Apakah Merdeka belajar efektif diterapkan di Indonesia

Merdeka belajar merupakan salah satu program unggulan yang dicetuskan oleh Kemendikbud Ristek. Konsep merdeka belajar memberi kebebasan kepada para siswa untuk mengakses ilmu secara mandiri. Sumber ilmu tidak hanya berpatok pada guru dan dalam ruangan kelas tetapi bisa di luar kelas, di media online atau internet, perpustakaan dan lingkungan sekitar. Ruang kreativitas diberikan seluas-luasnya kepada para siswa agar mengeskplorasi pengetahuan yang baik dan berguna dalam kehidupan. Pertanyaannya, apakah konsep merdeka belajar dapat diterapkan dalam situasi pandemi COVID-19 saat ini?

Munculnya COVID-19 dalam dua tahun terakhir membawa dampak yang serius terhadap berbagai bidang kehidupan, salah satunya bidang pendidikan. Sistem pendidikan yang dilakukan secara langsung atau face to face terpaksa harus diganti dengan sistem pendidikan yang baru, baik itu secara online, pembelajaran tatap muka terbatas dan sebagainya. Implikasinya, siswa-siswi harus beradaptasi dengan situasi baru dalam belajar.

Penerapan sistem pendidikan yang baru pada masa pandemi merupakan salah satu langkah yang ditempuh pemerintah dalam mencegah penyebaran COVID-19 di Indonesia. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan ini dinilai dapat memberikan dampak yang positif bagi siswa-siswi. Namun, realitas membuktikan jika sistem pendidikan ini sangat bertolak belakang dengan harapan pemerintah tersebut. Sebagian besar siswa-siswi mengeluh dengan penerapan sistem pendidikan dalam jaringan (daring) yang diterapkan pada masa pandemi. Alasannya karena tanpa bantuan ataupun penjelasan langsung dari guru, materi atau ilmu tidak bisa dipahami sendiri oleh siswa-siswi.

Keluhan tentang kesulitan belajar diungkapkan oleh William, siswa kelas XII MIA. “Menurut saya, belajar pada masa pandemi sangat tidak efektif bagi siswa-siswi karena banyak materi yang diberikan tidak bisa dipahami sendiri oleh siswa-siswi,” katanya. Ia juga menandaskan bahwa siswa lebih mudah memahami materi yang tersaji dalam bentuk teori-teori daripada materi dalam bentuk perhitungan matematis (misalnya, mata pelajaran matematika) karena cenderung sulit dipecahkan secara pribadi tanpa bantuan guru. Irenya, siswi kelas XII MIA juga merasakan hal yang sama. Ia merasa kesulitan memahami materi untuk mata pelajaran eksata. “Untuk mata pelajaran lain yang menggunakan teori, saya tidak merasa kesulitan. Akan tetapi, mata pelajaran eksata seperti matematika, fisika, dan kimia, menjadi kendala bagi saya dalam memahami materi yang diberikan,” tuturnya.

Di samping keluhan-keluhan yang diberikan siswa-siswi tersebut, pada dasarnya sistem pendidikan yang diterapkan ini sesungguhnya memberikan dampak positif bagi siswa-siswi. Penerapan sistem pendidikan ini dengan leluasa memberikan kebebasan bagi siswa-siswi untuk mencari dan menemukan sendiri solusi dari persoalan dalam belajar. Inilah hal yang menjadi inti utama dari konsep merdeka belajar. Para siswa mampu mengelaborasi ilmu pengetahuan secara mandiri dengan bantuan teknologi seperti handphone. Penggunaan handphone membantu para siswa memperluas cakrawala berpikir. Virginia, siswi kelas XII MIA mengungkapkan dampak positif dari pembelajaran online menggunakan handphone. “Sebenarnya sistem pendidikan yang diterapkan pada masa pandemi memberikan kebebasan bagi siswa-siswi karena mereka bisa mencari berbagai referensi di handphone dan hal ini mempermudah mereka dalam memahami materi,” jelasnya. Dia juga menegaskan bahwa jika seorang pelajar sadar dan dapat memanfaatkan handphone dengan baik, maka hal itu membuatnya mudah dalam memahami materi.

Sebenarnya, belajar pada masa pandemi memberikan dampak yang positif bagi siswa-siswi. Alasannya karena siswa-siswi dapat mencari ilmu dengan bebas di media bahkan dapat mencari referensi lain sebagai bentuk kesadaran pribadi dalam menambah pengetahuan dan wawasan selain yang diberikan oleh guru. Jadi, selain mencari materi siswa- siswi juga dapat mencari informasi sebagai pengetahuan umum. Hal ini tentu saja memberikan dampak positif bagi siswa-siswi. Paulinus Oji, siswa kelas XI MIA II menjelaskan bahwa sebenarnya sangat mudah bagi siswa-siswi dalam memahami materi baik itu mata pelajaran noneksata maupun eksata. Para siswa  bisa memanfaatkan handphone agar dapat memahami materi. “Berkat kemajuan yang begitu pesat siswa-siswi bisa menonton penjelasan materi di youtube. Hal ini tentu saja membuat siswa-siswi dengan mudah memahami materi termasuk mata pelajaran eksata seperti matematika, fisika, atau kimia,” tuturnya.

Belajar pada masa pandemi bukanlah suatu kendala bagi siswa-siswi dalam memahami materi. Sebaliknya siswa-siswi dapat belajar dengan leluasa melalui media berupa handphone dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai siswa-siswi yang cerdas, pemanfaatan handphone sebagai media belajar merupakan tindakan yang bijasana. Penggunaan handphone untuk hal-hal yang berguna dan bermanfaat dapat memberikan kemudahan bagi para siswa dalam memahami materi di masa pandemi ini. Pada dasarnya penerapan sistem pendidikan dalam jaringan (daring) pada masa pandemi memberikan kemerdekaan bagi siswa-siswi dalam belajar sehingga siswa-siswi dapat belajar secara mandiri dan aktif dalam mencari dan menemukan materi. Tingkat kesadaran para siswa dalam memanfaatkan media handphone dengan baik sebenarnya membuat mereka semakin sadar jika belajar pada masa pandemi memberikan kebebasan dalam memperoleh atau mendapatkan ilmu pengetahuan serta dapat menambah wawasan. Dengan demikian, konsep merdeka belajar dapat diterapkan dan sangat relevan dengan konteks pandemi COVID-19 ini.

By. Yohanes Sandro Carlos Suka

Apakah Merdeka belajar efektif diterapkan di Indonesia

Apakah Merdeka belajar efektif diterapkan di Indonesia
Lihat Foto

KOMPAS.COM/HAMZAH ARFAH

Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang dilaksanakan di SMA Negeri 1 Cerme, Gresik, Selasa (4/1/2022).

KOMPAS.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) resmi meluncurkan Kurikulum Merdeka pada Jumat (11/2/2022) secara virtual.

Kurikulum terbaru tersebut memiliki perbedaan mendasar ketimbang kurikulum yang pernah diterapkan di Indonesia. Paling kentara, Kurikulum Merdeka tidak lagi menyertakan kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Hal itu berarti, guru dan murid tidak lagi terbelenggu pada nilai agar bisa mencapai KKM. Sebagai gantinya, guru diberi keleluasaan dalam menentukan ketercapaian tujuan pembelajaran pada peserta didik.

Baca juga: Kurikulum Merdeka dan Kemerdekaan dalam Supervisi

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Riset) Nadiem Anwar Makarim menjelaskan, inti Kurikulum Merdeka adalah Merdeka Belajar. Melalui konsep itu, Kurikulum Merdeka diciptakan dengan tiga keunggulan mendasar bagi murid, guru, dan sekolah.

Pertama, jelas Menteri Nadiem, materi yang diajarkan lebih sederhana dan mendalam. Kurikulum Merdeka akan fokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik sesuai fasenya.

Para guru juga memiliki kesempatan untuk mendalami materi pelajaran dan tidak terburu-buru untuk berpindah ke materi berikutnya. Dengan demikian, peserta didik mampu memahami konsep dengan lebih mendalam.

Kedua, lebih merdeka. Nadiem mencontohkan, dalam Kurikulum Merdeka, tidak ada peminatan atau jurusan pada siswa sekolah menengah atas (SMA).

Baca juga: Kemendikbudristek Anggap Wajar Banyak Pihak Bingung soal Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka

“Peserta didik dapat memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya di dua tahun masa SMA,” kata Nadiem dalam episode ke-15 Merdeka Belajar yang disiarkan di kanal Youtube Kemendikbud Riset, Jumat.

Bagi para guru, Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan dalam mengajar sesuai tahapan capaian dan perkembangan peserta didik. Sekolah juga diberikan kewenangan untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum sesuai dengan karakteristik sekolah tersebut.

Ketiga, Kurikulum Merdeka lebih relevan dan interaktif. Pembelajaran dilakukan melalui berbagai kegiatan berbasis proyek di dalam kelas. Dengan demikian, peserta didik akan mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan saat lulus sekolah, seperti bekerja dalam kelompok dan menghasilkan suatu karya.

Salah satu program andalan Kemendikbud-Ristek adalah program Merdeka Belajar. Konsep Merdeka Belajar yang dicetuskan oleh Nadiem Makarim, tujuannya  baik, agar peserta didik bahagia dalam menempuh pendidikan.

Para siswa diberi kebebasan untuk mengakses ilmu. Sumber ilmu bukan sebatas pada ruang kelas, guru, tetapi bisa di luar kelas, di media online atau internet, perpustakaan, dan juga di lingkungan sekitar. Guru tidak lagi menjadi sumber utama.

Dalam konteks ini, maka dibutuhkan kejelian guru untuk menterjemahkan konsep Merdeka Belajar. Guru harus kreatif agar siswa bisa dibimbing dan diarahkan sesuai konsep merdeka belajar.

Konsep merdeka belajar tidak lagi dibatasi oleh kurikulum, tetapi siswa dan guru harus kreatif, untuk menggapai pengetahuan. Siswa benar-benar dilatih untuk mandiri.

Menurut Nadiem Makarim konsep “Merdeka Belajar” paling tepat digunakan sebagai filosofi perubahan dari metode pembelajaran yang terjadi selama ini. Sebab dalam “Merdeka Belajar” terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi lingkungan pendidikan menentukan sendiri cara terbaik dalam proses pembelajaran. (Kompas.com).

Salah satu alasan, banyak sekolah (di daerah) masih melakukan ujian manual, karena anak-anak belum terbiasa dengan komputerisasi. Hal ini disebabkan oleh dua alasan, pertama karena  minimnya sarana prasarana, kedua Sumber Daya Manusia yang belum maksimal.

Konsep Ideal yang Penerapannya Belum Maksimal

Penerapan Merdeka Belajar, bukan tanpa hambatan. Ada beberapa kendala yang dihadapi di daerah.

  1. Merdeka Belajar belum maksimal diterapkan karena masalah Sumber Daya Manusia, (SDM). Program Merdeka Belajar menuntut kreativitas guru. Kenyataannya guru–guru di pedalaman masih minim kreativitas. Bila pendidik tidak kreatif untuk membimbing siswa maka, penerapan Merdeka Belajar memang ideal untuk zaman sekarang, tapi kenyataannya menjadi sulit untuk diterapkan.
  2. Mentalitas siswa dan guru. Persoalan yang dihadapi sekarang masalah mental anak. Masih banyak siswa dan guru yang harap gampang, minimnya keinginan untuk berjuang. Pengalaman di daerah menunjukkan demikian.

Masih banyak tokoh kunci seperti guru atau murid yang harap gampang. Belum lagi akses informasi yang terbatas, semakin menambah buram potret pendidikan di tanah air.

Sumber