Apa yang dimaksud jual beli fasid

Jumhur ulama membagi akad menjadi 2, yaitu sebagai berikut: 1) Akad yang sah (shahih), adalah akad yang memenuhi ketentuan syarat dan rukunnya. 2) Akad yang tidak sah (ghairu shahih), adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya, dan akad yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun tersebut termasuk akad yang batil (batal) dan fasid (rusak).

-Batil (batal) dan fasid (rusak) memilki makna yang sama.

Ulama Hanafiyah membedakan antara akad yang bathil (batal), dan akad yang fasid (rusak) : 1) Jual beli bathil (batal) adalah jual beli yang tidak sesuai dengan rukun dan akadnya (ketentuan asal/pokok dan sifatnya). Seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak sesuai (karena tidak sesuai dengan syarat dan rukun), contohnya: akad yang dilakukan anak kecil yang belum mumayis dan orang gila atau jual beli sesuatu yang tidak berharga seperti bangkai, atau jual beli barang yang dilarang seperti khamar. -Menurut Abu Hanifah, jual beli yang batal tidak menjadikan pertukaran kepemilikan karena rusak jual belinya. 2) Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai ketentuan syara’ asal/pokok (syarat dan rukun), tetapi tidak sesuai dengan ketentuan syara’ pada sifatnya. Seperti jual beli yang meragukan, contohnya jual beli sebuah rumah diantara banyak rumah, tetapi belum diketahui rumah mana atau rumahnya tidak jelas milik siapa.

-Hukumnya : terjadi pertukaran kepemilikan dengan izin pemilik barang secara transparan, menandakan telah terjadi penyerahan dalam majlis akad yang terjadi langsung didepan penjual tanpa menutupinya.

Cara membedakan fasid dan batil dapat dilihat dari : 1) Apabila kerusakan berhubungan dengan, komoditi (barang) berarti bai’nya bathil. 2) Apabila kerusakan berhubungan dengan harga berarti fasid . MACAM-MACAM JUAL BELI BATHIL -Ada Tujuh Macam, Sebagaimana Berikut Ini : 1. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Ada (Bai’ Ma’dum) Bai’ ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada) yang didalamnya terdapat unsur ketidakjelasan adalah bathil. Seperti menjual anak unta yang masih dalam kandungan dan menjual buah yang masih dipohon (belum matang), karena Nabi SAW melarang jual beli anak ternak yang masih dalam kandungan dan juga melarang jual beli air susu yang masih diteteknya (bisa kelihatan besar, ternyata isinya lemak) dan melarang pula jual beli buah yang masih dipohon (belum matang). Contoh-contoh lain jual beli yang tidak ada barangnya: Jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya, jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya, dan jual beli kitab sebelum mencetaknya. Semua jenis jual beli tersebut adalah batal menurut Syafi’iyah dan Hanabilah; karena pada akad-akad tersebut terkandung unsur ketidakjelasan. Menurut Hanafiyah kecuali Abu Yusuf: jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya dan jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya adalah fasid (rusak). Taimiyah (Hambali) dan Ibnu Qayim memperbolehkan jual beli ma’dum, apabila dapat dipastikan akan ada, karena tidak disebutkan dalam nash jual beli seperti itu dilarang, yang ada hanya jual beli gharar. “tidak ada sebab yang melarang jual beli yang tidak ada wujudnya/barangnya” 2. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Dapat Diserahkan Pada Pembeli (Bai’ Ma’jus Taslim) Empat mazhab bersepakat menetapkan bahwa sesungguhnya tidaklah terjadi akad jual beli ma’juz at-tasliim ketika berakad, sekalipun harta/benda/barang tersebut adalah miliknya sendiri, seperti memperjualbelikan burung yang terbang dari pemiliknya. Walaupun bisa mendatangkan barang saat di majlis akad, tetap tidak dianggap boleh, karena ada unsure bathil. Batalnya akad dapat pula terjadi apabila harga (barang pengganti) tidak dapat diserahkan; karena jika harga (barang pengganti) tersedia, maka barang jualan akan menjadi hak milik. Dalil kebatilannya : karena Nabi SAW melarang jual beli Hashah (jual beli barang dimana pembeli menggunakan kerikil dalam jual belinya) jual beli Gharar (jual beli barang yang tidak diketahui rupa dan sifatnya). Dan itu menunjukan adanya ketidakpastian. Dari Abi Sa’id al-Khudri RA sesungguhnya Rasulullah SAW melarang jual beli budak yang melarikan diri, jual beli binatang ternak yang masih dalam kandungan hingga lahir, dan jual beli air susunya, dan melarang jual beli kambing hingga terbagi. Ulama Hanafiah berpendapat walaupun penyerahannya langsung dalam majlis (tempat akad), tetap tidak diperbolehkan, karena ada unsur batil. 3. Jual Beli Hutang (Bai’ Dain) Hutang itu seperti barang pengganti (harga) barang yang diperjualbelikan, menunjukan pinjaman, dan mahar sesudah maupun sebelum jima dengan istri. Sebagai pengganti biaya atas keuntungan yang diperoleh, dan dianjurkan terdapat sanksi dan denda yang merugikan, dan khulu’ dan tidak dapat dibantah. Disyariatkannya Jual Beli dengan hutang adakalanya pada waktu akad maupun nasi’ah (berhutang terlebih dahulu) Adapun jual beli nasi’ah (pembayaranya bertempo) adalah jual beli kredit dengan kredit atau hutang dengan hutang. Kala’(kredit) adalah yang pembayaranya diakhirkan, hal ini dilarang dan bathil menurut ijma’, karena ada unsure riba, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Daruqutni dari Ibnu Umar : sesungguhnya Anbi SAW melarang jual beli kredit dengan kredit. Dan pelarangan ini menunjukan fasidnya sesuatu yang dilarang tadi (jual belinya) walaupun yang bertransaksi adalah orang berhutang atau bukan orang yang berhutang. Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang adalah seseorang berhutang kepada orang lain sebanyak 100 dinar, kemudian keduanya sepakat untuk menggantinya dengan 20 ritl (1 ritl kurang lebih 2564 gram) gula dari orang yang berhutang yang akan dibayar sebulan atau dua bulan kedepan, praktek ini disebut juga “merusak hutang dengan hutang” karena tanggungan penghutang yang awal telah rusak, diganti dengan tanggungan yang lain. Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang adalah seseorang berhutang sebanyak 100 dinar, kemudian uang itu dihutang lagi dan oleh orang lain, digunakan untuk membeli 50 ritl beras, dan di bayarkan kepadanya pada bulan depan. -Jual beli yang pembayaranya tunai adalah sebagai berikut: 1. Apabila Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang : Jumhur fuqoha membolehkanya selain Dhohiriyah, karena penghalang keabsahan jual beli hutang degan hutang ini terletak pada lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang, dan hal itu tidak dihajatkan pada jual beli hutang yang pembayarannya tunai ini, karena yang terkandung dalam tanggungan penghutang sudah diserahkan seluruhnya. 2. Apabila Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang : tidak diperbolehkan menurut Hanafiyah dan Dhohiriyah, karena lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang, atau karena hutang yang diserahkan tidak jelas ukuranya, kecuali jika orang yang berhutang tadi dengan sendirinya mempunya haq sebagai seorang pedagang. Syafi’iyah dan Hanabilah juga tidak membolehkanya, karena lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang dan harta ribawi yang terdiri dari uang, makanan menurut Syafi’iyah haram di gunakan untuk dijual belikan antara sebagian dengan sebagian yang lain. Malikiyah membolehkan Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang, dengan 8 syarat yang kemudian diringkas menjadi 2 syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1. Hendaknya tidak menunjukan kepada jual beli yang dilarang oleh syar’I seperti gharar atau riba dan yang lainya. 2. Hendaknya memperkirakan hutangnya akan kembali 4. Jual Beli Gharar Menurut bahasa makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) dan al khida’ (penipuan). Secara istilah adalah jual beli yang hukumnya terbatasi. Jadi bai gharar adalah jual beli yang mengandung spekulasi yang terjadi antara kedua orang yang berakad, menyebabkan hartanya hilang, atau jual beli sesuatu yang masih hambar, tidak jelas wujud atau batasanya, disepakati pelarangnnya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi SAW melarang jual beli Hashah dan jual beli gharar. (HR. Bukhari) Dari Ibnu Mas’ud : sesungguhnya Nabi SAW berkata : janganlah kalian membeli ikan yang ada di dalam air sesungguhnya itu gharar. Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian. Gharar yang membatalkan aka adalah gharar wujud : yaitu setiap jual beli yang barangnya disangsikan akan keberadaanya (benar-benar ada atau tidak) Nawawi berkata “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari ushul syar’I.” Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung., kecuali dalam dua perkara Imam An-Nawawi menyatakan, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya. Jual beli yang termasuk gharar berdasarkan hadist yang berbunyi “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli muhaqallah , mukhadarah , mulammassah , munabazah , dan muzabanah ” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari) 5. Jual Beli Najas Dan Mutanajas Para Ulama bersepakat akan tidak adanya akad jual beli bagi khomer, babi, bangkai dan darah. Karena semuanya itu bukan termasuk maal. Sabda beliau SAW : sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-NYA mengharamkan jual beli khomer, bangkai, babi dan berhala. Jumhur ulama (selain Hanafiah) juga mengikutkan anjing dalam pengharanman jual beli ini. Berdasarkan hadist Abu Mas’ud Al Anshory : Nabi SAW melarang menjadikan anjing sebagai tsaman.” Jumhur juga meniadakan akad jual beli barang yang terkena najis, yang tidak mungkin dapat disucikan kembali, seperti minyak, madu dan samin yang didalamnya terdapat najis, dan dibolehkan apabila barang itu dapat disucikan, seperti kain. Tidak dibolehkan juga bagi jumhur jual beli barang yang pada asalnya najis seperti pupuk (kotoran binatang) herbivora menurut Malikiyah. Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah yaitu kotoran (tinja) dan tulang bangkai beserta kulitnya. Malikiyah membolehkan jual beli kotoran sapi, kambing, onta dan sejenisnya. untuk keperluan menggarap tanah atau yang lainya yang termasuk mendatangkan manfaat. 6. Jual Beli Dengan Uang Muka (Bai’ Urbun/DP) Uang muka adalah seseorang membeli sesuatu kemudian menyerahkan kepada penjual sebagian dari harga barang itu berupa dirham atau sejenisnya dengan catatan apabila jual beli itu dilanjutkan, uang muka diperhitungkan sebagai bagian dari keseluruhan harga, sedangkan apabila jual beli tidak dilanjutkan, uang muka tersebut diberikan kepada penjual, dengan kata lain, apabila transaksi jual beli berlanjut, uang muka sebagai bagian dari harga barang, sedangkan apabila transaksi jual beli tidak berlanjut, uang muka menjadi pemberian dari pembeli kepada penjual. Hukum jual beli dengan pembayaran uang muka (ba’i al-urbun) terdapat dua kelompok yang saling bertentangan yaitu kelompok yang menyatakan tidak sah dan kelompok yang menyatakan sah. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli dengan sistem panjar/uang muka adalah jual beli yang terlarang dan tidak sah, ulama Hanafiah memasukkan dalam kategori jual beli fasid, sedangkan Syafiiyah dan Malikiyah menghukumi jual beli batal berdasarkan hadis Rasulullah saw. Sesungguhnya Nabi saw. melarang jual beli urbun (sistem uang muka) Jual beli macam ini juga termasuk jual beli gharar, terlarang dan termasuk makan harta orang lain secara bathil, selain itu dalam jual beli sistem ini mengandung dua syarat yang fasad yaitu syarat hibah (pemberian uang muka) dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha Ulama hanabilah menghukumi jual beli dengan uang muka tidak apa-apa (boleh) berdasarkan riwayat Abd al-Razaq dalam Mushanafnya dari hadis Zaid bin Aslam bahwa Nabi saw. “ditanya tentang uang muka dan beliau menghalalkannya.” Dan juga riwayat dari Nafi bin al-Harits pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah dengan empat ribu dirham, (dengan ketentuan) apabila Umar suka, barang yang dijual itu untuknya, apabila Umar tidak suka, empat ribu dirham itu untuk Shafwan 7. Jual Beli Air (Bai’ Maa’) Air ada kalanya mubah atau ghoiru mubah. Mubah adalah air yang dimiliki oleh seluruh manusia dan mereka mengambil manfaat darinya, seperti : air laut dan sungai-sungai umum. Sabda Nabi SAW “Muslimin itu berserikat dalam tiga : air, rerumputan dan api.” Ghoiru mubah atau dimiliki adalah air yang termasuk dalam kepemilikan khusus, individu atau jama’ah. Dan air yang mengandung pengkhususan kepemilikan seperti penduduk suatu desa tertentu dan air yang dijaga di dalam bejana-bejana (dikemas). Hukum menjual belikannya adalah boleh, kecuali dalam keadaan dhorurat (bahaya). Seperti : kehausan yang bisa menyebabkan kematian, maka wajib untuk memberinya air, apabila masih saja menghalanginya, maka sama saja ia membunuhnya. Jumhur membolehkan jual beli air yang ghoiru mubah, seperti : air sumur, mata air, dan yang dikemas dll. Disejajarkan dengan kayu yang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dalam memperjual belikannya. Madzhab Dhohiriyah tidak menghalalkan jual beli air secara mutlak, karena Nabi SAW melarang jual beli air. Larangan menjualnya terjadi pula dalam keadaan khusus seperti : apabila jual beli air ini diniatkan untuk menyuburkan rerumputan yang ada di sekitarnya (sumur) dikarenakan penggembala akan membutuhkan air untuk gembalaanya. MACAM-MACAM JUAL BELI FASID -Menurut Ulama Hanafiah Terdapat Banyak Sekali Bentuk-Bentuk Jual Beli Fasiq, Namun Yang Terpenting Ada Tiga Belas Macam. Sebagaimana Berikut Ini : 1. Jual Beli Yang Tidak Jelas/Tidak Diketahui Barangnya (Bai’ Majhul) Jual beli majhul jahalah fahisyah adalah jual beli yang tidak ada perselisihan, pertentangan atau perseteruan, hukumnya fasid, karena jual beli ini menghalangi serah terima barang, maksud jual belinya tidak tercapai. Jual beli majhul jahalah yasiroh adalah jual beli yang tidak menunjukan kepada perselisihan, pertentangan atau pertengkaran hukum jual belinya shahih, tidak fasid, karena tidak menghalangi serah terima barang, dan maksud jual belinya tercapai -Bentuk jahalah fahisyah secara global ada empat keadaan : 1. Jahalatul mabi’ (tidak diketahuinya barang dagangan) baik jenis, macam dan ukuranya 2. Jahalatu tsaman (tidak diketahuinya nilai tukar) seperti : jual beli kain berdasarkan qimahnya, dan membeli sesuatu dengan aturan fulan atau dengan aturan salah satu orang yang berakad, maka jual belinya dihukumi fasid, karena qimahnya tidak jelas dan akan terjadi perselisihan antara kedua belah pihak yang berakad. 3. Jahalatul ajal (tidak diketahui masa tempo penundaannya) seperti jual beli yang ditunda sampai masa tempo begini dan begini, maka jual belinya dihukumi fasid, karena masa temponya tidak jelas. 4. Jahalah fi wasa’ilit tausiq, seperti penjual yang mensyaratkan untuk mendahulukan kafalah (jaminan) atau rohn (gadai) tanpa menentukan tsaman yang ditunda, maka jual belinya fasid, karena tidak diketahui keberadaannya. Malikiyah membolehkannya dengan alasan urf yang berlaku, termasuk jahalah yasir. -Kesimpulan. Bahwa gharar lebih umum dari jahalah. Maka seluruh majhul (yang tidak jelas) itu adalah grarar, dan tidak sebaliknya, terkadang didapati gharar yang tidak majhul, seperti jual beli pohon rami yang diketahui sifatnya. 2. Jual Beli Yang Tergantung Atas Suatu Syarat Dan Jual Beli Al Mudhof (Menambahi Ijab) Jual beli mualaq ala syartin adalah jual beli yang wujudnya tergantung pada sesuatu yang lain, memungkinkan sekali saat ijabnya menggunakan kata-kata ta’liq (menggantung) misalnya: akan, jika, apabila, kapan dan lainya. Seperti ungkapan: akan kujual rumah ini apabila fulan sudah pulang dari bepergiannya atau apabila fulan menjual rumahnya kepadaku. Jual beli mudhof adalah jual beli yang ijabnya ditambah-tanbahi sampai masa yang akan datang, missal : aku jual rumah ini pada awal tahun baru segini. Inilah kedua jual beli yang fasid menurut Hanafiyah, keduanya batal menurut yang lain, karena jual beli itu akad kepemilikannya ditentukan pada waktu itu juga, tidak menambah temponya hingga masa yang akan datang. Ilat yang terkandung dalam kedua jual beli ini adalah terdapat unsur ghoror, karena tidak diketahui sampai kapan pembeli akan menerima barangnya, sehingga tidak bisa dipastikan barang itu akan benar-benar diterima atau tidak. maka apabila yang terjadi demikian, bagaimana akan tercipta keridhoan dalam akad tersebut diantara keduanya. 3. Jual Beli Harta Yang Tidak Ada/Tidak Terlihat Barangnya (Ba’i ‘Ainul Gho’ibah Au Ghoiru Mari’ah) ‘Ainul ghoibah adalah harta pilihan yang dimiliki oleh penjual, yang wujudnya nyata, namun tidak terlihat. Hanafiyah membolehkan walau tanpa diketahui sifatnya sekalipun dengan syarat khiyar seperti jual beli barang yang ada di dalam kotak atau tertutup dan lainya. Apabila ketika melihat berang tersebut kemudian membatalkan transaksi maka dibolehkan, sebagai konsekwensi khiyar. Karena dengan adanya khiyar bisa mengantisipasi terjadinya ghoror atau jahalah dalam akad. Dalilnya hadist yang berbunya : “apabila membeli sesuatu yang belum dilihat pembeli, maka berhak atasnya khiyar apabila sudah melihatnya.” (HR. Daruqutni) Malikiyah juga membolehkannya dengan diketahuinya sifat barang tersebut, apabila pembeli percaya atas sifat yang telah disebutkan, maka jual beli lazim dilakukan, karena ini termasuk ghoror yasir. Maka apabila sifatnya berbeda dari keterangan sebelumnya, maka pembeli berhak melakukan khiyar. Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memperbolehkannya, karena ini tetap mengandung unsure ghoror seperti yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW. Perlu diperhatikan, ternyata hadist “apabila membeli sesuatu yang belum dilihat…” itu dhoif sebagaimana yang dinyatakan oleh Baihaqi dan lainya, dan batil tidak dishahihkan sebagaimana yang dinyatakan oleh Daruqutni. Akan tetapi dishahihkan jual beli ini untuk suatu keperluan. Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan jual beli yang tidak kelihatan di dalam bumi seperti jual beli ubi lobak, liftu (jenis sayuran) dan kentang atau segala yang mengandung kesusahan atau bahaya bila melihatnya. Ini termasuk ghoror yasir. Syafi’iyah dan Hanabilah tetap membatalkannya, karena terdapat ghoror dan jahalah yang keduanya dilarang. 4. Jual Beli Bagi Orang Yang Buta (Bai’ Al ‘A’ma Wa Syiro’uhu) Jumhur membolehkanya dalam berakad jual beli, ijaroh (sewa), rohn (gadai) dan hibah (pemberian). Dia berhak melakukan khiyar apabila mengetahui jenis, bau atau melalui daya rasanya. Atau mungkin barangnya disifati seperti sifat buah-buahan yang masih berada di pohon, karena sifat harus menjelaskan hakikat barang yang akan diperjual belikan, maka terjadilah kesamaran dalam jual beli bagi orang yang dapat melihat. Namun tidak ditetapkan oleh Hanafiyah dan Malikiyah khiyar melihat bagi penjual secara mutlaq. Dalam keadaan buta atau melihat. Syafi’iyah tidak memperbolehkannya (orang buta), kecuali ia pernah melihat sesuatu sebelum kebutaanya, barang yang tidak berubah seperti besi dan selainya, sehingga ia dihukumi kurang dalam mengidentifikasi dengan baik, maka barang yang akan dijual belikan baginya dianggap sebagai barang yang majhul. 5. Jual Beli Barang Haram (Bai’ Bi Tsaman Al Muharom) Khamer dan babi. Fasid karean tidak mangandung manfaat secara syar’I. jumhur mnghukuminya bathil. Termasuk dalam hal ini adalah segala jenis narkoba, ganja, ophium,kokain, heroin dan sebagainya bahkan ini semua lebih parah lagi. Demikian pula jual beli rokok, mengingat keberadaannya yang membahayakan, mengganggu orang lain, juga menyia-nyiakan harta. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung. Barangsiapa yang menjual bangkai, maksudnya daging hewan yang tidak disembelih dengan cara yang syar’i, inii berarti ia telah menjual bangkai dan memakan hasil yang haram. 6. Jual Beli Tunai Dan Tunda (Bai’ Al Ajal Wa Bai’ Inah) Malikiyah membedakan antara jual beli ajal dan inah, jual beli ajal adalah jual beli yang diadakan oleh pembeli dari apa yang telah dia beli kepada penjual atau wakilnya dengan pembayaran bertempo. Sedangkan jual beli inah adalah seseorang mengatakan kepada yang lain : belilah barang daganganku ini dengan sepuluh ribu tunai, nanti aku beli lagi barang itu dari kamu dengan dua belas ribu dengan pembayaran bertempo. Malikiyah dan Hanabilah menghukumi keduanya bathil. Bahkan selain Malikiyah dan Hanabilah tidak membedakan keduanya. Abu hanifah, Syafi’iyah dan Dhohiriyah menshohihkan jual beli inah secara dhohirnya, karena terpenuhi rukunya yaitu ijab dan qobul menurut abu hanifah, dan rukun-rukunnya terpenuhi menurut yang lainya, tentunya dengan meninggalkan urusan niat dan menyerahkanya kepada Allah ta’ala untuk menghukumi pelakunya. Perlu diketahui bahwa ternyata jual beli inah ini, menurut selain madzhab Malikiyah disebut-sebut dengan jual beli ajal, yaitu yang mengandung siasat menjurus kepada riba, yaitu seseorang menjual barang dengan pembayaran bertempo. Kemudian membelinya lagi pada saat itu juga, Jual beli ini disebut‘inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah ‘ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki ‘ain (benda) yang dia jual pada waktu itu juga. Begitupula sebaliknya, Yaitu si pemilik barang menjual sesuatu barang kepada orang lain dengan sistim tempo, kemudian setelah itu barang tersebut dibeli lagi oleh pemilik barang tadi dengan cash namun dengan harga yang lebih murah dari pada harga pertama waktu ia jual. Ini termasuk katagori riba, sedang barang dagangan disini hanya sebagai wasilah/perantara. Hendaknya orang tersebut menjual barang itu kepada orang lain,bukan kepada kita. Contohnya seseorang menjual barang kepad aorang lain dengan harga 12 ribu dibayar bulan depan misalnya, kemudian dibeli lagi oleh yang menjual tadi dengan harga 10 ribu, disini terjadi perbedaan harga antara keduanya dengan kata lain si pemilik barang terjerumus kepada riba. Dan praktek seperti ini merupakan jembatan menuju riba. Jual beli ini dianggap bathil oleh Malikiyah dan Hanbilah, untuk mencegah kerusakan, berdasarkan hadist yang Diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Abu Ishaq, dari istrinya Aliyyah bahwa ia pernah menemui Aisyah radhiyallah ‘anha bersama dengan Ummu Walad Zaid bin Arqam serta seorang wanita lain. Ummu Walad Zaid berkata, “Aku pernah menjual budak kepada Zaid seharga delapan ratus dirham dengan pembayaran tertunda. Dan aku membelinya kembali seharga enam ratus dirham kontan.” Aisyah berkata, “Sungguh tidak bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid, bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama Rasulullah, kecuali kalau ia bertaubat!” Hadist lainya Riwayat Atha dari Ibnu Umar -rodhiyallahu ‘anhu- bahwa ia menceritakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, pasti Allah akan menurunkan bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya). Abu hanifah berpendapat : bahwa jual beli ini adalah fasid, karena si pembeli belum memiliki barang itu sepenuhnya, sehingga jual beli belum bisa dikatakan sempurna, maka akad yang kedua (dibeli lagi oleh si pemilik barang awal) dihukumi fasid. Imam Syafi’I dan Dawud Ad dzahiri berpendapat : bahwa akad jual beli ini shahih namun mengandung karohah (dibenci) di dalamnya, karena terpenuhi rukunnya yaitu ijab dan qobul yang dilakukan secara benar. Dan akadnya tidak batal dengan niat yang kita tidak mengetahuinya, dan dikembalikan kepada Allah ta’ala. Kesimpulan : jumhur ulama selain Syafi’iyah menghukumi jual beli inah fasid, karena menjurus pada riba, dan seakan-akan membolehkan apa yang Allah ta’ala larang, maka tidak dishahihkan, dengan kata lain suaatu alasan yang mendorong kepada kejelekan itulah yang merusak akad. 7. Jual Beli Anggur Untuk Di Jadikan Khomer (Bai’ Inab Liashiril Khamer) Malikiyah dan Hanabilah memandang sebagaiman yang telah ditetapkan pada jual beli ajal dan inah, bahwa jual beli ini bathil. Dan yang semisalnya seperti jual beli senjata bagi Ahli Habi (orang yang berperang) atau untuk Ahli Fitnah (orang yang sedang berada dalam kondisi fitnah) atau untuk Qutho Thoriq (perampok), alasan sama, untuk mencegah kerusakan, karena sesuatu yang dapat menjerumuskan kepada keharaman adalah haram pula, walau dengan suatu niat, sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Maidah : 2 “saling tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam kejelekan dan permusuhan”. Dari ayat ini dapat disimpulkan kalau jual belinya bathil. Abu Hanifah dan Imam Syafi’I memandang bahwa keduanya tidak dalam rangka mencegah kerusakan (saddu dhari’ah) : dan jual belinya tetap shohih secara dhohirnya. Maka jual beli kurma basah, anggur yang digunakan untuk khomer atau arak. Apabila penjual merasa ragu menjualnya, karena takut digunakan untuk maksiat atau kejahatan, maka hukum menjual belikanya makruh. 8. Dua Akad Dalam Satu Jual Beli Atau Dua Syarat Pada Satu Jual Beli (Baiatani Fi Baiatin Aw Syarthani Fi Bai’in Wahid) Keduanya bermakna satu, penjual berkata kepada pembeli : aku jual barang ini 2 ribu secara nasi’ah (berhutang terlebih dahulu-pembayaran secara tempo) atau seribu secara tunai, pembeli menjawab : qubiltu (pertanda setuju). Tanpa memilih yang tunai atau nasi’ah. Maka apabila is menentukan salah saatunya, jual belinya shahih. Atau penjual berkata kepada yang lainya : aku jual rumah ini asalkan kamu menjual kapadaku tanah si fulan. Kedua tasharuf ini dilarang oleh syar’i. berdasarkan hadist Abu Hurairah : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membuat dua belian (akad) dalam satu aqad.” Contoh pertama mengandung unsure gharar, sebab ketidak jelasan nilainya, dan contooh kedua dilarang karena menyibukan kebutuhan orang lain. Pengertian dua syarat dalam satu jual beli adalah perkataan : aku jual barang ini dengan seribu tunai, atau 2 ribu secara nasi’ah, ini mengandung dua syarat dalam satu jual beli. Terjadi perbedaan maksud antara keduanya, dan tidak dibedakan antara dua syarat atau lebih, pernyataan ini adalah tafsiran dari Zaid bin Ali dan Abu Hanifah. Dan di tafsirkan lagi dengan perkataan : aku jual kainku segini, tapi ukuran dan jahitanya terserah aku, ini adalah jual beli fasid menurut para ulama’, maka tidak ada bedanya bagi mereka entah itu satu syarat atau dua. Imam Ahmad berkata :” bahwa itu shahih, maka dibolehkan satu syarat dan tidak dibolehkan dua syarat atau lebih, maka jual beli ini shahih jika ungkapanya :’aku jual kainku ini dan akan aku jahitkan, dan tidak dibenarkan jika ungkapanya :”ukuran dan jahitanya terserah aku.” Menurut Fuqoha. Hanafiah berkata:”jual beli ini fasid, karena harganya tidak jelas, sebagaimana di dalamnya mengandung kesamaran akad, apakah tunai atau tempo? Apabila kesamaran itu diangkat atas salah satu antara keduanya, maka akadnya sah. Imam Malik berkata :”jual beli ini tetap sah, dan menjadi jual beli khiyar, akadnya berubah kepada salah satu dari kedua keadaan diatas.” Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat : akad ini bathil, karena termasuk jual beli gharar, dengan sebab jahalah (ketidak jelasan), karena penjual belum menentukan jual belinya berpusat pada satu akad, dan dikarenakan harganya majhul (tidak diketahui), maka belum bisa Dishahihkan Akadnya. 9. Jual Beli Yang Barang Dan Sifatnya Bagian Dari Yang Dimaksud (Bai’ul Atba Wal Aushof Binahwi Maqsud) Yaitu menjual sesuatu yang melekat pada sesuatu yang lain, dengan kata lain barang yang akan diperjual belikan termasuk bagian darinya. Seperti jula beli daging kambing yang masih hidup, sesobek dari kain dan kepala dari hewan. Jual beli seperti ini selain sesobek dari kain, maka hukumnya bathil karena barang jual belinya tidak ada (ma’dum). Sedangkan juall beli sesobek dari kain, jika membahayakan sebagiannya maka akadnya fasid, karena ia bagian dari selembar kain tersebut. Hukumnya akan kembali pada shahih apabila pembeli memesan dulu sebelumnya, sehingga bisa dicarikan sesuai pesanan, tanpa harus mengurangi kain yang ukuranya sudah ditetapkan sebelumnya dan tidak bisa di kurangi/disobek sedikitpun. Apabila jual beli ini tidak membahayakan bagi sebagian yang lain maka boleh-boleh saja, seperti mud (jenis takaran yang kurang lebih 6 ons) dan ritl (kurang lebih 2564 gram) dari subroh (seonggok takaran yang tidak ditimbang). Karena tidak membahayakan bagi sebagian lainya dan tidak termasuk barang yang melekat pada sesuatu. 10. Jual Beli Yang Belum Diserah Terimakan (Bai’ Syai Qobla Qobdihi) Syafi’iyah berpendapat : tidak memperbolehkan jual beli barang yang statusnya belum dimiliki seutuhnya oleh penjual (yang yang membeli dari seorang dan belum di serah terimakan seutuhnya), seperti seseorang yang membeli barang dari orang lain, sebelum penyerahan dilakukan, pembeli tadi kemudian menjualnya kepada orang lain (pihak ketiga). Bila demikian maka jual belinya bathil, dan untungnya tidak berhak baginya, karena sebenarnya barang itu masih dalam tanggungan penjual pertama, adapun stasusnya seakan-akan hanya perantara saja, karena barang tersebut belum resmi miliknya. Begitupula dengan madzhab Hanafiah, Malikiyah dan Hanabilah. Meraka sama-sama menyatakana, bahwa jual beli seperti ini dilarang, tidak diperbolehkan dan tidak shahih. Karena terdapat unsur gharar di dalamnya, di sinilah ilat pelarangannya. 11. Jual Beli Mengakhirkan Barang Dan Uang Yang Telah Ditentukan (Tajilu Mabi’ Al Mu’ayan wa Tsaman Al Mu’ayan) Apabila ada syarat yang mengharuskan untuk memngadakan serah terima barang atau harga yang telah ditentukan, maka jual belinya fasid, karena kewajiban penyerahan yang sebenarnya adalah pada waktu berakad, dan penundaanlah yang menghilangkan penyerahan barang pada waktu akad tersebut, maka hal inilah yang dapat merubah keadaan akad, maka wajib baginya untuk mmebatalkan akad. Namun diperbolehkan mengakhirkan barang dalam jual beli pesanan, dan penundaan pembayaran dianggap sebagai suatu hutang, dengan syarat tempo penundaannya harus diketahui dengan jelas. 12. Rusak Atau Yang Menimbulkan Kerusakan (Bai’ Bi Syartin Fasid Aw Mufsid) Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’yah serta Hanabilah sama-sama tidak memperbolehkanya dan menghukuminya sebagai bentuk jual beli yang fasid, karena ada penambahan syarat di dalam akad, maka terjadi riba.

Syarat yang bathil adalah syarat yang mengandung bahaya bagi salah satu pihak yang berakad, seperti jual beli sesuatu dengan syarat pembeli untuk tidak menjualnya lagi atau tidak boleh dihibahkan, pada dasarnya jual belinya boleh-boleh saja, namun syaratnya sia-sia dan bathil, karena tidak mengandung manfaat bagi siapapun. Maka tidak diwajibkan untuk merusak akadnya.

13. Jual Beli Buah-Buahan Atau Pertanian Yang Belum Berbuah (Ba’I At Tsamar Aw Az Zuru’ Qobla Wujudiha Aw Sholahiha) Para Ulama telah bersepakat melarang jual beli macam ini berdasarkan hadist nabawiyah, karena termasuk dalam kategori jual beli gharar. Ulama juga bersepakat akan bolehnya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang sudah di potong dari pohonnya. Maka dalam pembahasan ini ada dua kelompok mendasar dalam menentukan hukumnya, antara yang belum dan yang setelah dipetik/dipotong dari pohonya 1. Sebelum dipanen/berbuah a. Bila syarat jual belinya secara muthlaq, maka diperbolehkan juga. b. Bila disyaratkan sampai memotong/memtiknya, maka diperbolehkan c. Bila syaratnya untuk meninggalkannya, maka jual belinya fasid. 2. Setelah dipotong/dipetik a. Bila syarat jual belinya secara muthlaq, maka diperbolehkan juga. b. Bila disyaratkan sampai memotong/memtiknya, maka diperbolehkan

c. Bila syaratnya untuk meninggalkannya, maka jual belinya fasid.

Maraji’ : al Wajiz fi fiqhi islamy, Wahbah Az Zuhaily

-6.211544 106.845172