Apa yang terjadi di alam fana ini sudah ditentukan Allah ketentuan Allah sejak zaman azali disebut?

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Menurut Mazhab Al-Asy’ary atau Al-Asy’ariyah, Al-Qadha’ dan Al-Qadar adalah sebagai berikut :

  • Al-Qadha’ adalah kehendak Allah s.w.t. pada zaman azal (zaman yang tidak diketahui permulaannya) pada segala sesuatu menurut keadaannya pada waktu adanya. Dan dia termasuk sifat-sifat Dzat di sisi mereka.

    Misalnya Allah berkehendak pada masa azal akan menjadikan hambaNya Fuad misalnya menurut apa yang kita lihat pada waktu adanya. Bentuknya begitu, jadi seorang dokter, isterinya dua dan lain-lain misalnya. Oleh sebab itu maka qadha’ menurut ini adalah sifat Dzat Allah s.w.t.

    Qadha’ menurut mazhab ini adalah “Qadim” dan bukan “Hadis” (baharu).

  • adalah penciptaan Allah s.w.t. akan segala sesuatu menurut ukuran yang telah ditentukan dan rupa yang telah ditentukan pula sebagaimana yang telah dikehendaki olehNya.”

    Maksudnya, Tuhan menjadikan sesuatu menurut apa yang telah dikehendaki olehNya pada saat sebelum menjadikan itu. Al-Qadar adalah sifat perbuatan Allah (Min Shifaatil Afaal). Karena itu maka Al-Qadar adalah baharu (hadis).

Menurut mazhab Al-Maturidy,

  • Al-Qadha’ ialah Allah menjadikan segala sesuatu serta menambah kekokohan dan kebagusan — pada apa yang dijadikan —. Al-Qadha’ merupakan sifat perbuatan Allah menurut para Ulama Mazhab ini.

    Contohnya ialah, Allah Ta’ala menjadikan langit, bumi dan lain-lain dengan begitu indah, bagus, kokoh, teratur dan lain -lain dan sifat-sifat yang menunjukkan atas keagungan segala sesuatu yang dijadikan olehNya. Karena itu Al-Qadha’ menurut mazhab ini adalah baharu, sebab ia sifat perbuatan Allah s.w.t.

  • Al-Qadar ialah Allah menentukan pada azal tiap-tiap makhuk menurut ketentuanNya yang didapat makhluk pada waktu diadakannya, misalnya berupa kebaikan, kejelekan, manfaat, mudharat, dan lain-lain. Artinya ilmu Allah pada masa azal tentang sifat-sifat semua makh1uk, maka berkaitanlah Al-Qadar menurut mereka pada Ulama mazhab ini kepada sifat ilmu, sedangkan sifat ilmu adalah sebahagian dari sifat-sifat dzat.

Maksudnya ialah, bahwa Al-Qadar menurut mazhab ini, ialah ilmu Allah, artinya pengetahuan Tuhan yang tidak ada permulaan tentang sifat-sifat makhluk berupa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada makhluk-makhluk itu, di mana akan diciptakan oleh Allah s.w.t. Umpamanya, keadaan kita sekarang baik dalamkehidupan ataupun mati, sudah merupakan ketentuan dan ketetapan Allah yang telah diketahui olehNya pada masa azal, yakni pada masa yang tidak ada permulaan padanya.

Oleh sebab itu maka Al-Qadar menurut mazhab ini bertalian dengan ilmu Allah yang merupakan salah satu sifat dari sifat-sifatNya, sedangkan ilmu Allah merupakan sebahagian dari sifat-sifat Dzat Allah yang wajib ke atas Allah, yakni sifat-sifatnya yang tidak diterima oleh akal atas tidak adanya sifat-sifat itu.

Perbedaan antara Mazhab Asy’ari atau Al-’Asya’riyah dengan Mazhab Al-Maturidy atau Al-Maturidiyah, adalah pada istilah semata-mata, karena pada hakikatnya Al-Qadha’ menurut Mazhab Asy’ari adalah Al-Qadar menurut Al-Maturidy. Karena itu maka Al-Qadha’ menurut Mazhab Asy’ari adalah qadim, karena merupakan sebahagian dari sifat-sifat Dzat Allah. Tetapi menurut Mazhab Al-Maturidy adalah baharu (hadis), karena Al-Qadha menurut mereka merupakan sifat perbuatan Allah.

Demikian pula pada istilah Al-Qadar, di mana menurut mazhab Asy’ari adalah baharu, karena merupakan sifat perbuatan Allah dan menurut mazhab Al-Maturidy Al-Qadar itu ialah Al-Qadha’, karena itu Al-Qadar merupakan keadaan yang berhubungan dengan ilmu Allah, sedangkan ilmu Allah merupakan sebahagian dari sifat DzatNya. Karena itu maka Al-Qadar menurut mazhab ini adalah Qadim.

Di dalam Kitab Jauharatut- Tauhid diterangkan bahwa kita wajib beriman dengan qadar dan qadha’ seperti telah datang keterangan di dalam Hadis Nabi.

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Hai Rasulullah apakah itu Iman? Menjawab Nabi: Yaitu bahwa engkau beriman dengan Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya dan hari kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar, baiknya, buruknya, manisnya dan pahitnya adalah dari Allah s.w.t.”

Dalam Al-Quran:

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan sesuatu menurut ketentuannya.” (Al-Qamar: 49)

Banyak Hadis-hadis dan ayat-ayat menerangkan tentang qadha’ dan qadar. Meskipun di dalam ayat dan Hadis kita hanya menemui perkataan qadar saja,

sebab antara keduanya menurut ilmu Tauhid tidak dapat dipisahkan.

Meskipun kita wajib beriman kepada qadha’ dan qadar, tetapi kita tidak boleh menjadikan qadha’ dan qadar sebagai alasan sebelum mengerjakan sesuatu demi untuk sampai kepadaNya.

Misalnya seseorang bermaksud mencuri maka maka sebelum ia melakukan perbuatan itu ia mengatakan bahwa Allah mengqadha’ dan mentakdirkan ia untuk mencuri. Hal keadaan ini adalah suatu hal yang tidak pantas, di samping ia telah mendahului Allah Ta’ala apalagi mengerjakan perbuatan yang dilarang olehNya. Atau ketika kita telah melakukan perbuatan mesum, maka demi untuk menghindarkan dari hukum, kita katakan bahwa Allah melakukan qadha dan qadarNya atas hal itu.

Tetapi apabila seseorang mengatakan seperti itu sekedar untuk menolak celaan orang lain, maka tidak apa-apa. Hal keadaan ini berdasarkan kepada Hadis sahih, yaitu berkata Nabi Muhammad s.a.w.:

“Pada suatu kali di zaman dahulu bertemu roh Nabi Adam a.s. dengan roh Nabi Musa a.s. Berkata Musa kepada Adam: “Tuan adalah bapak manusia di mana karena tuanlah maka anak cucu tuan keluar dari syurga, karena disebabkan tuan memakan buah kayu terlarang.”

Berkata Adam: “Hai Musa engkau telah dipilih oleh Tuhan untukbercakap-cakap denganNya dan Tuhan telah berikan kepada engkau kitab Taurat. Kenapa engkau cela saya atas satu pekerjaan padahal Allah s.w.t. telah mentakdirkan hal itu atas saya sebelum Tuhan menjadikan saya, 40,000 tahun sebelumnya.”

Berkata Nabi Muhammad s.a.w.: “Maka dengan alasan Adam itulah Nabi Adam telah mengalahkan Nabi Musa tentang persoalan ini.”

Segala sesuatu dalam alam ini adalah menurut kehendak dan izin Allah s.w.t. Berfirman Allah s.w.t. dalam Al-Quran:

“Mereka tidak dapat menghilangkan bahaya dari siapa pun terkecuali dengan izin Allah s.w.t.” (Al-Baqarah: 102)

Referensi
  • Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing
  • Syaikh Ibrahim Al-Bayjuri, Kitab Tuhfatul Murid ‘Ala Jauharatit-Tauhid

Pengertian Qadha dan Qadar - Dalam kitab suci agama islam telah menjelaskan secara lengkap tentang qadha dan qadar. Ini sangat penting sekali untuk lebih dipahami dengan baik dan benar. Berikut ini penjelan lengkapnya dimana bertujuan untuk memberi pemahan yang benar tentang Qadar dan Qadha. A. Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa qadha memiliki beberapa arti yaitu hukum, ketetapan, perintah, kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan. Sedangkan menurut istilah, qadha adalah ketentuan atau ketetapan Allah SWT dari sejak zaman azali tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya sesuai dengan iradah (kehendak-Nya), meliputi baik dan buruk, hidup dan mati, dan seterusnya. Menurut bahasa, qadar berarti kepastian, peraturan, dan ukuran. Sedangkan menurut istilah, qadar adalah perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya yang telah ada sejak zaman azali sesuai dengan iradah-Nya. Qadar disebut juga dengan takdir Allah SWT yang berlaku bagi semua makhluk hidup, baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi. B. Pengertian Iman Kepada Qada dan Qadar Beriman kepada qada dan qadar adalah menyakini dengan sepenuh hati adanya ketentuan Allah SWT yang berlaku bagi semua mahluk hidup. Semua itu menjadi bukti kebesaran dan kekuasan Allah SWT. Jadi, segala sesuatu yang terjadi di alam fana ini telah ditetapkan oleh Allah SWT. C. Dalil – Dalil Tentang Beriman Kepada Qadha dan Qadar a. Q.S Ar-Ra’d ayat 11 : Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. b. Q.S Al-A’laa ayat 3 : Artinya :"Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” D. Takdir Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia. Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi. E. Takdir Mua’llaq dan Takdir Mubram a. Takdir mua’llaq Yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contohnya seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. b. Takdir mubram Yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya. F. Ikhtiar Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Ikhtiar juga dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi, usaha kita gagal, hendaknya kita tidak berputus asa.

Kita sebaiknya mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Kegagalan dalam suatu usaha, antara lain disebabkan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri.

Apabila gagal dalam suatu usaha, setiap muslim dianjurkan untuk bersabar karena orang yang sabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah atau berputus asa. 

Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik, bidang usaha yang akan dilakukann harus dikuasai dengan mengadakan penelitian atau riset, selalu berhati-hati mencari teman (mitra) yang mendukung usaha tersebut, serta memunculkan perbaikan-perbaikan dalam manajemen yang professional. G. Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut yang artinya : ”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).

Baca Juga : Penjelasan Lengkap Tentang Hari Raya Nyepi
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya. Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat kejahatan. Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah.

Pada zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang kuda. 

Setelah sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat kudanya. Nabi menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”. Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan segala sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu kita harus berikhtiar. Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun. Jika ingin kaya, bekerjalah dengan rajin setelah itu berdo’a. Dengan berdo’a kita kembalikan segala urusan kepada Allah kita kepada Allah SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita dapat menerimanya dengan ridha dan ikhlas. H. Sunnatullah Menurut bahasa sunnatullah berasal dari kata sunnah yang bersinonim dengan tariqah yang berarti jalan yang dilalui atau sirah yang berarti jalan hidup. Kemudian, kata tersebut digabung dengan lafal Allah sehingga menjadi kata sunatullah yang berarti ketentuan-ketentuan atau hukum Allah swt. yang berlaku atas segenap alam dan berjalan secara tetap dan teratur. Sunnatullah terdiri dari dua macam, yaitu :

  • Sunnatullah qauliyah adalah sunnatullah yang berupa wahyu yang tertulis dalam bentuk lembaran atau dibukukan, yaitu Al-Qur’an. 
  • Sunnatullah kauniyyah adalah sunnatullah yang tidak tertulis dan berupa kejadian atau fenomena alam. Contohnya, matahari terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. 
Kedua sunatullah tersebut memiliki persamaan, yaitu :
  • Kedua-duanya berasal dari Allah swt. 
  • Kedua-duanya dijamin kemutlakannya. 
Kedua-duanya tidak dapat diubah atau diganti dengan hukum lainnya. Contohnya adalah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa barang siapa yang beriman dan beramal saleh, pasti akan mendapat balasan pahala dari Allah swt. Selain memiliki persamaan, keduanya juga mempunyai perbedaan. Sunatullah yang ada di alam, dapat diukur. Lain halnya dengan sunnatullah yang ada dalam AL-Qur’an. Walaupun hal itu pasti terjadi, tetapi tidak diketahui secara pasti kapan waktunya. I. Tawakal Tawakal atau tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai berikut, "Tawakkal ialah menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram. Berdasarkan al-Qur’an Surah at-Talaq ayat 3, Allah swt. akan mencukupkan segala keperluan orang-orang yang bertawakal dan bila dijabarkan orang yang bertawakal akan :
  • Mendapatkan limpahan sifat ‘aziz atau kehormatan dan kemuliaan. 
  • Memiliki keberanian dalam menghadapi musibah atau maut. 
  • Menghilangkan keluh kesah dan gelisah, serta mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kegembiraan. 
  • Mensyukuri karunia Allah swt. serta memiliki kesabaran apabila belum memperolehnya. 
  • Memiliki kepercayaan diri dan keberanian dalam menghadapi setiap persoalan. 
  • Mendapatkan pertolongan, perlindungan, serta rezeki yang cukup dari Allah swt. 
  • Mendapatkan kepercayaan dari orang banyak karena budi pekertinya yang terpuji dan hidupnya yang bermanfaat bagi orang lain. 
J. Hikmah Beriman kepada Qada dan qadar Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain: a. Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian. Firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 53 yang artinya : “dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”

b. Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa

Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah. Firman Allah SWT dalam QS.Yusuf ayat 87 yang artinya : Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. c. Memupuk sifat optimis dan giat bekerja Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu. Firaman Allah dalam QS Al- Qashas ayat 77 yang artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. d. Menenangkan jiwa Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi. Firaman Allah dalam QS. Al-Fajr ayat 27-30 yang artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku.

Demikianlah artikel tentang Pengertian Qadha Dan Qadar, semoga bisa menjadi informasi yang bermanfaat untuk para pembaca setia blog pustaka ilmu. Terimakasih

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA