Apa yang disebut recyle solid

Apa yang disebut recyle solid

Apa yang disebut recyle solid
Apa yang disebut recyle solid

Sampah yang berasal dari aktivitas penduduk di perkotaan sangat besar jumlahnya dan diduga berpotensi sebagai sumber gas metana. Gas metana merupakan salah satu Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat menyebabkan efek rumah kaca, sebagai penyebab terjadinya pemanasan global (Global Warming). Saat ini terdapat kurang lebih 450 TPA di kota besar dengan sistem open dumping dan baru sebagian kecil yang dikembangkan menjadi controled landfil. Potensi sampah yang dapat dihasilkan dari 45 kota besar di Indonesia mencapai 4 juta ton/tahun. Potensi gas metana yang bisa dihasilkan mencapai 11.390 ton CH4 / tahun atau setara dengan 239.199 ton CO2 / tahun, jumlah ini merupakan 64% dari total emisi sampah berasal dari 10 kota besar, antara lain : Jakarta, Surabaya, Bandung,Medan, Semarang, Palembang, Makasar, Bekasi, Depok, dan Tanggerang (Arie Herlambang, 2010).

Saat kita membuang makanan dan sampah taman ke dalam tempat sampah, maka sampah-sampah tersebut akan dibawa dan terkubur di tempat-tempat pembuangan sampah. Saat sampah yang berada paling bawah mengalami pembusukan, terbentuklah gas metana. Gas metana akan merusak lapisan ozon bumi karena gas metana termasuk gas-gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan perubahan iklim (WWF, n.d.).

Pembakaran sampah juga dapat menghasilkan gas rumah kaca, seperti CO2, N2O, NOx, NH3, dan karbon organik. CO2 menjadi gas utama yang dihasilkan oleh pembakaran sampah dan dihasilkan cukup lebih tinggi dibandingkan emisi gas lainnya. (Johnke, n.d.)

Apa yang disebut recyle solid

Beberapa metode untuk mengurangi emisi dari sampah dapat dilakukan, misalnya seperti melakukan manajemen sampah dan memanfaatkan teknologi dengan baik, yang dapat mengurangi jumlah CO2 dari gas rumah kaca serta mampu menghasilkan listrik sehingga bermanfaat bagi masyarakat (Rajaeifar, et al., 2017), atau menerapkan strategi zero waste untuk mengurangi emisi karbon secara berkelanjutan (Trois & Jagath, 2010). Selain itu, beberapa aspek dari prinsip hierarki manajemen sampah, yaitu mengurangi sampah dan memanfaatkan kembali barang yang masih dapat digunakan (source reduction and reuse), mendaur ulang dan membuat kompos (recycling and composting), dan pemulihan energi (energy recovery) juga dapat dilakukan untuk meminimalisasi emisi gas rumah kaca akibat sampah (EPA, n.d.).

Referensi:

Arie Herlambang, H. S. d. K. W., 2010. PRODUKSI GAS METANA DARI PENGOLAHAN SAMPAH. pp. 389 – 399.

EPA, n.d. Sustainable Materials Management: Non-Hazardous Materials and Waste Management Hierarchy. [Online]
Available at: https://www.epa.gov/smm/sustainable-materials-management-non-hazardous-materials-and-waste-management-hierarchy
[Accessed 20 February 2020].

Johnke, B., n.d. Emissions from Waste Incineration. Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories, pp. 455-468.

Rajaeifar, M. A. et al., 2017. Electricity generation and GHG emission reduction potentials through different municipal solid waste management technologies: A comparative review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, Volume 79, pp. 414-439.

Trois, C. & Jagath, R., 2010. Sustained Carbon Emissions Reductions through Zero Waste Strategies for South African Municipalities. IntechOpen.

WWF, n.d. Seputar Perubahan Iklim. [Online]
Available at: https://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusikami/kampanye/powerswitch/spt_iklim/
[Accessed 20 February 2020].

Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Ditambah lagi dengan pengelolaan sampah yang belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah berwawasan lingkungan, yang nantinya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Hamparan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang pada 27 Februari 2016. Kredit foto: TEMPO/Budi Purwanto

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan, pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.

Perbedaan Fungsi TPS, TPS 3R, TPST, dan TPA

Pengolahan sampah melalui beberapa tahap untuk bisa sampai ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Sampah dihasilkan, dikumpulkan, diangkut, dan dikelola, dan dibuang hingga sampai ke TPA di mana tempat ini harus terisolir guna menghindari dampak negatif yang bisa timbul terhadap lingkungan.

1. Tempat Penampungan Sementara (TPS)

Sampah yang dihasilkan kemudian akan masuk ke proses pertama, yaitu Tempat Penampungan Sementara (TPS). TPS adalah tempat penampungan sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), atau Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R). 

Contoh Tempat Penampungan Sementara (TPS). Sumber: diy-buatansendiri.blogspot.com

TPS harus memenuhi kriteria teknis sebagai berikut: 

  1. Luas TPS sampai dengan 200 m2; 
  2. Tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima)  jenis sampah (sampah organik, non-organik, kertas, B3, dan residu)
  3. Jenis pembangunan penampung sampah sementara bukan merupakan wadah permanen;
  4.  Luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan; 
  5.  Lokasinya mudah diakses; 
  6.  Tidak mencemari lingkungan; 
  7.  Penempatan tidak mengganggu estetika dan lalu lintas; dan 
  8.  Memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan. 

2. TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle)

Selanjutnya sampah akan dikelola di TPS 3R. TPS 3R dikonsepkan untuk Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali) dan Recycle (daur ulang), dan ditujukan untuk melayani suatu kelompok masyarakat (termasuk di kawasan masyarakat berpenghasilan rendah) yang terdiri dari minimal 400 rumah atau kepala keluarga. Baca disini untuk mengetahui lebih lanjut tentang konsep 3r (reduce, reuse, recycle).

ContohTPS 3R sekaligus fasilitas pengelola lindi di kota Magelang. Sumber: dkptkotamagelang.blogspot.com

Konsep utama pengolahan sampah pada TPS 3R adalah untuk mengurangi kuantitas dan/atau memperbaiki karakteristik sampah, yang akan diolah secara lebih lanjut di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah.  

TPS 3R diharapkan berperan dalam menjamin kebutuhan lahan yang semakin kritis untuk penyediaan TPA sampah di perkotaan. Hal ini sejalan dengan kebijakan nasional, untuk meletakkan TPA sampah pada hirarki terbawah, sehingga meminimalisir residu saja untuk kemudian diurug dalam TPA.

TPS 3R di Desa Citarik, Kecamatan Sukabumi yang dibangun tahun 2016 oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Sumber: merdekanews.co

Persyaratan TPS 3R yang tertulis dalam Permen No. 2 tahun 2013 pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) harus memenuhi persyaratan teknis seperti: 

  1. Luas TPS 3R, lebih besar dari 200 m2; 
  2. Tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis sampah (organik, non-organik, kertas, B3, dan residu) 
  3. TPS 3R dilengkapi dengan ruang pemilahan, pengomposan sampah organik, dan/atau unit penghasil gas bio, gudang, zona penyangga, dan tidak mengganggu estetika serta lalu lintas; 
  4. Jenis pembangunan penampung sisa pengolahan sampah di TPS 3R bukan merupakan wadah permanen; 
  5. Penempatan lokasi TPS 3R sedekat mungkin dengan daerah pelayanan dalam radius tidak lebih dari 1 km; 
  6. Luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan; 
  7. Lokasinya mudah diakses; 
  8. Tidak mencemari lingkungan; dan 
  9. Memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan. 

3. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)

Selain TPS 3R, ada juga Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). TPST adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.

Jika dilihat dari tahapan prosesnya tingkatannya, TPST memiliki sistem proses sampah yang lebih kompleks dibandingkan dengan TPS 3R (Tempat Pemrosesan Sampah Reduce-Reuse-Recycle), karena TPST mengelola sampai pada pemrosesan akhir sampah sehingga aman untuk dikembalikan ke media lingkungan.

Bangunan TPST pertama yang ada di Nusa Tenggara Barat, tepatnya di kabupaten Lombok Timur district. Sumber: SuaraNTB.com

Persyaratan TPST yang disebutkan dalam Permen No. 2 tahun 2013 pasal 32 harus memenuhi persyaratan teknis seperti: 

  1. Luas TPST lebih besar dari 20.000 m2; 
  2. Penempatan lokasi TPST dapat di dalam kota dan atau di TPA; 
  3. Jarak TPST ke pemukiman terdekat paling sedikit 500 m; 
  4. Pengolahan sampah di TPST dapat menggunakan teknologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3); dan 
  5. Fasilitas TPST dilengkapi dengan ruang pemilah, instalasi pengolahan sampah, pengendalian pencemaran lingkungan, penanganan residu, dan fasilitas penunjang serta zona penyangga. 

4. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)

Proses selanjutnya, sampah akan dipindahkan ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). TPA merupakan tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Perbedaan signifikan antara TPST dengan TPA adalah dalam kebijakan sistem pengelolaan sampahnya.

TPST melakukan berbagai kegiatan pengolahan sampah seperti kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah, sedangkan TPA melakukan pengurugan dengan metode landfill  yang dikembangkan menjadi controlled landfill dan sanitary landfill.

Mountain of waste at the Bantar Gebang landfill.

Pada prinsipnya, landfill tetap dibutuhkan karena:

  • Pengurangan limbah di sumber, daur ulang atau minimasi limbah tidak dapat menyingkirkan seluruh limbah
  • Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut
  • Kadang kala limbah sulit diuraikan secara biologis, sulit diolah secara kimia, atau sulit untuk dibakar.

Isolasi sampah di TPA perlu dilakukan untuk mencegah beberapa permasalahan terkait sampah, di antaranya:

  1. Pertumbuhan vektor penyakit: Sampah merupakan sarang yang sesuai bagi berbagai vektor penyakit. Berbagai jenis tikus, lalat, kecoa, dan nyamuk sering dijumpai di tempat ini.
  2. Pencemaran udara: Gas metana (CH4) yang dihasilkan dari reaksi pembusukan anaerobik (tanpa oksigen) dari sampah organik dapat menyebabkan ledakan jika gas metana terkena percikan api atau petir. Gas metana juga merupakan salah satu penyebab dari perubahan iklim yang ekstrim.
  3. Pencemaran lindi: Lindi merupakan air hasil dekomposisi sampah, yang dapat meresap dan mencemari air tanah. Timbulan lindi (leachate generation) dipengaruhi oleh sumber air eksternal seperti curah hujan (presipitasi harian), aliran permukaan, infiltrasi, evaporasi, transpirasi, temperatur, komposisi sampah, kelembaban dan kedalaman/ketinggian tumpukan sampah di TPA.

Penanganan lindi di TPA dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain;

  • Memanfaatkan sifat-sifat hidrolis dengan pengaturan air tanah sehingga aliran lindi tidak menuju ke arah air tanah
  • Mengisolasi TPA tersebut agar air eksternal tidak masuk dan lindi tidak keluar
  • Mencari lahan yang mempunyai tanah dasar dengan kemampuan baik untuk menetralisir cemaran.
  • Mengembalikan lindi (resirkulasi) ke arah timbunan sampah.
  • Mengalirkan lindi menuju pengolah air domestik.
  • Mengolah lindi dengan pengolahan tersendiri dengan membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Air lindi yang tengah diolah di Instalasi Pengolahan Air Sampah di Bantar Gebang

Perbedaan Sanitary Landfill dan Controlled Landfill

Berdasarkan data Statistik Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2007 tentang kondisi TPA di Indonesia, sebagian besar merupakan tempat penimbunan sampah terbuka (open dumping) sehingga menimbulkan masalah pencemaran pada lingkungan.

Data menyatakan bahwa 90% TPA dioperasikan dengan open dumping dan hanya 9% yang dioperasikan dengan sanitary landfill dan controlled landfill. Padahal, menurut Ketua Indonesia Solid Waste Association (InSWA) sekaligus Ahli Persampahan, Sri Bebassari, TPA dengan sistem pembuangan terbuka seharusnya sudah tidak ada lagi di Indonesia, karena berdasarkan UU No. 18/2008 pada pasal 44 dan 45 sangat jelas dinyatakan bahwa pada tahun 2013 semua daerah harus memiliki TPA dengan sistem timbun (sanitary landfill).

Sistem controlled landfill merupakan peningkatan dari open dumping. Untuk  mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan, sampah ditimbun dengan lapisan tanah setiap tujuh hari. Dalam operasionalnya, untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukan TPA, maka dilakukan juga perataan dan pemadatan sampah.

Di Indonesia, metode controlled landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan kecil. Untuk bisa melaksanakan metode ini, diperlukan penyediaan beberapa fasilitas, di antaranya :

  • Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan.
  • Saluran pengumpul air lindi (leachate) dan instalasi pengolahannya.
  • Pos pengendalian operasional.
  • Fasilitas pengendalian gas metan
  • Alat berat

Sedangkan sistem sanitary landfill merupakan sarana pengurugan sampah ke lingkungan yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis. Ada proses penyebaran dan pemadatan sampah pada area pengurugan dan penutupan sampah setiap hari. Penutupan sel sampah dengan tanah penutup juga dilakukan setiap hari.

Contoh model dan rancangan sanitary landfill. Sumber: slideplayer.com

Indonesia Darurat TPA

Saat ini terdapat kurang lebih 450 TPA di kota besar dengan sistem open dumping dan baru sebagian kecil yang dikembangkan menjadi controlled landfill. Potensi sampah yang dapat dihasilkan dari 45 kota besar di Indonesia mencapai 4 juta ton/tahun.

Adapun potensi gas metana yang bisa dihasilkan mencapai 11.390 ton CH4 / tahun atau setara dengan 239.199 ton CO2 / tahun, jumlah ini merupakan 64% dari total emisi sampah yang berasal dari 10 kota besar, antara lain : Jakarta, Surabaya, Bandung,Medan, Semarang, Palembang, Makasar, Bekasi, Depok, dan Tangerang

beberapa pemulung tampak sedang menyortir sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang pada 27 Februari 2016. Kredit foto: TEMPO/Budi Purwanto

Riset dari Sustainable Waste Indonesia (SWI) pada 2018 mengungkapkan sebanyak 24 persen sampah di Indonesia masih tidak terkelola. Ini artinya, dari sekitar 65 juta ton sampah yang diproduksi di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton mengotori ekosistem dan lingkungan karena tidak ditangani. Sedangkan, 7 persen sampah didaur ulang dan 69 persen sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Dari laporan itu diketahui juga jenis sampah yang paling banyak dihasilkan adalah sampah organik sebanyak 60 persen, sampah plastik 14 persen, diikuti sampah kertas (9%), metal (4,3%), kaca, kayu dan bahan lainnya (12,7%).

Dilansir dari SuaraJabar.id, Kota Bekasi diperkirakan menghasilkan sampah sebanyak 1.800 ton perhari. Sedangkan, tumpukan sampah di TPA Sumur Batu juga sudah hampir melebihi kapasitas dengan ketinggian mencapai 20-30 meter dari permukaan tanah. Setiap hari volume sampah yang masuk ke TPA Sumurbatu mencapai 900 ton. Namun, untuk mengurangi volume gunungan sampah di dalam TPA belum ada solusi yang berjalan.

TPA Sumur Batu. Kredit foto: Deny Iskandar/INDOPOS

Untuk meminimalisir sampah yang masuk ke TPA, solusinya bisa dimulai dari diri kita dengan mulai memilah sampah dari sumber. Untuk mengetahui lebih lanjut seputar cara memilah sesuai kategorinya agar bisa didaur ulang secara maksimal, cek panduan daur ulang dari Waste4Change 

Solusi Zero Waste to Landfill dari Waste4Change

Waste4Change  menawarkan solusi yang dapat mengurangi sampah yang masuk ke TPA. Zero Waste to Landfill merupakan pengelolaan Sampah dengan menerapkan pemilahan sampah di sumber dan memastikan pengolahan untuk seluruh sampah tanpa ada yang dikirim ke TPA, dan adanya pelaporan alur sampah yang komprehensif.

Solusi Pengelolaan Sampah yang Bertanggung Jawab

Untuk jasa Zero Waste to Landfill, Waste4Change menyediakan fasilitas:

  1. Frekuensi pengangkutan sampah berdasarkan kebutuhan
  2. Pengangkutan seluruh sampah domestik
  3. Jasa pengadaan tempat/tong sampah terpilah (berdasar permintaan)
  4. Pemberian kantong sampah terpilah identifikasi warna
  5. Pelatihan tim cleaning service (berdasar permintaan)
  6. Jasa pengelolaan sampah B3 (berdasar permintaan)
  7. Laporan alur sampah yang berisikan volume, kategori, tingkat pemilahan, hingga contoh hasil olah sampah.

Salah satu klien kami, Kafe SELATAN yang berlokasi di Jalan Benda Raya No. 89, Kemang, Jakarta Selatan, sejak mulai beroperasi di bulan Juli 2018 sudah menggunakan jasa Commercial Waste Collect ZWTL Waste4Change untuk memastikan pengelolaan sampahnya, baik organik dan non-organik, agar dikelola secara optimal dan bertanggung jawab agar tidak berakhir di TPA bahkan menjadi masalah bagi lingkungan.

Mendukung konsep zero-waste to landfill di setiap aspek bisnisnya, Kafe SELATAN juga memastikan bahwa para pegawainya paham benar mengenai pentingnya pemilahan sampah serta penerapan konsep 3R (Reduce-Reuse-Recycle) dalam kegiatan operasional sehari-hari.

Referensi:

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180425101643-282-293362/riset-24-persen-sampah-di-indonesia-masih-tak-terkelola

https://jabar.suara.com/read/2019/09/10/222657/tpa-bantar-gebang-disorot-dunia-wali-kota-bekasi-memang-terbesar-di-dunia

http://www.sanitasi.net/pemrosesan-akhir-sampah.html