan malam ini. Ada yang berpendapat bahwa malam ini hanya terjadi sekali dan tidak akan ada lagi sesudahnya. Menurut Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari (4/263), argumentasi ulama yang berpendapat demikian didasarkan pada sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Rasul Saw. Beliau Saw. menyatakan bahwa “innaha rufi’at” (sesungguhnya malam al-qadr telah terangkat, dalam arti sudah tidak akan datang lagi).

Namun, Ibnu Hajar tidak sepakat dengan pendapat ulama ini. Menurutnya, pendapat ini tidak dapat diterima kecuali jika yang dimaksud dengannya adalah hari pertama turunnya al-Qur’an. Sebab, mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap tahun terjadi lailatul qadar. Malam ini menjadi mulia bukan saja karena al-Qur’an turun ketika itu, tetapi malam itu sendiri memiliki kemuliaan, yang kemudian kemuliaannya bertambah dengan turunnya al-Qur’an.

Quraish Shihab juga tidak sepakat dengan pendapat ulama ini. Dalam Tafsir al-Misbah (15/425), beliau berpendapat bahwa seandainya kehadiran lailatul qadar hanya ketika turunnya al-Qur’an pertama kali, tentu Nabi Saw. tidak akan menganjurkan para umatnya untuk berusaha mendapatkannya pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa riwayat hadis.

Bahkan di dalam al-Qur’an ditemukan isyarat yang menunjukkan bahwa lailatul qadar datang secara berkesinambungan setiap tahun. Isyarat tersebut antara lain dengan penggunaan bentuk kata kerja yang berbentuk masa kini dan akan datang (mudhari’) pada kata: tanazzalu al-mala’ikatu (ayat 4) yang menunjukkan bahwa turunnya malaikat itu, bersinambung secara terus-menerus.

Kemuliaan dan nilai seribu bulan itu dapat diperoleh seseorang sebagai hasil ibadah dan pendekatan kepada Allah selama bulan Ramadan. Ibadah-ibadah yang dilakukannya secara tulus dan ikhlas itu akan dapat berbekas dalam jiwanya, sehingga pada akhirnya ia mendapatkan kedamaian, ketenangan, sehingga mengubah secara total sikap hidupnya. Keadaan demikian merupakan bukti bahwa ia telah mendapatkan lailatul qadar.

Keistimewaan Kedua

Beberapa ulama enggan menjelaskan apa makna turunnya malaikat pada malam itu. Mereka Berpendapat bahwa dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa para malaikat turun dari alam ruhani sehingga nampak oleh Nabi, terutama malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu. Kita tidak perlu menyelidiki bagaimana cara dan rahasianya, cukuplah kita beriman saja. Sebab, yang dapat diketahui manusia tentang rahasia alam ini hanya sedikit sekali.

Namun ada pula yang berpendapat bahwa arti turunnya malaikat adalah seseorang yang mendapatkan lailatul qadar dan akan semakin kuat dorongan dalam jiwanya untuk melakukan berbagai macam kebajikan pada sisa hidupnya sehingga ia merasakan kedamaian abadi. Pendapat ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, yang mengutip pendapat gurunya Muhammad ‘Abduh, yang menjelaskan dalam Tafsir al-Manar (1/223) tentang malaikat yang menurutnya sejalan dengan pendapat Imam al-Ghazali :

“Dirasakan oleh mereka yang mengamati dirinya atau membanding-bandingkan pikiran atau kehendaknya yang mempunyai dua sisi — baik dan buruk — dirasakan oleh mereka bahwa dalam batinnya terjadi pertentangan seakan-akan apa yang terlintas dalam pikiran atau kehendaknya itu sedang diajukan ke suatu sidang. Ini menerima dan itu menolak, ini berkata ‘lakukan’ dan yang itu berkata ‘jangan’. Demikian halnya sehingga pada akhirnya salah satu pihak memperoleh kemenangan. Hal seperti itu sering terjadi dalam diri setiap manusia. Kita tidak mengetahui hakikat hal tersebut tetapi tidak mustahil itulah yang dinamai oleh Allah dengan malaikat ataukah dinamai (oleh-Nya) penyebab yang menimbulkan dorongan dalam hati untuk melakukan kebajikan.”

Baca juga:  Citra Perempuan Ideal Menurut Al-Qur'an

Keistimewaan Ketiga

Kata “salam” diartikan sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan, apapun bentuk kekurangan tersebut baik lahir maupun batin, sehingga seseorang yang hidup dalam “salam” akan terbebaskan dari penyakit, kemiskinan, kebodohan dan segala sesuatu yang termasuk dadam pengertian kekurangan lahir dan batin. Keadaan demikian merupakan pertanda bahwa seseorang itu mendapatkan kesejahteraan.

Malam lailatul qadar tersebut disifati dengan kata “salam” mengisyaratkan bahwa malam tersebut dipenuhi dengan kesejahteraan dan rasa aman secara terus menerus sampai terbit waktu fajar. Keadaan demikian ini hanya dapat diraih oleh seorang mukmin yang taat kepada Allah, yang benar-benar mampu menghidupkan malam tersebut dengan berbagai amal dan ibadah.

Wallahu A’lam