Apa yang dimaksud dengan hidup dalam keharmonisan

Alam dan manusia memiliki kesamaan yakni merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai sesama makhluk, sudah seharusnya manusia dapat menjaga hubungan harmonis dengan alam dengan cara merawat dan menjaga lingkungan, dan tidak merusaknya.

Dalam kuliah umum “Etika Lingkungan di Jepang” pada Sabtu (17/09), Aoki Takenobu, Ph.D., dosen tamu UMY dari Chiba University, Jepang menjelaskan bahwa masyarakat Jepang percaya bahwa setiap benda memiliki jiwa. Berdasar pada kepercayaan itulah, masyarakat Jepang menjadi semakin menghormati alam dan lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Dalam kuliah yang dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Pertanian tersebut, Aoki menjelaskan tentang tiga keyakinan yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Jepang, yakni Shinto, Buddha dan Konfusianisme. Meskipun tiga kepercayaan berbeda, tetapi pola pemikiran ketiga kepercayaan tersebut memiliki kesamaan dan hampir tidak dapat dibedakan.

“Penganut Shinto memiliki 1.000 dewa. Setiap hal itu ada dewanya, seperti dewa padi, dewa ilmu, dan lain-lain. Penganut Budha percaya bahwa setiap makhluk punya jiwa. Jadi tidak ada perbedaan antara manusia dengan hewan atau tumbuhan. Penganut konfusianisme percaya tentang prinsip langit dan manusia. Ketiganya memiliki kesamaan yakni saling menghargai benda-benda dan lingkungan yang ada di sekitarnya,” jelas Aoki.

Aoki juga membandingkan etika lingkungan negara-negara Barat dengan negara Jepang. Ia menyebut bahwa patokan etika negara barat adalah hak (right) dan demokrasi. Hal ini dimaknai bahwa setiap manusia memiliki hak dan juga memiliki kebebasan untuk memanfaatkan alam,. “Sehingga manusia merasa bahwa manusia menguasai atau mengatur alam. Sehingga bila ada bencana, maka yang difikirkan bukanlah penyebabnya tetapi penyelesaian secara rasionalnya,” ujar Aoki.

Sedangkan di Jepang, prinsip etika yang dianut adalah kewajiban dan kerukunan. Kerukunan antara manusia dan alam, dan menyadari ekosistem itu merupakan kewajiban manusia. “Manusia dan hewan maupun tumbuhan itu harus ada kerjasamanya. Itu yang membuat petani-petani di Jepang amat menyayangi tanaman yang mereka tanam. Makanya jangan heran kalau melihat petani yang bahkan seperti berbicara dengan tanaman,” ungkap Aoki.

Dosen yang fasih berbahasa Indonesia tersebut menerangkan bahwa prinsip di dalam Islam memiliki kesamaan di dalam prinsip yang dianut oleh masyarakat Jepang. Prinsip yang dimaksud merupakan prinsip Mottainai atau prinsip sayang. “Dalam bahasa Jawa bisa disebut eman-eman. Islam pun memiliki pendapat bahwa sifat boros dan membuang-buang itu bagian dari setan. Di Jepang masyarakatnya juga sangat menghargai dan merawat benda-benda mereka, dan ini yang disebut mottainai,” tutur Aoki.

Di samping itu, Dosen Pertanian UMY, Gatot Supangkat S., MP. setuju dengan konsep untuk menyayangi lingkungan. Islam-pun selain mengharuskan kita melakukan hubungan dengan Allah dan manusia, tetapi juga harus menjaga hubungan dengan Alam. “Ketika tiga hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam kita jaga, maka kehidupan akan bisa menjadi harmonis. Ukuran seberapa manusia berhubungan baik dengan Allah dan manusia lainnya itu ukurannya seberapa baik ia berhubungan dengan alam,” jelas Gatot.

Dosen pertanian tersebut juga menjelaskan bahwa manusia boleh memanfaatkan alam asal tidak sampai kepada tindakan eksploitatif atau merusak. Dalam surat Ar-Rum, disebut Gatot, sudah dijelaskan bahwa kerusakan di darat dan di laut itu akibat ulah manusia. “Oleh karenanya manusia harus mulai menjaga alam. Karena semua perbuatan itu akan ada akibatnya. Faman ya’mal mitsqoola dzarrotin khoiran yaroh. Wa man ya’mal mitsqoola dzarrotin syarron yaroh. Sederhananya, kalau tidak mau mencubit jangan mencubit. Kalau tidak ingin lingkungan rusak, maka jangan merusak,” tegas Gatot. (deansa)

 Keluarga adalah unit sosial terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal bersama dalam keadaan saling ketergantungan satu sama lain. Yang pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Sedangkan dalam perspektif Islam keluarga bermula dari terjalinya suatu hubungan yang suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui akad perkawinan yang halal,disertai dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat perkawinan yang bersifat terus-menerus dimana antara yang satu dengan yang lainya merasakan ketentraman.

Suami istri merupakan unsur utama dalam keluarga. Adapun kehadiran seorang anak merupakan pelengkap dalam sebuah keluarga. Terjalimnya hubungan dalam sebuah perkawinan tentunya harus dibarengi visi dan misi yang selaras demi terbentuknya sebuah keluarga yang harmonis dan mampu melahirkan generasi-generasi yang berkualitas serta membangun tatanan keluarga yang baik, Sehingga dalam keluarga sangat diperlukan pembinaan (tarbiyah) oleh sepasang suami istri dengan berbekal pengetahuan dan limpahan kasih sayang untuk anak-anaknya.

Dengan menikah dan berkeluarga seyogyanya dapat membuat anggota keluarga merasakan kehidupan yang menetramkan serta menciptakan keharmonisan diantara masing-masing pihak, baik itu yang berperan sebagai ayah, ibu maupun anak-anak.

Demi menciptakan kelurga yang harmonis tentunya sepasang manusia yang telah sepakat untuk mengarungi hidup bersama perlu yang namanya sebuah ketulusan dan kesetiaan, didasari keyakinan yang dikukuhkan melalui pernikahan, yang bertujuan untuk saling melengkapi dan meningkatkan iman dan ketaatan kepada Allah

Dalam hidup berkeluarga tidak hanya sebatas hidup bersama melainkan ada hak dan kewajiban, peran serta tanggungjawab yang perlu dipenuhi. Setiap orang yang terlibat (suami, istri, dan anak) harus mengetahui hak dan kewajibanya masing-masing.

Ketidakpahaman dan tidak ada kesadaran dalam diri masing-masing atas hak dan kewajiban dalam keluarga maka akan mengakibatkan tidak tercapainya suatu tatanan keluarga yang diharapkan. Misalnya seperti kewajiban seorang suami sebagai Kepala keluarga untuk meminpin keluarga dan bertindak sebagai pengambil keputusan, memelihara diri dan keluarganya dengan baik, memenuhi kebutuhan anggota-angota kelurganya, melindungi, mengasihi serta mendidik anggota keluarganya dengan cara menumbuhkan dasar-dasar dan kaidah-kaidah pergaulan hidup serta nilai-nilai yang ada pada masyarakat.

Begitu juga dengan anggota-anggota kelurga lainnya seperti istri atau anak-anaknya yang dituntut untuk memenuhi hak dan kewajibanya masing-masing.

Setiap keluarga pasti akan banyak mengalami goncangan. Bahkan sepanjang kehidupan perkawinan pasti akan menemukan hal-hal baru yang berpotensi menjadi konflik dalam keluarga dan tidak jarang konflik-konflik tersebut berujung pada perceraian jika pelaku rumah tangga tidak bisa bijak dalam menghadapi masalah-masalah yang terjadi, Akan tetapi jika pelaku rumah tangga bisa dengan bijak menghadapi masalah-masalah yang terjadi maka semua masalah tersebut tidak akan berujung pada perceraian.

Sebaliknya, masalah-masalah tersebut akan menjadi bumbu-bumbu pernikahan yang akan membuat pasangan menjadi semakin mencintai dan semakin baik dalam membangun keluarga yang harmonis.

Disinilah kita perlu menerapkan nilai-nilai islam dalam kehidupan keluarga, Sebuah keluarga harus memliki landasan yang kuat yang bisa memperkuat ikatan antara keduanya. Salah satunya adalah dengan membangun rumah tangga yang berpedoman pada agama. Sehingga dengan diterapkanya nila-nilai agama dalam kehidupan rumah tangga tidak akan keluar dari koridor islam.

Kehidupan rumah tangga yang harmonis tentunya merupakan impian semua orang, maka harus ada usaha untuk mewujudkanya selain menjaga keluarga kita dengan menghidari penyebab terjadinya sebuah konflik, kita juga perlu memperbaiki kualitas diri antara sepasang suami istri dengan banyak belajar ilmu agama, ilmu parenting, serta ilmu-ilmu lainya dan dapat merealisasikanya di lingkungan keluarga dan sekitar.

Ketahanaan sebuah keluarga dapat dilihat dari sejauh mana sepasang suami istri dapat bertahan demi anak-anaknya, serta sejauh mana bentuk ketaanya pada Allah SWT. maka untuk mempetahankan sebuah hubungan keluarga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan juga diterapkan dalam keluarga diantaranya adalah;

Pertama, sebelum dilakukanya perkawinan pasangan suami istri harus mempunyai komitmen untuk mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah mawadah warrahmah, bukan hanya suka sama suka, karena jika hanya dilandasi dengan rasa suka sama suka, seiring berjalanya waktu akan banyak kita temui rasa ketidaksukaan terhadap pasangan kita, baik itu dari sifat yg sebelumnya tidak terlihat, atau kebiasaan buruk yang tidak ditampakan diawal berumah tangga.

Kedua, anggota keluarga harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Baik itu suami yang notabenenya sebagi kepala keluarga, maupun istri dan anak-anaknya sebagai anggota keluarga. Setiap keputusan yang diambil perlu dimuswarahkan terlebih dahulu dengan anggota keluarga lainya jika itu diperlukan, misalkan seorang suami yang akan membuka sebuah usaha, atau seorang anak yang akan melanjutkan pendidikanya, maka perlu diadakan musyawarah keluarga untuk mempertimbangkan baik buruk, dengan begitu kehadiran anggota keluarga lainya akan merasa dihargai dan dihormati apabila dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau misalkan seorang istri yang berpenghasilan lebih tinggi dari suaminya, maka dengan penghasilan istri tersebut tidak boleh merendahkan kedudukan suami atau menjatuhkan martabatnya sebagai kepala keluarga. Dengan begitu suami akan merasa dihormati dan dihargai.

Ketiga, saling menasehati dan mengingatkan dalam kebaikan. Jika diantara anggota keluarga ada yang menyimpang atau melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan maka perlu anggota keluarga lainya untuk meluruskanya dengan diingatkan dan diberikan nasihat-nasihat yang baik dan disampaikan dengan cara yang baik.

Keempat, saling menjaga kehormatan dan menutupi kekurang masing-masing dan saling mendukung dalam kebaikan. Anggota keluarga harus dapat menjaga anggota keluarga lainya, dengan tidak membeberkan aibnya, keburukanya serta segala kekuranganya. Apa yang menjadi kekuranganya maka perlu kita tutupi. Selain itu, kita juga perlu memberikan dukungan yang baik sehingga akan memberikan dampak positif untuk dirinya.

Kelima, istri diwajibkan taat kepada suami, serta memberikan kesempatan kepada suami untuk berbakti terhadap orangtuanya, begitu juga dengan anak-anak diwajibkan untuk taat kepada kedua orangtuanya sepanjang suami dan orangtua tidak menyimpang dari syariat-syariat agama.

Keenam, anggota keluarga harus saling memotivasi satu sama lain, dan memahami karakter dan kepribadian masing-masing. Contoh kecilnya, ketika seorang istri yang merasa kelelahan dalam mengerjakan pekerjaan rumah, maka tugas suaminya membantu meringankan pekerjaanya, atau memberikan pujian untuk istrinya atau hanya sekedar mendengarkan keluh kesah istrinya dan memebrikan respon positif, karena hal tersebut akan memberikan energi positif untuk sang istri. Atau contoh lainya adalah ketika seorang anak enggan untuk belajar atau melakukan kenakalan maka hindari untuk membentaknya, mungkin sang anak butuh refresh sejenak dari belajarnya, dan kenakalan yang dilakukan anak masih dibilang wajar selagi itu tidak membahayakan dirinya dan orang lain, maka tugas kita sebagai orangtua yaitu menegurnya dengan baik dan mengatakan kepadanya bahwa hal tersebut tidak baik.

Ketujuh, suami sebagai kepala keluarga mempunyai wewenang untuk menentukan arah dan tujuan keluarga berdasarkan nilai-nilai agama, suami dan istri memeliki kewajiban untuk saling belajar dan meningkatkan pengetahuan agama serta mampu mendidik dan mengajarkan anak-anaknya mengenai nilai-nilai agama.

Pembinaan juga merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan keharmonisan dalam keluarga. Dengan menerapkan Syari’ah, Iman, Aqidah dan Akhlak serta mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an banyak dibicarakan tentang keluarga, cara membentuk dan mengatur umat muslim untuk mencapai kebahagiaan dan keharmonisan diantaranya yaitu mengenai persoalan pernikahan, perceraian, kewajiban nafkah, tanggungjawab terhadap anak-anak dan kedua orangtua, warisanan dan lain sebagainya, maka sudah saatnya untuk kembali pada Al-Qur’an dan Assunah dan menjadikannya pedoman dalam menjalankan kehidupan.***

Penulis : Eros Rosmiati (Mahasiswa tingkat akhir di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Husnul khotimah Jurusan Hukum Ekonomi Syariah/ Muamalah)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA