Ayat Al qur an tentang hak dan KEWAJIBAN manusia

A.A. Maududi, Human Right in Islam, (Aligharh: 1978).

Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,(al-Qahirah: Dar al-Kuwaitiyyah, 1942)

Abd Wahab `Abd al-`Aziz asy-Syisyani, Huqûq al-Insân wa Hurriyyâtihî al-Asâsiyyah fî an-Nizhâm al-Islâm wa an-Nuzhum li al-Mu`ashirah, (Riyad: Jami`ah al-Imam Muhammad bin Sa`ud al-Islamiyyah, 1980).

Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Cairo: Dar al-Fikr al-`Arabi, t.th.).

Bambang Cipto dkk, Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban, (Yogyakarta: 2003).

Mahmud Syaltut, al-Islâm `Aqîdah wa Syarî`ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1972).

Masdar F. Mas`udi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, dalam E. Sobirin Nadj dan Naning Mardiyah, Diseminasi HAM dalam Perspektif dan Aksi, (Jakarta:Cesda LPES).

Muhammad Muhammad adh-Dahahham, Huquq al-Insan fi al-Islam wa Ri`ayatihi li al-Qayyim wa al-Ma`ani al-Insaniyyah, (Cairo: Syirkah al-Misriyyah, 1971).

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1972), Jilid II.

Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Tim ICC UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: The Asia Foundation, 2000).

TM. Hasbi As-Siddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Kuwait: Maktabah al-Falah 1982).

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillauhu, Juz I, (Siria: Dar al-Fikr,1984).

Prinsip keadilan dan keseimbangan dalam islam adalah hal yang mendasar. Di dalam kehidupan manusia, prinsip ini menjadi hal yang selalu diperhitungkan. Dalam hukum, ekonomi, bekerja sama, melakukan pembangunan sosial, keluarga, prinsip keadlian dan keseimbangan adalah hal yang menjadi sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah.

Di dalam mengatur keseluruhan alam semesta ini Allah senantiasa menggunakan prinisp keadilan dan keseimbangan. Hanya dari keadilan dan keseimbangan Allah lah yang benar-benar sempurna, sehingga manusia atau makhluk lain pun tidak ada yang dapat menyayingi keadilan tersebut. Untuk itu, Allah mengajarkannya dan memberikan informasinya lewat Al-Quran dan diturunkannya nabi di muka bumi. Berikut adalah, hak dan kewajiban dalam islam, khususnya sebagai manusia.

Pengertian Hak dan Kewajiban

Hak dan kewajiban dalam islam sangat diperhitungkan dan menjadi aspek penting. Manusia hidup di dunia menjalankan misi kehidupannya tentu berdasarkan atas hak dan kewajiban yang sudah Allah tetapkan. Untuk itu, berikut adalah pengertian mengenai hak dan kewajiban secara umum.

Secara umum, hak berarti adalah hal-hal yang boleh diambil atau diterima oleh seseorang. Hak ini secara benar diambil atau diterima oleh manusia dengan syarat-syarat dan ketentuan tertentu. Hak juga tidak boleh dilalaikan dan juga tidak boleh dikesampingkan, karena hak menjadi milik seseorang.

Untuk mendapatkan hak, manusia harus untuk menunaikan kewajibannya. Hak tidak berdiri sendiri melainkan sangat bergantung kepada kewajiban. Ada hak dan ada juga kewajiban yang harus ditunaikan.

Kewajiban berbeda dengan hak. Kewajiban adalah syarat atau hal-hal yang harus dilakukan oleh manusia sebelum ia mendapatkan hak-nya. Jika kewajiban ditinggalkan, maka manusia akan berdosa, karena kewajiban pasti akan berdampak pada terhalangnya hak orang lain.

Misalnya saja, orang yang berkewajiban membayar pajak, jika ia tidak membayarkannya maka akan berdampak kepada hak-hak rakyat dan negara. Tentu saja merugikan dan merusak tatanan masyarakat. Untuk itu kewajiban sebagaimana hak, sangat bergantung satu sama lain.

Sebagai umat muslim tentu saja harus dilaksanakan kewajiban dan mengambil hak yang memang milik kita. Jika tidak sesuai dan mengambil tidak sesuai hak dan kewajiban, maka kedzaliman akan menghampiri kita. Tentunya juga kedosaan yang akan menimpa kita.

Kewajiban Sebagai Manusia

Manusia dengan sesama manusia juga memiliki hak-nya masing-masing. Allah terhadap manusia sudah memberikan hak-hak nya berupa rezeki, kesehatan, dan berbagai macam lainnya. Sedangkan manusia terhadap manusia terkadnag tidak menunaikan kewajibannya sehingga membuat manusia lain lalai akan hak-nya.

  1. Menyembah dan Mentaati Perintah Allah

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-A’raff“: 33)

Manusia sejak awal lahir ke dunia telah Allah tetapkan untuk mengikuti dan meyembah kepada Allah. Penyembahan manusia pada hal lain selain Allah adalah kerugian dan sebuah kebodohan yang membuat hidup manusia itu sendiri mendapatkan kesengsaraan. Untuk itu, Allah memerintahkan manusia agar menyembah kepada Allah, agar keselamtan menyertai manusia. Hakikatnya manusia yang menjalankan kewajibannya akan kembali mendapatkan manfaat dan keselamatannya untuk manusia sendiri.

  1. Menjalankan Misi Khalifah fil Ard

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS Al-Baqarah : 30)

Manusia diciptakan Allah untuk dapat menjalankan misi khalifah fil Ard. Misi ini adalah sebagai alasan mengapa manusia diciptakan, dan menjadi kewajiban agar manusia di muka bumi dalam keadaan selamat juga sejahtera.

Tanpa ada pembangunan, pengelolaan yang baik, manusia akan mendapatkan kerusakan dalam hidupnya juga kesengsaraan. Tugas khalifah fil ard bukanlah tugas seorang yang berlabel pemimpin saja melainkan tugas dari setiap orang, khususnya manusia yang ada di muka bumi.

  1. Berbuat Kebaikan, Menghindari Kerusakan

Hal ini yang harus dilakukan manusia dan menjadi kewajiban yang harus dilakukan. Berbuat kebaikan, menghindari perbuatan keji dan munkar adalah tugas dari manusia. Untuk itu, sebagaimana ayat di atas manusia harus menjalankan kebaikan dan menghindari perbuatan dosa.

Manusia memang tidak bisa lepas dari dosa, akan tetapi kewajiban manusia adalah menghindarinya. Hal ini karena setan selalu berada di sekitar manusia dan mempengaruhi manusia.

Hak Untuk Sesama Manusia

Selain kewajiban, berikut yang harus manusia perhatikan juga akan hak-hak yang harus diberikan atau dapat diterima sebagaimana manusia. Manusia dengan sesama manusia memiliki hak yang sama, untuk itupun harus juga memberikan hak-hak tersebut kepada mereka agar hak kita pun dapat dimiliki. Jika tidak menunaikan hak orang lain, maka hak kita sendiri pun tidak akan bisa didapatkan.

  1. Dilarang Berbuat Kerusakan

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS Asyu’ara’ “ 183)

Hak-hak manusia akan didapatkan jika manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Jika melanggar dan melakukan kerusakan dapat dipastikan hak manusia satu dengan yang lainnya, termasuk hak diri sendiri akan tidak didapatkan.

Tentunya, mendapatkan hak yang halal adalah yang sesuai dengan Rukun Islam, Dasar Hukum Islam, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, Sumber Syariat Islam, dan Rukun Iman, dan jangan sampai berbuat hal-hal yang rusak karena melanggar hal tersebut.

  1. Mendapatkan dan Memberikan Harta yang Halal

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS An-Nisaa : 29)

Agar kita mendapatkan harta yang halal sesuai hak kita, maka Allah memerintahkan agar menjalankan transaksi yang juga halal. Transaksi yang haram tidak akan membuat harta kita menjadi hak yang halal, maka hak tersebut menjadi haram.

Untuk itu, hak-hak manusia ini sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama , Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam.

 LATAR BELAKANG

  Allah SWT menciptakan seluruh makhluk berpasang-pasangan tanpa kecuali, sekecil apapun ciptaan Allah SWT pasti mempunyai pasangannya masing-masing tidak terkecuali manusia. Sebagai makluk Allah SWT yang paling sempurna dan juga sebagai khalifah di muka Bumi, manusia mempunya tanggung jawab mematuhi ketentuan-ketentuan yang Allah SWT. telah tetapkan baik melalui Firman-Nya maupun memalui Sabda Rasul-Nya. Salah satu ketentuan-Nya adalah tentang pernikahan dan tanggung jawab yang timbul akibat adanya pernikahan tersebut.

Setiap manusia pasti punya keinginan untuk menikah dan membangun rumah tangga yang harmonis karena menikah merupakan salah satu sunnatullah. Namun banyak sekali rumah tangga yang tidak bahagia disebabkan kurangnya pengetahuan pasangan suami istri tentang bagaimana membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawadah dan rahmah sesuai petunjuk Al-Qur’an.

Menikah bukan hanya bertujuan untuk meneruskan keturunan, namun seyogyanya menikah merupakan ikatan sah dari dua insan berbeda, dua karakter yang berbeda, dua pikiran yang berbeda, dan dua sifat yang berbeda yang kemudian disatukan dalam bahtera rumah tangga sebagai suami isteri. Penyatuan tersebut tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya, sehingga Allah SWT sebagai Sang Maha Pencipta dalam Firmannya telah memberikan aturan-aturan bagi manusia, agar manusia menyadari akan hak dan kewajibannya sebagai suami istri sehingga pada akhirnya dapat mengantarkan rumah tangganya sebagai suatu lingkungan yang harmonis sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.

PEMBAHASAN

 Tujuan Pernikahan Menurut Al-Qur’an

Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan akad yang sangat kuat dan salah satu ibadah yang terikat dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT. dan RasulNya. Oleh karena itu, pernikahan bukan perkara main-main, dan untuk menuju ke sebuah ikatan pernikahan, calon suami isteri haruslah mempunyai bekal pengetahuan tentang bagaimana cara membina rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.

Penciptaan laki-laki dan perempuan dari jenis manusia merupakan salah satu diantara bukti yang menunjukkan keesaan-Nya. Dengan menjadikan manusia berpasang-pasangan, Allah SWT. ingin memberikan ketenangan bagi pasangan tersebut dan untuk bersenang-senang diantara keduanya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ar-Rum ayat 21 sebagai  berikut:

وَ مِنْ اٰیٰتِهٖۤ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْۤا اِلَیْهَا وَ جَعَلَ بَیْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةًؕ-اِنَّ فِیْ ذٰلِكَ لَاٰیٰتٍ لِّقَوْمٍ یَّتَفَكَّرُوْنَ.

Artinya: “dan di antara tanda-tanda kebesarannya ialah dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dia menjadikan diantara kamu rasa kasih dan sayang.”

Ayat lain yang memiliki makna serupa : [1]

هُوَ الَّذِیْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِیَسْكُنَ اِلَیْهَاۚ

Artinya : “dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan darinya dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya.”

Senada dengan maksud dari pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[2] Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan komitmen suami isteri untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai kemampuan. Suami mejalankan kewajibannya sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga dan istri menjalankan kewajibannya sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga, sehingga akan tercipta suatu suasana yang harmonis jika semua kewajiban dapat dijalankan. Tentu timbal baliknya dengan terlaksananya semua kewajiban maka hak-hak sebagai suami atau sebagai istri pun akan terpenuhi dengan sendirinya, sehingga ketentraman (sakinah) yang berlandaskan rasa kasih sayang dalam menjalani bahtera rumah tangga sebagai suatu tujuan perkawinan akan mudah terwujud.

Kewajiban Suami terhadap Isteri Menurut Al-Qur’an

Akad pernikahan dalam syariat Islam tidak sama dengan akad kepemilikan. akad pernikahan diikat dengan memperhatikan adanya kewajiban-kewajiban di antara keduanya. Dalam hal ini suami mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan istrinya berdasarkan firman-Nya “akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya”. Kata satu tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan firmannya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa ayat 34).[3]

Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri, sehingga jika berbicara tentang kewajiban suami terhadap isteri, maka bisa juga berarti hak isteri atas suami.

Kewajiban adalah segala hal yang harus dilakukan oleh setiap individu, sementara hak adalah segala sesuatu yang harus diterima oleh setiap individu.[4]

Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kewajiban adalah segala perbuatan yang harus dilaksanakan oleh individu atau kelompok sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.

Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak Allah dan hak Adam.[5] Dan hak isteri atas suami tentunya merupakan dimensi horizontal yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia sehingga dapat dimasukkan dalam kategori hak Adam. Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap isteri adalah sebagai berikut:

 Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus diberikan oleh seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon isteri) karena pernikahan.[6]

Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi calon suami sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:

وَ اٰتُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةًؕ-فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَیْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِیْٓــٴًـا مَّرِیْٓــٴًـا

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata النِحْلَةًؕ menurut lbnu ‘Abbas artinya mahar/maskawin. Menurut ‘A’isyah, النِحْلَةًؕ  adalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut Ibnu Zaid  النِحْلَةًؕ dalam perkataan orang Arab, artinya sebuah kewajiban. Maksudnya, seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan dengan sesuatu yang wajib diberikan kepadanya, yakni mahar yang telah ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan pada saat penyerahan mahar harus pula disertai dengan kerelaan hati sang calon suami.[7]

Senada dengan tafsir ath Thabari juga menjelaskan bahwa Perintah memberikan mahar (dalam surat An-Nisa ayat 4) merupakan perintah Allah SWT. yang ditujukan langsung kepada para suami dengan jumlah mahar yang telah ditentukan untuk diberikan kepada isteri.[8]

Praktik pemberian mahar tidak semua dibayarkan tunai ketika akad nikah dilangsungkan, ada juga sebagian suami yang menunda pembayaran mahar istrinya ataupun membayarnya dengan sistem cicil, dan ini dibolehkan dalam Islam dengan syarat adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, hal ini selaras dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi, “sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)[9]

  1. Nafkah, Pakain dan Tempat Tinggal.

Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.[10]

Fuqaha telah sependapat bahwa nafkah terhadap istri itu wajib atas suami yang merdeka dan berada di tempat. Mengenai suami yang bepergian jauh, maka jumhur fuqaha tetap mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kecuali dengan putusan penguasa.[11] Tentang kewajiban nafkah ini telah dijelaskan Allah SWT. dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 233.

وَ الْوَالِدٰتُ یُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَیْنِ كَامِلَیْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ یُّتِمَّ الرَّضَاعَةَؕ-وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِؕ-لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا

Artinya:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”

Maksud dari kata  الْمَوْلُوْدِ لَهٗ pada ayat di atas adalah ayah kandung si anak. Artinya, ayah si anak diwajibkan  memberi nafkah dan pakaian untuk ibu dari anaknya dengan cara yang ma’ruf. Yang dimaksud dengan  بِالْمَعْرُوْفِ adalah menurut kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu di bawah kepatutan, dan disesuaikan juga dengan kemampuan finansial ayahnya.[12]

Adapun menyediakan tempat tinggal yang layak adalah juga kewajiban seorang suami terhadap istrinya sebagaimana Firman Allah SWT berikut:

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَیْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ…

Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).

  1. Menggauli istri secara baik.

 Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban suami terhadap istrinya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surat an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:

یٰۤاَیُّهَا الَّذِیْنَ اٰمَنُوْا لَا یَحِلُّ  لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَآءَ كَرْهًاؕ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ  لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَاۤ اٰتَیْتُمُوْهُنَّ اِلَّاۤ اَنْ یَّاْتِیْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَیِّنَةٍۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ-فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰۤى اَنْ تَكْرَهُوْا شَیْــٴًـا وَّیَجْعَلَ اللّٰهُ فِیْهِ خَیْرًا كَثِیْرًا

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Maksud dari kata وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ adalah ditujukan kepada suami-suami agar berbicara dengan baik terhadap para istri dan bersikap dengan baik dalam perbuatan dan penampilan. Sebagaimana suami juga menyukai hal tersebut dari istrinya, maka hendaklah suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana hadist dari riwayat ‘A’isyah ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”. Dan di antara akhlak Rasulullah saw. adalah memperlakukan keluarganya dengan baik, selalu bergembira bermain dengan keluarga, bermuka manis, bersikap lemah lembut, memberi kelapangan dalam hal nafkah, dan bersenda gurau bersama istri-istrinya.[13]

Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan, وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ , Kata الْمَعْرُوْف memiliki pengertian yang lebih tinggi tingkatannya dari kata al–mawaddah. Karena makna kata al-mawaddah berarti perbuatan baik kita kepada orang lain hanya didasarkan karena rasa cinta (al-hubb) atau karena kita merasa senang dan bahagia dengan keberadaan orang itu. Adapun kata الْمَعْرُوْف maknanya kita berbuat baik kepada seseorang yang belum tentu kita sukai atau kita senangi.[14] Artinya jika suatu saat istri kita sudah tidak lagi menarik secara fisik atau keberadaannya sudah tidak menyenangkan lagi bahkan membangkitkan kebencian dihati, maka tetaplah berlaku makruf terhadapnya dan bergaul dengannya dengan sebaik-baiknya perlakuan sebagaimana perintah ayat tersebut, karena bisa jadi satu sisi dia buruk namun pada sisi lainnya banyak kebaikan-kebaikannya yang bisa menutupi keburukannya tersebut.

Sudah menjadi kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah dan RasulNya. Dengan ilmu agama seseorang mampu membedakan baik dan buruknya prilaku dan dapat menjaga diri dari berbuat dosa. Selain ilmu agama, seorang suami juga wajib memberikan nasehat atau teguran ketika istrinya khilaf atau lupa atau meninggalkan kewajiban dengan kata-kata bijak yang tidak melukai hati sang istri, sebagaimana Firman Allah SWT. surah At-Tahrim ayat 6 berikut :

 یٰۤاَیُّهَا الَّذِیْنَ اٰمَنُوْا قُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَ اَهْلِیْكُمْ نَارًا وَّ قُوْدُهَا النَّاسُ وَ الْحِجَارَةُ عَلَیْهَا مَلٰٓىٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا یَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمْ وَ یَفْعَلُوْنَ مَا یُؤْمَرُوْنَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

  1. Memberikan cinta dan kasih sayang kepada istri.

Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas pada kalimat وَ جَعَلَ بَیْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةًؕ dapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya yang terwujud dalam perlakuan dan perkataan yang mampu membuat rasa tenang dan nyaman bagi istri dalam menjalankan fungsinya sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga. Adapun bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian, ketulusan, keromantisan, kemesraan, rayuan, senda gurau, dan seterusnya.

Dalam memberikan cinta dan kasih sayang bukanlah atas dasar besar kecilnya rasa cinta kita kepada istri, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Allah SWT. agar suami istri saling mencinta dan berkasih sayang sebagai wujud kepatuhan kepada Allah SWT. Jika memberikan cinta dan kasih sayang antara suami istri sudah disandarkan pada perintah Allah SWT. maka as-sakiinah (ketentraman) dalam rumah tangga akan mudah kita raih.

Kewajiban Isteri Terhadap Suami Menurut Al-Qur’an

1.      Taat kepada suami

Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:

اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّ بِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْؕ-فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَیْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُؕ-وَ الّٰتِیْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَ اهْجُرُوْهُنَّ فِی الْمَضَاجِعِ وَ اضْرِبُوْهُنَّۚ-فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَیْهِنَّ سَبِیْلًاؕ-اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِیًّا كَبِیْرًا

Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ adalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Artinya dalam rumah tangga seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan ditaati perintahnya, oleh karenaa itu sudah seharusnya seorang Istri mentaati suaminya jika memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata قٰنِتٰتٌ adalah para istri yang taat kepada suami.[15] Artinya wanita sholeh itu salah satu tandanya adalah taat kepada suami selama perintahnya tidak menyelisihi Allah dan Rasulnya.

2.      Mengikuti tempat tinggal suami

Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri adalah tempat tinggal, karena kebiasaan orang Indonesia pada masa-masa awal menikah suami istri masih ikut di rumah orang tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari tempat tinggal sendiri. Dalam hal ini seorang istri harus mengikuti dimana suami bertempat tinggal, entah itu di rumah orang tuanya atau di tempat kerjanya. Karena hal tersebut merupakan kewajiban seorang istri untuk mengikuti dimana suami bertempat tinggal, sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَیْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ…

Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).

3.      Menjaga diri saat suami tak ada

Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah tangga maka harus membatasi tamu-tamu yang datang ke rumah. Ketika ada tamu lawan jenis maka yang harus dilakukan adalah tidak menerimanya masuk ke dalam rumah kecuali jika ada suami yang menemani dan seizin suami. Karena perkara yang dapat berpotensi mendatangkan fitnah haruslah dihindari. Allah SWT berfirman, “Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. Annisa:34).

Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran telah memberi petunjuk kepada pasangan suami istri tentang bagaimana semestinya membina rumah tangga agar dapat mendatangkan sakinah mawaddah dan rahmah dalam rumah tangga. Tentu caranya tidak lain adalah dengan menjalankan kewajiban masing-masing sebagai suami istri.

Adapun kewajiban suami terhadap isteri yakni memberikan mahar kawin, nafkah yang layak sesuai kemampuan, pakain dan Tempat Tinggal, menggauli istri secara makruf (baik), menjaga istri dari dosa, memberikan cinta dan kasih sayang. Selain suami, istri juga harus menjalankan kewajibannya terhadap suami, yakni mentaati suami, mengikuti tempat tinggal suami, melayani kebutuhan biologis suami kecuali ada halangan syar’i, menjaga diri saat suami tak ada, dan tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami..

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalidi, Shalah ‘Abdul Fattah. Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 Shahih, Sistematis, Lengkap, terj. Engkos Kosasih, et al, cet. kedua. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017.

________ Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 Shahih, Sistematis, Lengkap, terj. Engkos Kosasih, et al. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017.

Arifandi, Firman. Serial Hadist 6 : Hak Kewajiban Suami Istri. Jakarta : Rumah Fiqih Publishing. 2020.

Asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Suami Istri Berkarakter Surgawi, terj. Ibnu Barnawa, cet. kelima. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Bigha, Musthafa Diibul. Ihtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, alih bahasa oleh Uthman Mahrus. Semarang: Asy Syifa’, 1994.

Dahlan, Abdul Azis et al. Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.

Departemen Agama RI. Bahan Penyuluhan Hukum, ed. V. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.

Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al Barsany dan Moh. Tolhah Mansoer, Ed. I, cet. VII. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Ma’ani, Abd al-‘Adzim dan Ahmad al-Ghundur. Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis, terj. Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Muhammad, Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari. Tafsir Ath-Thabari Jilid 6. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Nida, Shofia. “Suami Tidaklah Sama Dengan Bos Yang Dapat Memerintah Istrinya Sesuka Hati”, dalam https://www.brilio.net/wow/kewajiban-seorang-suami-terhadap-istri-dalam-ajaran-agama-islam-2006108.html. 10 Juni 2020.

Rusyd, Ibnu. Tarjamah Bidayatu ’l-Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah. Semarang: Asy Syifa’, 1990.

[1] al-A’raf,7: 189.

[2] Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, ed. V (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), 167.

[3] Abd al-‘Adzim Ma’ani dan Ahmad al-Ghundur, Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis, terj. Usman Sya’roni (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 108.

[4] Firman Arifandi, Serial Hadist 6 : Hak Kewajiban Suami Istri (Jakarta : Rumah Fiqih Publishing, 2020), 7.

[5] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, Ed. I., cet. VII (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 340.

[6] Musthafa Diibul Bigha, Ihtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, terj. Uthman Mahrus (Semarang: Asy Syifa’, 1994), 244.

[7] Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi, Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2: Shahih, Sistematis, Lengkap, terj. Engkos Kosasih, dkk (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017), 215-216.

[8] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 6 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 415.

[9] Shofia Nida, “Suami Tidaklah Sama Dengan Bos Yang Dapat Memerintah Istrinya Sesuka Hati”, dalam https://www.brilio.net/wow/kewajiban-seorang-suami-terhadap-istri-dalam-ajaran-agama-islam-2006108.html (10 Juni 2020).

[10] Abdul Azis Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), 1281.

[11] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu ’l-Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah (Semarang: Asy Syifa’, 1990), 464-465.

[12] Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi, Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1: Shahih, Sistematis, Lengkap, terj. Engkos Kosasih, et al., cet. kedua (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017), 446

[13] Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi, Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2: Shahih, Sistematis, Lengkap, terj. Engkos Kosasih, et al., cet. kedua (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017), 248.

[14] Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Suami Istri Berkarakter Surgawi, terj. Ibnu Barnawa, cet. kelima (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 169.

[15] Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi, Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2: Shahih, Sistematis, Lengkap, terj. Engkos Kosasih, et al., (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017),288.